Anda di halaman 1dari 280

Dr.

Media Zainul Bahri i


Dr. Media Zainul Bahri
Dr. Media Zainul Bahri
Sejak dulu banyak orang menganggap kajian ilmiah terhadap agama
sebagai sesuatu yang absurd dan tidak menyenangkan. Menurut Ninian
Smart, disebut absurd karena pendekatan ilmiah cenderung untuk
melalaikan atau mendistorsi perasaan-perasaan batin dan respons-
respons terhadap yang tak terlihat (Yang Ilahi). Disebut tidak disukai
karena studi ilmiah membawa pendekatan yang dingin (rasional)
terhadap apa yang seharusnya “hangat dan menggetarkan.” Anggapan
tersebut keliru, meskipun sepenuhnya dapat dimengerti. Tentu saja
ilmu-ilmu humaniora—termasuk agama—harus berurusan dengan
perasaan batin, karena manusia tidak bisa dipahami jika sentimen,
emosi dan penghayatan keagamaannya tidak dipahami. Hal ini tentu
berbeda dengan pendekatan dalam ilmu-ilmu pasti (eksak) yang
memperlakukan batu-batu atau elektron-elektron. Studi agama juga
tidak disukai disebabkan problem menguatnya fundamentalisme
agama saat ini yang “alergi” terhadap studi agama yang ilmiah, karena
hal itu dianggap akan “membahayakan akidah,” “menyesatkan” atau
setidaknya membuat seorang beragama akan jauh dari agamanya
disebabkan mengkaji keyakinan agama yang sudah pasti dengan
metode-metode ilmiah yang menganggap agama sebagai bagian dari
kebudayaan sehingga absah untuk “diobrak-abrik.”

“Studi Media Zainul Bahri ini patut dipuji karena bermutu dan sangat
informatif. Buku Wajah Studi Agama-Agama ini sesungguhnya tidak
mendeskripsikan sejarah salah satu disiplin akademik saja, tetapi
sekaligus menunjukkan bagaimana “wajah” masyarakat (muslim) di
Indonesia dicerminkan di dalam pemikiran ihwal agama lain.” —Prof.
Dr. Edwin P. Wieringa
Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
Hingga Masa Reformasi

Penerbit Pustaka Pelajar


Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. (0274) 381542, Faks. (0274) 383083
e-mail:pustakapelajar@yahoo.com
9 786022 295457 website:pustakapelajar.co.id
Dr. Media Zainul Bahri iii
Wajah Studi Agama-Agama
Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
Hingga Masa Reformasi

Penulis
Dr. Media Zainul Bahri

Desain Cover
Haetamy el-Jaid

Tata Letak
Abi Fairuz

Pemerikasa Aksara
Ratih

Cetakan I, Oktober 2015

Penerbit
PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. (0274) 381542, Fax. (0274) 383083
E-mail: pustakapelajar@yahoo.com
Website: pustakapelajar.co.id

ISBN: 978-602-229-545-7

iv Wajah Studi Agama-Agama


DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih  v


Pengantar  xi
Daftar Isi  xvii

BAB I. Pendahuluan  1
Catatan  12

BAB II. Aneka Pendekatan Terhadap Studi


Agama  13
A. Signifikansi Studi Ilmiah Agama  13
B. Beberapa Pendekatan  15
1. Pendekatan Historis  15
2. Pendekatan Teologis  20
3. Pendekatan Fenomenologis  23
4. Pendekatan Komparatif  27
5. Pendekatan Perenial  30
6. Pendekatan Dialogis  38
7. Pendekatan Sosiologis  43
8. Pendekatan Antropologis  47
9. Pendekatan Psikologis  56
Catatan  61

BAB III. Teosofi: Pengertian dan Tujuan  65


A. Pengertian Teosofi  65
B. Tujuan Teosofi  70
C. Makna Simbol/Lambang Teosofi  72
D. Teosofi dan Agama  79
E. Munculnya Masyarakat Teosofi Indonesia  87
Catatan  94

Dr. Media Zainul Bahri xvii


BAB IV. Teosofi dan Model Studi
Perbandingan Agama  99
A. Teosofi dan Doktrin Agama-Agama  100
1. Islam dan Teosofi  100
2. Agama Hindu dan Teosofi  102
3. Agama Buddha dan Teosofi  103
4. Agama Kristen dan Teosofi  103
5. Konghucu dan Teosofi  103
6. Baha’i dan Teosofi  104
B. Teosofi dan Model Studi Perbandingan Agama  105
1. Satu Tuhan Banyak Agama  105
2. Kesatuan Esensi dan Hubungan Substansial
Para Utusan Tuhan  109
3. Soal Perbedaan Agama  118
4. Soal Penghinaan Agama, Konversi, dan Kerukunan  122
C. Membaca Pandangan Keagamaan Teosofi  129
1. Perenialisme: Cinta dan Kesatuan  129
2. Komparasi “Sederhana”  137
3. India yang Berbeda dan Westernisasi  145
4. Humanisme Religius  149
5. MTI dan Kejawen  152
D. Model Studi yang Dilakukan  157
E. Pendidikan Agama Berbasis Multikultur  161
F. Masa Suram Gerakan Teosofi  162
1. Kecaman dan Reaksi  162
2. Tanggapan Terhadap Kecaman  163
3. Kasus Khusus “Islam”  165
G. Studi Perbandingan Agama Sesudah Teosofi:
Menimbang Peran Mahmud Yunus dan
Zainal Arifin Abbas  167
H. Model Studi yang Dilakukan  176
Catatan  177

xviii Wajah Studi Agama-Agama


BAB V. Studi Perbandingan Agama Di Masa
Orde Baru  185
A. Studi Perbandingan Agama Di Masa Orde Baru:
Mencermati Peran Sentral Mukti Ali  185
B. Studi Perbandingan Agama: Pengertian dan Tujuan  188
1. Pengertian  188
2. Kegunaan dan Tujuan  192
C. Tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi”  199
D. Metodologi  203
1. Periode Awal: Pendekatan Teologis  203
2. Mengapa Apologetik?  211
3. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah  217
E. Studi Perbandingan Agama dan Politik  243
F. Isu-Isu Penting  249
1. Agama dan Pembangunan  249
A. Pembangunan Manusia Seutuhnya  249
B. Kerukunan Antarumat Beragama  253
2. Pluralisme Agama  259
A. Nurcholish Madjid  259
B. Abdurrahman Wahid  271
C. Djohan Efendi  291
D. Jalaluddin Rakhmat  301
3. Dialog Antaragama dan Passing Over  312
A. Dialog Antaragama  312
B. Passing Over  337
G. Model Studi dan Pengajaran  341
1. Materi dan Model Pengajaran  341
2. Model Historis-Kronologis  347
3. Mengapa Selalu Dimulai dengan
Teori Asal-Usul Agama  354
H. Model Studi yang Dilakukan  363
Catatan  372

Dr. Media Zainul Bahri xix


BAB VI. Studi Agama-Agama
Di Era Reformasi  389
A. Polemik Pergantian Nama  389
B. Melanjutkan Tradisi  403
C. “Baju Lama, Badan Baru”  404
D. CRCS dan ICRS: Model Religious Studies yang Ideal  411
E. Masa Depan Studi Perbandingan Agama  417
Catatan  421

BAB VII. Penutup  425


Bibliografi  427
Biodata Penulis  439
Index  441

xx Wajah Studi Agama-Agama


BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Secara dramatis, Daniel L. Pals menceritakan bahwa pada suatu
hari di musim semi bulan Februari 1870, seorang ilmuwan setengah
baya berkebangsaan Jerman menaiki mimbar di sebuah acara ke-
rajaan di London guna menyampaikan satu kuliah umum. Saat
itu, profesor-profesor Jerman sudah diakui kemampuannya di Ing-
gris, tak terkecuali orang ini. Meski demikian, ia tampil seperti se-
orang Inggris tulen. Nama profesor itu adalah Friedrich Max Müller
(1823-1900). Ia datang ke Inggris pertama kali sewaktu muda untuk
belajar tulisan-tulisan kuno dari kitab Weda-India. Sejak saat itu, ia
merasa betah di Inggris, bahkan menikahi gadis Inggris dan akhir-
nya mendapatkan posisi penting di Universitas Oxford. Müller sa-
ngat dikagumi karena pengetahuannya yang mendalam tentang
Hinduisme kuno dan keahliannya dalam menulis dengan bahasa
Inggris yang ia gunakan untuk membuat tulisan populer mengenai
bahasa dan mitologi. Dalam kesempatan kuliah umum itu, ia meng-
usulkan disiplin ilmu baru, suatu ilmu yang siap ia promosikan
dan ia sebut sebagai “the science of religion.”1
Menurut Pals, istilah the science of religion yang diajukan Müller
pada mulanya hampir membuat “marah” yang hadir karena ma-
syarakat Inggris—dalam satu dekade itu—masih dihebohkan de-
ngan karya Charles Darwin, The Origin of Species (1859) yang me-
munculkan persaingan sengit antara sains dan agama. Karena itu,
istilah the science of religion kembali memunculkan rasa keingin-
tahuan mereka: apakah mungkin kepastian-kepastian iman yang
telah lama dianut dapat “dicampuraduk” dengan kajian ilmiah yang

Dr. Media Zainul Bahri 1


selalu mendasarkan diri pada eksperimen, revisi dan perubahan-
perubahan? Namun Max Müller meyakinkan para pendengarnya
bahwa studi ilmiah tentang agama akan memberikan kontribusi
kepada agama dan ilmu sekaligus. Ia mengingatkan para audiens
bahwa adagium yang dibuat oleh Johann Wolfgang von Goethe
(1749-1832), sastrawan termasyhur Jerman, dalam puisinya tentang
bahasa manusia yang bisa dipakai dalam agama, yaitu: “Ia yang
hanya tahu satu hal, sesungguhnya tidak tahu apa-apa (He who
knows one, knows none)”2 (dalam studi agama menjadi: Ia yang hanya
tahu satu agama, sesungguhnya tidak tahu apa-apa).
Menurut Müller, sudah saatnya pandangan objektif dan benar-
benar baru harus digunakan dalam studi agama yang sebenarnya
sudah berumur tua. Daripada terus-menerus bertaklid kepada para
teolog yang hanya ingin membuktikan kebenaran agamanya sendiri
sambil menyalahkan agama orang lain, saatnya kini untuk mene-
rapkan berbagai pendekatan yang beragam, meneliti elemen, ben-
tuk, dan prinsip-prinsip yang bisa ditemukan dalam semua agama,
kapan pun dan di mana pun. Dalam disiplin baru ini, banyak hal
yang bisa dilakukan sebagaimana telah dilakukan oleh kaum sain-
tis, yaitu mengumpulkan fakta-fakta, adat-istiadat, ritual, dan keper-
cayaan-kepercayaan dari seluruh agama yang ada di bumi ini, lalu
membangun teori tentang agama-agama tersebut, persis seperti ahli
biologi dan kimia yang mampu menjelaskan cara kerja alam ini.3
Sejak saat itu, studi ilmiah agama terus menggelinding dan
berkembang, tidak semata di Eropa dan Amerika, tetapi juga di Asia.
Studi ilmiah itu muncul dengan nama (sebutan) yang bermacam-
macam seperti Perbandingan Agama (Comparative Religion), Studi
Perbandingan Agama (The Study of Comparative Religion) Studi
Perbandingan Agama-Agama (Comparative Study of Religions atau
Comparative Studies of Religions), Studi Agama-Agama (The Study of
Religions), Studi Keagamaan (Religious Studies) dan lain-lain. Semua
namaitu biasanya merujuk kepada studi ilmiah agama-agama yang
dirintis oleh Max Müller.

2 Wajah Studi Agama-Agama


Di Indonesia, studi ilmiah agama secara resmi dibuka di PTAIN
(Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada tahun 1961
dengan nama (Jurusan) “Ilmu Perbandingan Agama” atau biasa
disingkat “Perbandingan Agama” saja. Perintis utama berdirinya
studi itu adalah Profesor Mukti Ali.
Namun, jauh sebelum 1961, studi Perbandingan Agama di Nu-
santara sesungguhnya telah dirintis pada akhir abad ke-19 oleh Ge-
rakan Teosofi Hindia-Belanda. Jika ditelusuri kemunculan, perkem-
bangan dan formasi kematangan akademiknya, saya membagi studi
ini di Nusantara di abad modern dalam empat fase penting. Yaitu,
pertama, Studi Perbandingan Agama, dalam pengertian mempe-
lajari agama-agama, membandingkannya dan secara spesifik men-
cari titik-temu diantara agama-agama, muncul pertama kali secara
mengejutkan diawal abad 20 oleh sebuah paguyuban yang mena-
makan diri teosofi Hindia Belanda (sejarawan menyebutnya Gerakan
Teosofi Indonesia, tetapi saya lebih memilih untuk menyebutnya
Masyarakat Teosofi Indonesia atau MTI). MTI adalah organisasi non-
pemerintah Belanda—sebagai cabang dari Teosofi Internasional yang
berpusat di Adyar, India—yang anggotanya didominasi oleh para
priyayi Jawa, kaum santri Muslim non-priyayi, orang-orang Belanda
dan Eropa non-Belanda, yang eksis pada rentang waktu 1901 hingga
1940 (pra-kemerdekaan).
Tujuan kedua dari tiga tujuan pokok organisasi Teosofi Inter-
nasional, yang juga diikuti oleh Teosofi Indonesia, adalah “Mema-
jukan pelajaran membanding-bandingkan agama, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan. Dalam sumber yang lain disebutkan: mempelajari
agama-agama kuno dan modern, filsafat dan sains.” Helena Blavatsky,
tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan
kedua ini, “Untuk mempromosikan studi kepercayaan bangsa Arya
dan kitab-kitab suci lainnya dari agama-agama dunia dan berbagai
macam ilmu pengetahuan, dan mempertahankan pentingnya
literatur Asia kuno, yakni filsafat-filsafat kaum Brahmana, Buddhis
dan Zoroaster.”4

Dr. Media Zainul Bahri 3


Ciri utama studi PA pada MTI adalah: (1) Studi PA mereka
lakukan dengan pendekatan “dari dalam” (“from within”), yakni
mereka mempelajari langsung agama yang dikaji dari para peng-
anutnya, terutama dari ahli agama yang dikaji. Ahli-ahli agama itu
kemudian menulis secara berkala pengetahuan tentang agama ma-
sing-masing di majalah-majalah Teosofi yang terbit secara berkala
selama hampir 40 tahun. (2) Mengeksplorasi ide-ide perenialisme.
Teosofi sendiri adalah wujud lain dari paham dan praktik pere-
nialisme. Helena Blavatsky sebagai pendiri teosofi dan tokoh-tokoh
utama sesudahnya sering menegaskan bahwa teosofi adalah penge-
tahuan atau Hikmah yang sangat kuno yang diambil dari para filosof
awal Yunani yang kemudian dilanjutkan oleh para generasi filosof
sesudahnya ke generasi berikutnya di berbagai negeri yang subur
dengan Kearifan Abadi. (3) Sebagai konsekuensi dari yang kedua,
MTI banyak mengeksplorasi hubungan di antara agama-agama yang
ada di Nusantara, dilihat perbedaan eksoterik dan persamaan (eso-
terik)-nya, namun aspek titik-temu dan persamaan lebih ditekan-
kan. Mereka selalu menghubungkan titik-temu esoterik agama-
agama itu dengan doktrin-doktrin mistik teosofi. Dan terakhir (4),
MTI—dalam banyak publikasi mereka—juga melakukan “kompa-
rasi sederhana” di antara agama-agama, namun sekali lagi, aspek
titik-temu agama-agama lebih ditekankan.
Fase kedua adalah fase setelah masa teosofi, yakni studi Perban-
dingan Agama yang dilakukan oleh para sarjana Muslim Indonesia
dimana karya-karya mereka dipelajari bahkan diwajibkan di seko-
lah-sekolah Islam, seperti pondok pesantren misalnya. Dua sarjana
Muslim yang mencolok di era ini— kira-kira akhir 1930-an hingga
awal 1960—adalah Mahmud Yunus dengan karyanya, al-Adyân
dan Zainal Arifin Abbas dengan bukunya, Perkembangan Fikiran
Terhadap Agama (2 jilid). Al-Adyân terbit pertama kali pada No-
vember 1937, lalu dicetak ulang hingga akhir 1980, dan Perkem-
bangan Fikiran terbit pertama kali tahun 1951, lalu dicetak ulang
pada 1965 dan 1970. Dua karya itu pada masanya adalah buku yang
wajib dipelajari pada level sekolah lanjutan atas (semacam madrasah

4 Wajah Studi Agama-Agama


aliyah) baik di sekolah agama milik pemerintah atau di pondok
pesantren.
Kedua karya itu memiliki kemiripan dalam isi dan metodo-
loginya. Pendekatan historis dan teologis tampak dominan dalam
uraian Yunus dan Abbas tentang agama-agama dunia. Yunus sepe-
nuhnya mendasarkan bukunya, al-Adyân, pada produk (pandang-
an) teologi Islam tentang agama non-Islam. Untuk sejarah agama-
agama non-Islam, ia juga merujuk kepada banyak ulama Muslim.
Ketika menuliskan sumber-sumber untuk karyanya itu, Yunus me-
nyebut nama-nama penulis dan ulama Muslim terkemuka seperti
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Amin, Farid Wajdi, Jurzi
Zaydan, Musthafa Amin, Ibn Hazm, Syahrastani dan lain-lain serta
karya-karya mereka yang sudah dikenal baik di kalangan kaum
Muslim. Karena itu, model Yunus adalah model teologis dengan
corak Islam ala Timur Tengah. Yunus menggambarkan agama-aga-
ma non-Islam persis (serupa) dengan gambaran para ulama dan
penulis di atas.
Yunus sama sekali tidak mendiskusikan agama-agama dan ke-
percayaan yang ada di Nusantara, misalnya Hindu-Buddha Indo-
nesia, Aliran Kebatinan, atau Katolik-Protestan Indonesia dan perbe-
daan spesifik mereka dengan agama-agama serupa yang dijelas-
kannya. Dengan kata lain, Yunus sama sekali tidak mengaitkan
agama-agama dunia yang dibicarakannya dengan konteks agama-
agama yang ada di Nusantara.
Hal serupa juga terlihat pada karya Abbas, Perkembangan Fikir-
an. Meskipun karya itu jauh lebih tebal dari al-Adyân, karena meng-
uraikan banyak hal tentang sejarah dan isi filsafat dan agama-agama
dunia, namun perspektif Islam ala Timur Tengahnya juga cukup
menonjol. Seperti halnya Yunus, Abbas juga tidak mendiskusikan
agama-agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia.
Fase ketiga adalah masa ketika studi PA didirikan di perguruan
tinggi Islam. Secara formal-akademik lahir di PTAIN (Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada 1961, setahun setelah
berdirinya dua pendidikan tinggi Islam negeri, yaitu di PTAIN Yog-

Dr. Media Zainul Bahri 5


yakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiran
jurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin ini tak bisa
dilepaskan dari peran Profesor Mukti Ali, seorang cendekiawan
Muslim terkemuka yang meraih gelar Doktor di Universitas Karachi,
Pakistan dalam bidang Sejarah Islam, dan Magister Universitas
McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies. Karena kepelopor-
annya ini, ia sering disebut sebagai ‘Bapak Ilmu Perbandingan Aga-
ma Indonesia.’ Menurut Mukti Ali, ilmu Perbandingan Agama
dibutuhkan sebagai ikhtiar menjadi salah satu solusi penting dalam
mengelola kemajemukan agama dan budaya di Indonesia. Peme-
rintah Orde Lama dan Orde Baru menyadari betul akan kebhine-
kaan Indonesia dan membutuhkan suatu disiplin ilmu keagamaan
yang secara langsung dapat memahami pluralisme Indonesia dan
cara mengelolanya secara produktif.5
Fase keempat adalah studi Perbandingan Agama di masa refor-
masi. Fase ini ditandai dengan dua hal penting: (1) perubahan para-
digma dari Perbandingan Agama menjadi Studi Agama-Agama
pada beberapa program studi Perbandingan Agama di UIN/IAIN.
Perubahan paradigma ini membawa konsekuensi serius, misalnya
jika pada program studi Perbandingan Agama, perbandingan (kom-
parasi) menjadi sebuah disiplin ilmu di mana pendekatan atau mo-
del “perbandingan” mendominasi karya-karya akademik aktor-ak-
tor Perbandingan Agama, baik mahasiswa maupun dosen, maka
pada Studi Agama-Agama, perbandingan hanyalah satu saja dari
beragam pendekatan Studi Agama. Dengan kata lain, Studi Agama-
Agama yang konsen kepada agama sebagai subjek memiliki banyak
pendekatan dalam studinya dan dengan otomatis muncullah tema-
tema dan isu-isu yang luas. (2) Seiring dengan perkembangan kehi-
dupan sosial-keagamaan yang kompleks di awal abad ke-21 maka
muncul pula problem dan isu-isu sosial keagamaan yang layak men-
jadi “garapan” atau topik-topik penting Studi Agama-Agama. Bah-
kan, respons Studi Agama atas perkembangan yang terjadi tidak
semata “menyegarkan” studi ini dan membuatnya tetap relevan

6 Wajah Studi Agama-Agama


dan kontekstual, namun juga akan membuat studi ini tetap “dibu-
tuhkan” masyarakat.
Studi ini penting dilakukan dengan alasan-alasan yang penting
pula. Pertama, dengan mengetahui genealogi studi Perbandingan
Agama selama lebih dari satu abad (1901-2014), maka akan diketa-
hui peta disiplin ilmu ini, yang dengannya dapat dibuat rencana
dan rancang bangun pengembangan akademik Studi Agama-Aga-
ma di Indonesia untuk masa mendatang. Secara akademik pula,
belum ada studi ilmiah yang komprehensif mengenai genealogi
dan perkembangan studi PA selama satu abad ini. Karenanya, studi
ini juga dapat menjadi semacam “karya ensiklopedi” atau “karya
sejarah” yang langka dan pertama kali dilakukan di Indonesia.
Kedua, hasil dari studi ini akan menunjukkan suatu bentuk
wajah Studi Agama-Agama Indonesia yang lahir dari pergumulan
wacana dan ide studi Perbandingan Agama dari Barat dan Timur
Tengah yang kemudian dikontekstualisasikan—melalui sebuah
pergulatan yang dinamis dan panjang—ke dalam kultur kehidupan
umat beragama Indonesia. Karena itu, penelitian ini juga akan me-
nunjukkan satu model Studi Agama-Agama yang “khas” yang ber-
beda dari apa yang terjadi di dunia Barat dan Timur Tengah.
Ketiga, dengan melihat kontribusi studi Perbandingan Agama
dari masa ke masa terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia,
maka secara praktis, hasil dari studi ini dapat menjadi rujukan (pan-
duan) dalam membuat rencana strategis dan regulasi untuk pe-
ngembangan kerukunan hidup umat beragama, dialog antar agama
dan kerja sama agama-agama di Indonesia.
Studi ini pertama-tama akan merujuk kepada referensi primer.
Untuk studi Perbandingan Agama pada masa Teosofi, saya merujuk
kepada majalah-majalah (sebenarnya mirip dengan jurnal) teosofi
yang diterbitkan oleh MTI secara berkala selama hampir 40 tahun,
yakni Pewarta Theosophie Boeat Tanah Hindia Nederland (atau PTHN,
Bahasa Melayu, 21 volume, 188 Nomor, 1911-1938), Teosofie In
Nederland Indie: Theoshopie Di Tanah Hindia Nederland (Bahasa Be-
landa dan Melayu, 80 Nomor, 1918-1925), Theosophie in Neder-

Dr. Media Zainul Bahri 7


bersifat pluralistik karena ada banyak agama dan tradisi keagamaan,
dan akan tampak bahwa tidak ada studi agama yang dilakukan se-
cara penuh yang tidak tertarik kepada lebih dari satu tradisi. Studi
agama bersifat tanpa batas yang tegas, karena tidak mungkin atau
tidak realistis untuk menggeneralisir definisi yang baku tentang aga-
ma. Satu definisi mungkin akan menjelaskan beberapa elemen is-
timewa dari satu atau dua agama, namun tidak mungkin menca-
kup agama-agama lain.3
Agama sebagai bagian dari kebudayaan adalah agama yang di-
pahami, dihayati dan dipraktikkan oleh manusia-manusia historis
dan karena itu ia menjadi bagian dari objek kajian ilmiah. Termasuk
dalam hal ini adalah produk-produk yang dihasilkan oleh aktor-
aktor agama seperti teks atau aktivitas-aktivitas keagamaan seperti
lembaga agama dan semacamnya. Segala produk pemikiran dan
aktivitas keagamaan biasanya berkelindan erat dengan aktivitas
politik, ekonomi, budaya dan kehidupan sosial yang semakin me-
nguatkan agama sebagai objek kajian ilmiah. Di bawah ini akan di-
paparkan secara singkat beberapa pendekatan ilmiah yang biasa
dilakukan dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama.

B. Beberapa Pendekatan
1. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah salah satu pendekatan yang cukup
“favorit” dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama. Pende-
katan ini merupakan pendekatan yang paling tua dan dipakai per-
tama kalinya untuk mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agama-
agama baik sebelum ilmu agama menjadi disiplin yang berdiri sen-
diri (otonom) atau sesudahnya. Dengan pendekatan historis, suatu
studi berusaha menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan
pranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembangan
historis tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yang
dimiliki agama untuk memperjuangkan (mempertahankan) dirinya
selama periode-periode itu. Menurut Frederick J. Streng, interpre-
tasi historis telah dibenarkan dengan daya tarik dokumentasi dan

Dr. Media Zainul Bahri 15


dengan klaim bahwa peristiwa-peristiwa historis diinterpretasikan
sebagai hasil peristiwa-peristiwa historis lain atau sebagai hasil ke-
kuatan-kekuatan manusia. Metode menginterpretasikan kehidupan
manusia ini merupakan suatu reaksi yang menentang interpretasi
doktrinal yang berdasar pada wahyu dan juga yang menentang
interpretasi filosofis yang berdasar pada asumsi-asumsi tentang sifat
manusia atau esensi realitas.
Sebelum menggunakan pendekatan sejarah, seorang peneliti
harus memahami benar apa itu sejarah dan bagaimana menulis
sejarah suatu agama. Juga terdapat perbedaan antara sejarah (his-
tory) dengan kisah sejarah (historical narrative) yang dipahami atau
diceritakan dari generasi ke generasi. Selama ini kita sering mende-
ngar kisah suatu sejarah tetapi yang didengar sesungguhnya rekon-
struksi sejarah bukan fakta sejarah, dan hanya berasal dari satu
sumber. Yang selama ini diterima oleh banyak orang sesungguhnya
adalah kisah sejarah, baik itu tentang kemunculan dan perkem-
bangan suatu agama atau non-agama. Dalam kisah-kisah yang
direkonstruksi itu terdapat konflik satu sama lain dan kontestasi
klaim-klaim. Setiap sejarawan memiliki kepentingan dan tujuan-
tujuan, apakah untuk melegitimasi atau menunjukkan identitas
tertentu.
Menulis suatu sejarah berarti merekonstruksi suatu episode
atau kejadian masa lalu untuk dihadirkan masa kini, untuk diper-
tanyakan, dilihat relevansi dan kepentingannya dengan masa kini.
Pada sisi lain, secara metodologi, penulisan sejarah menggunakan
banyak perspektif dan banyak sumber4 karena—sangat mungkin
kejadian itu memiliki beragam sumber, yang boleh jadi sama, boleh
jadi pula bertentangan. Sehingga hasil yang dipahami pada masa
kini juga bisa multiperspektif.
Penulisan sejarah tentang agama biasanya tergantung kepada
kisah-kisah yang disuguhkan oleh “orang dalam” atau “orang yang
terlibat” dengan agama itu. Sejauh mana ia bisa menghadirkan ke-
seluruhan konteks sejarah agamanya dan menunjukkan bukti-buk-

16 Wajah Studi Agama-Agama


ti yang kuat. Kisah-kisah yang direkonstruksi itu lalu dihadapkan
kepada rekonstruksi dan bukti lain yang kritis dari “orang luar.”5
Namun, selama ini bukti-bukti—dan yang lebih menonjol ada-
lah “keimanan” yang ditunjukkan oleh “orang yang terlibat” diang-
gap sebagai “kebenaran” dan merupakan fakta sejarah. Padahal,
untuk membuktikan kebenaran fakta sejarah secara ilmiah hal itu
membutuhkan kajian kesejarahan lebih mendalam dengan bantuan
ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang cukup penting itu harus dipahami
oleh seseorang yang akan menggunakan pendekatan kesejarahan.
Sejarah agama-agama mempunyai dua perhatian utama: (1)
melukiskan seobjektif mungkin kondisi-kondisi dan unsur-unsur
suatu situasi historis dan (2) mengenal bahwa perubahan-perubahan
dalam kehidupan manusia adalah akibat dari interaksi-interaksi dan
kondisi-kondisi historis yang mengitari peristiwa keagamaan.6
Menurut Mircea Eliade, penegasan bahwa fakta keagamaan
bersifat historis merupakan suatu hal yang sah, setiap fakta keaga-
maan selalu terkait dengan sejarah. Karena itu, jika seseorang mau
memahami fakta keagamaan, ia harus mencoba memahami sifat
historisnya. Dengan mengerti sifat historisnya itu, seseorang dapat
menunjukkan bagaimana suatu fakta dan makna keagamaan telah
dialami dan dihayati dalam tahap-tahap kebudayaan dan sejarah
tertentu, dan bagaimana makna itu telah berubah, entah diperkaya
atau dipermiskin.7
Hingga saat ini, studi sejarah agama terus berevolusi menjadi
kajian ilmiah yang bersikap kritis terhadap pemahaman kesejarahan
yang mapan. Kurt Rudolf, seorang ahli sejarah agama, menunjuk-
kan poin-poin penting yang harus dipahami dalam studi sejarah
agama:8
(1) Studi kesejarahan tentang agama adalah studi ilmiah tentang
suatu peristiwa keagamaan. Disebut “studi ilmiah” karena sejak
sejarah agama (the history of religions) menjadi ilmu yang oto-
nom (a science), maka tugasnya adalah refleksi kritis dan historis,
bukan bertujuan untuk propaganda atau menyebarkan pa-
ham, keyakinan dan klaim keagamaan. Sejarah agama sebagai

Dr. Media Zainul Bahri 17


kajian ilmiah seharusnya “bebas nilai secara relatif” dan hanya
mengejar objektivitas. Karena itu, dalam cahaya saintifik Barat,
sejarah agama tidak bisa menerima begitu saja sebuah hasil
dari metode fenomenologi, yaitu “memahami” (understanding,
atau Verstehen [bahasa Jerman]), maksudnya “pemahaman diri
tentang kebenaran keyakinan seperti yang dirasakan peme-
luknya.” “Kebenaran teologis” dari para penganut agama tidak
menjadi kriteria bagi sejarah agama untuk menemukan sebuah
kebenaran atau ketepatan yang objektif. Justru, sejarah agama
harus mengajukan sebuah aturan metode ilmiah, yaitu aturan
yang mensyaratkan sarjana dalam bidang ini untuk melakukan
“penjarakan secara kritis” atas klaim keyakinan teologis yang
berdasar keyakinan kebenaran sejarah versi “orang dalam.”
Tugas sejarah agama adalah untuk mengetahui lebih mendalam;
tegasnya tidak boleh mengalah kepada pemahaman keseja-
rahan yang sudah mapan dan pasif, juga tidak boleh berkurang
sedikit pun sikap kritisnya. Dalam pengertian inilah disiplin
sejarah agama berfungsi untuk “membebaskan” dan melaku-
kan kritik ideologi terhadap paham tradisional yang kaku dan
sikap serta pemahaman keagamaan yang naif. Dengan kata
lain, sejarah agama bekerja dengan cara investigasi ilmiah ter-
hadap data-data kesejarahan yang selama ini dijadikan landasan
keimanan oleh para pemeluk agama.
(2) Sejarah agama, saat ini, tidak bisa tidak harus bekerja sama
dengan disiplin ilmu lain yang terkait atau sangat terkait seperti
filologi, etnologi (antropologi), hermeneutik, sosiologi dan psi-
kologi. Ilmu-ilmu bantu ini, tidak saja memperkaya kajian seja-
rah agama, namun juga dapat “melawan” ambisi-ambisi teologi
dan filsafat agama yang tidak mampu bersikap kritis terhadap
sejarah keagamaan. Sejarah agama harus terus berdiskusi,
mengadopsi dan meminjam metode disiplin ilmu-ilmu bantu
di atas untuk menemukan sedalam-dalamnya kebenaran suatu
sejarah keagamaan yang selama ini diklaim secara mapan oleh
suatu agama. Sejarah agama adalah sejarah tentang keimanan

18 Wajah Studi Agama-Agama


orang-orang beragama, bukan tentang iman itu sendiri. Karena-
nya, berbicara tentang “orang-orang” berarti berbicara tentang
budayanya, kehidupan sosialnya, dan kejiwaannya. Khusus
untuk sosiologi, studi ini telah mendominasi kajian kesejarahan
agama dalam rentang waktu yang lama, seperti yang dilakukan
oleh Emile Durkheim, Max Weber, Peter L. Berger dan yang
paling mutakhir adalah Robert N. Bellah. Sejarah agama dan
sosiologi terkait erat karena manusia disebut sebagai homo re-
ligiosus dan pada saat yang sama ia juga homo sociologus. Sejarah
agama tidak akan meninggalkan “cahaya” sosiologi karena
agama sebagai objek kajian sejarah agama sesungguhnya adalah
agama dalam pengertiannya sebagai fenomena sosial.
(3) Sejarah agama lahir pada masa “pencerahan” (Enlightenment,
Aufklarung), di mana manusia mulai menemukan keagungan
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dan berusaha melepaskan
diri dari dogma dan tradisi yang membelenggu. Karena itu,
kalau pun sejarah agama harus berpihak, maka ia harus berpi-
hak kepada “pencerahan manusia” yaitu toleransi, objektivitas
ilmiah, penilaian yang kritis, melawan rasisme dan sektarianis-
me atau eksklusivisme, dan mengembangkan paham-paham
kemanusiaan. Dalam pengertian inilah sejarah agama dapat
berkontribusi dalam membangun kesadaran akan pentingnya
masa lalu bagi masa kini. Kesadaran kesejarahan (historical con-
sciousness) dapat meningkatkan pemahaman akan diri, mem-
bangun imaji masa lalu yang objektif demi kemanusiaan masa
kini, dan mengatasi model-model pemikiran yang sudah tidak
relevan lagi. Sejarah agama—dengan sikap kritisnya—akan
menunjukkan kepada umat manusia bahwa mereka memiliki
sejarah yang panjang dengan agama, dan (sejarah itu juga
menunjukkan) hidup mereka tidak sempurna tanpa agama.
Sejarah agama akan menunjukkan sosok manusia (human be-
ing) dengan segala kekayaan dan kompleksitasnya karena ia
bukanlah homo religiosus dengan tiba-tiba atau sejak lahir, me-
lainkan ia menjadi homo religiosus karena pada saat yang sama

Dr. Media Zainul Bahri 19


ia juga homo sociologus, homo sapiens, homo historicus, homo
technicus, homo ludens, homo educandum, homo recentis, homo
valens, homo aesteticus dan lain-lain. Manusia beragama dapat
terus menemukan makna agamisnya yang dinamis bersama-
sama dengan penemuan-penemuan baru dalam sejarah agama.
Model kritis ala Rudolph ini, meskipun ditulis dalam cahaya
saintifik Barat yang positivistik, namun inilah salah satu cara terbaik
untuk mendorong Studi Agama atau Perbandingan Agama dengan
pendekatan kesejarahan menjadi kajian ilmiah yang menarik dan
dinamis, dan tidak lagi perlu mengikatkan diri pada Fakultas atau
departemen/kajian suatu agama yang biasanya mengkaji agama de-
ngan tujuan dakwah/misionari.

2. Pendekatan Teologis
Pendekatan ini dalam rentang sejarah yang cukup lama meru-
pakan pendekatan yang paling dominan dan paling berpengaruh
dalam Studi Agama dan studi agama-agama (Perbandingan Aga-
ma), bahkan hingga hari ini meskipun tidak lagi mendominasi.
Selama berabad-berabad, teologi dianggap sebagai “Ratu Ilmu
Pengetahuan (Queen of the Sciences),” terutama di dunia Yahudi,
Kristen dan Islam. Inilah pendekatan yang bersifat normatif dan
subyektif. Dengan pendekatan ini seorang penganut suatu agama,
apakah itu Kristen, Islam atau agama lain ketika membuat studi
teologis biasanya ia melakukan satu dari dua hal: pertama, studi
internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti agama adalah orang
dalam (insider) yang berusaha secara aktif dalam kegiatan ilmiahnya
untuk melestarikan dan mempromosikan keunggulan agamanya
serta mempertahankannya dari ancaman atau serangan orang lain.
Kedua, eksternal. Dalam hal ini, seorang peneliti atau penganut
agama tertentu melakukan kajian terhadap agama/keyakinan orang
lain untuk “menilai” dan “menghakiminya” dengan ukuran agama
sang peneliti. Dulu, pendekatan ini disebut juga pendekatan teks-
tual atau pendekatan kitabi dengan sifat utamanya: apologis dan
polemis.

20 Wajah Studi Agama-Agama


Dalam sejarah Kristen misalnya, muncul teolog-teolog besar
seperti St. Augustinus dari Hippo dengan karyanya On Christian
Doctrine dan Confessions, Thomas Aquinas dengan Summa Theologica,
Paul Tillich dengan Systematic Theology, Karl Barth dengan magnum
oppus-nya Church Dogmatics, dan lain-lain. Mereka tidak semata
membuat karya teologi yang mempromosikan, mempertajam dan
memperdalam keunggulan ajaran Kristen, namun juga melakukan
penilaian terhadap agama lain. Thomas Aquinas misalnya mengajar-
kan bahwa semua agama di luar Kristen adalah palsu. Kita bisa
membaca berjilid-jilid karya teolog-teolog Kristen dari abad perte-
ngahan hingga modern dengan model teologis yang apologetik.
Begitu pula dalam sejarah Islam. Kita bisa membaca karya-
karya teologi pra dan di abad pertengahan seperti al-Ghazali dengan
salah satu karyanya, al-Qawl al-Jamîl Fi Radd ‘alâ Man Ghayyara
al-Injîl, Ibn ‘Arabi dengan al-Futûhât al-Makkiyyah, ‘Ali Ibn Hazm
melalui al-Facl Fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal, Abdul Karim
Syahrastani melalui al-Milal wa al-Nihal, Ibnu Taymiyyah melalui
al-Jawâb al-Sahîh Liman Baddala Dîn al-Masîh. Karya-karya ini juga
tidak semata mendeklarasikan kesempurnaan Islam namun juga
melucuti “kecacatan” agama-agama lain. Di masa kini karya-karya
serupa menyeruak lebih banyak lagi.

Teologi vis-a-vis Studi Agama


Seperti telah disebut tugas seorang teolog adalah mempromo-
sikan keunggulan tradisi agamanya dan meyakinkan orang bahwa
doktrin dan ajaran agama tersebut dapat memberi makna dan ha-
rapan dalam hidup yang tak menentu. Namun lebih dari itu, se-
orang teolog juga dapat mendiskusikan isu-isu penting yang kon-
tekstual seperti lingkungan hidup, perubahan iklim global, hak asasi
manusia, problem dalam toleransi dan intoleransi, tiadanya harapan
bagi manusia yang termarginalkan dan lain-lain. Semua isu itu di-
beri nilai teologi. Atau sejauh mana doktrin-doktrin teologis dapat
merespons isu-isu penting itu. Namun, tetap saja seorang teolog

Dr. Media Zainul Bahri 21


adalah “orang dalam” yang sedang menginterpretasikan pan-
dangan-pandangan teologisnya.
Disiplin studi agama atau Perbandingan Agama berbeda dengan
tugas teologi di atas, setidaknya itulah yang terjadi (diinginkan) di
perguruan tinggi di Barat yang memiliki departemen Studi Agama.
Sarjana studi agama harus didesain untuk tidak menjadi “orang
dalam” dalam tradisi agama apapun. Tugasnya adalah melakukan
kajian ilmiah atas tradisi keagamaan dengan pendekatan-pende-
katan ilmiah tertentu, apakah dengan pendekatan fenomenologi,
sejarah, sosiologi, antropologi, hermeneutik dan lain-lain. Maka,
seorang sarjana bukanlah “orang dalam” yang sedang memainkan
peran sebagai seorang teolog yang berbicara kepada audiens agama
tertentu. Meskipun seorang sarjana Studi Agama adalah orang yang
agamis atau memiliki ketaatan dalam agama tertentu, tetapi ia harus
menghindari peran “normatif” seorang teolog. Ia harus menghin-
dari untuk “menilai,” “menentukan,” dan “mempromosikan” nilai-
nilai, norma dan klaim atas tradisi agama yang ditelitinya.9 Tugasnya
adalah membuat klasifikasi dan menganalisis klaim-klaim dan kon-
teks-konteks di sekitar tradisi itu, apakah sejarahnya, budayanya,
atau interaksi sosialnya yang melahirkan pandangan dan klaim
teologi itu.
Memang, di sini harus dipahami perbedaan mendasar antara
agama (religion), studi agama (the study of religion), dan menjadi
agamis (being religious).10 Banyak sarjana, mahasiswa, dan terutama
orang awam yang kebingungan untuk membedakan tiga poin itu,
dan juga dalam praktiknya. Di Indonesia, hampir semua sarjana
agama yang melakukan studi ilmiah terhadap agama— bahkan
menjadi profesor dalam studi agama (tertentu), namun di saat yang
sama sering kali ia menjadi teolog di tengah-tengah masyarakat atau
komunitasnya. Ketika berbicara di depan publik juga, ia “menyatu-
kan” sikap antara sebagai seorang sarjana yang berusaha menjelas-
kan analisis ilmiahnya sekaligus pula membuat “nilai” “menentu-
kan,” dan “mempromosikan” tradisi keagamaannya. Sikap ini se-
rupa dengan sikap teolog-teolog Kristen di Barat, juga di Asia pada

22 Wajah Studi Agama-Agama


era 1950-an hingga 1990-an. Namun di Barat kini secara gradual
sudah ada pembedaan yang tegas antara figur-figur teolog dan sar-
jana studi agama dengan melihat kiprah dan karya-karya mereka.
Menjadi sarjana agama yang mahir tentang agama tidak harus
menjadi teolog (orang dalam), sebagaimana juga seorang yang aga-
mis tidak berarti tidak bisa menjadi ahli kajian ilmiah agama. Hal
itu sesuai dengan adagium bahwa “untuk mahir mengajar biologi
tidak harus menjadi kodok atau ikan terlebih dahulu.” Saat ini,
ketika studi agama atau Perbandingan Agama didekati dengan multi
pendekatan disiplin ilmiah, maka yang mengajar studi agama tidak
harus seseorang yang terlatih dalam disiplin ilmu itu. Sosiolog, an-
tropolog, ahli ilmu politik, psikolog, filsuf, dan ahli ilmu budaya
dapat mengajar studi agama atau Perbandingan Agama dengan
pendekatan atau perspektif keahlian ilmunya. Memang, agama
adalah objek utama untuk studi agama, namun kajiannya tidak
lagi didominasi oleh hanya sarjana-sarjana dalam disiplin ilmu
agama.11

3. Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan fenomenologis yang bermula dari cara berfilsafat
yang didirikan oleh Edmund Husserl kemudian hari dipergunakan
pula dalam berbagai bidang disiplin lain, termasuk Perbandingan
Agama. Joachim Wach mengatakan bahwa Fenomenologi Agama
bertujuan memahami ide-ide, kegiatan-kegiatan, tingkah laku, dan
pranata-pranata keagamaan dengan menangkap maksudnya tanpa
mendasarkan diri pada teori-teori yang sudah dipergunakan sebe-
lumnya entah itu teori teologis, filosofis, metafisis, atau psikologis.12
Fenomenologi, seperti telah disebut di muka, awalnya adalah
istilah filsafat yang dibangun oleh Edmund Husserl (1859-1938)13
dalam melihat fenomena: gejala yang tampak atau yang menam-
pakkan diri. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang
apa yang tampak (phainomenon).14
Namun, apa yang sesungguhnya disebut fenomena dalam fil-
safat Husserl, bukan hanya “apa yang menampakkan diri dalam

Dr. Media Zainul Bahri 23


dirinya sendiri,” apa yang menampakkan diri seperti apa adanya,
apa yang jelas di hadapan kita—sehingga para pengikut aliran ini
memopulerkan slogan mereka, “Zurück zu den Sachen selbst, back
to the thinks themselves” (kembalilah kepada benda-benda sendiri)—
melainkan juga apa yang bisa diserap secara ruhani, tanpa lewat
indra, dan tidak mesti berupa sebuah peristiwa.15Jadi, filsafat ini
mau mencari meaning (numena) dari apa yang sekadar tampak
(fenomena).
Filsafat fenomenologi ini besar sekali pengaruhnya di Eropa
dan Amerika, tak terkecuali terhadap ilmuwan-ilmuwan agama di
atas, yang kemudian melahirkan sebuah disiplin ilmu yang populer
disebut fenomenologi agama. Dalam konteks memahami agama
orang lain, metode fenomenologis adalah sebuah usaha melihat
secara utuh dan menyeluruh pelbagai gejala-gejala keagamaan yang
dimanifestasikan dalam bentuk ide, pengalaman dan ritual-ritual
para pemeluknya, untuk kemudian didata, diklasifikasi dan dike-
lompokkan dengan teknik ilmiah tertentu, sehingga diperoleh pan-
dangan yang menyeluruh dan utuh dari isi dan bentuk ritual-ritual
yang dilakukan, kemudian ditangkap dengan sangat benar makna
agamis (religious meaning) yang dikandungnya16 (tentu dalam per-
spektif pemeluknya).
Alat utama yang digunakan dalam pendekatan model ini adalah
apa yang disebut dengan “epoche” dan “eiditik vision”. Epoche adalah
sebuah istilah yang digunakan Husserl yang berarti “menangguh-
kan memberikan penilaian terhadap persoalan kebenaran dari gejala
keagamaan, menunjukkan sikap tidak memihak, mendengarkan
dengan serius untuk mencapai pemahaman yang benar tentang
gejala-gejala keagamaan orang lain/luar.”17 Sementara eidetic vision
adalah “the research for the eidos: the essence of the religious fact.”18
(pencarian yang berkenaan dengan eidos (inti sari): yakni esensi
tentang fakta-fakta keagamaan).
Ringkasnya, “epoche,” bagi seorang peneliti gejala keagamaan
orang lain, adalah: (1) sebuah sikap menangguhkan memberikan
penilaian tentang benar atau salah dari gejala-gejala keagamaan yang

24 Wajah Studi Agama-Agama


diteliti, karena memberikan penilaian (benar atau salah) biasanya
dilakukan oleh Teologi dan Filsafat Agama, bukan oleh Fenome-
nologi Agama. Sikap ini dibarengi pula dengan melepaskan segala
praduga dan asumsi yang ada sebelumnya terhadap objek. (2) ber-
sikap netral/tidak memihak, (3) mendengarkan secara serius apa
yang sesungguhnya menjadi makna agamis (religious meaning) dan
adanya pengalaman spiritual (spiritual experience) dari gejala-gejala
keagamaan yang tampak. Dengan sikap seperti ini, maka akan me-
mudahkan peneliti menemukan eidos: esensi mengenai fakta atau
fenomena keagamaan yang ditelitinya.
Seorang fenomenolog, dengan kata lain, berarti orang luar (out-
sider) yang berusaha memahami agama orang lain, dengan cara
masuk ke dalam; menanggalkan dan meluruhkan (“epoche”, stop-
ping) segala asumsi, praduga, penilaian dan pengetahuan
sebelumnya mengenai agama yang hendak dipahami, dan mem-
biarkan objek berbicara tentang dirinya sendiri hingga dapat dike-
tahui dengan benar dan jelas inti sari (eidos) objek.
Dalam menyelidiki fakta keagamaan, dengan pendekatan fe-
nomenologis orang tidak lagi bertitik-tolak dari rumusan-rumusan
atau teori-teori tertentu melainkan dari fakta, data, dan gejala-gejala.
Apa yang mesti digarap adalah onggokan perbuatan, kepercayaan,
dan sistem-sistem yang secara bersama-sama membentuk gejala-
gejala keagamaan. Pendekatan fenomenologis membiarkan gejala-
gejala keagamaan “berbicara untuk dirinya sendiri” (speak for them-
selves) dengan melemparkan jauh-jauh segala yang subjektif, pra-
sangka, teori, dan hal-hal yang kebetulan, dan membatasi diri pada
pengamatan gejala-gejala. Penundaan penilaian (“epoche”) mempu-
nyai peranan yang terpenting dalam pendekatan ini.
Tugas utama Fenomenologi Agama ialah menjelaskan struktur-
struktur inti gejala-gejala keagamaan. Fenomenologi Agama meru-
pakan pendekatan sistematis dan komparatif yang mencoba meng-
gambarkan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam berbagai ma-
cam gejala keagamaan. Unsur yang sama ini adalah makna inti yang
terdapat di dalamnya. Makna inti ini hanya dapat dipahami lewat

Dr. Media Zainul Bahri 25


penggabungan pengetahuan tentang fakta-fakta historis dengan
suatu simpati, empati, dan “perasaan” (feeling) terhadap data-data
keagamaan.
Secara teknis, untuk mendapatkan informasi yang benar ten-
tang pengalaman keagamaan yang valid, Spickard merekomen-
dasikan empat langkah dalam memakai metode fenomenologis,
yaitu (1) Menempatkan informan kita dalam suatu tempat yang
tepat, lalu mewawancarainya untuk berbagi pengalaman spiritual
yang direguknya, (2) Membantu informan itu untuk berkonsentrasi
dan menjelaskan secara pasti bagaimana pengalaman spiritual itu
hadir di dalam kesadarannya. Diusahakan juga agar “suara-suara”
rendah atau “bisikan-bisikan” yang tidak penting dapat dihindari,
dan hanya fokus kepada apa “yang sesungguhnya” terjadi. Dengan
kata lain, hanya fokus pada kesejatian pengalaman keagamaannya.
(3) Melakukan komparasi dan menganalisis data-data yang didapat
untuk mengidentifikasi struktur-struktur pokok dari pengalaman
itu, dan (4) Melakukan penggambaran ulang dan meringkas peng-
alaman keagamaan tersebut.19Jadi, mendengarkan dengan serius
apa yang menjadi pemahaman dan pengalaman informan dalam
keseluruhan sikap dan kesadarannya. Lalu, kita membuat pemi-
lahan, pembagian dan identifikasi data-data yang didapat untuk
dicapai satu pengertian dan pandangan yang utuh mengenai subjek
yang diteliti.
Selanjutnya, fenomenologi, dalam proses kerjanya, bersinergi
dengan sejarah agama dan disiplin sejarah lainnya. Keduanya ba-
gaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Apa yang disebut
dengan fenomenologi agama atau metode fenomenologis, inheren
di dalamnya sejarah agama-agama. Tanpa sejarah fenomenologi ti-
dak akan bekerja dengan sempurna dan makna agamis yang menjadi
target yang hendak dicapai tak akan tertangkap secara utuh. Selain
makna agamis dan pengalaman spiritual yang diungkapkan, konteks
kesejarahan di mana ajaran atau doktrin itu pertama kali muncul
atau di “wahyukan” sangat penting untuk (diketahui) kelengkapan
data. Oleh karenanya, model ini sering kali disebut dengan Feno-

26 Wajah Studi Agama-Agama


menologi Historis Agama. Kerja sama, analogi dan hubungan timbal
balik keduanya, secara gamblang ditegaskan oleh Raffaele Pettaz-
zoni (1883-1959), sejarawan agama Italia, dalam kutipan berikut:
“Fenomenologi dan sejarah saling melengkapi satu sama lain.
Fenomenologi tak dapat bekerja tanpa etnologi, filologi dan disiplin
sejarah lainnya. Fenomenologi, di lain pihak memberikan kepada
ilmu sejarah, pengertian keagamaan yang tak dapat dicapai olehnya.
Bila kita mengerti demikian, maka fenomenologi agama adalah pe-
mahaman (Verständniss) religius mengenai sejarah; adalah sejarah
dalam dimensi religiusnya. Fenomenologi dan sejarah bukanlah dua
ilmu melainkan dua aspek yang saling melengkapi dari suatu ilmu
yang menyeluruh mengenai agama, dan ilmu agama yang demikian
ini mempunyai suatu ciri yang pas yang ditentukan baginya oleh
objek penyelidikannya yang khas.”20
Model fenomenologis ini merupakan pendekatan yang sangat
banyak diminati oleh para peminat Perbandingan Agama, bahkan
James Spickard menyebutnya sebagai pendekatan yang super-kuat
(powerfull) dalam studi agama-agama, padahal di saat yang sama
banyak orang yang tak paham tentang pendekatan fenomenologi
ini.21 Pendekatan ini sangat lazim disukai karena dianggap sangat
membantu dalam memahami agama dan kehidupan (pengalaman)
keagamaan orang lain.

4. Pendekatan Komparatif
Selain pendekatan sejarah dan fenomenologi, pendekatan kom-
parasi juga sangat diminati oleh para mahasiswa, peneliti dan ahli
Perbandingan Agama, karena salah satu tugas Ilmu Perbandingan
Agama adalah mem(per) bandingkan agama-agama. Marc Bloch,
sejarawan Prancis, seperti dikutip oleh Michael Stausberg, meng-
gambarkan empat proyek studi perbandingan, yaitu: (a) penya-
ringan (selection); bagaimana melakukan seleksi terhadap beberapa
fenomena atau lingkungan sosial yang berbeda, (b) menggambarkan
garis-garis evolusi fenomena atau keadaan sosial itu, (c) melakukan
pengamatan atas kesamaan dan perbedaan-perbedaan di antara me-

Dr. Media Zainul Bahri 27


reka, dan (d) sejauh kemungkinan yang dapat dicapai adalah mem-
beberkan penjelasan dan analisis kritis. Studi perbandingan ini telah
dipakai oleh banyak sekali bidang ilmu, termasuk ilmu sosial dan
ilmu humaniora.22
Menurut Stausberg, perbandingan sesungguhnya merupakan
aktivitas kognitif umum yang dilakukan manusia di mana saja, baik
secara eksplisit maupun implisit. Dalam ranah akademis, Stausberg
lebih condong untuk menyebut bahwa studi perbandingan sesung-
guhnya lebih tepat disebut sebagai desain penelitian (research de-
sign), namun banyak sarjana sudah telanjur menyebutnya sebagai
metode, yaitu metode perbandingan (the comparative method). Ka-
rena itu, metode komparatif telah melekat kuat dan selalu menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari Metode Penelitian (research meth-
ods). 23
Dalam Perbandingan Agama, tugas membandingkan dilaku-
kan dengan menempatkan gejala-gejala keagamaan yang paralel
dari agama-agama yang dikaji secara berdampingan, dan memban-
dingkan gejala-gejala itu untuk mengetahui strukturnya. Langkah
awal yang harus dilakukan ialah mencari “keparalelan” gejala-gejala
atau bentuk-bentuk keagamaan yang spesifik dari agama-agama
yang akan dibandingkan, karena perbandingan tidak dapat dila-
kukan kecuali antara gejala-gejala atau bentuk-bentuk “yang para-
lel,” yang mempunyai kesejajaran, atau kesamaan. Dengan cara
ini, misalnya ide tentang Tuhan dalam suatu agama dibandingkan
dengan ide tentang Tuhan dalam agama lain. Ide tentang wahyu
dalam suatu agama dibandingkan dengan ide tentang wahyu dalam
agama lain. Tokoh sentral dalam suatu agama, dibandingkan de-
ngan tokoh sentral dalam agama lain. Kitab Suci suatu agama diban-
dingkan dengan kitab suci dalam agama lain. Korban dalam suatu
agama, dibandingkan dengan korban dalam agama lain, dan sete-
rusnya.
Menurut Kautsar Azhari Noer, dalam praktiknya, metode per-
bandingan ini sering menemukan kesulitan, bahkan jalan buntu,
ketika berusaha menetapkan mana gejala-gejala atau bentuk-bentuk

28 Wajah Studi Agama-Agama


keagamaan yang paralel dari agama-agama yang hendak dibanding-
kan. Kautsar (2001) memberi tiga contoh gejala keagamaan yang
diperbandingkan, yaitu nirwana dalam Buddhisme, al-Qur‘an da-
lam Islam, dan trikarya dalam Buddhisme Mahayana.24
Sebagaimana telah disinggung bahwa perbandingan tidak da-
pat dilakukan kecuali antara gejala-gejala atau bentuk-bentuk keaga-
maan “yang paralel” dari agama-agama yang hendak dibandingkan,
maka ide tentang Tuhan harus dibandingkan dengan ide tentang
Tuhan, ide tentang wahyu dengan ide tentang wahyu, kitab suci
dengan kitab suci, tokoh sentral dengan tokoh sentral dan seterus-
nya. Akan tetapi, dalam tulisan Kautsar mengenai usaha-usaha
membandingkan nirwana, membandingkan al-Qur`an dan mem-
bandingkan trikaya, muncul kesulitan ketika menetapkan mana
bentuk-bentuk yang paralel yang hendak dibandingkan. Menurut
Kautsar, kesulitan ini tampaknya berasal dari keunikan bentuk-
bentuk keagamaan yang ada dalam struktur-struktur berbagai aga-
ma yang berbeda. Ada bentuk-bentuk yang paralel antara beberapa
agama dan ada bentuk-bentuk yang tidak paralel karena keunikan
masing-masing. Bentuk-bentuk yang paralel dapat dibandingkan,
bentuk-bentuk yang tidak paralel tidak dapat dibandingkan.25
Untuk mengetahui mana bentuk-bentuk yang paralel dan ma-
na bentuk-bentuk yang tidak paralel, para pengkaji terlebih dulu
harus memahami dengan tepat bentuk-bentuk itu dalam masing-
masing agama yang dipelajari. Di sini kita kembali kepada prob-
lem klasik perbandingan agama yang harus diatasi: “Apakah orang
dapat memahami agama yang bukan agamanya sendiri?” Jika per-
soalan ini belum teratasi, perbandingan antara agama-agama yang
dipelajari mustahil dilakukan. Untuk memahami agama-agama
lain, seperti yang dikatakan di atas, Kautsar memilih metode per-
sonalis atau dialogis yang diusulkan Smith, meskipun metode kon-
templatif yang disulkan Florida adalah yang terbaik secara ilmiah.
Di sini tampak bahwa membandingkan bentuk-bentuk keagamaan
antara berbagai agama bukanlah tugas yang ringan karena sebelum

Dr. Media Zainul Bahri 29


tugas ini dilakukan, harus dipahami terlebih dulu bentuk-bentuk
yang hendak dibandingkan itu.
Ketidaktepatan, apa lagi kekeliruan, dalam menetapkan ben-
tuk-bentuk yang paralel yang hendak dibandingkan membawa ke-
keliruan dan kekacauan pemahaman. Akan tetapi, ketepatan dalam
menetapkan mana bentuk-bentuk yang paralel membuka peluang
yang lebih besar bagi ketepatan perbandingan dan akhirnya mem-
berikan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih akurat. Da-
lam hal ini harus ditetapkan mana persamaan-persamaan yang
mendalam dan esensial dan mana-mana persamaan yang dangkal
dan longgar. Di samping itu, harus dijaga keseimbangan antara
pencarian persamaan-persamaan dan pencarian perbedaan-per-
bedaan. Perbandingan yang simplistik harus dihindari. Usaha mem-
buat generalisasi yang tergesa-gesa adalah bahaya lain yang harus
dihindari pula. Karena itu, metode komparatif ini harus dilakukan
dengan sangat hati-hati.26

5. Pendekatan Perenial
Perenialisme atau filsafat perenial telah lama dijadikan pende-
katan dalam memahami asal-usul wahyu keagamaan, aspek onto-
logis dan epistemologis agama dan akhirnya memahami perbedaan
bentuk-bentuk agama historis dan titik-temu esoterik agama-
agama. Saya kira penting untuk memahami sejarah formulasi filsa-
fat perenial secara singkat dan kemudian membedah isinya. Filsafat
perenial atau dalam bahasa Latin populer disebut philosophia perennis
adalah filsafat tentang Yang Abadi dan Sejati yang memiliki daya
tahan (enduring) dan tahan lama dalam keabadiannya (ever lasting)
dan telah (atau selalu) diwariskan dari generasi ke generasi.27
Menurut Charles Schmitt, banyak orang menyangka bahwa
filsafat perenial berasal dari Leibniz, karena ia memang sering meng-
gunakan istilah itu dalam sebuah surat untuk temannya, Remundo,
yang banyak dikutip orang, tertanggal 26 Agustus 1974. Namun,
sebuah penelitian yang lebih cermat membuktikan bahwa istilah
philosophia perennis sudah digunakan orang jauh sebelum Leibniz,

30 Wajah Studi Agama-Agama


bahkan menjadi judul sebuah buku yang terbit tahun 1540, ditulis
oleh seorang pengikut Augustinus, dari Italia: Agostino Steuco
(1490-1548). Meskipun besar kemungkinan Steuco adalah orang
pertama yang memunculkan istilah itu, dan secara pasti adalah
orang pertama yang memberinya makna yang kompoleks dan siste-
matis, namun ia berangkat dari sebuah tradisi filsafat yang sudah
berkembang mapan. Dari tradisi tersebut kemudian ia mencoba
memformulasikan sintesis terhadap filsafat, agama, dan sejarah yang
ia beri nama philosophia perennis.28
Menurut Steuco seperti dikutip oleh Schmitt, filsafat perenial
menegaskan adanya “prinsip tunggal dari segala sesuatu” yang satu
dan selalu sama dalam pengetahuan semua manusia. Terdapat se-
buah kesejatian tunggal atau Hikmah tunggal yang ada dan akan
selalu ada, yang sudah sangat tua setua umur manusia itu sendiri,
atau filsafat yang sudah ada “bahkan semenjak awal munculnya
spesies manusia.” Pengetahuan perenial itu bermakna pula adanya
kesamaan abadi yang tak tereduksi oleh pergeseran ruang dan wak-
tu. Menurut Steuco, yang perlu mendapat penekanan adalah “kon-
tinuitas” sejarah. Perubahan memang terjadi, namun hal itu hanya
bersifat minor jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang tetap.
Sebenarnya Steuco juga berbicara tentang progress, namun dalam
pengertiannya yang tak lebih dari “gerak ke depan,” atau “perkem-
bangan” waktu. Perenialisme mengajarkan hanya satu kesejatian
tunggal yang mencakup semua periode sejarah, yang meskipun
tidak selalu menampakkan diri secara mencolok dalam setiap perio-
de sejarah, namun pasti akan dapat ditemukan oleh orang-orang
yang bersungguh mencarinya.29
Steuco banyak memakai ide-ide Yunani tentang degradasi terus-
menerus dalam sejarah manusia. Pengetahuan misalnya, telah meng-
alami tiga tahap degradasi: pertama, ia sempurna, diturunkan secara
langsung dari Tuhan kepada manusia. Kemudian menjadi kabur
dan terpecah-pecah, dan akhirnya hilang dan hanya tampak sebagai
dongeng atau mimpi. Sesuatu yang pernah diketahui secara pasti
pada zaman dahulu, menjadi semakin kabur dan terlupakan semua-

Dr. Media Zainul Bahri 31


nya, atau hanya menjadi dongeng atau mitos. Kesejatian dan Hik-
mah merupakan sebuah paket yang telah dikemas dengan lengkap,
ditransmisikan dari generasi ke generasi umat manusia, dimulai
dari Adam. Dalam proses perjalanan waktu pengetahuan tersebut
mengalami pemudaran, dan hanya dapat dipertahankan dengan
paling baik menurut Steuco, melalui Prisca Theologia.30
Kata Priscus barangkali lebih tepat diterjemahkan dengan “sela-
lu diwariskan” (venerable). Prisca merujuk kepada “para filosof dan
teolog yang saling berkesinambungan.” Kontinuitas atas pengeta-
huan abadi dan sejati para filsuf menurut Schmitt, sama sekali tidak
terjadi secara kebetulan, karena memang kesejatian berasal dari
sumber mata air yang sama, namun muncul dalam bentuk manifes-
tasi yang beragam. Diwahyukannya kesejatian sudah berlangsung
sejak zaman kuno, karena itu berulang-ulang Steuco dan para peng-
anut filsafat perenial menegaskan bahwa Hikmah, Keabadian dan
Kesejatian telah ada sejak azali, sejak zaman awal manusia, dan ke-
mudian ditransmisikan kepada generasi-generasi selanjutnya.31
Filsafat perenial mengajarkan bahwa Realitas Ultim, Yang Ilahi
(secara ontologis) adalah tanpa nama, sesuatu yang tak terjangkau,
di mana tak satu pun ungkapan dapat menunjuknya,32 namun pada
saat yang sama filsafat ini memiliki epistemologi bahwa Tuhan juga
dapat dijangkau dengan pemahaman akal. Dengan kata lain, Rea-
litas Ultim adalah Godhead, Esensi, Tao, Brahman, Energi, Kesadaran,
atau sebutan-sebutan lain yang sejenis. Bagi-Nya, ada sifat-sifat
sekaligus tidak ada sifat. Dengan memperhatikan sifat-sifat-Nya,
maka Ia adalah wujud yang personal, material dan benar-benar
ada dalam ruang dan waktu. Namun, Ia juga dapat muncul dalam
karakter yang impersonal, non-material, dan di luar jangkauan di-
mensi ruang dan waktu. Ia di dalam kita, di sekitar kita, dan bahkan
diri kita sendiri; namun Ia juga sekaligus sepenuhnya di luar kita,
dan secara esensial sama sekali bukan kita. Banyak yang dapat dika-
takan tentang-Nya, namun tak satu pun juga kata dapat menyata-
kan-Nya.33

32 Wajah Studi Agama-Agama


Frithjof Schuon membuat empat perbedaan fundamental an-
tara Yang Absolut dan yang relatif, atau antara Yang Tak-Berhingga
dengan yang berhingga, atau antara Atma dengan Maya. Bentuk
pertama mengekspresikan Esensi Tunggal secara a priori, “Good-
head” menurut Eckhart, Beyond Being. Bentuk kedua mengekspre-
sikan Tuhan yang personal, yang secara “Absolut-Relatif,” dan dalam
pengertian tertentu juga mencakup keseluruhan wilayah relativitas
hingga batas akhir proyeksi kosmogonis.34 Perbedaan pertama ini
relevan dengan penjelasan diatas dan banyak mendapat perhatian
dari para peminat filsafat perenial.
Dalam diskursus filsafat perenial, Schuon membuat kategori
yang kompleks dan jelas mengenai dua aspek agama, yaitu esote-
risme dan eksoterisme. Dua kategori ini sebagai konsekuensi dari
penjelasan mengenai Realitas Yang Ultim, terutama pada aspeknya
yang epistemologis, menjadi salah satu pendekatan dalam studi
agama, terutama ketika memahami perbedaan dan titik temu serta
kesatuan esensial agama-agama.
Esoterisme adalah dimensi dalam atau inti agama. Sedangkan
Eksoterisme biasanya diartikan sebagai aspek luar, eksternal, for-
mal, dogma, ritual, etika atau moral sebuah agama sebagai kebalikan
dari esoterisme sebagai inti terdalam agama.
Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi; keduanya ba-
gaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Esoterik bagai-
kan “hati” dan eksoterik ibarat “badan” agama.35 Kehidupan keaga-
maan yang eksoterik ada pada dunia bentuk (a world of forms),
namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless
Essence) atau yang esoterik. Dimensi esoterik berada di atas atau
melampaui dimensi eksoterik.
Esoterisme adalah inti terdalam agama yang mengejawantah
dalam bentuk eksoterik dan sekaligus menjamin perkembangan
(bentuk agama itu) secara normal dan dalam stabilitas yang maksi-
mal. Esoterisme merupakan pancaran sinar tetapi sekaligus tabir
bagi eksoterisme.36 Jika suatu agama, tepatnya para pemeluk agama
yang bersangkutan, menolak keberadaan inti atau yang esoterik

Dr. Media Zainul Bahri 33


karena ketakpercayaannya atau ketakpahamannya terhadap dimen-
si ini, maka, menurut Schuon, bangunan agama itu akan bergun-
cang, bahkan mengalami kehancuran bagian demi bagiannya. Yang
tinggal hanya unsur-unsurnya yang paling luar saja, yakni sekadar
kata-kata kosong dan sentimentalitas belaka.37
Sebab itu bagi Schuon, eksoterisme membutuhkan esoterisme
karena dua hal. Pertama, dengan sebab esoterisme, eksoterisme da-
pat muncul dan mewujud secara normal. Maksudnya, esoterisme,
sebagai inti, berfungsi menyuplai darah segar yang merupakan
sumber hidup bagi bentuk atau eksoteris agama. Tanpa inti ini,
eksoterisme terpaksa hanya bersandar dan tergantung pada dirinya
sendiri yang terbatas. Kedua, karena keterbatasan merupakan ka-
rakteristik utama dari eksoterisme, dan hal itu memang telah meli-
puti seluruh dirinya, maka jika eksoterisme tercabut dari dimensi
inti (esoterik)-nya, ia hanya menjadi semacam badan yang padat
dan gelap, yang karena kepadatannya sendiri akan menyebabkan
keretakan. Eksoterisme akhirnya hanya akan terkungkung oleh
berbagai akibat lahiriah dari keterbatasannya sendiri.38
Dengan demikian, bagi Schuon, eksoterisme tidak memiliki
kepastian mutlak; ia bersifat relatif. Dalam sebuah rumusan yang
dibuatnya, Schuon meyakini bahwa kebenaran sejati dan absolut
tidak mungkin dapat ditemukan hanya pada sebuah bentuk atau
perwujudan yang mungkin (ada). Logikanya, setiap kebenaran yang
diungkapkan pasti memiliki bentuk tertentu, yakni perwujudan-
nya, dan dari segi metafisik, mustahil suatu bentuk mesti memuat
semua nilai kebenaran sehingga meniadakan bentuk-bentuk lain-
nya. Menurut pengertiannya, suatu bentuk pasti bersifat terbatas,
karena itu tidak mungkin suatu bentuk merupakan satu-satunya
perwujudan (dari Kebenaran) yang mungkin dari apa yang diung-
kapkannya. Menurut pengertiannya pula, suatu bentuk pasti me-
ngandung makna kekhususan atau pembedaan. Yang bersifat khu-
sus hanya mungkin dipahami sebagai bentuk dari suatu species,
yakni suatu kategori yang menghimpun kombinasi dari berbagai
bentuk yang serupa. Apa yang bersifat terbatas, menurut penger-

34 Wajah Studi Agama-Agama


dan metode yang digunakan. Pertama, ada suatu dasar epistemo-
logis yang penting. Dalam mempelajari suatu agama lain yang
bukan agama sendiri, sumber pengetahuan tentang agama itu bu-
kan hanya berasal dari “thing,” tetapi juga dari para penganut agama
itu sendiri. Kedua, masalah audensi harus diperhatikan. Untuk siapa
sebuah buku ditulis? Karena isi tulisan sebagian ditentukan oleh
pengalaman penulis dan sebagian lagi oleh pengalaman (keadaan)
audiensinya. Dalam dunia modern saat ini sebuah buku tidak
mungkin ditulis untuk masyarakat tertentu. Buku yang ditulis khu-
sus untuk masyarakat tertentu pasti akan dibaca juga oleh masyara-
kat lain, terutama oleh masyarakat yang diceritakan dalam buku
itu. Misalnya, seorang Muslim menulis tentang Barat, atau Kristen
atau umat Kristen, meskipun dalam bahasa Arab atau Urdu, atau
bahasa lain, dan ditujukan kepada masyarakat Islam, tetap saja akan
dipelajari dan dianalisis oleh sarjana-sarjana Barat, dan hasilnya akan
diterbitkan. Hal ini akan memberi pengaruh bukan hanya terhadap
tulisan orang Muslim sendiri, tetapi juga terhadap orientasi Barat
kepada Islam.53
Hal lain yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan
audensi ialah bahwa pernyataan tentang suatu agama tidak valid
jika tidak diakui oleh penganut agama itu sendiri.54 Orang-orang
non-Kristen bisa saja menghasilkan tulisan yang otoritatif tentang
sejarah gereja, namun sebaik, secermat, atau sebijak apa pun, mere-
ka sama sekali tidak bisa membantah orang-orang Kristen menge-
nai bagaimana keimanan atau kesyahduan Kristen terhadap gereja.
Hal yang sama berlaku pula bagi semua agama lain. Apa pun yang
dikatakan tentang Islam sebagai agama yang hidup adalah valid
hanya sejauh bisa diterima oleh orang-orang Muslim sendiri.55
Langkah kedua adalah bahwa pengamat (peneliti) harus memi-
liki suatu sifat yang dipersonalisasikan (personalized quality). Dulu
seorang sarjana, secara ideal, dipandang sebagai orang pandai aka-
demis yang tak memihak, yang meneliti bahan-bahan penelitian-
nya itu secara impersonal, dan yang melaporkannya secara objektif.
Konsep seperti itu adalah karakteristik tradisi akademis Eropa Barat

40 Wajah Studi Agama-Agama


abad ke-19. Seseorang tidak bisa meremehkan tradisi itu atau hasil-
hasil yang telah mereka capai dalam studi ini (Perbandingan
Agama) maupun dalam bidang-bidang lain.
Langkah ketiga adalah jika penulis dan apa yang ditulisnya telah
menjadi personal, maka hubungan antara keduanya juga harus per-
sonal. Terjadi perjumpaan antara keduanya. Jika komunitas ma-
nusia bertemu, muncullah kebutuhan untuk berkomunikasi. Inilah
sebuah proses yang akan menjadi suatu dialog. Berbicara tentang
masyarakat tidak sama dengan berbicara kepada mereka; juga tidak
sama dengan berbicara dengan mereka.56
Dalam situasi dialog terdapat tiga cara yang bisa dilakukan oleh
ahli Perbandingan Agama. Pertama, ia dapat berpartisipasi dalam
dialog sebagai seorang anggota suatu kelompok tertentu. Dalam
sebuah pertemuan misalnya, antara orang-orang Kristen dan orang-
orang Buddha, jelas bahwa komunikasi akan berlangsung lebih baik
jika kontingen Buddha melibatkan orang-orang Buddhis yang memi-
liki pengetahuan cukup baik dalam bidang Perbandingan Agama.
Dalam pertemuan, semua anggota diharapkan tidak bertindak
sebagai seseorang yang mencari penganut baru untuk agama ma-
sing-masing. Setiap peserta harus menghormati dan menghargai
agama (kepercayaan) orang lain;57
Kedua, Ahli Perbandingan Agama dalam pertemuan antara aga-
ma-agama dapat berperan sebagai pemandu pertemuan itu. Sebagai
ketua, ia harus bisa bertindak sebagai mediator atau penafsir (in-
terpreter) yang membantu agama-agama untuk dapat menginter-
pretasikan dirinya dalam berhubungan dengan agama lain.58 Ketiga,
Ahli Perbandingan Agama bisa pula berperan sebagai pengamat
(observer). Jika ia tidak berpartisipasi sebagai peserta dialog, juga
tidak sebagai perantara dalam ajang dialog-dialog yang semakin
intens diadakan di mana-mana, maka setidaknya ia bisa menjadi
pengamat yang mencurahkan perhatian terhadap apa yang sedang
berlangsung dalam sebuah dialog.
Seperti telah dinyatakan oleh Smith bahwa kaidah pokok dalam
studi Perbandingan Agama adalah pernyataan tentang suatu agama

Dr. Media Zainul Bahri 41


bisa dianggap valid jika terang dan diakui oleh penganut agama
yang bersangkutan. Karena itu, jika orang-orang Muslim dan Bud-
dha mengadakan pertemuan, yang harus diperhatikan adalah suatu
pernyataan tentang Islam hanya dapat diakui sebagai valid oleh
orang-orang Muslim dan dapat diakui mempunyai arti oleh orang-
orang Buddha; dan pernyataan tentang agama Buddha adalah valid
jika diakui oleh orang-orang Buddha dan dipahami oleh orang-orang
Muslim. Dalam ajang dialog di mana pun, para peserta, pemandu
dan para penulis tentang tema-tema pokok ini dan akan dibaca oleh
banyak orang di mana pun, harus bergerak menuju ke arah pe-
ngertian di atas jika mengharapkan interkomunikasi akan berlang-
sung. 59
Langkah terakhir adalah bahwa keberadaan dialog bukan hanya
penting untuk dialog itu sendiri, tetapi untuk implikasi-implikasi
selanjutnya. Implikasi itu misalnya, terwujudnya sebuah perda-
maian dan kerja sama antar umat manusia sebagai satu masyarakat
dunia dalam menghadapi berbagai problem bersama dan mereka
semua terlibat didalamnya.60
Sebuah karya yang bernilai adalah jika karya itu ditulis oleh
seseorang yang digambarkan oleh W. C. Smith sebagai berikut:
When a work does appear worthy of typifying achievement in this
realm, we predict that it will be written by a person who has seen and
felt, and is morally, spiritually, and intellectually capable of giving
expression to, the fact that we – all of us – live together in a world in
which not they, not you, but some of us are Muslims, some are Hindus,
some are Jews, some are Christians. If he is really great, he will per-
haps be able to add, some of us are Communists, some Inquirers.61
(Ketika sebuah karya muncul dan sesuai dengan target yang kita te-
tapkan dalam bidang ini, kita perkirakan bahwa ia ditulis oleh sese-
orang yang memang telah melihat dan merasakan secara moral, spiri-
tual, dan intelektual memiliki kemampuan untuk mengekspresikan
kenyataan bahwa kita – semuanya – hidup bersama dalam satu dunia
di mana tidak ada mereka, tidak ada engkau, melainkan sebagian kita
adalah Muslim, Hindu, Yahudi, Kristen. Jika ia benar-benar hebat ia

42 Wajah Studi Agama-Agama


akan menambahkan, di antara sebagian kita adalah Komunis, sebagian
sedang dalam pencarian).
Pendekatan dialogis atau personalis yang dipelopori oleh W.
C. Smith ini mempunyai dua keistimewaan: keistimewaan aka-
demis dan keistimewaan praktis. Keistimewaan akademis adalah
bahwa hasil-hasil penyelidikan metode ini lebih akurat, karena me-
tode ini mempunyai “alat” pengontrol agar terhindar dari kekeliruan
dalam memahami agama yang dipelajari, dan “alat” pengontrol itu
adalah para penganut agama itu sendiri yang dijadikan teman dia-
log dan sumber informasi sekaligus. Keistimewaan praktis adalah
bahwa metode ini, dengan dialog dengan para penganut berbagai
agama, bertujuan tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan il-
miah tentang agama-agama yang dipelajari, tetapi juga bertujuan
untuk menciptakan harmoni, perdamaian, dan kerja sama antara
umat manusia yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan de-
mikian, diharapkan terciptanya satu masyarakat dunia yang mem-
punyai satu tanggung jawab dalam mengatasi problem-problem
dunia.
Barangkali pendekatan dialogis ini adalah salah satu pendekatan
yang terbaik untuk Perbandingan Agama saat ini, meskipun ia
membutuhkan biaya yang mahal dan hanya berlaku untuk agama
yang masih hidup.

7. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud mencari
relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial. Michael
S. Northcott menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis dibedakan
dari pendekatan lainnya karena fokusnya pada interaksi agama dan
masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis adalah perha-
tiannya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan
kebudayaan termasuk agama. Objek-objek, pengetahuan, praktik-
praktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog
dipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi sosial.
Bagi para sosiolog, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial.

Dr. Media Zainul Bahri 43


Pemahaman akan Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinan-keyakinan,
dan perilaku religius, menurut sosiolog adalah untuk memperoleh
kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih
hebat dalam dunia sosial.62
Pendekatan sosiologis dalam studi agama berfokus kepada ma-
syarakat yang memahami dan mempraktikkan agama; bagaimana
pengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terha-
dap masyarakat. Emile Durkheim misalnya, sosiolog agama yang
paling berpengaruh, seperti dikutip Daniel L. Pals, melihat arti yang
sangat penting atas apa yang dinamakan masyarakat (society). Dur-
kheim mengklaim tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan
membentuk apa pun: hukum dan moralitas, lapangan kerja dan
rekreasi, keluarga dan kepribadian, ilmu pengetahuan, seni (juga
agama), maka tak ada satu pun yang akan muncul dalam kehidupan
ini.63 Durkheim meyakini bahwa “agama adalah sesuatu yang amat
bersifat sosial.”64
Sebagai hasil risetnya yang mendalam pada suku Aborigin di
Australia, Durkheim membangun tesisnya yang kukuh tentang
agama sebagai hasil “ciptaan” masyarakat. Bagi Durkheim, pada
masyarakat Aborigin, pemujaan terhadap Totem (binatang yang
disakralkan) tak lain adalah pemujaan terhadap masyarakat itu
sendiri. Suku atau klan butuh ikatan yang mempersatukan mereka,
dan Totemlah yang disakralkan dan dianggap sebagai elemen yang
dapat menyatukan klan. Karena itu, pemujaan (cult) yang terdiri
dari perasaan-perasaan peserta upacara (ritual) dan timbul dalam
waktu-waktu tertentu, merupakan inti kehidupan suku secara kese-
luruhan.65
Durkheim ingin menegaskan satu hal yang fundamental bahwa
Tuhan atau agama hanya akan ada sejauh Dia memiliki tempat da-
lam kesadaran masyarakat. Tuhan tidak akan bisa berbuat apa-apa
jika tidak ada yang menyembah-Nya. Dan masyarakat pun tidak
akan bisa melakukan pemujaan jika tidak ada yang disembah (Tu-
han). Karena itu, masyarakat yang menjadi satu-satunya simbol
ekspresi tuhan tidak akan berfungsi apa-apa tanpa adanya individu-

44 Wajah Studi Agama-Agama


individu di dalamnya, sebagaimana juga individu-individu tidak
akan bisa berbuat apa-apa jika masyarakat tidak ada. Inilah jantung
teori Durkheim tentang agama. Dalam analisis terakhirnya, Dur-
kheim menyatakan bahwa keyakinan dan ritual-ritual agama adalah
ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Memakan totem sesungguh-
nya adalah pernyataan kesetiaan kepada klan. Pemujaan terhadap
totem adalah penegasan dan bantuan terhadap klan, sebuah cara
simbolis setiap anggota kelompok untuk menyatakan bahwa kepen-
tingan klan lebih utama dari kepentingan individu.66 Tesis Dur-
kheim amat jelas bahwa masyarakatlah yang melahirkan agama.
Tanpa masyarakat, maka tidak ada agama.
Karya terbaru Sosiologi Agama yang senapas dengan Durkheim
adalah Religion in Human Evolution (2011), karya Robert N. Bellah,
salah seorang sosiolog hebat dan cemerlang di abad ke-21 ini. Saya
sebut “senafas” dengan Durkheim karena sama-sama mengenyam-
pingkan adanya “Tuhan” atau kekuatan “Supranatural” dalam pro-
ses kemunculan agama. Jika Durkheim berfokus pada struktur ma-
syarakat yang memunculkan agama, maka Bellah memusatkan
perhatian pada proses evolusi biologis makhluk hidup yang kelak
melahirkan agama. Menurut Bellah, agama muncul dari proses
evolusi biologis natural dan evolusi sosiokultural. Tak ada keterli-
batan dunia supernatural sama sekali. Dalam karyanya itu, ia meng-
analisis kelahiran agama-agama tidak hanya berdasarkan variabel-
variabel sosiokultural, tetapi menempatkannya dalam rentang seja-
rah panjang evolusi spesies di muka Bumi, planet kita yang terben-
tuk 4,5 miliar tahun lalu bersamaan dengan terbentuknya tata
surya.
Kemunculan agama tak dapat dilepaskan dari naluri induk he-
wan-hewan sebelum munculnya mamalia, yakni naluri yang meng-
gerakkan induk hewan-hewan untuk memelihara anak-anak yang
baru dilahirkan (parental care). Parental care ditemukan pada se-
jumlah hewan pra-mammalia, seperti ikan, cumi-cumi, buaya, ular
berbisa, dan kemampuan menampakkan parental care ini dite-
ruskan sampai ke hewan mamalia (misalnya anjing, kera, monyet,

Dr. Media Zainul Bahri 45


dan tentu saja manusia) dan juga burung. Parental care yang dialami
anak-anak yang baru dilahirkan memberi rasa lega, tenang, relaks,
dan bebas stres. Pada tahap berikutnya, rasa lega dan bebas stres
ini ingin dialami kembali oleh makhluk-makhluk bernyawa, dan
keinginan ini terpenuhi dalam kegiatan bermain (play). Bermain
adalah suatu kegiatan rekreatif, yang bebas dari tekanan Darwin-
ian mengenai “the struggle for existence” (atau “survival of the fit-
test”). Bermain adalah suatu kegiatan yang berlangsung di “relaxed
field” atau “relaxed selection.” Semua mamalia (misalnya serigala,
anjing, chimpanse, manusia) adalah makhluk bermain. Manusia
adalah Homo ludens, makhluk bermain, yang baru muncul
300.000 tahun lalu (sementara spesies Homo sendiri muncul 5 juta
tahun lalu bersama sepupunya chimpanse dan gorila, dan 2 juta
tahun lalu dari spesies Homo ini muncul dua cabang, yakni Homo
habilis dan Homo erectus, kemudian dari Homo erectus ini muncul
Homo sapiens).67
Melalui parental care dan empati, atau parental love, yang di-
rasakan dan dialami kembali lewat play, terbangunlah social bond-
ing (ikatan sosial) yang memperluas ikatan kekerabatan. Melalui
play, social bonding ini diperkuat dan diperluas terus-menerus, hing-
ga terbangunlah solidaritas. Bellah menempatkan evolusi sosial-
kultural dalam empat tahap: kebudayaan episodik (atau unitif),
kebudayaan mimetik (atau enaktif), kebudayaan mitik (atau sim-
bolik), kebudayaan teoretik (atau konseptual). Zaman Aksial adalah
zaman kebudayaan teoretik; dalam zaman-zaman sebelumnya
berlangsung evolusi kebudayaan episodik sampai kebudayaan
mitik. Walaupun berevolusi, setiap kebudayaan sebelumnya tidak
hilang tapi berinteraksi dengan kebudayaan yang menyusulnya.68
Ringkas kata, semua agama di muka bumi asal-usulnya dari
naluri parental care makhluk-makhluk bukan mamalia, yang dite-
ruskan ke mamalia, bermain (play), social bonding dan ritual, se-
muanya merupakan bagian dari mata rantai evolusi kosmik, evo-
lusi geologis, evolusi biologis dan evolusi sosiokultural. Tuhan sama
sekali tak diperlukan untuk memunculkan agama-agama di dunia.

46 Wajah Studi Agama-Agama


Karenanya, judul buku Bellah berbunyi Religion in Human Evolu-
tion.69
Di samping dua teori besar di atas (yang bercorak ateistik) se-
bagai bagian dari pendekatan sosial terhadap agama, terdapat pen-
dekatan sosiologis lain yang berkaitan dengan keyakinan akan ha-
dirnya Tuhan dalam kehidupan sosial. Northcott menyatakan
bahwa di samping mengajukan pertanyaan “apakah Tuhan ada,”
sosiolog mendekati perilaku keagamaan dengan pertanyaan misal-
nya, “model keyakinan dan ritual keagamaan macam apa yang
terus bertahan dalam lingkungan kehidupan tertentu dan menga-
pa?,” atau “Sejauh mana kaitan antara lingkungan personal atau
konteks sosial tertentu dengan keyakinan mengenai Tuhan atau
tuhan-tuhan?,” atau “Apakah penjelasan keagamaan mengenai
penderitaan sosial berpengaruh untuk memperbaiki penderitaan
itu?” Studi sosiologis terhadap agama tidak hanya memberi perha-
tian pada dependensi keyakinan dan komunitas keagamaan ter-
hadap kekuatan dan proses sosial, tetapi juga memberi perhatian
terhadap kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan
dalam dunia sosial, termasuk pada bentuk dan karakteristik yang
khas dari dunia kehidupan yang dimunculkan oleh komunitas-
komunitas religius, baik dalam masyarakat primitif maupun mo-
dern. Pendekatan sosiologis terhadap agama, sekali lagi, bertujuan
untuk mencari hubungan sejauhmana agama berpengaruh terha-
dap struktur-struktur sosial dalam memainkan perannya.70
Dalam konteks studi Perbandingan Agama, kehidupan sosial
dan keagamaan para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat di-
kaji, diteliti dan diperbandingkan satu sama lain dengan menggu-
nakan metode ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial sekaligus un-
tuk melihat kaitan atau keterpengaruhan antara keyakinan keaga-
maan dengan kehidupan sosial.

8. Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan
produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana

Dr. Media Zainul Bahri 47


agama memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya; sejauh
mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh
terhadap agama. Dalam sejarah Studi Agama terdapat beberapa
figur yang selalu menjadi rujukan atas pendekatan ini, yang
kemudian dikenal luas sebagai studi Antropologi Agama. Misalnya
Edward Burnett Taylor (1832-1917), James George Frazer (1854-
1941), Andrew Lang (1844-1912), Wilhelm Schmidt (1868-1954),
Clifford Geertz dan lain-lain.

A. E.B. Tylor
Selain Geertz, nama-nama di atas adalah para ilmuwan yang
mendedikasikan hidupnya untuk meneliti kebudayaan masyarakat
primitif. Tylor misalnya, adalah ilmuwan yang sebagian besar
hidupnya dipakai untuk mengarahkan perhatian pada orang-orang
primitif, khususnya pada suku Indian di Amerika Tengah. Atas
pengamatannya yang sangat serius, ia menghasilkan karya-karya
yang bermutu seperti Anahuac: Or Mexico and The Mexican Ancient
and Modern (1861), dan Researches inti the Early History of Mankind
and the Development of Civilization (1865). Namun, karya puncaknya
Primitive Culture (1871) yang ia tulis dalam dua jilid besar, telah
mengantarkannya menjadi ahli antropologi Inggris ternama, dan
Primitive Culture dapat disebut sebagai “kitab suci” bagi para ilmu-
wan sesudahnya yang sangat terinspirasi oleh apa yang mereka sebut
sebagai “Mr. Taylor’s Science.”71
Pada mulanya, Tylor tidak tertarik pada soal agama. Namun,
keterlibatannya pada kehidupan kaum primitif mengharuskannya
untuk memahami kepercayaan mereka tentang roh, dewa-dewa,
mitos, dan asal-usul kepercayaan itu. Setelah bergelut lama dengan
kebudayaan kaum primitif, Tylor sampai pada kesimpulan bahwa
agama adalah “keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual.” Menu-
rutnya, semua agama, besar dan kecil, yang primitif maupun yang
modern, selalu mendasarkan keyakinan kepada roh-roh yang ber-
pikir, berperilaku dan berperasaan seperti manusia. Karena itu,
esensi setiap agama adalah animisme (anima: roh), yaitu keper-

48 Wajah Studi Agama-Agama


cayaan terhadap sesuatu yang hidup, yang memiliki kekuatan, yang
berada di balik segala sesuatu.72 Animisme inilah yang menjadi titik
perhatian Tylor.
Pada masyarakat primitif, awalnya muncul dua pertanyaan dan
kegelisahan: pertama, apakah yang membedakan antara tubuh yang
hidup dan yang telah mati; apa yang menyebabkan manusia bisa
terjaga, tidur, pingsan, sakit dan mati? Kedua, wujud apakah yang
muncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan manusia? Mencer-
mati kedua persoalan ini, “para filsuf liar kuno” (the ancient savage
philosopher) masyarakat primitif kemudian mencoba menjawabnya
dengan dua tahap: pertama, dengan menyatakan bahwa setiap
manusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom) sebagai
bayangan dari diri kedua bagi jiwa. Kedua hal ini juga dianggap
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tubuh. Kedua, dengan
mengkombinasikan jiwa dan roh tadi, “para filsuf liar” berhasil
menemukan konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi.73 Peng-
alaman nyata mereka mengenai kematian dan mimpi menye-
babkan masyarakat primitif mampu berpikir untuk pertama kali-
nya akan suatu teori sederhana bahwa setiap kehidupan disebabkan
oleh sejenis roh atau prinsip spiritual. Mereka menganggap roh
sebagai sesuatu yang sangat halus, bayangan tak bersubstansi dari
manusia dengan bentuk yang sangat “halus,” “tipis” dan berupa
“bayangan.” Dialah yang memberikan kehidupan bagi individu
tempat ia berada.74
Selanjutnya menurut Tylor, animisme mengalami perkem-
bangan dan pertumbuhan. Mulanya, orang-orang hanya memi-
kirkan satu roh individual sebagai sesuatu yang kecil dan spesifik,
menyatu dengan pepohonan, sungai ataupun binatang-binatang
yang mereka temukan. Lalu, kekuatan roh ini mulai berkembang.
Dalam pemikiran masyarakat primitif, roh sebatang pohon perla-
han-lahan berkembang menjadi roh hutan atau roh seluruh pohon.
Selanjutnya, roh yang sama juga akan dianggap semakin terpisah
dari objek yang pertama kali dikuasainya dengan semakin mengu-
kuhkan identitas dan karakternya sendiri. Masing-masing tempat

Dr. Media Zainul Bahri 49


dan wilayah memiliki roh-roh yang berbeda kekuatannya dan
bertingkat-tingkat: roh paling tinggi, roh tinggi, roh rendah, dan
roh paling rendah. Terdapat roh angin, hujan dan matahari yang
derajatnya lebih tinggi dibanding roh pohon dan sungai. Roh-roh
pohon tidak bisa berbuat apa-apa jika roh matahari memutuskan
untuk tidak menurunkan hujan sehingga pepohonan akan keke-
ringan atau Dewi Hujan memutuskan untuk menghancurkan pepo-
honan dengan mengirimkan banjir.75 Dengan pandangan teologis
tentang macam-macam tingkatan roh dan kekuasaannya, maka
muncullah penyembahan terhadap banyak roh (politeisme).
Sistem politeistik yang kompleks semacam ini merupakan ciri
khas model keagamaan pada masa Barbar. Sesederhana apa pun,
peradaban ini akan selalu mencari tingkatan yang paling tinggi,
yaitu ketika mereka berusaha membentuk satu masyarakat yang
punya satu Tuhan, satu Kekuatan Tunggal yang mengatasi tuhan-
tuhan lain. Menurut Tylor, dengan perlahan namun pasti, setiap
peradaban akan menuju ke arah baru, tahapan paling akhir dari
animisme, yaitu percaya kepada satu Tuhan (monoteisme), mes-
kipun jalan yang ditempuh tidak selalu sama. Tidak diragukan lagi,
masyarakat Kristen dan Yahudi (termasuk Islam, sic.) merupakan
contoh yang paling tepat untuk tahap terakhir ini. Mereka telah
membentuk satu formula akhir yang sangat logis dari seluruh per-
kembangan proses yang telah dimulai berabad-abad sebelumnya,
yang diselubungi kabut gelap zaman pra-sejarah. Yaitu, ketika ma-
nusia pertama yang disebut Tylor sebagai “filsuf liar” yang menyim-
pulkan bahwa roh-rohlah yang mengendalikan dunia yang ada di
sekelilingnya.76
Dengan berbagai penjelasan di atas, Tylor ingin menunjukkan
bahwa asal-usul kepercayaan agama (Tuhan) pada umat manusia
sejatinya berevolusi: dari animisme ke politeisme dan berakhir pada
monoteisme. Tylor, yang lahir dan besar di Inggris, tentu terpengaruh
dengan teori evolusi Charles Darwin. Darwin yang menerbitkan
The Origin of Species (1859) kemudian menjadi buah bibir dan sosok
yang sangat kontroversial, terutama di Inggris. Gagasannya tentang

50 Wajah Studi Agama-Agama


ide perkembangan (the idea of development) menurut L. Pals, meng-
ambil bentuknya yang paling nyata dalam pemikiran Tylor. Pada
tahun-tahun sesudahnya, ketika perdebatan itu kian hebat, muncul
banyak pemikir yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan “yang
menggelisahkan” tentang elemen-elemen dasar keyakinan Kristiani
seperti kebenaran sejarah yang dikisahkan Injil, kebenaran mukjizat
dan masalah ketuhanan Yesus Kristus. Dengan terbitnya Primitive
Culture yang membawa teori baru tentang asal-usul seluruh agama,
termasuk agama Kristen, keragu-raguan yang sebelumnya telah
mengendap dalam masyarakat Eropa semakin menjadi-jadi.77 Hasil
penelitian Tylor sesungguhnya menampilkan kesimpulan yang
serupa dengan para sosiolog seperti Durkheim misalnya, bahwa
agama sejatinya hasil konstruksi sosial (dan budaya) manusia, dan
bukan “wahyu yang diturunkan” Tuhan seperti yang diyakini oleh
orang-orang yang beriman.
Teori Tylor itu kemudian mendapat perlawanan, terutama dari
pihak ilmuwan gereja. Andrew Lang misalnya, seorang ahli folklor
dari Skotlandia, yang sebelumnya menjadi pengikut teori Tylor,
kemudian membantahnya. Berdasarkan riset yang ia lakukan, ter-
dapat bukti-bukti bahwa masyarakat primitif sejak awal telah meng-
anut monoteisme. Pemahaman keagamaan kaum primitif, kata
Lang, tidak pernah dimulai dari politeisme dan monoteisme asli
mereka bukan merupakan perkembangan yang sempurna dari ani-
misme. Observasi Lang ini kemudian mendapat dukungan dari
Wilhelm Schmidt, seorang antropologis dan pendeta Katolik dari
Jerman. Ia juga berargumentasi bahwa paham keagamaan seluruh
masyarakat primitif sejak awal adalah monoteis, dan monoteisme
merupakan bentuk asli dari seluruh agama manusia yang pernah
ada, sampai hari ini.78

B. Clifford Geertz
Antropolog lain yang pantas kita jadikan contoh adalah Clifford
Geertz. Geertz, salah satu “begawan” antropologi Amerika yang
amat masyhur dan memasyhurkan sebuah kota kecil di Jawa Ti-

Dr. Media Zainul Bahri 51


mur, menjadi sangat diperhitungkan pada era 1970-an karena kon-
sep baru yang digagasnya, yakni antropologi interpretatif. Seperti
diketahui, kariernya bermula ketika menjadi mahasiswa program
doktor di tahun kedua di Harvard, Geertz bersama istrinya, berang-
kat ke pulau Jawa dan menetap selama dua tahun di Mojokuto
(Pare, Kediri) Jawa Timur, untuk mempelajari sebuah masyarakat
yang heterogen dari sisi budaya dan keyakinan keagamaan. Setelah
mendapat gelar doktor dalam bidang antropologi pada 1956, ia
kembali ditemani istrinya datang ke Indonesia, tepatnya ke pulau
Bali untuk sebuah riset antropologi. Misi utama Geertz sebagai se-
orang antropolog di Jawa dan Bali adalah etnografi, yakni memberi
gambaran rinci dan sistematis tentang masyarakat di dua pulau itu
demi mengungkapkan bagaimana keragaman aspek-aspek kehi-
dupan masyarakatnya bisa melebur menjadi sebuah kebudayaan
yang utuh.79
Pada 1960 Geertz memublikasikan The Religion of Java, sebuah
karya yang amat masyhur dan “kontroversial” mengenai trikotomi
abangan-santri-priyayi dalam pola hubungan sosio-religius pada
masyarakat Jawa. Karya inilah yang selalu dikenang masyarakat
antropologi di seluruh dunia dan mengantarkan Geertz ke panggung
kemasyhuran dan tempat “khusus” dalam jagat antropologi Ame-
rika. Setelah itu, muncul karya-karyanya yang lain yang juga ber-
mutu seperti Agricultural Revolution (1963), The Socio-History of an
Indonesian Town (1965), Islam Observed (1968), The Interpretation of
Culture (1973), Meaning and Order in Morocean (1980) dan Local
Knowledge (1983).
Dalam sebuah esai berjudul “Thick Description: Toward an In-
terpretative Theory of Culture,” yang terdapat pada The Interpreta-
tion of Culture, Geertz mengingatkan, seperti dikutip oleh L. Pals,
bahwa meskipun kata kebudayaan (culture) dipahami oleh para
antropolog dengan pengertian yang berbeda-beda, namun kunci
untuk memahaminya adalah ide tentang makna (meaning, signifi-
cance). Manusia, kata Geertz dengan mengutip Weber, adalah “he-
wan yang terkurung dalam jaring-jaring makna (significance) yang

52 Wajah Studi Agama-Agama


mereka pintal sendiri.” Karena itu, jika seseorang ingin melakukan
apa yang telah dilakukan oleh para antropolog, yaitu menjelaskan
kebudayaan orang lain, maka ia tidak punya pilihan lain kecuali
menggunakan metode yang disebut oleh filsuf Inggris, Gilbert Ryle
dengan Thick Description (lukisan yang mendalam). Seseorang harus
mampu melukiskan tidak semata apa yang secara aktual terjadi,
namun juga (menjelaskan) bagaimana pemahaman seseorang ten-
tang kejadian itu.80
Ryle memberi contoh tentang dua anak yang mengerdipkan
mata. Anak yang pertama mengerdipkan mata tanpa disadarinya
(dengan tidak sengaja) karena gerak saraf matanya, sedangkan anak
yang lain mengerdipkan matanya kepada orang lain secara sengaja.
Secara fisik atau “thin description” (lukisan yang dangkal) menun-
jukkan bahwa kedua peristiwa itu sama saja. Namun, jika seseorang
menelusuri lebih lanjut akan makna (significance) masing-masing
peristiwa itu, ia akan mendapatkan sebuah perbedaan. Kejadian yang
pertama tidak mengandung makna apa-apa. Sebaliknya, kerdipan
yang kedua penuh dengan makna yang ingin disampaikan anak
kedua. “Thick description” yang melibatkan makna dalam peristiwa
tersebut menunjukkan bahwa kerdipan anak kedua (wink) jauh
berbeda dari kerdipan anak pertama (twitch). Karena itu, menurut
Geertz, dapat dipahami bahwa etnografi—juga antropologi—secara
umum selalu melibatkan “lukisan mendalam.” Tugasnya, bukan
semata mendeskripsikan (melukiskan) struktur suku-suku primitif
atau bagian-bagian ritual yang lebih khusus, misalnya praktik puasa
kaum Muslim di bulan Ramadhan. Tugas utamanya adalah mencari
makna, menemukan hakikat di balik perbuatan seseorang, makna
yang ada di balik seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, struktur
dan kepercayaan objek yang diteliti.81
Meski demikian, harus pula diingat bahwa suatu kebudayaan
bukan sekadar masalah makna saja, atau hanya sebagai sesuatu
yang murni bermuatan sistem-sistem simbol seperti layaknya ma-
tematika. Adat-istiadat atau perilaku masyarakat juga harus diamati
sebab kebudayaan menemukan artikulasinya melalui jalur tingkah

Dr. Media Zainul Bahri 53


laku, atau lebih tepatnya melalui tindakan sosial.82 Jika antropologi
interpretatif merupakan cara untuk melihat sistem makna dan nilai
yang dipakai masyarakat dalam menjalankan kehidupannya, maka
antropologi interpretatif ini juga akan selalu tertarik dengan masalah
agama. Geertz sangat yakin akan hal itu dan ia tunjukkan dalam
bukunya yang amat terkenal, The Religion of Java. Para ahli antro-
pologi menyebut karya ini sebagai buku etnografi terbaik dalam
tradisi antropologi Amerika. Geertz tidak semata melakukan studi
yang mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan
dan bahasa masyarakat Jawa, namun juga ia membahas secara de-
tail hubungan yang kompleks antara tradisi keagamaan Islam, Hin-
du dan kepercayaan asli setempat (Abangan, Kejawen). Dalam buku
ini, Geertz melihat agama bukan semata ekspresi kebutuhan sosial
dan ekonomis melainkan juga sebagai fakta kultural sebagaimana
adanya dalam kebudayaan masyarakat Jawa.83
Dalam risetnya pada budaya dan agama masyarakat Bali yang
sangat unik, Geertz membuat satu kesimpulan bahwa studi apa
pun tentang agama akan berhasil dengan baik jika menjalani dua
langkah penting: pertama, seseorang harus memulai dengan meng-
analisis seperangkat makna yang terdapat dalam simbol-simbol
keagamaan itu sendiri. Menurut Geertz, hal ini adalah tugas yang
cukup sulit. Kedua, yang tak kalah sulitnya adalah karena simbol-
simbol itu sangat terkait dengan struktur masyarakat dan aspek
psikologi anggota masyarakat, maka rangkaian simbol-simbol itu
harus ditelusuri secara kontinu, baik cara terciptanya, proses pene-
rimaan dan pemaknaannya serta penyimpangan terhadap makna
itu. Hubungan tersebut dapat dianalogikan melalui sebuah gambar
dengan tiga titik yang membentuk sebuah segitiga. Titik pertama
untuk simbol, titik kedua untuk masyarakat, dan titik ketiga untuk
psikologi individu.84
Contoh lain penggunaan antropologi interpretatif adalah karya
Geertz yang berjudul Islam Observed (1968). Buku ini menjelaskan
perbandingan budaya Islam Indonesia dan Maroko. Di samping
kedua negara ini mayoritas penduduknya beragama Islam, ke-

54 Wajah Studi Agama-Agama


duanya juga mengalami perubahan sosial yang drastis pada era mo-
dern ini. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja dalam bidang
pertanian (harap diingat bahwa riset ini dilakukan pada era 1960-
an) dan mayoritas penduduk Maroko bekerja sebagai penggembala.
Keduanya sama-sama pernah dijajah oleh bangsa Barat (Indonesia
oleh Belanda dan Maroko oleh Prancis). Geertz ingin melihat peran
penting agama yang telah dan sedang dimainkan dalam proses trans-
formasi sosial yang terjadi di kedua negara itu.85
Dalam proses masuknya Islam ke Indonesia, dalam hal ini Jawa,
Geertz membuat gambaran tentang legenda Sunan Kalijaga sebagai
seorang Wali yang amat populer penyebar Islam di tanah Jawa. Ia
lahir di tengah keluarga penguasa saat itu, di masa kekuasaan Hindu-
Buddha, ketika kelas penguasa berkasta tinggi dianggap sebagai
elite spiritual di negara tersebut. Dalam suasana kehidupan bang-
sawan istana, pelaksanaan ritus-ritus agama sesungguhnya berfungsi
sebagai kekuatan politik dan otoritas keagamaan raja sekaligus. Yang
menarik dari legenda Kalijaga adalah bahwa ia ketika telah men-
jadi wali penyebar Islam, yang ditahbiskan oleh Sunan Ampel, tidak
meninggalkan kebudayaan Hindu-Buddha masa kecilnya dulu.
Menurut Geertz, ia kemudian membantu berdirinya kerajaan Ma-
taram dan memanfaatkan posisinya dalam upacara-upacara kera-
jaan untuk memperkenalkan Islam, dan salah satu caranya adalah
dengan tetap menyuarakan nilai-nilai agama Hindu dan Buddha.86
Identik dengan kisah Sunan Kalijaga, menurut Geertz, ke-
munculan Islam di Maroko dapat dilihat dengan baik dari kisah
hidup seorang wali bernama Sidi Lahsen Lyusi (nama sebenarnya
adalah Abu Ali al-Hasan Ibn Mas’ud al-Yusi), salah seorang generasi
terakhir Marabouth yang hidup sekitar tahun 1600-an. Marabou-
thisme adalah paham dan praktik mistik Islam Maroko warisan
dinasti Murabithun. Seperti juga Kalijaga, Lyusi dianggap oleh
kaum Muslim Maroko sebagai seorang wali yang berpengetahuan
luas, berakhlak mulia dan memiliki karisma spiritual pada dirinya
sehingga ia juga memiliki banyak karamah (keramat).87 Menurut
Geertz, Kalijaga dan Lyusi memiliki banyak kesamaan. Keduanya

Dr. Media Zainul Bahri 55


muncul dan memainkan peranan dalam masa-masa kritis perkem-
bangan masyarakatnya, namun kemudian mereka menemukan
jalan keluar dan penyelesaian. Keduanya mengembara dari satu
tempat ke tempat lain dengan penuh semangat pencarian. Keduanya
hidup pada masa yang berdekatan: Kalijaga di abad enam-belas
dan Lyusi di abad tujuh belas. Keduanya juga berasal dari kalangan
elite masyarakatnya, Kalijaga seorang bangsawan, dan Lyusi seorang
syarif (keturunan Nabi Muhammad).88
Namun, lanjut Geertz, terdapat perbedaan yang cukup signi-
fikan antara keduanya dalam konteks sosio-kultur mereka dan pe-
mecahan masalah. Di Jawa, krisis yang dihadapi Kalijaga adalah
akibat melemahnya Majapahit yang Hindu-Buddha dan demorali-
sasinya, kemudian introduksi Islam yang vital dan dinamis. Sedang-
kan di Maroko, krisis yang ditemukan Lyusi adalah masyarakat
yang sudah terislamkan selama berabad-abad, namun mengalami
disintegrasi dari dalam yang membuat masyarakat terpecah ke
dalam kelompok-kelompok kecil dengan seseorang yang dipercayai
sebagai ‘Wali’ selaku tokoh sentral. Karena itu, jika Kalijaga mencari
penyelesaian krisis masyarakatnya dengan menemukan harmoni,
keselarasan, dan keutuhan estetik, maka Lyusi mencoba mengatasi-
nya dengan mengarahkan masyarakat kepada tuntutan-tuntutan
moral yang ketat (syari’ah dan akhlak) yang dipercaya sebagai ajaran
agama yang benar.89 Dalam definisi Geertz, agama di Maroko dan
Indonesia, meskipun sama-sama Islam, namun memperlihatkan
budaya, perasaan dan motivasi yang jauh berbeda. Di Indonesia
(maksudnya Jawa, sic.), terdapat ketenangan, kesabaran, mawas
diri, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme dan bahkan bisa
dikatakan hampir-hampir tidak punya obsesi. Di Maroko, Islam
bersifat aktif, penuh semangat, berani, tidak sabaran, ulet, moralis,
populis dan obsesif.90

9. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini bermaksud mencari hubungan atau pengaruh
agama terhadap kejiwaan pemeluk agama atau sebaliknya pengaruh

56 Wajah Studi Agama-Agama


kejiwaan pemeluk terhadap keyakinan keagamaannya. Para psi-
kolog religius meyakini ada dimensi yang sakral, spiritual, divine,
transenden, supernatural yang tidak empiris yang dapat meme-
ngaruhi kejiwaan manusia. Namun, para psikolog non-religius me-
nolak dimensi-dimensi itu atau paling tidak sangat meragukannya.
Psikolog non-religius biasanya akan berusaha menjelaskan feno-
mena keagamaan seseorang tanpa perlu merujuk kepada realitas-
realitas yang super-natural itu, sementara psikolog religius ingin
tetap membuka kemungkinan realitas itu menjadi satu faktor yang
berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang.91
Psikolog yang memusuhi agama dan sangat berpengaruh ada-
lah Sigmund Freud. Menurut Freud seperti dikutip Jalaluddin
Rakhmat (2004), agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol:
kepercayaan yang kuat pada Tuhan dalam sosok seorang ayah dan
ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit. Kepercayaan dan
praktik keagamaan, kata Freud berakar pada pengalaman univer-
sal kanak-kanak. Pada usia dini, anak-anak menganggap orangtua,
terutama bapak, sebagai orang yang mahatau dan mahakuasa. Pe-
meliharaan yang penuh perlindungan dan kasih sayang yang dila-
kukan oleh sosok-sosok berkuasa seperti itu menenteramkan anak
yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surga buatan
baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam dan si-
tuasi hidup lainnya kembali membangkitkan perasaan tidak berda-
ya, kerinduan individu akan seorang bapak yang berkuasa memper-
oleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra tuhan sebagai bapak
yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak, yang
disebut Freud merupakan “akar setiap bentuk agama” ditandai de-
ngan kegelisahan. Sebabnya, sebagai akibat cengkeraman kompleks
Oedipus, ayah juga menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa
bersalah. Kepasrahana penuh kepada Tuhan sebagai proyeksi ayah
pada akhirnya memulihkan kembali hubungan yang telah lama
hilang itu.92
Karena itu bagi Freud agama adalah ilusi. Hal ini berarti agama
merupakan hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan

Dr. Media Zainul Bahri 57


dan pemikiran. Bagi Freud, agama adalah takhayul, namun ia bukan
takhayul sembarangan melainkan takhayul yang sangat menarik
karena memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang ma-
nusia. Mengapa manusia masih mau memercayai agama, bahkan
dilakukan dengan kesungguhan yang mendalam, padahal agama
adalah kekeliruan? Jika agama itu tidak rasional, mengapa manusia
masih membutuhkannya? Dan mengapa pula mereka memegangi-
nya dengan kuat?
Freud lalu menulis buku-buku dan artikel yang serius untuk
menjawab pertanyaan di atas. Dalam salah satu artikelnya yang
berjudul Obsessive Actions and Religious Practices (1907) seperti
dikutip L. Pals, Freud menyimpulkan perilaku orang beragama
mirip dengan tingkah laku pasien penyakit sarafnya (neurotik). Mi-
salnya, keduanya sama-sama menekankan bentuk-bentuk sere-
monial dalam melakukan sesuatu, dan sama-sama akan merasa
bersalah seandainya tidak melakukan ritus-ritus tersebut dengan
sempurna.93 Jadi, menurut Freud, ibadah yang dilakukan orang-
orang beragama mirip, jika tidak dikatakan sama, dengan tingkah
laku orang-orang yang memiliki penyakit saraf (gila).
Kebalikan dari Freud adalah William James, seorang psikolog
yang pro terhadap agama. Jalaluddin Rakhmat menyebut James
sebagai “Bapak” psikologi agama. Bukunya, The Varieties of Reli-
gious Experience, merupakan pembahasan (psikologi) agama per-
tama yang paling mendalam dan komprehensif. Jika Freud meng-
anggap agama sebagai ilusi, khayalan, kekeliruan, sifat kanak-ka-
nak, dan tidak ada manfaatnya sama sekali, maka James berpen-
dapat sebaliknya. Bagi James, agama mempunyai peranan sentral
dalam menentukan perilaku manusia dorongan beragama pada
manusia, kata James, paling tidak sama menariknya dengan do-
rongan-dorongan lainnya. James menolak setiap penjelasan agama
yang ia sebut sebagai “materialisme medis.” Para ilmuwan dengan
pongah menerangkan bahwa pengalaman hidup kita yang lebih
tinggi itu adalah pengalaman “hanya sekadar.” Seperti kata Freud
bahwa agama “hanya sekadar proyeksi dari ketakutan masa kecil.”

58 Wajah Studi Agama-Agama


Menurut James, argumentasi “hanya sekadar” dapat dengan
mudah dibalikkan kepada pencetusnya. Teori-teori ilmiah sekalipun
dapat dilacak pada kondisi organis para ilmuwan, sebagaimana
pengalaman beragama dapat dihubungkan dengan keadaan
emosional orang-orang yang mengalaminya.94
Dalam membahas agama, James tidak mau merujuk kepada
orang-orang awam (your ordinary religious believer) yang memper-
oleh agama melalui tradisi, imitasi, dan kebiasaan. James ingin me-
lihat agama seperti tampak pada perilaku “religious genuises.” Pada
diri mereka, kata James, agama tidak lagi menjadi rutinitas yang
membosankan, tetapi menjadi “demam yang akut dan mengge-
tarkan” (“an acute fever”). Bagi James, hubungan manusia dengan
realitas yang tak terlihat (agama atau Tuhan) memiliki efek pada
kehidupan individual. Ia akan mengaktifkan “energi spiritual” dan
menggerakkan “karya spiritual.” Agama menggairahkan semangat
hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan mem-
berikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam
kehidupan. Orang yang beragama akan mencapai perasaan ten-
teram dan damai. Kebahagiaan agama, menurut James, ditandai
dengan hilangnya upaya untuk melarikan diri (no escape): it cares
no longer for escape.95 Dengan pengertian itu, maka seorang pemeluk
agama sejatinya adalah ia yang “berani” menghadapi badai kehi-
dupan dengan segala problemnya yang kompleks.
Selain dari dua contoh pendekatan psikologis dalam agama,
studi Perbandingan Agama atau Studi Agama-Agama dapat melihat
lebih jauh dan dalam kompleksitas hubungan kejiwaan para peme-
luk agama atau kaum ateis dengan agama.
Beberapa pendekatan di atas hanyalah sebuah pengantar ring-
kas dan sederhana, karena studi agama memiliki pendekatan yang
luas dan kompleks—atau dalam istilah Ninian Smart bersifat po-
limetodis.96 Ada pendekatan filologi untuk melihat isi (makna) se-
buah naskah atau manuskrip kuno yang bersama-sama dengan seja-
rah melihat keseluruhan konteksnya. Ada pendekatan politik yang
akan memahami pandangan dan sikap politik kaum beragama yang

Dr. Media Zainul Bahri 59


(manunggal) Ego dengan Monade, antara badan Manas luhur
dengan kesadaran di alam Budhi. Ada yang berpendapat bahwa
kata AUM (OM) seakar kata dengan Amen (agama Mesir ku-
no), lalu berubah menjadi Aion dalam bahasa Yunani kuno dan
Aivum dalam bahasa Latin.25 Amen dalam bahasa Mesir kuno
kemudian dilanjutkan menjadi “Amen dan Amin” dalam ritual
tiga agama Semitik.
Slogan teosofi adalah “Satyan Nasti Paro Dharma:” “tak ada
agama yang lebih tinggi daripada kenyataan (kebenaran).”26 “Ke-
nyataan” merupakan fokus atau pembicaraan inti kaum teosofi.27
Apa itu kenyataan? Pengetahuan yang “dirasakan,” “dialami,” pe-
ngetahuan yang meresap, atau pengetahuan dengan “pengalaman
langsung” (tajribah mubasyarah)—dalam istilah sufisme Islam—
sehingga melahirkan Kebenaran. Kenyataan yang demikian lebih
tinggi tarafnya dari sekadar percaya atau kepercayaan yang biasa
dituntut oleh agama—dalam aspeknya yang eksoterik. Namun, da-
lam sisi batin (dalam, inner) agama yang dituntut adalah memahami
dan menyelami yang esoterik. Pengetahuan dan pengalaman eso-
terik inilah yang sejalan maknanya dengan Kenyataan dalam teo-
sofi. Kadang teosofi juga dimaknai dengan “Keyakinan,” namun
tentu bukan sembarang keyakinan, melainkan Keyakinan yang
mantap setelah “merasakan” atau “mengalami.” Dalam satu ke-
sempatan, ketika menjelaskan perihal kenyataan itu, orang teosofi
mengutip sebuah hadis yang populer di kalangan kaum sufi Mus-
lim, “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia telah menge-
tahui Tuhannya.” Apa atau siapa yang disebut diri itu? Setelah me-
mahami panca indra manusia dengan sifat-sifatnya, yaitu: sifat bau
dengan alat hidung (penciuman), rupa dengan alat mata (pengli-
hatan), suara dengan alat telinga (pendengaran), merasakan dengan
alat perasaan atau saraf badan, dan sifat rasa dengan alat lidah, maka
seseorang harus terus mencari ke “dalam,” ke “dzat,” ke “inti” ma-
nusia. Seperti seseorang yang mencium bau (harum) bunga. Di
mana bunga itu? Mungkin di kebun. Di mana baunya? Pasti “dalam”
bunga. Juga seperti mendengar suara burung, di mana burung?

Dr. Media Zainul Bahri 75


Mungkin di atas. Di mana suaranya? Pasti “dalam” burung.28 Rumi
(1207-1273), seorang Sufi Masyhur dari Konya, Turki, telah lebih
dulu mendendangkan alam makna yang berada di “dalam” dan
tarafnya lebih tinggi dibanding bentuk luar. Renungkanlah dua syair
Rumi di bawah ini:

Pernahkah engkau tahu sebuah nama tanpa yang diberi nama?


Atau pernahkah engkau menyunting sekuntum mawar dari M.A.
W.A.R?
Engkau baru menyebut nama itu: pergi dan carilah yang empunya
nama. Bulan itu di langit bukan di air.29

Di hadapan makna, apalah arti bentuk! Sangat tak sepadan. Makna


langit tetap tersembunyi di tempat persemayamannya.30
Ketahuilah, bahwa segala bentuk luar akan sirna, tapi Dunia Makna
akan menetap selamanya.
Sampai kapankah engkau akan terpikat oleh bentuk bejana? Tinggal-
kan ia: Pergi, airlah yang harus engkau cari!
Hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkau
seorang yang bijak, ambillah mutiara dari dalam kerang.31

Harun Atmawidjaja memberi ilustrasi tentang kedalaman mak-


na bahwa ketika seseorang membaca Pewarta Teosofi, di mana buku
itu? Di atas meja. Di mana hurufnya? Di dalam buku. Di mana
artinya? Di dalam hati. Buku Pewarta itu berbentuk persegi, ker-
tasnya berwarna putih, hurufnya hitam, bahasanya Melayu. Bagai-
mana makna/artinya? Makna dalam buku itu tidak persegi, tidak
putih, tidak hitam, tidak Melayu, namun terang, terasa, mewujud,
hidup dan menyala dalam hati. Berapa lapis buku itu? Orang me-
ngatakan dua lapis: kertasnya yang putih dan jilidnya yang hijau.
Seorang teosof akan mengatakan: hurufnya yang hitam dan mak-
nanya yang dalam. Huruf dapat dibaca dengan mata kepala, namun
makna hanya dapat dibaca dengan Mata Hati.32

76 Wajah Studi Agama-Agama


Bagi MTI, dengan mengutip sufisme Islam, kenyataan terbagi
atas tiga tingkatan. Pertama, ‘Ilm al-Yaqin (Ilmul Yakin), artinya
nyata berdasarkan ilmu. Segala bentuk kenyataan hanya berdasar-
kan teori, ilmu atau mendengar dari orang lain. Sulit meyakini
bahwa kenyataan itu benar-benar ada. Kedua, ‘Ayn al-Yaqin (Ainul
Yakin), artinya nyata berdasar panca indra. Sesuatu itu diyakini
sebagai kenyataan setelah terlihat oleh mata. Namun, bagi orang
teosofi, sulit juga meyakini dengan sebenar-benarnya akan sebuah
kenyataan jika hanya bersandar kepada mata kepala. Ketiga, Haqq
al-Yaqin (Hakul Yakin), inilah tingkatan tertinggi. Kenyataan benar-
benar dapat dirasakan sebagai Kenyataan setelah “dialami,” “dirasa-
kan” hakikat-dzatnya dengan segenap lahiriah-batiniahnya.33 Maka,
apa yang disebut “Diri” itu adalah benar-benar telah “dirasakan”
atau “dialami” sampai ke kedalaman diri itu, tidak semata mema-
hami panca indra belaka. Dengan “mengalami”34 diri itu maka sese-
orang pasti akan mengenal Tuhannya dengan baik.
Alam Kenyataan dalam penjelasan di atas adalah kenyataan dan
kebenaran yang harus terus dicari oleh kaum teosofi dan dalam
pengertian yang hubungannya dengan alam makna dan alam Tu-
han. Jika kenyataan itu terus ditelusuri sampai ke kedalaman jan-
tungnya maka seorang teosof akan manunggal (bersatu) dengan Rea-
litas Yang Satu. Ia akan masuk ke alam Tunggal. Alam Kesempur-
naan Yang Satu itu itulah alam Tunggal, alam Buddha, alam Meneng
(Diam), alam Hidup dan alam Mati sekaligus. Merasakan tidak hi-
dup tidak mati, merasakan manunggalnya kadim dan baka. Di alam
Tunggal itu dirasakan Tuhan itu ada; bukan di sini, bukan di situ,
sebab jika dikatakan di sini berarti ada yang di situ, jika dikatakan
di situ berarti mesti ada yang di sini. Jika dikatakan Tuhan ada di
mana-mana, berarti ia niscaya banyak, padahal Ia Tunggal; tidak di
sana tidak di sini. Jika telah berada di alam Tunggal, maka sebaiknya
seorang teosof kembali lagi ke alam dualitas; ia akan melihat kegan-
daan: ada ini ada itu, ada wayang ada dalang, ada sifat ada dzat, ada
Aku di sini ada Tuhan di situ. Lalu, teruslah ia kembali ke alam Tiga
atau alam Trimurti: ada wayang, ada dalang dan ada peran, dalam

Dr. Media Zainul Bahri 77


bahasa China: ada Thian, ada The ada Jihin. Alam tiga ini adalah alam
ramai, alam dunia, ada keanekaan dan perbedaan-perbedaan. Na-
mun, bagi kaum teosofi, alam Tunggal, alam kesempurnaan, atau
setidaknya dapat memahami dan merasakan kenyataan dan kebe-
naran seperti dalam penjelasan di atas, itulah yang inti, yang hakiki
atau yang sejati. Sementara alam dunia yang ramai dan fana ini
adalah alam yang penuh dengan fatamorgana dan tipuan. Dengan
mengutip ayat al-Qur‘an, kaum teosofi meyakini bahwa barang siapa
yang cinta akan kesenangan dunia, maka sungguh ia telah tertipu
(mata’ al-ghurur). 35
Jika semua orang dapat memahami dan merasakan akan Ke-
nyataan dan Kebenaran di atas dengan bersungguh-sungguh men-
carinya dalam pelajaran-pelajaran teosofi, maka dunia ini akan da-
mai, penuh cinta kasih dan terciptalah persaudaraan universal seper-
ti yang dicita-citakan oleh Gerakan Teosofi di seluruh dunia.
Selain kenyataan yang berhubungan dengan alam makna dan
alam Tuhan, ada pula penjelasan mengenai kenyataan yang ber-
hubungan dengan hukum alam atau hukum sebab akibat. Menurut
kaum teosofi, kodrat Tuhan telah menciptakan “kenyataan-kenya-
taan” di alam ini berdasarkan hukum alam yang ajeg atau pasti
(konstan/tetap). Segala keteraturan, keselaran dan keindahan di
alam ini diciptakan oleh kodrat Tuhan sebagai kenyataan. Maka,
manusia harus menjalani hidup berdasarkan kenyataan hukum
alam itu atau berdasarkan dharma, dalam bahasa agama Budha.
Melakukan apa pun pasti ada akibatnya. Ada sebab pasti ada akibat.
Hukum kenyataan ini bersifat pasti dan tetap. Manusia selalu dipe-
rintahkan untuk banyak melakukan dharma, kebaikan-kebaikan
supaya akibat yang ditimbulkannya juga baik, dan alam ini akan
terus teratur dan selaras.36 Konsep kaum teosofi tentang kenyataan
yang kedua ini, yang berhubungan dengan hukum alam sangat
dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha mengenai hukum kesu-
nyataan, hukum sebab-akibat, hukum karma-pahala dan ajaran-
ajaran lain yang terkait.

78 Wajah Studi Agama-Agama


D. Teosofi dan Agama
Apakah hubungan teosofi dengan agama? Tentu saja hubung-
annya erat sekali, setidaknya dalam dua hal penting: (1) esensi teosofi
dan agama, (2) tujuan keduanya. Marilah kita lihat kedua hal itu.
Pertama, MTI dalam banyak publikasi mereka menegaskan bahwa
teosofi bukan agama baru, bukan suatu agama dalam pengertiannya
yang umum dan dalam pengertian agama sebagai seperangkat sis-
tem. Dua kutipan di bawah ini menegaskan hal itu:

Djoega Theosofie itoe boekan agama baroe, apabila dirasakan benar-


benar, masing-masing agama itoe seteroesnja pada theosofie dan
isjarat boeat menjantausaken kelakoean.37
Djikalau toean-toean setoedjoe dengan pengertian saja ini, barangkali
toean-toean dengan lekas mendjawab, bahwa Theosofie itoe boekan
agama. Memang betoel boekan agama. Tapi toean-toean djangan loepa,
bahwa di dalam Theosofie itoe memang ada sebagian besar berisi
pengajaran agama... pengajaran segala agama terbagi atas doea bagian
jang besar jaitoe pengadjaran lahir dan pengadjaran batin.38

Teosofi, sebagai ajaran, sikap dan pandangan hidup sesungguh-


nya merupakan esensi agama. Teosofi adalah inti agama. Seseorang
yang mempelajari teosofi atau menjadi anggota teosofi, maka ia
mesti sampai kepada esensi/inti terdalam agama. Dalam bahasa
MTI, teosofi adalah tiangnya agama.39 Teosofi dapat menjelaskan
agama kepada penganutnya secara lebih terang dan dalam dan
membuatnya menjadi taat beribadah, seperti penjelasan Leadbeater
di bawah ini:

Akan tetapi Theosofie itoe menerangkan padanja (seseorang) agamanja


sendiri, dan menoendjoek maksoednja agamanja sendiri, jang lebih
dalem, jang belom pernah diketahoeinja. Kadang-kadang djoega Theo-
sofie menoeloeng manoesia mengerti agamanja sendiri dan menjuruh
mendjalankan ibadah; ada poela orang soedah hampir maoe moertad,
dari sebab koerang mengerti agamanja, diberi kenjataan sampai tidak
djadi moertad.40

Dr. Media Zainul Bahri 79


Seseorang yang memahami agama hanya sebatas kulit atau
identitas atau berhenti pada syari’at, doktrin dan dogma belaka ma-
ka—jika mengikuti logika teosofi—agama seseorang tersebut akan
runtuh karena tiada tiangnya, atau setidaknya agama itu menjadi
layu, kering, tak bergairah, bagaikan jasad tanpa ruh dan pema-
haman keagamaannya pun menjadi keras, kaku, saklek dan kurang
lembut. Karena itu, teosofi laksana ruh bagi agama yang memberi
hidup, dengan teosofi perasaan seorang beragama menjadi baha-
gia,41 menjadi luas karena teosofi menjelaskan kedalaman ilmu dan
agama, menjadi penerang, cahaya dan penuntun hidup.42 Laksana
sayap, teosofi dapat membawa terbang seorang pemeluk agama
dari yang gelap menuju terang, dari yang fana‘ menuju baka‘, dari
ketertarikan hanya kepada yang tampak-terbatas kepada keindah-
an inti agama yang maha luas tak terbatas.43
Karena fokus teosofi kepada jantung agama, maka dalam pe-
ngertiannya yang khusus, seorang teosof sejati sesungguhnya telah
melampaui (beyond) syari’at, identitas, buku dan bentuk agama-
agama.44 Dalam pengertian inilah teosofi lebih luas dari agama-
agama dunia karena fokus teosofi sampai kepada hakikat dan makri-
fat,45 sampai kepada pengalaman, “mengalami” langsung, “kenya-
taan,” “kebenaran” yang dialami dibanding sekadar terpikat kepada
identitas dan terpenjara oleh kulit luar agama. Dalam sebuah pu-
blikasi ditegaskan oleh pemimpin redaksi Koemandang Theosofie:

Kami sendiri berfikir, Theosofie itoe sesoenggoehnja segala peladjaran-


nja soedah ada lebih loeas dari pada agama-agama kebanjakan, kerana
semoea peladjarannja itoe, orang tidak boleh menerima dengan lantas
pertjaja sadja, pada sebeloem peladjaran itoe dinjatakan sendiri, dija-
kinkan sendiri bagaimana kenjatannja...46

Jika dianalogikan dengan agama sebagai badan atau sistem yang


total, teosofi bisa lebih dari agama karena ia merupakan inti sari
agama-agama karena perhatian totalnya hanya kepada Tuhan47 dan
kepada keelokan dan kelurusan budi, cinta kasih, persaudaraan

80 Wajah Studi Agama-Agama


dan perdamaian utuh, sementara agama sangat memungkinkan
untuk “ditafsirkan” dalam cahaya buram kekerasan, kebengisan,
konflik, perang dan saling bunuh antarmanusia atau setidaknya
selalu memandang ke-liyan-an orang lain (yang berbeda).
Mengenai pengertian agama yang condong kepada kehalusan
budi dan cinta kasih, Labberton menjelaskannya sebagai berikut:

Sebab jang diseboet igama itoe, sifatnja: tjinta pada sesama, ringan memberi
pertoeloengan dan sofan ati boedinja; djadi jang diseboet igama jang sedjati
itoe boekannja perkara lahir, tetapi perkara di dalem ati, batin. Djika
sareat igama itoe dikeras-kerasken, dibagoes-bagoesken dengan tjeri-
ta’an dan pentjela’an pada lain roepa igama, itoelah djadi bidji kedja-
hatan.48

Dalam pengertian ini pula, sudah tidak memadai lagi jika dok-
trin teosofi yang menekankan rasa kesucian dan pengalaman “rasa
ketuhanan” kemudian diikat-ikat oleh adat, cara, wujud, bentuk
agama dan kekuasaan lahir. Semua ikatan itu akan membatasi hidup
bahkan membunuh hidup padahal hidup memberi kebebasan
kepada manusia.49 Nah, teosofi hanya terikat kepada Tuhan Yang
Maha Tak Terbatas. Kritik teosofi itu tertuju kepada dua hal: per-
tama, kepada orang yang menuhankan syari’at, akidah dan iden-
titas. Menurut teosofi, orang mestinya setia dengan esensi agama
dibanding kepada bentuk atau manifestasinya. Saat ini banyak orang
melakukan kekerasan, merusak kehidupan sesamanya bahkan
membunuh dengan dalih setia kepada “syari’at agama,” padahal
“esensi agama” mengutuk perbuatan itu. Kedua, sekarang banyak
orang yang lebih terpikat kepada lahiriah hidup yang glamour atau
pada kekuasaan lahiriah hingga menghalalkan segala cara untuk
meraihnya, sementara esensi/roh hidup diabaikan padahal esensi
hidup itulah yang mulia karena di dalamnya bersemayam nilai-nilai
kejujuran dan kesucian hidup yang harus mewujud dalam praktik.
Apakah teosofi membuat seseorang menjadi tak setia dengan
syari’at, ajaran atau doktrin agamanya? Tidak juga. Karena selain

Dr. Media Zainul Bahri 81


menegaskan bahwa teosofi bukan sebuah agama atau agama baru,
Perhimpunan Teosofi dan ajaran-ajarannya tidak hendak memin-
dahkan agama seseorang (Islam misalnya) ke agama lain (Kristen
misalnya); tidak menghendaki konversi agama, seperti penegasan
di bawah ini:

Perhimpoenan Tasaoef ini djangan kita kira jang bakal mendjadikan


atau memasoekkan igama atau menoeroet pada lain Nabi, saoepama
Christen di djadikan Islam atau Islam di djadikan Christen, itoe per-
himpoenan Tasaoef tida sekali-kali akan mempergoenakan jang sade-
mikian, melainkan perhimpoenan Tasaoef bilang mesti kita lid-lid dari
lain igama mesti roekoen akan mentjahari apa kehendaknja dan mak-
soednja dari kita ampoenja Nabi seperti kita misti taoe apa jang dipe-
rentah oleh Nabi kita, dan kita misti taoe apa kepintarannja Nabi dan
perdjalananja, itoe kita semoea lid wadjib mengetahoei..50

Kutipan di atas menunjukkan dengan jelas justru Perhimpunan


ini menginginkan para pemeluk agama—sebagai anggota-ang-
gotanya—untuk meyakini betul agama masing-masing dengan cara
mempelajari maksud dan inti ajaran nabi masing-masing serta hi-
dup rukun dalam kebersamaan meskipun berbeda agama dan ke-
yakinan.51 Menurut klaim MTI, pada kenyataannya, alih-alih terjadi
konversi—teosofi justru memperkuat keyakinan keagamaan sese-
orang dan para pengikut teosofi tetap setia dengan (syari’at) agama-
agama masing-masing namun dalam pemahamannya yang mistik-
filosofis yang melampaui (beyond) makna-makna lahiriah semata.
Teosofi membuka mata hati para pemeluk agama untuk mengenal
lebih dalam agama masing-masing yang belum pernah diketahui
sebelumnya, bahkan—dalam beberapa kasus—menolong orang un-
tuk taat beribadah sesuai keyakinannya. Dalam sebuah kutipan di
atas, telah dijelaskan pernah ada kasus seseorang hendak murtad dari
agamanya, tetapi guru teosofi menjelaskan kebenaran dan kenya-
taan agamanya hingga ia urung menjadi murtad.52

82 Wajah Studi Agama-Agama


Bagi teosofi, ajaran dan tujuan agama sesungguhnya bisa dipa-
hami oleh akal, karenanya agama selaras pula dengan kaidah-kaidah
yang logis dan rasional. Karena itu, tidak benar kecurigaan dan
tuduhan-tuduhan bahwa teosofi adalah agama baru yang menyesat-
kan dengan model sinkretik (campuran berbagai ajaran agama yang
berbeda), teosofi melemahkan keyakinan seseorang, teosofi menjadi
ajang konversi atau teosofi hendak merelatifkan dan menyamakan
semua agama.53 Ada tuduhan bahwa teosofi adalah agama Hindu
dan Buddha, atau Gerakan Hindu Baru (New Hindu Movement). Be-
berapa orang Islam menuduh Teosofi sebagai agama Kristen. Jika
membaca publikasi-publikasi MTI dari tahun 1900 hingga 1950-
an, segala tuduhan itu tidak sesuai dengan fakta penjelasan-pen-
jelasan publikasi mereka.
Kedua, teosofi dan agama memiliki tujuan yang sama. Teosofi
mengarahkan pandangan dan tujuan seorang manusia hanya ke-
pada Tuhan, mengajarkan untuk terus memupuk kesucian batin,
mengasihi dan mencintai sesama, saling tolong dan bekerja sama,
menyuburkan akal-budi yang jernih, kejujuran, kesabaran, keadilan
dan kebijaksanaan. Bukankah hal-hal tersebut juga menjadi tujuan
normatif agama-agama? Dalam banyak publikasi MTI, mereka me-
negaskan bahwa tujuan teosofi sama dan sejalan dengan tujuan
agama.54 Teosofi dan agama sama-sama menghendaki kebahagiaan
manusia dengan cara pengalaman spiritual. Teosofi hendak mencari
hakikat (rahasia) agama55 untuk apa? Untuk mencapai kebenaran.
Jika demikian, agama sendiri telah “mengandung” atau “menam-
pung” kebenaran dan teosofi adalah alatnya. Karena itu, tak ada
pertentangan di antara keduanya. Jika agama hendak menemukan
kebenaran, maka agama dan teosofi adalah satu tujuan. Jika pun
seorang penganut agama merasa kesulitan mencapai hakikat (ra-
hasia terdalam) agama, maka ia dan seorang teosof tetap dapat ber-
sahabat dan bersaudara, tidak mesti menjadi musuh dan terjadi
pertentangan.56 Secara umum, agama dan teosofi bertujuan sama:
sama-sama menghendaki sampai kepada kebenaran, persaudaraan
dan perdamaian di antara umat manusia dan akhirnya kemajuan

Dr. Media Zainul Bahri 83


dunia dalam cahaya keadilan, kemakmuran dan kesetaraan. Dalam
bahasa lain, MTI menegaskan bahwa teosofi dan agama-agama du-
nia hendaknya bersatu mengusahakan perdamaian. Dengan berba-
gai tujuan yang normatif itu, tampak bahwa teosofi dan agama
menghendaki kesempurnaan hidup manusia atau membimbing
hidup manusia ke arah kesempurnaan lahir dan batin.
Dalam salah satu publikasi Perhimpunan Teosofi disebutkan
boleh jadi ada perbedaan antara agama dan teosofi. Perbedaannya
adalah jika agama menjanjikan berbagai dogma dan doktrin, ter-
utama yang berkaitan dengan hal-hal metafisis dan para penganut-
nya harus menerima dan memercayainya begitu saja, maka teosofi
menjelaskan dogma-dogma itu. Banyak pemeluk agama yang tidak
puas dengan berbagai dogma yang harus diimani, ternyata mereka
menemukan penjelasannya ketika menjadi anggota teosofi.57 Jika
dilihat secara jeli, sesungguhnya tidak ada perbedaan, yang ada
adalah teosofi menjelaskan agama; teosofi menyempurnakan pen-
jelasan-penjelasan mengenai doktrin-doktrin agama yang selama
ini taken for granted. Bagi seorang teosof, agama tak lain adalah
ajaran yang menuntun manusia kepada kenyataan, kenikmatan
dan kesempurnaan. Dalam konteks ini, ada dua model orang ber-
agama: (1) mengerjakan ajaran agama di mulut, (2) mengerjakan
ajaran agama di hati.58 Orang yang memahami dan mempraktikkan
agama sampai ke dalam (hati) dan menjadi sikap hidup sehari-hari
berarti ia telah menjadi seorang teosof; paham dan praktik keaga-
maannya sejalan dengan teosofi. Di sini agama sebagai kenyataan,
pengalaman dan kebenaran yang dirasakan berarti sama dengan
tujuan teosofi.
Relevan dengan pembahasan ini adalah karya William C.
Chittick yang sangat menarik yang berjudul Science of the Cosmos,
Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern
World (2007). Dalam karya itu, Chittick memfokuskan pembahasan
pada dua model pengetahuan yang hampir seluruhnya dianut oleh
kaum Muslim dalam beragama, yaitu: (1) pengetahuan nukilan atau
nakliah (naql) atau pengetahuan tiruan atau meniru (taqlid) dan

84 Wajah Studi Agama-Agama


(2) pengetahuan akliah atau intelektual (‘aqliyah) atau disebut juga
pengetahuan dengan cara realisasi dan verifikasi (tahqiq). Menurut
Chittick, ilmu nakliah dicirikan oleh fakta bahwa ia harus diturun-
kan dari satu generasi ke generasi lain. Satu-satunya cara yang mung-
kin untuk mempelajarinya adalah dengan menerimanya dari orang
lain. Pengetahuan nukilan bergantung pada apa kata orang. Ini ada-
lah semacam pengetahuan yang paling umum dalam setiap budaya
atau agama. Kaum Muslim mengetahui bahwa Allah menyeru me-
reka untuk mendirikan shalat wajib lima kali sehari atau puasa pada
bulan ramadhan, tetapi pengetahuan ini mereka ambil dari penje-
lasan ulama, yaitu kaum yang telah mempelajari al-Qur`an dan ha-
dis. Mereka tidak dapat benar-benar menemukan apa yang Allah
inginkan dari mereka tanpa penukilan dari sumber-sumber yang
diwahyukan. Dalam Islam, termasuk ke dalam ilmu nakliah ini
adalah ilmu fikih, tafsir, hadis, gramatikal bahasa Arab dan sejarah.59
Sebaliknya, pengetahuan akliah tidak bisa diturunkan, meski-
pun guru-guru tetap dibutuhkan guna membimbing ke arah yang
benar. Cara untuk menerimanya adalah dengan menemukannya
dalam diri sendiri melalui latihan pikiran, kontemplasi, atau sebagai-
mana yang disebutkan dalam banyak teks, dengan “menjernihkan
hati.” Tanpa menguak pengetahuan tersebut melalui penemuan
diri, maka orang akan bergantung pada yang lain dalam segala se-
suatu yang dia ketahui. Contoh umum dari ilmu akliah, meskipun
ia tidak memenuhi semua kriteria, adalah matematika. Kita tidak
mengatakan, “Dua ditambah dua sama dengan empat karena se-
jumlah pihak berwenang mengatakan demikian.” Pikiran mampu
menemukan dan memahami kebenaran matematis tersebut de-
ngan sendirinya. Ketika ia menemukannya, itu tidak bergantung
kepada sumber-sumber eksternal. Pengetahuan itu dinyatakan be-
nar karena kita memahaminya dan hal itu bersifat self-evident. Kita
tidak bisa menyangkal kebenarannya sama dengan tidak bisanya
kita menolak kesadaran kita sendiri. Dalam tradisi Islam, ilmu
tasawuf dan filsafat Islam adalah kategori ilmu akliah yang mampu

Dr. Media Zainul Bahri 85


menemukan atau mengalami secara langsung “kenyataan” dan
“kebenaran” akan Tuhan dan alam ini secara meyakinkan.
Menurut Chittick, baik ilmu nukilan/nakliah maupun penge-
tahuan intelektual/akliah sangat penting bagi kelangsungan hidup
agama apa pun. Untuk menjadi anggota salah satu agama, budaya,
masyarakat atau kelompok, orang perlu belajar dari mereka yang
sudah menjadi anggota, dan proses belajar ini berlangsung dengan
cara “meniru.” Namun, yang terbaik tentu adalah “mengalami lang-
sung” akan “kenyataan atau kebenaran” dalam diri kita, bukan
sekadar meniru orang atau terus bergantung kepada apa kata orang.
Para cendekiawan Muslim berpendapat bahwa meniru orang lain
dalam masalah-masalah intelektual adalah status pemula atau pela-
jar, bukan seorang pakar, namun meniru al-Qur`an dan Nabi dalam
masalah-masalah nukilan berarti telah mengikuti jalan yang benar.60
Dalam publikasi MTI yang lain disebutkan pula suatu perbe-
daan: bahwa jika agama dasarnya adalah kepercayaan, maka teosofi
mengakarkan diri pada kenyataan. Teosofi sebagai dharma berarti
kenyataan, sedangkan agama berarti kepercayaan.61 Bagi MTI, ke-
nyataan lebih tinggi atau lebih utama dibanding kepercayaan seba-
gaimana tercantum dalam slogan Teosofi “Satyan Nasti Paro Dhar-
ma:” “tak ada agama yang lebih tinggi daripada kenyataan (kebe-
naran).” Namun, apa yang disebut perbedaan itu sesungguhnya
juga bukan perbedaan, namun hubungan yang erat antara kedua-
nya. Dalam sebuah istilah yang dibuat MTI disebutkan bahwa
“kenyataan” ada di dalam dharma, namun dharma tentu saja mun-
cul karena adanya “kepercayaan penuh.”62 Dengan kepercayaan
penuh, berbudi luhur, lalu “mengamalkan” lelaku spiritual dan
mengarahkan komunikasi hanya kepada Tuhan sesuai atau seperti
yang diajarkan oleh agama masing-masing, maka seorang pemeluk
agama dapat naik derajatnya dari sekadar “percaya” menjadi “meng-
alami kenyataan/kebenaran” seperti yang dikehendaki oleh teosofi.
Inilah relevansi pernyataan kaum teosofi bahwa teosofi adalah tiang-
nya agama; inti/esensi atau jantung agama. Jika seseorang telah sam-
pai pada derajat ini—yang berarti ia telah melampaui identitas, kulit

86 Wajah Studi Agama-Agama


atau bentuk-luar agama—maka ia akan “mengalami” akan “kenya-
taan-kebenaran-kedalaman” agama yang dianutnya. Dalam bahasa
lain, jika seseorang mampu memahami dan mempraktikkan agama
sampai pada “hakikat”nya atau “rasa”nya, maka ia akan mengerti
bahwa agama sejalan dengan teosofi.63 Karena itu, Perhimpunan
Teosofi menegaskan bahwa teosofi tidak bertentangan dengan aga-
ma karena teosofi mengandung inti semua agama dan filsafat. Teo-
sofi adalah inti sari agama, filsafat dan ilmu pengetahuan.64

E. Munculnya Masyarakat Teosofi


Indonesia
Gerakan Teosofi didirikan pertama kali di kota New York, Ame-
rika Serikat, tahun 1875 oleh 16 orang, termasuk inisiator, Helena
Petrovna Blavatsky (1831-1891), seorang wanita bangsawan ketu-
runan rusia yang memiliki bakat mistik atau supranatural yang luar
biasa. Termasuk di antara mereka adalah dua orang Amerika, yakni
Henry Steel Olcott dan William Quan Judge, sekutu dekat Blavatsky.
Segera setelah organisasi tersebut berdiri, Henry Olcott diangkat
menjadi Presiden pertama perkumpulan yang kemudian diberi
nama Theosophical Society (TS). Tahun 1879 Blavatsky dan Olcott
menancapkan pengaruh mereka di India, dan baru pada 1883 pusat
TS dipindahkan oleh Madam Blavatsky dari New York ke Adyar,
India. Tahun 1907, TS memasuki babak baru karena munculnya
seorang tokoh baru asal Inggris, yaitu Annie Bessant, menjadi Presi-
den TS menggantikan Olcott. Tokoh inilah yang membawa TS ber-
pengaruh secara tajam, tidak saja di India, namun menyebar ke
seluruh dunia, termasuk Indonesia.65
Menurut Iskandar Nugraha (2001 & 2011), bukti-bukti pasti
yang mengungkap kemunculan awal Gerakan Teosofi di Indone-
sia hampir tidak ada kecuali beberapa catatan yang hanya memberi
gambaran bersifat umum. Salah satu gambaran umum itu memberi
petunjuk bahwa Gerakan Teosofi di Hindia (Indonesia) pertama kali
didirikan di kota Pekalongan, Jawa Tengah, 8 tahun sesudah Teosofi
berdiri di Amerika tahun 1883, dan sebagai bagian dari Gerakan

Dr. Media Zainul Bahri 87


Teosofi Nederland, dan tentu saja semuanya menginduk kepada
gerakan Internasional yang berpusat di Adyar, India. Loji (lodge)
Teosofi di kota kecil ini dipimpin seorang bangsawan Eropa, Baron
van Tengnagel. Tahun 1883 belum dapat dipastikan sebagai awal
Gerakan Teosofi di Hindia secara pasti, sebab sumber lain menye-
butkan tahun 1881. Yang dapat dipastikan oleh Nugraha adalah
bahwa kemunculan awal Gerakan itu berada di akhir abad ke-19.
Saat itu, setidaknya Teosofi telah menarik perhatian sebagian ma-
syarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah. Siapa, apa dan bagaimana
latar belakan pendiriannya belum diperoleh petunjuk yang pasti.
Yang diketahui adalah bahwa The Pekalongan Theosophical Society
ini dipimpin seorang Kapitein Infantri tentara Hindia Belanda yang
pernah ditempatkan di Dinas Topografi. Organisasi tersebut secara
sah diakui kantor pusat Teosofi di Adyar dan izinnya ditanda tangani
Kolonel Olcott.66
Namun sesungguhnya, jauh sebelum Blavatsky mendirikan
Teosofi di New York (1875), Madam diberitakan pernah berkun-
jung ke Hindia lebih dari satu kali. Menurut majalah Teosofi, Luci-
fer, perhatian Madam cukup tinggi kepada Hindia sebelum ia men-
dirikan Teosofi, terutama tentang kemungkinan nilai-nilai Jawa
yang menurutnya dapat dijadikan penyumbang ajaran Teosofi. Da-
lam rangka itulah, pada 1852-1860, Blavatsky mengunjungi candi
Mendut dan Borobudur, dan sempat singgah di Pekalongan dan
bermalam di Pesanggrahan Limpung di bawah gunung Dieng. Pada
1862, ia kembali berkeliling pulau Jawa dan diberitakan menying-
gahi banyak tempat di Jawa. Menurut Iskandar, kemungkinan
munculnya Gerakan Teosofi awal di Pekalongan dapat dikaitkan
dengan fakta kunjungan Blavatsky di Jawa, dan kemungkinan kuat
kegiatan Gerakan Teosofi paling awal di Hindia ini masih terbatas
pada aspek kebatinan saja seperti yang berlangsung di pusatnya
saat itu.67 Mengenai kegiatan detail organisasi Teosofi di akhir abad
ke-19 di Hindia serta aktivitas Baron van Tenggnagel hingga wa-
fatnya, menurut Iskandar masih gelap alias belum terkuak. Yang
diketahui Baron meninggal di Bogor tahun 1893.68

88 Wajah Studi Agama-Agama


Dalam catatan Nugraha, babak baru gerakan teosofi dimulai
kembali pada awal abad 20. Pada 1901, muncul kembali kelom-
pok-kelompok pelajar teosofi di kota semarang. Propaganda-pro-
paganda untuk menarik orang agar masuk gerakan ini diprakarsai
oleh Asperen Velde, orang Belanda dan direktur sebuah percetakan
dan penerbitan buku-buku. Dengan pekerjaannya itu, ia menyebar-
kan brosur-brosur mengajak orang menjadi anggota teosofi. Dari
jumlah anggota pertama hanya 7 orang di Semarang, gerakan teo-
sofi mulai menyebar ke daerah lain seperti Surabaya, Yogyakarta
dan Surakarta. Karena kepeloporannya, Asperen kemudian dijuluki
sebagai “Bapak Pemimpin loji bagian Batin.”69
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa di awal abad ke-20 hing-
ga tahun 1933, gerakan teosofi Indonesia merangkak maju secara
pelan namun pasti; dari tahun ke tahun mendapat simpati dan ang-
gota yang terus membengkak. Pada masa keemasannya, kira-kira
tahun 1910 hingga 1930, teosofi membangun banyak organisasi
sayap demi merealisasikan semangat persaudaraan, menyebarkan
paham teosofi, dan memberdayakan kaum pribumi, terutama da-
lam bidang pendidikan dan pengembangan kualitas moral ketimur-
an yang adiluhung. Nugraha mengurai beberapa organisasi penting
yang lahir di bawah teosofi, yakni: (1) Bintang Timoer (1911), yang
mengkhususkan pengajaran dan praktik tasawuf dan kebatinan,
(2) Moeslim Bond (1924), wadah bagi kaum Muslim anggota teosofi
untuk belajar menerima kenyataan akan perubahan-perubahan du-
nia, (3) Mimpitoe atau M 7 (1909), yaitu organisasi yang berfokus
memerangi 7 hal: (a) Main (berjudi), (b) Minoem (mabuk), (c) Ma-
don (main perempuan), (d) Madat (mabuk karena menghisap ganja
dan sejenisnya), (e) Maling, (f) Modo (mencela atau mengumpat
karena dengki dan benci), (g) Mangani (makan berlebihan dari yang
dibutuhkan), (4) Perhimpunan Toeloeng-Menoeloeng (1909), (5) Wi-
dija-Poestaka (1909), yaitu organisasi yang bertujuan mengumpul-
kan setiap pengetahuan zaman kuno yang ditemukan di Hindia
(Nusantara). Upaya ini dilakukan semata-mata untuk melindungi-
nya dari kemusnahan. (5), NIATWUV (Nederlandsch-Indische Wereld

Dr. Media Zainul Bahri 89


Afdeling Theosofische Wereld Universiteit Vereeniging), yaitu Per-
himpunan Universitas Dunia Teosofi Cabang Hindia Belanda yang
menyelenggarakan sejumlah sekolah dan mendukung pendirian
sejumlah pranata pendidikan di Hindia. Salah satu sekolah yang
didirikan dan menjadi favorit adalah Sekolah Arjuna (Ardjoena-
scholen) (1914).70 Sekolah-sekolah yang didirikan kaum teosofi di-
beri nama Sekolah Arjuna karena tokoh ini sangat digandrungi tidak
hanya di dunia wayang, namun juga oleh orang-orang teosofi, dan
wayang adalah salah satu media penyebaran paham teosofi yang
terfavorit,71 (6) Organisasi Ati Soetji (1914), yang berupaya mema-
jukan kehidupan kaum wanita dan usaha-usaha sosial lainnya. Tiga
tujuan Ati Soetji; menjunjung derajat kebangsaan; memajukan
onder-wijs (pengajaran); dan membantu ekonomi kaum Bumiputra.
Selain itu juga bertujuan mengadakan perlindungan, pertolongan,
dan tunjangan kepada mereka yang terkena celaka atau sengsara
karena kejahatan.72
Dalam hal keanggotaan, penting dipertanyakan siapakah ma-
yoritas anggota teosofi Indonesia? Nugraha memiliki penjelasan
yang cukup jelas. Hasil risetnya menunjukkan bahwa Gerakan Teo-
sofi di Hindia (Indonesia) terdiri orang-orang Belanda asli, Bumi-
putera, China dan Indo-Eropa (keturunan Eropa). Sampai tahun
1900-an mayoritas Indo sebagai bagian dari masyarakat Eropa Hin-
dia Belanda memiliki kedudukan sosioekonomi yang buruk dan
teralienasi. Hal ini karena mereka ditolak oleh “ayah” mereka sen-
diri bangsa Eropa dan tuntutan-tuntutan mereka tak pernah digu-
bris. Di sisi lain, mereka juga sulit menyesuaikan diri dengan kaum
Bumiputera karena posisi mereka yang tetap sebagai orang Eropa.
Dengan keadaan ini, kaum Indo yang menjadi penganjur Gerakan
Asosiasi mendominasi keanggotaan teosofi. Dalam gerakan ini,
mereka agaknya menemukan konsep yang membawa mereka de-
kat dengan kalangan Bumiputera dan dapat memperjuangkan per-
samaan seperti yang dikatakan Ricklefs, “Theosophy...was one of the
few movements which brought elite Javanese, Indo-Europeans and
Dutcman together in this period...”.73

90 Wajah Studi Agama-Agama


Golongan Bumiputera merupakan golongan kedua terbanyak
menjadi anggota Teosofi. Di antara kalangan Bumiputera, orang Jawa
merupakan kelompok yang paling dominan menjadi anggota. Kon-
sep teosofi dan pendekatan para pemimpin teosofi adalah dua faktor
penyebab utama tertariknya kaum priyayi Jawa74 terhadap gerakan
ini. Ajaran-ajaran teosofi yang bersifat esoterik, spiritual atau “keba-
tinan” cocok dengan budaya para priyayi Jawa yang menyukai mis-
tik. Ajaran teosofi dianggap banyak kesamaannya dengan ajaran-
ajaran rahasia yang terdapat dalam kitab-kitab kuno berbahasa Jawa
(sebagai warisan mulia leluhur orang-orang Jawa). Para priyayi Jawa
itu, meskipun menganut agama Hindu, Islam atau Kristen, pada
kenyataannya mereka adalah panteis yang berhasil mengkom-
binasikan kepercayaan dari agama resmi mereka dengan pemikiran
leluhur (nenek moyang) yang memiliki sifat mistik. Itulah sebab-
nya, menurut Nugraha, mengapa Gerakan Teosofi meskipun kemu-
dian menyebar luas di Nusantara, pengaruh terkuatnya justru terda-
pat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.75
Menurut Nugraha, masuknya seorang Bumiputera dalam ling-
kungan teosofi yang kebanyakan anggotanya dari kalangan bang-
sawan tinggi (priyayi) tentu menjadi suatu gengsi atau kebanggaan
tersendiri. Anggota-anggota pertama dari kalangan priyayi yang
kemudian turut menyebarluaskan ajaran teosofi di kalangan pelajar
adalah tokoh-tokoh berkarisma tinggi, baik karena kedudukan, pen-
didikan maupun karena pemikiran-pemikiran mereka. Faktor
inilah yang membuat kaum terpelajar non-priyayi (umumnya orang
Jawa) tertarik untuk bergabung dengan teosofi. Kesempatan ber-
gaul dengan kaum priyayi tinggi dan orang-orang Eropa (terutama
Belanda) berkedudukan tinggi yang mau menghargai keberadaan
mereka, merupakan hal yang sangat langka pada masa itu. Terlebih
lagi, Gerakan Teosofi juga memiliki fasilitas intelektual yang me-
madai, misalnya perpustakaan. C.L.M. Panders, penulis The Life
Times of Soekarno (1974), seperti dikutip Nugraha, menceritakan
bahwa “Soekarno menghabiskan waktu berjam-jam di Perpusta-
kaan Theosophical Society di mana ia memperoleh akses karena ke-

Dr. Media Zainul Bahri 91


anggotaan ayahnya. Di sanalah ia bergumul dengan pemikiran
tokoh-tokoh politik termasyhur dalam sejarah.”76 Selain perpus-
takaan yang memiliki koleksi literatur yang lengkap, Gerakan Teo-
sofi (lewat organisasi NITV), juga menyediakan sarana bagi arena
diskusi-diskusi terbuka, baik dalam studie-klasse atau dalam bentuk
openbare lezing (ceramah terbuka).77
Watak kolonial yang diwarnai oleh pembagian masyarakat ber-
dasarkan warna kulit yang tajam (colour line division) dan prinsip
dasar Gerakan Teosofi yang tidak memandang warna kulit, ras, aga-
ma dan suku-bangsa, semakin mendorong kalangan Bumiputera
terpelajar bergabung dalam organisasi ini. Berkaitan dengan domi-
nasi orang-orang Jawa, pada kongres teosofi pertama di Yogyakarta
pada 1907, dari 78 orang utusan yang hadir di rumah M.R.T. Sosro-
negoro, 19 priyayi bergelar “Raden” (R), “Raden Mas” (RM), dan
“Raden Ngabehi” (R.Ng). Sementara 17 lainnya adalah priyayi wa-
nita. Meskipun Jawa amat dominan, diantara anggota-anggotanya
ada juga yang berasal dari kelompok suku lain seperti Sunda, Mi-
nangkabau, Melayu, bahkan Manado dan Ambon. Berdasarkan
ladenlijst (daftar keanggotaan) tahun 1914 dan 1915, selain para
priyayi Jawa, terdapat banyak kaum bangsawan dari Sumatera Barat
(Minangkabau). Hal ini dibuktikan dengan adanya gelar-gelar yang
ditulis sesudah nama mereka, yaitu “Galar Sutan,” “Galar Datuk,”
“Galar Marah,” “Galar Tan,” “Datuk Rangkayo,” dan lainnya.78 Di
antara orang Sumatera Barat yang menjadi anggota adalah Haji Agus
Salim, tokoh-pejuang dan pahlawan nasional, dan Dt. Sutan Maha-
radja, seorang tokoh pergerakan nasional yang sangat terkenal.79
Orang-orang Sunda yang menjadi anggota juga banyak yang ber-
gelar “Raden.”80
Secara detail, Herman Tollenaere menguraikan bahwa pada
1930 keanggotan teosofi Indonesia mencapai puncaknya, yaitu 2090
orang, yang terdiri dari: (1) 1006 orang-orang Eropa yang lebih dari
50 %-nya adalah orang-orang Belanda, (2) 876 orang-orang asli Indo-
nesia, (3) 208 orang-orang asing dari Asia, dan (4) 190 orang-orang
China dan India (orang-orang India berjumlah sekitar 20 orang dari

92 Wajah Studi Agama-Agama


angka itu). Secara geografis, keanggotaan (dan loji-loji) berpusat di
Jawa, dan secara sosial, sebagian besar anggota orang Indonesia
adalah para priyayi Jawa, sebagian kecil orang-orang Sumatera Barat
dan Ningrat Bali.81
Selain dari gambaran keanggotaan diatas, jika kita menelaah
lebih lanjut tulisan-tulisan tentang Islam dalam majalah-majalah
Teosofi, kita juga menemukan satu kelompok lain, yaitu kaum santri
Muslim. Kelompok santri ini bisa berasal dari golongan priyayi,
meskipun sangat jarang, atau berasal dari kaum terpelajar non-priya-
yi. Dalam stratifikasi masyarakat Jawa, kaum santri ini kedudukan-
nya lebih tinggi dari orang-orang kecil/biasa (wong cilik) tetapi tetap
lebih rendah dari kaum priyayi. Mengenai keanggotaan kaum san-
tri Muslim terpelajar ini, Agus Salim menyatakan:
Saya bergabung ke dalam Theosophical Society karena saya melihat
mereka mengakomodasi banyak kaum Muslim, khususnya Muslim
yang diasingkan karena pendidikan Baratnya namun masih berpe-
gang kuat pada tradisi. Mereka adalah orang-orang yang tertarik pada
Theosophical Society.82

Dr. Media Zainul Bahri 93


BAB IV
TEOSOFI DAN MODEL STUDI
PERBANDINGAN AGAMA

Bab ini akan menjelaskan aktivitas dan model studi Perbandingan


Agama yang dilakukan oleh MTI. Bab ini merujuk kepada majalah-
majalah (istilah yang digunakan saat itu untuk menyebut jurnal)
yang mereka terbitkan mulai tahun 1900 hingga 1954 yang mere-
kam sebuah episode penting dalam kehidupan sosial-keagamaan
Indonesia, di antaranya Pewarta Theosophie Boeat Tanah Hindia Ne-
derland (atau PTHN, Bahasa Melayu, 21 volume, 188 Nomor, 1911-
1938), Teosofie In Nederland Indie: Theoshopie Di Tanah Hindia Neder-
land (Bahasa Belanda dan Melayu, 80 Nomor, 1918-1925), Theoso-
phie in Nederlandsch Indie (atau TINI, Bahasa Belanda, 1912-1930),
Kumandang Theosofie (atau KT, Bahasa Melayu, 6 volume, 46 Nomor,
1932-1937) dan Persatoean Hidoep (atau PH, Bahasa Melayu, 11 Vo-
lume, 109 Nomor, 1930-1940), Pewarta Theosofie Boeat Indonesia
(atau PTBI, Bahasa Melayu, 1912-1930), dan Pewarta Theosofi
Tjabang Indonesia (atau PTTI, Bahasa Melayu, 1954).1 Publikasi MTI
yang berbahasa melayulah yang saya jadikan sumber utama dalam
bab ini.
Kita akan melihat bagaimana pemahaman keagamaan mereka
yang esoterik dan hubungannya dengan agama-agama lain, atau
pemahaman esoterik mereka tentang agama-agama. Dari diskusi-
diskusi dan tulisan yang dipublikasikan tampak bahwa mereka
banyak membedah paham pluralisme yang menyangkut tema Satu
Tuhan banyak nama (agama), kesatuan esensial para nabi dan kitab-
kitab suci, dan model perenial serta komparasi yang mereka laku-
kan.

Dr. Media Zainul Bahri 99


A. Teosofi dan Doktrin Agama-Agama
Dalam konteks studi Perbandingan Agama, satu hal yang sangat
menonjol pada kegiatan MTI adalah membedah doktrin agama-
agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Di sini setiap penulis
atau peminat kajian agama yang beragam menjelaskan ajaran agama
masing-masing sejauh yang dapat dijelaskan hingga menukik ke
aspek batin/esoterik dari agama mereka. Penjelasan mengenai aspek
mistik-esoterik merupakan hal yang terpenting yang menjadi fokus
mereka, dan dalam beberapa kesempatan mereka kaitkan hal itu
dengan doktrin teosofi di mana mereka duduk sebagai anggota/
pengikutnya. Bagaimana pun, penjelasan mengenai aspek syari’at
atau eksoterik agama tetap mendapat porsi yang luas karena tidak
mungkin menjelaskan yang esoterik tanpa mendeskripsikan yang
eksoterik.
Maka, anggota teosofi dalam agama apa pun akan mendengar
atau membaca doktrin agama orang lain melalui ceramah dan tulis-
an langsung pemeluknya (tokoh atau sarjananya).2 Para pemeluk
agama mendapat penjelasan tentang agama lain langsung dari ta-
ngan pertama, hingga mereka memiliki pemahaman yang cukup.
Kata pemahaman mengandung beberapa pengertian. Pertama, pe-
mahaman yang belum utuh sehingga memunculkan rasa kepe-
nasaran dan keingintahuan lebih lanjut. Di sini lalu muncul dialog
atau diskusi yang komprehensif. Kedua, pemahaman yang cukup
baik dan mendalam, namun pendengar atau pembaca tetap meng-
ajukan pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan yang kritis. Ketiga,
dari pemahaman yang baik dan utuh muncullah cara pandang dan
sikap yang positif terhadap agama lain, seperti adanya respek, sim-
pati dan empati atau “merasakan” akan paham, keyakinan dan ritus
agama orang lain yang berbeda.

1. Islam dan Teosofi


Dari kalangan Islam tampillah kaum terdidik Muslim yang
cukup mengerti bahkan mendalami ajaran Islam—untuk ukuran
sekarang, kita sebut saja mereka kaum sarjana agama, meskipun

100 Wajah Studi Agama-Agama


tidak bergelar Doktor atau Profesor yang memang langka saat itu—
yang menjelaskan banyak aspek doktrin Islam. Dalam banyak pu-
blikasi MTI dan dalam rentang waktu belasan hingga puluhan
tahun, mereka membedah detail-detail ajaran atau syari’at Islam,
seperti rukun Islam yang meliputi syahadat, shalat, zakat, puasa
dan haji, serta rukun iman: iman kepada Allah, Malaikat, para
utusan Tuhan, kitab-kitab suci, hari akhir dan ketetapan takdir.3
Yang menarik, mereka menguak aspek-aspek esoterik dari berbagai
penjelasan doktrin yang eksoterik tersebut. Pada tataran ini mereka
membicarakan tasawuf Islam, maka doktrin sufisme al-Ghazali, Ibn
‘Arabi, Rumi dan al-Junaidi kerap disebut. Ini berarti ajaran-ajaran
tasawuf sudah akrab dalam kamus keberagamaan mereka saat itu.
Di saat yang sama, mereka juga memperkaya penjelasan eksoterik
Islam dengan mistik Jawa atau Kejawen yang telah banyak dipe-
ngaruhi oleh doktrin-doktrin Hindu-Buddha.
Ketika membincang sufisme Islam, mereka menegaskan bah-
wa Islam sejalan dengan doktrin teosofi; Islam dalam pemahaman-
nya yang mendalam—maksudnya pada dimensi mistik—tidak ber-
tentangan dengan teosofi, namun sejalan-seiring, karena sufisme
dan teosofi memiliki satu tekad yang sama yaitu mencoba menguak
yang inti atau yang esensi dari ajaran kulit agama. Bahkan, dalam
beberapa kesempatan, kaum cerdik Muslim itu, ketika menjelaskan
pengertian dan seluk-beluk ‘teosofi’ mereka menyebutnya dengan
‘tasawuf’ dan penjelasannya tentu saja tasawuf Islam. Hal lain yang
cukup menonjol adalah istilah-istilah Islam yang banyak sekali di-
gunakan oleh jurnal-jurnal MTI. Mungkin teosofi Indonesia—
dengan anggota dan pembacanya yang mayoritas Muslim—meng-
ambil jargon-jargon Islam untuk lebih familier dan mudah dipa-
hami dan diterima. Kita menemukan banyak sekali kata atau istilah
seperti Allah, Gusti Allah, nabi dan rasul, ilham, tauhid, syari’at,
tarekat, ma’rifat, hakikat dan lain-lain—dengan aksen Arab—dalam
publikasi-publikasi MTI, meskipun materi yang sedang dibicarakan
misalnya tentang Hinduisme, Buddhisme, Kristen atau Konghucu.
Keadaan ini tentu berbeda dengan teosofi di tempat lain, di India

Dr. Media Zainul Bahri 101


misalnya yang kental dengan istilah dan aksen Hindu dan budaya
Hindustan. Bahkan, yang sangat khas dari teosofi Indonesia adalah
peran dan kontribusi Islam, dalam arti anggota teosofi Muslim yang
menyebarkan gagasan mengenai inklusivisme dan pluralisme
agama dengan basis sufisme Islam. Suatu keunikan yang tidak
terdapat pada gerakan teosofi di mana pun.

2. Agama Hindu dan Teosofi


Dari pemeluk agama Hindu, muncul banyak sekali penjelasan
mengenai karma, reinkarnasi, Trimurti, yoga, bhakti, kitab Weda
dan Bhagawadgita, tokoh-tokoh Hindu: dari Sri Ramakrisna hingga
Swami Vivekananda, dan lain-lain.4 Diskursus yang mencolok ter-
utama adalah konsep mistik Hindu. Penjelasan berbagai doktrin
Hinduisme terutama diarahkan untuk membedah pandangan dunia
mistik kaum Hindu dan korelasinya dengan teosofi. Bahkan, ba-
nyak kalangan yang menunjuk teosofi identik dengan Hinduisme
karena beberapa doktrin pokok teosofi seperti kepercayaan terha-
dap reinkarnasi, karma-pahala dan pandangan kosmosnya sama
atau identik dengan doktrin agama Hindu. Blavatsky sendiri begitu
terpesona dengan tradisi Hinduisme dan budaya India, dan melalui
teosofi ia ingin melestarikan semua tradisi itu. Annie Bessant, pe-
mimpin teosofi yang sangat berpengaruh setelah Blavatsky dan
Henry Olcott, menyatakan bahwa ia amat mencintai India dan
agama Hindu. India disebut Bessant sebagai ibu negerinya karena
di negeri inilah ia menemukan hidup yang sebenarnya, dan agama
Hindu dicintainya karena mengandung banyak kebenaran yang
masih tersembunyi.5 Mahatma Gandhi menyebut ajaran teosofi
Blavatsky sebagai “wajah terbaik Hinduisme.”Namun, menyebut
teosofi identik dengan Hinduisme juga tidak sepenuhnya benar
karena doktrin komprehensif teosofi merupakan kumpulan dari
kearifan hikmah abadi (perennial wisdom) agama-agama: Hindu,
Buddha, Yahudi, Kristen, Zoroaster, Konghucu, Phytagoras,
Socrates, filsafat ekslektik dan lain-lain. Jadi, tidak hanya Hinduisme.

102 Wajah Studi Agama-Agama


3. Agama Buddha dan Teosofi
Dari para penganut agama Buddha, muncul penjelasan me-
ngenai doktrin-doktrin pokok Buddhisme seperti Empat Kesunya-
taan (Catur Ariya Saccani), Jalan Tengah (Majjima-Pathipada),
Delapan Jalan Mulia, kamma (karma), reinkarnasi, hukum sebab-
akibat, roda kehidupan (Paticcasamuppada), nirwana, cinta kasih
(metta-maitri-karuna), sejarah kehidupan Siddharta dan lain-lain.6
Ada juga tuduhan bahwa teosofi adalah bentuk lain Buddisme ka-
rena Blavatsky sendiri disebut oleh A.P. Sinnet sebagai Buddhis eso-
terik (Esoteric Buddhism). Blavatsky sendiri membantah hal itu dan
menyatakan bahwa yang benar adalah ajaran kearifan Siddharta
merupakan/menjadi salah satu unsur keseluruhan doktrin teosofi.

4. Agama Kristen dan Teosofi


Kaum Kristiani tidak terlalu memberi penjelasan yang luas dan
detail mengenai ajaran-ajaran teologis mereka kecuali tentang Yesus
mistik/roh, beberapa fase kehidupan Yesus, perbandingan antara
Kristus dengan kaum sufi Muslim dan kaum sofis, perbandingan
antara Trinitas dengan Trimurti Hindu, beberapa penjelasan me-
ngenai sejarah perkembangan Kristen dan Yahudi serta tempat sem-
bahyang Kristen Protestan dan Katolik.7 Dalam banyak publikasi
MTI, anggota teosofi yang beragama Kristen dan non-Kristen ter-
utama mengarahkan pembahasan mereka tentang Yesus dan hu-
bungannya (titik-temu) dengan para tokoh/nabi agama-agama lain
dan kaitan ajaran-ajaran mistik dan kearifan Yesus dengan teosofi
dan mistik agama-agama lain. Hal ini dapat dipahami karena fokus
teosofi memang ke doktrin mistik dan Kristen sendiri bukan meru-
pakan agama syari’at layaknya Islam atau Hindu.

5. Konghucu dan Teosofi


Telah lama konghucu, baik sebagai seperangkat etik-filosofis
maupun sebagai agama, dianut oleh banyak masyarakat Indone-
sia, baik di kota-kota besar maupun di pedesaan kecil. Masyarakat
Indonesia telah lama mengenal istilah pecinan, yaitu tempat khusus

Dr. Media Zainul Bahri 103


jang sempoerna, jang djadi tjonto dan pengadjaran ilmoe kehidoepan
batin.40

Mengenai kesinambungan dan kesatuan esensial kitab suci ini,


MTI meyakini bahwa pertama, semua kitab suci: Taurat, Injil, Weda,
Upanisad, Bhagawad Gita, al-Qur‘an, Tripitaka dan lain-lain adalah
benar-benar kitab suci, berisi ajaran mulia untuk para nabi dalam
konteks yang berbeda-beda, namun berasal dari Tuhan Yang Sa-
ma.41 Kedua, jika dipahami, didalami dan dipraktikkan oleh setiap
pemeluk agama, semua kitab suci itu merupakan penerang bagi
hidup yang gelap gulita dan akan membawa keselamatan sejati.42
Ketiga, semua kitab suci sederajat; tidak ada yang lebih tinggi atau
lebih rendah antara satu dengan yang lainnya. Semua penganut
agama yang beragam hendaknya mempelajari dan melakukan studi
banding terhadap dua atau beberapa kitab suci itu.43 Keempat, de-
ngan semua kitab suci itu, Tuhan masih terus bersuara dan berbicara
kepada semua kaum beriman yang membacanya atau berdialog
dengan-Nya melalui kitab-kitab itu.44
Berbagai doktrin MTI tentang kesatuan esensial agama-agama,
pesan kenabian dan kitab-kitab suci sesungguhnya merupakan ba-
gian dari usaha Gerakan Teosofi dalam mewujudkan persaudaraan
universal di antara umat manusia dengan tanpa memandang ras,
bangsa, warna kulit dan agama. Teosofi menyandarkan ideologinya
tentang hal ini melalui mistik agama-agama. Sekali lagi, kaum teosofi
menegaskan bahwa semua agama adalah benar, sederajat dan sama-
sama berasal dari Kenyataan Ilahi. Karena doktrin ini, seorang teosof
tidak suka merendahkan atau menghina agama lain yang berbeda
dan tidak setuju jika ada orang berpindah agama. Konversi agama
hanya terjadi jika seseorang tidak mengerti akan kemuliaan dan
keagungan agamanya. Karena doktrin ini pula teosofi menghendaki:
“pemandangan persatoean” dan “persaudaraan” seloeroeh doenia.45
Jika setiap orang saling menghina atau merendahkan keyakinan
orang lain yang berbeda, sulit terjadi persatuan dan persaudaraan
kemanusiaan itu.

Dr. Media Zainul Bahri 115


Bagi MTI, jika Tuhan itu Satu maka kemanusiaan juga satu.
Karenanya, perbedaan bangsa, warna kulit dan agama tidak berarti
tiadanya kesatuan ketuhanan. Jika seseorang hendak mengenal
Tuhan dengan baik, maka ia mesti membuang tabiat membeda-
bedakan agama, bangsa dan warna kulit. Dengan menghormati
manusia dan kemanusiaan, niscaya tirai yang menghalangi sese-
orang dengan Tuhan dapat sirna.46 Dengan konsep kesatuan-kesa-
tuan seperti dijelaskan di atas, kaum teosofi mencita-citakan hanya
ada satu agama untuk semua orang. Ketika meresensi buku karya
Leadbeater yang berjudul De Vorming van het de Wortelras, seorang
anggota menulis:

Di dalam boekoe tadi ada menjeboetkan djoega dari hal agama-agama.


Nantinja itoe agama-agama mendjadi satoe. Agamanja orang se-
doenia (Wereldgodsdienst), agama boeat semoea orang.47

Konsep ini, menurut MTI, sejatinya paralel dengan doktrin


Satu Tuhan banyak nama. Karena Tuhan atau Yang Ilahi bersifat
kekal-abadi, sementara nama-nama-Nya yang banyak merupakan
pemahaman atau respons dari para penganut agama yang beragam,
maka kaum teosofi yang lebih fokus kepada yang mistik-esoterik
(yang abadi) menghendaki umat manusia mengarahkan pan-
dangan dan batinnya kepada Satu Tuhan, satu kemanusiaan dan
satu tempat ibadah. Hal itu akan mewujudkan persaudaraan kema-
nusiaan dan kemajuan umat manusia, dan dengan sendirinya me-
minimalisir konflik dan pertikaian. Mengenai hal ini seorang ang-
gota mengutip tulisan Annie Besant:

Djadi boleh dipandang nantinja akan ada satoe gredja sedoenia bagi
sekalian manoesia, atau satoe masjid oemoem bagi orang sedoenia,
dimana orang manoesia dari roepa-roepa igama disitoe tidak hanja
sama menjembah pada satoe Toehan sadja; tetapi sama merasa poela
djadi hambanja sator Leerar Besar dari kemanoesiaan. Inilah satoe

116 Wajah Studi Agama-Agama


tjita-tjita jang maha moelia jang dapat menarik kemadjoean djika
dipikirkan sampai berasa.48

Namun, apakah cita-cita kaum teosofi tersebut utopis alias mus-


tahil diwujudkan? Kenyataannya memang demikian; mustahil
diwujudkan. Gerakan teosofi memang memilki banyak mitosyang
sulit dipahami kecuali bagi orang-orang yang mempercayai dan
mendalami “mistisisme.” Jika tidak, maka banyak doktrin teosofi
yang akan menjadi “tertawaan” belaka. Jika ditelusuri, paham dan
cita-cita yang menghendaki satu agama atau satu tempat ibadah
untuk semua tidak hanya dimiliki kaum teosofi belaka. Hampir
semua gerakan sufi atau mistik dalam banyak agama dan tradisi
memiliki keinginan itu. Karena concern-nya kepada kasih sayang
Tuhan, maka kelembutan dan kedamaian hidup menjadi dambaan
kaum mistik. Dengan itu mereka mencita-citakan kesatuan umat
manusia, kesatuan persaudaraan dan kesatuan agama serta kesatuan
tempat ibadah. Berbagai konsep kesatuan kaum mistik harus dipa-
hami pula sebagai buah dari pengalaman spiritual mereka. Di “alam
Tuhan” atau “alam spiritual” yang sering mereka alami, mereka
hanya melihat kesatuan, tak ada dualitas dan heterogenitas. Di alam
maya, alam fenomenal atau alam manusia inilah baru terlihat
keragaman, dualisme, berbagai pertentangan dan paradoks-para-
doks.
Dalam konteks kesatuan tempat ibadah, Sefik Can, seorang
ahli sufisme Rumi dari Turki menyebut istilah rumah ibadah uni-
versal dengan mengutip syair Rumi:

Orang kafir dan yang beriman mencari-Mu


Mereka bersatu (tidak terpisah) berteriak kepada-Mu.49

Dalam terang cahaya syair di atas, Sefik Can melihat Langit


laksana Kubah besar yang berfungsi sebagai rumah ibadat univer-
sal. Di bawah Kubah itu bermunculan tempat-tempat ibadah parti-
kular semisal masjid, gereja, biara dan sinagog. Di dalamnya, banyak

Dr. Media Zainul Bahri 117


manusia dengan beragam agama, suku, ras, warna kulit dan ke-
bangsaan bersimpuh kepada Tuhan dan hanya berharap kepada-
Nya,50namun tetap dalam naungan satu rumah ibadah universal.

3. Soal Perbedaan Agama


Sedari awal, kaum teosofi Indonesia memahami bahwa bentuk,
institusi dan wajah agama-agama berbeda satu sama lain. Mengapa
“badan” agama-agama itu berbeda? Jawaban mereka sederhana
saja:
Tjoemah sadja dari sebab samoea Roesoel itoe lahirnja didoenia ada
djamannja sendiri, djadi bagi kelahirannja sarak (syari’at) djoega ada
jang berbeda, karena satoe-satoe djaman, keadannja dari pikirannja
manoesia djuga tida sama.51

Perbedaan konteks tempat para utusan Tuhan dan turunnya


wahyu menyebabkan agama menjadi beragam pula. Argumen logis
ini juga digunakan oleh kaum pluralis dan para pendukung filsafat
perenial. Dalam bahasa MTI yang lain, karena bentuk (form, vorm)
kelahiran agama berbeda-beda sesuai dengan kultur masing-ma-
sing, maka bentuk “Kenyataan” juga berbeda-beda.52 inilah yang
membuat doktrin dan syari’at menjadi beragam dan berbeda. Hal
itu wajar karena agama turun bukan di ruang yang hampa sejarah.
Syari’at agama biasanya hadir sebagai respons terhadap situasi dan
kondisi zaman. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim kena-
maan dari Mesir, menyatakan bahwa wahyu bukanlah sesuatu yang
berada di luar konteks yang kukuh tak berubah, melainkan berada
dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan.53
Karena itu, keragaman ras, bangsa, suku bahkan perbedaan ruang
dan waktu meniscayakan adanya perbedaan syariat. Sejauh me-
nyangkut aturan-aturan rinci, tak mungkin ada ajaran tunggal dan
universal yang bisa dipakai di setiap masa, situasi, dan kondisi.54
Seorang penulis teosofi merujuk kepada cerita tentang empat
orang buta yang memegang gajah lalu membuat kesimpulan ten-
tang gajah. Cerita ini sesungguhnya dipopulerkan oleh Jalaluddin

118 Wajah Studi Agama-Agama


Rumi (1207-1273) seorang sufi dari Konya, Turki sekarang.55 Tentu
saja, hasil rabaan setiap orang buta yang bersifat parsial itu akan
melahirkan pemahaman yang parsial pula tentang gajah. Namun,
mereka mengklaim telah memahami gajah (baca: agama) secara
utuh. Dari sini sering kali muncul konflik dan perselisihan.56
Menurut kaum teosofi, Tuhan menurunkan atau memperbarui
wahyu-Nya kepada masyarakat yang sakit yang memang membu-
tuhkan. Sakitnya satu masyarakat dengan yang lain berbeda, karena
itu obatnya (syari’at) harus berbeda pula, tidak mungkin sama. Se-
orang anggota membuat tamsil:

Tabiatnja seorang Iboe memelihara anak-anaknja jang sama sakit itoe


tidak sama; jang seorang diberi nasi dengan kare, jang kedoea boeboer
sagoe dan garoet, jang ketiga roti dengan mentega. Demikian djuga
kehendak Toehan adanja Ia mengadakan roepa-roepa agama itoe hanja
soepaja djadi djalannja masing-masing bangsa menoeroet tabiat jang
setoedjoe dengan kodratnja sendiri-diri, boeat berbakti kepada Toe-
han.57

Maka, setiap bangsa memiliki ajaran yang unik dan cocok bagi
diri mereka masing-masing. Setelah dirasa cocok, menurut MTI,
setiap pemeluk agama harus teguh menjalankan ajaran, kewajiban
dan aturan agama masing-masing dengan bebas dan saling meng-
hormati satu sama lain.58
Salah satu penyebab konflik antarpemeluk agama yang disorot
oleh MTI adalah persoalan fanatisme buta. Fanatisme yang dimak-
sud kaum teosofi adalah perasaan bahwa agamanya lebih baik atau
lebih tinggi derajatnya dari agama lain, lalu memandang sinis kepada
agama-agama lain. Seorang penulis menganjurkan para anggota
teosofi untuk tidak memiliki perasaan bahwa agamanya lebih baik,
melainkan mesti merasa bahwa semua agama bertujuan baik, se-
hingga prasangka dan perselisihan dapat dihindari.59 Seorang guru
teosofi mengajarkan untuk tidak “jatuh cinta” atau “kesengsem”
kepada tata-cara (syari’at) agama, perkumpulan teosofi atau organi-

Dr. Media Zainul Bahri 119


sasi apa pun yang membuatnya menjadi fanatik buta. Tidak
berhenti atau “menuhankan” syari’at. Yang harus dilakukan adalah
menemukan inti sari/hakikat agama dan bekerja untuk kepenting-
an banyak orang.60
Dalam soal fanatisme ini, teosofi memandang bahwa seseorang
yang fanatik berlebihan sulit akan terhubung dengan Tuhan dan
mendapatkan kebaikan berlimpah. Dalam suatu cerita, setelah mem-
beri nasihat kepada para pemujanya, “Djanganlah terlaloe fanatiek,
membeda-bedakan lain igama,” Batara Siwa kemudian menegaskan
bahwa Dia selamanya tidak akan menerima ibadah pemujanya
selama ia membenci dewa-dewa lain. Namun, pemuja tetap pada
pendiriannya. Siwa menegaskan lagi bahwa ia tidak akan mencin-
tainya selama masih ada kebencian kepada dewa lain. Karena sang
pemuja tetap pada keyakinannya, maka Siwa turun lagi dengan
separuh badan Wisnu dan separuh Siwa. Pemuja fanatik itu menjadi
bingung, lalu beribadah kepada dua dewa. Akhirnya, dewa Siwa
bersabda bahwa ia turun dengan dua badan untuk membuktikan
bahwa semua dewa asalnya hanya dari satu wajah Tuhan.61
Cerita ini mirip sekali dengan ajaran Ibn ‘Arabi (1165-) tentang
“Tuhan kepercayaan.” “Tuhan keperacayaan” adalah gambar atau
bentuk tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang
Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia. Tuhan seperti itu bukan-
lah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-
Nya, tetapi adalah Tuhan ciptaan manusia, yaitu Tuhan yang di-
ciptakan oleh pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi
manusia. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “dimasukkan” atau
“ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau
gagasannya dan “diikat”-nya dalam dan dengan kepercayaannya.
“Bentuk,” “gambar,” atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan atau
diwarnai oleh manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya.
“Apa yang diketahui” diwarnai oleh “apa yang mengetahui”. De-
ngan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-’Arabi berkata, “Warna
air adalah warna bejana yang ditempatinya.” Itulah sebabnya Tuhan
berkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang-Ku.” Tu-

120 Wajah Studi Agama-Agama


han disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya
dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan
yang sejati tak diketahui dan tak dapat diketahui.62
Karena itu, “Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan ciptaan manu-
sia. Manusia tidak bisa mencipta Tuhan, yang mampu dilakukannya
adalah mencipta Tuhan dalam keyakinannya. Mencipta mesti ber-
dasar pengetahuan, dan mengetahui sesuatu berarti menemukan-
nya, dan menemukan sesuatu berarti menetapkan batas-batas kon-
septual pada sesuatu tersebut. Tuhan, sesuai dengan kapasitas pe-
ngetahuan manusia dapat ditemukan; Tuhan dapat menjadi objek
penemuan (wajd) oleh subjek manusia. Karena itu bagi Ibn ‘Arabi,
manusia tidak menyembah Tuhan kecuali dari apa yang telah dite-
tapkannya sendiri. Karena pengetahuan serta keyakinan manusia
sangat beragam sesuai dengan konteks kesejarahan masing-masing,
maka ada banyak doktrin dan konsep tentang Tuhan yang berbeda-
beda. Setiap kelompok akan menolak konsep atau doktrin Tuhan
yang tidak sesuai yang ada pada kelompok lain, seperti kata imam
Junayd bahwa warna air akan sangat ditentukan oleh warna beja-
nanya. Beragam agama dan kepercayaan ketika menghadirkan Tu-
han sesungguhnya sedang “membentuk-Nya,” “memformulasikan-
Nya,” atau “memecah-Nya” dalam bermacam-macam bentuk.
Padahal Dia Yang Hakiki adalah Esa, tidak berubah, dan tidak dapat
dibatasi atau diikat oleh beragam bentuk.63
Dengan teori ini, Ibn ‘Arabi sesungguhnya hendak mengkritik
orang yang memutlakkan, atau jika boleh, “menuhankan” keperca-
yaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu se-
bagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang
lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang diperca-
yainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan
Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah.
Padahal Tuhan yang diyakininya pun adalah Tuhan hasil kreasi nalar
dan kalbunya, bukan Tuhan yang sesungguhnya. Apa yang terjadi
saat ini, ketika agama menjadi sistem yang begitu kuat dan domi-
nan, orang cenderung bersikap eksklusif dan intoleran.64

Dr. Media Zainul Bahri 121


4. Soal Penghinaan, Konversi, Pluralisme,
dan Kerukunan
Dalam konteks ini, kaum teosofi tidak suka dengan perkataan
dan sikap yang merendahkan, menjelekkan dan menghina agama
orang lain yang berbeda. Ada empat (4) prinsip utama kaum teosofi
tentang keberadaan banyak agama dan sikap terhadap agama orang
lain. Pertama, menurut mereka, ada ribuan agama yang cocok bagi
bangsanya masing-masing. Karena keunikan dan kecocokan kultur
itu, maka tidak ada agama yang lebih tinggi dan lebih bagus dari
yang lain, dus setiap agama pasti mengandung kebaikan, kemuliaan
dan tujuan akhir yang sama.65 Dari pemahaman ini berarti semua
agama sederajat. Kiai Somo Citro, lagi-lagi dengan merujuk ke-
pada kaum sufi Muslim, menuliskan sikapnya:

Djadi setoedjoe dengan perkata’an-perkata’an ahli soefi, bahwa semoea


agama itoe satoe toedjoean. Dari sebab itoe, barangsiapa mempeladjari
theosofie, soedah tentoe akan lebih teguh perdjalanannja dan akan
lebih dalam pengertian dalam agamanja sendiri, apa poela akan tidak
mentjela pada lain agama dan kedjadiannja akan menambah kesla-
metan dalam doenia.66
Kedua, sangat tidak pantas jika seseorang membenci dan meng-
hina agama orang lain hanya karena perbedaan keyakinan, apalagi
orang tersebut belum mendalami hakikat agamanya sendiri dan
belum mempelajari agama yang dicelanya—dengan alasan “haram”
mempelajari agama orang lain. Orang yang menghina agama lain
disebut oleh kaum teosofi sebagai “Si picik” yang tidak luas dan
tidak dalam pengetahuan agamanya. A. Karim, seorang penulis
Muslim menunjukkan kekesalannya sebagai berikut:

Agama itoe berpangkat-pangkat, menoeroet orang jang memakainja.


Orang, selamanja memudji agamanja sendiri sadja, dan lebih adjaib
sekali, agama jang lain ditjatjatnja, pada halnja ia beloem pernah
memeriksa agama-agama jang lain; konon katanja haram. Perkataan

122 Wajah Studi Agama-Agama


itoe hamba pandang hanja oleh kepitjikan ilmoe sadja, sebagai katak
dibawah tempoeroeng67

Jika ia Muslim, Kristen atau pengikut Hindu, menurut seorang


anggota teosofi, berarti ia belum mendalam pengetahuan agama-
nya.68 Kaum teosofi meyakini jika seseorang telah sampai pada esen-
si terdalam dari agamanya, ia tidak akan menghina dan membeda-
bedakan agama.69
Ketiga, kasih sayang dan keadilan Tuhan untuk semua orang,
bukan hanya untuk satu orang atau satu bangsa saja. Kaum teosofi
meyakini jika ada seseorang yang berkeyakinan bahwa hanya dia
yang dibimbing Tuhan sedangkan yang lain tidak; hanya suara dia
yang merdu dan fasih ketika berdoa yang didengarkan Tuhan, se-
dangkan doa dan harapan orang lain yang hening tak bersuara tak
akan dipedulikan Tuhan, sungguh orang tersebut tidak meyakini
akan keadilan dan kekuasaan Tuhan dan menyangka Tuhan buta
dan tuli. Jika ada orang yang gampang memvonis orang lain sebagai
“sesat” berarti ia lebih tahu dari Tuhan, menurut kaum teosofi, justru
orang itulah yang patut dikasihani dan akan menderita akibat per-
buatannya itu.70 Hanya Tuhan saja yang lebih tahu agama yang sah,
baik, benar dan utama, sedangkan pengetahuan manusia akan hal
itu selalu menimbulkan perselisihan.71
Keempat, menurut Labberton, sikap yang baik adalah mempela-
jari agama orang lain; sikap yang sangat baik adalah mendalami
agamanya sendiri lalu mempraktikkannya dalam hal-hal yang baik;
sikap yang sangat keliru adalah merayu, membujuk bahkan me-
maksa orang lain untuk mengikuti agamanya. Sikap yang tak dapat
diampuni adalah memakai agamanya sebagai senjata untuk mem-
bodohi dan membuat orang lain menjadi fanatik buta.72
Orang-orang teosofi sangat tidak menghendaki konversi agama.
Dalam banyak kesempatan mereka menegaskan bahwa para peme-
luk agama—apalagi anggota teosofi— mestinya tidak boleh pindah
agama. Orang harus setia dengan syari’at atau ajaran agama masing-

Dr. Media Zainul Bahri 123


masing. Seorang teosof Muslim menyebut yang pindah agama seba-
gai orang yang musyrik atau mungkir, katanya:

Bagi Boemipoetera jang soedah berigama Islam laloe berpindah ke


Christen atau Boeda itoe sebetulnja tidak boleh, begitoepoen sebaliknja,
malah lebih dalam, orang jang bertabiat demikian itoe diseboet mosrik
(moengkir), lahirnja melambatkan perdjalanan, karena masing-
masing igama itoe hanja roepa-roepa djalan oentoek berbakti kepada
Toehan—(Toehan hanja Satoe)—kembali kepada Toehan, dalilnja al-
Koran: Inna lillahi wa Inna Ilaihi raji’un.73

Perbedaan agama berarti jalan-jalan beragam menuju Tuhan.


Dengan mengutip ayat dalam Bhagawadgita yang berbunyi, “Ma-
nusia itu datang kepada-Ku menurut beberapa jalan, dan jalan mana
pun seorang manusia datang kepada-Ku, Aku terima ia pada jalan
itu karena semua jalan itu milik-Ku,”74 dan ayat al-Qur`an yang
berbunyi, “Bagi pemeluk tiap-tiap agama, Kami sudah tetapkan
aturan tertentu yang harus diikuti mereka sebaik-baiknya, jangan-
lah mereka berbantah perkara itu denganmu, tetapi ajaklah me-
reka kepada Tuhanmu karena sesungguhnya engkau berada pada
petunjuk dan jalan yang lurus,”75 kaum teosofi meyakini bahwa
perbedaan jalan bukan hal yang prinsip dan fundamental tetapi
tujuanlah yang utama dan tujuan semua jalan pasti kepada Tuhan
Yang Sama jua. Seorang penulis Muslim lainnya dari Bogor berna-
ma Broto menegaskan:

Adapoen agama itoe adalah beberapa matjam; akan tetapi semoea


itoe hanjalah mempoenjai satoe maksoed atau satoe jang ditoedjoenja,
jaitoe Sang Hidoep. Maka jang kelihatan berbeda-beda itoe melainkan
djalannja sadja.76

Pendapat serupa juga ditunjukkan oleh Louis Baehler, katanya:

124 Wajah Studi Agama-Agama


Adapoen roepa-roepa agama itoe lain tidak hanja beberapa djalan
jang menoedjoe pada jang Maha Koewasa. Banjak dan berbeda-beda
sekali djalan-djalan jang dapat menoedjoe Tjandi Kali di Kalighat
(deket Kalkoeta). Begitoepeon banjak poela djalan ke Ka’batoe’llah.
Satoe-satoe igama ialah satoe djalan kepada Allah.77

Jika pluralisme agama sering disebut semakna dengan jargon-


jargon: “satu Tuhan banyak agama,” “satu Tuhan disebut dengan
banyak nama disembah dengan berbagai cara,” “banyak jalan
menuju Tuhan,” atau “jalan-jalan mengantarkan ke puncak yang
sama,” atau “jalan-jalan yang berbeda mengantarkan ke tujuan yang
sama, “agama-agama yang berbeda adalah jalan-jalan yang memiliki
validitas yang sama menuju kepada Tuhan yang sama,” “agama-
agama yang berbeda bicara tentang yang berbeda (dengan bahasa
yang berbeda pula) namun memiliki kebenaran yang sama,”78 maka
itulah pandangan dan sikap yang dianut MTI pada sekitar satu abad
yang lalu, jauh sebelum tokoh-tokoh pluralis masa kini di Barat
dan kaum intelektual Muslim Indonesia mengumandangkan hal
serupa.
Dalam sebuah publikasi tahun 1926 disebutkan suatu berita
yang menarik bahwa Muhammadiyah baru saja mengadakan kong-
resnya di Surabaya, dan Tuan Muhammad Husni, Bestuur (pim-
pinan) Perkumpulan Muhammadiyah berpidato tentang “Poesat
Persatoean Segala Agama.” Menurut Husni, bapak umat manusia
adalah satu yaitu nabi Adam, dan agama yang diberikan kepada
umat manusia juga satoe pangkal dan toenggal pokok, dan dasar
agama mereka adalah Islam, yaitu berserah kepada Allah.79 Mes-
kipun Husni pada akhirnya merujuk kepada Islam sebagai institusi,
namun ia juga menyadari adanya Islam kualitas atau Islam esensi
yang dianut semua manusia dengan masing-masing nabi yang
beragam. Pandangan tokoh Muhammadiyah itu tentu menarik dan
cukup “berbahaya” di lingkungan Muhammadiyah, bahkan sam-
pai hari ini.

Dr. Media Zainul Bahri 125


Dengan paham pluralisme, keberagamaan kaum teosofi diper-
kaya satu sama lain karena mereka bersedia belajar dari kekayaan
tradisi agama orang lain yang berbeda. Dengan tetap teguh meme-
gang keyakinan (agama) masing-masing, kaum teosofi sejatinya
merayakan keragaman dan perbedaan dalam suatu hubungan yang
harmonis. Mereka sadar bahwa Nusantara ini dihuni oleh berbagai
agama dan keyakinan yang rentan dengan konflik dan pertikaian,
sementara di saat yang sama sebagian besar kaum pribumi sedang
berusaha keras untuk merdeka dari penjajah Belanda. Hanya de-
ngan pemahaman agama yang mendalam sampai ke jantungnya
dan mau mempelajari agama orang lain, konflik dapat diminimalisir
dan kedamaian hidup bersama dapat diraih. Bahkan, mereka “ber-
mimpi” terciptanya persaudaraan universal dan perdamaian dunia
dengan “Satu Agama Universal” bagi semua.
Pada bagian lain, MTI sesungguhnya juga berhasrat besar un-
tuk mengadakan semacam “dialog antaragama” dalam skala yang
besar dan formal yang dapat dihadiri oleh tokoh-tokoh agama di
Hindia Belanda. Namun kiranya—sejauh penelusuran penulis—has-
rat yang mulia itu tidak pernah terwujud dengan baik sampai ber-
akhirnya gerakan mereka. Hasrat untuk melakukan dialog itu, me-
reka kemukakan dalam sebuah terbitan tahun 1927. Dalam nomor
itu, mereka memberitahukan kepada pembaca bahwa pada 22 Juni
1927 baru saja diadakan dialog antaragama di London yang meng-
hadirkan tokoh-tokoh agama Buddha, Islam, Hindu, Kristen, Kong-
hucu, Yahudi dan Teosofi. Ruangan dialog itu penuh alias dipadati
pengunjung yang antusias menghadirinya. Di akhir pemberitahuan
itu, penulis Muslim berharap, “Patut sekali djikalau bangsa kita Is-
lam di Indonesia sini bisa mengirimkan oetoesan ka itoe Broderschap,
boekan?.” 80
Dengan berbagai pandangan dan kesadaran di atas, perbedaan
semestinya tidak menjadi bibit konflik dan perselisihan. Secara spe-
sifik, kaum teosofi menyoroti satu aspek teologis yang sering me-
micu konflik, yaitu perasaan superioritas satu agama atas yang lain.
Perasaan dan sikap itu sering ditonjolkan dalam interaksi sosial ber-

126 Wajah Studi Agama-Agama


barengan dengan sikap menghina atau merendahkan keyakinan
orang lain,81 dan dicarilah ayat kitab suci atau legitimasi agama un-
tuk menyerang agama lain yang dianggap salah.82 Menurut seorang
penulis Muslim, jika seseorang menganut agama dan memprak-
tikkannya, namun buahnya adalah permusuhan dan perselisihan
berarti orang tersebut keliru dalam memahami dan mempraktikkan
agamanya. Sikap ini harus segera diubah.83 Menurut kaum teosofi,
salah satu cara terbaik meminimalisir konflik dan perselisihan antar
pemeluk agama adalah menonjolkan paham dan sikap bahwa se-
mua agama bertujuan baik dan mulia; semuanya adalah cara dan
jalan yang beragam menuju Tuhan Yang Esa.84
Seorang anggota teosofi yang lain mengingatkan para pemeluk
agama untuk tidak berdebat atau berbantah-bantahan mengenai
perbedaan agama, karena alih-alih menemukan kebenaran dan ke-
damaian hal itu sering memicu konflik. Mengapa? Karena setiap
orang telah memiliki kepercayaan suci masing-masing. Dengan
perdebatan di mulut saja (debat kusir) sulit ditemukan mana yang
benar dan mana yang salah, yang muncul selamanya adalah perse-
lisihan. Seharusnya setiap orang menghormati dan membiarkan
orang lain berkeyakinan dan mempraktikkan agamanya. Justru de-
ngan berpikir jernih dan mau memahami agamanya secara men-
dalam, seseorang akan sadar bahwa debat kusir tak ada gunanya.85
Menurut A. Latief, seorang penulis Muslim dan anggota teosofi,
pemahaman Islam yang mendalam pasti akan cocok dengan doktrin
teosofi, dan jika seseorang ingin meneliti tema-tema mengenai per-
saudaraan di dalam kitab suci agama-agama, maka ia akan mene-
mukan ayat-ayat mengenai kesatuan esensial agama-agama dan per-
saudaraan umat manusia.86 Seseorang hanya akan menemukan dua
tema itu jika ia mampu menembus aspek terdalam ajaran kitab-
kitab suci. Jika tidak, maka yang ditonjolkan adalah perbedaan dan
pertentangan keyakinan agama, dan hal inilah yang sering memicu
konflik. Karena tujuan pokok gerakan teosofi adalah persaudaraan
universal dan perdamaian, maka para anggotanya dan semua peng-

Dr. Media Zainul Bahri 127


anut agama dianjurkan untuk menonjolkan kedua aspek itu ketika
mempelajari agama-agama.
Ketika membicarakan hubungan antar agama dan pentingnya
orang memahami agamanya dan agama orang lain sehingga muncul
respek satu sama lain, Labberton menegaskan bahwa bagi orang
Hindia Belanda (Indonesia) hanya ada dua jalan buat kemajuan me-
reka: pertama, bersama-sama orang Belanda mempelajari berbagai
ilmu pengetahuan hingga sejajar dengan orang-orang Eropa, kedua,
dengan cara berperang melawan bangsa lain yang tak sebanding
(mungkin maksudnya Belanda). Jalan yang pertama akan meng-
hasilkan perdamaian dan keamanan, dan cara yang kedua akan
memunculkan perang dan kebinasaan. Terserah kepada orang Hin-
dia; mau memilih konflik atau persaudaraan, perang atau perda-
maian, binasa atau kemajuan. Menurut Labberton, bangsa Eropa,
Tionghoa dan Jawa yang telah memilih jalan kedua sesungguhnya
telah menjadi kawan atau tentaranya “Sang Ijajil” (mungkin mak-
sudnya Dajjal), sedangkan yang memilih jalan pertama akan jadi
tentaranya Sri Tunjung Seto—Sang Guru Dewa, Rajanya Dunia ke-
tenteraman.87
Seorang tokoh teosofi Muslim Indonesia, Raden Djojosoediro
mengingatkan kaum Muslim untuk tidak “cemburu” ketika ada
sesama Muslim yang pindah agama. Persoalan konversi agama ini,
terutama di kalangan kaum Muslim sering menimbulkan konflik
baik intra maupun antar pemeluk agama. Menurut Djojosoediro,
konflik—baik karena konversi atau hal yang lain—biasanya muncul
dari kalangan “kaoem-kaoem jang rendah,” mungkin maksudnya
yang rendah pendidikannya. Sementara bagi anggota teosofi yang
terpelajar harus dapat hidup bersama dalam guyub dan rukun mes-
ki ada perbedaan. Kaum Muslim mesti meneladani Nabi Muham-
mad yang tidak gampang “cemburu” dan berkonflik dengan orang
lain, tetapi lebih banyak menonjolkan welas asih. Djojosoediro mem-
beri contoh negeri India dalam hal kerukunan umat beragama. Di
negeri ini—pada waktu itu—berbagai macam bangsa dan rupa-
rupa agama dapat hidup rukun saling menghormati, menghargai

128 Wajah Studi Agama-Agama


dan setiap pemeluk agama bebas menjalankan keyakinannya. In-
dia telah membuktikan bahwa adanya perbedaan agama dan keya-
kinan tidak serta-merta melahirkan konflik dan pertikaian.88
Kebebasan beragama merupakan hal yang paralel dengan kon-
sep dan paham teosofi mengenai kesederajatan agama-agama. Tentu
saja, teosofi dengan segala doktrinnya tentang kesatuan dan titik-
temu agama-agama sangat mendukung aturan dan praktik kebe-
basan beragama. Kaum teosofi sangat setuju dengan peraturan yang
dibuat pemerintah Belanda dalam pasal X (10) mengenai agama
yang menyebutkan bahwa “Tidak boleh memaksa orang lain dalam
hal berpikir dan agama. Semua manusia merdeka untuk beribadah
kepada Tuhan masing-masing. Hari-hari raya semua agama diakui.
Tidak boleh menghina atau mengurangi hak semua agama... dan
jangan sampai membuat kesedihan dan kesusahan kepada orang
lain. Semua pengajar agama dan ulama tidak mendapat bayaran
dari negara.”89 Tidak diketahui kapan undang-undang ini dibuat
dan disahkan oleh pemerintah Belanda, namun kaum teosofi me-
mublikasikannya pada 1921 dengan klaim bahwa pemerintahan
yang dibentuk Belanda ternyata berdasar persaudaraan atau perda-
maian, dan itu sesuai dengan doktrin inti gerakan teosofi. Berbagai
ajaran teosofi mengenai Perbandingan Agama ternyata sejalan de-
ngan pasal X tersebut, terutama dalam hal kebebasan beragama.

C. Membaca Pandangan Keagamaan


Teosofi Indonesia
1. Perenialisme: Cinta dan Kesatuan
Setelah kita membaca keseluruhan penjelasan di atas, maka
tampak bahwa pendekatan MTI dalam studi perbandingan agama
adalah pertama dan utama menggunakan pendekatan perenial.
Teosofi sendiri adalah wujud lain dari paham dan praktik perenialis-
me. Helena Blavatsky sebagai pendiri teosofi dan tokoh-tokoh utama
sesudahnya sering menegaskan bahwa teosofi adalah pengetahuan
atau Hikmah yang sangat kuno yang diambil dari para filsuf awal

Dr. Media Zainul Bahri 129


Yunani yang kemudian dilanjutkan oleh para generasi filsuf sesu-
dahnya ke generasi berikutnya di berbagai negeri yang subur de-
ngan Kearifan Abadi. Kaum teosofi mengagungkan adanya Realitas
Ultim Yang Sejati dan Abadi yang dari-Nya muncul keanekaragam-
an manifestasi. Dari Yang Esa-Sejati muncul beragam wujud, ter-
masuk bentuk-bentuk agama yang majemuk. Karena itu, sedari
awal, Blavatsky telah mengajarkan bahwa agama-agama besar, alir-
an-aliran dan sekte-sekte adalah ranting-ranting kecil atau tunas-
tunas yang tumbuh di dahan-dahan lebih besar, namun harus disa-
dari bahwa tunas-tunas dan dahan-dahan itu muncul dari pohon
yang sama yaitu “Agama Kearifan” (Wisdom Religion). Inilah salah
satu ajaran pokok teosofi yang diambil dari Kebijaksanaan Abadi
(sophia perennis).
Dari pangkal itu, perenialisme selanjutnya membedah dua sisi
agama, yaitu: (1) aspek esoterik yang bersifat kekal dan abadi pada
semua agama, dan ditemukannya titik-temu serta kesatuan agama-
agama, (2) aspek eksoterik yang mengungkap segala perbedaan
bentuk agama-agama. Dalam studi sufisme dan perbandingan aga-
ma di dunia Islam, figur-figur utama seperti Rene Guenon, Frithjof
Schuon yang diikuti oleh Seyyed Hossein Nasr dan William Stodart
adalah para ahli sufisme Islam yang mengeksplorasi perenialisme
dan menggunakannya untuk menjelaskan titik-temu dan titik-beda
di antara agama-agama manusia.
Hal pokok lain yang menjadi perhatian kaum teosofi adalah
masalah-masalah “gaib” yang berkelindan erat dengan “dongeng-
dongeng” atau “mitos-mitos mistik” tentang alam, tentang orang-
orang suci, tentang figur-figur penyelamat dunia seperti “Sang Ratu
Adil” atau “Sang Jagat Guru” yang selalu hadir dan membimbing
murid-murid teosofi, dan akan turun/muncul ke alam fenomenal
untuk menyatukan umat manusia, mewujudkan persaudaraan uni-
versal atau mewujudkan “Satu Agama Universal” bagi umat ma-
nusia. Kita akan menemukan banyak sekali tulisan dalam majalah-
majalah MTI yang membicarakan mitos-mitos mistik ini. Boleh jadi,
keyakinan mereka tentang dongeng-dongeng gaib itu akan meng-

130 Wajah Studi Agama-Agama


undang tawa sinis orang-orang modern atau para penganut agama
konvensional.
Kenyataan akan keyakinan gaib itu sesungguhnya tidak bisa
dipisahkan dari keyakinan para filsuf perenial awal dan murid-mu-
rid pengikut mereka bahwa Pengetahuan Sejati dan Abadi—apa-
kah ia bernama wahyu atau nama-nama lain yang semakna—
pertama kali diturunkan Tuhan secara sempurna kepada manusia
suci, apakah ia seorang nabi, rasul, Maharsi atau sejenisnya. Lalu,
pesan perenial ketuhanan itu ditransmisikan kepada para pengikut
manusia suci dan diwariskan selanjutnya kepada orang-orang terke-
mudian. Dalam proses transmisi atau pewarisan itu terjadi banyak
reduksi sehingga menjadi kabur dan terpecah-pecah. Seiring de-
ngan proses waktu yang lama, pesan perenial itu pelan-pelan me-
mudar, terlupakan, hilang dan akhirnya hanya menjadi semacam
“dongeng” atau “mitos” belaka. Bagi kaum teosofi atau para peng-
anut filsafat perenial, apa yang disebut “dongeng” atau “mitos” bagi
orang-orang modern (belakangan) justru itulah kebenaran dan ke-
nyataan. Karena mereka merasakannya dengan “intuisi” bukan se-
perti orang-orang modern yang memandang segala sesuatu dengan
pandangan positivistik (logis, rasional, empiris dan dapat diveri-
fikasi). Karena itulah, Annie Besant, salah seorang Presiden Teosofi
Internasional yang sangat terkemuka, dengan percaya diri mene-
gaskan bahwa mitos justru jauh lebih nyata dan benar dan dapat
secara pasti menangkap bayangan dibanding pengetahuan sejarah
yang cuma berusaha meraba-raba bayangan. Katanya: “A myth is
far truer than a history, for a history only gives a story of the shadows,
whereas a myth gives a story of the substance that casts the shadows.”90
Huston Smith, seorang penganut perenialisme dan pengagum
Frithjof Schuon serta penulis buku modern paling top tentang Aga-
ma-Agama Dunia menunjukkan kesadaran yang sama dengan An-
nie Besant dan tokoh-tokoh perenial lainnya. Di depan kuil suci Ise
(agama Shinto) di Jepang dengan kriptomania raksasanya, sambil
merenungi buku Schuon yang berjudul In The Track of Buddhism
(1969), Smith mengakui bahwa ia merasakan keagungan, ketenang-

Dr. Media Zainul Bahri 131


an, keindahan dan nuansa intelektual yang mendalam. Ia berkata:
“Saya menjadi mampu melihat bahwa nenek moyang kita sama
sekali tidak lebih rendah dari turunannya, dan bahkan, jika kita
cermati, mereka justru merupakan pintu gerbang menuju transen-
densi. Saya baru benar-benar dapat melihat bahwa alam yang pe-
rawan—khususnya dalam penampakan yang utama seperti ma-
tahari, angin, bulan, petir, kilat serta bumi yang mewadahinya—
dapat menjadi simbol yang paling transparan dari yang Ilahi.”91
Bukankah agama Shinto dan kuilnya yang dipuji-puji Smith sebagai
jalan menuju Ilahi justru sering menjadi tertawaan orang-orang Je-
pang modern?
Dengan perenialisme dan supranaturalisme yang disebarkan
oleh Blavatsky, MTI juga sesungguhnya telah menyerap ide-ide
spiritualisme Eropa dan Amerika, meskipun kemudian disesuaikan
dengan konteks agama-agama Nusantara. Walaupun perenialisme
memiliki jalur yang panjang kepada para filsuf Yunani, tetapi peran
Blavatsky secara subjektif amat kuat. Seperti diketahui, Blavatsky
adalah orang Rusia yang memiliki pengetahuan dan bakat yang
luar biasa dalam hal mistik. Dua karyanya tentang “rahasia mistik”:
Isis Unveiled (1877) dan The Secret Doctrine (1888) menjadi semacam
buku wajib yang dibaca oleh anggota teosofi di seluruh dunia. Se-
kutu Blavatsky yang sama-sama dari Eropa adalah William Quan
Judge yang lahir di Dublin, Irlandia (1851) dan Annie Besant yang
lahir di London, Inggris (1847). Sedangkan teman karib Blavatsky
yang orang Amerika adalah Henry Olcott yang lahir di New Jersey
pada 1832. Setelah Blavatsky, mereka bertiga adalah tokoh pertama
dan terpenting organisasi teosofi internasional. Blavatsky dan ketiga
temannya itulah yang paling populer dan paling aktif menyebarkan
ajaran teosofi ke seluruh dunia dengan muatan spiritualisme dan
supranaturalisme ala Eropa dan Amerika. Adanya fakta mengenai
jumlah keanggotaan ITS—seperti disebutkan dalam catatan Her-
man—bahwa pada 1930 dari 2090 anggota, 1006-nya adalah orang-
orang Eropa, dan kebanyakan didominasi oleh orang-orang Belanda.
Sekali lagi, kita bisa berasumsi bahwa pengaruh spiritualisme dan

132 Wajah Studi Agama-Agama


keagamaan model Eropa—sedikit atau banyak—sulit dihindari oleh
para anggota teosofi yang asli Indonesia.
Dalam studi agama-agama, perenialisme sendiri dianggap—
oleh beberapa ahli studi agama— telah memberi manfaat yang besar
bagi kerja sama harmonis antar kaum beriman. Kata-kata penting
dari Nabi Malachi, “Tidakkah kita semua berasal dari bapak moyang
yang satu? Tidakkah kita diciptakan oleh Tuhan yang satu juga?
Mengapa kita kemudian saling tidak memercayai satu sama lain?”
diulang kembali oleh seorang rabbi Yahudi beberapa dekade yang
lalu ketika ia memberi selamat kepada seorang Kardinal Katolik
dalam kesempatan pentahbisannya. Friedrich Heiler (1892-1967),
seorang ahli Fenomenologi Agama berkebangsaan Jerman yang
meyakini bahwa doktrin tentang kesatuan dan titik-temu agama-
agama membawa manfaat praktis, berpandangan bahwa keyakinan
akan kesatuan ketuhanan dan hubungan substansial diantara aga-
ma-agama seharusnya membangkitkan kesadaran akan kebersa-
maan dalam satu keluarga dan kewajiban untuk berdiri bersama
dalam hangatnya persaudaraan.92
Menurut Heiler, salah satu manfaat dari studi agama yang men-
dalam adalah ditemukannya hubungan yang erat di antara agama-
agama yang berbeda. Para ahli sejarah agama-agama telah menemu-
kan kesejajaran yang tak terhingga jumlahnya antara Kristen dan
agama-agama lain. Dalam Kristen misalnya, tidak ada doktrin ten-
tang ketuhanan, etika, ritus-ritus dan lembaga gerejawi yang tidak
memiliki padanan yang sejajar dengan agama-agama lain. Begitu
pula sarjana-sarjana non-Kristen telah menemukan analogi-analogi
yang tak terhitung mengenai eratnya hubungan di antara agama-
agama.93
Jika ditembus (menukik) lebih ke dalam lagi, maka Heiler me-
yakini bahwa salah satu tugas terpenting studi agama adalah me-
nunjukkan adanya kesatuan esensial dari semua bentuk-bentuk
agama. Studi agama akan sampai pada satu tujuan yang sama, yaitu
pengetahuan yang murni akan Kebenaran. Kesatuan esensial, tran-
senden, atau spiritual ini tentu saja pertama-tama disingkapkan oleh

Dr. Media Zainul Bahri 133


mistisisme atau sufisme. Menurut Heiler, Kabbalah dan Khasidisme
Yahudi dan sufisme Islam ternyata memperlihatkan kesamaan yang
mengejutkan dengan mistisisme Kristen, dan mistisisme ini pada
gilirannya menggelombangkan kesatuan di sekitar bentuk-bentuk
terkait dari mistisisme yang menjadi inti agama-agama Timur: Tao-
isme, Brahmanisme, Hinduisme dan Buddhisme. Dalam studi agama
yang menekankan pada sufisme atau perenialisme ini, akan dite-
mukan kesatuan agung yang mencakup keseluruhan bentuk-ben-
tuk dan tingkat keagamaan. Pada agama-agama dengan tingkat
yang tinggi, kesatuan agung itu diikat secara lebih erat lagi.94
Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok
antara agama-agama mistik penebusan (mystic religions of redemp-
tion) dengan agama-agama nabi pewahyuan (prophetic religions of
revealation) dan bahkan di antara kelompok yang kedua pun terda-
pat perbedaan-perbedaan besar di antara agama-agama yang memi-
liki hubungan dekat: Yahudi, Mazdaisme-Zoroaster, Kristen dan
Islam, terdapat juga kesatuan ultim, kesatuan pada Realitas Transen-
den, Yang Kudus, Yang Ilahi. Realitas itu juga imanen dalam hati
manusia, juga bermakna Cinta Tertinggi, Kebenaran, Keindahan,
dan Kebaikan Tertinggi. Adanya kesatuan itu telah diakui oleh ba-
nyak sarjana agama di Barat masa lalu. Scheilermacher menyatakan
bahwa semakin pesat kemajuan dalam studi agama, akan semakin
tampak bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang tak ter-
bagi. Suara yang sama diutarakan oleh Max Müller, sarjana besar
Anglo-Jerman dalam bidang ilmu agama dan “Bapak” ilmu perban-
dingan agama modern, katanya, “Hanya ada satu agama universal
dan abadi yang melingkupi, mendasari, dan melampaui semua
agama-agama yang di situ mereka termasuk atau dapat dimasuk-
kan.” 95
Ketika menutup pidato pengukuhannya sebagai Presiden Seksi
Iranian dari International Oriental Congress di London pada 1874,
Max Müller kembali menyuarakan kesatuan dan damai, dengan
mengutip Rigweda (X, 91):

134 Wajah Studi Agama-Agama


Kesatuan telah datang, kesatuan telah bicara
maka biarkan ruhmu setuju...!
Biarkan usahamu menjadi satu; menyatukan hatimu.
Biarkan usahamu menjadi satu; dengan mana engkau
dengan erat berpadu...
damai, damai, damai.96

Dalam menghargai kesatuan agung agama-agama ini, Heiler


merekomendasikan bahwa umat beragama patut merenungi dan
mengulang doa Kardinal Nicholas de Cusa: “Engkaulah, wahai
Tuhan, yang menjadi tujuan berbagai agama melalui berbagai jalan,
dan menamai dengan berbagai nama, karena Engkau tetaplah Eng-
kau, yang tak terpahami dan tak tergambarkan Yang maha pemu-
rah, tunjukkanlah wajah-Mu...Ketika Engkau dengan kemurahan-
Mu ingin melakukan hal itu, maka perang, dendam yang penuh
kebencian, dan segala kejahatan akan musnah, dan semua akan
mengetahui bahwa hanya ada satu agama di antara aneka bentuk
ritus keagamaan (una religio in rituum varietata).”97
Kesatuan ketuhanan, dalam mistik agama-agama tak mungkin
terpisah dengan Cinta; suatu paham, denyut, aliran suara dan sen-
tuhan utama kaum mistik. Penyatuan dengan Tuhan, dalam agama
apa pun, harus melalui Cinta yang sublim. Cinta ini tidak semata
dalam pengertiannya sebagai ritus-ritus atau jalan menuju Tuhan
yang dilakukan dengan cinta, bukan kewajiban apalagi keterpak-
saan, namun juga sekaligus dan selalu sebuah jalan kepada sesama.
Sesama bukan hanya seluruh manusia tanpa kecuali, melainkan
seluruh makhluk. Jalan keutamaan mistik tidak hanya berhenti
dalam via contemplativa “penerbangan dari yang sendiri kepada
yang sendiri,” seperti kata Plotinus, melainkan ia menemukan ke-
lanjutan niscayanya dalam pelayanan kepada sesama, via activa.98
Para nabi dan orang suci, apakah Buddha Gautama, Kong Fu Tze,
Lao Tzu, Yesus, Muhammad dan yang lain tentu saja telah mereguk
Cinta Tuhan via contemplativa, namun mereka juga harus turun ke

Dr. Media Zainul Bahri 135


bumi untuk membantu yang lemah dan tertindas, menghibur yang
sakit dan memberikan pengorbanan terbaiknya via activa.
Dalam pandangan kaum mistik, semakin dalam ketundukan,
kekaguman dan cinta seseorang kepada Tuhan, semakin dalam pula
hormatnya kepada agama lain. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu,
Raja Ashoka, murid Buddha yang cemerlang menunjukkan dengan
jelas kepada rakyatnya bahwa barang siapa yang menghormati aga-
ma lain berarti menghormati agamanya sendiri. Sebaliknya, siapa
yang mencela keyakinan orang lain berarti mencela keyakinannya
sendiri. Pernyataan ini sejatinya masih tetap relevan di masa yang
ditandai dengan berbagai intoleransi keagamaan yang menyedih-
kan. 99
Menurut Heiler, seseorang yang telah sampai menembus mis-
teri agamanya, pasti tidak akan memiliki keinginan lagi untuk “me-
murtadkan” para pemeluk agama lain demi masuk agamanya. Yang
diinginkan orang “arif” itu hanya memberi dan menerima; memberi
untuk menghadirkan ajaran agama yang paling dalam dan indah
kepada orang lain, sekaligus belajar dan menerima sifat-sifat paling
sublim dari keimanan orang lain.100
Jika para pemeluk agama-agama yang majemuk mau belajar
untuk saling memahami dan bekerja sama, mereka akan menyum-
bangkan banyak hal yang dapat menyelamatkan nilai-nilai luhur
kemanusiaan yang telah dirusak oleh macam-macam kepentingan
rendah dan oleh paham keagamaan yang yang sempit dan kaku.
Pada saat yang sama, semua agama berhak untuk terus memperta-
hankan individualitas atau identitasnya yang autentik.
Penjelasan-penjelasan ini cukup menjadi bukti bahwa MTI me-
lalui sebuah perkumpulan resmi (non-pemerintah)—telah merintis,
menyumbang dan mengembangkan suatu model pendidikan ke-
agamaan yang humanis, yang dapat mengapresiasi secara men-
dalam akan kenyataan kemajemukan agama di Nusantara, tanpa
harus tercerabut dari identitas masing-masing yang autentik.

136 Wajah Studi Agama-Agama


2. Komparasi “Sederhana”
Pendekatan lain adalah komparasi. Metode perbandingan ini
sangat kental digunakan oleh MTI dalam menjelaskan berbagai
doktrin agama yang berbeda. Secara umum—dalam berbagai pu-
blikasinya, MTI melakukan kajian perbandingan agama dalam tiga
hal pokok: (1) dalam masalah ketuhanan, (2) dalam ajaran (syariat),
dan (3) soal etika.
Dalam soal ketuhanan misalnya, seorang penulis teosofi mem-
bedah persoalan Trimurti. Dalam sufisme Islam katanya, terdapat
ajaran pancaran Nur Muhammad yang menyebabkan adanya alam
semesta. Cahaya Muhammad ini memancarkan tiga sifat Tuhan
atau Trimurti Tuhan atau al-Tsulutsul Aqdas. Lalu, ia bandingkan
dengan Trinitas Kristen dan Trimurti Hindu. Kemudian ia berke-
simpulan bahwa Trinitas dan Trimurti keduanya memiliki kede-
katan makna dibanding dengan Islam:

Begitoe djoega dalam agama Kristen diseboet dengan nama: Vader


(Bapa), Zoon (Anak) dan Heilige Geest (Roh Kudus), ada sama roepa
djoega maksoednja dengan apa jang agama Hindoe menjeboet: Shiwa,
Wisnoe dan Brahma, seperti terseboet diatas itoe. Djadi tentang “Tri-
murti” ini jang lebih berdekatan atawa setoedjoe tjoema agama Hindoe
dan Kristen101

Namun demikian, penulis itu dengan segera menekankan bah-


wa konsep Trimurti dalam Islam, Hindu dan Kristen dengan pena-
maan yang berbeda-beda sesungguhnya bermakna Satu Substansi
dengan tiga sifat dan bukan “tiga benda jang diikat mendjadi satoe
atawa persatoeannja tiga Allah.”102 Jadi, dalam Trinitas dan Trimurti
yang harus dipahami adalah konsep dari teologi Kristen mengenai
perbedaan ousia sebagai yang esensi, dan hypostatis sebagai bentuk
yang menampakkan diri. Muncul pula doktrin tentang Tritunggal
dari Tertullianus (120-225 M) yang salah satu pembahasannya
adalah substansi dan persona. Dari Tertullianus lahir istilah substansi
atau zat dan persona atau pribadi yang selalu disematkan kepada

Dr. Media Zainul Bahri 137


Tritunggal. Ia merumuskan bahwa Tuhan Allah adalah satu di dalam
substansi-Nya atau zat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pri-
badi-Nya atau oknum-Nya (una substansia, tres personae atau one
substance, three persons).103
Seorang anggota teosofi beragama Konghucu menunjukkan
kesamaan konsep Tuhan dalam Konghucu, Islam dan Yahudi. Me-
nurutnya, jika dalam al-Qur‘an ada surat al-Ahad (maksudnya al-
Ikhlas) dan banyak ayat yang menerangkan keesaan Tuhan dan
kekekalan-Nya, juga dalam Yahudi ada Syema bahwa Tuhan itu
Esa dan juga konsep tentang ke-Baka-an-Nya, maka dalam Kong-
hucu ada konsep Sing atau Ch’ing. Ch’ing itu bermakna Sing, yaitu
Yang Kekal, Yang Sejati yang Cuma Satu saja. Hanya orang-orang
Tionghoa yang bisa merasakan Ch’ing dan menerangkan kesejatian-
Nya. Pada akhirnya, nabi Kong Fu Tze menunjukkan umat manusia
bahwa mereka berasal dari Pokok yang sama dan karenanya me-
reka benar-benar bersaudara.104 Dalam beberapa publikasi MTI,
kita menemukan beberapa penulis Konghucu melakukan perban-
dingan konsep mengenai ketuhanan dan keimanan Konghucu de-
ngan agama-agama lain dengan tujuan untuk menunjukkan persa-
maan kemanusiaan dan persaudaraan.
Masih seputar ketuhanan, seorang penulis Muslim, Raden Djo-
josoediro menyebut lafazh Allah terdiri atas tiga huruf, yaitu alif,
lam dan ha. Menurutnya, tiga huruf itu menunjukkan tiga cahaya
yang dipahami dalam agama Hindu sebagai Agni, Maruta dan Wa-
runa. Yang tiga itu disebut juga Yang Mengadakan (Brahma), Yang
Memelihara (Wisnu), dan Yang Membinasakan (Siwa). Inilah Tri-
murti yang bermakna tiga wajah Tuhan. Yang tiga itu sejatinya ber-
asal dari Satu substansi, yaitu biasa disebut Nur Muhammad, Kris-
tus dan Buddha; kualitasnya sama saja.105 Penulis ini memiliki dua
pengertian tentang Tuhan, yaitu pertama, pengertian Tuhan orang
Islam semakna dengan Tuhan orang Hindu Indonesia (karena kon-
sep Trimurti khas Hindu Indonesia, tepatnya Bali). Akan tetapi tentu
saja kesamaan atau kemiripan makna itu dalam esensinya (esoterik),
bukan dalam pengertiannya yang harafiah (eksoterik). Kedua, pe-

138 Wajah Studi Agama-Agama


nyebab munculnya alam semesta yang biasa disebut Nur Muham-
mad dalam sufisme Islam ternyata kualitas Cahaya Muhammad
itu ia samakan juga dengan Kristus dan Buddha. Jadi, dua tokoh
terakhir juga semakna dengan Nur Muhammad.
Pandangan yang agak mirip dengan di atas datang dari Louis
Baehler ketika ia menulis tentang hubungan esensial di antara aga-
ma-agama. Ia menyatakan bahwa semua utusan Tuhan, Avatara
dan orang suci seperti Rama, Krisna, Buddha, Kristus, Muhammad
dan lain-lain, dalam kaitannya dengan Nur Muhammad diibaratkan
seperti ombak dengan lautnya.106 Pernyataan ini memiliki penger-
tian bahwa para nabi suci itu sesungguhnya memiliki dua natur,
yaitu natur esensi atau hakikat mereka sebagai penyebab terjadinya
alam ini dan natur historis mereka yang menjelma atau turun ke
dunia sebagai utusan Tuhan. Dengan kata lain, dapat dikatakan
ada Yesus Hakikat dan Yesus historis, ada Muhammad sebagai Esen-
si dan Muhammad historis, demikian juga Buddha dan lain-lain.
Seorang penulis Muslim lainnya mencoba menunjukkan bah-
wa Tuhan yang Sama pada setiap agama adalah Tuhan yang men-
ciptakan alam ini. Ia merujuk kepada al-Qur‘an surat al-Hadid ayat
1 sampai 5; Yohanes 1: 5 dalam Kristen; Tevijja Sutta dalam agama
Buddha; Amos 4:13 dalam Yahudi; Spentomad Gatha 1:10 dalam
agama Zoroaster; Bhagawadgita 7,8,9 dalam agama Hindu; dan
Sukhmani, Guru, V dalam agama Sikh. Penulis ini meyakinkan pem-
bacanya bahwa dalam kitab-kitab suci tersebut Tuhan menegaskan
keberadaan-Nya dan kekuasaan-Nya sebagai Pencipta dan Pengatur
semesta raya.107
Pada bagian lain, MTI juga sering sekali menyebut figur para
nabi utusan Tuhan dan guru-guru suci dari berbagai agama untuk
dipahami kesamaan esensi ajaran-ajaran mereka dan perbedaan
lahiriah beberapa doktrin keagamaan. Seorang anggota teosofi dari
etnis Tionghoa (beragama Konghucu) membuat tulisan dengan
judul “Khong Foe Tze, Jezus Christus, Krishnadji” menjelaskan
secara detail kesamaan esensial ajaran para nabi dan guru suci serta
adanya ajaran-ajaran partikular yang berbeda disebabkan perbe-

Dr. Media Zainul Bahri 139


daan tempat dan budaya.108 Penyebutan figur para nabi dan orang
suci kelihatannya menjadi trend di kalangan kaum teosofi dan selalu
dimuat pada tiap publikasi MTI untuk menegaskan bahwa ajaran
mereka—terutama mistik—memang berasal dari para nabi, dan para
nabi sejatinya memiliki kesatuan esensi ajaran yang sama di mana
umat manusia dapat memahami dan menjalin persaudaraan kema-
nusiaan universal.
Menurut kaum teosofi, para utusan Tuhan atau wakil Tuhan—
dalam bahasa mereka—adalah harus seorang manusia dan lahir dari
seorang manusia (perempuan) karena hanya manusialah dengan
segala kemanusiaannya dapat menampung kualitas ketuhanan. Maka
dalam sejarah pendiri agama-agama, Yesus, meskipun Ia Tuhan,
dilahirkan dari seorang perempuan, begitu pula Siddharta Gautama,
Sri Krisna, Osiris dalam agama Mesir kuno, Muhammad, dan se-
mua agama memiliki konsep tentang “wakil Tuhan” yang dilahirkan
oleh manusia.109 Hal itu juga berarti hanya manusia yang dapat me-
nyapa manusia dan mengajak kepada jalan Tuhan.
Doktrin lain yang sering dijadikan studi komparasi adalah soal
karma dan reinkarnasi. Sejatinya dua ajaran itu berasal dari Hin-
du110 dan Buddha111 yang meyakini sejak awal bahwa setiap per-
buatan manusia akan berbuah pahala atau dosa (karma) dan karena
itulah setiap manusia akan menikmati pahala atau menanggung
dosa pada kehidupannya yang akan datang (sebab belum tuntas di-
terimanya pada kehidupan terdahulu). Para penganut teosofi, apa
pun agama mereka, sangat meyakini akan dua hal itu. Tema ini
merupakan salah satu topik yang sering dibicarakan atau paling
favorit dalam setiap publikasi MTI. Menurut mereka, dua ajaran
itu sesungguhnya juga dikandung oleh semua agama manusia. Se-
orang penganut teosofi, Reksosiswoio, menulis sebuah artikel yang
menunjukkan bahwa inti dan maksud dua doktrin itu terdapat
dalam agama-agama. Ia merujuk kepada al-Qur‘an surat al-Sajdah
ayat 46, Dhammapada I: 1 dan 2 (Buddha), Devi Bhagavata 1;5; 74
(Hindu), Korintias III; 8 (Kristen), Genesis IX; 6 (Yahudi), Ahunavad
Gatha 30; 11 (agama Zoroaster), dan Japji, Guru I (agama Sikh).112

140 Wajah Studi Agama-Agama


Semua kitab suci itu dengan jelas menyatakan bahwa semua per-
buatan manusia akan ada akibatnya; setiap orang akan menanggung
akibat perbuatannya, baik di waktu dekat maupun di masa yang akan
datang. Bahkan, dalam Bhagawadgita ditegaskan bahwa di alam ini
mustahil adanya tindakan yang tak bersebab; hukum sebab akibat
bersifat pasti.
Beberapa penulis Muslim juga menunjukkan kesesuaian ajaran
Islam dengan Hindu dan Buddha dalam dua doktrin tersebut. Da-
lam pemahaman mereka, banyak ayat al-Qur‘an yang menjelaskan
fase-fase kehidupan seperti dalam surat al-Baqarah ayat 28 bahwa
Tuhan menghidupkan manusia lalu mematikan, kemudian meng-
hidupkan kembali lalu memberikan kematian terakhir. Dalam surat
al-Zalzalah dua ayat terakhir menyatakan dengan jelas bahwa setiap
manusia akan melihat (menerima) semua konsekuensi perbuatan-
nya, yang baik maupun yang buruk. Lalu, penulis itu merujuk juga
kepada surat al-Dhuha ayat 4 bahwa kehidupan akhirat jauh lebih
baik daripada kehidupan dunia ini. Menurutnya, ayat ini bisa ditaf-
sirkan bermacam-macam tafsir, salah satunya adalah jika kita mati
meninggalkan dunia nanti kita akan hidup lagi (reinkarnasi) dan
datang lagi ke dunia ini untuk menikmati segala kesenangan hidup
yang lebih baik dibanding hidup yang lalu.113
Karma dan reinkarnasi merupakan satu paket yang tak ter-
pisah. Jika tidak ada reinkarnasi atau kehidupan selanjutnya, jelaslah
bahwa Tuhan tidak adil karena begitu banyak persoalan kebaha-
giaan dan kesengsaraan yang belum tuntas dan belum terjawab
dengan memuaskan. Adanya kepastian tentang karma, hukum
sebab-akibat, evolusi atau pergerakan dan reinkarnasi menunjuk-
kan keagungan Tuhan di satu sisi dan memberikan keadilan sepan-
tasnya kepada manusia yang belum mendapatkannya pada kehi-
dupan masa kini di sisi lain.114
Seorang anggota teosofi Muslim terkemuka bernama A. Karim
menulis artikel dengan judul “Re-Inkarnatie” namun khusus meru-
juk kepada pandangan sufistik Ibn ‘Arabi (1165-1240). Menurutnya,
kitab Fushus al-Hikam karya Ibn ‘Arabi berisi pengetahuan tentang

Dr. Media Zainul Bahri 141


reinkarnasi. Ia menunjuk seorang komentator (pen-syarah) Fushus
al-Hikam yaitu al-Qaysari dalam bukunya Syarh Fushus al-Hikam
yang menyatakan bahwa Nabi Ilyas tak lain adalah Nabi Idris juga,
begitu pula Nabi Khidir tak lain adalah Nabi Nuh dan Nabi Ilyas,
dan Nabi Ilyas sendiri tak lain adalah Nabi Dzulkifli. Jadi, para nabi
itu sesungguhnya ber-inkarnasi; ruhnya sama hanya memakai jasad
dan nama baru. Menurut Karim, Nabi Muhammad memerintahkan
(secara musyahadah) kepada Ibn ‘Arabi di Damaskus melalui Fushus
al-Hikam untuk menyebarkan paham “Reinkarnasi” kepada seluruh
dunia. Paham reinkarnasi di sini bukan ajaran mengenai “tanasuk”
yaitu “kerasukan” atau “kesurupan” disebabkan masuknya nyawa
yang lain seperti orang atau harimau “jadi-jadian” atau siluman,
dan bersifat sesaat. Melainkan, reinkarnasi yang benar-benar
dipahami dalam doktrin teosofi atau Hindu, yaitu berpindahnya
ruh dari jasad lama kepada badan baru dengan membawa semua
karma terdahulu.115Pandangan A. Karim ini patut dipertanyakan/
diperdebatkan lebih lanjut. Benarkah kitab Fushus berisi ajaran me-
ngenai Reinkarnasi? Sebab para komentator Ibn ‘Arabi yang diakui
seperti ‘Afifi, ‘Abd al-Razaq al-Kasyani, William Chittick dan lain-
lain tidak pernah mengemukakan hal itu.
Seorang penulis Muslim lainnya membandingkan ajaran Hin-
du tentang Karma-yoga dan Triguna dengan ajaran al-Qur‘an. Kar-
ma-yoga yang berarti berbakti kepada Tuhan atau bekerja buat ber-
ibadah kepada Tuhan merupakan “jalan utama” dalam hidup. Na-
mun, untuk menempuh jalan utama, hidup manusia selalu diha-
langi oleh Triguna, yaitu (1) Tamas, tabiat ingin selalu senang dan
merasakan kenikmatan, (2) Rajas, tabiat tamak, loba, ingin memiliki
semuanya, dan (3) Satwam, tidak suka disamai atau dikalahkan
oleh orang lain). Menurut penulis itu, ajaran di atas serupa dengan
yang tercantum di dalam al-Qur‘an surat Ali ‘Imran ayat 12 dan
kandungan makna surat al-Takatsur yang menyatakan bahwa ma-
nusia dihiasi dengan berbagai macam kesenangan syahwati, seperti
ingin memiliki istri yang cantik, anak yang banyak, harta yang ba-
nyak dan berkompetisi untuk mendapatkan kemewahan dunia

142 Wajah Studi Agama-Agama


lainnya. Padahal, semua itu hanya kesenangan duniawi yang sesaat
dan menipu.116 Di dalam al-Qur‘an terdapat banyak ayat yang meng-
ingatkan manusia untuk tidak tertipu oleh kenikmatan duniawi
sehingga lalai berbakti kepada Tuhan. Ajaran al-Qur‘an ini sesung-
guhnya juga ditegaskan oleh banyak ajaran Hindu selain doktrin
tentang Karma-yoga dan Triguna.
Jika kita perhatikan, studi perbandingan yang dilakukan selalu
menonjolkan persamaan-persamaan ajaran atau makna yang dikan-
dungnya. Dalam publikasi mereka, jarang sekali kita menemukan
perbedaan ajaran atau doktrin agama-agama yang dimunculkan,
apalagi perdebatan yang sengit sehingga mengarah kepada tulisan
yang bersifat kritis, atau tulisan yang menunjukkan kelemahan
ajaran agama lain. Hal itu kemungkinan kuat tidak akan dimuat
dalam publikasi MTI. Ada juga beberapa perbedaan ajaran dalam
dua atau tiga agama yang dimunculkan, namun selalu dicari kesa-
maan makna esensinya. Model komparasi ini sesungguhnya tidak
lepas dari model perenial yang mereka lakukan. Karena dalam filsa-
fat perenial, perbedaan ajaran lahiriah di antara agama-agama tidak
bersifat mutlak, namun telah diikat oleh adanya satu ikatan (kesa-
tuan), apakah itu bernama kesatuan ketuhanan, kesatuan esoterik,
kesatuan spiritual atau kesatuan transenden. Maknanya sama; itu-
itu juga.
Begitu pula komparasi dalam hal etika. Mereka mengambil ajar-
an etika, terutama cinta kasih dari pandangan kitab-kitab suci, para
nabi dan figur-figur suci, tetapi konsep-konsep atau kandungan
makna agama-agama yang memiliki kesamaan doktrin yang mere-
ka tonjolkan. Teosofi sendiri, selain kepada mistik, juga sangat per-
hatian kepada soal-soal etis ini. Bagi mereka berbakti kepada Tuhan
juga mesti berbakti kepada manusia.117 Semua agama dan keya-
kinan, apakah yang kecil atau besar selalu mengajarkan keluruhan
moral dan cinta kasih.118 Kaum teosofi juga selalu merujuk kepada
ucapan dan perilaku Buddha, Konghucu, Kristus, Muhammad dan
orang-orang suci dari Hindu. Semua mereka, tidak hanya mengajar-
kan, namun juga menunjukkan kesungguhan hidup dalam keju-

Dr. Media Zainul Bahri 143


juran, kemurahan, kerelaan berkorban tanpa pamrih, cinta kasih
yang sesungguhnya dan kualitas keluhuran moral lainnya. 119
Bagi mereka, Tuhan amat mencintai seorang hamba yang sung-
guh banyak berbakti kepada kemanusiaan, tak peduli apakah ia
Muslim, Kristen, Hindu, Buddha atau penganut Konghucu. Yang
dilihat Tuhan adalah pengabdiaannya kepada sesama. Seorang pe-
nulis teosofi membuat tamsil mengenai seorang majikan yang memi-
liki karyawan. Pekerja yang berdedikasi, jujur, loyal, mencintai pe-
kerjaannya dengan sepenuh hati dan kesungguhan, itulah yang di-
cintai majikan, tak peduli apakah karyawan itu beragama Hindu,
Buddha, Islam atau yang lainnya.120
Seorang anggota teosofi lain menunjukkan ajaran etis dari Bud-
dha, Konghucu dan Islam mengenai larangan membunuh binatang.
Baginya, binatang itu apakah ayam, babi, kerbau, kambing dan lain-
lain adalah mungkin reinkarnasi dari manusia. Karena itu, manusia
tidak memiliki hak untuk menahan kemajuan (evolusi) jiwa-jiwa
hewan itu ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam ajaran Konghucu,
setiap hewan dan manusia terlahir dengan jiwa, nama dan nasib
masing-masing, misalnya Che Cheng adalah hewan reptil, Hoa
Cheng hewan yang hidup di air, Loan Cheng hewan yang terbang,
T’ao Chen hewan yang berkaki empat, Koan Koa How orang yang
miskin dan hina, dan Kong I (Kiang I) adalah orang yang berpang-
kat atau kaya. Menurutnya, bukankah dalam Islam juga ada larang-
an memakan binatang-binatang tertentu dan membunuhnya?121
Maka, manusia sesungguhnya tak boleh sembarangan membunuh
hewan karena mereka punya jiwa yang akan berevolusi.
Salah satu kesungguhan kaum teosofi dalam soal kualitas moral
ini, mereka mendirikan organisasi sayap namanya Mimpitoe atau
M 7 pada 1 Januari 1909. M 7 berarti kaum teosofi akan bersungguh-
sungguh memerangi 7 hal, yaitu: (1) Main (berjudi), (2) Minoem
(mabuk), (3) Madon (main perempuan), (4) Madat (mabuk karena
menghisap ganja dan sejenisnya), (5) Maling, (6) Modo (mencela
atau mengumpat karena dengki dan benci), (7) Mangani (makan
berlebihan dari yang dibutuhkan).122

144 Wajah Studi Agama-Agama


Jika kita perhatikan, model komparasi dalam etika juga tidak
benar-benar sebuah studi perbandingan yang kritis. Karena MTI
memiliki perhatian serius terhadap etika dan moral para pemeluk
agama, mereka mengambil legitimasi dari setiap ajaran agama ten-
tang pentingnya memiliki keluhuran moral dan kelembutan hati.
Lagi-lagi, mereka mengambil semua ajaran agama yang sama atau
memiliki kandungan makna yang sama untuk memperkuat paham,
pandangan dan sikap keagamaan mereka.
Karena itu, kita tidak menemukan sebuah model komparasi
kritis sebagaimana lazimnya sebuah metode komparasi dilakukan
di masa kini. Kita tidak melihat, bagaimana seorang penulis Mus-
lim, Hindu, Kristen atau Konghucu melakukan identifikasi (identi-
fication), pemilahan (selection), pembagian atas topik atau tema-tema
tertentu, lalu menjelaskan (explaining), melakukan komparasi (com-
parison) terhadap suatu tema ajaran agama lain dan menyuguhkan
analisis yang kritis dari berbagai sisi. Komparasi yang mereka la-
kukan berbentuk kerangka yang “sederhana” yang terus menarik
benang merah adanya hubungan substansial dan kesatuan agama-
agama.

3. India yang “Berbeda” dan Westernisasi


Hal penting lain yang patut diperhatikan adalah hubungan teo-
sofi dengan India, atau tepatnya hubungan yang saling memenga-
ruhi antara nilai-nilai India dan teosofi. Herman Tollenaere, seorang
Belanda yang ahli teosofi Indonesia, berpendapat bahwa orang-orang
Indonesia—pada awal abad ke-20—memiliki pandangan tentang
negeri India seperti yang diinformasikan oleh teosofi. Pandangan
mereka tentang India berdasarkan dari sejauh mana mereka mene-
rima informasinya dari teosofi Hindia Belanda. Meskipun, secara
geografis dan ideologis, terdapat hubungan yang erat antara teosofi
dengan India, tetapi tidak otomatis bahwa teosofi itu berakar dari
India, setidaknya sampai sebelum tahun 1942-an. Menurut Herman,
untuk mengetahui sejauh mana teosofi menyebarkan pemikiran
dan nilai-nilai India ke bumi Nusantara, seseorang harus melihat

Dr. Media Zainul Bahri 145


bagaimana teosofi merepresentasikan dan memediasi pengaruh-
pengaruh dari agama, sastra dan politik India.123
Menurut Herman, terdapat sekelompok kecil intelektual dan
seniman India124 yang dipengaruhi oleh teosofi. Salah satunya ada-
lah Rabindranath Tagore, seorang pujangga India, yang pernah me-
ngunjungi Jawa dan Bali pada 1927, dan diterima dengan sangat
baik dan hangat oleh para intelektual Jawa dan Bali saat itu.125 Tagore
saat itu berdiskusi dengan kaum terpelajar Jawa dan Bali tidak sema-
ta tentang ajaran-ajaran teosofi, namun juga soal politik. Misalnya
perjuangan politik India untuk merdeka dari Inggris. Diskusi itu,
tentu saja, juga memiliki pengaruh terhadap pandangan keagamaan
dan politik tokoh-tokoh teosofi Jawa dan Bali.
Di India sendiri menurut Herman, para anggota teosofi, dalam
loji-loji, selalu mendiskusikan soal-soal politik India, terutama isu-
isu yang menyangkut kemerdekaan India dari Inggris. Saat itu ter-
jadi perdebatan tajam antara Mahatma Gandhi yang menginginkan
kemerdekaan penuh India atas Inggris dengan Annie Besant yang
menentangnya. Orang-orang teosofi tentu saja berpihak kepada
Besant. Dalam banyak tulisannya, Besant memandang (atau me-
muji) bahwa India adalah negeri utama tempat tinggal ras Arya
yang direpresentasikan secara beradab oleh kerajaan Inggris (yang
menguasai India).126 Watak politik tokoh-tokoh teosofi rupanya sela-
lu sama, yaitu sikap akomodatif dengan kaum kolonial. Jika di
Hindia Belanda ditunjukkan oleh pandangan-pandangan Labberton
mengenai sikap akomodatif sebagai jalan terbaik, maka Annie Besant
juga menunjukkan hal serupa di India. Mengenai keunggulan ras
Arya ini, seorang mantan asisten Residen di Hindia Belanda yang
juga anggota teosofi, C.A.H. von Wolzogen Kühr menyatakan se-
buah mitos kuno bahwa bangsa India yang membawa peradaban
India ke pulau-pulau di Indonesia (dari abad ke-4 sampai abad ke-
15) adalah bangsa India ras Arya. Dan sekarang (dari abad ke-16
sampai abad ke-20) katanya, yang membawa peradaban ke tanah
Hindia Belanda adalah bangsa Belanda yang juga dari ras Arya.127

146 Wajah Studi Agama-Agama


Tentu saja pandangan itu memuat lebih banyak mitosnya daripada
kebenarannya.
Menurut Herman, jika benar bahwa kedatangan Islam ke In-
donesia dibawa oleh para pedagang India dari Gujarat, maka dipas-
tikan para pedagang Muslim itu bukan anggota teosofi, karena di
India tidak ada Muslim yang jadi anggota teosofi. Di India sendiri,
pandangan tentang teosofi sangat beragam, mulai dari yang me-
nerima dan memujinya hingga yang mengkritiknya. Swami Vive-
kananda, tokoh Hindu India terkemuka adalah salah satu di antara
yang mengkritik tajam teosofi. Katanya, “Teosofi India, yang sebe-
narnya adalah cangkokan dari spiritualisme Amerika dan sering
mengutip kata-kata dari bahasa Sanskerta, sesungguhnya tak lebih
dari jargon spiritualitas belaka!” Vivekananda menyesalkan bahwa
banyak orang di luar India, termasuk orang-orang Hindia Belanda
(Indonesia) yang memandang India dan agama Hindu melalui kaca-
mata teosofi. Padahal hal itu tidak benar. Secara sinis ia menyatakan
bahwa “orang-orang Hindu tidak membutuhkan hantu-hantu yang
mati dari Rusia dan Amerika.”128 Jadi, bagi Vivekananda, teosofi itu
akarnya bukan dari India, melainkan dari spiritualisme Barat.
Adanya pandangan bahwa teosofi banyak dipengaruhi oleh pe-
mikiran India dan Hindu juga dibantah oleh fakta-fakta berikut
ini. Dari sisi ajaran misalnya, terdapat beberapa istilah yang sama
antara teosofi dengan Hindu-Buddha. Padahal menurut Leadbeater
misalnya, seorang tokoh teosofi di Hindia Belanda, sangat sering
istilah yang sama itu memiliki makna yang berbeda. Misalnya,
konsep tentang Cakra (Chakra). Menurut filosofi yoga India, Cakra
adalah titik imajiner yang dipakai sebagai media untuk memusat-
kan pikiran dan hati dalam berhubungan dengan para dewa. Tetapi
dalam doktrin teosofi, Cakra berarti sesuatu yang sangat halus (eter)
yang benar-benar hidup dalam jiwa manusia. Pengertian teosofi
tentang Cakra itu persis sama dengan apa yang dimengerti oleh
para pelaku New Age di Barat akhir-akhir ini.129
Ajaran lain yang sama tetapi berbeda adalah soal karma. Dalam
teosofi, karma memiliki pengertian yang lebih filosofis dan ideal di-

Dr. Media Zainul Bahri 147


juga judul tulisan hanya dengan memakai “Agama Buddha,” atau
“Tentang Agama Islam,” atau “Hindu,” “Baha’i,” “Kristen” atau
“Konghucu.” Jika telah selesai satu tulisan tentang satu agama, maka
tulisan selanjutnya tentang agama lain. Begitu pula, jika selesai ten-
tang satu tema, tulisan selanjutnya tentang tema lain. Sering sekali
kita menemukan tulisan yang “bersambung.” Tetapi, sambungan-
nya tidak langsung pada tulisan berikutnya, melainkan dipotong
dulu oleh dua sampai empat tulisan. Kita sebagai pembaca juga
tidak bosan dengan hanya membaca satu agama, keyakinan atau
satu paham saja atau satu tema saja. Keragaman dalam bentuk pe-
nerbitan sangat terasa oleh pembaca, dan hal ini dapat memperkaya
horison tentang harmoni dan toleransi dalam pengertian yang se-
sungguhnya. Kondisi itu berbeda dengan majalah-majalah keaga-
maan yang terbit pada masa Orde lama hingga tahun 1980-an. Se-
ring kali pada majalah era itu tertera tulisan “Hanya untuk kalangan
sendiri,” atau “Hanya untuk kalangan terbatas,” dan biasanya isinya
juga tentang paham keagamaan yang eksklusif, juga sering kali
menyerang paham atau keyakinan orang lain yang berbeda.

F. Masa Suram Gerakan Teosofi


1. Kecaman dan Reaksi
Sebagaimana gerakan Teosofi Internasional, gerakan Teosofi di
Indonesia juga tak luput dari kecaman dan reaksi dari berbagai
pihak. Selain datang dari golongan agama konvensional seperti Is-
lam dan Katolik, reaksi juga datang dari pihak pemerintah Hindia
Belanda serta golongan nasionalis Indonesia.155
Nugraha menguraikan bahwa topik kecaman dan reaksi sesuai
dengan konteks dan waktu. Pada awalnya, yang dipermasalahkan
soal organisasi teosofi sebagai suatu organisasi kebatinan. Pada per-
kembangan selanjutnya kecaman menjadi bervariasi dengan mo-
tif yang meluas, tidak sekadar masalah kepercayaan/keyakinan. Hal
itu tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan pergerakan na-
sional dan keadaan Indonesia itu sendiri. Di tahun-tahun awal ke-
munculannya, organisasi teosofi di Hindia hampir tak pernah men-

162 Wajah Studi Agama-Agama


dapat kecaman atau menimbulkan reaksi, mungkin karena sebagian
besar anggotanya adalah orang Eropa (Belanda) dan kegiatannya
boleh dikatakan agak tertutup, dan adanya kenyataan bahwa kegiat-
an mereka tak lebih dari bidang kebatinan (okultis) semata.156
Hantaman yang keras dari kaum agama konvensional bahwa
teosofi adalah ajaran “sesat” dan “membahayakan” eksistensi aga-
ma-agama serta “penggembosan” dari kaum nasionalis Indonesia
membuat gerakan teosofi Indonesia terus melemah. Jika di masa-
masa sebelumnya organisasi ini selalu memperlihatkan aktivitas
luar biasa di segala bidang, tampaknya sekarang hanya meneruskan
segala kegiatan mereka di masa sebelum redup, misalnya di bidang
pendidikan dan pengajaran. Sekolah-sekolah milik Teosofi tetap
berdiri dan menerima murid. Lewat lembaga inilah proses pengaruh
gerakan teosofi tetap berlanjut di kalangan masyarakat, terutama
proses transformasi ide-idenya hingga gerakan ini benar-benar ha-
nya tinggal catatan sejarah.157
Seiring dengan hilangnya gerakan teosofi Indonesia, selesai su-
dah studi Perbandingan Agama yang cukup intensif pada masa itu.
Secara resmi, studi PA kemudian dibuka oleh pemerintah Indone-
sia pada 1961 yang dipelopori oleh Mukti Ali, setahun setelah berdiri
PTAIN [Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri] (1960) di Yogyakarta
dan ADIA di Jakarta.

2. Tanggapan Terhadap Kecaman


Sejauh penelusuran penulis, hampir semua tuduhan dan ke-
caman terhadap MTI bersifat emosional dan tidak sepenuhnya ber-
dasarkan kenyataan. Misalnya, teosofi sering dituduh sebagai upaya
peng-kristenan kaum pribumi, atau teosofi identik dengan agama
Kristen, atau teosofi lebih banyak memublikasikan agama Kristen,
Hindu dan Buddha, dan hanya sedikit menjelaskan ajaran Islam.
Jika kita membaca secara cermat dan detail semua publikasi
MTI terutama PTHN, PTBI, KT dan PH, dan kita jadikan publikasi-
publikasi tersebut sebagai ukuran seberapa sering publikasi/penje-
lasan suatu agama, maka kita akan menemukan fakta sebaliknya.

Dr. Media Zainul Bahri 163


Agama Kristen sering disebut, terutama menyangkut kehidupan
Yesus, ajaran Trinitas dan cinta kasih dalam PTHN (1918) nomor 1,
PTHN (1922) nomor 1 dan 2, KT (1931) nomor 1, KT 1932 nomor
1, dan PTTI (1954) nomor 32 dan 33. Hanya pada nomor-nomor
ini secara khusus membicarakan agama Kristen.
Tulisan khusus yang membicarakan agama Hindu adalah
PTHN (1917), PTHN (1918) pada halaman 38-40 ada tuduhan bah-
wa teosofi hanya menyiarkan paham Hindu, PTHN (1920), PTHN
(1921), PTHN (1925), PTHN (1926), PTHN (1928), KT (1931 dan
1932). Yang banyak dibicarakan adalah soal Trimurti, karma, rein-
karnasi, Weda dan orang-orang suci Hindu. Tulisan khusus yang
membahas agama Buddha adalah PTHN (1926), PTHN (1927),
PTHN (1923), PTHN (1925), KT (1929, 1931, dan 1932), dan PTTI
(1954). Biasanya yang banyak dibicarakan adalah riwayat Sidharta
Gautama, ajaran tentang Jalan Tengah, karma, reinkarnasi dan kesu-
nyataan.
Tulisan khusus lain yang cukup luas adalah tema tentang “Teo-
sofi dan titik-temu agama-agama.” Tema ini ditulis oleh penulis
Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu dan Islam, di mana mereka
membicarakan secara luas agama masing-masing—terutama aspek
mistiknya—yang dihubungkan dengan teosofi, atau dihubungkan
antara satu agama dengan agama lain, tentu saja hubungan esote-
riknya. Tema tentang “Teosofi dan titik-temu agama-agama,” atau
“titik-temu di antara agama-agama” dapat kita baca secara luas, da-
lam banyak nomor dan dalam ratusan halaman pada PTHN (1917),
PTHN (1919), PTHN (1920), PTHN (1921), PTHN (1922), PTHN
(1923), PTHN (1925), PTHN (1928), PTHN (1929), PTHN (1930),
KT (1929, 1931, dan 1932), dan PTTI (1954).
Sementara yang paling sedikit dibicarakan adalah tentang aga-
ma Tao dan Baha’i. Agama Konghucu relatif sama banyak porsinya
dengan agama Buddha, tetapi Hindu lebih banyak dibanding ke-
duanya.
Mengenai kecaman bahwa teosofi adalah agama baru, ingin
merelatifkan semua agama, membuat pemeluk agama menjadi ti-

164 Wajah Studi Agama-Agama


dak yakin dengan syari’at agamanya, merupakan ajang pemurtadan
dan hal-hal semacamnya, semua tidak berdasar dan telah dibantah
oleh MTI dalam penjelasan terdahulu.

3. Kasus “Khusus Islam”


Hal unik dalam teosofi Indonesia adalah fakta tentang keterli-
batan Islam, tepatnya tulisan-tulisan tentang Islam yang sangat luas
pada majalah-majalah teosofi. Beberapa nama penulis yang sangat
aktif adalah A. Latif, A. Karim, Raden Djojodiredjo, Raden Siswo-
soeparto, J.M., N., Kijahi Somo Tjitro, A. Rivai, Broto, dan Louis
Baehler. Sulit melacak siapa di antara mereka yang benar-benar
“santri” atau hanya Muslim KTP atau non-Muslim yang hanya ter-
tarik dengan Islam. Tiga kategori itu sangat mungkin melekat pada
para penulis tersebut. Dari namanya, mungkin Louis Baehler adalah
orang Eropa non-Muslim yang tertarik menulis aspek-aspek Islam
pada majalah teosofi.
Namun, yang menarik adalah beberapa nama seperti Latif,
Karim, Rivai dan Djojodiredjo membuat tulisan-tulisan tentang Is-
lam yang menunjukkan bahwa mereka cukup menguasai aspek
syariat dan hakikat Islam. Fakta ini menunjukkan sesuatu yang
penting mengenai posisi dan peran Islam dalam mengembangkan
organisasi teosofi di Nusantara. Disebut penting dan menarik karena
hanya di Hindia Belanda (Indonesia) Islam terlihat sangat menonjol
dalam organisasi ini. Seperti dilaporkan oleh Herman, bahkan di
India sebagai pusat gerakan Teosofi Internasional, tak ada Muslim
yang jadi anggota. Gerakan teosofi di Asia Tenggara pada masa itu,
seperti di Vietnam dan Thailand juga tidak menunjukkan keterli-
batan Islam (Muslim), apalagi dalam jumlah yang signifikan seperti
di Nusantara.
Jika membaca sebagian besar majalah teosofi di Hindia Belanda
saat itu, kita menemukan tulisan khusus yang membicarakan ajaran
Islam secara luas jauh lebih banyak dibanding agama-agama lain,
di antaranya PTHN (1911), PTHN (1912), PTHN (1915), PTHN
(1916), PTHN (1917), PTHN (1918), PTHN (1919), PTHN (1920),

Dr. Media Zainul Bahri 165


PTHN (1921), PTHN (1922), PTHN (1923), PTHN (1925), PTHN
(1926), PTHN (1927), PTBI (1928), PTHN (1929), dan KT (1929,
1931, dan 1932). Dalam setiap tahun publikasi tersebut terdapat
lima (5) sampai 7 (tujuh) nomor membicarakan aspek-aspek ajaran
Islam, dari mulai pentingnya memahami syari’at: shalat, puasa,
zakat, haji dan sedekah, hingga keharusan memahami tasawuf Is-
lam. Aspek sufisme ditekankan dengan tetap mendiskusikan as-
pek syariat. Inilah yang saya sebut “dari syari’at menuju hakikat.”
Di saat yang sama, para penulis tentang Islam di atas, banyak mem-
bandingkan ajaran esoterik Islam tersebut dengan agama-agama
lain, juga hubungannya dengan doktrin teosofi. Sekali lagi, saya
menemukan ratusan halaman pembahasan mengenai Islam secara
luas yang jauh lebih banyak porsinya dibanding Kristen, Hindu
dan Buddha.
Bersama-sama dengan pembahasan yang luas mengenai “Is-
lam” dan “Teosofi dan titik-temu” agama-agama adalah pemba-
hasan mengenai pengertian “Teosofi” dan tentang “Jagat Guru.”
Dua tema terakhir tidak seluas pembahasannya dibanding dua tema
pertama. Dengan menelusuri data-data di atas secara detail, tidak
benar tuduhan jika ajaran Islam mendapat “porsi” yang sedikit,
sedangkan Kristen, Hindu dan Buddha mendapat “jatah” yang lebih
banyak. Sebaliknya, “Islam” merupakan bahan kajian terbesar da-
lam publikasi MTI bersama dengan “Teosofi dan titik-temu agama-
agama.” Justru saya beranggapan bahwa majalah-majalah teosofi
itu seperti corong untuk mendakwahkan Islam. Redaksi majalah
tersebut telah memberi ruang yang luas sekali bagi penulis-penulis
Muslim untuk menjelaskan ide-ide Islam dan teosofi. Dengan ini,
dapat juga dikatakan bahwa gerakan teosofi sesungguhnya hendak
“menarik” lebih banyak lagi anggota-anggota yang beragama Is-
lam, yang kebanyakan ada di akar rumput.
Beberapa data signifikan tentang peran Islam, tentang “teosofi
bukan agama baru,” “teosofi tidak menginginkan konversi agama
bagi para pemeluk agama di Nusantara,” dan sebaliknya “teosofi
menghendaki para pemeluk agama menjadi lebih taat pada agama-

166 Wajah Studi Agama-Agama


nya masing-masing dengan jalan menekuni aspek hakikat agama
dan teosofi” seolah membantah para apologis Muslim modern se-
perti Herry Nurdi (2006), Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara
(2006), dan Artawijaya (2010) yang selalu memandang teosofi secara
“negatif.” Mereka selalu menghubungkan teosofi dengan gerakan
Freemasonry dan gerakan politik kaum Zionis yang ingin ‘merusak’
Islam dan agama-agama konvensional. Dengan mengutip Muham-
mad Natsir misalnya, Artawijaya memandang teosofi sebagai “aga-
ma gado-gado” yang ingin “mencampuradukkan semua agama atas
nama kebaikan dan nilai-nilai universal.” Akhirnya, bagi Artawijaya,
gerakan teosofi hanya memiliki satu tujuan, yaitu “misi besar me-
rusak agama-agama.”158
Menurut penulis, kesalahan fatal para penulis Muslim modern
tentang teosofi adalah bahwa mereka selalu “mengukur” gerakan
teosofi Hindia Belanda dengan tulisan-tulisan dan ide Blavatsky,
Annie Besant, Jiddu Krisnamurti, dan figur lain seperti tokoh teosofi
Belanda Dirk Van Hinloopen Labberton dan Bishop Leadbeater.
Para penulis itu tidak pernah secara luas merujuk kepada tulisan-
tulisan anggota teosofi pribumi, apakah dari kalangan terdidik pri-
yayi, non-priyayi, dan santri Muslim yang “ahli” dalam kajian Is-
lam, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu. Seperti telah diung-
kap, gerakan teosofi Indonesia di masa itu, dalam beberapa hal pen-
ting sesungguhnya berbeda dengan teosofi model Blavatsky dan
Annie Bessant yang mereka kembangkan di India dan di tempat
lain.

G. Studi Perbandingan Agama Sesudah Masa


Teosofi: Menimbang Peran Mahmud Yunus
dan Zainal Arifin Abbas
Sesudah era teosofi, studi PA sesungguhnya tidak pernah benar-
benar “tamat.” Sebelum menjadi kajian yang resmi secara akade-
mik di masa Orde Baru melalui PTAIN, riak-riak studi PA setelah
kemerdekaan —khususnya pada Muslim Nusantara— masih terde-
ngar meskipun hanya sayup-sayup. Harus diakui—setidaknya me-

Dr. Media Zainul Bahri 167


nurut Karel Steenbrink, studi PA memang tidak pernah memiliki
posisi yang kuat dalam sistem pendidikan tradisional Islam di Indo-
nesia. Bahkan sampai sekarang pun, studi PA tidak pernah masuk
dalam daftar pelajaran yang harus dipelajari di pesantren-pesantren
atau sekolah Islam.159
Sebelum memasuki alam studi PA di masa Orde Baru, saya
ingin menyuguhkan dua figur penting dalam studi PA dalam masa
pra dan dekade awal setelah kemerdekaan, yaitu peran Mahmud
Yunus dan Zainal Arifin Abbas di kalangan kaum terpelajar Mus-
lim Indonesia.160
Dalam konteks pesantren dan sekolah Islam “modern” me-
mang benar bahwa studi PA tidak memiliki posisi yang kuat. Na-
mun, pada masa 1970 akhir hingga 1980 akhir, terdapat mata pela-
jaran Perbandingan Agama di Madrasah Aliyah Negeri dan Swasta
di hampir seluruh wilayah Indonesia. Menurut Steenbrink, keke-
cualian dari tiadanya studi PA di masa lalu (terutama sebelum dan
masa awal kemerdekaan) adalah Mahmud Yunus, seorang pendidik
dan intelektual Muslim yang banyak menulis karya-karya tentang
Islam, khususnya pendidikan Islam. Beberapa karyanya yang masih
terkenang hingga kini misalnya Sejarah Pendidikan Islam: Dari
Zaman Nabi Hingga Khilafah Utsmaniyah Turki (1979), Sejarah Pen-
didikan Islam Di Indonesia (1979), Tafsir Qur`an Karim (1962, 1973),
Hukum Perkawinan Dalam Islam (1964, 1991) dan Kamus Arab-Indo-
nesia (1972; dicetak ulang hampir setiap tahun). Karya yang terakhir
bahkan masih dipakai di banyak pesantren modern hingga saat ini.
Yunus kuliah di Mesir pada 1920-an. Ketika kembali pada 1931,
ia mulai mengajar di pesantren di Padang, namun belum ada pela-
jaran PA. Pada 1932, mulailah ada kurikulum baru yang membuat
pelajaran Riwajat-Riwajat Agama untuk pelajar tingkat akhir. Pela-
jaran inilah yang menjadi pintu masuk untuk karya Mahmud Yu-
nus yang berjudul al-Adyân (Agama-Agama)161 yang selesai ditu-
lisnya pada November 1937 di Padang.162 Inilah sebuah karya perta-
ma yang komprehensif yang ditulis seorang sarjana Muslim Indo-
nesia mengenai agama-agama manusia dalam bahasa Arab, yang

168 Wajah Studi Agama-Agama


diajarkan di pesantren-pesantren dan sekolah Islam lainnya yang
mewajibkan para pelajarnya berbicara dan menggunakan buku-
buku berbahasa Arab.
Dalam karya setebal 72 halaman,163 Yunus menyajikan pemba-
hasan mengenai agama-agama yang dikenal manusia, yaitu Majusi
(Zoroaster), Sabean, agama Mesir Kuno, agama kaum Brahmana,
Buddha, Sinto, Konghucu, Tao, Fetis di Afrika Barat, Yahudi, Nasra-
ni, dan Islam dengan berbagai sekte pada agama-agama tersebut.
Yunus memulai dengan definisi agama, atau yang ia sebut sebagai
tadayyun, yaitu “kecenderungan manusia dengan segenap naturnya
untuk menerima adanya satu kekuatan, atau Kekuatan yang maha
kuat di atas kekuatannya sendiri bahkan di atas kekuatan manusia.
Natur keberagamaan ini merupakan tabiat (kualitas) manusia yang
paling tua (awal). Pada mulanya manusia berpikir bahwa tuhan itu
banyak dan segala fenomena di alam ini merupakan penampakan
kekuatan tuhan, baik yang bermanfaat maupun yang berbahaya.
Ketika pengetahuan manusia telah berkembang, muncullah kesa-
daran bahwa tidak mungkin ada banyak tuhan. Tuhan itu pasti
hanyalah satu, dan Dialah penyebab segala yang ada, Pencipta yang
awal dan yang akhir.”164
Menurut Steenbrink, definisi Yunus itu sama atau setidaknya
kental sekali dengan pandangan teori evolusi. Yunus sama sekali
tidak menyebut tentang teori revelasi atau adanya agama wahyu
sebagai agama primordial yang pertama diturunkan kepada nabi
Adam, misalnya. Kelihatannya Yunus hanya mengutip definisi
agama itu, mungkin dari para penulis Arab yang telah dipengaruhi
oleh teori evolusi dalam agama seperti yang tampak pada karya-
karya Edward Taylor, Emile Durkheim dan Malinowsky.165
Lalu, Yunus membagi agama-agama ke dalam dua kelompok
besar: (1) agama yang bersifat ruhiyah dan (2) agama material. Aga-
ma ruhiyah adalah yang menyembah ruh (bukan materi) yang ab-
strak. Agama ini terdiri atas: (a) agama-agama ketuhanan yang me-
mang menyembah Satu Tuhan Yang Agung, (b) agama orang-orang
dulu yang menyembah ruh, (c) agama orang-orang yang menyem-

Dr. Media Zainul Bahri 169


bah alam. Agama-agama ketuhanan terbagi lagi menjadi agama
tauhid dan agama syirik. Agama tauhid adalah agama yang hanya
menyembah satu tuhan yang maha kuasa. Agama ini terdiri atas lima
kelompok yang terkenal, yaitu: (a) Zarathustra atau agama majusi
atau agama orang Persia dahulu, (b) agama-agama orang India dan
China, (c) agama Yahudi, (d) agama Masehi, dan (e) agama Islam.
Sedangkan dalam daftar agama-agama syirik, yaitu yang me-
nyembah tuhan lebih dari satu, yang paling terkenal adalah: (a)
agama Mesir kuno, (b) Asyur, (c) Babilonia, (d) Yunani, (e) Romawi,
dan (f) kaum Brahmana.166
Pada satu sisi, Yunus memberi apresiasi positif terhadap agama-
agama non-Islam dan non-Semitik sebagai agama tauhid. Ia me-
nyebut Zoroaster bersama-sama dengan Siddharta Gautama, Kong
Fu Tze dan Lao Tze sebagai tokoh-tokoh hikmah dengan ajaran-
ajaran mulianya. Para pengikut merekalah yang menyelewengkan
agama ini menjadi agama syirik dan menuhankan tokoh-tokohnya.
Terhadap agama Hindu juga, Yunus memandang bahwa ajaran asal-
nya adalah monoteis, tetapi pada perkembangannya menjadi Tri-
murti, yaitu menyembah tuhan Brahma, Wisnu dan Syiwa.167 Cu-
kup aneh Yunus menyebut Trimurti ini, karena konsep ketuhanan
ini hanya populer di Indonesia, terutama Hindu Bali. Padahal ia
sedang menyajikan pembahasan mengenai konsep ketuhanan Hin-
du India. Menurut Yunus, orang-orang Hindu menyadari akan kon-
sep Tuhan Yang Esa, namun karena tuhan itu memiliki nama dan
sifat yang banyak, maka yang kemudian disembah adalah manifes-
tasi nama-nama dan sifat itu yang kemudian dipanggil dengan dewa.
Menurut Yunus lebih lanjut, konsep tentang banyak tuhan (mak-
sudnya dewa) dan Trimurti sesungguhnya tidak terdapat dalam
kitab suci Weda.168
Pada sisi lain, kajian Yunus jelas bersifat apologetik. Dengan
judul “agama-agama syirik” dan “agama-agama yang menyembah
patung, bintang, matahari dan kekuatan alam lain” segera kita me-
mahami bahwa ia sedang melakukan penilaian (penghakiman) teo-
logis terhadap agama-agama yang dianggapnya telah menyimpang.

170 Wajah Studi Agama-Agama


Terhadap agama Yahudi dan Nasrani, Yunus membuat pembahasan
yang cukup panjang menyangkut sejarah, ajaran-ajaran pokok dan
sekte-sekte mereka. Terhadap Kristen, Yunus membahas secara khu-
sus mengenai Katolik dan Protestan, dua sekte yang justru tidak
dibicarakan oleh penulis Muslim ahli PA, Syahrastani dalam al-
Milal wa al-Nihal. Yunus juga mendeskripsikan penyimpangan-
penyimpangan serius yang dilakukan para teolog Yahudi dan Kris-
ten atas ajaran-ajaran asli yang diturunkan Tuhan. Yunus menye-
but—dengan mengutip sejarawan Prancis—misalnya bahwa Taurat
adalah produk dari para teolog dan sejarawan Yahudi yang ditulis
beberapa abad setelah wafatnya Musa. Taurat sekarang adalah
produk penulisan ulang atas sejarah Bani Israel. Taurat yang asli
telah hilang.169
Terhadap agama Kristen, Yunus menunjukkan kritik kerasnya
bahwa doktrin penyaliban nabi Isa dan konsep Trinitas benar-benar
sulit diterima “akal sehat” dan bertentangan dengan keadilan Tu-
han.170 Pada mulanya, agama Kristen adalah agama tauhid dari Allah,
namun kaum Nasrani mengubahnya menjadi agama pagan dengan
konsep Trinitas yang tidak masuk akal. Agama ini dinodai kesucian-
nya oleh kaum Nasrani sendiri dengan mengambil ide-ide dan tradisi
keagamaan dari Yunani, Romawi, Trinitas Mesir kuno dan kaum
Brahmana.171 Dalam membahas soal teologi agama-agama, Yunus
selalu menunjukkan bagaimana pandangan Islam atas model akidah
atau syari’at dari agama yang sedang dibicarakannya.
Di akhir pembahasan, tentu saja adalah tentang agama Islam
sebagai agama terakhir dan yang terbaik (huwa akhir al-adyan wa
ahsanuha), yang tak ada kecacatan sedikit pun dalam seluruh aspek-
nya.172 Sebagaimana ulama Islam lainnya, Yunus juga menjelaskan
sekte-sekte Islam seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah. Dalam
kaitan sekte itu, Yunus membuat pembahasan khusus yang cukup
panjang mengenai Jama’ah Ahmadiyah dengan dua alirannya, yaitu
Lahore dan Qadiyan.173
Sebagai buku ajar yang memuat banyak agama dengan kajian
yang cukup komprehensif, karya Yunus itu cukup menarik dan

Dr. Media Zainul Bahri 171


membawa suatu horison baru bagi para pelajar Muslim tentang
agama-agama non-Islam. Untuk ukuran saat itu, al-Adyân merupa-
kan sebuah prestasi dan memiliki tempat yang khusus di kalangan
santri Muslim. Menurut Steenbrink, meskipun gaya tulisan Yunus
itu sederhana, namun bagi para pelajar tingkat akhir dan para guru,
buku itu sangat menarik dan suatu hal yang baru tentang agama-
agama non-Islam. Dalam menulis karya itu, Yunus kelihatannya
seperti memiliki hubungan yang dekat dengan keadaan dunia yang
majemuk di mana non-Muslim benar-benar nyata, dan karya itu
juga memuat informasi yang cukup “akurat” tentang kaum non-
Muslim. Salah satu sisi menariknya adalah jika Nuruddin al-Raniri,
dalam karyanya al-Tibyân fî Ma’rifat al-Adyân, membuat catatan
tentang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani sebagai to-
koh-tokoh yang dianggap “menyimpang” dari Islam yang “benar,”
maka Yunus juga membuat penjelasan yang panjang mengenai Ja-
ma’ah Ahmadiyah, satu sekte dalam Islam yang juga dipandang
telah “menyimpang secara serius” pada saat itu,174 bahkan hingga
hari ini.
Tokoh kedua yang juga sangat penting dalam penyebaran pe-
ngetahuan tentang PA adalah Haji Zainal Arifin Abbas, seorang
pengajar agama Islam dan Filsafat yang tinggal di Medan dari tahun
1900 hingga 1970. Ia menulis Sejarah Hidup Nabi Muhammad dan
Tafsir al-Qur‘an. Namun, karyanya yang paling ambisius adalah
Perkembangan Fikiran Terhadap Agama (1951). Inilah karya yang
ditulisnya dalam tiga volume yang di dalamnya terdapat pembahasan
mengenai agama-agama dunia, baik yang tinggal sejarahnya mau-
pun agama yang masih hidup. Sebagaimana terlihat dari judulnya,
maka isi buku itu seperti dinyatakan oleh penulisnya, “...adalah
intisari dari pendapat puluhan ahli pikir dalam sedjarah 2500 tahun
jang lalu, mulai dari Thales orang Maleiti sampai kita sekarang
ini.”175 Abbas mengurai sejarah pemikiran umat manusia tentang
agama dan respons-respons mereka. Dalam satu pembahasan yang
panjang, ia mengurai berbagai pengertian agama dan menyebut
lebih dari 100 pemikir, sarjana dan kaum mistik yang menjelaskan

172 Wajah Studi Agama-Agama


pengertian itu, namun ia banyak mengutip buku al-Din wa al-
Wahy wa al-Islam karya Mustafa Abdur-Raziq, mantan Rektor
Universitas al-Azhar, Mesir. Menurut Steenbrink, Abbas banyak
menghadirkan kutipan tanpa komentar lebih lanjut, tanpa konteks
dan tidak bersikap kritis.176 Terutama Abbas banyak mengutip sar-
jana Muslim dari Mesir ketika membicarakan agama-agama non-
Islam. Misalnya ketika menulis tentang agama Mesir Kuno (Purba)
sebagian besar ia mengutip buku Filsafat Timur karya Muhammad
Ghallab.177 Ketika menjelaskan agama Hindu, ia pun banyak me-
rujuk kepada Ghallab dan Tsaqafat al-Hind karya Abdus Salam.178
Meskipun dalam beberapa bagian ia juga merujuk kepada Hadza
Ra‘y al-Hind karya Gustav de Bone179 dan Ensiklopedi Dunia.
Dengan membaca daftar isinya saja segera kita melihat bahwa
Abbas memang berambisi untuk mengurai sejarah panjang pemi-
kiran umat manusia tentang agama. Terdapat tiga bab khusus yang
mengulas pandangan para filsuf Yunani Kuno tentang agama; dari
mulai Thales, Xenophanes, Parmenides, Zeno, Socrates hingga Plato.
Satu bab khusus pandangan para filsuf Muslim: Ibnu Sina, Ibnu
Bajah, Ibnu Thufayl, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan lain-lain. Satu
bab khusus pandangan para filsuf Barat; dari Descartes, Venilone,
Jocques Benicte Bosuette, Leibniz, Newton, Clark (mungkin Samuel
Clarke), Rocke (mungkin maksudnya John Locke, karena Abbas
menyebut karya Locke yang terbit tahun 1690, Essay Concerning
Human Understanding), Voltaire, Rousseau, astronomis Herschel,
Herbert Spencer dan Leneitte. Nama-nama pemikir itu bahkan
hingga tiga puluh orang, dengan begitu saja diterjemahkan (pemi-
kiran mereka) oleh Abbas tanpa ada pendahuluan dan komentar
lebih lanjut.180 Setelah itu Abbas menjelaskan, dalam bab-bab yang
panjang (dan detail) agama-agama manusia: Mesir Kuno, India
(Hindu), Buddha, Kaldea, Yahudi, agama-agama di Persia (Majusi
dan Manu), dan Shinto.
Menurut Steenbrink lebih lanjut, buku Abbas itu mengandung
banyak kesalahan, kekacauan, inkonsistensi, baik dalam penye-
butan nama-nama, istilah atau pemahamannya mengenai suatu pe-

Dr. Media Zainul Bahri 173


mikiran. Karena itu buku tersebut cukup membingungkan. Misal-
nya ketika ia membicarakan tiga tuhan dalam agama Yunani, yaitu
Apollo, Delphes dan Zuess, ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab
yang membingungkan. Lalu, ketika membahas konsep mana atau
mani dalam pemikiran Durkheim, ia identikkan kata itu dengan
“makna,” suatu istilah dalam bahasa Arab dan Indonesia yang berarti
makna. 181
Menurut saya, meski terdapat beberapa kekeliruan dan inkon-
sistensi, karya Abbas ini cukup menarik, dan meski banyak meru-
juk kepada karya-karya sarjana Muslim ketika menulis tentang aga-
ma-agama non-Islam, ia dapat menyajikannya dengan pendekatan
yang simpatik dan humanis. Abbas selalu menyandingkan agama
dengan peradaban suatu bangsa. Ketika membicarakan agama Me-
sir Kuno, ia menegaskan bahwa peradaban Mesir yang agung itu
tak lain adalah karena orang-orang Mesir memiliki agama. Raja-
raja Mesir juga senang berteman dengan kaum agamawan. Pada
masa kekuasaan raja Amnahat dan Amoun misalnya, agama men-
jadi pelajaran wajib orang-orang Mesir, banyak kaum adib atau
intelektual yang lahir dari pengajaran agama. Bahkan konsep Tuhan
Yang Maha Esa yang memanifestasi dalam banyak atiribut-Nya
seperti Tuhan Matahari, Tuhan Alam dan lain-lain, telah dikenal
dan diajarkan pada masa dua raja itu. Karena itulah, peradaban tinggi
Mesir yang kental dengan agama, menurut Abbas, sesungguhnya
“turun dari langit” bukan semata hasil pemikiran manusia. Menurut
Abbas, kemajuan pikiran dan peradaban orang Mesir pada masa
itu, terutama masa Amnahat I, kira-kira serupa dengan peradaban
Islam abad ke-7 atau peradaban Barat abad ke-17 Masehi. Menurut
Abbas, peradaban Mesir bersama-sama dengan Tiongkok pada ma-
sa 3000 tahun sebelum Masehi atau masa Nabi Isa, menjadi agung
berkat peranan besar agama.182
Hal yang sama juga ia tunjukkan ketika menulis tentang Agama
India (Hindu). Meskipun ia tidak menyebut kitab suci Weda sebagai
berasal dari Tuhan, juga “bukan kitab suci orang India dan Aria,
melainkan dibawa oleh orang-orang yang datang kemudian ke lem-

174 Wajah Studi Agama-Agama


bah Punjab,”183 namun ia berhasil memaparkan secara detail paham,
keyakinan dan praktik orang-orang Hindu secara lebih simpatik.
Orang-orang Hindu sesungguhnya telah mengenal konsep Tuhan
Yang Satu dan konsep kesatuan Tuhan dengan alam. Tuhan yang
satu itu kemudian memanifestasi dalam bentuk yang banyak. Me-
nurut Abbas, filsafat adalah agama dan agama adalah filsafat. Itulah
yang terjadi di India, Tiongkok dan Mesir kuno.184 Penjelasan Abbas
tentang syari’at agama Hindu yang meliputi hak dan kewajiban
raja, mencari rejeki yang halal, masa haid perempuan, hubungan
suami-istri, hak-hak perempuan, soal poligami, soal halal-haram,
soal dosa, soal riba dan lain-lain, disajikan secara cukup menarik
dan informatif untuk ukuran buku agama-agama pada masa itu.
Ringkasnya, meskipun buku itu tetap menonjolkan Islam seba-
gai agama yang paling sempurna dan dalam beberapa hal menyebut
keyakinan lain sebagai syirik185 dan menyimpang—dan karena itu
dapat pula disebut sebagai karya “semi apologetik,” tetapi Abbas
membuat deskripsi simpatik tentang keyakinan agama lain; dalam
pengertian bahwa Abbas sering menekankan betapa umat manusia
dalam macam-macam agama itu ingin selalu dekat dengan Tuhan,
ingin membangun masyarakat yang beretika dengan landasan aga-
ma dan pada akhirnya mereka berhasil membangun peradaban
dunia dengan beralaskan agama. Abbas selalu melihat positif apre-
siasi bangsa-bangsa terhadap agama, yang pada saatnya, apresiasi
itu memunculkan peradaban yang kemudian memengaruhi ma-
syarakat dunia dari masa ke masa. Karena itu, karya tersebut tidak
seluruhnya penuh dengan “tuduhan” dan penilaian yang “meren-
dahkan,” meskipun sulit pula disebut objektif sepenuhnya. Dalam
menjelaskan doktrin-doktrin agama lain sering kali Abbas menggu-
nakan istilah-istilah Islam seperti kata halal, haram, Khalik, Allah,
syari’at dan lain-lain. Mungkin salah satu alasannya adalah supaya
buku itu lebih mudah dipahami oleh “pandangan dunia” (world-
view) para pelajar Muslim. Apalagi buku itu kemudian menjadi
buku wajib (buku ajar) para pelajar di PGA, yaitu calon guru-guru
agama.

Dr. Media Zainul Bahri 175


H. Model Studi yang Dilakukan
Pendekatan historis dan teologis tampak dominan dalam uraian
Yunus dan Abbas tentang agama-agama. Yunus sepenuhnya menda-
sarkan bukunya, al-Adyân, pada produk (pandangan) teologi Is-
lam tentang agama non-Islam. Untuk sejarah agama-agama non-
Islam, ia juga merujuk kepada banyak ulama Muslim. Ketika me-
nuliskan sumber-sumber untuk karyanya itu, Yunus menyebut na-
ma-nama penulis dan ulama Muslim terkemuka seperti Muham-
mad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Amin, Farid Wajdi, Jurzi Zaydan,
Musthafa Amin, Ibn Hazm, Syahrastani dan lain-lain serta karya-
karya mereka yang sudah dikenal baik di kalangan kaum Muslim.
Karena itu, model Yunus adalah model teologis dengan corak Is-
lam ala Timur Tengah. Yunus menggambarkan agama-agama non-
Islam persis (serupa) dengan gambaran para ulama dan penulis di
atas. Yunus sama sekali tidak mendiskusikan agama-agama dan
kepercayaan yang ada di Nusantara, misalnya Hindu-Buddha In-
donesia, Aliran Kebatinan, atau Katolik-Protestan Indonesia dan
perbedaan spesifik mereka dengan agama-agama serupa yang dije-
laskannya. Dengan kata lain, Yunus sama sekali tidak mengaitkan
agama-agama dunia yang dibicarakannya dengan konteks agama-
agama yang ada di Nusantara.
Hal serupa juga terlihat pada karya Abbas, Perkembangan Fikir-
an. Meskipun karya itu jauh lebih tebal dari al-Adyân karena meng-
uraikan banyak hal tentang sejarah dan isi filsafat dan agama-agama
dunia, namun perspektif Islam ala Timur Tengahnya juga cukup
menonjol. Seperti halnya Yunus, Abbas juga tidak mendiskusikan
agama-agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia.

176 Wajah Studi Agama-Agama


BAB V
STUDI PERBANDINGAN
AGAMA DI MASA ORDE BARU
(1968-1998)

Pada Bab IV kita telah melihat suatu model studi Perbandingan


Agama (selanjutnya disingkat PA) pada MTI di masa 1900 awal
hingga 1940. Ada suatu model studi PA yang digunakan dan dikem-
bangkan oleh sekelompok elite atau anggota terbatas teosofi. Disebut
elite atau terbatas karena model studi itu memang terbatas pada
paguyuban loji-loji dan publikasi jurnal yang berputar hanya di
kalangan mereka. Kajian dan model studi PA masa itu tidak bersifat
resmi sebagai regulasi pemerintah kolonial di sekolah-sekolah atau
akademi karena itu tidak bersifat masif, terstruktur dan sistematis.
Pada bab ini kita akan melihat kebangkitan kembali—jika boleh
disebut—studi PA, namun dengan penampilannya yang “resmi”
dan terstruktur karena berdiri di atas fondasi pemerintah Orde Baru
dan didukung oleh aktor-aktor yang terdidik secara modern dalam
disiplin ilmu PA. Fokus bab ini hanya terbatas pada sarjana Mus-
lim Indonesia dan lembaga pendidikan tinggi Islam Indonesia, khu-
susnya di Yogyakarta dan Jakarta.

A. Studi Perbandingan Agama Di Masa Orde


Baru: Mencermati Peran Sentral Mukti Ali
Ilmu PA di kalangan kaum Muslim Indonesia secara formal-
akademik lahir di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)
Yogyakarta pada 1961, setahun setelah berdirinya dua pendidikan
tinggi Islam negeri, yaitu di PTAIN Yogyakarta dan ADIA (Akademi

Dr. Media Zainul Bahri 185


Dinas Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiran jurusan PA di Fakultas
Ushuluddin ini tak bisa dilepaskan dari peran Profesor Mukti Ali,
seorang cendekiawan Muslim terkemuka yang meraih gelar Doktor
di Universitas Karachi, Pakistan dalam bidang Sejarah Islam, dan
Magister Universitas McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies.
Pada 11 September 1971, Mukti Ali dilantik jadi Menteri Agama
kabinet Orde Baru. Mukti Ali layak disebut sebagai seorang Menteri
Agama yang menempati posisi khusus dalam sejarah kebijakan
pemerintah Indonesia di bidang agama, baik dalam pengertian
perannya dalam proses panjang modernisasi politik-keagamaan
yang sedang mengalami masa “transisi” waktu itu,1 maupun dalam
kebijakan-kebijakannya dalam hal mengatur hubungan intra dan
antar pemeluk agama yang berbeda serta hubungan (tokoh-tokoh
dan lembaga) agama dengan pemerintah. Karena kecintaannya
yang mendalam kepada ilmu PA berkat pengaruh yang kuat dari
profesornya, Willfred Cantwell Smith, ketika menjadi Menteri Aga-
ma, Mukti Ali tak pernah lelah memperkenalkan kepada mahasiswa
dan masyarakat luas akan pentingnya belajar ilmu PA. Ia juga menja-
dikan dialog antar umat beragama sebagai kebijakan utama di De-
partemen Agama.2
Terlepas dari peran politiknya sebagai Menteri Agama, di awal
berdirinya studi PA pada 1961, Mukti Ali adalah figur utama yang
berperan menyusun kurikulum ilmu PA untuk pertama kalinya.
Menurut pengakuannya, mata kuliah yang ia susun untuk diajarkan
adalah: Ilmu PA, Sosiologi Agama, Filsafat Agama, Psikologi Agama,
Kristologi, Dogmatika Kristen, Sejarah Gereja, Tafsir Injil, Orienta-
lisme dan Kebatinan, di samping Tafsir, Hadis, Fikih, Ilmu Kalam
dan Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Saat itu hanya ada dua or-
ang mahasiswa PA yaitu Yusnina Hanim dan Habibullah.3 Menu-
rut Mukti Ali, pendirian jurusan PA pada masa itu berdasarkan
beberapa faktor penting. Pertama, merupakan regulasi pemerintah
untuk pengembangan keilmuan, khususnya ilmu agama. Kedua,
ilmu PA dibutuhkan sebagai ikhtiar menjadi salah satu solusi penting
dalam mengelola kemajemukan agama dan budaya di Indonesia.

186 Wajah Studi Agama-Agama


Ketiga, secara umum ilmu PA dianggap dapat berkontribusi bagi
“ketahanan nasional,” suatu terminologi yang “dikeramatkan” oleh
Orde Baru.4
Namun, menurut Mukti Ali, harus diakui keadaan studi agama,
khususnya agama Islam, di Indonesia di tahun 1950 dan 1960-an
sangat lemah. Sebab kelemahan dalam pengembangan ilmu agama,
khususnya Islam, antara lain (1) kekurangan bacaan ilmiah, (2) ke-
kurangan kegiatan penelitian secara ilmiah, (3) kekurangan diskusi
akademis, dan (4), masih rendahnya penguasaan bahasa asing di an-
tara sebagian besar mahasiswa dan dosen, sementara relatif sedikit
buku-buku ilmu agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang
pembahasannya sangat analitik. Ini merupakan sebab-sebab yang
praktis.5
Faktor-faktor fundamental lainnya masa itu menurut Mukti
Ali adalah: Pertama, kehidupan keagamaan di Indonesia yang lebih
menekankan aspek mistik, tepatnya lebih ke “amaliah” daripada
“pemikiran.” Karena itu, kehidupan keagamaan model itu jauh dari
pendekatan agama secara ilmiah. Kedua, pemikiran ulama-ulama
di Indonesia dalam Islam masa itu lebih banyak ditekankan dalam
bidang fikih dengan pendekatan yang sangat normatif. Ketiga, de-
ngan kondisi itu muncullah reaksi di kalangan pemikir-pemikir
Muslim Indonesia, seperti Profesor Harun Nasution, Guru Besar
Filsafat Islam IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menentang kehi-
dupan agama yang serba mistis dan pendekatan agama secara nor-
matif yang terpusat kepada fikih. Karenanya, ia menulis buku-buku
yang amat penting dan fundamental dalam bidang Ilmu Kalam
dan Filsafat. Meski demikian, Ilmu PA, dalam menghadapi reaksi
seperti itu, menurut Mukti Ali, tetap mesti berhati-hati supaya ilmu
itu tidak terseret ke dalam Teologi maupun Filsafat Agama.
Keempat, timbulnya semangat dakwah yang begitu hebat di In-
donesia, terutama setelah terjadi pemberontakan komunis pada
1965. Dengan pemberontakan itu umat Islam menjadi sadar bahwa
dakwah di Indonesia harus lebih ditingkatkan. Semangat dakwah
yang seperti ini menimbulkan satu cabang ilmu pengetahuan sen-

Dr. Media Zainul Bahri 187


diri, yaitu “Ilmu Dakwah” atau “Misiologi.” Jika dalam Perban-
dingan Agama, agama-agama diuraikan sebagaimana adanya de-
ngan berusaha untuk mencari persamaan dan perbedaan antara
satu agama dengan agama lainnya, maka dalam Ilmu Dakwah, aga-
ma-agama diuraikan dalam hubungannya dengan agama Islam un-
tuk menunjukkan keunggulan Islam atas agama-agama lain. Tentu
saja ilmu Perbandingan Agama berbeda dengan Ilmu Dakwah.
Kelima, yang menyebabkan ilmu PA kurang berkembang di
Indonesia adalah dugaan bahwa ilmu ini datang dari Barat. Karena
itu, orang-orang Islam melihatnya dengan curiga.
Keenam, peserta-peserta kuliah PA kurang menguasai ilmu-
ilmu bantu Perbandingan Agama, seperti sejarah, sosiologi, antro-
pologi, arkeologi, yaitu ilmu-ilmu yang dapat membantu orang un-
tuk memahami fenomena berbagai agama. Selain kekurangan itu,
peserta Jurusan ilmu ini juga kurang memahami bahasa asing. Hal
yang ideal jika orang yang ingin mempelajari ilmu PA itu adalah
memahami bahasa asli dari kitab suci dan ajaran-ajaran dari agama
yang akan dipelajarinya. Seorang peminat PA, menurut Mukti Ali,
harus menguasai bahasa Arab, supaya dapat memahami Islam dari
sumber aslinya, dan menguasai bahasa-bahasa modern, khususnya
Inggris, agar dapat memahami buku-buku yang ditulis dalam bahasa
asing.6

B. Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian


dan Tujuan
1. Pengertian
Penting untuk mengetahui pengertian ilmu yang baru berdiri
ini dan tujuannya pada Mukti Ali dan sarjana-sarjana PA sesudah-
nya yang menulis dan mengajarkan ilmu ini di perguruan tinggi
Islam. Pengertian yang mereka pahami dengan segala misinya akan
memberi kita gambaran bagaimana posisi ilmu ini dalam kancah
ilmu-ilmu mapan lain yang berhubungan dengannya dan relasinya
dengan Islam sebagai studi akademik dan praktik dakwah.

188 Wajah Studi Agama-Agama


non-Islam, memiliki otak yang cerdas (berpengetahuan luas) namun
tetap memiliki komitmen terhadap Islam dan terjaga kesalehan-
nya.48 Menurut Singgih, rumusan Mukti Ali mengenai “ilmiah aga-
mis” sesungguhnya sejalan dengan ide Dr. Satiman dan Dr. Mu-
hammad Hatta (sang proklamator) ketika merumuskan Perguruan
Tinggi Agama Islam pada 1960-an, yaitu bahwa PTAI kelak akan
mencetak sarjana (ahli) yang cerdas pikirannya, namun tetap terjaga
kesalehannya. Cerdas dan saleh—dengan segala kualitasnya, misal-
nya rendah hati (tawadhu’)—menurut Singgih, inilah yang konsis-
ten melekat pada pribadi Mukti Ali hingga akhir hayatnya.49
Melalui testimoni kedua figur studi PA UIN Yogyakarta terse-
but, akan sulit bagi kita membuat—katakanlah— pembagian “pe-
riodisasi” atau “dua dimensi” pandangan Mukti Ali ke dalam pe-
riode teologis dan ilmiah. Pembagian itu, dalam perspektif murid-
murid Mukti Ali, setidaknya akan terlihat absurd, kurang tepat dan
tidak relevan. Akan tetetapi, saya hanya ingin kembali kepada teks
atau data-data yang diketengahkan Mukti Ali sendiri (dan murid-
murid intelektualnya) dengan cara melihatnya dari perspektif Studi
Ilmiah Agama yang saat ini berkembang. Cara pandang itu mung-
kin tidak adil karena melihat studi PA 30 atau 40 tahun lalu dengan
“kacamata” sekarang, tetapi bagi saya hal itu masih “tepat” dan
“relevan” dilakukan mengingat Studi Ilmiah Agama yang diletakkan
oleh Max Müller lebih dari satu abad yang lalu adalah Studi Agama
yang “deskriptif” dan “non-normatif,” yang bisa dipakai untuk me-
lihat model-model studi PA yang dilakukan sesudahnya. Lagi pula,
apa yang dimaksud sebagai studi PA bagi Mukti Ali adalah seperti
apa yang dirumuskan oleh Max Müller mengenai Studi Ilmiah Aga-
ma, hanya saja Mukti Ali menambahkan rumusan “agamis” atau
“doktriner.” Periodisasi itu juga penting untuk mengurai gagasan-
gagasan Mukti Ali mengenai studi PA dalam periode yang panjang
secara lebih “mudah” dan dalam sebuah “bingkai” yang bisa dipi-
lah-pilah.
Pertama, kita melihat periode awal Mukti Ali sebagai perintis.
Dalam karya pertamanya tentang PA, ia menulis:

204 Wajah Studi Agama-Agama


Methodos dalam Ilmu Perbandingan Agama sebagian besar tergan-
tung kepada pandangan orang terhadap agama-agama bukan aga-
manja. Biasanya Perbandingan Agama itu dilakukan dari dalam Aga-
ma jang dipeluk oleh seorang dalam usahanja untuk menilai isi dan
tjiri dari agama lain.50
Memang harus diakui bahwa ilmu Perbandingan Agama bisa men-
djadi bahaja jang besar bagi agama Islam, apabila salah mempergu-
nakannja, tetapi sebaliknja akan merupakan bantuan jang besar sekali
bagi perkembangan agama Islam, apabila betul dalam memperguna-
kannja...51

Dalam kutipan pertama kita memahami studi PA sebagai kajian


“subjektif” karena isinya adalah menilai yang dalam terminologi
sekarang disebut juga “menghakimi” (judgment), yaitu menilai atau
menghakimi keyakinan/agama orang lain berdasarkan atau dengan
ukuran agama pengkaji. Jika konsisten mengikuti rumus ini, maka
pendekatan (metode) apa pun dalam studi PA apakah fenomenolo-
gis, historis, psikologis, apalagi teologis, akan muncul sebuah “pe-
nilaian” atau “penghakiman” apakah di bagian akhir pembahasan
atau bersama-sama dengan pembahasan yang dilakukan.52 Mukti
Ali sendiri ketika diundang berceramah di Perguruan Tinggi Theo-
logia Duta Wacana Yogyakarta (20 September 1968) tentang konsep
Tuhan Yang Esa dalam al-Qur`an memakai metode ini. Ceramah
itu kemudian menjadi buku berjudul Ke-Esaan Tuhan Dalam Al-
Qur`an (1969). Di bagian akhir buku itu, Mukti Ali menegaskan
bahwa dalam Islam tidak banyak muncul sekte-sekte yang berten-
tangan satu sama lain karena sumber utama, yaitu al-Qur`an sudah
terang, konsisten dan tidak membuat bingung tentang konsep me-
ngenai keesaan Tuhan. Hal itu berbeda dengan Kristen. Mukti Ali
“menilai” banyak pasal soal ketuhanan dalam Al-Kitab sulit diga-
bungkan atau disintesiskan karena memang bertentangan satu sama
lain. Karena itu, sejak awal hingga kini selalu muncul sekte yang
banyak sekali dalam Kristen.53

Dr. Media Zainul Bahri 205


Dilihat dari perspektif studi PA sekarang, pandangan Mukti
Ali ini adalah pandangan teologis, bukan penjelasan seorang sarjana
PA. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan Djam’annuri bahwa
dalam ceramah itu, Mukti Ali sedang memosisikan dirinya sebagai
sarjana Muslim yang sedang mengemukakan pandangan teologis-
nya, bukan sebagai seorang ahli Perbandingan Agama.54
Nah, sarjana-sarjana Muslim yang menulis karya tentang PA
dan telah disebut seperti Thalhas, Rifai, Mastur Halim, Agus Hakim,
Abu Ahmadi, Zakiah Daradjat, Bahri Ghazali, Abdullah Ali dan
masih banyak lagi adalah para “pengikut” atau “murid” Mukti Ali
dalam hal penggunaan pendekatan teologis. Figur-figur lain yang
menonjol yang memakai metode serupa, namun bukan murid Muk-
ti Ali juga muncul seperti Ahmad Shalabi dalam hampir semua
karyanya tentang PA dan Abu Zahra, Profesor Tamu IAIN dari Mesir.
Salah satu karyanya adalah Agama Kristen Menurut Pandangan Is-
lam (1969).
Pendekatan komparatif dalam semangat teologis yang apologe-
tik, dalam pengertian membandingkan keunggulan Islam dengan
keyakinan dan agama lain juga mulai muncul di awal tahun 1960-
an dan marak berkembang pada tahun-tahun sesudahnya. Has-
bullah Bakry misalnya, menulis beberapa buku: Isa Dalam Al-Qur-
‘an dan Muhammad Dalam Bible (1960), Yesus Kristus dalam Pan-
dangan Islam dan Kristen (1965), dan Al-Qur‘an Sebagai Korektor
terhadap Taurat dan Injil (1966). Tharick Chehab dalam karyanya
Bible dan Al-Qur‘an: Sebuah Studi Perbandingan (1961) pada akhir-
nya berkesimpulan bahwa Injil yang diturunkan Allah kepada nabi
Isa sudah tidak ada lagi dan Injil-Injil yang ada di tangan orang
Kristen adalah palsu atau setidaknya banyak mengalami penyim-
pangan. Meski demikian dalam Injil yang asli dan palsu sesungguh-
nya terdapat keterangan yang jelas mengenai kabar akan datangnya
Nabi Muhammad, namun penafsirannya kemudian diseleweng-
kan.55 Dalam semangat yang sama dengan Hasbullah Bakry dan
Chehab, karya Abuyamin Ruham, Agama Kristen dan Islam serta
Perbandingannya (1968),56 juga menunjukkan isi serupa.

206 Wajah Studi Agama-Agama


Karya lain yang patut disebut adalah Islam dan Kebatinan karya
H.M. Rasyidi (1967). Buku kecil setebal 134 halaman ini memban-
dingkan ajaran kebatinan yang berasaskan Hindu-Buddha dan
Teosofi dengan Islam sebagai agama wahyu. Rasyidi mengkritik
ajaran-ajaran kebatinan yang absurd, tidak konsisten, tidak percaya
akan alam akhirat dan menginginkan ekstase atau lepas dari pen-
deritaan di dunia ini, lalu menunjukkan Islam sebagai agama yang
suci, konsisten, realistis dan humanis.57 Fatchuddin Abd. Ganie,
seorang akademisi senior PA dari UIN Yogyakarta juga memu-
blikasikan hasil penelitiannya yang bertitel Perbandingan Agama
(Suatu Pembahasan Phenomenologis) (1970). Karya ini meskipun me-
makai nama “Fenomenologis”, tetapi isinya juga studi perbanding-
an tentang beberapa ajaran Kristen semisal doktrin tentang Tuhan,
Dosa, Firman, Roh Kudus, Sembahyang dan Syahadat (Kredo). Ha-
silnya, pada banyak ajaran itu Islam lebih jelas, konsisten dan ung-
gul dibanding Kristen.58
Contoh lain yang dapat ditunjukkan adalah Toleransi dan Ke-
merdekaan Beragama Dalam Islam Menuju Dialog dan Kerukunan
Antar Agama karya Umar Hasyim (1979). Buku setebal 459
halaman ini membandingkan konsep dan praktik toleransi dan
kerukunan pada agama Kristen dan Islam. Hasyim menunjukkan
bahwa ajaran Injil dan terutama sejarah perjalanan Kristen penuh
dengan intoleransi, kekerasan dan perang terhadap agama lain.
Salah satu ayat tentang Kristen sebagai agama pedang adalah:
“Janganlah kamu sangkakan bahwa Aku (Isa) datang untuk
membawa perdamaian di dunia ini. Aku datang bukan membawa
keamanan, tetapi membawa pedang. Aku datang untuk
memisahkan manusia dengan ayahnya, anak perempuan dengan
ibunya, dan memisahkan menantu perempuan dari mertuanya;
dan orang yang serumahnya masing-masing akan menjadi
seterunya.”59 Puluhan halaman buku itu lalu menunjukkan sejarah
Kristen yang penuh intoleransi dan darah karena misionari dan
konflik dengan para penganut agama lain, termasuk kaum Mus-
lim. Dalam penjelasan yang luas, Hasyim lalu menunjukkan ajaran

Dr. Media Zainul Bahri 207


Islam yang indah mengenai toleransi, kerukunan dan perdamaian
serta praktiknya dalam sepanjang sejarah Islam. Sementara agama
Kristen banyak dipotret dari aspek sejarah, sedangkan Islam lebih
banyak diulas dari ajaran-ajarannya yang ideal. Jadi, buku itu adalah
perbandingan “tidak relevan” antara Kristen yang “historis” dengan
Islam yang “ideal.” Pendekatan teologis, fenomenologis, dan historis
dengan semangat “dakwah” terus berkembang secara masif hingga
ujung tahun 1980. Setelah berdiri tahun 1961 hingga awal 1990,
kita juga bisa membayangkan berapa ratus skripsi, tesis dan hasil
penelitian dosen PA (yang tidak diterbitkan dan dibaca secara luas)
muncul dalam semangat “dakwah” itu.
Karena itu menurut Burhanuddin Daya (murid generasi per-
tama Mukti Ali), sampai awal 1990-an belum ada buku PA yang
ditulis di Indonesia yang memenuhi kriteria objektif murni, dalam
arti diterima sepenuhnya oleh pemeluk agama yang menjadi obyek
kajiannya. Bukankah tulisan mengenai suatu agama oleh seseorang
baru dapat dikatakan baik dan benar, jika penganut agama bersang-
kutan mengakui kebenaran tulisan itu?60 Daya mengkritik bebe-
rapa buku PA yang beredar di masyarakat. Ia menulis:

Karya Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama masih menulis “Guna PA


Bagi Seorang Muslim,” Honig Jr. dalam Ilmu Agama selalu mengakhiri
setiap bab dengan evaluasi kitab Bibel. Verkuyl dalam karyanya,
Samakah Semua Agama? hanya menonjolkan keunggulan Injil dari
agama-agama lain. HM Rasyidi melalui Empat Kuliah Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi menelaah agama-agama non Islam secara filosofis
hanya untuk menunjukkan kebenaran absolut Islam sebagai agama
samawi terakhir. Banyak buku-buku PA untuk pelajar Sekolah Mene-
ngah Atas yang ditulis untuk kepentingan dakwah. Studi ini biasanya
melakukan perbandingan (ritual, kredo, nabi, kitab suci satu agama
dibandingkan dengan agama lain). Metode perbandingan memang
mudah, tapi tidak selalu membawa kepada pandangan yang obyektif.61

208 Wajah Studi Agama-Agama


Kutipan Mukti Ali soal “bahaya studi PA jika salah mengguna-
kannya” juga dapat dipahami dalam perspektif studi PA bercorak
“teologis” versus studi yang “benar-benar ilmiah.” Mukti Ali tidak
ingin seorang Muslim mesti melepaskan identitas keislamannya
ketika mendalami PA. Bahkan, seharusnyalah, seorang Muslim
menggunakan ilmu ini untuk dakwah: mengajak orang lain yang
belum mendapat petunjuk tentang kebenaran (Islam) untuk meli-
hat keunggulan agama Nabi Muhammad ini.62 Jadi, meskipun Be-
gawan ini menulis tentang berbagai metode ilmiah untuk disiplin
ilmu ini—sebagaimana ia banyak merujuk kepada karya-karya Ba-
rat—namun kelihatannya ia bersikap “hati-hati” dan “setengah ha-
ti.” Di alam dunia Islam Indonesia pada era 1960-an dan 1970-an
rasanya sulit—secara psikologis dan kultural—untuk seorang Mukti
Ali (meski ia mengagumi sosok dan pemikiran gurunya, Smith)
menyuguhkan disiplin ilmu yang baru berdiri itu dengan seperang-
kat “ilmiah murni” secara penuh seperti halnya terjadi di beberapa
perguruan tinggi di Barat saat itu (meski tidak semuanya).
Sikap “ambigu” atau setidaknya “setengah hati” terlihat jelas
juga dalam karya Zakiah Daradjat. Buku itu sesungguhnya telah
“berhasil” menyajikan pendekatan-pendekatan ilmiah dan prosedur
ilmiah yang seharusnya ditempuh dalam disiplin ilmu ini. Namun,
Zakiah dalam subbab-subbab tertentu menunjukkan kekhawatir-
annya atas akidah Islam jika seorang Muslim terjun sepenuhnya
dalam penggunaan metode ilmiah yang ia paparkannya sendiri. Misal-
nya, ia menyatakan bahwa menghargai agama orang lain tidak iden-
tik dengan pengakuan akan kebaikan dan kebenaran agama terse-
but. Dan bagi seorang Muslim, dalam tugasnya menyelidiki agama-
agama lain, maka harus selalu berpedoman pokok kepada al-Qur-
`an.63 Jika ini dilakukan, lagi-lagi pengkaji akan terjebak dalam pan-
dangan dan sikap teologis.
Menurut Singgih, kalaupun kita harus mengatakan bahwa
Mukti Ali telah terjatuh ke dalam sikap “apologetik” karena pende-
katan teologis yang dilakukannya, maka hal itu terjadi karena ia
sepenuhnya mengikuti model Joachim Wach, yaitu bahwa ilmu

Dr. Media Zainul Bahri 209


harus bertujuan untuk ibadah.64 Dalam kaitan ini, Djam’annuri
menambahkan bahwa setelah selesai menjabat Menteri Agama,
Mukti Ali membuat dua program utama: (1) mengoordinir dosen-
dosen menulis Agama-Agama Dunia, (2) menjadikan buku Joachim
Wach, The Comparative Study of Religions (1966), sebagai teks utama
program studi PA. Mengapa buku Wach? Karena bagi Mukti Ali
karya itu mendiskusikan tiga hal fundamental, yaitu meaning,
method dan objek kajian. Menurut Djam’annuri, metode Wach ada-
lah metode sintesis, yakni perpaduan antara sui-generik (yang dok-
triner) dengan saintifik. Dari model ini, Mukti Ali menyusun ga-
gasannya mengenai “scientific-cum-doctrinair.” Wach adalah se-
orang teolog, dan Mukti Ali merasa sangat cocok dengan Wach
yang berpendirian bahwa ilmu tidak sekadar untuk ilmu, melainkan
ilmu untuk ibadah.65
Kita juga dapat memahami bahwa ilmu PA adalah sebuah studi
yang “sensitif” dan “bahaya” tidak semata bagi kaum Muslim na-
mun juga bagi semua pemeluk agama, sebab dalam satu perspektif
yang “pesimis” jika mendalaminya secara serius, ilmu ini akan
mengantarkan para pengkajinya kepada sebuah “keragu-raguan
baru” tentang keunikan dan kebenaran absolut agamanya ketika
berhadapan dengan agama-agama lain yang juga memiliki kebe-
naran, keindahan, dan ajaran-ajaran yang rasional. Tentu saja, ke-
adaan ini cukup membuat seseorang menjadi “bergetar,” “limbung”
dan “goyah” keimanannya dan mulai merenungkan hal-hal yang
positif pada agama lain. Akan tetapi, dalam perspektif lain yang
“optimis” ilmu ini justru membawa manfaat yang besar bagi kesa-
daran kemanusiaan dan keagamaan. Mempelajari agama orang lain
berarti membuka cakrawala tentang kebudayaan dan peradaban
orang lain sebab sebagian besar peradaban agung umat manusia
dibangun di atas kontribusi signifikan agama-agama manusia. Se-
butkan saja monumen-monumen besar dunia atau rumusan-ru-
musan etis dan filosofis yang membentuk karakter umat manusia.
Sebagian besarnya ditancapkan oleh agama. Mempelajari agama
orang lain dengan sikap simpatik dan dalam semangat wawasan

210 Wajah Studi Agama-Agama


yang terbuka (open minded) sejatinya akan memperkaya tradisi
agamanya sendiri dan membawa sensasi baru dalam menghayati
pengalaman keagamaannya.

2. Mengapa Apologetik?
Mengapa Apologetik? mungkin pertanyaan banyak orang. Un-
tuk menjawabnya secara luas kita perlu sekilas menengok ke bela-
kang. Mircea Eliade menyebut bahwa Ilmu Agama (Religionwis-
senschaft) mulai dirintis pada abad ke-19 dalam waktu yang hampir
bersamaan dengan Ilmu Bahasa. Max Müller, sebagai sarjana yang
dianggap “Bapak” Ilmu Agama atau Perbandingan Agama di dunia,
dalam pengantarnya pada edisi Chips from a German Workshop (Lon-
don, 1867) memberinya nama “Ilmu Agama-Agama” atau “Ilmu
Perbandingan Agama.” Menurut Wilfred C. Smith, disiplin Ilmu
Agama (Perbandingan Agama) dimulai menjadi kajian serius sejak
Zaman Penemuan (the Age of Discovery) ketika dunia Kristen Barat
menemukan bagian-bagian dunia lain; agama-agama lain, kemu-
dian mulai menyelidiki, mengurasnya dan secara bertahap menjadi
sadar akan adanya masyarakat dan wilayah yang berada jauh dari
bumi mereka. Abad ke-19 adalah era bangkitnya sebuah usaha yang
serius, berdisiplin untuk mengumpulkan dan menemukan bahan-
bahan, merekamnya secara hati-hati, memahami dan mencerma-
tinya secara lebih sistematis. Lalu, ketika banyak yang menggan-
drungi kajian dunia Timur (oriental) dan antropologi, maka mulailah
di sana-sini dibuka jurusan Religionwissenschaft.66 Dengan kata lain,
muncul kesan yang kuat bahwa ilmu PA adalah temuan Kristen
Barat, dan proyek awalnya menurut Ninian Smart, tak lepas dari
kesan “Western imperialism and Christian superiority.”67 Bahkan
dalam penjelasan khusus Smith, definisi dan kategori “agama” pun
adalah temuan Kristen Barat, yang kemudian banyak digunakan
atau sangat berpengaruh di dunia Timur.68 John Hinnells menulis
secara eksplisit bahwa,

Dr. Media Zainul Bahri 211


The term ‘comparative study of religion’ is widely suspected, because
it was used by particular Western academics, mainly in the nine-
teenth century, who were trying to prove that Christianity was supe-
rior to other religions.69

Karena itu, perbandingan dilakukan untuk menguasai atau


meletakkan “yang lain” (agama lain) dalam kerangka (ukuran)
subjektif (agama) pembanding. Inilah yang terjadi pada suatu pe-
riode panjang studi PA di Barat.
Rupanya itulah juga yang terjadi di Indonesia. Apakah hal itu
merupakan gejala umum di banyak belahan dunia? Seperti dike-
tahui, dalam waktu yang sangat lama, Teologi dianggap sebagai
Queen of the Sciences (Ratunya para ilmu); “Induk”nya ilmu-ilmu
yang dikenal oleh manusia.70 Karena itu, wajar jika ia memiliki pe-
ngaruh atau “cengkeraman” yang sangat kuat selama berabad-abad
dalam memori kolektif umat beragama. Di Indonesia pun, pola
pikir dan sikap teologis memiliki sejarah yang panjang mulai abad
pertengahan; abad Majapahit; abad para Wali Songo, bahkan bisa
lebih jauh lagi ke belakang. Karena itu tidak mengherankan kuatnya
cara pandang dan sikap teologis yang selalu hadir, baik pada masa
sebelum kemerdekaan, maupun di masa-masa sesudah kemerde-
kaan hingga runtuhnya Orde Lama dan Orde Baru. Kita bisa mema-
hami “pandangan dunia” kaum Muslim Indonesia pada masa 1950-
an hingga akhir 1980-an yang berkutat kuat pada Teologi dan Fikih,
karena atmosfer studi agama (Islam) yang mereka hirup dan temu-
kan adalah pada dua dimensi itu. Teologi dan Fikih memiliki penga-
ruh yang sangat kuat dalam denyut nadi kaum Muslim Indonesia
karena memiliki riwayat, silsilah, dan hubungan yang panjang, ter-
utama hubungan intelektual dan emosional dengan ulama-ulama
besar di Timur Tengah yang menjadi Guru-Guru bagi ulama-ulama
besar Nusantara. Teologi dan Fikih berhubungan langsung dengan
proses terus-menerus mereka “menjadi Muslim,” dan bersentuhan
langsung dengan soal-soal praktis kehidupan mereka. Mungkin,
Tasawuf dan Filsafat Islam dikenal, tetapi tidak diakrabi; tidak

212 Wajah Studi Agama-Agama


familier, tidak bersentuhan langsung dengan persoalan praktis,
karena itu “level”nya dianggap terlalu tinggi bagi mayoritas kaum
Muslim Indonesia.
Secara politis, seperti telah disebut Mukti Ali di muka, semangat
dakwah meningkat di Indonesia akibat pemberontakan komunis
pada 1948 dan 1965. Dua peristiwa itu menyadarkan kaum Mus-
lim bahwa semangat dakwah harus terus digalakkan mengingat
Indonesia dihuni oleh mayoritas Muslim yang secara teologis sangat
bertentangan dengan paham komunisme, yang dalam pandangan
kaum Muslim saat itu adalah paham pengusung utama ateisme.
Dalam tensi sosial-politik yang meninggi antara komunisme dan
kaum beragama saat itu, maka kegiatan sosial-keagamaan apa pun,
termasuk pendidikan, harus bermuatan dakwah.
Hal lain dari munculnya sikap dan kajian teologis yang apolo-
getik adalah polemik teologis terutama yang terjadi antara Islam
dan Kristen Indonesia, yang pada perkembangsnnya melibatkan
banyak pihak dan munculnya banyak publikasi karya-karya teo-
logis. Dari pihak Islam misalnya, polemik merupakan respons atau
“serangan balik” kepada karya-karya non-Islam, terutama Kristen
yang melakukan serangan terhadap aspek-aspek Islam yang di-
anggap sakral seperti soal akidah, al-Qur`an dan pribadi Nabi Mu-
hammad yang sering kali “diserang” atau dikritik secara tajam oleh
para sarjana (penulis) non-Muslim. Dari sini muncullah buku-buku
para sarjana Muslim sebagai bentuk “pertahanan” atau “serangan
balik.” Kisah saling serang Islam-Kristen di Indonesia adalah kisah
permusuhan yang cukup lama dalam sejarah perjumpaan kedua
komunitas itu. Ismatu Ropi, dalam karyanya yang sangat baik ten-
tang “hubungan rapuh” Islam-Kristen memuat penjelasan karya-
karya polemis di antara keduanya, sejak abad ke-19 hingga masa
Orde Baru. Misalnya, Hendrik Kraemer menulis sebuah buku ajar
berjudul Agama Islam (1928) untuk guru-guru Kristen. Namun,
isinya terdapat hal-hal yang dianggap “menyinggung” atau “meng-
hina” keyakinan kaum Muslim. Maka muncullah respons atas karya
Kraemer itu. Seorang tokoh Muhammadiyah, A.D. Haanie menulis

Dr. Media Zainul Bahri 213


Islam Menentang Kraemer (1929) sebagai bentuk perlawanan atas
buku Agama Islam. 71
Kasus lain adalah Ten Berge, seorang Pendeta Jesuit menulis
dua artikel pada 1931 yang salah satu isinya menghina Nabi Mu-
hammad sebagai orang Arab yang “bodoh” dan suka tidur dengan
perempuan. Kontan saja, tulisan itu mengundang amarah dan reak-
si. Salah satunya adalah Muhammad Natsir, mantan Perdana Men-
teri dan tokoh Masyumi, yang kemudian menulis “Islam, Katolik
dan Pemerintah Kolonial” sebagai bentuk bantahan yang keras.
Antara tahun 1930 dan 1940, Natsir juga menulis beberapa artikel
sebagai reaksi atas aktivitas Kristenisasi dan serangan kaum nasio-
nalis sekuler serta kaum abangan. Dua artikelnya yang berjudul
Qur`an en Evangelie dan Moehammad als Profeet adalah reaksi atas
tulisan-tulisan Domingus Christoffel yang sering menyerang Islam
dan menghina Nabi Muhammad.72
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru muncul tokoh-tokoh
Islam atau sarjana Muslim yang membuat tulisan polemis atau tu-
lisan yang bersifat reaktif. Di antaranya adalah A. Hassan, tokoh
utama Persatuan Islam dan Hasbullah Bakry. Hassan menulis buku
berjudul Iesa dan Agamanja: Djawaban Terhadap Buku ‘Isa didalam
Alquran (1958). Dari judulnya saja terlihat bahwa buku itu meru-
pakan reaksi (balasan atau pertahanan) atas buku berjudul Isa
didalam Alquran (1956) tulisan seorang Kristen Advent bernama
Rifai Boerhanoe’ddin.73 Buku Hassan itu kemudian dielaborasi lebih
luas oleh O. Hashem dengan judul Keesaan Tuhan: Sebuah Pemba-
hasan Ilmiah (1962). Karya Hasbullah Bakry yang berjudul Isa dalam
Qur`an, Muhammad dalam Bible (1959) adalah buku yang me-
nyanggah karya F.L.Bakker berjudul Tuhan Yesus dalam Agama Is-
lam (1957). 74
Sebagai respons atas maraknya isu Kristenisasi di Jawa muncul
karya Umar Hasyim yang berjudul Toleransi dan Kemerdekaan Da-
lam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama
(1979). Dalam satu bab berjudul “Cita-Cita, Program Kerja, Dan
Metode Kerja Mereka” Hasyim menyebutkan bahwa ia menerima

214 Wajah Studi Agama-Agama


selebaran (pamflet) yang isinya menerangkan bahwa umat Kristen
Katolik akan mengkristenkan pulau Jawa dalam waktu 20 tahun,
dan seluruh Indonesia dalam 50 tahun dengan berbagai cara dan
program kerja mereka.75 Karya-karya lain yang menunjukkan “per-
musuhan” Islam-Kristen itu misalnya Kedudukan Indjil Barnabas
Menurut Islam (1970) karya Anwar Musaddad, Di Sekitar Perdjan-
djian Lama dan Perdjandjian Baru (tanpa tahun) karya Djarnawi
Hadikusuma, dan tulisan-tulisan Sidi Gazalba seperti Dialog Antara
Propagandis Kristen dan Logika (1971), Dialog Antara Kristen Ad-
vent dan Islam (1972), dan Djawaban Atas Kritik Kristen Terhadap
Islam (1971). 76
Dengan beberapa contoh karya di atas, saya tidak berniat untuk
menganalisis lebih jauh isi, materi dan konteks lahirnya karya-karya
itu, namun saya hanya ingin menunjukkan bahwa tulisan-tulisan
yang bercorak teologis-apologetik juga lahir disebabkan adanya
“serangan” yang agresif karena kebencian dan permusuhan yang
cukup lama yang menempel dalam memori kolektif dua agama
turunan Nabi Ibrahim tersebut, sehingga memunculkan “serangan
balik” atau semata bentuk “pertahanan.” Namun, tentu tidak sedi-
kit karya-karya apologis yang lahir karena panggilan keyakinan
keagamaannya untuk menunjukkan mana keyakinan yang “benar,”
“suci,” dan mana keyakinan yang telah “menyimpang” atau “pal-
su.”
Selain faktor-faktor seperti semangat dakwah atau misionaris-
me, pemahaman keagamaan yang formal-normatif, dan polemik
teologis antara Islam dengan Kristen, Burhanuddin Daya juga me-
nyebut bahwa pada masa-masa itu ilmu PA tidak dikenal dengan
baik, apa lagi metodenya. Saya ingin kembali mengutip ungkapan
Burhanuddin Daya mengenai sifat apologi ilmu PA pada awal ke-
munculannya. Ia menulis:

Sebelum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ada, pemerintah Indone-


sia sudah mempunyai dua lembaga pendidikan tinggi Islam, yaitu
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan

Dr. Media Zainul Bahri 215


Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Masing-masing di-
dirikan tahun 1951 dan 1957... Sampai saat itu, pemahaman terhadap
Perbandingan Agama masih sangat terbatas. Perbandingan Agama
dipahami sebagai alat dakwah. Agama-agama lain diajarkan untuk
kepentingan pembuktian keunggulan Islam. Begitu juga buku-buku
yang ditulis. Perbandingan Agama sebagai ilmu yang memiliki meto-
de, sistem, sejarah dan objek pembahasan tidak dikenal. Tokoh-tokoh
yang mengajarkannya bukan ahli Perbandingan Agama. Ahmad
Shalabi, ahli kebudayaan Islam; Mahmud Yunus, ahli pendidikan Is-
lam; Muchtar Luthfi dan Iljas Ja’qub; dua-duanya mubaligh politik;
begitu pula H. Zainal Arifin Abbas, adalah seorang ulama.77

Meski demikian, pada sosok Mukti Ali kita tidak benar-benar


menemukan ia sebagai seorang apologis seperti dalam gambaran
para sarjana Muslim semasanya. Saya sudah menyinggung bahwa
selain mengagumi Wilfred Smith, Mukti Ali sesungguhnya juga
telah mewarisi “jalan pikiran” gurunya itu, namun ia harus bersikap
“hati-hati” dalam menghadapi euforia kaum Muslim atas semangat
dakwah yang baru dan sedang berlangsung di masa itu. Pada Januari
1962 Mukti Ali memberi ceramah tentang Isra dan Mikraj, antara
Iman dan Ilmu Pengetahuan. Ceramah ini menurut saya memberi
petunjuk yang jelas bahwa Mukti Ali adalah sarjana Muslim yang
istimewa. Dalam ceramah itu, ia memberi ulasan khusus mengenai
munculnya para apologis Muslim modern yang memandang bah-
wa Islam sedang terancam karena adanya serangan dari agama Kris-
ten, rasionalisme, liberalisme dan Westernisasi. Menurut Mukti Ali,
para apologis Muslim secara “membabi-buta” mempertahakan Is-
lam dari berbagai serangan itu dengan cara menunjukkan bahwa
kesempurnaan dan keunggulan Islam terdapat dalam seluruh cita,
ide, nilai dan implementasinya secara sempurna.78
Para apologis itu selalu berbangga dengan zaman keemasan
sejarah Islam pada masa Khulafa Rasyidin, Umawi dan Abbasiah.
Menurut Mukti Ali, tak ada yang bisa dilakukan oleh kaum apologis
selain emosi dan semangat belaka. Padahal—Mukti Ali membuat

216 Wajah Studi Agama-Agama


catatan penting—bahwa agama dan dunia hanya bisa dibangun
dengan iman, otak (ilmu) dan tjutjuran peluh (kerja keras),79 bukan
dengan emosi dan mimpi romantisme masa lalu. Dalam konteks
inilah, Mukti Ali kemudian menunjukkan bahwa ia bukan seorang
apologis; ia malah mengkritik pandangan dan sikap apologi, lalu
menekankan kepada kaum Muslim akan pentingnya ilmu penge-
tahuan dan sikap rasional dalam membangun agama dan negara.
Ia menulis:

Memang betul disana-sini apologi menimbulkan faedah yang positif,


tetapi dalam keseluruhannja ia adalah negatif. Ia menimbulkan
kepuasan, tidak lebih daripada itu, dan djarang sekali apologi itu bisa
menimbulkan semangat untuk bekerdja lebih keras. Dalam masjarakat
jang dinamis, jang segala pikiran harus dipergunakan untuk mentjari
soal-soal baru jang creatif untuk disadjikan kepada masjarakat,
sematjam di Indonesia sekarang ini, maka usaha-usaha apologi
sebenarnja lebih banjak merugikan daripada menguntungkan.80

3. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah


Dalam semangat rasionalisasi dan pengembangan ilmu penge-
tahuan inilah, maka pada periode kedua—lagi-lagi hanya istilah teknis
belaka—kita tidak mungkin bisa mengabaikan keinginan Mukti
Ali untuk membuat kajian PA menjadi ilmu yang otonom dengan
seperangkat metodologi tertentu. Ia menegaskan:

Perbandingan Agama itu bukan apology. Perbandingan Agama


bukanlah suatu alat untuk mempertahankan kepertjajaan dan agama
seseorang, tetapi sebaliknja, Perbandingan Agama merupakan alat
untuk memahami fungsi dan tjiri agama, sebagai suatu tjiri jang naluri
bagi manusia...81
Sekarang timbul pertanjaan, apakah mungkin bagi seorang jang telah
mempertjajai sesuatu agama bisa menaruh simpati terhadap agama
dan kepertjajaan lain dalam penjelidikannja itu? Kami kira bisa, sebab

Dr. Media Zainul Bahri 217


sekalipun orang telah mempunjai kejakinan jang kokoh tentang
benarnja sesuatu kepertjajaan jang ia peluk, ia toh bisa menghargai
pengalaman-pengalaman rohani lain orang, karena keharusan bagi
seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia,
termasuk djuga agama dan kepertjajaannja...82

Dua pernyataan penting bahwa studi PA bukan “sikap teologis


yang apologetik” dan kemampuan atau keharusan seorang pengkaji
PA untuk bersikap “simpatik” terhadap keyakinan orang lain me-
nunjukkan bahwa Mukti Ali sejak awal telah menyadari akan keha-
rusan kemandirian ilmu ini dan perbedaannya yang tegas dengan
Teologi, Sejarah Agama, dan Filsafat Agama misalnya, meskipun
dalam beberapa kasus ia sendiri dan murid-muridnya “terjebak”
mempraktikkan kajian PA dengan pendekatan teologis. Mukti Ali
menyebut tiga bagian pokok Ilmu Agama (Science of Religion) yaitu
Sejarah Agama (History of Religion), Perbandingan Agama (Com-
parison of Religion), dan Filsafat Agama (Philosophy of Religion).
Pembagian ini dalam perspektif Mukti Ali menunjukkan bahwa
PA adalah disiplin otonom yang berusaha memahami aspek-aspek
yang diperoleh dari Sejarah Agama misalnya, kemudian menghu-
bungkan atau membandingkan satu agama dengan lainnya untuk
menemukan struktur yang fundamental dari berbagai pengalaman
dan konsepsi keagamaan dengan cara menganalisis persamaan dan
perbedaan di antara agama-agama.83 Bagi Mukti Ali dalam periode
itu, “Perbandingan” adalah sebuah disiplin ilmu sekaligus juga pen-
dekatan yang berbeda (baik definisi, tujuan dan metodenya) dengan
cabang ilmu-ilmu agama lain.
Studi ilmiah agama dalam kerangka sikap simpatik dalam
mempelajari agama orang lain seperti disebut Mukti Ali sesungguh-
nya merupakan arus utama (mainstream) di Barat, dan Mukti Ali
sendiri mengambilnya dari tradisi Barat. Sejak akhir abad ke-19,
lalu awal abad ke-20 hingga tahun 1980-an, figur-figur penting studi
PA di Barat seperti Rafael Pettazoni, Fridrich Heiler, Joachim Wach,
Mircea Eliade, Willfred Cantwell Smith, Ninian Smart, Joseph Ki-

218 Wajah Studi Agama-Agama


tagawa, Raimundo Pannikar hingga Ursula King, Jacques Waar-
denburgh dan Frank Whalink telah menancapkan “fondasi” me-
ngenai studi ilmiah agama kritis dari sisi metodologi, dan keharusan
memiliki sikap yang simpatik dan empati terhadap keyakinan dan
ritus agama-agama yang dikaji, dari sisi materi agama-agama. Jika
seseorang menggunakan cara ini dan kaidah lain yang melengkapi-
nya tentu ia akan berhasil mendeskripsikan sebuah pandangan du-
nia tentang agama yang dikajinya atau pengalaman spiritual para
pemeluknya yang relatif lebih objektif. Dan yang terpenting ia akan
menghindari sikap “menilai” atau “menghakimi” seperti yang biasa
dilakukan oleh Teologi Agama.
Dalam karyanya pada periode kedua ini, Ilmu Perbandingan Aga-
ma Di Indonesia (1988), sebuah karya yang ditulis Mukti Ali sebagai
prasaran dalam seminar Peringatan Seperempat Abad Ilmu Perban-
dingan Agama di IAIN sekaligus karya yang mengantarkannya ke
gerbang pensiun pada Agustus 1988, aspek metode ilmiah dalam
studi PA terlihat lebih menonjol. Mukti Ali termasuk sarjana yang
percaya bahwa untuk memahami agama secara luas dibutuhkan
beragam pendekatan. Ia setuju dengan pendekatan konvensional
yang biasa dilakukan seperti pendekatan historis yang dibantu atau
didasarkan pada hasil penelitian arkeologis dan filologis, pendekatan
antropologis, sosiologis, psikologis, fenomenologis; pada model ini ia
menunjukkan perhatian yang cukup luas, dan pendekatan tipologis.
Namun berbagai pendekatan itu dalam pengertiannya sebagai me-
tode ilmiah dengan prosedur dan disiplin yang empiris, logis dan
utuh dari premis-premis yang jelas, dianggap Mukti Ali masih me-
miliki kekurangan karena persoalan agama adalah soal realitas dan
pengalaman spiritual. Karena itu, ia menambahkan satu pendekatan
yang khas agama, yaitu “dogmatis.” Dengan model ini, Mukti Ali
menganggap telah membuat “sintesis” baru yaitu apa yang disebut
sebagai pendekatan “religion-scientifik” atau “scientifik-cum-doc-
trinair” atau “ilmiah agamais.”84
Apa yang dimaksud dengan “ilmiah-agamais”? Kiranya Mukti
Ali menunjuk kepada “makna agamis” (religious meaning) yang di-

Dr. Media Zainul Bahri 219


kandung dalam keyakinan, pemahaman, ritus, simbol dan hal-hal
yang serupa. Ia merujuk kepada pandangan Mircea Eliade bahwa
arti suatu fenomena agama dapat dipahami hanya jika ia dipelajari
sebagai sesuatu yang agamais. Menurut Eliade, untuk dapat mema-
hami esensi fenomena keagamaan, alat-alat seperti fisiologi, psiko-
logi, ekonomi, bahasa, seni, atau studi-studi lainnya, adalah palsu
(dalam pengertian yang moderat: tidak cukup!). Harus ada sebuah
cara untuk bisa menangkap sebuah fenomena yang lahir dari ele-
men kesucian, dari Yang Kudus.85 Jika ilmiah-agamais yang dimak-
sud Mukti Ali untuk menemukan religious meaning dari pengalaman
keagamaan, maka pendekatan Fenomenologis-lah yang sedang dibi-
diknya.
Bagaimana pengalaman keagamaan yang subjektif itu bisa
diteliti? Bagi Mukti Ali yang subjektif itu bisa diobjektifkan karena
ia memiliki beragam ekspresi, dan ekspresi-ekspresi itu memiliki
struktur positif yang bisa dipelajari. Pengalaman keagamaan itu
diekspresikan dalam tiga bentuk: pertama, teoretis atau intelektualis,
termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, dan antropologi; kedua,
praktis atau amalan, yaitu ibadah; dan ketiga adalah sosiologis, yaitu
ekspresi dalam bentuk pergaulan sosialnya. Ekspresi teoritis dari
pengalaman keagamaan yang utama adalah mitos, doktrin, dogma
dan soal-soal teologis lainnya. Adapun tema fundamental dalam
pemikiran agama (intelektualis) adalah Tuhan dan kosmos, yang di
dalamnya dunia dan manusia. Setelah masalah ketuhanan, maka
masalah dunia adalah topik besar kedua yang dikandung dalam
ekspresi intelektual dari pengalaman keagamaan. Termasuk dalam
kosmologi ini adalah masalah hakikat dunia, asal-usulnya, susunan-
nya dan kehancurannya. Hakikat manusia adalah topik terakhir
dari tiga topik besar: teologi, kosmologi, dan antropologi. Namun,
yang dimaksud manusia (dalam pengertian antropologis) di sini bagi
Mukti Ali adalah soal ontologis-filosofis: apa dan siapa manusia da-
lam pandangan agama-agama, ruhnya, tujuan hidupnya dan tujuan
akhirnya.86 Ini semacam pembahasan manusia dari perspektif teo-
logi dan filsafat agama-agama. Jadi, bukan antropologi dalam pe-

220 Wajah Studi Agama-Agama


ngertian budaya-budaya dan struktur kebudayaan manusia dengan
berbagai kompleksitasnya seperti yang lazim dipelajari dalam Ilmu
Antropologi.
Soal cara atau metode untuk memahami agama orang lain me-
mang cukup populer dalam studi PA. Mukti Ali sendiri membuat
satu ulasan khusus mengenai hal ini dengan mengutip seluruhnya
dari Joachim Wach. Menurut Mukti Ali, setidaknya ada empat hal
yang harus diperhatikan seorang pengkaji untuk memahami
keyakinan orang lain, (1) syarat intelektual; berarti adanya data dan
informasi yang menyeluruh mengenai agama yang hendak dipa-
hami. Hal itu hanya dapat dipahami dengan cara menguasai bahasa
asli kitab sucinya. Sulit rasanya untuk memahami agama orang
lain tanpa kemampuan membaca kitab sucinya dan ajaran-ajaran-
nya dalam bahasa ibunya (asli). (2) Kondisi emosional yang cukup;
berarti harus ada “feeling,” perhatian, partisipasi aktif, kepedulian,
keinginan untuk bergaul dan tidak bersikap masa bodoh. (3) Ke-
mauan yang kuat dan harus berorientasi konstruktif, dan (4) memi-
liki pengalaman dalam pengertiannya yang luas, yakni mampu
menyelami pikiran, watak, perasaan, dan segala perilaku pemeluk
agama yang ditelitinya.87 Catatan Mukti Ali ini kemudian dikutip
oleh hampir semua buku ajar PA di Indonesia.
Sampai di sini Mukti Ali telah membuat semacam peta yang
cukup sistematis, simpel, bisa diaplikasikan (applicable) dan kom-
prehensif, dalam pengertian bahwa ilmu-ilmu sosial sebagai perang-
kat metodologis telah disinggungnya. Meskipun secara garis besar,
corak yang terlihat dominan masih pada aspek (pendekatan) teolo-
gis. Aspek yang dominan memang masih pada Teologi, yaitu Teologi
tentang manusia dan alam. Bagaimanapun, pada masa itu Mukti
Ali sudah mulai memperkenalkan ilmu-ilmu sosial dalam penelitian
tentang agama.88
Dalam periode ini, dapat dikatakan Mukti Ali telah mengu-
kuhkan aspek metodologis bagi studi PA. Bahkan dalam dua perio-
disasi yang saya buat atau dalam rentang hampir tiga dekade (1961-
1988) karier dan pengabdiannya dalam studi PA, ilmu Perbandingan

Dr. Media Zainul Bahri 221


Agama ini sebagai disiplin dan metode (perbandingan) telah men-
jelma menjadi sosok yang jelas (bukan “banci”) dengan sebuah keje-
lasan pula—untuk masa itu—dalam aspek ontologis, epistemologis
dan aksiologisnya sebagaimana lazimnya sebuah ilmu yang otonom.
Inilah jasa terbesar Mukti Ali dalam mendirikan dan membangun
ilmu PA di Indonesia sebagai ilmu yang benar-benar baru dalam
konstelasi studi agama atau studi Islam Indonesia. Karena jasanya
ini, ia disebut sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama Indonesia
yang dapat disejajarkan—dalam beberapa hal—dengan Muham-
mad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani di dunia Islam.89 Meskipun harus
diingat, bagi Djam’annuri, bahwa segala usaha Mukti Ali dalam
mengukuhkan ilmu PA, pada aspek terminologi, metodologi dan
aksiologinya—adalah dalam konteks Perguruan Tinggi Islam atau
bagian dari studi Islam.
Di saat yang sama ketika merumuskan scientific cum-doctri-
naire, Mukti Ali sendiri secara jujur menyatakan bahwa “sebenarnya
Ilmu Perbandingan Agama sebagai ilmu belum pernah dibicarakan
secara mendalam di Indonesia,”90 namun melalui rumusannya
mengenai “ilmiah agamais” itu ia telah membuka jalan yang lebar
bagi ‘pengembangan’ dan ‘pendalaman’ studi PA selanjutnya.
Karena itulah, beberapa “murid” senior Mukti Ali pada masa awal
1990-an kemudian mempertegas aspek metodologis dan cara kerja
disiplin ilmu ini. Sekadar contoh beberapa nama seperti Burhanud-
din Daya, Alef Theria Wasim, Amin Abdullah, Romdhon, Djam’an-
nuri, dan Singgih Basuki dari UIN Yogyakarta, Farihin Chumaidi
dari UIN Bandung, Kautsar Azhari Noer dari UIN Jakarta adalah
para sarjana ahli PA yang berkontribusi dalam memperjelas objek,
cakupan, dan cara kerja PA. Bahkan, pada gilirannya, mereka terus
mendorong ilmu PA ke arah transformasi baru, baik dari aspek
metodologis maupun isu-isunya yang terus berkembang.
Dalam hal pengertian dan manfaat studi PA, Singgih mene-
kankan kembali pandangan Mukti Ali bahwa dengan mempelajari
agama-agama dan pendekatan-pendekatan yang melingkupinya,
maka seseorang akan memahami bahwa agama itu multi dimensi,

222 Wajah Studi Agama-Agama


bukan hanya terdiri atas aspek yang normatif atau doktriner saja,
melainkan ada aspek-aspek sosial atau agama sebagai fenomena
sosial. Bagi Mukti Ali, seperti dikemukakan Singgih, poin penting
studi PA adalah bahwa seorang pengkaji akan memahami: (1) struk-
tur asasi pengalaman keagamaan, dan (2) makna (meaning), nilai
dan pentingnya agama bagi kehidupan manusia. Jadi, studi PA
bukan semata mencari persamaan dan perbedaan di antara agama-
agama. Jika hanya melakukan itu, maka orang awam juga bisa
melakukannya.91
Menurut Djam’annuri, dengan scientifik-cum-doctrinair, Mukti
Ali mengarahkan studi PA dalam dua proses: pertama, proses
obyektif-saintifik, yakni menjadikan agama-agama atau fenomena
keagamaan sebagai konsumsi keilmuan yang “objektif.” Kedua,
proses studi dalam cahaya “dialog imani” atau dengan muatan yang
“doktriner.” Dalam arti, bagaimana melihat studi PA dari perspektif
studi keislaman. Menurut Djam’annuri, tahap kedua ini tidak boleh
dibaca sebagai bagian dari studi PA, melainkan harus dilihat bahwa
studi PA berada di “lingkungan” IAIN/UIN yang memiliki misi
keislaman.92
Dalam hal metode konvensional PA, Burhanuddin Daya mene-
gaskan bahwa tidak benar adanya anggapan jika ilmu ini tidak me-
miliki metode tersendiri. Metode yang berlaku dalam PA, di sam-
ping metode ilmu-ilmu sosial, juga metode filsafat dan metode
teologis, atau metode teks suci, tergantung pada aspek apa yang
diteliti, siapa yang meneliti dan untuk kepentingan apa penelitian
dilakukan.93 Menurut Daya, studi agama berkembang menjadi disi-
plin yang berdiri sendiri dirintis oleh Max Müller dengan teori eti-
mologi dan perbandingan bahasa (etymological theories dan com-
parative linguistics), juga menggunakan metode sejarah. Orang yang
fanatik dengan metode sejarah adalah C.P. Tiele (1830-1902). Ia
orang pertama yang menawarkan survey sejarah terhadap sejumlah
agama berdasarkan studi atas sumber material dalam bahasa-bahasa
asli Iran, Mesir, Mesopotamia, Israel dan Yunani. Tiele kemudian
melengkapinya dengan metode filsafat.94

Dr. Media Zainul Bahri 223


Muncul pula metode kritik dalam memahami Bibel, kehidupan
Yesus dan sejarah gereja. Tokohnya adalah Joseph-Ernest Renan
(1823-1892). Lalu muncul metode psikologi dengan tokoh-tokoh
seperti William James, Hendry Leuba dan lain-lain. Lalu, metode
antropologi tentang asal-usul agama pada masyarakat primitif dan
teori evolusi agama. Lalu, metode sosiologi. Lalu, metode tipologi
Nathan Soderblom (1866-1931). 95 Jadi, dalam pandangan Bur-
hanuddin, ilmu PA tidak hanya fokus pada perbandingan ajaran
teologis pada agama-agama semata, namun dapat meminjam ma-
cam-macam disiplin/pendekatan ilmu lain, tergantung pada aspek
yang ditelitinya. Pandangan ini sesungguhnya juga masih dalam
kerangka yang telah dirumuskan Mukti Ali.
Alef Theria Wasim mencoba mendiskusikan lebih lanjut pan-
dangan Mukti Ali di atas. Menurutnya, secara terminologis, ilmu
PA adalah sebutan lain dari Ilmu Agama (science of religion atau
Religionwissenschaft). Disebut ilmu PA karena lebih menekankan
aspek “perbandingan,” dalam pengertian mementingkan perbe-
daan dan persamaan objek yang dikaji. Akan tetapi, Alef mengi-
ngatkan bahwa studi perbandingan bukan perkara mudah. Ia me-
merlukan keahlian dan keterampilan tersendiri. Ketika Alef menulis
artikel ini (pada 1989), ilmu PA tidak bisa menghindari pengaruh
kuat ilmu-ilmu sosial.96 Dalam konteks inilah, orang bisa mengerti
gagasan Mukti Ali mengenai gabungan pendekatan-pendekatan
ilmu sosial dengan pendekatan “dogmatis” atau “doktriner” (feno-
menologis).
Meski demikian bagi Alef, pertanyaan yang cukup menantang
adalah apakah ilmu PA akan menjadi ilmu “murni,” “netral” atau
“berdiri sendiri” yang lepas dari studi Islam di IAIN? Atau tetap
menjadi bagian dari wilayah studi Islam IAIN? Menurut Alef, jika
lepas dari IAIN, maka studi PA akan menghasilkan sarjana yang
ahli Hinduisme, Buddhisme, Yudaisme, Kristen, dan lain-lain yang
tanpa keterkaitan dengan perbandingan atau analisis dari Islam.97
Apakah hal ini yang diinginkan? Kelihatannya Alef tidak menyetujui
model itu. Seperti Mukti Ali, ia mengusulkan para pengkaji studi

224 Wajah Studi Agama-Agama


PA dalam melakukan studi untuk tidak mengambil secara mentah
apa yang datang dari “Barat,” namun juga tidak melulu menjadi
“orang dalam” yang sempit. Tidak semata mengikuti model para
Orientalis Barat dalam mengkaji agama sebagai yang netral dan
ilmiah murni, juga tidak menjadi apologis terhadap agama sendiri.
Bagi Alef, yang terbaik adalah meneruskan ide Mukti Ali tentang
Scientific-cum-Doctrinair (ScD), tetapi harus jelas apa yang mau di-
kembangkan dalam rumusan ScD itu? Cara kerjanya seperti apa
(secara konkret)? Jika telah ditemukan model yang konkret, maka
kerja selanjutnya adalah menemukan sintesis baru dari rumusan
ScD itu.98
Secara umum, artikel Alef di atas berisi banyak pertanyaan kritis
dan “kegelisahan” mengenai bentuk konkret dari rumusan ScD
Mukti Ali. Namun, Alef sendiri tidak memiliki jawaban yang me-
muaskan, kecuali hanya meneruskan rumusan metodologis Mukti
Ali tersebut. Hal itu dikuatkan dengan komentar Alef di akhir artikel
tersebut bahwa ketidakjelasan sosok ilmu PA, termasuk fungsi dan
prospek pengembangannya di IAIN, akan semakin berkurang jika
kita bisa menegaskan kembali tujuan umum dan tujuan khusus
dari studi PA. Tujuan yang bersifat umum adalah tujuan ilmu pe-
ngetahuan secara umum, yakni untuk “mengetahui” dan “mema-
hami” (dalam hal ini agama), sedangkan tujuan khusus adalah
tujuan yang lebih ditekankan pada kepentingan pemeluknya (yakni
Muslim karena di IAIN), misalnya untuk memperdalam keyakinan
Islam, untuk dakwah, untuk membina keislaman di kalangan kaum
Muslim sendiri, dan akhirnya tujuan khusus ilmu ini adalah untuk
“ibadah.”99 Lagi-lagi, pandangan Alef ini tak lain adalah gagasan
pokok yang telah ditancapkan oleh Mukti Ali.
Tiga sarjana PA lain, yaitu Romdhon, Farichin, dan Kautsar ber-
sepakat (atau setidaknya membuat catatan) dalam hal-hal penting
berikut: (1) studi PA adalah studi deskriptif bukan normatif seperti
dalam teologi. Studi deskriptif adalah usaha untuk memahami dan
menggambarkan objek tanpa melibatkan unsur-unsur subjektif dan
berubah-ubah dari pihak pengkaji. Semboyannya adalah “Ob-

Dr. Media Zainul Bahri 225


jektivitas.” Inilah ciri dan karakter sikap ilmiah. Studi PA juga me-
miliki perbedaan yang tegas dengan Teologi Agama dan Filsafat
Agama dalam hal objek kajian dan cara kerjanya. Studi PA hendak
mengkaji semua agama, tidak hanya satu agama atau agama tertentu
saja seperti dalam Teologi dan Filsafat Agama. Dalam melakukan
kajiannya, PA tidak memberikan penilaian, baik yang berkenaan
dengan “salah” dan “benar,” maupun yang berkenaan dengan “ke-
kuatan” dan “kelemahan” pada agama-agama yang dikaji. Persoalan
“penilaian” itu adalah wewenang Teologi dan Filsafat Agama. Juga
PA tidak bertugas mengaslikan, memperbarui atau memajukan
suatu agama sebab itu juga tugas Teologi.100 Dalam Diktat Ilmu Per-
bandingan Agama: Sejarah dan Metode (Jakarta, 1989), Kautsar
membuat Skema perbedaan yang tegas antara PA, Filsafat Agama,
dan Teologi Agama, sebagai berikut:101

Perbedaan Antara Perbandingan Agama,


Filsafat Agama, dan Teologi
PERBANDINGAN FILSAFAT AGAMA TEOLOGI
AGAMA
Deskriptif Normatif Normatif
Objektif Subjektif Subjektif
Netral Netral atau berpihak Berpihak
Tidak terikat Tidak terikat atau Terikat
terikat
Berdasar pada Berdasar pada akal Berdasar pada wahyu
pengamatan
Empiris, Positif Metafisis, Spekulatif Metafisis, Spekulatif
Bertolak dari Bertolak dari kritik Bertolak dari kepercayaan
keinginan untuk rasional, keragu- atau keimanan
mengetahui raguan, atau
pertanyaan
Membicarakan Membicarakan dasar- Membicarakan satu agama
semua agama dasar agama pada
umumnya atau dasar-
dasar agama satu
agama

226 Wajah Studi Agama-Agama


(2) Objek formal PA adalah pengalaman keagamaan (religious
experience) yang diekspresikan melalui pemikiran, perbuatan dan
persekutuan menurut istilah Joachim Wach, atau tiga ekspresi da-
lam bahasa Mukti Ali adalah teoretis (intelektualis), praktis (amalan),
dan sosiologis (pergaulan). Dari berbagai ekspresi atau fenomena
yang muncul dari pengalaman keagamaan itu, hendak mene-
mukan “makna agamis” (religious meaning). Menurut Farichin,
pertama-tama Ilmu PA diarahkan pada pemahaman tentang “mak-
na” (meaning) dari fenomena-fenomena agama. Ini adalah khas Ilmu
PA yang membedakannya dengan bidang-bidang studi lain yang
sejenis yang sama-sama mengkaji agama-agama seperti Sejarah
Agama, Sosiologi Agama, Psikologi Agama, Antropologi Agama dan
lain-lain. Sebab, jika tidak dibedakan dengan tegas, maka keman-
dirian dan eksistensi Ilmu PA akan digugat oleh bidang-bidang studi
lain yang sejenis, dan hal itu akan membuat “goyah” ilmu PA sebagai
ilmu yang telah berdiri sendiri.102 Lalu, menurut Farichin lebih lan-
jut, objek kajian ilmu PA bukan hanya satu agama tertentu yang
diyakini kebenarannya, dan juga bukan hanya satu agama tertentu
di luar agamanya sendiri. Garapan pengkajian dan penelitian ilmu
PA adalah lebih dari satu agama, baik agama-agama masa lalu mau-
pun agama-agama yang hidup masa kini (living religions).103
Kedua, Farichin juga menyatakan bahwa Ilmu PA sesung-
guhnya juga berbeda dengan Fenomenologi Agama. Perbedaannya
jelas bahwa fokus penelitian PA adalah persamaan, perbedaan, tipo-
logi, klasifikasi, generalisasi dan struktur asasi dari agama-agama.
Sedangkan Fenomenologi Agama mengarahkan penelitiannya un-
tuk memahami religious meaning dari berbagai fenomena agama
yang dikajinya. Ilmu PA juga berbeda dengan Sosiologi Agama yang
fokus kajiannya pada pengaruh dan peranan agama dalam kehidup-
an masyarakat, atau sebaliknya. Dalam dua catatan di atas, Farichin
menegaskan tugas pokok PA yang tidak bisa keluar dari bangunan
atau struktur pokok agama-agama yaitu kredonya, keyakinannya,
ritusnya, mitosnya dan hal-hal yang berkaitan.104 Jadi, Farichin—
dalam hal tugas pokok dan objek formal PA—menegaskan posisi-

Dr. Media Zainul Bahri 227


kat agamis atau model pemerintahan yang berasaskan agama, mun-
culnya pandangan teologi yang progresif mengenai pluralisme
agama dan dialog antaragama dan hal-hal lain, menyebabkan gairah
terhadap studi agama meningkat, baik dari sisi isu-isu yang muncul
maupun metodologinya. Pada saat yang sama, banyak dosen IAIN
yang dikirim sekolah ke luar negeri, terutama Barat, sebagai salah
satu program unggulan Departemen Agama kala itu (yang dirintis
oleh Menteri Agama Munawwir Syadzali) mulai kembali pulang
ke tanah air dengan membawa “oleh-oleh” berupa isu-isu dan meto-
dologi studi agama yang berkembang di Barat saat itu. Keadaan ini
berpengaruh secara langsung terhadap munculnya sosok baru studi
agama di Indonesia yang progresif dan sering kali “kontroversial.”
Kedua, keadaan di dalam negeri sendiri, pada era 1990-an, ada-
lah masa senja Orde Baru. Gelombang demokratisasi di negera-
negara maju tak bisa dibendung untuk masuk ke Indonesia. Dis-
kursus yang marak—waktu itu—soal politik, suksesi kepemim-
pinan, demokrasi dan tatanan sosial mau tak mau harus juga mem-
bincangkan peran sosok agama: menyangkut pemahaman masya-
rakat atas agama, lembaga-lembaga agama, bagaimana cara menge-
lola kemajemukan agama dalam sebuah negara demokrasi, posisi
dan kontribusi tafsir agama atas persoalan yang sedang trend saat
itu. Dari sinilah gayung bersambut. Faktor yang pertama berjumpa
dengan yang kedua. Keadaan inilah yang menyebabkan studi PA
mendapat perhatian luas seiring dengan harapan masyarakat atas
kontribusinya di bidang kerukunan umat beragama misalnya, atau
dalam bidang lain yang membawa kesejukan (dan harmoni) bagi
kehidupan sosial-keagamaan yang sedang meluncur ke arah per-
ubahan.
Meski demikian, hingga menjelang masa reformasi (tahun
1997) di mana perubahan yang telah diprediksi benar-benar terjadi,
belum banyak muncul karya-karya PA sarjana Muslim Indonesia
yang benar-benar ilmiah. Jika di Barat pada tahun-tahun ini, banyak
muncul karya yang serius dari para sarjana Studi Agama-Agama
(religious studies) mengenai metodologi, atau dari sisi materi agama

Dr. Media Zainul Bahri 239


banyak lahir pula buku-buku mengenai agama-agama dunia yang
valid atau isu-isu yang berkembang seperti pluralisme agama dan
dialog antaragama, maka tidak demikian halnya yang terjadi di tanah
air. Tidak benar-benar nihil; memang muncul beberapa karya
bermutu yang langsung berkaitan dengan studi PA, namun cukup
sedikit dari segi kuantitas. Sebaliknya, karya-karya yang berkaitan
langsung dengan studi Islam semarak muncul di mana-mana. Se-
bagian besarnya merupakan karya yang bermutu, baik tentang te-
ma-tema tertentu maupun karya yang menyoroti metodologi studi
Islam kontemporer.
Perkembangan yang kurang signifikan dari sisi produktivitas
karya-karya bermutu tentang PA dikeluhkan oleh Burhanuddin
Daya; salah satu orang dalam lingkaran pusat studi PA. Katanya:

Tidak majunya studi PA di Indonesia disebabkan tidak ada penelitian


serius, publikasi dan penerbitan PA berkala, juga lemahnya metodologi
sarjana-sarjana PA sendiri, Guru Besarnya hanya Mukti Ali itu pun
sudah pensiun. Hal itu sangat jauh berbeda dengan di Eropa dan
Amerika.129

Keadaan itu tentu disadari juga oleh para akademisi yang terli-
bat langsung dengan kajian PA. Kautsar Azhari Noer misalnya
menulis satu artikel yang relevan berjudul Beberapa Kemungkinan
Pengembangan Studi Perbandingan Agama (1998). Menurutnya, PA
sebagai sebuah cabang studi ilmiah tentang agama-agama perlu
mendapat perhatian serius agar studi ini dapat berkembang dengan
baik sesuai dengan tuntutan akademis yang inovatif dan tuntutan
praktis yang dinamis. Apa kemungkinan-kemungkinan yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan PA? Menurut Kautsar setidak-
nya ada empat (4) hal penting yang harus disoroti: (1) Berbagi (shar-
ing) informasi di antara para sarjana PA, mengingat abad ini adalah
abad “banjir bah” informasi. (2) Peningkatan kualitas ilmiah para
tenaga pengajar PA. Misalnya, pengiriman para dosen itu untuk
belajar S-2 dan S-3 di bidang studi PA atau Studi Agama-Agama di

240 Wajah Studi Agama-Agama


Barat, atau mendatangkan Guru Besar PA dari luar negeri untuk
mengajar di UIN/IAIN selama satu atau dua semester. (3) Pengem-
bangan tema-tema yang relevan dengan kehidupan/perubahan
umat manusia. PA harus meninggalkan tema atau topik-topik lama
yang sudah tidak relevan. (4) Pengembangan metodologi. Pende-
katan-pendekatan studi PA selama ini seperti sosiologis, antro-
pologis, psikologis, fenomenologis, historis, komparasi dan dialogis
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tergantung
kepada objek kajian yang hendak diteliti. Dalam hal memahami
struktur, sistem dan esensi agama-agama, menurut Kautsar, pende-
katan fenomenologis dan dialogis masih merupakan pendekatan
terbaik.
Pada masa akhir 1980 hingga pertengahan 1990-an sebagai
era kemunculan studi PA yang ilmiah dan humanis, meskipun tidak
banyak—seperti telah disinggung, beberapa karya bermutu layak
untuk dicatat. Dalam aspek metodologi PA, lahir karya-karya
seperti Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (1988) tulisan Mukti
Ali, Diktat Ilmu Perbandingan Agama: Sejarah dan Metode (1989)
karya Kautsar Azhari Noer. Lalu, ada pula dua buku kumpulan
tulisan ahli-ahli PA Indonesia terbitan INIS (Indonesia-Netherlands
Cooperation in Islamic Studies), yaitu Ilmu Perbandingan Agama
di Indonesia (Beberapa Permasalahan) (1990) dan Ilmu Perbandingan
Agama Di Indonesia dan Belanda (1992). Ilmu Perbandingan Agama
(1994) karya Mudjahid Abdul Manaf, dosen PA IAIN Semarang,
Metodologi Ilmu Perbandingan Agama: Suatu Pengantar Awal (1996)
karya Romdhon. Muncul pula Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perenial (1995) karya Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni
Nafis. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas (1996) karya M.
Amin Abdullah. Dua karya terakhir ini mendapat sambutan luas
publik. Karya Amin Abdullah pada tahun itu telah mengukuhkan
metodologi PA yang bercorak deskriptif, historis-empirik bersama-
sama dengan pendekatan fenomenologis dan teologi yang telah
direkonstruksi. Lalu, patut disebut juga Perbandingan Agama (1994)
karya Achmad Asrori, dosen PA IAIN Raden Intan Tanjungkarang,

Dr. Media Zainul Bahri 241


Lampung, dan Ilmu Perbandingan Agama (1994) karya Mudjahid
Abdul Manaf, dosen PA IAIN Semarang. Dua tulisan menarik
Kautsar Azhari Noer yang dimuat Jurnal Ulumul Qur‘an berjudul
“Perbandingan Agama: Apa yang Diperbandingkan (1993)” dan
“Passing Over” Memperkaya Pengalaman Keagamaan (1994)”
pantas juga disebut sebagai tawaran kritis atas metode memahami
struktur asasi dan esensi agama-agama. Karya-karya lain yang sangat
mungkin tak terjangkau oleh saya.
Dalam hal materi studi PA segelintir karya bermutu juga mun-
cul seperti Agama-Agama Dunia (1988) karya 12 dosen PA Yogya-
karta, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (1996) karya Romdhon.
Dua karya itu ditulis dalam semangat akurasi dan validitas iman,
penghayatan dan pemahaman keagamaan para pemeluknya. Santri
dan Abangan Di Jawa (diterbitkan oleh INIS pada 1988, meskipun
Tesis di McGill, Kanada ini selesai pada 1975) karya Zaini Much-
tarom, akademisi senior PA (khususnya dalam bidang Sosiologi
Agama) dan sudah pensiun, juga sebuah karya kritis tentang per-
gumulan santri dan abangan dengan pendekatan sejarah sosial-
politik di Jawa. Tentang dialog antaragama yang mulai marak pada
masa itu, maka buku terbitan Interfidei, Dialog: Kritik & Identitas
Agama (1993) adalah karya sangat baik mengenai seluk-beluk dia-
log intra dan antariman serta posisi identitas masing-masing pe-
meluk agama. Buku ini ditulis oleh 13 tokoh agama dan budaya ter-
kemuka Indonesia dan tiga tokoh agama dari luar negeri. Buku lain
yang berkaitan langsung dengan tema PA adalah “Passing Over,”
Melintas Batas Agama (1998). Inilah buku segar pada era itu yang
mendapat apresiasi dan sambutan antusias publik. Dalam konteks
metode memahami agama lain yang berbeda, karya ini cukup ber-
pengaruh bahkan sampai hari ini. Passing Over ditulis oleh 18 tokoh
dan sarjana agama terkemuka dari Islam, Kristen, Konghucu, Bud-
dha dan Hindu. Namun, tulisan khusus Kautsar Azhari Noer, “Pass-
ing Over”: Memperkaya Pengalaman Keagamaan,” di samping ke-
mudian menjadi judul buku, artikel tersebut merupakan salah satu
tema pokok dalam PA yang sedang hangat dibicarakan saat itu.

242 Wajah Studi Agama-Agama


E. Studi Perbandingan Agama dan Politik
Meskipun berada di tengah pembahasan (yang mungkin se-
mestinya berada di awal), namun saya tetap ingin membuat satu
bagian khusus mengenai hubungan studi PA dan politik, suatu
pembahasan yang sulit dihindari. Bagian ini saya letakkan di tengah
dengan harapan dapat melengkapi penjelasan bagian-bagian pen-
ting di atas dan bagian-bagian yang akan dibahas di bawah, terutama
bagian mengenai isu-isu penting. Bahwa secara akademis, Mukti
Ali memiliki kemampuan dan minat yang sangat besar terhadap
studi PA dan dialog antaragama, tak ada yang meragukan. Namun,
naiknya ia menjadi Menteri Agama dan dengan jabatan itu ia me-
nyebarkan isu-isu penting dalam studi PA tak bisa dilepaskan dari
sebuah proses dan kerja politik. Dua tulisan Ali Munhanif, Islam
and Struggle for Religious Pluralism in Indonesia; A Political Reading
of the Religious Thought of Mukti Ali (1996) dan Prof. Dr. A. Mukti
Ali; Modernisasi Politik-Keagamaan Orde-Baru (1998) serta satu
tulisan Herman Beck, A Pillar of Social Harmony: The Study of Com-
parative Religion In Contemporary Indonesia (2002) kiranya dapat
menjelaskan proses dan kerja politik itu.
Saya ingin mendiskusikan dua hal pokok yang saling terkait
erat: pertama soal proses politik Mukti Ali menjadi Menteri Agama,
dan kedua soal kisruh sosial politik hingga menjadi latar belakang
(backround) pembentukan PTAIN dan studi PA khususnya serta
harapan sumbangan studi ini secara sosio-kultural. Pertama, proses
politik di sekitar Mukti Ali. Menurut Munhanif, keahlian Mukti
Ali dalam ilmu agama, ketokohannya sebagai intelektual Muslim,
dan perhatiannya pada dialog antaragama adalah beberapa alasan
pokok ia dipercaya menjadi Menteri. Namun, kemunculan Korps Kar-
yawan (Kokar) Departemen Agama adalah fenomena yang kelak
memainkan peran kunci (king maker) bagi Mukti Ali menuju kursi
Menteri Agama. Korps itu muncul sebagai bentuk kekecewaan, atau
tepatnya perlawanan dari orang-orang yang “kecewa” (terutama
yang dianggap keluarga Masyumi) terhadap Menteri Agama Mo-
hammad Dachlan yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU). Menu-

Dr. Media Zainul Bahri 243


rut Kokar, dengan Muljanto Sumardi sebagai tokoh utamanya,
Departemen Agama di bawah Dachlan telah dijadikan instrumen
politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan NU. Ketika
Orde Baru melakukan kampanye besar-besaran pada pemilu 1971
untuk mengooptasi seluruh departemen ke dalam barisan pendu-
kung Golkar, hal itu tidak berpengaruh banyak pada orientasi ideo-
logis pimpinan Departemen Agama.130
Mohammad Dachlan, sebagai Menteri dari partai NU, secara
politis menghendaki departemennya untuk tetap berperan mendu-
kung agenda-agenda politik NU yang tentu saja tidak mendasarkan
pada agenda-agenda pemerintah Orde Baru yang sedang gencar
melakukan proyek pembangunan di segala bidang. Dengan lobi
intensif yang dilakukan Kokar dengan pusat kekuasaan Orde Baru,
yang saat itu direpresentasikan oleh CSIS (Kelompok Tanahabang),
akhirnya Mohammad Dachlan “berhasil” dicopot dari kursi Menteri
dan dilantiklah Mukti Ali pada 11 September 1971 sebagai Menteri
Agama yang baru.131
Kedua, seperti tercatat dalam sejarah bahwa di masa-masa akhir
kekuasaan presiden Soekarno, terjadi konflik yang cukup keras di
antara pemeluk agama di tanah air. Mukti Ali sebenarnya sangat
meyakini bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
cinta damai dan kerukunan. Namun kenyataannya, di era 1960-an
konflik antar pemeluk agama sulit dihindari, tetapi kondisi ini jika
dilihat secara positif—kelak akan memunculkan sejarah baru bagi
kaum Muslim Indonesia, yaitu pembentukan PTAIN. Pada 1959
Sukarno membuat regulasi ideologis tentang Manipol-Usdek, dan
setahun sesudahnya ideologi itu disempurnakan menjadi Nasakom
(nasionalis-Komunis-Agama). Melalui Nasakom, Soekarno berharap
dapat menyatukan kaum nasionalis, komunis dan agama (Mus-
lim). Namun, pada praktiknya, ideologi itu justru memunculkan
konflik baru di antara ketiga golongan itu, meskipun tidak sedikit
yang menerimanya. Di kalangan kaum Muslim menurut Beck, po-
litik Soekarno itu bahkan memunculkan konflik antara Muslim
modernis-ortodoks dengan tradisionalis-ortodoks. Di saat yang sa-

244 Wajah Studi Agama-Agama


ma, ketika tekanan terhadap komunisme meningkat, kelompok
Kristen secara agresif melakukan misionari, suatu aktivitas yang
biasa mereka lakukan sejak masa kolonial dulu. Keadaan ini mem-
buat kaum Muslim merasa terancam dan harus melakukan sesuatu
terhadap kaum minoritas Kristen itu. Dengan keadaan yang cukup
panas itu, pemerintah Soekarno menyetujui pendirian PTAIN di
Yogyakarta dan ADIA di Jakarta sebagai cara untuk menunjukkan
perhatian pemerintah terhadap Muslim Indonesia dengan beberapa
harapan, yaitu semoga kebutuhan kaum Muslim dalam bidang
pendidikan agama dapat terpuaskan, tetapi di sisi lain pemerintah
menghendaki kaum Muslim dapat “setia” terhadap pemerintah,
dan yang terpenting adalah bahwa melalui lembaga milik peme-
rintah itu, pemerintah dapat “mentraining” kaum Muslim menge-
nai pentingnya hidup rukun dan damai.132 Dalam konteks inilah,
studi PA dipilih sebagai studi-ilmiah yang cocok untuk proyek ke-
rukunan di negeri yang sedang dilanda konflik sektarian dan agama
itu.
Apakah setelah itu keadaan menjadi semakin membaik? Ter-
nyata tidak. Setelah peristiwa PKI 1965, banyak kaum komunis
yang masuk Kristen karena takut dibunuh, dan pada saat yang
sama, agresivitas misionari kaum Kristen berhasil mengkristenkan
kaum Muslim yang tidak berpendidikan dengan iming-iming
pendidikan, kebutuhan pokok dan kecukupan material lainnya.
Keadaan ini tentu saja semakin memperburuk konflik Islam-Kris-
ten. “Bom waktu” yang akan meledakkan konflik itu menjadi pe-
rang saudara dapat meletus kapan saja. Segera setelah Soeharto men-
jadi presiden, ia memikirkan langkah-langkah dan kebijakan untuk
membuat “stabilitas” sebagai pra-syarat pembangunan. Pada Maret
1967, Soeharto mengumpulkan tokoh-tokoh agama untuk membuat
proyek dialog dan kerukunan sebagai langkah menuju “stabilitas.”
Akhirnya, pada 30 November 1967, diadakan perhelatan nasional
dialog antar-agama dengan nama Musjawarah Antar Agama, di mana
Mukti Ali terlibat di dalamnya. Namun, konferensi ini gagal total
karena penolakan kelompok Kristen atas poin-poin penting. Menu-

Dr. Media Zainul Bahri 245


rut kelompok Muslim, kegagalan musyawarah itu karena kaum
Kristen menolak tiga proposal pokok presiden Soeharto, yaitu: (1)
Untuk menahan diri dari segala sikap memaksakan kehendak da-
lam beragama, (2) untuk menahan diri dari kegiatan misionari (dak-
wah) kepada orang yang sudah memeluk agama, dan (3) untuk
mengembangkan paham keagamaan yang mendukung sikap tole-
ransi sosial. Kelompok Muslim cenderung menerima proposal Soe-
harto tersebut demi menjaga stabilitas, sementara kelompok Kristen
cenderung menolaknya karena akan menghalangi “kewajiban ke-
agamaan” untuk berdakwah, jika proposal itu disetujui.133
Menurut Beck, karena kegagalan itu, sekarang Soeharto meng-
ubah kebijakannya dari memfokuskan pada “stabilitas” menuju
fokus pada “pembangunan.” Proyek pembangunan itu dimulai de-
ngan dicetuskannya istilah Pelita I, yaitu dari 1969 hingga 1974.
Semangat pembangunan dalam kehidupan sosial-politik pada Pelita I
ini terermin pada studi PA di masa-masa itu, dan Mukti Ali adalah
figur utamanya. Saat itu kata Beck, Mukti Ali bukan semata salah
satu dari sedikit Sarjana Indonesia yang memiliki keahlian dalam
bidang Perbandingan Agama, namun sebagai Menteri Agama pada
periode 1971-1978, ia juga telah mengembangkan paham dan ben-
tuk keagamaan yang cocok dengan kebijakan pembangunan Soe-
harto.134 Segera setelah dilantik menjadi Menteri, Mukti Ali mem-
buat rumusan-rumusan doktrin keagamaan yang sesuai dengan
semangat pembangunan. Baginya, agama tidak semata mendorong
umat manusia untuk hidup rukun dan harmonis, namun juga mam-
pu memberi sumbangan bagi pembangunan. Mukti Ali melihat tiga
potensi kekuatan agama. Pertama, agama sesungguhnya dipenuhi
ajaran yang mendorong manusia untuk bekerja keras dalam kehi-
dupan ini. Kedua, selain mendorong bekerja, agama juga sumber
kreativitas dan inovasi. Dengan kata lain, agama adalah inspirasi
bagi “kerja cerdas.” Ketiga, agama juga sesungguhnya menyatukan,
bukan memisahkan. Agama dapat menyinergikan aktivitas indi-
vidual dan sosial sekaligus dalam satu kesatuan utuh. Dengan tiga
gagasan pokok itu, Mukti Ali meyakini bahwa agama dapat ber-

246 Wajah Studi Agama-Agama


peran dalam pembangunan ekonomi dan keharmonisan sosial di
era modern.135
Pandangan keagamaan Mukti Ali yang “rasional” dan “mo-
dern” saat itu memang sangat “pas” dengan harapan dan proyek-
proyek pembangunan Orde baru. Kecocokan itu juga menemukan
momentumnya yang juga “pas” ketika Menteri Agama sebelumnya,
Muhammad Dachlan, tidak bisa diharapkan lagi untuk ikut dalam
arus besar “rasionalisasi” agama dan “pembangunan.” Dengan
Mukti Ali, Soeharto telah menemukan figur yang “pas” yang sesuai
dengan “semangat zamannya” (istilah Jerman: Zeitgeist).
Namun menurut Beck, karya-karya Mukti Ali dari 1965 hingga
1971 (sebelum menjadi Menteri) sesungguhnya telah menunjukkan
poin-poin penting yang sudah sesuai dengan keinginan Soeharto.
Pertama, dalam pandangan keagamaan misalnya, Mukti Ali mene-
gaskan bahwa natur keberagamaan sesungguhnya melekat dalam
diri manusia. Karena itu, seseorang yang tidak beragama berarti ia
yang melawan esensi naturnya sendiri. Dengan demikian, pembica-
raan mengenai apakah Tuhan itu ada atau tidak, bagi Mukti Ali,
tidak relevan. Yang paling relevan untuk dibicarakan adalah apakah
Tuhan yang disembah itu Tuhan yang benar atau tuhan yang salah.
Tuhan yang sejati, kata Mukti Ali, adalah Tuhan yang terdapat pada
agama-agama monoteistik. Sedangkan agama dan tradisi non-mo-
noteistik “terpisah” dari keesaan dan kekuasaan Tuhan. Pemikiran
keagamaan ini cocok dengan pandangan Orde Baru yang sedang
giat menghadang/melawan komunisme (yang selalu dianggap iden-
tik dengan ateisme), yang ditakutkan akan bangkit atau populer
kembali kapan saja. Pandangan keagamaan Mukti Ali saat itu, yang
membela doktrin monoteistik dianggap memperkuat Pancasila.
Dari poin ini saja menurut Beck, studi PA dianggap sesuai dengan
kebijakan pemerintah Orde Baru.136
Kedua, Mukti Ali juga mengajukan konsep agree in disagree-
ment: sepakat dalam ketidaksepakatan atau sepakat dalam perbe-
daan. Konsep ini juga berhasil dalam praktiknya. Ketika Soeharto
gagal membuat kesepakatan penting mengenai kerukunan dan

Dr. Media Zainul Bahri 247


dialog antaragama dalam Musjawarah Antar Agama (1968), Mukti
Ali pada 1969 berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh agama yang
beragam untuk sebuah perhelatan dialog antaragama yang tidak
resmi. Mukti Ali berhasil meyakinkan koleganya, yaitu tokoh-tokoh
agama non-Islam bahwa dialog antaragama tidak semata fokus pada
persoalan-persoalan teologis, melainkan penting pula mendalami
isu-isu sosial-keagamaan yang juga menjadi pusat perhatian setiap
pemeluk agama. Dalam konteks ini, studi PA memberi sumbangan
pengetahuan yang sangat signifikan bagi pemahaman mengenai
isu-isu sosial-keagamaan itu dan menjadi sumber utama bagi dia-
log antaragama yang akan membawa dampak positif bagi stabilitas
sosial. Menurut Beck, gagasan dan proposal Mukti Ali mengenai
signifikansi dan relevansi studi PA sangat berbeda dengan tokoh
modernis Muhammadiyah, Hasbullah Bakry dan gerakan Muham-
madiyah sendiri yang selalu menggunakan studi PA dalam cara
yang apologis. Hasbullah Bakry misalnya, menulis beberapa buku
perbandingan agama dengan pendekatan teologis dan tujuan apo-
logetik. Juga training-training kader Muhammadiyah yang disebut
Darul Arqam pada 1970-an mengajarkan studi perbandingan agama
dengan tujuan apologetik; jauh berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh Mukti Ali, yang juga anggota Muhammadiyah yang mengajar-
kan studi PA demi meretas dialog antaragama.137
Ketiga, bahwa pada periode 1965-1970, Mukti Ali tidak kenal
lelah memperkenalkan studi PA sebagai disiplin “ilmu sosial” yang
sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang sedang dalam proses
“menjadi.” Mukti Ali menyadari benar bahwa hubungan harmonis
antarpemeluk agama adalah kondisi yang sangat dibutuhkan dalam
pembangunan, sedangkan huru-hara adalah halangan yang sangat
serius. Dalam pengertian ini, hidup bersama dalam sikap saling
menghormati dan toleran satu sama lain adalah kebutuhan bersama.
Karena itu bagi Mukti Ali, gagasan mengenai agree in disagreement
tidak semata dapat meminimalisir pertentangan yang disebabkan
perbedaan-perbedaan di antara agama-agama, namun juga akan
menunjukkan “kebersamaan” (bahwa agama-agama memiliki ajar-

248 Wajah Studi Agama-Agama


an yang sama, juga perhatian dan kebutuhan yang sama). Studi PA
akan memberi kontribusi yang signifikan untuk mengembangkan
hal-hal di atas.138
Sejak dini, Mukti Ali sebenarnya telah menyadari atau meng-
arahkan studi PA bagi kepentingan kehidupan sosial dibanding
hanya sebagai sekadar “ilmu murni” dengan seperangkat metode
ilmiah tertentu. Baginya, ilmu PA harus bermanfaat bagi kehidupan
sosial yang harmonis antarpemeluk agama. Studi PA dan relevansi
sosial-nya ini disandarkan oleh Mukti Ali kepada karya-karya Joa-
chim Wach, Friedrich Heiler dan Wilfred Cantwell Smith. Para
sarjana ini telah mengarahkan studi PA sebagai disiplin yang sangat
penting dalam mempromosikan dialog antaragama dan hidup har-
moni di antara umat manusia. Mukti Ali mengadopsi pendekatan
para sarjana itu untuk konteks Indonesia yang ternyata sesuai de-
ngan kebijakan (keinginan) pemerintah Orde Baru.139 Karena itulah
gayung bersambut, dan dalam bingkai inilah kita bisa memahami
hubungan ilmu PA dan politik kerukunan dan pembangunan.

F. Isu-Isu Penting
1. Agama dan Pembangunan
A. Pembangunan Manusia Seutuhnya
Seperti telah disebut bahwa salah satu tugas pokok Mukti Ali
sebagai Menteri Agama kala itu adalah membuat rumusan-rumus-
an bagaimana agama memberi kontribusi yang signifikan bagi
“pembangunan nasional” dan “stabilitas”; dua istilah yang sangat
“sakti” dan proyek besar dalam pemerintahan Orde Baru yang se-
dang gencar membangun. Karena itu, isu tentang hubungan agama
dan pembangunan merupakan salah satu diskursus yang pokok
pada awal-awal berdirinya studi PA. Isu itu kemudian ramai dibica-
rakan orang karena usaha-usaha Mukti Ali yang serius sebagai Men-
teri Agama membicarakan hal itu dalam forum-forum nasional, baik
resmi maupun informal. Bagi Mukti Ali, agama harus berperan
memberi makna bagi arah pembangunan yang membawa kesejah-
teraan, bukan hanya bagi fisik-lahiriah manusia-manusia Indone-

Dr. Media Zainul Bahri 249


sia, tetapi juga sejahtera batin-spiritualnya. Karena itu, pertama-
tama harus dipahami dulu apa pengertian pembangunan guna men-
capai kebahagiaan lahir dan batin itu? Bagi Mukti Ali, pembangunan
adalah proses untuk menciptakan manusia baru, yaitu manusia
yang dapat terbebas dari dua hal sekaligus, yaitu bebas dari ancaman
fisik seperti kelaparan, penyakit dan hal-hal semacamnya, serta be-
bas dari penyakit mental dan rohani140 seperti kebodohan, kekering-
an spiritual hingga teralienasi, dan termasuk dalam pengertian ini
adalah kesalahan memahami agama yang benar dan humanis. Kare-
na itu, maka tujuan pembangunan adalah membentuk karakter
manusia seutuhnya dan umat manusia secara umum. Hal itu berar-
ti, sekali lagi, bahwa pembangunan tidak semata fokus kepada ke-
sejahteraan ekonomi semata, melainkan juga pada mental-spiritual
umat manusia.141
Untuk mencapai pembangunan yang utuh dan integral bagi
manusia, menurut Mukti Ali, diperlukan sebuah revolusi; revolusi
bukan dalam pengertiannya yang negatif, tetapi revolusi dalam pe-
ngertian perubahan radikal pada nilai-nilai dan struktur masyarakat,
tanpa kekerasan dan tanpa anarki.142 Dengan pandangan ini, Mukti
Ali sesungguhnya menghendaki perubahan yang radikal dari pa-
radigma, cara pandang dan mental manusia Indonesia yang tradi-
sional dan konservatif ke arah yang modern-progresif. Pandangan-
nya yang sangat maju pada saat mengemukakan ide ini di awal
1970-an sejatinya telah menempatkan Mukti Ali sebagai pejabat
tinggi pemerintah dan Cendekiawan Muslim yang berpandangan
jauh ke depan, namun sekaligus juga sulit diimplementasikan da-
lam kondisi masyarakat yang masih tradisional, “ndeso” dan “baru
bangun” untuk memulai pembangunan.
Dalam skenario besar pembangunan seperti yang diinginkan
Mukti Ali tersebut, maka ia sendiri, sebagai Menteri Agama, kemu-
dian mengetengahkan pentingnya peranan agama dalam proses
pembangunan itu. Bagi Mukti Ali, pembangunan bertujuan mem-
bangun manusia, dan agama juga bertujuan untuk kebahagiaan
umat manusia. Karenanya, pembangunan memerlukan nilai agama

250 Wajah Studi Agama-Agama


dan agama akan memberi bentuk hidup yang berkualitas. Jika pem-
bangunan mengabaikan agama, maka pembangunan model itu
akan kehilangan tujuan, kedalaman dan keindahannya. Karena itu
menjadi jelas bahwa agama tidak semata memberi motivasi dan
tujuan bagi pembangunan, melainkan juga telah menjadi roh (spirit)
dalam “badan” pembangunan itu sendiri.143 Gagasan yang cemer-
lang dari Mukti Ali ini, jika ditelusuri lebih dalam maka akan mun-
cul suatu pandangan yang koheren bahwa proses-proses pemba-
ngunan terutama dalam bidang ekonomi dan politik harus mem-
bawa turut serta nilai-nilai utama dari agama seperti kejujuran, ke-
adilan, kesetaraan dan kasih sayang. Semua pembangunan dalam
bidang ekonomi tidak boleh curang, koruptif dan hanya dikuasai
oleh segelintir orang saja, seperti halnya pembangunan dalam bi-
dang politik dan lembaga-lembaga politik tidak boleh manipulatif.
Mukti Ali berjasa besar memopulerkan istilah “pembangunan ma-
nusia seutuhnya,” yaitu pembangunan yang menghendaki kesejah-
teraan fisik dan batin manusia Indonesia. Bagi Mukti Ali, tidak ada
perbedaan (pengotakan) atau diskriminasi antara pembangunan
spiritual dan non-spiritual. Keduanya berjalan secara utuh dalam
satu paket. Karena itu, Mukti Ali menyebut pendekatannya dalam
skenario besar pembangunan nasional sebagai pendekatan integral
atau menyeluruh.144
Bagi Mukti Ali, ketika pembangunan dimaknai sebagai proses
pembebasan manusia, maka para pemeluk agama harus menyadari
potensi-potensi yang besar pada diri mereka. Dengan kata lain, para
pemeluk agama tidak semata berproduksi dan berkonsumsi saja,
melainkan mampu merealisasikan aspirasi mereka untuk kebebas-
an, kehormatan, keadilan dan pertumbuhan spiritualitas keagamaan
mereka. Dengan dasar ini pula, para pemeluk agama harus berusaha
untuk membentuk masyarakat yang baru dengan kultur dan etos
yang baru pula. Mereka harus berani merenungkan kembali kon-
sep-konsep keagamaan dan sikap hidupnya vis-a-vis (berhadapan
dengan) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pe-
meluk agama, kata Mukti Ali, harus menafsir ulang pemahaman

Dr. Media Zainul Bahri 251


dan praktik keagamaan selama ini dalam konteks kontribusi agama
bagi pembangunan. Pemahaman dan sikap keagamaan harus pro-
gresif dan sesuai dengan semangat pembangunan. Dengan kata
lain, paham keagamaan yang fatalistik, terlalu mistik dan membuat
orang malas harus diganti dengan paham baru yang rasional, pro-
gresif dan modern dengan tetap tidak menghilangkan unsur-unsur
spirit dan pokok dalam agama. Pada saat yang sama, ahli-ahli agama
juga harus bekerja sama dengan para ahli di bidang ilmu lain dalam
proses pembangunan manusia seutuhnya itu.145
Gagasan Mukti Ali mengenai agama dan pembangunan dapat
dilihat juga sebagai transformasi wajah Departemen Agama yang
sebelumnya didominasi oleh kaum tradisionalis (menteri-menteri
sebelumnya berasal dari kalangan NU) ke arah modernistik. Mukti
Ali adalah Muslim modernis, yang ketika diangkat oleh Presiden
Soeharto, ia tidak berafiliasi kepada partai politik mana pun. Ia di-
anggap modernis, selain karena alumni Barat dan banyak terlibat
dalam pertemuan internasional mengenai dialog antaragama, juga
gagasannya mengenai pembangunan itu sangat progresif. Karena
gagasannya tentang pembangunan itu, saya setuju dengan pan-
dangan Karel Steenbrink yang menyebut Mukti Ali sebagai Weberi-
an. Dalam memimpin Departemen Agama, Mukti Ali kata Steen-
brink, mencoba mempraktikkan teori Max Weber (tentang hubung-
an Protestanisme dan kapitalisme) di Indonesia dan pada agama-
agama.146 Gambaran di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ia
mendorong semua agama di Indonesia untuk terlibat aktif dalam
pembangunan sosial dan ekonomi. Sekolah-sekolah agama yang
berbasis tradisional oleh Mukti Ali didorong untuk menambah kete-
rampilan dan latihan-latihan yang bersifat praktis agar memiliki
nilai lebih (added value, sic.). Beberapa lembaga yang konsen kepada
pengembangan masyarakat dari luar negeri juga diundang untuk
membantu sekolah-sekolah Islam dalam negeri dalam menjalankan
proyek-proyek pembangunan terutama dalam bidang pertanian
dan peternakan. Mukti Ali secara serius berusaha mendorong agama
agar sejalan dengan proyek-proyek pembangunan fisik (terutama

252 Wajah Studi Agama-Agama


ekonomi), dan di sisi lain, ia menekankan bahwa ajaran-ajaran agama
yang bersifat normatif harus bisa menunjukkan pandangan dan
sikap untuk saling menghormati atas berbagai perbedaan keya-
kinan. 147

B. Kerukunan Antarumat Beragama


Isu lain yang juga sangat penting dibicarakan sepanjang studi
PA di masa Orde Baru, bahkan sampai sekarang, adalah soal keru-
kunan intra dan antar-umat beragama. Mukti Ali, baik sebagai
Menteri Agama atau akademisi PA yang konsen kepada kerukunan,
selalu bersemangat membicarakan ide-ide tentang kerukunan dan
praktiknya dalam kehidupan nyata. Seperti telah disinggung, bagi
Mukti Ali, pembangunan sangat bergantung kepada agama, ter-
masuk di dalamnya adalah ketergantungan kepada kerukunan hi-
dup antaragama. Pembangunan mustahil dilakukan dalam masya-
rakat yang kacau. Karena itu, kerukunan merupakan salah satu
fondasi pokok dalam pembangunan. Menurut Mukti Ali, keru-
kunan dalam kehidupan beragama hanya akan terwujud jika ma-
sing-masing pemeluk agama memiliki sikap tenggang rasa dan la-
pang dada. Hal ini sulit dilakukan,148 namun dengan kesadaran,
kemauan dan usaha tidak mustahil dapat tercipta.
Demi menciptakan kerukunan sejati, Mukti Ali mengajukan
lima pandangan teologis yang niscaya dianut oleh para pemeluk
agama yang beragam,149 yaitu pertama, sinkretisme: pandangan yang
menyatakan bahwa semua agama adalah sama karena manifestasi
dari Tuhan yang sama. Dalam agama Hindu, tokoh sinkretis yang
paling terkenal adalah Sri Ramakrishna. Di Indonesia, sinkretisme
juga tumbuh subur, terutama melalui agama “kejawen” dan gerak-
an-gerakan kebatinan. Dari segi teologi, dasar sinkretisme adalah
suatu pandangan hidup yang tidak melihat adanya “garis batas”
antara Tuhan dan yang diciptakan-Nya, antara Khalik dan makh-
luk-Nya. Sinkretisme berpendapat bahwa semua agama adalah ma-
nifestasi dari Kebenaran Yang Asal, pancaran dari Terang Asli yang
satu, ekspresi dari Substansi yang satu, atau sebagai ombak dari

Dr. Media Zainul Bahri 253


Samudra yang satu.150 Menurut Mukti Ali, ajaran sinkretisme ini
tidak dapat diterima, karena dalam Islam misalnya, terdapat per-
bedaan yang tegas antara Khalik dengan makhluk, antara Sang
Pencipta dengan yang diciptakan, antara yang menyembah dan
Yang Disembah.151
Kedua, rekonsepsi (reconception), yaitu mengevaluasi kembali
agama sendiri ketika berhadapan dengan agama lain. Tokohnya
adalah W.E. Hocking. Ia berpendapat semua agama adalah sama
saja. Yang menjadi problem adalah bagaimana sebenarnya hubung-
an di antara agama-agama yang ada dan bagaimana membuat satu
agama yang dapat memenuhi semua kebutuhan manusia. Ia meng-
hendaki dibentuk suatu agama universal yang dapat memenuhi
kebutuhan semua orang dan bangsa, dan caranya adalah dengan
jalan rekonsepsi.152 Bagi Mukti Ali, jalan re-konsepsi ini tidak dapat
diterima, karena dengan jalan ini agama berarti produk manusia,
padahal agama sesungguhnya adalah wahyu ciptaan Tuhan. Bukan
akal yang menciptakan agama, tetapi agamalah yang membimbing
manusia untuk menggunakan akalnya.153 Ketiga, adalah sintesis:
menciptakan agama baru dengan cara mengambil berbagai elemen
dari macam-macam agama.154 Pemikiran ini juga tidak dapat dite-
rima sebab masing-masing agama memiliki latar belakang dan seja-
rahnya sendiri-sendiri yang sulit untuk disatukan.155
Keempat, penggantian, yaitu keyakinan bahwa agamanya
sendiri yang paling benar, sedang agama-agama lain salah, karena
itu seseorang berusaha mengajak orang lain untuk masuk ke dalam
agamanya. Agama-agama lain yang masih hidup harus diganti de-
ngan agama yang dipeluknya.156 Pandangan ini juga tidak dapat
diterima, apalagi dalam masyarakat yang plural (plural society). Jalan
ini tidak akan memunculkan kerukunan hidup beragama, bahkan
yang niscaya hadir adalah konflik dan intoleransi.157 Jalan ini justru
sangat membahayakan kerukunan. Kelima, adalah setuju dalam
perbedaan (agree in disagreement): keyakinan bahwa agama yang ia
peluk itulah yang terbaik dan paling benar, dan mempersilakan
orang lain untuk memercayai bahwa agamanya juga yang paling

254 Wajah Studi Agama-Agama


baik dan paling benar. Jika keyakinan itu tidak ada, maka untuk
apa orang memeluk suatu agama. Dengan keyakinan itu pula, se-
seorang akan bersikap dan berbuat sesuai dengan ucapan batinnya
sebagai dorongan dari agama yang ia peluk. Ia juga yakin bahwa
selain terdapat perbedaan, agama juga memiliki banyak persamaan.
Berdasarkan pengertian ini, harusnya muncul sikap saling meng-
hormati-menghargai secara tulus yang akan berbuah toleransi dan
kerukunan yang sesungguhnya. Menurut Mukti Ali inilah jalan
yang terbaik bagi semua pemeluk agama.158 Seseorang bisa me-
ngerti dan menghargai orang lain dengan tetap setia kepada keya-
kinan agamanya. Di masa kejayaan Orde Baru, istilah agree in dis-
agreement sangat populer dalam konteks hubungan antarumat
beragama. Mukti Ali berhasil memopulerkan istilah ini tidak se-
mata dalam kuliah-kuliah PA, namun hingga masyarakat luas
berkat “kekuasaannya” sebagai Menteri Agama kala itu.
Konsep agree in disagreement adalah tawaran terbaik dari Mukti
Ali dari konsep-konsep lain yang akan mengalami jalan buntu
untuk dapat diterima oleh semua pemeluk agama di Indonesia yang
sangat majemuk. “Konsep kiri,” yaitu ajaran sinkretisme, re-kon-
sepsi, dan sintesis tidak akan diterima oleh mayoritas umat ber-
agama yang “konservatif.” Begitu pula “konsep kanan” yaitu paham
eksklusif “penggantian” juga pasti ditolak oleh sebagian besar kaum
beragama yang moderat, inklusif, apalagi yang liberal. Konsep agree
in disagreement sesungguhnya cukup menarik dan dapat memuas-
kan semua umat beragama secara umum pada era itu, meskipun
jika dilihat secara kritis pandangan-pandangan dasar Mukti Ali
mengenai sinkretisme misalnya dapat diperdebatkan lebih lanjut.
Apakah benar dalam sinkretisme itu ada paham yang ingin menya-
makan Tuhan dengan makhluk-Nya? Apakah para tokoh mistik
sebodoh itu? Apa yang dimaksud “sama” dan “beda” itu dalam
pengertian mistik? Apakah benar jika ada pandangan mistik tentang
kesamaan substansial semua agama, lalu seseorang tidak setia kepada
agamanya? Atau orang tersebut akan berpindah-pindah dalam ber-
ibadah? Hari ini ke gereja besok ke masjid, apakah seperti itu? Di

Dr. Media Zainul Bahri 255


sini Mukti Ali langsung melakukan generalisasi atas konsep sinkre-
tisme tanpa melihat lebih dalam dan luas maksud objektif dari
doktrin itu.
Meski demikian, gagasan agree in disagreement secara teologis
dan sosial cukup masuk akal untuk dapat diterima semua pihak.
Secara sederhana konsep itu ingin menunjukkan bahwa dalam
berinteraksi, para pemeluk agama yang berbeda-beda memiliki
pandangan-pandangan teologis mendasar yang tidak dapat disepa-
kati karena perbedaan konteks, penghayatan-pengalaman spiritual
dan pandangan dunia (world view) yang memang berbeda sejak
dari hulu hingga hilirnya.
Dalam hubungannya dengan ilmu PA, muncul pertanyaan:
dengan “kerukunan” sebagai—katakanlah tujuan praktis atau
“subjektif” dari ilmu PA—apakah ilmu ini masih bisa dikatakan
sebagai ilmu? Demi menjawab ini, Mukti Ali membuat satu artikel
menarik berjudul “Ilmu Perbandingan Agama dan Kerukunan
Hidup Antar Umat Beragama” untuk buku Memoar 70 Tahun T.B.
Simatupang (1990). Dalam artikel itu, Mukti Ali membuat dua ke-
lompok besar dalam studi PA yang berkembang di dunia saat itu.
Kelompok pertama, adalah para sarjana agama yang “paling senior”
seperti C.P. Tiele, Max Müller, J.G. Frazer dan Chantepie de la
Saussaye. Menurut Mukti Ali, mereka adalah “orang-orang liberal”
dalam arti mereka tidak terikat kepada otoritas tertentu dalam aga-
ma. Bagi mereka, satu-satunya otoritas agama adalah otoritas kebe-
naran yang ditemukan dalam penelitian yang bebas.159 Ilmu adalah
untuk ilmu. Pandangan mereka kelak diteruskan oleh sebagian be-
sar tokoh-tokoh IAHR dan para sarjana Eropa. Mereka tidak setuju
jika studi PA sebagai disiplin ilmu dimaksudkan (bertujuan) untuk
“meningkatkan kehidupan” atau demi membangun hubungan
yang harmonis antarpemeluk agama.
R.J. Zwi Werblowsky misalnya, yang menjadi Sekretaris Jen-
deral IAHR (pada 1959) mengkritik tajam buku Joachim Wach,
The Comparative Study of Religion (1958). Menurut Werblowsky,
buku itu secara serius mencampuradukkan antara Religionwissen-

256 Wajah Studi Agama-Agama


schaft (ilmu PA) dengan teologi. Buku itu sebenarnya secara umum
ditujukan kepada ahli-ahli teologi atau para pembaca yang simpati
terhadap aspek-aspek teologi. Dan Wach memang seorang teolog,
sedangkan ilmu PA tidak bisa kompromi dengan teologi. Karena
itu, buku itu bukan karya tentang PA, melainkan “teologi yang ber-
usaha ke arah pendekatan positif terhadap kajian PA.”160 Menurut
Mukti Ali, pandangan Werblowsky itu adalah aliran keilmuan yang
“murni” dan “objektif.” Seorang sarjana agama sesungguhnya
adalah—menurut Werblowsky—”harus meninggalkan agamanya
dari studinya, betapapun kuat motif dan dorongan keagamaan yang
membuat ia mengkaji agama.” Menurut Mukti Ali, tak diragukan
lagi sebagian besar sarjana agama di Barat dan tokoh IAHR sepen-
dapat dengan Werblowsky bahwa kecenderungan “agama pribadi”
yang dianut (seorang pengkaji agama) tidak boleh dilibatkan pada
kajian ilmiah agama.161 Sekali lagi, ilmu adalah untuk ilmu.
Kelompok kedua, adalah sebagian sarjana dari Barat dan seba-
gian besar sarjana dari Timur yang menyetujui bahwa Studi Agama
atau PA dapat memberi sumbangan yang sangat positif bagi
peningkatan kehidupan keagamaan dan hubungan yang harmonis
di antara pemeluk agama yang beragam. Mereka adalah Friedrich
Heiler, Sri Rama Krishna, Swami Vivekananda, Rudolf Otto, Sar-
vepalli Radhakrishnan, R.C. Zaehner dan lain-lain. Friedrich Heiler
misalnya, berpendapat bahwa salah satu manfaat dari studi agama
yang mendalam adalah ditemukannya hubungan yang erat di antara
agama-agama yang berbeda. Jika ditembus (menukik) lebih ke
dalam lagi, maka Heiler meyakini bahwa salah satu tugas terpenting
studi agama adalah menunjukkan adanya kesatuan esensial dari
semua bentuk agama. Karena itu bagi Heiler, satu-satunya alasan
pokok yang dapat dibenarkan ketika “melibatkan diri” dalam studi
agama adalah untuk mempererat hubungan di antara pemeluk aga-
ma yang beragam.162
Pandangan Heiler tentang Kesatuan Sumber dan tujuan agama-
agama dalam studi PA yang dapat memberi sumbangan besar bagi
kemanusiaan diamini oleh nama-nama besar di atas. Radhakrishnan

Dr. Media Zainul Bahri 257


misalnya, dalam hampir semua bukunya menyatakan dengan jelas
bahwa tugas dan tanggung jawab studi PA adalah untuk membantu
menyatukan umat manusia.163 Menurutnya, Studi Agama dapat
membawa harapan yang lebih baik, kepercayaan dan penghargaan
yang tumbuh di antara pemeluk agama.164 Hal yang sama disua-
rakan Zaehner. Menurutnya, studi PA memiliki tiga fungsi utama:
(1) meluaskan perhatian pada agama-agama dunia, (2) melakukan
interpretasi, membanding dan mempertentangkan sistem-sistem-
nya, dan (3) membawa semua itu dalam “pengertian harmoni dan
persahabatan” yang makin dekat di antara agama-agama besar.165
Di antara perdebatan dua kelompok besar di atas, Mukti Ali
menyatakan sikapnya bahwa selain pendekatan saintific-cum-dok-
triner, studi PA dapat digunakan untuk “memperoleh kerukunan
hidup antarumat beragama.” Berulang kali, Mukti Ali menyampai-
kan bahwa ilmu bukan sekadar untuk ilmu, ilmu adalah untuk
beribadah kepada Allah. Karena itulah, Mukti Ali menginginkan
dan mengarahkan bahwa studi PA harus bermanfaat membentuk
dunia yang aman dan damai berdasarkan etika dan moral, yang
jauh dari pertikaian, permusuhan, dan kebencian, dan itu adalah
bentuk ibadah kepada Tuhan.166
Gagasan Mukti Ali mengenai kerukunan kemudian lebih di-
perkuat oleh Menteri Agama sesudahnya, yaitu Alamsjah Ratu
Perwiranegara (yang menjabat pada 1978-1983).167 Untuk meman-
tapkan kerukunan akibat beberapa konflik serius baik intra mau-
pun antarpemeluk agama kala itu, Menteri Alamsjah membuat ke-
bijakan apa yang kemudian populer disebut sebagai Trilogi Keru-
kunan Umat Beragama, yaitu (1) kerukunan intern umat beragama,
(2) kerukunan antar-umat beragama, dan (3) kerukunan antara
umat beragama dengan pemerintah.168
Perhatian serius Mukti Ali mengenai pentingnya agama men-
dorong pembangunan, dialog antar-agama dan kerukunan antar-
umat beragama—sekali lagi menunjukkan fakta yang kuat bahwa
ilmu PA harus fungsional; harus memiliki kontribusi positif bagi
manusia dan kemanusiaan, dan para akademisi PA idealnya mampu

258 Wajah Studi Agama-Agama


terlibat penuh dengan persoalan sosial-keagamaan yang konkret.
Bagi Mukti Ali, ilmu PA jangan dibuat hanya “mengawang-awang”
di langit, tetapi harus “membumi” dalam bentuk-bentuk yang kon-
kret pada kehidupan nyata sosial-keagamaan. Inilah yang disebut
ilmu untuk ibadah, bukan sekadar ilmu untuk ilmu.

2. Pluralisme Agama
Pada masa 1990-an, seiring dengan isu dan diskursus Studi
Agama yang berkembang di Barat serta perkembangan kehidupan
sosial-keagamaan dalam negeri, muncul isu-isu penting, yang selain
hangat dibicarakan di dunia akademis dan masyarakat luas, juga
menjadi semacam “wajah baru” Studi Agama Indonesia. Isu-isu
aktual di masa itu pada gilirannya berperan menunjukkan arah
baru Studi Islam dan Studi Agama-Agama serta merangsang mun-
culnya tema-tema lain yang lebih luas serta metodologi yang me-
nyertainya. Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa diskursus me-
ngenai konsep pluralisme agama saat itu merupakan isu yang pal-
ing hangat dan menyedot perhatian luas publik keagamaan. Di
bawah ini, saya akan menyajikan empat tokoh Islam—secara singkat
saja— yang berhasil menggulirkan gagasan mengenai pluralisme
agama dan mendapat sambutan luas, terutama dalam jagat kajian
Studi Agama dan Studi Islam Indonesia. Mereka adalah Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Jalaluddin Rakh-
mat.

A. Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid atau biasa disapa Cak Nur adalah figur
utama yang membuat isu pluralisme agama ramai dibicarakan. Cak
Nur kemudian menjadi ikon yang sulit dipisahkan dengan isu itu,
meskipun pada masa-masa sebelumnya Mukti Ali juga sebenarnya
telah membicarakan tema itu secara terbatas, atau Ahmad Wahib
melalui catatan hariannya yang terkenal itu. Jika pada era 1970-an
Cak Nur populer karena gagasannya mengenai pembaruan pemi-
kiran Islam Indonesia dan isu soal Sekularisasi, maka di tahun 1990-
an ia kembali ramai menjadi pembicaraan publik karena tulisan-

Dr. Media Zainul Bahri 259


tulisan dan ceramahnya mengenai pentingnya memahami pluralis-
me agama dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Karena ketokohannya sebagai cendekiawan Muslim Indonesia
terkemuka dan bantuan media massa yang intens memublikasikan
gagasan-gagasannya, dan terutama sekali penerbitan Yayasan Para-
madina yang didukung oleh kelas menengah Muslim perkotaan,
memudahkan Cak Nur untuk “meledakkan” isu itu menjadi pem-
bicaraan ramai kaum terpelajar Indonesia.
Sebagai seorang sarjana yang dibesarkan dalam tradisi studi-
studi keIslaman (Islamic studies) Cak Nur banyak mengelaborasi
teologi Islam untuk tema-tema agama yang dibicarakannya, terma-
suk wacana pluralisme agama. Menurut Cak Nur ayat 148 surat al-
Baqarah adalah inti sari dari problem dan sekaligus solusi tentang
pluralitas dan pluralisme dalam pemahaman Islam.169 Dalam
pemahaman Cak Nur, pluralisme (bukan pluralitas! sic.) merupakan
aturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga
tidak mungkin dilawan atau diingkari.170 Kenyataan sosiologis me-
mang telah menunjukkan bahwa masyarakat terbagi ke dalam ber-
bagai macam kelompok dan komunitas yang masing-masing me-
miliki keyakinan, paham dan orientasi yang memberikan mereka
arah petunjuk.171 Jika dalam surat al-Hujurât ayat 13 Tuhan mene-
gaskan bahwa Dia mencipta manusia beraneka bangsa dan suku
supaya saling mengenal dan menghargai, maka menurut Cak Nur,
pluralitas itu kini meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem
nilai yang memandang kemajemukan secara positif-optimis dengan
menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin ber-
dasarkan kenyataan itu. Dalam cahaya al-Qur‘an, apa yang diharap-
kan adalah bahwa komunitas yang beragam itu saling berkompetisi
dalam hal kebaikan dengan cara yang dapat dibenarkan dan sehat
guna meraih yang terbaik bagi semua.172
Secara teologis, gagasan Cak Nur tentang pluralisme agama
memancar dari pandangannya yang mendalam seputar konsep Taw-
hid, Islam dan Kalimah Sawâ‘ (titik-temu) di antara agama-agama.
Menurut Cak Nur, paham Tawhid, yakni Ketuhanan Yang Maha

260 Wajah Studi Agama-Agama


Esa atau memahaesakan Tuhan, adalah ajaran pokok semua nabi
dan rasul. Konsekuensi terpenting Tawhid yang murni adalah sikap
pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu,
tanpa memberi ruang sedikit pun untuk berpasrah selain kepada-
Nya. Ini pulalah yang disebut al-islâm (kepasrahan) yang menjadi
inti sari semua agama yang benar.173 Cak Nur banyak mengelaborasi
pandangan Ibn Taymiyyah mengenai pengertian al-islâm ini dan
merujuk kepada pandangan-pandangan Muhammad Asad dan Ab-
dullah Yusuf Ali dalam hal tafsir al-Qur‘an tentang pengertian al-
islâm dan kontinuitas para nabi. Cak Nur sampai pada kesimpulan,
yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru, bahwa “agama
yang benar di sisi Allah adalah kepasrahan total atau sikap penuh
berserah diri (al-islâm).” Inilah pengertian yang sesungguhnya dari
surat Ali ‘Imran ayat 19, “Inna al-Dîn ‘Inda Allâh al-Islâm.”
Penegasan al-Qur‘an itu disertai dengan konsekuensi selanjutnya
bahwa siapa pun yang menganut agama selain al-Islâm atau yang
tidak disertai sikap penuh pasrah dan berserah diri kepada Allah
adalah suatu sikap yang tidak sejati, karena itu tertolak, meskipun
ia adalah seorang “Muslim formal” atau “beragama Islam” dalam
pengertian sosiologisnya.174 Cak Nur perlu berulang kali menggaris-
bawahi bahwa hanya sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allah
sebagai konsekuensi dari mengesakan Tuhan Yang Maha Esa itu,
tanpa sedikit pun mengasosiasikan atribut ketuhanan kepada apa
dan siapa pun selain-Nya, itulah satu-satunya sikap keagamaan yang
benar, dan selain sikap itu, dengan sendirinya tertolak.175
Karena itu, dengan merunut cara pandang Cak Nur, maka al-
islâm di sini pertama-tama harus dimaknai sebagai sebuah kualitas
sikap, yaitu sikap berpasrah sepenuhnya kepada Allah. Jadi, sebelum
Islam menjadi “proper name” atau “agama historis” Nabi Muham-
mad, al-islâm sebagai kualitas sikap pasrah itu sesungguhnya telah
menjadi ajaran pokok semua utusan Tuhan bersamaan dengan dok-
trin mengenai Tauhid. Dengan al-islâm dalam pengertian generik-
nya, maka sumbu titik-temu agama-agama yang dibawa oleh para
rasul menjadi terlihat terang. Cak Nur kembali mengutip Ibn Tay-

Dr. Media Zainul Bahri 261


miyyah yang menyatakan bahwa karena pokok agama, yakni al-
islâm, itu satu, meskipun syari’atnya bermacam-macam, maka Nabi
Muhammad menyatakan dalam sebuah hadis shahih, “Kami, go-
longan para nabi, agama kami adalah satu,” dan “Para nabi itu se-
muanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,” dan “Yang paling
berhak kepada Isa putra Maryam adalah aku.”176 Dengan hadis
Nabi ini, lalu ayat-ayat al-Qur`an yang akan dijelaskan serta pan-
dangan para ulama salaf dahulu, maka bagi Cak Nur menjadi jelas
adanya “hubungan substansial” para nabi atau “kontinuitas” paralel
di antara mereka. Dengan ajaran dasar mengenai al-islâm dan Tauhid
yang diturunkan kepada para rasul sebagai ajaran pokok yang benar
karena berasal dari Allah, maka terdapat konsep Kesatuan Kebe-
naran, yaitu adanya Kebenaran Universal untuk semua utusan Tu-
han dan umat manusia, karena ia datang dari Tuhan Yang Satu dan
Sama dan Maha Benar. Menurut Cak Nur, Kebenaran Universal
itu, dengan sendirinya, bersifat tunggal, meskipun ada kemung-
kinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam. Dengan kata lain,
Kebenaran Universal, atau dapat juga disebut sebagai “Agama Uni-
versal,” “Agama Yang Lurus” atau “Agama Yang Benar” itu tunggal
adanya karena berasal dari Tuhan Yang Tunggal, meskipun ketika
turun ke dunia historis, atau ke alam fenomena, menjadi bentuk/
wujud agama-agama dan keyakinan yang beragam (berbeda).
Bahkan menurut Cak Nur, secara antropologis, pada mulanya umat
manusia adalah tunggal karena berpegang pada kebenaran yang
tunggal. Namun, mereka kemudian berselisih satu sama lain karena
adanya kepentingan yang berbeda dan nafsu memenangkan suatu
persaingan, maka terjadilah perbedaan dan perpecahan sebagai
bagian dari hukum alam yang tak mungkin dihindari.177 Sejak saat
itu manusia menjadi beragam dan bermacam-macam, termasuk
keyakinan keagamaannya. Meski begitu, al-Qur`an telah merekam
mengenai Kesatuan asal umat manusia itu dan perpecahan mereka
hingga menyebabkan Tuhan mengutus banyak nabi dengan ajaran
historis yang berbeda-beda, namun Satu dalam esensinya.

262 Wajah Studi Agama-Agama


Dalam keyakinan Cak Nur, adanya persamaan atau “kesatuan
esensial” dari sumber agama yang berbeda-beda bukan sesuatu
yang mengejutkan, sebab semua yang benar berasal dari sumber
yang sama, yaitu Allah Yang Maha Benar (al-Haqq). Dan semua
nabi dan rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Perbedaan
yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk respons khusus (partiku-
lar) tugas seorang rasul sesuai dengan konteks ruang dan waktu di
mana ia berada. Karenanya, perbedaan (manifestasi, bentuk atau
syari’at agama-agama) tidak bersifat prinsipil, sedangkan ajaran po-
kok para nabi dan rasul adalah sama.178 Ketika membicarakan hu-
bungan substansial para nabi, Cak Nur membuat catatan-catatan
khusus mengenai komunitas para pemilik kitab suci atau Ahl al-
Kitâb. Menurut Cak Nur, konsep Islam mengenai Ahl al-Kitâb
merupakan doktrin yang unik yang tidak pernah ada sebelum Is-
lam. Dengan doktrin ini Islam memberi pengakuan tertentu kepada
para penganut lain yang memiliki kitab suci, namun bukan berarti
memandang semua agama adalah sama—suatu hal yang mustahil
karena banyak agama yang berbeda memiliki prinsip-prinsip ajaran
yang berbeda pula. Konsep mengenai Ahl al-Kitâb juga memiliki
dampak sosiokultur dan keagamaan yang luar biasa, sehingga da-
lam pandangan Cak Nur, Islam adalah agama yang pertama kali
memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan ber-
agama pada umat manusia, dan pada gilirannya, dalam sejarah per-
adaban Islam, kaum Muslim mengembangkan budaya kosmopoli-
tanisme yang didasarkan pada tata masyarakat yang terbuka dan
toleran.179
Pembicaraan tentang Ahl al-Kitâb biasanya dialamatkan kepada
kaum Yahudi dan Nasrani karena al-Qur‘an menyebut kedua ko-
munitas itu secara eksplisit sebagai Ahl al-Kitâb. Namun, bagi Cak
Nur karena orang Arab umumnya dan kaum Muslim perdana khu-
susnya hanya mengenal dua komunitas itu sebagai yang memiliki
kitab suci, maka hal itu menjadi alasan kontekstual atau asbab nuzûl
al-Qur‘an hanya menyebut dua komunitas itu. Dengan mengutip
para sarjana Islam yang dianggap Cak Nur memiliki otoritas, ke-

Dr. Media Zainul Bahri 263


luasan cakrawala dan kedalaman pemahaman Islam, Cak Nur ingin
melangkah lebih jauh tentang komunitas keagamaan lain yang juga
memiliki kitab suci selain Yahudi dan Kristen. Maka dengan meru-
juk kepada pandangan Abdullah Yusuf Ali melalui The Holy Qur‘an,
Translation and Commentary, Muhammad Rasyid Ridha melalui
Tafsîr al-Manâr, dan seorang ulama Nusantara, Abdul Hamid Hakim
melalui karyanya al-Mu’în al-Mubîn, Cak Nur mengajak kaum Mus-
lim untuk mempertimbangkan secara serius, untuk tidak menye-
butnya “mengajak menyetujui,” bahwa para pemeluk agama lain
seperti kaum Sabean, Majusi, Zoroaster, Hindu, Buddha, Kong-
hucu, Shinto Tao dan lain-lain yang memang memiliki kitab yang
disucikan oleh para pemeluknya, juga pantas disebut Ahl al-Kitâb.180
Dari uraian panjang Cak Nur tentang hal ini, kiranya ia memi-
liki tiga alasan pokok: pertama, terdapat ayat-ayat dalam al-Qur‘an
yang menegaskan bahwa “Tuhan telah mengutus seorang utusan
(rasul) kepada setiap umat (komunitas),” “Dan rasul-rasul itu ada
yang diceritakan (oleh al-Qur‘an) dan ada yang tidak,” juga ayat
lain yang menyatakan bahwa “Tuhan tidak pernah mengutus se-
orang rasul kecuali dalam bahasa kaumnya.” Nah, menurut Cak
Nur, apa yang disebut ummah adalah sekumpulan manusia. Karena-
nya, kalau di Jawa ada sekumpulan manusia, maka di situ ada nabi.
Begitu pula di tempat lain seperti China, India atau Persia misalnya,
Tuhan pasti mengutus seorang utusan untuk membawa kabar gem-
bira dan ajaran pokok lainnya. Namun, jangan harap utusan Tuhan
itu disebut “nabi” atau “rasul” pada bangsa-bangsa non-Semitik
karena dua kata itu berasal dari bahasa Arab dan Ibrani yang artinya
orang yang mendapat berita dan utusan. Juga apa yang dimaksud
dengan “bahasa kaumnya” adalah bahasa dan simbol-simbol yang
dikenal oleh komunitas tempat utusan Tuhan itu berada; bahasa
kultural, the mode of thinking, dan termasuk pula kosmologi.181
Kedua, Dengan kembali mengutip pandangan Rasyid Ridha
Cak Nur berargumen bahwa al-Qur‘an hanya menyebut kaum Ya-
hudi, Nasrani, Sabean dan Majusi disebabkan komunitas inilah yang
pertama-tama dikenal oleh bangsa Arab dan letak geografis mereka

264 Wajah Studi Agama-Agama


juga berdekatan dengan bangsa Arab. Orang-orang Arab pada masa
itu belum pernah melakukan perjalanan ke negeri India, Jepang
atau China sehingga mereka tidak mengetahui komunitas keaga-
maan lain. Menurut Ridha seperti dirujuk Cak Nur, al-Qur‘an telah
berhasil mencapai maksudnya dengan cara menyebut agama-aga-
ma yang dikenal oleh bangsa Arab tanpa perlu membuat kete-
rangan yang asing (ighrâb) tentang golongan lain yang tidak dikenal
bangsa Arab.182
Ketiga, dengan merujuk kepada pandangan Abdul Hamîd
Hakîm, Cak Nur setuju bahwa agama-agama Hindu, Buddha, China
dan Jepang termasuk Ahl al-Kitâb adalah karena ajaran asli/dasar
mereka adalah Tauhid.183 Seperti telah disebut di muka bahwa pada
setiap komunitas Tuhan menurunkan seorang rasul yang mem-
bawa ajaran pokok berupa Tawhid: mengenal Tuhan Yang Maha
Esa dan Maha Pencipta segala sesuatu. Karena ajaran dasar mereka
adalah Tawhid, maka Ahl al-Kitâb tidak termasuk ke dalam go-
longan kaum musyrik. Dalam hal ini Cak Nur lalu merujuk kepada
pendapat Ibn Taymiyyah. Menurut Ibn Taymiyyah seperti dikutip
Cak Nur, asal-usul agama Ahl al-Kitâb adalah mengikuti kitab-kitab
yang diturunkan dari Allah yang membawa ajaran Tawhid, bukan
ajaran syirik. Kitab suci mereka juga tidak mengandung syirik. Jika
Allah menyifati mereka dengan syirik seperti tercantum dalam surat
al-Taubah: 31 misalnya, karena mereka memang melakukan syirik
dan bid’ah, itu adalah penyimpangan dan tidak berarti ajaran asli/
dasar mereka berkurang keasliannya karena perbuatan syirik mere-
ka. Hal itu sama dengan ajaran Islam dan kitab suci al-Qur‘an yang
mengajarkan doktrin Tauhid dan memerangi pandangan serta sikap
syirik. Namun, dalam praktiknya tidak sedikit kaum Muslim yang
menciptakan banyak bid’ah dan melakukan perbuatan syirik.184
Karena ajaran pokok para utusan Tuhan yang turun pada semua
bangsa di dunia ini—dalam beragam bahasa, kultur dan manifes-
tasinya—maka kata Cak Nur, semua agama, baik karena dinamika
internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain,
akan secara bertahap menemukan kebenaran asalnya sendiri, se-

Dr. Media Zainul Bahri 265


hingga semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik-pertemuan,”
“common platform” atau dalam istilah al-Qur`an “kalimah sawâ`”
sebagaimana perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk
mengajak kaum Ahl al-Kitâb kepada kalimah sawâ` itu, yakni
konsep dan sikap ber-Tawhid dan tidak menyekutukan-Nya dengan
siapa dan apa pun jua.185
Dengan mengakui Ahl al-Kitâb sebagai komunitas yang meng-
anut paham Tawhid dengan ajaran dasar yang ber-Tawhid juga,
maka kini Cak Nur melangkah kepada persoalan keselamatan di
akhirat, suatu persoalan klasik yang telah dan akan terus menjadi
perdebatan sengit di kalangan ulama dan sarjana Muslim, apakah
non-Muslim (bukan umat Nabi Muhammad) akan selamat di akhi-
rat serta mendapat rahmat-Nya? Sebagaimana sarjana Muslim plu-
ralis (atau inklusif) lainnya, Cak Nur juga mengetengahkan surat
al-Baqarah ayat 62 yang menyatakan bahwa orang-orang yang
beriman (pengikut Nabi Muhammad), kaum Yahudi, kaum Nas-
rani, kaum Sabean, siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terha-
dap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Menurut Cak
Nur, perbedaan pandangan di kalangan ahli tafsir mengenai ayat
ini sulit didamaikan karena dalam pandangan para ahli tafsir tradi-
sional siapa pun yang ingkar terhadap Nabi Muhammad adalah “ka-
fir” dan orang kafir “tidak akan masuk surga.” Karena itu, beberapa
mufassir tradisional akan menafsirkan ayat itu dengan pendapat
bahwa yang dimaksud kaum Yahudi, Nasrani, Sabean, dan Majusi
adalah mereka para penganut agama tersebut sebelum Islam datang.
Atau, komunitas keagamaan itu adalah mereka yang kemudian
masuk Islam setelah datangnya Nabi Muhammad. Karenanya, yang
dimaksud dengan beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat
kebajikan adalah menurut ajaran agama Islam versi Nabi Muham-
mad. 186
Namun, Cak Nur kelihatannya lebih mendukung pandangan
tafsir Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad yang menyatakan

266 Wajah Studi Agama-Agama


bahwa firman Allah itu sebuah ketegasan bahwa siapa pun dapat
memperoleh keselamatan (salvation) asalkan ia beriman kepada
Allah, hari akhir dan berbuat baik, tanpa memandang apakah ia
keturunan Nabi Ibrahim seperti kaum Yahudi (dan kaum Quraisy
di Mekkah) atau bukan. Ini sejalan dengan penegasan Tuhan kepa-
da Nabi Ibrahim sendiri, ketika nabi itu dinyatakan akan diangkat
oleh Allah untuk menjadi pemimpin umat manusia, dan ketika
Ibrahim bertanya, dengan nada memohon, “Bagaimana dengan ke-
turunanku (anak-cucuku) (apakah mereka juga akan diangkat men-
jadi pemimpin umat manusia)? Maka Allah menjawab, “Perjanjian-
Ku ini tidak berlaku bagi mereka yang zalim.”187 Jadi, menurut Cak
Nur, keselamatan tidak didapat oleh manusia karena faktor ketu-
runan, tetapi oleh siapa saja berdasarkan iman kepada Allah, hari
akhirat, dan prestasi yang saleh, suatu prinsip yang banyak sekali
mendapat tekanan dalam kitab suci.188
Seluruh pandangan teologis Cak Nur di atas; dari konsep Taw-
hid, Islam, Ahl al-Kitâb hingga keselamatan kaum beriman dalam
tradisi agama apa pun sesungguhnya menggambarkan pandangan
utuh dan holistik Cak Nur mengenai apa yang disebut dengan
“pluralisme agama” bukan sekadar “pluralitas agama.” Menurut
Cak Nur, berdasarkan prinsip-prinsip teologis di atas, umat Islam
melalui para pemimpin dan ulamanya sejatinya telah lama me-
ngembangkan pluralisme agama. Khusus mengenai konsep Ahl
al-Kitâb, menurut Cak Nur, maka pluralisme agama dalam Islam
bukan semata pengakuan terhadap kaum Yahudi dan Kristen beser-
ta berbagai aliran dan sektenya yang secara eksplisit memang dise-
but oleh al-Qur`an sebagai Ahl al-Kitâb, namun juga mencakup
agama-agama lain seperti Majusi atau Zoroastrian, agama-agama
di India seperti Hindu dan Buddha, dan agama-agama di China
dan Jepang.189
Apa yang dimaksud Cak Nur dengan pengertian pluralisme
agama? Dalam sebuah tulisan Cak Nur menjelaskan pandangan
para ahli teologi mengenai sikap-sikap beragama, yaitu pertama,
sikap eksklusif dalam melihat agama lain (Agama-agama lain adalah

Dr. Media Zainul Bahri 267


jalan yang salah, yang menyesatkan bagi para pengikutnya). Kedua,
sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama
kita), dan ketiga, pluralis, yang bisa diekspresikan dalam macam-
macam rumusan, misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yang
sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama,” atau “Aga-
ma-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenar-
an-kebenaran yang sama-sama sah.” Nah, menurut Cak Nur,
sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat
inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin plu-
ralis.190 Jadi, bagi Cak Nur, prinsip-prinsip Islam yang ia pahami
minimal membawa semangat inklusivisme, dan jika ditelusuri lebih
dalam hingga ke jantungnya (hakikat) maka ajaran-ajaran pokok
Islam sejatinya sesuai dengan semangat doktrin pluralisme agama,
yaitu pengakuan bahwa agama-agama non-Islam adalah jalan-jalan
yang sejajar dan sama-sama absah dalam mencapai Tujuan Akhir
yang Sama, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Cak Nur lalu merujuk ke-
pada filsafat perenial, yang juga diapresiasi oleh sarjana-sarjana
Muslim terkemuka seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon dan Sey-
yed Hossein Nasr, yang salah satu doktrin pokoknya adalah bahwa
setiap agama merupakan ekspresi keimanan (dalam bentuk yang
beragam) terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu
adalah Tuhan, dan jari-jarinya adalah beragam jalan dari berbagai
agama. Filsafat perenial, lanjut Cak Nur, juga membagi agama pada
level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda
dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam
level esoteriknya. Karenanya, ada istilah “Satu Tuhan Banyak Ja-
lan.”191
Meski demikian, harus pula disadari bahwa Cak Nur menegas-
kan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang
terakhir. Cak Nur—dalam banyak kesempatan—sering menyatakan
tentang hal ini, bahkan ia membuat satu tulisan khusus mengenai
hal ini.192 Di sini kita melihat Cak Nur sebagai “Muslim formal”
yang sulit untuk tidak bersikap taat terhadap ajaran normatif Is-
lam. Menurut Cak Nur, ajaran bahwa Nabi Muhammad adalah

268 Wajah Studi Agama-Agama


hasa Latin (Katolik) dan satunya dengan bahasa Arab (Islam). Ter-
hadap agama-agama lain yang berbeda, Gus Dur memandang bah-
wa dengan cara melihat persamaan-persamaan esensial diantara
agama-agama, maka yang muncul adalah unsur yang dapat mem-
persatukan ketimbang memisahkan dan sikap saling menghargai
satu sama lain.223
Bagi Gus Dur, secara esensial semua agama adalah sama karena
diwahyukan dari Tuhan Yang Sama. Pandangan Gus Dur ini sama
dengan doktrin dalam filsafat perenial bahwa Satu Esensi yang sama
itu memanifestasi dalam banyak atribut, bentuk atau identitas kul-
tural yang bermacam-macam. Perbedaan-perbedaan bentuk atau
manifestasi agama yang disebabkan oleh keragaman budaya menu-
rut Gus Dur, sejatinya harus membuat orang saling mengenal dan
menyayangi demi menegakkan moralitas, solidaritas dan kasih sa-
yang di antara sesama.224 Pandangan esoterik keagamaan Gus Dur
itu membawanya kepada penafsiran-penafsiran Islam yang pluralis
dan liberal; liberal dalam arti lebih menekankan konteks ajaran
agama dibanding terpaku pada yang tekstual. Tentang persoalan
siapakah yang disebut orang kafir? Bagi Gus Dur, non-Muslim
bukanlah orang kafir. Non-Muslim yang memiliki agama tidak bisa
disebut kafir. Dalam penafsiran Gus Dur, kelompok yang disebut
kafir dalam al-Qur‘an adalah orang-orang yang menolak eksistensi
Tuhan, nikmat Tuhan, dan kaum kafir Mekkah yang memerangi
Nabi Muhammad dan sahabatnya. Jadi, harus dilihat konteksnya.225
Dalam soal merayakan Natal misalnya. Ketika Gus Dur ditanya
tentang orang-orang Islam yang ikut merayakan atau berpartisipasi
dalam kegiatan Natal tetangga mereka yang Kristen karena adanya
pandangan bahwa Nabi Isa memiliki tempat yang istimewa dalam
ajaran Islam, Gus Dur menjawab, “ Jika kita mengikuti ajaran agama
kita secara penuh, maka kita (kaum Muslim) juga boleh merayakan
Natal sebagaimana kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad.”226
Dalam sebuah tulisan berjudul Harlah, Natal dan Maulid, Gus
Dur kembali menegaskan bahwa Natal memang diakui oleh kitab
suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran Nabi Isa,

280 Wajah Studi Agama-Agama


yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa hari kelahiran
itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam
bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal
yang tidak perlu dipersoalkan. Bagi Gus Dur, jika ia merayakan
Natal adalah penghormatan untuk Nabi Isa dalam pengertian yang
ia yakini, sebagai Nabi Allah. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum
Muslim untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang
sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau ti-
dak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Gus Dur
sendiri menghormatinya, bahkan ia senang jika ikut merayakannya
bersama-sama dengan kaum Kristiani. Bagi Gus Dur, “Penghargaan
kepada kaum non-Muslim oleh kaum Muslim, tidak berarti me-
nunjukkan kita telah meninggalkan akidah kita sendiri, melainkan
justru menunjukkan kedewasaan pandangan kita di mata mere-
ka.”227 Di Mesir misalnya, menurut Gus Dur, Mufti kaum Muslim
-yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat
Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen
Koptik di Mesir). Begitu pula sebaliknya, Paus itu memberi ucapan
selamat pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi Gus Dur, Na-
tal dan Maulid Nabi Muhammad, awalnya adalah sebuah acara
keagamaan, namun lama-kelamaan berubah menjadi sebuah “bu-
daya” atau “dibudayakan” oleh masyarakat setempat.228
Terhadap kontroversi keberadaan Konghucu di Indonesia, apa-
kah ia sebuah agama atau hanya sekadar filsafat hidup? Gus Dur
membuat uraian kesejarahan. Menurutnya, Paham Konghucu (Konfu-
sionisme) adalah sebuah kenyataan sejarah yang dibawa ke Indo-
nesia oleh bangsa Tionghoa dari tanah air mereka, sejak berabad-
abad yang lalu. Orang-orang keturunan Tionghoa didatangkan oleh
pemerintahan kolonial Belanda ke Nusantara untuk menggali tam-
bang, membuka tanah-tanah pertanian dan mengolah hutan.
Mereka datang ke sini dalam gelombang kedua, karena dibutuhkan
untuk mengolah daerah-daerah kosong yang masih merupakan
tanah-tanah perawan (virgin lands). Sementara itu, pada abad ke-
15, seorang Menteri Peperangan Tiongkok yang menjadi wali raja

Dr. Media Zainul Bahri 281


yang masih kecil, dan seorang pengikut Konghucu yang fun-
damentalis, merasa takut jika orang-orang Tionghoa di perantauan
akan kembali ke daratan China dan membeli tanah-tanah –yang
terbatas jumlahnya itu, dari harta yang diperoleh dari perantauan.
Karena itu, ia memerintahkan ditariknya kapal-kapal laut Tiongkok
dari perantauan, lalu di akar di pantai Hainan. Dengan peristiwa
ini, maka terputuslah orang-orang China perantauan dengan lelu-
hurnya. Di Indonesia sendiri, saat ini banyak orang asli Indonesia
yang beragama Islam sesungguhnya adalah keturunan Tionghoa,
namun telah bercampur dengan darah Arab dan lain-lain. Menurut
Gus Dur, sebagian orang Tionghoa yang dulu datang ke Nusantara
memandang Konfusionisme sebagai agama termasuk budaya-
budaya yang mereka warisi dari leluhur. Sedangkan sebagian orang,
termasuk paham Komunis di Tiongkok tidak bisa menerima paham
ini sebagai agama, melainkan hanya sebagai filsafat hidup. Menurut
Gus Dur, jika ia ditanya pendapatnya soal ini, maka menurutnya,
persoalan agama harus diserahkan kepada para pemeluknya, bukan
kepada pemerintah. Jika orang-orang Konghucu menganggap
Konfusionisme sebagai agama, maka hal itu harus dihormati dan
diterima oleh pemerintah. Jika ada pejabat yang tidak menghargai
kenyataan ini, maka ia telah menentang UUD 1945.229
Pandangan Gus Dur bahwa persoalan agama harus diserahkan
kepada para pemeluknya adalah pandangan Studi Perbandingan
Agama modern yang mengarah kepada sikap-sikap yang humanis
dan pluralis. Memang, seharusnya yang berhak menentukan vali-
ditas suatu keyakinan adalah para pemeluknya, bukan orang luar
dan bukan negara. Karena hanya pemeluknya yang memiliki pe-
ngalaman dan penghayatan penuh atas keyakinannya itu.
Pandangan-pandangan keagamaan Gus Dur yang humanis dan
pluralis itu, menurut Husein Muhammad, seorang tokoh NU dari
Cirebon dan pendukung pluralisme, adalah gagasan yang juga di-
usung oleh para sufi besar. Para sufi agung seperti Ibn ‘Arabî, Rûmî,
al-Ghazâlî, dan Ibn ‘Athâillah, kata Husein, adalah mereka yang
sering menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan univer-

282 Wajah Studi Agama-Agama


sal. Mereka tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa tidak ada
apa pun di alam semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu, yang ke ha-
dapan-Nya seluruh yang ada tunduk dan berserah. Seluruh yang
ada, sejak ia ada sampai keberadaannya dicabut, selalu dan akan
terus menerus mencari Dia melalui jalan dan bahasa yang berbeda-
beda, seperti sebuah syair sufistik yang indah:

Bahasa kita begitu beragam


tetapi Engkaulah Satu-satunya yang Indah
Dan kita masing-masing menuju
kepada Keindahan Yang Satu itu.230

Kedua, gagasan pluralisme Gus Dur juga berakar pada pan-


dangan politiknya, dalam arti politik kebangsaan. Sejak awal Gus
Dur meyakini bahwa Pancasila merupakan ideologi terbaik bagi
bangsa Indonesia, dan bukan ideologi negara Islam. Gus Dur adalah
salah satu tokoh muda NU pada 1980 yang berperan aktif men-
dorong NU untuk menerima asas tunggal Pancasila. Dalam negara
Pancasila, semua pemeluk agama memiliki hak dan kewajiban yang
sama di depan hukum. Tidak ada agama yang dinomorduakan,
juga tidak ada yang dinomorsatukan. Pancasila memang tidak bisa
dibandingkan dengan agama. Pancasila, yang berfungsi sebagai
ideologi dasar negara dan konstitusi dapat mengakomodasi aspirasi
berbagai agama dan menempatkannya secara fungsional. Dalam
pengertian inilah menurut Gus Dur, Pancasila dipahami sebagai
aturan main yang mengatur semua agama dan keyakinan dalam
kehidupan sosialnya.
Sebagai seorang nasionalis, Gus Dur memandang bahwa me-
letakkan Pancasila sebagai dasar negara oleh para pendiri bangsa
ini sudah sangat tepat. Gus Dur sering merujuk kepada Muktamar
NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), yang memutuskan
bahwa Negara Hindia Belanda yang diperintah oleh kolonial
Belanda (non-Muslim) wajib hukumnya dipertahankan secara
agama dengan dua alasan: pertama, karena kaum Muslim merdeka

Dr. Media Zainul Bahri 283


dan bebas menjalankan ajaran Islam, dan kedua, karena dulu di
kawasan tersebut (Nusantara) telah ada Kerajaan Islam.231 Fleksibi-
litas tokoh-tokoh NU dan tokoh Islam lainnya kemudian ditunjuk-
kan pula melalui penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar
dan konstitusi negara, sambil menolak Piagam Jakarta. Namun
demikian, menurut Gus Dur, hubungan antara Islam dengan Pan-
casila belum benar-benar dapat selesai dengan tuntas, mengingat
kemungkinan munculnya friksi antara kepentingan kaum Mus-
lim dengan kepentingan negara. Friksi itu niscaya muncul karena
adanya perbedaan watak di antara keduanya. Islam, sebagai agama,
memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan individu dan
kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Republik In-
donesia tidak akan mungkin memberlakukan nilai-nilai normatif
yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari
agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain,
tidak semua nilai normatif yang dimiliki Islam dapat diberlakukan
dalam kehidupan bernegara di Indonesia.232
Meski demikian, penerimaan ideologi Pancasila oleh kaum
Muslim telah didudukkan secara tepat, yaitu sebagai landasan kon-
stitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan
Islam menjadi akidah dalam kehidupan kaum Muslim. Antara ideo-
logi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan dengan
agama, tidak mencari penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai
agama.233 Bagi Gus Dur, esensi Pancasila adalah menjaga pluralisme.
Gus Dur merujuk kepada pidato Bung Karno bahwa kebhinekaan-
lah yang menjadi alasan berdirinya bangsa ini. Kebhinekaan atau
pluralitas budaya bangsa ini, selain menjadi pengikat dalam mem-
bentuk sebuah bangsa juga merupakan kekayaan yang menghim-
pun untuk menjadi sebuah wadah yang disebut Negara Kesatuan
Republik Indonesia.234 Dengan Pancasila dan kebhinekaan itu, maka
semua pemeluk agama memiliki kemerdekaan untuk berkeyakinan
dan bebas mengekspresikan keyakinannya tersebut. Karena itulah
bagi Gus Dur, mengekang kebebasan beragama dengan alasan apa
pun, termasuk oleh negara, adalah tindakan kriminal yang harus

284 Wajah Studi Agama-Agama


dilawan.235 Menurut Gus Dur, kesadaran pluralisme hanya akan
muncul jika negara tidak melakukan “formalisasi” ajaran agama.
Dalam pemahaman teologis Gus Dur, karena al-Qur`an sendiri men-
jamin kebebasan beragama dan tidak ada pemaksaan dalam berke-
yakinan, maka negara tidak boleh menentukan satu agama tertentu
lebih unggul dibanding agama lain. 236 Namun, dalam konteks
masyarakat Indonesia yang agamis, Gus Dur juga tidak setuju jika
Pancasila diberi arti sebagai ideologi sekuler, dalam arti memisahkan
agama dari negara seperti pandangan Ali Abdurraziq, seorang
pemikir liberal dari Mesir. Agama, dalam hal ini Islam, menurut
Gus Dur, dalam negara Pancasila memiliki dua fungsi: pertama,
sebagai sumber etika sosial, dan kedua, unsur-unsur Islam se-
sungguhnya dapat berpenetrasi menjadi hukum positif melalui
konsensus, misalnya lahirnya undang-undang tentang Perkawinan
(1974) dan undang-undang Peradilan Agama (1989)237 sebagai pro-
duk yang “Islami.”
Dalam konteks Pancasila, kebhinekaan, dan kebebasan ber-
agama inilah Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela ke-
lompok-kelompok minoritas keagamaan yang dihambat kebebasan
beragamanya oleh kelompok mayoritas. Gus Dur membela kebe-
basan beragama itu sembari mengkritik pandangan dan sikap kaum
Muslim, terutama tokoh-tokohnya, seperti Majelis Ulama Indone-
sia (MUI) misalnya, yang bersikap arogan dalam kehidupan
bernegara yang majemuk ini. Dalam hal ini kita bisa melihat pem-
belaan Gus Dur terhadap pluralisme yang diharamkan oleh MUI
dan Ahmadiyah. Menurut Gus Dur, batasan dan hubungan antara
kebenaran sebuah keyakinan dengan pergaulan antara sesama peng-
anut agama dalam konteks negara Republik Indonesia tidak bisa
hanya melihat dari kerangka keyakinan keagamaan saja. Banyak
kaum Muslim misalnya, yang melihat dan memperlakukan peng-
anut agama lain hanya dengan kerangka akidah Islam saja. Dengan
ukuran ini, seorang Muslim menjadi sangat arogan dan puas ketika
‘mengalahkan’ agama lain. Arogansi seperti inilah yang menjadikan
kaum Muslim yang “sempit pandangan” itu berstandar ganda da-

Dr. Media Zainul Bahri 285


lam bernegara. Di satu pihak, mereka memerlukan negara untuk
tetap hidup. Di pihak lain, mereka tidak peduli terhadap eksistensi/
wujud negara ini. Padahal, salah satu cara untuk mempertahan-
kannya adalah memahami watak kemajemukan hidup beragama
di negeri ini, yaitu dengan bersikap toleransi (tenggang rasa) antara
sesama penganut agama. Dalam pengertian inilah, Gus Dur me-
mandang bahwa MUI yang mengeluarkan fatwa haram atas plu-
ralisme memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan
toleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama
yang serba majemuk di negeri ini. Itulah sebabnya, mengapa para
pendiri Republik Indonesia berkeras mengatakan bahwa negara
ini bukanlah sebuah negara agama. Lalu apakah para pemimpin
Islam waktu itu seperti: Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Kahar
Muzakir dari Muhammadiyah, Abikusno Tjokrosuyoso dari Serikat
Islam, Achmad Subarjo dari Masyumi, AR. Baswedan dari Partai
Arab Indonesia, K.H. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama dan H.
Agus Salim, adalah tokoh-tokoh gadungan yang tidak mewakili
golongan Islam?238
Menurut Gus Dur, mereka adalah tokoh-tokoh Muslim pendiri
Indonesia yang berpandangan luas mengenai hubungan timbal ba-
lik dengan para pengikut dan pimpinan agama-agama lain. Selama
lebih dari empat dasawarsa, umat beragama hidup dalam tradisi
saling menghormati. Secara retoris, Gus Dur bertanya: “Mengapa
kita harus menerima ‘pandangan kaku’ seperti itu, yang dimulai
oleh segelintir orang yang ‘menggunakan’ MUI secara tidak wajar?
Bukankah itu adalah sikap tergesa-gesa dari mereka yang meng-
anggap diri sendiri sebagai pihak yang paling berhak menafsirkan
‘kebenaran’ ajaran Islam?”239 Ketika Mr. AA Maramis mengajukan
keberataan atas Piagam Jakarta, karena akan mengakibatkan dua
kelas warga negara di Indonesia (Muslim sebagai kelas pertama dan
Non Muslim kelas kedua), maka kata Gus Dur, para pendiri negara
ini setuju seluruhnya untuk mengeluarkan piagam tersebut dari
pembukaan UUD 45. Berarti negeri ini bukan lagi negara agama,
atau tepatnya negara Islam, dan dengan demikian penafsiran Mah-

286 Wajah Studi Agama-Agama


kamah Agung atas UUD 45 menjadi satu-satunya penafsiran legal
atas hukum di negeri ini.240
Pemikiran Wahid yang sangat penting dalam soal Islam, negara
dan pluralisme adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologi-
sasi, dan syariatisasi Islam.241 Bagi Wahid, kejayaan Islam justru
terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara
kultural.242 Dengan kata lain, Wahid lebih memberikan apresiasi
kepada upaya kulturalisasi (culturalization). Karena itu, ayat yang
berbunyi “udkhulû fi al-silmi kâffah” dan al-silmi ditafsirkan oleh
kaum Islam formalis dengan kata “Islami,” tetapi Wahid menafsir-
kan kata itu dengan “perdamaian.” Menurut Wahid, konsekuensi
dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang ter-
biasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk
mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan meng-
abaikan pluralitas masyarakat. Orang lain yang tidak sepaham de-
ngan mereka yang “Islami” itu akan dianggap kurang atau tidak
Islami. “Sistem Islami” secara otomatis juga akan menempatkan
warga non-Muslim di bawah kedudukan kaum Muslim, atau de-
ngan kata lain, non-Muslim akan menjadi warga negara kelas dua.243
Ini yang ditolak secara tegas oleh Wahid.
Ideologisasi Islam juga ditolak Wahid karena tidak sesuai de-
ngan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “ne-
gerinya kaum Muslim moderat.” Islam di Indonesia, bagi Wahid,
muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis.244
Di sisi lain, Wahid melihat bahwa ideologisasi Islam mudah men-
dorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada
penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Im-
plikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya se-
jumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif
terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk mem-
perjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah-langkah
sejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan per-
aturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam.” Menurut Wahid, usaha-
usaha untuk “meng-Islam-kan” dasar negara dan “men-syariatkan”

Dr. Media Zainul Bahri 287


peraturan-peraturan daerah bukan saja ahistoris, melainkan juga
bertentangan dengan UUD 1945.245
Penolakan Wahid terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari-
atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang
negara Islam. Seperti sering dinyatakannya, Wahid secara tegas me-
nolak gagasan negara Islam.246 Sikapnya ini didasari oleh pandangan
bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep
yang baku tentang negara.247 Wahid mengklaim, sepanjang hidup-
nya ia telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara
Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga
saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tidak memiliki
konsep yang jelas tentang bagaimana negara dibuat dan diperta-
hankan.” 248
Atas larangan terhadap Ahmadiyah, Gus Dur juga menyesalkan
pelarangan dan fatwa MUI tentang kesesatannya. Menurut Gus
Dur, MUI lagi-lagi menunjukkan sikap arogan dan tidak bertang-
gung jawab. Maka Gus Dur, bersama-sama dengan tokoh Islam lain
seperti Azyumardi Azra, Ahmad Syafi’i Ma’arif (yang disegani orang
karena sikapnya yang hati-hati), M. Syafi’i Anwar, dan Dawam
Rahardjo menolak fatwa MUI itu. Menurut Gus Dur, dirinya dan
tokoh-tokoh itu memahami benar bahwa Gerakan Ahmadiyah Indo-
nesia (GAI) dilindungi oleh konstitusi kita, betapa pun kita berbeda
pendirian dengan mereka. Sementara argumentasi orang-orang
yang tergabung dalam usaha pelarangan atau yang mendukung
argumentasi untuk melarang GAI itu, adalah bahwa Saudi Arabia
melarangnya. Namun, kata Gus Dur, mereka melupakan satu hal
fundamental, yaitu Saudi Arabia adalah sebuah negara Islam, se-
dangkan Republik ini bukan negara agama. Negeri ini, dengan Pan-
casila dan sifat nasionalitasnya, dapat menerima perbedaan apa pun
dalam paham kenegaraan (kecuali komunisme dalam pandangan
sejumlah orang). Menurut Gus Dur, jika GAI dilarang, karena berbe-
da dari pendapat doktriner sebagian besar kaum Muslim di negeri
ini, maka konsekuensinya adalah harus melarang juga pandangan-
pandangan kaum Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan lain-lain.

288 Wajah Studi Agama-Agama


Lagi-lagi Gus Dur bertanya secara retoris: bukankah keyakinan me-
reka juga tidak sama dengan keyakinan teologis mayoritas kaum
Muslim? 249
Menurut Gus Dur, menguatnya fundamentalisme Islam akhir-
akhir ini, telah memunculkan kelompok Islam yang arogan yang
keinginannya hanya menunjukkan kelebihan Islam atas agama-
agama lain. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki penge-
tahuan agama yang mendalam. Kesenangan mereka adalah bersi-
kap curiga secara berlebihan dan menonjolkan perbedaan-perbe-
daan yang ada ketimbang mencari titik-temu antara Islam dengan
agama-agama lain. Keadaan ini sesungguhnya dapat memecah be-
lah kaum Muslim sendiri. Karena itu, Gus Dur menawarkan bebe-
rapa pandangan penting: (1) kaum Muslim mesti meresapi kembali
pandangan teologis dari al-Qur‘an bahwa manusia diciptakan ber-
beda-beda untuk saling mengenal (al-Hujurat: 13) dan satu ayat yang
memerintahkan kaum Muslim untuk bersatu, berpegang teguh
kepada tali Allah dan tidak terpecah belah, (2) kaum Muslim harus
sadar dan bersikap realistis bahwa mereka tidak hidup sendirian di
sini, melainkan ditakdirkan oleh Allah untuk hidup bersama-sama
dengan para penganut agama lain. Bahkan mereka saat ini harus hidup
dengan mereka yang tidak ber-Tuhan (Ateis), atau mereka yang me-
miliki kerangka etis lain.250 Kaum Muslim hidup bersama dengan
orang-orang lain dalam satu ikatan kebangsaan. Segala perbedaan
seharusnya mendorong munculnya sikap yang arif bijaksana, bu-
kan sikap yang membuat hubungan yang ada menjadi semakin
memburuk, seperti pendapat MUI yang menimbulkan reaksi yang
begitu keras. Dengan berbagai kesadaran ini, Gus Dur berharap
bahwa Islam akan menjadi agama yang besar bersamaan dengan
kedewasaan sikap dan keluasan pandangan kaum Muslim sen-
diri.251
Jelas kiranya bahwa pandangan-pandangan Gus Dur tentang
pluralisme, humanisme, toleransi dan dialog antaragama seperti
yang akan kita lihat, seluruhnya berakar pada warisan sejarah per-
adaban Islam, pandangan teologis Islam, Pancasila dan kenyataan

Dr. Media Zainul Bahri 289


keragaman kultur masyarakat Indonesia. Sebagai agamawan yang
memiliki pandangan luas mengenai kebudayaan, Gus Dur meng-
gagas apa yang disebut sebagai “Pribumisasi Islam.” Pribumisasi
Islam pantas pula kita letakkan sebagai salah satu unsur paham
pluralisme pada diri Gus Dur. Tesis Pribumisasi bagi Gus Dur ber-
mula dari sebuah kenyataan bahwa Islam mengalami perubahan-
perubahan besar dalam sejarahnya. Dalam bidang teologi, fikih,
politik dan unsur-unsur Islam lainnya, Islam selalu mengalami per-
gumulan dan dialektika dengan budaya-budaya di seluruh dunia
tempat Islam datang dan disambut. Ruh Islam tetap pada esensinya,
namun bentuk-bentuk luarnya tidak harus selalu di “Arabkan,”
karena tidak adanya keharusan (kewajiban) hukum agama untuk
diseragamkan. Dalam konteks Islam Indonesia, Gus Dur bertanya:
mengapa harus menggunakan kata ‘shalat,’ kalau kata ‘sembahyang’
juga tidak kalah benarnya? Mengapa harus ‘dimushalakan,’ padahal
dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang
baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad.’ Dulu tuan guru atau kiai
sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah
ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung
kehadirannya di Nusantara ini?252
Menurut Gus Dur, yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi atau
ekspresi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti ke-
imanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan adanya ‘al-
Qur’an Batak’ atau ‘Hadis Jawa.’ Islam tetap Islam, di mana saja ber-
ada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya.
Karena itu, sebagai bentuk kecintaan kepada budaya-budaya yang
telah lama berakar di Nusantara, Gus Dur lagi-lagi bertanya secara
retoris: salahkah jika Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehi-
dupan?253 Tentu saja bagi Gus Dur, jawaban atas pertanyaaan itu
adalah bukan semata tidak salah melainkan juga perlu demi me-
nunjukkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, di mana rahmatnya bisa
“menyentuh” atau “mengakomodasi” kebudayaan umat manusia
yang sejalan dengan esensi ajaran Islam, bahkan rahmat itu bisa me-
wujud dalam wajah kebudayaan yang humanis.

290 Wajah Studi Agama-Agama


Seperti telah disebut di awal, Gus Dur tidak membuat tulisan
akademik yang utuh, sistematis dan komprehensif mengenai ga-
gasan-gagasannya tentang pluralisme, humanisme dan toleransi
antarumat beragama. Akan tetapi, ia lebih banyak menunjukkan
aksi-aksi nyata dalam memperjuangkan dan mewujudkan plu-
ralisme itu. Ketika menjadi Presiden misalnya, Gus Dur, melalui
Kepres No. 6/2000, mencabut peraturan yang melarang pemeluk
Konghucu untuk menjalankan ajaran agamanya secara terbuka.
Indonesia juga pernah memiliki SK (Surat Keputusan) Menteri Da-
lam Negeri tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP
yang hanya mengakui lima agama selain Konghucu. SK ini oleh
Gus Dur kemudian dianulir karena bertentangan dengan Pasal 29
UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia.
Sebenarnya Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/
MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme untuk dicabut, na-
mun usul Gus Dur itu kandas oleh penolakan yang masif dari ber-
bagai elemen masyarakat, terutama oleh umat Islam sendiri yang
trauma dengan peristiwa Gerakan PKI pada 30 September 1965.
Semua usaha itu menunjukkan komitmen Gus Dur yang kuat ke-
pada pluralisme dan humanisme universal yang tidak dapat lagi
dibatasi oleh sekat-sekat primordialisme yang sempit.

C. Djohan Effendi
Membincang isu pluralisme agama dan dialog antar-iman di
era Indonesia modern tak mungkin mengabaikan sosok dan peran
penting Djohan Effendi. Secara pribadi dan pemikiran ia dikenal
dekat dengan Mukti Ali, Gus Dur, dan Cak Nur. Bersama dengan
dua nama terakhir dan tokoh-tokoh Muslim lainnya, Djohan juga
berani membela kebebasan beragama dan kelompok minoritas ke-
agamaan yang tertindas. Yang unik dari Djohan adalah bahwa ia
seorang birokrat di pemerintahan dan aktivis LSM sekaligus. Seba-
gai pegawai, ia pernah menjadi staf pribadi Sekjen Departemen
Agama (Bahrum Rangkuti waktu itu), penulis pidato-pidato Menteri
Agama Mukti Ali, dan selama 20 tahun menjadi penulis pidato-

Dr. Media Zainul Bahri 291


pidato Presiden Soeharto.254 Puncaknya, sebagai birokrat, Djohan
diangkat oleh Presiden Gus Dur sebagai Kepala Litbang Departemen
Agama. Sebagai aktivis LSM, Djohan memfasilitasi lahirnya lem-
baga-lembaga dialog lintas agama dan iman seperti DIAN (Dialog
Antariman) Interfidei, MADIA (Masyarakat Dialog Antaragama)
dan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).255
Terkait dengan wacana pluralisme agama, Djohan menulis ba-
nyak artikel, baik terkait langsung dengan isu tersebut maupun
menyangkut isu-isu kerukunan, dialog antar-iman dan kebebasan
beragama. Sebelum bicara pluralisme agama, Djohan pertama-ta-
ma mendefinisikan dulu apa itu pluralisme. Menurutnya, pluralis-
me adalah;

Cara pandang dan pendekatan yang apresiatif dalam menghadapi


heterogenitas suatu masyarakat yang para warganya terdiri dari
berbagai kelompok etnik, ras, agama dan sosial yang menerima, meng-
hargai dan mendorong partisipasi dan pengembangan budaya tra-
disional serta kepentingan spesifik mereka dalam lingkup kehidupan
bersama256

Dengan pengertian itu, Djohan mengandaikan bahwa pluralis-


me akan benar-benar berfungsi jika terdapat ruang bersama di mana
masing-masing pihak terlibat dalam pembentukan dan pengem-
bangan komunitas bersama yang lebih luas, mencakup dan mewa-
dahi semuanya tanpa menelantarkan kekayaan tradisi masing-
masing.257 Dengan perspektif ini, maka prinsip utama pluralisme
bagi Djohan adalah: (1) adanya sikap toleran dan respek terhadap
pandangan, perspektif dan pengalaman masing-masing kelompok
yang berbeda; (2) bersikap terbuka dan bisa menerima berbagai
tanggapan semua pihak yang semuanya sah sepanjang bersikap
konsekuen dan konsisten menjunjung pluralisme.258
Terlihat bahwa Djohan sedang merumuskan pengertian plu-
ralisme pada level sosio-politik dan prinsip-prinsip penting di da-
lamnya. Penjelasan di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa

292 Wajah Studi Agama-Agama


dalam pluralisme (yang dianut siapa pun: individu, kelompok atau
negara), maka yang ditonjolkan bukan semata sikap respek, apre-
siatif dan toleran terhadap berbagai paham, cara pandang dan peng-
alaman masing-masing, melainkan juga adanya keterlibatan aktif
dalam membentuk dan mengembangkan komunitas masing-ma-
sing yang diikat oleh prinsip-prinsip pluralisme, kebersamaan dan
kesetaraan. Jadi, bukan pluralisme dalam pengertian pasif dan cuek,
masa bodoh, yang penting tidak saling mengganggu, melainkan
pluralisme yang peduli, aktif, dinamis, dan kreatif dalam mengem-
bangkan komunitas bersama.
Bagi Djohan pemahaman mengenai pluralisme sosial itu meru-
pakan modal yang sangat penting bagi masyarakat multikultural.
Saat ini masyarakat multikultural, yakni komunitas yang terdiri
dari beragam ras, etnik, budaya, dan agama, menghadapi tantangan
problem yang lebih luas dan kompleks. Problem masyarakat maje-
muk yang multikultur saat ini lebih menantang karena adanya per-
soalan diskriminasi, kesenjangan sosial-ekonomi, problem politik
dan ideologi, adanya tuntutan persamaan dan kesetaraan dalam
kedudukan dan kekuasaan dan lain-lain.259
Menurut Djohan, berbagai tantangan itu harus meneguhkan
warga bangsa untuk berkomitmen pada dua hal pokok: (1) masya-
rakat multikultural secara konsisten dan konsekuen tidak memper-
lakukan komunitas-komunitas kultural, baik internal maupun eks-
ternal, secara diskriminatif, baik disengaja maupun tidak. Masya-
rakat model ini harus menjamin keadilan sosial dan akses yang
sama, baik bagi mayoritas maupun minoritas, untuk mendapatkan
kekuasaan politik dan kemampuan bekerja sama dalam semangat
kesetaraan. Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat multikul-
tural hendaknya dapat mengembangkan identitas nasional yang
tidak menyingkirkan kelompok mana pun. (2) Dengan semangat
itu, maka para warga masyarakat multikultural tidak perlu ragu
dan takut untuk menyatakan identitas kultural mereka karena
adanya jaminan non-diskriminasi.260

Dr. Media Zainul Bahri 293


Setelah menjelaskan pluralisme sosial, Djohan merumuskan
pengertian pluralisme agama dari perspektifnya sebagai sarjana
Muslim. Menurutnya, pluralisme agama adalah fakta yang tak
mungkin dihindari, sama tidak mungkinnya untuk mengambil si-
kap antipluralisme. Islam, yang dipahami Djohan, mengakui eksis-
tensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai ajaran
agama-agama itu. Secara eksplisit, al-Qur’an menegaskan bahwa
rahmat dan ganjaran Tuhan akan diberikan kepada kaum beriman
selain umat Nabi Muhammad yang diiringi amal kebajikan (al-Ba-
qarah: 62).261 Dari perspektif ini, maka pluralisme agama bagi Djo-
han adalah adanya pengakuan nilai-nilai kesucian dan kebenaran
pada agama-agama non-Islam dan adanya kasih sayang Tuhan atau
jalan keselamatan di akhirat kelak bagi para pemeluk agama non-
Islam.
Pandangan pluralisme agama Djohan didasarkan pada tiga hal
penting. Pertama, menurut Djohan soal paham pluralisme agama
terkait erat dengan konsep kesatuan kenabian. Al-Qur’an meng-
ajarkan bahwa iman kepada para nabi berarti pula bahwa kaum
Muslim tidak boleh membeda-bedakan mereka (al-Baqarah: 136).
Semua nabi dan rasul, menurut Djohan, membawa misi yang sama,
yaitu menebarkan agama perdamaian yang berlandaskan pada ke-
pasrahan kepada Tuhan. Terkait dengan konsep kesatuan kenabian,
Djohan mengutip hadis Nabi, “Para nabi itu bersaudara, ibu-ibu
mereka berlainan namun agama mereka satu.” Hadis ini dianggap
Djohan memperkuat konsep kesatuan kenabian.262
Kedua, dengan konsep kesatuan kenabian, maka Islam meng-
akui adanya titik-temu esensial dari berbagai agama, khususnya
agama-agama Semitik. Titik-temu itu misalnya dapat dilihat dari
persamaan ajaran mengenai kepercayaan terhadap Tuhan YME
sebagai landasan untuk hidup bersama (Ali Imran: 63).263 Ketiga,
adanya pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang relatif
tidak mungkin mampu menangkap dan menjangkau secara utuh-
menyeluruh akan agama sebagai doktrin kebenaran mutlak, apalagi
menjangkau Tuhan. Karena itu, bagi Djohan, ketika seorang peng-

294 Wajah Studi Agama-Agama


anut agama berbicara tentang agama, maka yang sedang dibicara-
kannya adalah agama dalam pemahaman, pengertian dan tafsir dia
atas agama, bahkan agama yang dimaksudkannya adalah selalu
dalam bayang-bayang perspektif aliran atau sekte agama yang di-
anutnya. Seorang beragama tidak mungkin dapat bicara “agama”
dengan penjelasan yang komprehensif yang dapat disetujui oleh
para pemeluk agama lain.264
Dalam mengapresiasi paham pluralisme agama dan fakta ke-
majemukan agama yang rentan terhadap konflik intra dan antar
pemeluk agama, Djohan menawarkan apa yang ia sebut sebagai
“Teologi Kerukunan.” Teologi ini berarti suatu pandangan keaga-
maan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan;
suatu pandangan keagamaan yang didasarkan pada kesadaran bah-
wa agama sebagai ajaran kebenaran tak pernah tertangkap dan ter-
ungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keber-
agamaan seseorang—pada umumnya—lebih merupakan produk
atau pengaruh dari lingkungannya.265
Teologi Kerukunan merekomendasikan bahwa penerimaan
dan penganutan suatu agama sebagai satu-satunya keyakinan yang
benar dan menyelamatkan, tidak lagi cocok dan relevan. Pandangan
yang eksklusif itu lahir dari pandangan keagamaan yang bersifat
mutlak dan statis. Padahal pengalaman dan pengahayatan keaga-
maan selalu bersifat dinamis. Pandangan yang eksklusif itu dengan
sendirinya tidak sesuai dengan paham pluralisme agama. Menurut
Djohan, jika seorang Muslim membaca ayat ihdinas shirâmal mus-
taqîm minimal 17 kali dalam sembahyangnya, mengapa ia harus
menganggap keyakinannya sebagai satu-satunya kebenaran? Jika
agama bisa dianggap sebagai jalan keselamatan, tidakkah keberaga-
maan itu pada hakikatnya suatu proses pencarian yang tiada henti
(seperti diisyaratkan dalam ayat di atas)?266 Karena itu efek dari pa-
ham pluralisme agama adalah bahwa paham itu bisa merangsang
pemeluk agama untuk beragama dalam proses yang terus dinamis,
tidak statis dan final.

Dr. Media Zainul Bahri 295


Teologi Kerukunan bagi Djohan lahir dari pergulatan dalam
dialog antar-iman yang intens. Pada gilirannya, Teologi Kerukunan
juga akan melahirkan dialog yang berkualitas, yaitu dialog yang
tidak asal dialog, melainkan dialog yang terbuka yang menuntut
kedewasaan. Dialog yang dilakukan dengan dirinya sendiri dan
dengan orang lain dalam semangat kesetaraan dan semangat men-
cari kebenaran dan titik-temu agama-agama.267 Berdasar pengalam-
annya terlibat dalam banyak dialog, Djohan merasa kecewa dengan
dialog-dialog yang dilakukan selama ini. Menurut Djohan, hasil-
hasil yang dicapai dialog antaragama tidak memuaskan, terutama
ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa prakarsa dialog hanya
melahirkan toleransi sosial.268 Dialog hanya menghasilkan sikap
saling menghormati saja, tetapi tidak menyentuh pada soal-soal
yang substansial dan mendalam, misalnya pada soal iman dan
teologi.
Analisis Djohan yang mendalam terhadap gesekan dan bentur-
an keras dalam kehidupan umat beragama, membawanya kepada
suatu pemahaman bahwa toleransi sosial masih cukup rapuh dan
mudah terjatuh kembali pada sikap saling curiga. Karena itu, Djo-
han berpikir untuk memecahkan masalah ini dari akarnya, yaitu
iman. Dalam berbagai program dialog selama ini, kata Djohan,
masalah-masalah yang menyangkut keimanan dan teologi selalu
dihindari, karena ingin menghindari perdebatan yang tidak perlu,
bahkan berbahaya karena masalah iman sangat sensitif. Tetapi, bagi
Djohan justru itulah masalah mendasar yang harus dipecahkan,
yaitu keberanian berdialog pada soal-soal teologi yang sensitif.269
Teologi Kerukunan yang digagas Djohan juga dapat dibaca
sebagai bentuk kekecewaan dia terhadap model kerukunan yang
dibuat oleh pemerintah Orde Baru yang formalistik, monolog dan
top-down. Djohan lalu memikirkan model kerukunan yang cocok
dengan apa yang dihadapi dan dibutuhkan oleh para pemeluk aga-
ma; suatu model yang berakar dari situasi yang dihadapi masyarakat
itu sendiri, yang menurutnya, lebih membutuhkan dialog yang
“jujur dan terbuka” dibanding hanya menerima peraturan dan an-

296 Wajah Studi Agama-Agama


caman. Teologi kerukunan yang digagasnya adalah sesuai dengan
berkembangnya teologi inklusivisme yang dipelopori tokoh-tokoh
agama non-pemerintah, yang dengan gembira diapresiasi oleh Djo-
han sendiri.270
Djohan merasa cocok dengan teologi inklusivisme karena mo-
del teologi ini mendorong umat beragama untuk memeriksa kem-
bali paham keselamatan yang dianut masing-masing agama. Setiap
pemeluk agama berhak mengklaim keselamatan bagi dirinya, na-
mun pada saat yang sama ia tidak berhak untuk menghakimi bahwa
pemeluk agama lain tidak akan selamat alias akan masuk neraka.
Bagi Djohan jelas bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif
Tuhan. Manusia tidak pantas merampas wewenang Tuhan itu. Bagi
Djohan, dalam konteks hubungan antarpemeluk agama yang bera-
gam, perlu ditumbuhkan sikap absolut-relatif. Absolut bahwa diri-
nya benar dan selamat, tetapi kebenaran dan keselamatan itu menja-
di relatif di hadapan pemeluk agama lain yang juga mengklaim
kebenaran dan keselamatan. Teologi inklusif bekerja dalam kesa-
daran menghargai pilihan-pilihan orang lain yang berbeda secara
tulus.271
Sebagai kelanjutan dari Teologi Kerukunan, Djohan meyakini
bahwa kehadiran agama-agama yang beragam merupakan anu-
gerah Tuhan yang indah. Bagi Djohan, jika para pemeluk agama
mau membaca secara luas seluk beluk agama-agama, maka setiap
orang beriman akan menyadari betapa kaya perbendaharaan ke-
arifan yang tersimpan dalam tiap-tiap agama. Setiap penganut aga-
ma, menurut Djohan, mestinya membuka diri untuk menyimak
nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam berbagai agama dan keya-
kinan.272 Bacaan dan pengalaman seorang pemeluk agama akan
persentuhannya dengan keyakinan orang lain akan memperkaya
cakrawala dan horizon keagamaan orang tersebut.
Pandangan dan sikap keagamaan Djohan yang pluralis sesung-
guhnya disuburkan pula oleh sufisme Islam. Sejak 1970-an Djo-
han ternyata sudah gandrung dengan sufisme, dan menulis skripsi
yang membahas tasawuf al-Qur’an tentang perkembangan jiwa

Dr. Media Zainul Bahri 297


manusia. Dengan penuh keyakinan, Djohan menuturkan bahwa
sufisme merupakan wahana untuk mengembangkan apa yang
diharapkan sebagai teologi cinta, sebab esensi sufisme memang cin-
ta. Teologi cinta bisa memberi makna bagi hidup manusia yang keras
dan gersang. Cinta dalam sufisme bisa mengembangkan kehidupan
yang lebih manusiawi dan bermartabat dalam sorotan Nur Ilahi.
Bagi Djohan, teologi cinta dalam sufisme dapat menjadi obat bagi
dua hal pokok: (1) secara psikologis, teologi itu membawa optimis-
me dan harapan. Sikap-sikap kebencian juga dapat diubah dan
diganti oleh cinta; (2) sufisme mengajak para pengkajinya untuk
sampai pada jantung/esensi agama. Dengan menukik pada dimensi
batin/terdalam dari agama, lahirlah pandangan dan sikap keaga-
maan yang lentur, toleran dan menolak sikap-sikap absolut dalam
beragama.273
Dengan teologi cinta dari sufisme, Djohan memimpikan sebuah
dunia yang tidak dipisahkan oleh kotak-kotak agama. Hal ini tidak
berarti ia menafikan agama-agama, namun sebagai pemikir dan
aktivis dialog antar-iman, Djohan memandang bahwa para pemeluk
agama lebih senang menciptakan pembatas satu sama lain. Tembok
pembatas itu dibangun di atas teologi kebencian. Dengan teologi
cinta, Djohan tidak bermaksud untuk melebur agama-agama men-
jadi satu—sebuah usaha yang mustahil—melainkan untuk men-
dekatkan para pemeluk agama dalam satu kesadaran bahwa mereka
adalah umat yang satu, seperti telah dinyatakan oleh al-Qur’an, yang
semestinya saling mengasihi. Ketika dunia dipenuhi oleh konflik,
kebencian dan permusuhan, di mana para pemeluk agama juga ter-
libat di dalamnya, maka bagi Djohan, ruh cintalah yang harus disu-
burkan dalam kehidupan umat manusia.274
Terkait erat dengan gagasan pluralisme agama, Djohan sangat
menekankan pada kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menu-
rutnya, kebebasan berkeyakinan adalah hak yang paling asasi dalam
kehidupan umat manusia, baik pada tingkat pribadi maupun pada
tingkat kolektif. Bahkan, dengan mengutip tulisan Agus Salim,
salah satu tokoh pendiri bangsa ini, Djohan menyetujui bahwa kebe-

298 Wajah Studi Agama-Agama


basan berkeyakinan itu bukan semata bagi orang yang percaya ke-
pada Tuhan Yang Esa saja, melainkan harus pula ada kebebasan ber-
keyakinan bagi orang-orang yang percaya pada tuhan yang banyak
(polities) dan bagi orang ateis sekalipun. Mereka tetap berhak hidup
di tanah Indonesia. Dalam konteks ini menurut Djohan, hukum po-
sitif harus adil dan harus menjamin kebebasan berkeyakinan ter-
sebut. 275
Seperti telah disebut, dalam masyarakat yang multikultur dan
multi agama, toleransi yang harus dikembangkan adalah toleransi
yang tidak berhenti pada sekadar pengakuan akan keberadaan orang
lain yang menganut keyakinan yang berbeda bahkan bertentangan
dengan kaum Muslim, melainkan juga menuntut komitmen dan
usaha untuk hidup bergandengan dalam semangat kebersamaan
dan kesetaraan.276 Bahkan, menurut Djohan, dari perspektif Islam
yang diyakininya, menghormati keyakinan orang lain dan membela
kebebasan berkeyakinan adalah bagian dari ajaran Islam dan
merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membela
kebebasan beragama, menurut Djohan, telah diisyaratkan oleh al-
Qur’an sendiri yang disimbolkan dalam sikap mempertahankan
rumah-rumah peribadatan seperti biara, gereja, sinagog dan masjid
(surat al-Hajj: 40).277
Sekali lagi, bagi Djohan, diskriminasi adalah musuh bersama
masyarakat multikultur dan multi agama. Ia adalah aib dan noda
yang mencemari sebuah masyarakat beradab yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Diskriminasi bersum-
ber dari egoisme kelompok yang ingin menang sendiri, sikap yang
meremehkan pihak lain—yang dianggap minoritas—hingga me-
munculkan perlakuan tidak adil terhadap keberadaan dan kepen-
tingan mereka. Indonesia di hari-hari ini menurut Djohan, adalah
Indonesia yang digaduhkan oleh fenomena egoisme sektarian yang
makin marak yang ditandai oleh tindak kekerasan dan pemaksaan
kehendak dari mereka yang merasa lebih berhak tinggal di tanah
Indonesia ini. Menurut Djohan, ia sukar untuk mengerti mengapa
mereka yang mengaku beriman kepada Tuhan namun bertindak

Dr. Media Zainul Bahri 299


seolah-olah lebih tuhan dari Tuhan sendiri, Pencipta dan Pemilik
Kerajaan langit dan bumi, yang menyediakan bumi untuk dihuni
dan dinikmati oleh manusia makhluk ciptaan-Nya, tak peduli
apakah mereka beriman atau kufur terhadap-Nya, apakah mereka
beragama atau tidak? Bagi Djohan, sikap-sikap egoisme dan arogansi
atas nama tuhan yang disertai tindak kekerasan adalah sebuah
kezaliman tiada tara.278
Seseorang yang arogan dan diskriminatif dalam beragama dan
dalam kehidupan sosial biasanya adalah ia yang anti-pluralis. Menu-
rut Djohan, seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat de-
ngan orang lain yang tidak sepaham dengannya. Ia tidak bersedia
menerima kehadiran orang lain yang berbeda, apalagi bertentangan
dengannya. Jika seorang anti-pluralis memegang kekuasaan, ia akan
memaksakan pikiran dan pendirian yang tidak sama dengan pikiran
dan pendirian yang hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya
kebenaran adalah pikiran dan pendiriannya. Yang lain dianggap
“salah” dan “sesat.” Dengan memonopoli kebenaran, seorang anti-
pluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan de-
ngan gampang menghakimi iman orang lain.279 Pandangan dan
sikap seorang anti-pluralis, selain tidak cocok dengan atmosfer ma-
syarakat multikultur dan multi agama, juga bertentangan dengan
semangat agama yang humanis.
Sebagai Muslim, Djohan selalu tersentuh dengan pribadi Nabi
Muhammad yang menunjukkan sikap-sikap yang simpatik ter-
hadap keyakinan non-Islam. Bagi Djohan, konflik-konflik Nabi de-
ngan orang-orang Yahudi Madinah misalnya, bukan karena keya-
kinan keagamaan mereka, melainkan karena pengkhianatan me-
reka sendiri terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan
Nabi. Djohan juga senang untuk merujuk kepada fakta sejarah bah-
wa Nabi—di masjidnya—pernah berdebat keras soal ketuhanan
dengan orang-orang Kristen Najran. Namun, ketika saatnya mereka
harus melakukan kebaktian dan pamit kepada Nabi untuk mening-
galkan masjid tempat mereka berdebat, secara mengejutkan Nabi

300 Wajah Studi Agama-Agama


mencegah mereka pergi keluar dari masjid dan mempersilakan
mereka melakukan kebaktian di dalam masjid Nabawi itu.280

D. Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat adalah salah satu cendekiawan Muslim In-
donesia yang mulai dikenal dan diperhitungkan pada era 1990-an.
Ia juga dikenal sebagai dai yang memikat dan orator ulung karena
kekayaan kosakata, intonasi suaranya yang sangat khas dan gaya
bicaranya yang komunikatif. Selain karena talenta yang dimilikinya
dan bacaannya yang sangat luas, juga karena ia adalah ahli komu-
nikasi dengan pendidikan formal dalam bidang Ilmu Komunikasi,
bahkan menjadi Guru besar dalam bidang itu. Saat itu, dua kar-
yanya yang cukup populer adalah Islam Aktual dan Islam Alternatif.
Melalui pengajian rutin di “Salman ITB” Kang Jalal, begitu sapaan
akrabnya, mulai menyebarkan gagasan-gagasan keislamannya yang
banyak merujuk kepada pemikiran Ali Ibn Abi Thalib, Murtadha
Muthahari dan tokoh-tokoh Syi’ah (Iran) lainnya. Di awal kemun-
culannya, ia tidak pernah mengaku sebagai penganut Syi’ah. Namun,
setelah reformasi meletus dan adanya jaminan kebebasan berpen-
dapat, berkeyakinan dan berserikat Kang Jalal mulai mendekla-
rasikan dirinya sebagai penganut Syi’ah, sebagai salah satu pendiri
Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia), dan menjadi Ketua
Dewan Syuro lembaga Syi’ah Indonesia itu. Dulu, Kang Jalal banyak
bicara tentang Islam yang berpihak kepada kaum lemah dan ter-
tindas, lalu ia mendalami sufisme, terutama dari tokoh-tokoh Syi’ah.
Pada saat yang bersamaan ia juga menggulirkan gagasan-gagasan
keislaman yang bercorak inklusif, liberal dan pluralis. Baru bela-
kangan ini ia secara intensif menulis dan berceramah tentang Syi’ah.
Pandangan pluralisme agama Kang Jalal sesungguhnya telah
dimulai pada pertengahan era 1990-an. Namun, baru beberapa ta-
hun terakhir ini gagasan-gagasan teologisnya tentang isu tersebut
baru diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Islam dan Plu-
ralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (2006). Kang Jalal me-
mulai pandangan teologisnya dengan mengemukakan renungan

Dr. Media Zainul Bahri 301


Gamal al-Banna, seorang anggota Ikhwan al-Muslimin dan adik
dari Hasan al-Banna, salah satu tokoh terkemuka Ikhwan. Ketika
meringkuk di penjara di tengah kota Kairo yang menyesakkan dan
dalam ancaman penguasa Muslim yang tidak berperikemanusiaan,
Gamal al-Banna, kata Kang Jalal menemukan epifani; menemukan
Islam-nya yang “baru” dan melihat dunia dengan cara yang baru.
Ia melihat moral sosial dan sistem sosial orang-orang Eropa lebih
Islami dibanding orang Islam sendiri yang penuh kemunafikan.
Secara moral, masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah
dan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengaku
sebagai pemeluk Muslim. Dalam renungan Gamal, orang-orang
non-Muslim yang telah berjasa besar bagi kemanusiaan, seperti Tho-
mas Alfa Edison misalnya, yang menemukan listrik dan dipakai
oleh seluruh manusia, layak masuk surga. Kaum Muslim tidak ber-
hak mengklaim bahwa hanya mereka yang masuk surga sedang
kaum non-Muslim masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan
di tangan kaum Muslim.281
Menurut Gamal seperti dijelaskan Kang Jalal, pandangan eks-
klusif tentang neraka bagi kaum non-Muslim adalah keberanian
yang luar biasa dalam merampas wewenang Allah. Apakah kaum
Muslim yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang
menenggelamkan manusia ke neraka? Atas dasar apa mereka mem-
bangun kesimpulan itu? Apakah mereka tidak sadar bahwa rahmat
Allah tidak terbatas dan Dia akan membalas satu kebaikan dengan
tujuh ratus lipat kebaikan? Menurut Kang Jalal, Gamal al-Banna
berubah dari seorang eksklusif menjadi pluralis. Bagi kaum pluralis,
semua pemeluk agama memiliki peluang yang sama untuk mem-
peroleh keselamatan dan masuk surganya Allah. Semua agama be-
nar berdasarkan kriteria masing-masing (Each one is valid within its
particular culture). Kaum pluralis percaya rahmat Allah itu luas.
Tuhan berfirman dalam hadis qudsi, “Al-Khalqu ‘iyâlî,” semua
makhluk itu keluarga besar Tuhan. Menurut Kang Jalal, “pertanyaan
dan kegelisahan Gamal al-Banna adalah juga pertanyaan saya sekian
lama. Dan jawaban saya sama seperti jawaban al-Banna.” Kasih

302 Wajah Studi Agama-Agama


sayang Tuhan jauh lebih luas dari kasih sayang seorang ibu kepada
anak-anaknya.282
Kang Jalal mendasarkan pandangan teologisnya kepada dua
karya tafsir yang dikaguminya, yaitu pertama Tafsîr yang ditulis
oleh Sayyid Husseyn Fadhlullah, tokoh Syi’ah Hizbullah Libanon,
dan kedua, Tafsîr al-Manâr karya Sayyid Rasyîd Ridhâ yang me-
wakili mazhab Ahlussunnah. Ketika menafsirkan surat al-Baqarah
ayat 62 dan al-Ma‘idah ayat 69, Sayyid Fadhlullah menegaskan
bahwa makna ayat-ayat itu sangat jelas. Keselamatan pada hari akhi-
rat akan dicapai oleh semua kelompok agama yang berbeda-beda
dalam pemikiran dan pandangan agamanya berdasarkan akidah
dan kehidupan mereka dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman
kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh. Bagi Kang Jalal, ayat-ayat
itu sangat jelas mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menje-
laskan semua agama benar atau semua kelompok agama sama.
Tidak sama sekali. Ayat-ayat itu menegaskan bahwa semua golongan
agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari
akhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir eksklusif mengakui
makna ayat-ayat itu, tetapi mereka menganggap ayat-ayat itu telah
dihapus (nasakh) oleh surat Ali ‘Imran ayat 85, “Barang siapa yang
mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Menurut Sayyid Fadlullah, makna ayat ini tidak bertentangan de-
ngan ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Ma‘idah. Karena itu tidak
ada ayat yang di-mansûkh. Islam pada Ali ‘Imran 85 adalah Islam
yang “umum, yang meliputi semua risalah langit, bukan Islam da-
lam arti istilah,” bukan Islam dalam arti agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad. Kesimpulan Fadhlullah itu diambil dari konteks
ayat itu dan ayat-ayat lain. Misalnya ayat 19 Ali ‘Imran: “Sesungguh-
nya agama di sisi Allah adalah Islam.” Menurut Fadhlullah, berda-
sarkan keterangan al-Qur‘an sendiri bahwa semua agama itu Islam
dalam pengertian Islam umum, yaitu kepasrahan kepada Tuhan.
Hal itu misalnya ditegaskan lagi dalam surat al-Baqarah 131-132.283

Dr. Media Zainul Bahri 303


Kang Jalal sependapat sepenuhnya dengan Sayyid Fadhlullah
bahwa makna Islam dalam Ali ‘Imran 85 adalah “kepasrahan to-
tal” bukan Islam institusi. Menurut Kang Jalal selanjutnya, ayat 62
surat al-Baqarah bagi Fadhlullah dimaksudkan untuk menegaskan
unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat
untuk memperoleh pahala Allah. Fadhlullah menyindir orang yang
merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah
belaka. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepa-
da Allah dan memiliki prestasi amal saleh. Atas ayat 62 surat al-
Baqarah itu, Rasyîd Ridhâ juga menegaskan bahwa hukum Allah
itu adil dan sama. Dia memperlakukan semua pemeluk agama
dengan sunah yang sama, tidak berpihak pada satu kelompok dan
menzalimi kelompok lain. Ketetapan dari sunah ini ialah bahwa
bagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan rasul
mereka. Rasyid Ridha lalu menyebut surat an-Nisa ayat 123-124.
Menurutnya, dua ayat itu menjelaskan perlakuan Allah kepada se-
tiap umat yang memercayai Nabi dan wahyunya masing-masing,
yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan
pasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nasrani, Sha-
biah, misalnya. Padahal Allah berfirman keselamatan bukan karena
kelompok keagamaan (jinsiyyah dîniyyah). Keselamatan diraih de-
ngan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal saleh yang
dapat memperbaiki manusia. Karena itu bagi Kang Jalal, tertolaklah
anggapan bahwa keputusan Allah bergantung pada angan-angan
orang Islam dan Ahli Kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan
Allah bergantung pada prestasi amal saleh dan iman yang benar
(menurut agamanya masing-masing). Jadi, menurut Kang Jalal, ber-
dasarkan uraian Sayyid Rasyîd Ridhâ itu, maka orang yang merasa
pasti akan selamat hanya karena ia Muslim, Nasrani atau Yahudi
adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrîn) dengan nama
(identitas lahiriah). Keselamatan hanya melalui tiga syarat seperti
disebut al-Baqarah ayat 62 di atas.284
Menurut Kang Jalal, jika semua agama adalah valid, mengapa
Tuhan harus repot membuat agama yang bermacam-macam? Me-

304 Wajah Studi Agama-Agama


ngapa Allah tidak menjadikan agama itu satu saja? Apa tujuan pen-
ciptaan berbagai agama? Bagi Kang Jalal berbagai pertanyaan itu
telah dijawab oleh al-Qur‘an dengan indah melalui surat al-Ma‘idah
ayat 48. Ayat itu berisi tiga pesan penting kata Kang Jalal, yaitu: (1)
Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidup (syari’at) dan orien-
tasi hidup (akidah). Karena itu, pluralisme bukan berarti semua
agama sama. Agama historis berbeda dengan agama lainnya dalam
hal syari’at dan akidahnya. Perbedaan telah menjadi kenyataan. (2)
Tuhan, sejak azali, tidak menghendaki manusia menganut agama yang
tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji ma-
nusia. Ujiannya adalah seberapa banyak manusia memberikan kon-
tribusi kebaikan bagi manusia lain. Setiap agama disuruh bersaing
dengan agama lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanu-
siaan (al-khayrât). (3) Semua agama kembali kepada Allah. Islam,
Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha dan lain-lain hanya kembali kepada
Allah. Hanya Allah yang memiliki tugas dan wewenang untuk me-
nyelesaikan perbedaan di antara agama. Manusia, sejatinya, tidak
boleh mengambil alih wewenang Tuhan untuk menyelesaikan per-
bedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.285
Pembicaraan mengenai pluralisme agama dalam Islam mem-
buat Kang Jalal, sebagaimana juga Cak Nur, Gus Dur dan cende-
kiawan Muslim lainnya—perlu menelaah lebih lanjut pengertian
kata Dîn dan Islâm dalam berbagai variasinya. Menurut Kang Jalal,
perdebatan di kalangan kaum eksklusif, inklusif dan pluralis menge-
nai apakah orang-orang non-Muslim selamat atau tidak di akhirat
kelak biasanya selalu merujuk kepada surat Ali ‘Imran ayat 85.
Setelah menjelaskan pengertian kata Dîn menurut Hasan al-Mus-
thafawî dalam karyanya al-Tahqîq Fî Kalimat al-Qur`ân al-Karîm,
Kang Jalal sampai pada kesimpulan bahwa makna kata Dîn tidak
akan jauh dari kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut Dîn,
karena peraturan tidak bisa tegak tanpa kepatuhan. Tradisi atau
adat juga disebut Dîn karena perilaku tertentu dipatuhi dan dija-
lankan terus-menerus, lalu seluruh anggota komunitas harus pasrah
padanya. Menurut makna asalnya, Dîn sama saja dengan Islam.

Dr. Media Zainul Bahri 305


Dalam berbagai pengertian asalnya, kata Islâm ternyata hanya
berputar pada pengertian patuh, pasrah, berserah diri dan damai.286
Raghîb al-Isfahânî membagi Islam menjadi dua macam: (1) Islam
di bawah iman, yakni hanya mengakui dengan lidahnya saja seperti
pernyataan orang Arab Badawi bahwa mereka telah beriman, na-
mun kata Allah mereka hanya baru ber-islam.287 (2) Islam di atas
iman, yakni pengakuan, keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalam
tindakan dan penyerahan diri kepada Allah secara total seperti kisah
Ibrahim yang sudah muslim (pasrah) tapi oleh Tuhan diperintah
lagi “Islamlah (pasrahlah),” Ibrahim menjawab, “Aku pasrah kepada
Pemelihara seluruh alam.”288 Al-Musthafawî juga membagi Islam
dalam tiga tingkatan: (1) kepasrahan dalam amal lahiriah, gerakan
badan dan anggota tubuh. (2) Menjadikan diri sesuai atau sejalan lahir
dan batin sehingga tidak terjadi pertentangan dalam niat, hati dan
amalnya. (3) Benar-benar dapat menghilangkan kontradiksi antara
niat, hati, amal dan eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada eksistensi
diri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samudera
wujud Yang Haqq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Yang tampak
adalah hakikat makna penyerahan diri dan penyesuaian diri kepada
al-Haqq Yang Maha Mutlak, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya
kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan total” (Ali ‘Imran: 19).289
Menurut Kang Jalal, tingkatan Islam yang diuraikan al-Mus-
thafawî, meskipun ia penulis kamus, lebih bercorak esoterik diban-
ding linguistik. Namun, baik al-Isfahânî maupun al-Musthafawî
menyebutkan tingkatan Islam itu karena menghadapi kesulitan
makna Islam dalam beragam ayat al-Qur‘an. Pada satu sisi, kata
Islam dipergunakan dalam posisi lebih rendah dari Iman seperti
“islam”nya orang Arab Badawi. Pada sisi lain, dalam kisah Ibrahim
yang sudah jelas-jelas muslim, Tuhan menyuruhnya untuk Islam
lagi. Tentulah Islam yang kedua ini lebih tinggi dari Islam yang
pertama. Pada al-Musthafawî, kata Islam menunjukkan tingkat
Islam yang paling tinggi, yakni dalam pengertiannya sebagai ‘irfân,
ketika orang sudah meninggalkan al-katsrah (manyness, keanekaan)
dan tiba di al-wahdah (oneness, kesatuan). Dengan merujuk pada dua

306 Wajah Studi Agama-Agama


kamus itu saja, bagi Kang Jalal, segera seseorang akan mengetahui
bahwa pendapat yang mengatakan bukan Muslim tidak diterima
amalnya mengacaukan makna Islam dalam berbagai tingkatannya.
Kata Islam dalam Inna al-Dîn ‘Inda Allâh al-Islâm (Ali ‘Imran: 19)
menunjukkan Islam yang tinggi seperti Islamnya Nabi Ibrahim bu-
kan Islam seperti yang tercatat dalam kartu penduduk. Dan Islam
pada tingkatan ini, menurut Kang Jalal, boleh jadi meliputi semua
pengikut agama yang berbeda-beda. Dalam tulisan Murthadha
Muthahhari, inilah Islam wâqi’î sebagai lawan dari Islam geografis.290
Kang Jalal lalu merujuk kepada tingkatan Islam dalam pan-
dangan Muthahhari, seorang ulama dan cendekiawan istimewa
kaum Syi’ah. Untuk menjawab apakah amal saleh non-Muslim
diterima Allah atau tidak, Muthahhari membagi tiga tingkatan
bentuk Islam (kepasrahan): (1) Islam fisik, yaitu kepasrahan karena
terpaksa atau karena mengikuti lingkungannya. Muthahhari me-
nyebut istilah al-Islâm al-Jughrâfî (Islam geografis) kepada mereka
yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Inilah Islam
keturunan. Menurut Muthahhari, kebanyakan kita adalah Mus-
lim tradisional dan geografis. Kita menjadi Muslim karena orang
tua kita Muslim. Kita juga hidup dan tumbuh dalam lingkungan
masyarakat Muslim. (2) Islam Aktual atau al-Islâm al-wâqi’î. Inilah
Islam yang memikul nilai-nilai ruhani dari langit (rûhiyyah sama-
wiyyah). Menurut Muthahhari, seperti dikutip Kang Jalal, Islam
Aktual adalah Islam seseorang yang sudah pasrah kepada kebenaran
dengan segenap hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diya-
kininya setelah ia memperoleh kebenaran itu melalui penelitian
(penelaahan) dan tanpa fanatisme buta. Bila ada orang yang telah
berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerimanya dengan sepenuh
hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan meng-
azabnya. Mustahil Tuhan menghukum orang di luar kemampuan-
nya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen,
misalnya, dan ia mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya ia
telah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus.291

Dr. Media Zainul Bahri 307


Muthahhari memberi contoh Descartes. Dalam pencarian ke-
benaran, Descartes menerima Kristen sebagai agama yang benar
seraya mengatakan bahwa itulah agama yang dikenalnya dengan
baik. Ia tidak menolak kemungkinan agama lain juga benar, hanya
saja ia tidak mengetahuinya. Bagi Muthahhari, orang-orang seperti
Descartes—dan masih banyak lagi—tidak mungkin kita sebut kafir,
karena mereka tidak memiliki sifat membangkang dan tidak me-
nutupi kebenaran. Bukankah kekafiran adalah pembangkangan
dan menutup pintu kebenaran? Mereka adalah Muslim secara fit-
rah. Jika kita tidak dapat menyebut mereka Muslim, kita juga tidak
boleh menyebut mereka kafir.292
Akhirnya, jika diajukan pertanyaan: apakah hanya Islam agama
yang diterima Allah? Bagi Kang Jalal, jawabannya bisa Ya dan Tidak.
Ya, jika yang dimaksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuh
hati kepada kebenaran yang diperoleh melalui proses pencarian
yang tulus dan sungguh-sungguh. Tidak, bila yang dimaksud de-
ngan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang tercantum
dalam kartu identitas. Bila pertanyaan di atas kita buat lebih spesifik
lagi: apakah orang-orang yang beragama selain Islam, seperti Kris-
ten, Hindu, Buddha, Konghucu akan diterima di sisi Allah? Kata
Kang Jalal, jawabannya tergantung kepada ideologi yang kita anut.
Jika kita kelompok garis keras (al-mutasyaddidûn) maka hanya Is-
lam kita saja yang diterima Allah. Jika kita kaum yang tercerahkan
(al-mustanîrûn), kita akan berkata bahwa agama adalah jalan menu-
ju Tuhan seperti yang dikatakan kaum sufi, jalan menuju Tuhan
sebanyak napas manusia. Bagi Kang Jalal, mengapa kita harus me-
nyempitkan kasih Tuhan yang meliputi langit dan bumi?293 Posisi
Kang Jalal sudah jelas bahwa ia berada dalam kelompok yang dise-
butnya al-mustanîrûn. Kang Jalal, sebagai seseorang yang mendalami
sufisme, baik yang berhaluan Sunni maupun Syi’ah, sepakat dengan
kaum sufi, kelompok pluralis dan kaum mustanîrûn lainnya bahwa
keselamatan di akhirat kelak adalah wewenang Tuhan, sama sekali
bukan hak manusia untuk menentukannya. Bagi Kang Jalal—selain
beriman kepada Tuhan, hari akhir dan banyak berbuat kebajikan—

308 Wajah Studi Agama-Agama


semangat mencari kebenaran secara tulus dan prosesnya yang terus
menerus serta kepasrahan hati sepenuhnya kepada Tuhan setelah ber-
bagai proses dan amal kebajikan itu dilakukan, maka itulah syarat-
syarat pokok yang boleh jadi Tuhan akan menempatkan orang-orang
seperti itu dalam Kasih Sayang dan Kenikmatan-Nya, apa pun keya-
kinan dan agama yang dianutnya. Pandangan ini harus pula diiringi
dengan kesadaran penuh bahwa tak ada seorang pun yang dapat
menjamin secara mutlak mengenai perkara keselamatan dan siksa-
Nya, selain Tuhan saja Yang Maha Mengetahui secara mutlak.
Isu pluralisme agama yang diwacanakan dan diperjuangkan
empat tokoh terus menggelinding. Di satu sisi, diskursus mengenai
hal itu rasanya dianggap sebagai “vitamin” oleh kaum akademisi
Muslim dan non-Muslim, para penggiat pluralisme dan aktivis
kerukunan serta hubungan antaragama. Namun di sisi lain, isu itu
cukup menghebohkan masyarakat umum, terutama para pemeluk
agama yang awam dan kaum eksklusif. Hingar bingar wacana
pluralisme agama, bagi “kaum Islamis-tekstualis-skripturalis” yang
tidak paham atau tidak mau memahami, dianggap mengganggu
kenyamanan pandangan teologis yang selama ini dianut. Di saat
yang bersamaan, hal itu menguatkan pandangan mereka bahwa
pemikiran keagamaan Cak Nur, Gus Dur dan kawan-kawannya
memang “membahayakan,” untuk tidak menyebutnya “merusak”
akidah. Para pengusung ide-ide itu dianggap telah menyimpang
dari ajaran “Islam yang benar.” Maka, seiring dengan hal itu, muncul
aneka pandangan yang sangat emosional dan berlebihan kepada
tokoh-tokoh pembaru itu sebagai “antek Kristen-Yahudi,” “antek
Zionis,” atau “antek Barat,” “murtad,” “kafir,” dan cap-cap sema-
camnya.
Karena kontroversi yang cukup tajam itu, pada gilirannya, MUI
sebagai lembaga penjaga ortodoksi dan tradisionalisme Islam, akhir-
nya mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan libe-
ralisme hukumnya haram. Dalam fatwa itu, MUI menjelaskan bah-
wa yang dimaksud pluralisme agama adalah “suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya ke-

Dr. Media Zainul Bahri 309


benaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajar-
kan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdam-
pingan di surga.” Dengan paham seperti itu, maka bagi MUI “Plu-
ralisme, sekularisme, dan liberalisme agama adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam.” “Umat Islam haram
mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme aga-
ma.” 294
Jika kita membaca pandangan empat tokoh di atas mengenai
pengertian pluralisme agama dan hal-hal yang melingkupinya, de-
ngan jelas terbaca bahwa mereka mengambil paham itu dari sum-
ber-sumber Islam sendiri, apakah dari teologi Islam yang mereka
pahami (yang tentu saja teologi progresif dan kontekstual, bukan
tekstual) atau dari renungan mereka tentang sejarah peradaban Is-
lam. Menurut saya, terdapat dua cara pandang yang berbeda se-
hingga tidak bisa bertemu antara tokoh-tokoh pengusung pluralis-
me dengan MUI. Keempat tokoh itu misalnya, memandang spirit
ajaran Islam dari sisi esoterik (batin) atau pandangan yang melam-
paui (beyond) teks-teks Islam yang harfiah. Pada dimensi ajaran
terdalam Islam (yang esoterik) terdapat keniscayaan titik-temu
bahkan kesatuan esensial agama-agama. Dengan cara pandang ini,
maka terdapat “celah yang besar” bahwa Rahmat atau Kasih Sayang
Allah (yang berbentuk surga misalnya) dapat dianugerahkan pada
siapa pun dan dalam tradisi agama apa pun dengan syarat mereka
beriman kepada ajaran pokok agamanya masing-masing dan ber-
amal saleh. Kesimpulan ini dapat kita baca secara eksplisit pada
uraian-uraian teologis Cak Nur dan Kang Jalal. Sementara pada
Gus Dur, kita bisa menangkap sebuah “semangat” yang implisit
bahwa non-Muslim akan mendapat Rahmat Allah. MUI menang-
kap satu pandangan yang tepat bahwa kesimpulan yang dihasilkan
dari paham pluralisme agama adalah (seperti ditulis oleh MUI sen-
diri) “bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup ber-
dampingan di surga.”

310 Wajah Studi Agama-Agama


Kebalikan dari pandangan keempat tokoh di atas, MUI, te-
patnya figur-figur “ulama” dalam tubuh MUI, lebih memandang
secara tekstual (eksoterik) ajaran-ajaran Islam yang berkaitan de-
ngan isu pluralisme agama. Karena itu, pada halaman kedua dari
fatwa itu, MUI menyajikan ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi (tanpa
penjelasan tafsirnya) yang menegasikan adanya “kebenaran” dan
“keselamatan” pada agama non-Islam. MUI misalnya, menunjuk-
kan dua ayat al-Qur`an yang sangat populer, yaitu “Barang siapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi,” (QS. Ali ‘Imran: 85) dan “Sesungguhnya agama
(yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali ‘Imran: 19).295
Juga sebuah hadis Nabi, “Demi Dzat Yang menguasai jiwa Mu-
hammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang
mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan
tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi
penghuni neraka” (Hadis riwayat Muslim).296 Dengan dalil-dalil teo-
logis itu, MUI ingin menegaskan bahwa, secara akidah, hanya Is-
lam saja agama yang diridhai oleh Tuhan dan selamat di akhirat,
sedangkan agama-agama non-Islam, terutama Yahudi dan Nasrani,
tidak akan selamat di akhirat. Dengan dua ayat yang sama, yaitu
surat Ali ‘Imran ayat 19 dan 85, kita melihat terjadi penafsiran/pem-
bacaan yang berbeda antara MUI dengan para pengusung konsep
pluralisme di atas. Sekali lagi, jika MUI “membaca” kejelasan teks-
teks ayat dan hadis di atas pada dirinya sendiri, tanpa perlu penaf-
siran yang lebih jauh lagi, maka tokoh-tokoh pluralisme diatas
menafsirkannya dalam perspektif lain yang lebih luas, misalnya
menghubungkan ayat-ayat itu dengan konsep keadilan Tuhan, ke-
manusiaan, dan melihat konteks-konteks yang menyertai ayat-ayat
dan hadis itu. Menurut saya, problem pokoknya adalah pada cara
pandang dan penafsiran yang berbeda itu. Jika sama-sama sedang
memerankan sebagai penafsir atau pembaca, karena tentu saja Tu-
han Yang Maha Kuasa-lah yang mengetahui maknanya secara mut-
lak, maka apakah pantas memperlakukan penafsiran (pembacaan)

Dr. Media Zainul Bahri 311


yang berbeda dengan cara mengeluarkan fatwa “keharaman” dan
“kesesatan” atas tafsir yang berbeda itu?

3. Dialog Antaragama dan Passing Over


Pada era ini (1990-an) selain isu pluralisme, dialog antar-agama
(interreligious dialogue), atau dialog antar umat beragama, atau
kadang disebut dialog antar-iman (interfaith dialogue) juga menjadi
arus utama dalam Studi Agama-agama dan Studi Islam Indonesia.
Forum dialog ini ramai diadakan, baik dalam forum-forum resmi
tingkat nasional dan internasional maupun ruang-ruang kecil in-
formal, baik dengan model-model yang lebih akademis karena di-
adakan di perguruan tinggi atau kantor pemerintah, maupun dalam
lingkup-lingkup kecil di masyarakat yang terdiri dari banyak peng-
anut agama. Sebelum melihat model-model dialog pada masa 1990-
an, penting untuk membaca sejarah dialog antar-agama di Indone-
sia dan peran penting Mukti Ali sebagai perintis dan pendorong
banyak aktivitas dialog intra dan antar umat beragama.

A. Dialog Antaragama
Dalam sejarah dialog antaragama di Indonesia, sebenarnya
Mukti Ali sendiri telah merintis dan terlibat aktif dalam kegiatan
dialog ini sejak 1969. Aktivitasnya dalam dialog antar-agama sema-
kin intens ketika ia menjadi Menteri Agama. Karena itu, ketika
berdiskusi dengan Mukti Ali, B.J. Boland menyatakan bahwa ia
“menolak” menyebut Mukti Ali sebagai sarjana Perbandingan Aga-
ma, tetapi lebih tepat menamainya sebagai “Teolog Muslim tentang
agama-agama” (Muslim theology of religions), dan dalam istilah
Steenbrink, Mukti Ali adalah designer of Muslim Theology of Reli-
gion.297 Pandangan Boland itu berdasarkan kepada beberapa argu-
men pokok. Menurut Boland, Islam sejak awal telah mengenal “teo-
logi agama-agama,” dalam pengertian selain menegaskan finalitas
dan kesempurnaannya, Islam juga menghormati dan memiliki pan-
dangan yang positif atas agama-agama lain, terutama Yahudi dan
Kristen. “Teologi agama-agama” menurut Boland, berbeda dengan
studi Perbandingan Agama. Studi PA adalah studi ilmiah tentang

312 Wajah Studi Agama-Agama


asal usul, perkembangan dan saling keterhubungan (interrelations)
antara sistem-sistem keberagamaan umat manusia yang berbeda satu
sama lain. Studi PA harus berusaha memahami doktrin dan ajaran
agama lain dari sumber pertama, yaitu pengetahuan dan pengalam-
an pemeluknya langsung, dan pada saat yang sama “orang luar”—
sebisa mungkin—harus menghindari melakukan penilaian subjek-
tif atas agama yang ditelitinya itu.298
Menurut Boland, karya Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama:
Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima (1965) bukan kar-
ya Perbandingan Agama melainkan karya teologi agama-agama.
Buku itu menjelaskan tentang tradisi kesarjanaan Islam mengenai
ilmu PA dan tradisi Perbandingan Agama di Barat. Yang juga cukup
menonjol adalah kesimpulan Mukti Ali, antara lain bahwa (1) bagi
kaum Muslim yang mempelajari agama-agama lain harus menda-
sarkan diri kepada al-Qur’an, karena kitab itu merupakan sumber
pokok tentang agama-agama lain, (2) kitab suci agama-agama lain
tidak memberikan solusi bagi kehidupan sosial, tetapi al-Qur’an
langsung member perhatian atas kehidupan sosial, (3) al-Qur’an
juga menunjukkan sistem dan etika monoteisme yang murni, yang
dapat menjadi rujukan utama dalam mempelajari agama-agama
monoteis, (4) Islam adalah agama dakwah, sebagaimana juga Hin-
du, Buddha dan Kristen. Tetapi dakwah harus dengan cara yang
simpatik dan sikap saling menghormati.299 Dengan membaca kese-
luruhan karya itu, muncul kesan bahwa Islam memiliki posisi dalam
studi PA, dan dapat memberi kontribusi bagi studi PA serta bagi
kehidupan keagamaan yang harmonis. Selain itu, menurut Boland,
Mukti Ali adalah figur yang paling getol mempromosikan dialog
antaragama dengan cara—salah satunya—menunjukkan bahwa
ilmu PA memiliki posisi yang sangat penting dan memiliki materi
yang berlimpah untuk proses dan merancang dialog.300
Pandangan kesarjanaan dan keislaman Mukti Ali tentang hal-
hal di atas yang membuat Boland menilai bahwa karya Mukti Ali di
atas adalah bukan karya studi PA yang ketat, melainkan bahwa
Mukti Ali adalah figur/teolog Muslim perancang dialog yang handal.

Dr. Media Zainul Bahri 313


Di samping hal-hal itu menurut Steenbrink, Mukti Ali sendiri tidak
pernah melakukan penelitian “mendalam” tentang agama-agama
lain.301 Pandangan Boland memang cukup “tajam” dan secara aka-
demik/kesarjanaan studi PA dapat diterima. Tetapi, kita harus mem-
pertimbangkan konteks sosio-keagamaan pada masa 1960-an. Saat
itu, Mukti Ali, melalui pergulatan intelektual dan keagamaan harus
“memulai” atau “melahirkan” ilmu baru di tengah kondisi keba-
tinan dan pandangan keagamaan umat beragama yang cenderung
eksklusif. Bukan hal mudah bagi Mukti Ali untuk menawarkan
disiplin ilmu PA yang harus langsung “ekstra ilmiah.” Karena itu,
kurang adil jika Boland melihat posisi Mukti Ali sebagai perintis
atau pelopor dengan ukuran perkembangan ilmu PA pada tahap-
nya yang ideal. Dengan kepeloporan itu saja dan usaha-usahanya
yang tak kenal lelah, Mukti Ali tetap dikenang sebagai ahli, bahkan
“Bapak” ilmu PA di Indonesia.
Jika kita membaca tulisan-tulisan Mukti Ali mengenai dialog,
terdapat petunjuk bahwa pada 1969 dialog antar-agama diadakan
dua kali: pertama, seperti yang ia tulis dalam Ilmu Perbandingan
Agama Di Indonesia, dialog yang difasilitasi oleh pemerintah pada
tahun itu dan dihadiri oleh para pemimpin agama Islam, Protestan,
Katolik, Hindu dan Buddha. Namun kata Mukti Ali, kegiatan dia-
log saat itu tidak berhasil karena terdapat satu hal yang tidak dise-
tujui oleh Protestan dan Katolik tentang adanya saran bahwa pe-
nyiaran agama tidak boleh ditujukan kepada orang-orang yang su-
dah beragama. Klausul ini ditolak oleh para pemimpin dua organisasi
Kristen itu, hingga pertemuan (dialog) itu tidak menghasilkan ru-
musan (kesepakatan) seperti yang diharapkan.302
Kedua, Dialog antara Islam dan Kristen yang berlangsung pada
November 1969 di sebuah kolese Katolik. Menurut pengakuan
Mukti Ali dalam makalahnya, Dialogue Between Muslims and Chris-
tians in Indonesia and Its Problems, dialog itu terlaksana atas inisiatif-
nya sendiri yang kemudian direspons oleh teman-teman Kristiani.
Dialog itu dihadiri oleh seorang Muslim (Mukti Ali sendiri), dua
orang Katolik dan tiga orang Protestan. Lalu, dialog (pertemuan)

314 Wajah Studi Agama-Agama


kedua diadakan lagi padaDesember di tahun yang sama.303 Kita
akan melihat pandangan Mukti Ali lebih lanjut mengenai penger-
tian dialog, model-modelnya dan alasan kebutuhan pentingnya ber-
dialog.
Bagi Mukti Ali, dialog antar-agama adalah pertemuan hati dan
pikiran antar pemeluk berbagai agama. Dialog adalah komunikasi
antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Dialog me-
rupakan perjumpaan antar pemeluk agama tanpa merasa rendah
dan tanpa merasa tinggi, dan tanpa agenda atau tujuan yang dira-
hasiakan. Jikapun ada tujuan, maka tujuannya adalah hendak men-
capai kebenaran, saling pengertian dan kerja sama dalam proyek-
proyek yang menyangkut kepentingan bersama. Seorang Muslim
misalnya, yang berjumpa dengan penganut agama lain dalam dia-
log, maka ia tetap sebagai Muslim. Begitu pula seorang Kristen,
Hindu, dan Buddha yang berjumpa dengan orang lain beda agama.
Seorang penganut agama mau mendengarkan mitra dialognya yang
berbeda agama dan bersedia belajar darinya. Setiap peserta dialog
hendaknya mau saling mendengar dan saling belajar dari mitra
dialog masing-masing. Karena itu menurut Mukti Ali, syarat utama
berhasilnya suatu dialog adalah adanya sikap mental tertentu dari
para peserta dialog seperti hormat, suka mendengarkan, ikhlas, ter-
buka dan kemauan untuk menerima dan bekerja sama dengan orang
lain.304
Lebih dari itu, bagi Mukti Ali, dalam berdialog setiap peserta
memiliki hak penuh dan kebebasan untuk menyampaikan keper-
cayaan keagamaannya, hingga akan muncul suatu kejelasan adanya
persamaan dan perbedaan ajaran satu agama dengan yang lain.
Dialog tidak berarti setiap orang harus meninggalkan keyakinan
agamanya, baik sebagiannya maupun seluruhnya. Sekali lagi, bagi
Mukti Ali, dialog antaragama adalah suatu perjumpaan yang sung-
guh-sungguh, bersahabat dan berdasarkan hormat dan cinta antar
berbagai pemeluk agama yang beragam.305
Bagi Mukti Ali, kegiatan dialog memiliki dua manfaat sekaligus,
yaitu (1) dialog antarumat beragama membantu orang untuk tum-

Dr. Media Zainul Bahri 315


buh lebih kukuh dan mantap dalam agamanya sendiri ketika ia
berjumpa dengan orang dan kelompok yang memiliki kepercayaan
dan agama yang berbeda dengannya. Sering kali kebenaran itu lebih
tampak, lebih dihargai, dan lebih dipahami, jika dihadapkan dengan
pandangan orang lain yang berbeda. Dialog semacam itu akan se-
makin memurnikan dan memperdalam keyakinannya sendiri.306
Pandangan Mukti Ali ini dapat juga diartikan bahwa dialog yang
di dalamnya terdapat proses saling mengerti dan memahami, dan
dengan demikian juga belajar dari kekayaan tradisi orang lain, akhir-
nya akan memunculkan keyakinan yang sungguh-sungguh akan
kebenaran agama sendiri. Kita tidak tahu apakah Mukti Ali mem-
baca tulisan Hans Küng atau tidak karena ia tidak mencantumkan
referensi itu, namun pandangan Mukti Ali itu ternyata memiliki
kesamaan dengan sebuah tulisan Hans Küng yang dipublikasikan
pada 1983 (sepuluh tahun lebih dulu dari makalah Mukti Ali). Dalam
setiap dialog antar-iman yang dilakukan, Küng menyebut tiga man-
faat dialog:
a. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-
nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka
kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh.
b. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain,
maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-
sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan
berubah.
c. Hanya jika kita berusaha memahami orang lain, maka kita da-
pat menemukan dasar yang sama, meskipun ada perbedaannya,
yang dapat menjadi landasan untuk hidup bersama secara
damai dalam dunia ini.307
(2) Dialog antarumat beragama, bagi Mukti Ali, dapat mening-
katkan kerja sama, saling pengertian dan saling menghormati antar
manusia. Motivasi agama adalah salah satu dorongan yang paling
kuat untuk melahirkan tindakan. Kebudayaan dan agama erat se-
kali hubungannya. Masyarakat umat manusia selalu dihadapkan
oleh adanya perubahan dan tantangan, bahaya dan ketegangan,

316 Wajah Studi Agama-Agama


krisis dan kesempatan, yang menuntut umat beragama untuk me-
ningkatkan keadilan dan perdamaian, cinta dan kasih.308 Hal itu
dapat terlaksana dengan baik melalui serangkaian dialog yang dila-
kukan. Pada poin kedua ini, saya kira, pandangan Mukti Ali sangat
positif. Lalu, Mukti Ali juga menyebut macam-macam dialog, yaitu:
(a) Dialog Kehidupan. Para pemeluk agama yang berbeda dalam
kehidupan sehari-hari dapat melakukan “dialog kehidupan” baik
formal maupun informal mengenai hal-hal yang menyangkut ke-
pentingan bersama. (b) Dialog Kerja sama dalam kegiatan-kegiatan
sosial yang diinspirasi oleh agama. Misalnya, para pemeluk agama
yang berbeda dapat merancang proyek-proyek pembangunan se-
perti program meningkatkan kehidupan keluarga, orang miskin,
kekeringan, pengangguran dan lain-lain.309
(c) Dialog untuk Doa Bersama. Dialog model ini sering dila-
kukan dalam pertemuan nasional dan internasional yang dihadiri
oleh berbagai tokoh agama yang beragam dan para pengikutnya.
(d) Dialog Komunikasi Pengalaman Agama, atau Dialog Intermo-
nastik. Contoh dari model dialog ini misalnya pemimpin agama
Hindu tinggal di biara Buddhisme untuk satu minggu, atau pe-
mimpin Kristen tinggal di pondok pesantren untuk satu minggu
demi mempelajari tradisi agama yang ditinggalinya. Jelasnya, pe-
mimpin suatu agama bersedia tinggal dalam waktu tertentu di pusat
agama orang lain. Dengan itu, akan timbul saling pengertian yang
mendalam, dan dengan itu pula saling penghargaan dan kerja sama
dalam berbagai bidang dapat diadakan. Namun, yang melakukan
dialog model ini bukanlah sembarang orang, melainkan para pe-
mimpin atau tokoh-tokoh agama, atau orang yang bersungguh-
sungguh ingin mengetahui kehidupan sehari-hari pemimpin agama
lain. (e) Dialog Koloqium Teologis, atau Dialog Diskusi Teologis,
yaitu ahli-ahli agama saling bertukar informasi tentang keyakinan,
kepercayaan dan praktik agama masing-masing demi terwujudnya
rasa dan sikap saling pengertian.310
Mukti Ali mengemukakan beberapa alasan penting adanya ke-
butuhan untuk berdialog, misalnya pertama, pluralisme agama

Dr. Media Zainul Bahri 317


merupakan kenyataan yang semakin jelas (Mukti Ali tidak menye-
but pluralitas agama). Di Indonesia sendiri terdapat banyak agama
dan kepercayaan. Pada konteks ini, orang tidak bisa menutup mata
akan hadirnya agama dan kepercayaan lain. Seseorang tidak bisa
lagi mengabaikan kenyataan eksistensi agama-agama lain yang hi-
dup berdampingan dengannya. Kedua, karena kenyataan pluralisme
itu, seorang pemeluk agama akhirnya memiliki keinginan dan ke-
butuhan untuk menjalin kontak dengan pemeluk agama lain. Ka-
rena itu mengisolasi diri, selain harus ditinggalkan juga tidak mung-
kin lagi dilakukan. Dalam dunia yang cepat berubah dan tersedianya
teknologi komunikasi yang sangat canggih, setiap orang, setiap pe-
meluk agama akan dan mesti bersentuhan dan berkomunikasi de-
ngan orang lain, dengan pemeluk agama lain. Karena alasan inilah
para penganut agama yang berbeda-beda membutuhkan komuni-
kasi dan dialog antar mereka dengan variannya masing-masing.311
Lalu, Mukti Ali juga mengemukakan alasan teologis, yaitu
bahwa umat manusia berasal dari Sumber yang sama, yaitu Tuhan.
Dalam ajaran sufisme disebutkan bahwa baik laki-laki maupun pe-
rempuan merupakan citra atau image Tuhan (imago Dei) dan dicip-
takan untuk tujuan akhir yang sama yaitu menuju Tuhan sendiri.
Dari sini lahir konsep kesatuan (esensial) umat manusia, dan kesa-
tuan inilah yang mendorong manusia untuk berusaha mewujudkan
perdamaian bersama (universal). Karena alasan teologis inilah, maka
para penganut agama harus mengambil sikap positif terhadap aga-
ma-agama yang bukan agamanya sendiri. Hal ini bisa dilakukan
dengan dialog dan kerja sama antar pemeluk agama untuk bersama-
sama mengenal, memelihara dan meningkatkan lelaku spiritual dan
moral. Dengan cara ini, umat beragama akan mengetahui betapa
banyak kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada hamba-
Nya. 312
Dengan berbagai penjelasan itu, maka dialog antar-agama
bukan semata kerja akademis, bukan pula merupakan diskusi filo-
sofis dan teologis belaka, melainkan ia adalah anjuran agama. Dia-
log adalah usaha untuk keselamatan dan kesejahteraan, dan itu

318 Wajah Studi Agama-Agama


adalah bagian dari tujuan total agama. Tugas agama sangat kom-
pleks, dan hanya dapat dicapai melalui hubungan vertikal (dengan
Tuhan) dan horizontal (dengan manusia) sekaligus.313 Bagi Mukti
Ali, dalam konteks Indonesia, dialog antaragama sesungguhnya
mudah diadakan dan dapat berhasil, dalam arti dapat merumuskan
konsep kerukunan yang bisa disepakati bersama, karena apa? Ka-
rena masyarakat Indonesia telah memiliki tradisi yang sudah lama,
yaitu “musyawarah untuk mufakat.” Tradisi ini tidak semata berlaku
dalam kehidupan politik, tetapi juga telah dipraktikkan dalam ke-
hidupan sehari-hari. Dalam pandangan dan praktik kehidupan ma-
syarakat Indonesia juga memiliki kemampuan untuk “merelatifkan”
segala sesuatu. Tidak main mutlak-mutlakkan, melainkan fleksibel
dan tepo-seliro (tenggang rasa). Hal ini dapat menjadi dasar dan
modal bagi berhasilnya suatu dialog antar umat beragama demi
kedamaian bersama.314
Gagasan dialog yang dirancang oleh Mukti Ali dan model-mo-
delnya, sesungguhnya suatu prestasi yang cemerlang pada masa
itu, setidaknya ketika ia menjadi ahli Perbandingan Agama dan
Menteri Agama sekaligus. Ia banyak membaca referensi dari Barat,
melihat hubungan antar-agama serta model dan praktik kerukunan
di negeri-negeri lain, lalu merumuskannya untuk konteks Indone-
sia yang majemuk dan kenyataan adanya hubungan yang kompleks
antar berbagai agama dan keyakinan. Ide tentang dialog Inter-
monistik juga sangat menarik dan kiranya relevan untuk konteks
Indonesia yang sangat majemuk ini. Dalam pengalaman banyak
orang, dialog yang intens atau tinggal di suatu tempat orang yang
berbeda dalam waktu-waktu tertentu ternyata dapat “meruntuh-
kan” atau “meluruhkan” berbagai prasangka, kecurigaan dan pan-
dangan negatif tentang orang lain yang berbeda dengan kita. Pada
saat yang sama, yaitu ketika kita telah menemukan pemahaman
yang benar dan tepat tentang keberbedaan itu atau jawaban yang
memuaskan—muncul perasaan “respek” dan “empati.” Dialog se-
jatinya suatu cara yang sungguh manusiawi, menyentuh dan me-
miliki kekuatan untuk memperbarui autentisitas diri kita.

Dr. Media Zainul Bahri 319


Lalu, Apakah ada hubungan antara Ilmu PA dengan dialog?
Menurut Mukti Ali, para ahli Perbandingan Agama memang telah
berdebat soal tujuan ilmu PA yang dicapai dengan metodologi yang
“objektif” dengan praktik dialog yang sering kali “subjektif.” Per-
debatan para ahli itu kemudian menghasilkan kesimpulan yang
bermacam-macam, misalnya satu pandangan yang menonjol bahwa
aktivitas dialog bukanlah bagian dari tujuan mempelajari Perban-
dingan Agama. Di tengah berbagai macam pandangan soal itu, Muk-
ti Ali sendiri menilai dan meyakini bahwa keberadaan ilmu PA di
Indonesia telah membantu memudahkan kegiatan dialog antar-
umat beragama. Bagi Mukti Ali, seperti telah disinggung di muka,
bahwa “ilmu tidak semata untuk ilmu” sebagaimana ia tidak setuju
jika “seni untuk seni.” Ilmu, sebagaimana juga seni, harus bertujuan
untuk ibadah kepada Allah. Karena keyakinan itu, maka bagi Mukti
Ali, studi PA di Indonesia, di samping mempelajari agama secara
ilmiah, juga dimaksudkan untuk pembangunan masyarakat dan
bangsa. Tujuan ilmu PA—bersama-sama dengan orang-orang yang
memiliki maksud yang baik—juga hendak menciptakan dunia yang
aman dan damai berdasarkan etika dan moral agama.315 Maka, dia-
log antaragama adalah salah satu elemen ilmu PA, atau satu pen-
dekatan dalam ilmu PA untuk memahami agama orang lain secara
benar dan tepat seperti yang diyakini oleh para pemeluknya. De-
ngan pemahaman yang objektif itu akan muncul perasaan meng-
hormati dan saling menghargai, dengan harapan praktis agar ke-
damaian dapat terwujud dan dirasakan bersama.
Sekarang kita kembali pada gagasan dan praktik dialog yang
populer disuarakan pada masa 1990-an. Pada masa ini, kembali
kita melihat para sarjana dan tokoh Islam, yang sebagiannya terlibat
aktif menyuarakan isu pluralisme agama. Cak Nur misalnya—da-
lam berbagai tulisan dan ceramah-ceramahnya—juga terlibat aktif
mendorong aktivitas dialog antar-agama. Menurut Cak Nur, lan-
dasan pokok dialog antar-agama dalam perspektif Islam adalah pan-
dangan-pandangan al-Qur‘an sendiri yang memberi isyarat secara
implisit dan memerintahkan kaum beriman secara eksplisit untuk

320 Wajah Studi Agama-Agama


berdialog. Ide-ide pokok teologis Cak Nur mengenai dialog sesung-
guhnya “satu paket” dengan isu inklusivisme dan pluralisme agama.
Gagasan utamanya dijelaskan dalam dua hal penting, yaitu pertama,
adanya kesatuan pesan kenabian. Para nabi dan rasul yang diutus
Tuhan membawa ajaran lahiriah (syari’at) yang berbeda-beda sesuai
kebutuhan umat dan konteks masing-masing. Namun, pesan inti
kenabian yang diturunkan sesungguhnya dalam satu spirit yang
sama, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat pasrah kepada Tuhan
yang disebut dengan al-islâm dan ajaran Tawhid. Inti agama (Dîn)
seluruh rasul adalah sama (al-Syûrâ: 13) dan umat serta agama me-
reka itu seluruhnya adalah umat dan agama yang satu, seperti dise-
but Tuhan, “Sungguh inilah persaudaraan kamu, persaudaraan yang
satu dan Aku adalah Tuhanmu, sembahlah Aku.” (al-Anbiyâ: 92 dan
al-Mu‘minûn: 52).
Kaum Muslim sendiri juga diperintahkan untuk beriman
(mengakui) kepada semua nabi dan rasul yang diturunkan, tanpa
membeda-bedakan seorang pun atas yang lain, sambil berserah
diri kepada Tuhan (al-Baqarah: 136). Kedua, ajaran mengenai Ahl
al-Kitâb (Ahli Kitab), yaitu pandangan mengenai pengakuan terten-
tu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci, yang
memberikan kebebasan menjalankan ajaran agama mereka ma-
sing-masing. Bagi Cak Nur, berbagai pandangan Islam inklusif-
pluralis inilah, sebagaimana telah saya paparkan secara memadai
dalam subbab “Pluralisme Agama,” maka sesungguhnya dialog
antar umat beragama adalah sesuatu yang tidak saja dimungkinkan,
bahkan diperlukan, jika tidak disebut diharuskan. Kaum Muslim
diperintahkan Tuhan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju
ke “pokok-pokok kesamaan” (kalimat-un sawâ`), yaitu menuju ke
ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (Tawhid) seperti disebut dalam
Ali ‘Imran: 64. Adanya ayat-ayat yang positif dan simpatik kepada
Ahli Kitab, menurut Cak Nur, adalah ajakan Allah kepada kaum
Muslim untuk membuka diri dalam proses dialog demi mendapat-
kan keyakinan bersama tentang Kebenaran yang paling mendalam,
seperti disebut Wilfred Cantwell Smith, “All inner faith is interfaith.”

Dr. Media Zainul Bahri 321


Meskipun Esensi semua agama adalah satu dan sama, namun
manifestasi sosiokulturalnya secara historis berbeda-beda, bahkan
ada “doktrin” (eksoterik) yang tidak bisa “didamaikan” antara satu
agama dengan agama lain. Karena itu, berdialog sangat diperlukan
untuk rumusan-rumusan yang membawa kedamaian bagi semua.
Menurut Cak Nur, jika rumusan linguistik dan verbal keyakinan
(doktrin-doktrin lahiriah) keagamaan itu berbeda-beda, namun ek-
ternalisasi keimanan itu dalam dimensi sosial kemanusiaannya tentu
sama, karena menyangkut praktik yang konkret. Maka al-islâm
sendiri, menurut Nabi, paling baik dinyatakan dalam aktivitas ke-
manusiaan seperti menolong kaum miskin atau mengusahakan
perdamaian kepada semua orang tanpa kecuali. Dengan pandangan
ini, Cak Nur sesungguhnya sedang membicarakan dua model dia-
log sekaligus, yaitu dialog pada tataran teologis yang normatif dan
dialog praksis, yakni pada problem-problem sosial kemanusiaan
yang konkret. Pada dua level ini, umat beragama dalam tradisi aga-
ma apa pun sesungguhnya dapat berdialog, saling mendengar, bela-
jar dan berbagi (sharing). Dengan melihat dua model dialog yang
dinamis ini, maka bagi Cak Nur dialog antaragama dapat dipan-
dang sebagai realisasi (praktik) ajaran agama yang paling asasi, dan
kerja sama kemanusiaan yang dihasilkannya berdasarkan keimanan
kepada Tuhan Yang Mahaesa adalah berarti memenuhi perintah
mulia dalam Kitab Suci.
Dalam dialog teologis, menurut Cak Nur lebih lanjut, tujuan-
nya bukan untuk “membuat” suatu kesamaan pandangan, apalagi
keseragaman, karena hal itu seperti “mengkhianati” tradisi suatu
agama. Setiap agama memiliki keunikan/kekhasan masing-masing.
Karenanya, yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan
(secara teologis) hanya sejauh yang dimungkinkan, bukan atas ajar-
an-ajaran yang sulit—untuk tidak menyebut mustahil—bertemu.
Dalam dialog teologis ini, setiap peserta dialog harus bersikap cermat
dan adil. Harus dapat memilah atau membedakan mana ajaran
agama yang bersifat teologis-filosofis dan mana ajaran agama dalam
dimensi historisnya. Karena itu, jika materi dialog untuk melaku-

322 Wajah Studi Agama-Agama


kan perbandingan misalnya, maka harus cermat membandingkan
suatu ajaran agama tertentu dalam aspek teologis-normatifnya de-
ngan ajaran agama lain yang juga bersifat teologis. Jika melihat ke-
nyataan historis suatu agama, maka juga harus dibandingkan dengan
fakta historis agama lain, dan begitu seterusnya. Dialog yang berlan-
daskan semangat kebersamaan, keadilan, kejujuran dan keterbu-
kaan itulah dialog yang akan bermanfaat dan memperkaya satu
sama lain.
Jika Cak Nur banyak membicarakan pandangan normatif-
teologis Islam atas keniscayaan dialog kaum Muslim dengan para
penganut agama lain, maka Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
dalam sebuah artikelnya, “Dialog Agama dan Masalah Pendang-
kalan Agama” (1998) lebih melihat secara konkret hambatan-ham-
batan psikologis dan teologis dalam berdialog, terutama pada umat
Islam. Menurut Gus Dur, pada masa itu (tahun 1990-an) kaum
Muslim Indonesia tengah mengalami proses pendangkalan agama
karena interaksinya dengan Islam model Timur Tengah. Proses pen-
dangkalan karena interaksi itu sebenarnya telah berlangsung lama
jika dilihat sejarahnya ke belakang, tepatnya ketika kaum Muslim
Nusantara mulai berinteraksi dengan Islam Timur Tengah. Islam
model Timur Tengah menurut Gus Dur telah menjadi ideologi atau
komoditas politik. Hal ini berbeda dengan Islam Indonesia yang
lebih bersifat kultural dan hidup di tengah suasana yang damai,
aman dan tanpa kekhawatiran.316 Model-model Islam Timur Tengah
yang terlihat lebih agresif, militan dan ideologis karena perjuang-
annya melawan musuh-musuh mereka (misalnya Israel) dan ke-
inginannya membentuk negara Islam (teokrasi) telah “mengimpor”
pengaruh yang cukup besar terhadap pandangan, sikap dan cara
hidup Muslim Indonesia.
Karena pengaruh-pengaruh itu dan beberapa faktor lain, maka
proses pendidikan dan dakwah Islam di tanah air dalam 40 tahun
terakhir, menurut Gus Dur, cenderung bersifat memusuhi, men-
curigai dan tidak mau mengerti agama lain. Sikap ini tidak saja
ditunjukkan para mubaligh di mimbar dakwah, tetapi juga oleh para

Dr. Media Zainul Bahri 323


guru sekolah. Dua faktor penting di dalam negeri, selain pengaruh
Timur Tengah, menurut Gus Dur adalah: pertama, banyak orang
Islam mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehi-
dupan modern, yang kemudian berdampak pada hilangnya akar-
akar psikologis dan kultural. Banyak orang yang sudah tinggal di
kota-kota besar, tetapi mentalnya masih “kampungan.” Mereka be-
lum menerima modernisasi secara total. Selalu ada rasa khawatir
terlepas dari agama. Karena itu sikap beragamanya cenderung kaku,
keras dan intoleran. Kedua, Islam telah dijadikan ajang kepentingan
politik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi orang
lain. Dari sini muncul proses pendangkalan agama: kepentingan
Islam diletakkan dalam kepentingan yang eksklusif, dan menjadi
kepentingan yang paling utama. Karena itu terjadilah eksklusivisme
agama di kalangan kaum Muslim.317 Jika sikap-sikap eksklusif dan
tidak mau mengerti agama orang lain terus ditonjolkan, maka sulit
melakukan dialog dalam pengertian yang sebenarnya (bukan mono-
log).
Menurut Gus Dur, dirinya yang dekat dengan kalangan non-
Muslim dibanding dengan kaum Muslim sendiri sering mendapat
kritik tajam dari tokoh-tokoh Islam. Mereka merujuk kepada ayat
al-Qur‘an bahwa Nabi Muhammad dan pengikutnya harus keras
terhadap orang-orang kafir dan santun kepada sesamanya (asyiddâ
‘ala al-kuffâr, ruhamâ baynahum). Menurut Gus Dur, dengan me-
ngutip ayat al-Qur‘an, kritik itu tampaknya sangat serius, tetapi
kekeliruan yang dilakukannya juga cukup serius. Yang dimaksud
dengan “keras terhadap orang kafir” dalam ayat itu bukan orang-
orang non-Muslim, melainkan kaum kafir yang memerangi agama
Islam (dalam konteks ayat itu, kaum kafir Mekkah). Sudah tentu
ada perbedaan antara orang-orang non-Muslim dengan kaum kafir
yang seperti itu—katakanlah kafir kategoris. Lalu, “santun terhadap
sesamanya” (ruhamâ baynahum) juga patut dipertanyakan. Nabi
Muhammad pernah bersabda, “Seandainya Fatimah anak perem-
puanku mencuri, maka akan aku potong tangannya.” Apakah sikap
Rasul itu santun atau tidak? Menurut Gus Dur, itu santun, karena

324 Wajah Studi Agama-Agama


Nabi menyayangi Fatimah dan tidak ingin ia melakukan perbuatan
yang hina. Akan tetapi sikap santun itu ditunjukkan dengan cara
memotong tangannya jika ia mencuri. Karena itu, pertanyaannya:
apakah ukuran kedekatan dan kesantunan itu? Apakah jika tidak
menyenangkan satu pihak dianggap tidak santun kepada umat Is-
lam? Secara hipotesis, bagi Gus Dur, esensi “saling menyantuni”
justru terletak pada sikap-sikap saling mengoreksi sesama kaum
Muslim. 318
Sikap eksklusif dan antitoleransi ditunjukkan lagi oleh kaum
Muslim eksklusif dengan mengutip ayat favorit, yaitu “Wahai Mu-
hammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu sampai engkau mengikuti agama mereka.” Menurut
Gus Dur, kata “tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi,
lalu dikaitkan dengan pembangunan gereja-gereja, pengabaran Injil,
Kristenisasi, konflik Israel-Palestina, dan lain-lain. Dua hal yang ber-
beda sama sekali diletakkan dalam satu hubungan yang tidak jelas.
Padahal jika masalahnya didudukkan secara proporsional, kaum
Muslim tidak akan keliru memahami arti “tidak rela” di situ. Tidak
rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Itu pasti
(dan wajar, sic.). Menurut Gus Dur, ibarat seorang gadis muda yang
dipaksa kawin dengan seorang kakek, gadis itu pasti tidak akan
rela. Artinya, ia tidak bisa menerima konsep dasar bahwa ia akan
hidup bahagia jika kawin dengan kakek itu. Tetapi belum tentu ia
melawan atau memusuhi. Ia terpaksa menjalani rumah tangga itu
meskipun tidak rela, persis seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawin
dengan Datuk Maringgih.319
Pandangan yang menyatakan bahwa Yahudi dan Kristen tidak
bisa menerima konsep dasar Islam, bagi Gus Dur, itu hal yang pasti
(dan tentu saja harus seperti itu). Sebab, jika mereka rela meneri-
manya, itu artinya mereka bukan Yahudi dan Kristen lagi. Begitu
pula kebalikannya. Kaum Muslim tentu tidak akan rela terhadap
konsep-konsep dasar Yahudi dan Kristen, misalnya konsep menge-
nai ketuhanan Kristen, kaum Muslim sulit menerima konsep itu
karena dasarnya memang sudah berbeda. Namun, tidak berarti

Dr. Media Zainul Bahri 325


harus menunjukkan kebencian dan permusuhan. Dalam Islam,
seorang Muslim harus mantap keyakinan tauhidnya, namun pada
saat yang sama harus juga menghargai keyakinan dan pendapat
orang lain. Menurut Gus Dur, sikap mau mendengar dan meng-
hargai perbedaan itu telah dicontohkan oleh para pendiri republik
ini. Mereka bisa menerima bahwa konsep ketuhanan yang lain juga
memiliki hak untuk hidup di Indonesia. Padahal sebagian besar,
yakni 5 dari 9 orang adalah wakil-wakil dari (gerakan) Islam, yaitu
Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir,
Agus Salim, dan Ahmad Subarjo—belum termasuk Soekarno dan
Muhammad Hatta, sebab keduanya sering dianggap tidak mewakili
Islam. Dalam pandangan Gus Dur, para tokoh itu menunjukkan
sikap lapang dada yang luar biasa hingga mereka mengakui bahwa
macam-macam agama dan kepercayaan di Indonesia sama-sama
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam konteks dialog antaragama, Gus Dur berpendapat bah-
wa bangsa Indonesia harus terus mengembangkan paham dan sikap
bertoleransi, bertenggang rasa, saling mengerti dan memiliki komit-
men untuk hidup bersama. Misalnya pemerintah memiliki prog-
ram Kerukunan Umat Beragama, namun selama ini dimaknai ha-
nya sekadar rukun saja. Rukun itu artinya peaceful coexistence: hidup
berdampingan secara damai, tetapi tidak saling mengerti. Padahal
yang mesti dikembangkan adalah rasa kebersamaan dan saling
mengerti. Contoh konkret yang sering menimbulkan konflik adalah
soal pendirian gereja. Kaum Muslim berteriak marah karena tidak
suka. Menurut Gus Dur, kaum Muslim hendaknya dapat mengerti
bahwa agama Kristen memiliki banyak sekte, sinoda dan aliran-
aliran yang berbeda. Tiap aliran butuh gerejanya sendiri karena
memang ritus dan liturginya berbeda-beda. Karena itu, tidak meng-
herankan jika tiap sekian kilometer dibangun sebuah gereja. Bukan
karena bersaing dengan orang Islam, tetapi bersaing dengan sesama
mereka sendiri. Hal itu berbeda dengan Islam. NU, Muhamma-
diyah, Sunni, Syi’ah, tentara, sipil, ulama, orang awam, bahkan
maling sekali pun bisa duduk dan shalat dalam satu masjid yang

326 Wajah Studi Agama-Agama


sama.320 Namun secara prinsipiel, kata Gus Dur, mau membangun
gereja atau tidak, dasarnya adalah saling mengerti, dan bukan saling
menolak. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa jika terdapat
saling pengertian semuanya tidak akan menjadi sulit. Salah satu
pihak harus mengalah sesuai dengan situasi dan kondisi yang di-
hadapi.321
Menurut Gus Dur, apa yang disebut dialog adalah kesediaan
untuk mau mendengar, mengerti, terbuka dan jujur atas apa yang
ada (terjadi), dan mau belajar satu sama lain. Ia bercerita bahwa
dirinya pernah diminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk
mewakili MUI dalam wadah kerukunan beragama. Akan tetapi,
tugas itu ia tolak karena dalam wadah itu tidak ada kejujuran, yang
ada hanya “kepura-puraan.” Dalam wadah itu, orang yang melihat
kejelekan atau penyakit tidak berani untuk mengatakan itu “jelek”
atau ini “penyakit.” Semua terlihat seperti baik-baik saja, tidak ada
masalah, dan pada akhirnya tidak ada dialog yang sesungguhnya
atau yang diinginkan. Seperti penjual kecap, sehabis teriak kecap-
nya nomor satu lalu tutup telinga. Yang lain juga demikian, gantian
berteriak bahwa kecapnya nomor satu. Tidak ada dialog. Yang ter-
jadi adalah seri-monolog, masing-masing berbicara sendiri-sendiri,
orang lain tidak didengarkan. Masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk tidak membutuhkan model dialog seperti itu.322
Dalam dialog menurut Gus Dur seperti dikutip Ali, seseorang
harus bersungguh-sungguh mencari dan menjaga kebenaran serta
memiliki kebebasan dalam mengekspresikannya. Pencarian akan
kebenaran yang mendalam hanya akan ditemukan jika ada atmosfer
kebebasan dan dialog yang terbuka dan dihadiri oleh orang-orang
yang berpikiran jernih dan sehat. Sebaliknya, pandangan yang sem-
pit dan ketiadaan pemahaman keagamaan yang memadai biasanya
akan memunculkan intoleransi. Dua hal itu misalnya dapat dengan
mudah dilihat pada orang yang suka menghina tuhan-tuhan agama
lain. Atas aksi ini, Gus Dur biasanya menyatakan—dengan merujuk
kepada ayat al-Qur‘an—bahwa “jika engkau menghina tuhan agama
lain sesungguhnya engkau juga menghina tuhanmu sendiri.”323

Dr. Media Zainul Bahri 327


Keseluruhan pandangan Gus Dur di atas menunjukkan bahwa
kerukunan, dialog, dan toleransi adalah pandangan dan sikap hidup
yang aktif dan dinamis, bukan pandangan yang statis, tidak mau
tahu atau “yang penting asal tidak saling mengganggu.” Sikap masa
bodoh seperti itu tidak bisa dijadikan kekuatan untuk merawat
kerukunan dan kemajemukan. Setiap pemeluk agama atau kelom-
pok agama seharusnya bersikap aktif, kreatif dan selalu memiliki
inisiatif—dengan cara apa pun yang positif—untuk merajut keber-
samaan dalam merawat kemajemukan Indonesia.
Karena berbagai persoalan umat beragama yang kompleks,
pendangkalan pemahaman agama dan manipulasi politik atas nama
agama, maka menurut Gus Dur, tugas umat beragama, terutama
tokoh-tokohnya sangat berat. Untuk umat beragama, maka tugas
mereka adalah melakukan pendalaman kembali ajaran agama ma-
sing-masing. Untuk tokoh-tokoh agama, maka tugas utamanya
adalah memberi pencerahan dan penyadaran umat masing-masing
bahwa hubungan antaragama seharusnya dijalin atas dasar saling
pengertian. Lalu, meyakinkan umat itu untuk tidak mudah dihasut
dan diadu-domba oleh tangan-tangan misterius yang memiliki ke-
pentingan politik tertentu.324
Amin Abdullah, seorang akademisi yang mendalami Studi
(Perbandingan) Agama juga terlibat menawarkan gagasannya
mengenai dialog. Menurut Amin, membicarakan teori dan praksis
dialog antar-agama dalam perspektif Islam, maka referensi utama-
nya hanya dua, yaitu al-Qur‘an dan sejarah hidup Nabi Muhammad.
Hanya melalui pemahaman al-Qur‘an secara utuh dan komprehensif
akan dapat ditemukan pokok-pokok ajaran yang berkaitan dengan
pluralisme keberagamaan manusia karena sedari awal al-Qur‘an
memang telah berdialog dengan berbagai nilai fundamental (fun-
damental values) yang dianut oleh berbagai kelompok agama dan
non-agama yang tumbuh berkembang sebelum hadirnya tawaran
Islam. Fundamental values yang ada dalam al-Qur‘an itu kemudian
teraktualisasikan dalam perilaku Nabi Muhammad dan para sa-
habatnya. Jika terdapat istilah “das sein” dan “das sollen” yang

328 Wajah Studi Agama-Agama


masing-masing menunjuk kepada dimensi historisitas kenabian dan
dimensi normativitas wahyu, maka bagi kaum Muslim kedua
dimensi tersebut ibarat keping mata uang dengan permukaan yang
tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain. Ada hubungan
organik dan tarik menarik yang kuat antara kedua sisi tersebut,
sehingga membentuk dinamika kehidupan beragama yang kukuh
tetapi juga lentur.325
Menurut Amin, al-Qur‘an telah mengisyaratkan adanya dina-
mika historis atau pergumulan di kalangan internal umat Islam
sendiri. Karena itu, manusia Muslim dituntut untuk bersikap ren-
dah hati dan bersedia berdialog dengan “kebenaran” (al-Haqq) dan
kesabaran (al-shabr) dalam hidupnya. Bahkan secara keras, kaum
Muslim beriman diperingatkan oleh al-Qur‘an untuk tidak mence-
mooh golongan atau kelompok lain, karena jangan-jangan orang
atau kelompok yang dicemooh itu jauh lebih baik daripada orang
yang mencemooh. Dengan begitu, dari jauh hari, al-Qur‘an sejatinya
telah mensinyalir akan munculnya bentuk truth claim (klaim ke-
benaran). Truth claim yang menyeruak, baik pada wilayah intern
umat beragama maupun yang muncul pada persinggungan antar
umat beragama, sama-sama tidak menguntungkan (favourable) dan
tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat
yang sehat.326
Truth claim yang mendalam pada diri orang-orang beragama
sesungguhnya wajar dan dapat dibenarkan karena dengan itu aga-
ma menjadi terus bermakna, menarik untuk diikuti dan dapat terus
menjadi pedoman hidup. Yang buruk itu adalah truth claim yang
berlebihan dan membabi buta. Karena itu, al-Qur‘an mengingatkan
untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama (lâ taghlû fî dînikum).
Jika demikian, maka keberagamaan yang paling baik adalah yang
moderat; berada di tengah-tengah. Al-Qur‘an menyebut kaum Mus-
lim sebagai “ummatan wasathan” (umat yang berada di tengah-te-
ngah). Menurut Amin, ayat ini mungkin memiliki beragam tafsir-
an, namun dari perspektif pluralitas keberagamaan manusia, tam-
pak bahwa al-Qur‘an memang menganjurkan umat manusia untuk

Dr. Media Zainul Bahri 329


nesia untuk sastra Semit, dan aktif dalam kegiatan dialog antar-
iman, membuat laporan:
Di sebuah seminari di Taiwan, para mahasiswa diwajibkan untuk
berkunjung ke kuil-kuil dan berbicara dengan orang-orang yang
datang bersembahyang. Para mahasiswa harus menyampaikan
laporan mengenai kunjungan itu sebagai bagian dari pelajaran
mereka. Demikian pula, beberapa seminari di India sekarang men-
syaratkan mahasiswa yang belajar agama untuk mengunjungi kuil-
kuil dan menghadiri perayaan keagamaan lain, dan melaporkan
makna dan pentingnya agama bagi umat beragama yang bersang-
kutan. Di Jepang beberapa mahasiswa teologi ditugaskan mengun-
jungi biara Zen, dan mengambil bagian dalam meditasi mereka selama
beberapa minggu, supaya bisa lebih memahami Zen Buddhisme.355
Semua aktivitas di atas menurut Ihromi, bertujuan memungkin-
kan mahasiswa mengenal kepercayaan lain, tidak semata sebagai
“sistem keyakinan”, namun juga sebagai kepercayaan yang hidup,
yang membentuk dan mengarahkan kehidupan sesamanya. 356
Seseorang yang belajar langsung, mendengarkan langsung atau
berjumpa langsung dengan sumber pertama dari agama yang dika-
jinya, mungkin memiliki beberapa pandangan, keyakinan atau se-
buah sikap yang hati-hati. Misalnya, bagi seorang mahasiswa yang
bersikap “hati-hati” atau “ragu-ragu,” kegiatan itu ia lakukan sebatas
kegiatan akademik, sebatas tahu dan mengerti. Ia tidak ingin “terli-
bat” lebih jauh dalam memahami dan menikmati pengalaman baru
mengenai agama lain karena takut membahayakan akidahnya. Na-
mun bagi mahasiswa lain yang menghendaki pemahaman maksimal
dan menginginkan keterlibatan secara emosional, ia akan melaku-
kannya dengan sepenuh hati dan nalarnya sehingga muncul sikap
empati, mengakui kebenaran agama itu dan belajar untuk mem-
bawa perspektif dan kekayaan baru bagi agamanya sendiri.
Para pemeluk agama, terutama yang eksklusif, mungkin akan
menggugat apakah model kunjungan atau studi banding itu (tidak)
akan membahayakan akidah para mahasiswa? Bagi mereka, hal
itu bukan saja “tidak Islami” atau “tidak Kristiani,” namun juga

346 Wajah Studi Agama-Agama


membahayakan keyakinan. Terlepas apakah mereka dapat meneri-
ma atau tidak jawaban yang diberikan oleh Studi Agama-Agama,
namun studi ini telah mensyaratkan, setidaknya sedari awal telah
dinyatakan oleh Mukti Ali bahwa syarat intelektual seperti kemam-
puan bahasa asli agama-agama yang diteliti dan syarat afektif seperti
kemauan yang kuat, kondisi emosional yang memadai, dalam arti
adanya feeling, partisipasi, empati, tidak masa bodoh dan memupuk
pengalaman yang luas mengenai agama, keyakinan dan tradisi
keagamaan orang lain, adalah syarat-syarat utama untuk keberha-
silan seseorang dalam memahami agama dan keyakinan orang lain
yang berbeda.

2. Model Historis-Kronologis
Salah satu model pengajaran PA yang mencolok dalam hal
materi agama-agama, sejak awal jurusan PA berdiri hingga masa
akhir Orde Baru, bahkan hingga masa reformasi adalah melalui
pendekatan historis-kronologis. Agama-agama diperkenalkan kepa-
da mahasiswa mulai dari sejarah hingga perkembangannya. Model
pengajaran ini terlihat eksplisit dalam karya-karya PA. Sejak masa
Mahmud Yunus melalui karyanya, al-Adyan (1937) hingga Perkem-
bangan Fikiran Terhadap Agama (1965) karya Zainal Arifin Abbas,
semua pembahasan mengenai suatu agama selalu dimulai dengan
kronologi sejarahnya. Metode yang sama dapat kita baca pada seba-
gian besar buku PA yang terbit sesudah berdirinya Jurusan Perban-
dingan Agama pada 1961 hingga masa kini, seperti Perbandingan
Agama karya Moh. Rifai (1965), Perbandingan Agama karya Mastur
Halim (1970), Perbandingan Agama, dua volume karya Abu Ahmadi
(1977), Agama Yahudi karya Burhanuddin Daya (1982), Agama Sinto
karya Djam’annuri (1982), Agama-Agama Besar Di Dunia karya
Joesoef Sou’yb (1983), Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar
karya H.M. Arifin (1986), Agama-Agama Besar Di Dunia karya 12
dosen PA IAIN Yogyakarta (1988), dua karya Ahmad Shalabi: Per-
bandingan Agama, Bagian Agama Masehi (1964) dan Perbandingan
Agama, Agama-Agama Besar di India (1998), Studi Agama-Agama

Dr. Media Zainul Bahri 347


Dunia karya Bahri Ghazali (1994), Pengantar Studi Ilmu Perban-
dingan Agama karya Thalhas (2006), Agama dalam Ilmu Perban-
dingan karya Abdullah Ali (2007), tiga buku karya Ikhsan Tanggok:
Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indonesia (2005), Menge-
nal Lebih Dekat Agama Tao (2006), dan Agama Buddha (2009). Lalu,
Agama Jepang karya Djam’annuri, Syafatun Almirzanah dan Ustadi
Hamzah (2008), Studi Agama, Suatu Pengantar karya Syarif Hida-
yatullah (2011), Agama-Agama Besar Masa Kini karya Sufa’at Man-
sur (2011) dan lain-lain.
Setelah mengurai sejarah suatu agama, baik secara detail mau-
pun ringkas, karya-karya itu kemudian membuat pembahasan-
pembahasan khusus mengenai Tuhan, Pembawa agama itu, Kitab
Suci, Etika, Hukum, Eskatologi dan sekte-sekte (aliran) yang mun-
cul kemudian. Dengan model seperti itu, ada kesan bahwa para
penulis dan para pengajar PA membuat “kotak-kotak” yang menye-
babkan semua yang terlibat dalam proses pembacaan dan pema-
haman terhadap agama-agama non-Islam itu masih tetap sebagai
“orang luar” (outsider), dan sulit menjadi “orang dalam” (insider)
yang ikut merasakan dan menghayati makna agamis (religious mean-
ing) seperti yang dirasakan oleh para pemeluknya. Dengan model
seperti itu, tidak sepenuhnya juga disebut “gagal” memahami aga-
ma orang lain (yang bukan agamanya), tetapi akan sulit menemukan
makna terdalam (the inner meaning) dari agama yang dikaji. Padahal
justru di situlah tujuan pokok mempelajari agama-agama manusia.
Model pengajaran historis-kronologis yang “kaku dan kering”
serta “kotak-kotak” yang dibuat juga telah lama menjadi model
yang secara umum berlangsung dalam dunia Islam—dalam meng-
ajarkan Islam, tak terkecuali Indonesia. Model historis, apalagi yang
tidak dibarengi sikap kritis, serta dogma-dogma yang diajarkan se-
cara doktriner, membuat para pelajar Muslim gagal memahami
makna terdalam dari Islam yang menunjukkan Kasih Tuhan dan
keagungan manusia. Islam yang terbuka, universal, dan dalam
dimensinya yang terdalam (esoterik) adalah Islam yang sesuai de-
ngan manusia dan kemanusiaan, dan itulah Islam yang akan ber-

348 Wajah Studi Agama-Agama


tahan lama. Pemahaman Islam yang melulu berorientasi syari’ah
(normatif) yang kaku dan kering sering menimbulkan “keguncang-
an” dan problem baru ketika berhadapan dengan perubahan dunia
yang begitu kompleks.
Salah satu model pengajaran PA yang terbaik, dalam pengertian
cara memahami agama-agama yang bukan agamanya melalui pema-
haman yang simpatik dan mendalam, adalah model Huston Smith
melalui karyanya The Religions of Man (1975) yang kemudian dire-
visi menjadi The World’s Religions: Our Great Wisdom Traditions
(1991). Buku Smith ini adalah karya filosofis mengenai keyakinan
terdalam dan pandangan dunia orang-orang yang menganut ma-
cam-macam agama; sebuah deskripsi yang mendalam dan menge-
jutkan, termasuk bagi “orang-orang dalam,” yaitu para penganut-
nya sendiri. Smith tidak menjelaskan suatu agama berdasarkan
kronologi sejarahnya dan konsep-konsep yang akan memberi kesan
sebagai sekumpulan “kotak-kotak” cara pandang dan keyakinan
orang beragama. Namun, ia menghadirkan pengalaman psikologis
orang-orang beragama, yaitu kumpulan kekayaan pengalaman ba-
tin, dan keluasan cakrawala mereka.
Ketika berbicara tentang agama Hindu misalnya, di halaman-
halaman pertama Smith mengemukakan pengaruh filsafat dan
doktrin Hindu terhadap peradaban Barat, bahkan terhadap dunia,
suatu cara yang Smith lakukan pada hampir semua agama yang
ditulisnya. Misalnya, ia mengutip pidato Max Müller tentang sum-
bangan besar spiritualisme India kepada dunia, atau pernyataan
Arthur Schopenhauer bahwa “Di seluruh dunia, tidak ada naskah
yang demikian indah dan agung selain Upanishad. Kitab tersebut
merupakan hiburan dalam hidupku dan akan menjadi hiburan
dalam kematianku.”357 Lalu, Smith menyebut sejumlah filsuf dan
ilmuwan Barat seperti Aldous Huxley, Christoper Isherwood, Vin-
cent Sheean, Gerald Heard, John Van Druten, Rene Guenon, Jo-
seph Campbell dan akhirnya Heinrich Zimmer. Nama terakhir ini
melalui karyanya Philosophies of India, menegaskan akan “gemu-
ruh rimba kearifan India yang menggetarkan dunia.” Kata Zimmer,

Dr. Media Zainul Bahri 349


“Kita di Barat baru akan mencapai persimpangan jalan, yang telah
dilalui oleh para pemikir India kira-kira 700 tahun sebelum Ma-
sehi.”
Pada halaman kedua, segera Smith membuat subjudul tentang
“Kebutuhan Manusia.” Menurut Smith, Hinduisme secara keselu-
ruhan menegaskan satu hal pokok kepada manusia: “Engkau boleh
melakukan apa pun yang kau inginkan.” Pernyataan itu kedengar-
annya baik sekali, tetapi sesungguhnya membawa masalah bagi kita,
karena apa yang kita inginkan? Secara umum, manusia mengingin-
kan kesenangan yang terdiri atas kekayaan, kemasyhuran dan
kekuasaan. Tetapi pencarian akan kesenangan itu sering kali, tidak
hanya mengalami kegagalan besar, namun juga membawa ke-
sengsaraan. Smith lalu mengutip filsuf Soren Kierkegaard dalam
karnya Sickness Unto Death, kata Kierkegaard, “Dalam samudra
kenikmatan yang tidak ada dasarnya itu, dengan sia-sia aku mencari
tempat untuk melabuhkan sauh. Aku merasakan adanya suatu
kekuatan yang hampir tidak dapat dilawan, yang akan menarik
kita dari suatu kesenangan berikutnya. Ia mampu menghasilkan
kegairahan murni, namun yang menyusul adalah kebosanan dan
siksaan.”358 Karena itu, kesenangan yang bersifat duniawi tidak se-
penuhnya memuaskan manusia. Meskipun bisa diraih dan dapat
memuaskan, tetapi ternyata sifatnya hanya sementara belaka, pa-
dahal manusia selalu memimpikan keabadian.359 Dengan latar be-
lakang ini, Smith lalu masuk untuk memulai penjelasan mengenai
ajaran Hindu tentang Jalan Keinginan dan Jalan Penolakan.
Pada halaman ke-7 Smith meneruskan penjelasan di atas de-
ngan membuat subjudul “Apa yang Sesungguhnya Diinginkan
Manusia?” Maka, orang-orang Hindu akan memiliki jawaban yang
beragam. Namun, secara umum, manusia menginginkan empat
hal, yaitu pertama, manusia ingin terus ada. Setiap orang mengingin-
kan untuk ada ketimbang tidak ada. Biasanya tak seorang pun ingin
cepat-cepat mati atau tidak ingin mati. Kedua, manusia ingin menge-
tahui, ingin sadar akan sesuatu. Manusia memiliki rasa ingin tahu
yang tak terpuaskan, apakah ia seorang ilmuwan atau orang biasa.

350 Wajah Studi Agama-Agama


Ketiga, manusia menginginkan kebahagiaan sebagai lawan dari rasa
putus asa, hidup tak bermakna dan rasa bosan. Apakah dengan
ketiga keinginan itu, jika terpenuhi, manusia akan merasa puas?
Menurut Hindu, belum sempurna kepuasannya! Karena itu menu-
rut Hinduisme, ada yang keempat, yaitu bahwa manusia mengingin-
kan pembebasan (mukti): pembebasan yang tak terhingga, pembe-
basan yang sempurna dari berbagai keterbatasan yang tak terbilang
jumlahnya yang begitu menekan manusia,360 terutama manusia
modern.
Dengan keempat keinginan itu, Hinduisme ingin mengatakan
bahwa keinginan yang sejati dari manusia sesungguhnya hanya satu
saja, yaitu mukti alias bebas secara sempurna. Namun, bagaimana
caranya? Sebelum mengetahui apa itu mukti, Hinduisme mengajak
para pemeluknya untuk mengetahui terlebih dahulu, apa itu ma-
nusia? Apakah ia suatu badan jasmani? Tentu saja! Namun, apakah
hanya itu? Apakah termasuk suatu kepribadian yang mencakup
pikiran, ingatan, dan kecenderungan yang tumbuh dari pengalam-
an hidupnya? Ya benar! Apakah ada hal lain? Ada yang mengatakan
hanya itu, tetapi, agama Hindu tidak setuju. Menurut Hinduisme,
yang mendasari kepribadian manusia dan menjiwainya adalah suatu
telaga kehidupan yang tidak pernah kering, tidak pernah habis dan
tak berhingga dalam kesadaran dan kebahagiaan. Pusat setiap ke-
hidupan yang tak berhingga ini, yang terdapat pada diri manusia
yang tersembunyi atau Atman, tak lain adalah Brahman, atau Tuhan.
Manusia belum lengkap sebagai manusia sebelum ketiga unsur itu
disebutkan, yaitu badan, kepribadian, dan Atman Brahman.361
Dengan contoh uraian di atas, Smith menunjukkan beberapa
hal penting dalam Studi Agama-Agama, yaitu pertama, Studi Agama
adalah studi tentang manusia, atau tepatnya tentang pengalaman
manusia yang konkret mengenai “keberagamaan” atau “ketuhan-
an.” Smith menempatkan agama bukan sebagai data, fakta dan
peristiwa yang mati dan beku, yang hanya terdiri atas catatan-catatan
peristiwa, kejadian, dan nama-nama orang belaka. Karena itu, karya
Smith tidak banyak mencantumkan nama orang, tempat, atau pe-

Dr. Media Zainul Bahri 351


ristiwa yang dikajinya. Smith lebih menekankan bahwa sejarah aga-
ma adalah sejarah kehidupan para pengikutnya yang bersifat hidup,
dinamis, dan selalu berubah.362 Karena itulah bukunya diberi judul
Religions of Man. Bersamaan dengan poin pertama itu, maka kedua,
Smith menghadirkan langsung pengalaman keagamaan para peme-
luknya. Kita diajak langsung mendengar penuturan pemeluknya
sendiri. Bahkan, kita menangkap kesan bahwa ia telah menjadi “ju-
ru bicara” atau “orang dalam” agama yang sedang dijelaskannya.
Ketiga, Smith menunjukkan betapa ajaran-ajaran agama yang
agung dan konkret itu sesungguhnya juga menjadi perhatian “du-
nia lain,” yaitu para ilmuwan dan filsuf. Smith selalu menghubung-
kan ajaran-ajaran agama itu dengan pandangan para filsuf dan
ilmuwan dunia; suatu koneksi yang menarik dan mengejutkan.
Keempat, Smith melakukan pembahasan yang kompleks tentang
satu tema yang dihubungkan atau dianalisis dengan tema-tema lain
secara bersamaan. Ketika berbicara tentang manusia dalam agama
Hindu misalnya, Smith juga menghubungkannya dengan konsep
Tuhan dan doktrin tentang mukti: tujuan akhir Hinduisme. Smith
tidak membuat “kotak” tema-tema seperti “Tuhan” “Kitab Suci”
“Utusan Tuhan” “Ritual” dan lain-lain yang dibuat sendiri-sendiri.
Setelah sub-judul “Apa yang Sesungguhnya Diinginkan Manusia?”
Smith membuat subjudul-subjudul lain yang berurutan: “Di Luar
Itulah yang di Dalam,” “Empat Jalan Mencapai Tujuan,” “Jalan
Menuju Tuhan Melalui Ilmu Pengetahuan,” “Jalan Menuju Tuhan
Melalui Cinta,” “Jalan Menuju Tuhan Melalui Kerja,” “Jalan Menuju
Tuhan Melalui Latihan Psikologis,” “Empat Tahap,” “Tingkatan-
tingkatan Hidup,”Ia yang Melumpuhkan Semua Kemampuan
Kata,” “Menjadi Dewasa di Alam Semesta,” “Selamat Datang dan
Selamat Jalan, Dunia,” dan terakhir “Banyak Jalan Menuju Puncak
yang Sama.” Sekali lagi, kita tidak menemukan satu subjudul khu-
sus tentang “Konsep Tuhan” misalnya atau “Kitab Suci,” “Sejarah
Agama Hindu,” “Syariat dan Ritus Hindu,” atau ajaran mengenai
“Maharesi” sebagai utusan Tuhan dalam Hinduisme. Namun, de-
ngan sub-sub judul yang ia buat di atas, Smith secara mengagumkan

352 Wajah Studi Agama-Agama


telah berhasil menjelaskan ajaran-ajaran pokok Hinduisme tentang
Tuhan, kitab suci, ritual, konsep manusia, mistik Hindu, dan lain-
lain.
Hal yang sama juga terlihat ketika Smith membicarakan agama
Kristen sebagai rangkaian sejarah, ketokohan Yesus dan Paus, dok-
trin-doktrin pokok, serta alam pikiran Kristen di Barat dan Timur.
Ia merangkai keseluruhan itu dengan subjudul-subjudul yang me-
narik seperti “Ia yang Diurapi,” “Ia yang berkeliling Sambil Berbuat
Baik,” “Tak Pernah Ada Orang Berbicara Demikian,” “Kami Telah
Menyaksikan Kemuliaannya,” “Awal dan Akhir,” “Kabar Gembira,”
“Tubuh Mistis Kristus,” Alam Pikiran Gereja,” Gereja Roma Ka-
tolik,” “Gereja Ortodoks Timur,” dan “Agama Protestan.”
Banyak kolega di Perbandingan Agama menyatakan bahwa
model Smith adalah suatu model bagi yang sudah memahami de-
ngan baik sejarah dan ajaran-ajaran pokok suatu agama, bukan
untuk pemula yang baru belajar suatu agama, karena pembahasan
Smith terlalu filosofis. Jika ditujukan bagi orang awam (umum)
yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai suatu aga-
ma, atau bahkan nihil sama sekali, anggapan itu mungkin benar.
Akan teteapi, bagi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin non-Perban-
dingan Agama, yang telah memiliki modal dasar Studi Filsafat,
pemahaman tertentu tentang agama lain, dan pemahaman yang
baik tentang Islam, model Smith sesungguhnya dapat diterapkan
dengan tanpa kesulitan yang berarti. Apalagi untuk Mahasiswa
Perbandingan Agama, yang “makanan” sehari-harinya adalah “me-
nu” agama-agama. Jika mata kuliah “Agama-Agama Dunia” tetap
dipertahankan di Ushuluddin bagi Mahasiswa non-Perbandingan
Agama, atau bagi Mahasiswa Perbandingan Agama sekalipun, harus
ada kemauan kuat untuk meniru model Huston Smith dengan ber-
bagai variasinya, dan berani keluar dari “model lama” yang bercorak
historis-kronologis yang kering dengan “kotak-kotak” yang me-
nyertainya.

Dr. Media Zainul Bahri 353


3. Mengapa Selalu Dimulai Dengan Teori
“Asal-Usul Agama”?
Seiring dengan model pengajaran yang bercorak historis-kro-
nologis, maka isu (materi) pertama yang diajarkan, terutama dalam
Mata Kuliah “Pengantar Studi Agama (Perbandingan Agama)” atau
“Sejarah Agama-agama” adalah teori Asal-Usul Agama. Model ini,
tentu saja, adalah model Studi Agama yang telah lama dilakukan
di Barat. Secara formal-akademik, kajian asal-usul agama—baik
yang pro maupun yang kontra Tuhan—mulai ramai didiskusikan
di Barat pada abad ke-19 melalui karya-karya Max Müller misalnya,
sebagai sarjana ahli Filologi dan asal-usul mitos Hindu, atau melalui
tokoh-tokoh Antropologi yang mengungkap teori asal-usul agama
seperti E.B. Taylor, James George Frazer, John Lubbock, Evans-
Pritchard, Andrew Lang dan Wilhelm Schmidt. Dalam disiplin
Sosiologi, Emile Durkheim adalah figur utama yang menguak asal-
usul agama. Dalam ranah Psikologi, dua nama: William James dan
Sigmund Freud adalah figur-figur yang ikut terlibat dalam perde-
batan soal asal-usul agama. Dalam tradisi Studi Agama di Barat,
perdebatan soal asal-usul agama sesungguhnya dibentangkan jauh
ke belakang hingga ke tokoh-tokoh seperti Herodotus (484-425 SM)
yang membuat catatan tentang sejarah agama-agama orang asing
non-Yunani, atau Demokritos (460-370 SM), atau Theophratus (372-
287 SM) yang menyusun 6 jilid sejarah agama. Karena usahanya
ini, Theophratus dianggap sebagai sejarawan pertama Yunani di
bidang studi agama.
Di Indonesia, Mukti Ali sendiri menulis satu buku tipis yang
berjudul Asal-Usul Agama (1969). Tulisan itu—tentu saja—dalam
pengaruh kuat dari apa yang terjadi di Barat. Dalam konteks per-
tarungan antara para ilmuwan (antropolog, sosiolog, dan psikolog)
yang menegasikan Tuhan dan menegaskan bahwa asal-usul agama
berasal dari konsepsi manusia sendiri dengan Gereja yang tetap
mempertahankan revelasi sebagai asal-usul agama, Mukti Ali “ber-
diri” bersama-sama dengan para teolog Kristen atau katakanlah para
“misionaris” Kristen yang meyakini wahyu sebagai awal-mula aga-

354 Wajah Studi Agama-Agama


ma. Dalam pengertian inilah kita bisa memahami karya Mukti Ali
tersebut. Dalam buku itu, Mukti Ali kembali mengetengahkan pan-
dangan kaum evolusionis tentang asal-usul manusia sekaligus proses
evolusi pemahaman manusia atas tuhan, dari mulai penyembahan
kepada alam, kepada banyak dewa (politeisme) hingga kepada satu
tuhan (monoteisme). Mukti Ali merujuk kepada karya-karya seperti
The Origin of Species by means of Natural Selection (1859) karya Char-
les Darwin, The Idea of Progress (1955) karya John Bury, The Believ-
ing World (tanpa keterangan tahun) karya Lewis Browne, Proces-
sion of Gods karya G.G. Atkins, dan E.D. Soper melalui karyanya,
Religion of Mankinds.
Menurut Mukti Ali, pendekatan antropologis dan sosiologis
terhadap agama adalah sesuatu yang menggembirakan, dan me-
mang sudah seharusnya seperti itu jika Studi Agama ingin berkem-
bang. Tetapi, Mukti Ali menyayangkan jika hasil dari riset antropo-
logi itu dibuat untuk menilai masalah agama, salah satunya adalah
soal asal-usul agama.363Menurutnya, bukan hanya kaum evolusionis
yang percaya kepada evolusi makhluk hidup, bahkan para penulis
Kristen pun seperti Atkins dan Soper juga meyakini bahwa proses
keberagamaan manusia atau pemahaman manusia tentang Tuhan,
terutama Yahudi, Kristen, dan Islam juga mengalami evolusi. Hal
ini kata Mukti Ali, sangat mengherankan dan bertentangan dengan
pandangan kitab suci ketiga agama tersebut.364
Sebagai bantahan atas kaum evolusionis itu, Mukti Ali mengaju-
kan pandangan tokoh-tokoh revelasionis yang meneguhkan bahwa
sejak awal manusia sudah memiliki konsep tentang Tuhan Yang
Maha Esa (monoteisme). Mukti Ali membuat kutipan-kutipan yang
cukup jelas dari kaum revelasionis seperti Israil Rabin melalui karya-
nya, Studien zur Vormosaischen Gottesvorstellung, dan Andrew Lang
dalam karyanya The Making of Religion (1898). Mukti Ali juga me-
nunjuk para sarjana dan pendeta di Barat yang menolak teori evolusi
seperti Wilhelm Schmidt, Archbishop Soderblom dari Swedia,
Alfred Bertholet, Edward Blum-Ernst, Le Roy, dan Albert C. Kruijt.
Dari sarjana Muslim, Mukti Ali merujuk kepada Muhammad

Dr. Media Zainul Bahri 355


Abduh melalui Risalah al-Tauhid, Ameer Ali dengan The Spirit of
Islam (1922), dan Muhammad Iqbal dengan karyanya, The Recon-
struction of Religions Thought in Islam (1944). Pada akhirnya, bagi
Mukti Ali, teori evolusi yang digunakan untuk menolak Tuhan tidak
dapat diterima seperti tidak dapat diterimanya teori ini dalam me-
nilai proses pemahaman manusia terhadap Tuhan. Seperti pan-
dangan para pendeta di Barat dan kaum revelasionis lainnya, Mukti
Ali juga mengamini bahwa ide tentang Tuhan sejak awal adalah
monoteisme. Politeisme adalah penyelewengan dari monoteisme
ini. 365
Sebagai seseorang yang dianggap pelopor atau “Bapak” Studi
Perbandingan Agama, maka karya-karya PA di Indonesia selalu
mengikuti model sang “Bapak,” yakni Mukti Ali, termasuk memulai
pembahasan studi PA dengan materi asal-usul agama. Karena itu,
karya-karya PA atau buku-buku ajar tentang PA, seperti yang sudah
saya tunjukkan berulang-ulang di atas, selalu memuat satu bahasan
di awal tentang asal-usul agama, biasanya dimulai dengan Agama
Primitif dengan model-model keyakinan mereka: animisme, dina-
misme, fetisisme, dan shamanisme.
Pendekatan historis, atau utamanya pembahasan asal-usul aga-
ma, sebagai langkah awal dalam Studi PA atau Studi Agama-Agama
sesungguhnya dapat dilihat secara normal, pertama misalnya sebagai
“gejala umum” dalam disiplin Ilmu-Ilmu Humaniora. Jika kita
belajar Filsafat sebagai sebuah disiplin misalnya, maka pertama-
tama, biasanya, mempelajari sejarah filsafat terlebih dahulu: dari
mana dan kapan filsafat bermula, siapa tokoh-tokoh filsafat pertama,
filsafat model apa yang pertama kali muncul, dan seterusnya. Kedua,
dalam Studi Agama, terutama dalam konteks figur Max Müller
yang ahli filologi agama-agama India, menelusuri asal usul agama
bermakna sebuah usaha mencari bentuk yang paling asli dan pa-
ling awal dari agama-agama karena dianggap sebagai bentuk yang
paling murni. Sebuah usaha yang menantang dalam mencari ben-
tuk yang paling awal/murni dari agama karena akan menguak

356 Wajah Studi Agama-Agama


misteri besar dan menjadi modal untuk menganalisis perkembang-
an historis agama-agama.
Ketiga, dalam Studi Agama, persoalan dari mana asal mula
agama merupakan problem yang paling krusial, terutama di dunia
Kristen Barat. Sebelum muncul kajian agama yang bersifat des-
kriptif atau saintifik, ilmu agama di Barat dikuasai sepenuhnya oleh
Teologi (tetapi, Teologi sebagai “Ratu Ilmu Pengetahuan” (queen of
sciences) sesungguhnya juga menjadi gejala umum di dunia Islam
(Timur) selama rentang waktu yang cukup lama). Karena itu, dalam
konteks Kristen Barat (Eropa), ketika muncul teori-teori antro-
pologi, sosiologi, dan psikologi yang menolak Tuhan, maka perso-
alan asal-usul agama adalah problem “hidup-mati” yang tidak bisa
ditawar lagi, karena menyangkut hal yang pokok dan utama dalam
agama, yaitu keyakinan terhadap adanya Tuhan. Gereja, dengan
berbagai propaganda dan dakwah, ingin membendung paham dan
gerakan ateisme itu dan menarik kembali masyarakat Eropa ke
dalam pelukan gereja.
Ketika dunia Islam atau katakanlah Mukti Ali, melalui Institut
atau Perguruan tinggi Islam, mengadopsi model Kristen Eropa da-
lam “menghadang” gerakan ateisme itu dalam pengajaran Studi
PA atau Studi Agama secara umum, maka apa yang dilakukannya
itu adalah “melanjutkan” atau “mempertahankan” warisan kaum
misionaris Kristen Eropa itu. Sekarang persoalannya adalah, dalam
Studi Agama modern, apakah model itu masih relevan untuk diper-
tahankan? Jika kita setuju bahwa teori asal-usul agama masih pen-
ting untuk diperdebatkan oleh para mahasiswa dan pelajar Mus-
lim sebagai pengetahuan awal, maka hal itu harus dilakukan dengan
semangat ilmiah bukan dengan tujuan dakwah, yaitu ingin menun-
jukkan keunggulan dalil-dalil agama vis-a-vis kajian-kajian antro-
pologis, sosiologis dan psikologis yang telah dihasilkan melalui se-
rangkaian riset yang panjang oleh para tokohnya. Yang sering terjadi
adalah bahwa para mahasiswa, pelajar, bahkan dosennya sekalipun
tidak memahami dengan baik dan benar teori-teori asal-usul agama
itu melalui tulisan pertama dari para sarjana penggagasnya. Yang

Dr. Media Zainul Bahri 357


sering terjadi, mereka mendiskusikan teori-teori itu melalui referensi
ketiga366 atau keempat atau melalui buku terjemahan, yang sangat
mungkin telah mereduksi materi utama atas teori-teori itu.
Dalam sebuah tulisan yang menarik berjudul “The study of re-
ligion and the rise of atheism: conflict or confirmation?” (2011) Michael
Buckley, profesor Teologi pada departemen Religious Studies Uni-
versitas Santa Clara, California, menjelaskan bahwa memang terjadi
pertarungan yang sengit antara para pendukung Uratheismus de-
ngan para pendukung Urmonotheismus. Pencarian ilmiah para ahli
antropologi, sosiologi dan psikologi pada abad ke-19 terhadap kebu-
dayaan orang-orang primitif mengharuskan mereka meneliti lebih
dalam asal-usul kepercayaan keagamaan kaum primitif terhadap
Realitas yang Ultim. Dan hasil penelitian itu kemudian menjadi
sesuatu yang sangat pahit bagi gereja. E.B. Taylor misalnya berkesim-
pulan bahwa riset ilmiah yang dilakukannya telah menguatkan
pendirian personalnya untuk menjadi seorang agnostik yang me-
mandang skeptik terhadap agama.367 Sir John Lubbock melalui The
Origin of Civilization and the First Condition of Man (1870) seperti
dikutip Buckley, mengajukan tesis bahwa ateisme memang meru-
pakan fenomena yang paling awal dan paling primitif dari keber-
agamaan manusia. Fenomena ini, sebelum masa Lubbock, telah
memberi darah segar bagi teori August Comte (1798-1857) tentang
tiga tahap perkembangan intelektual masyarakat. Melalui riset
mendalam tentang budaya keagamaan pada masyarakat primitif,
Lubbock menemukan bahwa Uratheismus bukan sebuah penolakan
eksplisit terhadap dewa atau tuhan mana pun, melainkan ide tentang
tuhan memang tidak ada sejak masa-masa kebudayaan yang pa-
ling awal dari seluruh agama (“Uratheismus not in an explicit denial
of the reality of any god, but in the absence within these earliest cul-
tures of all religion.”).368
Senada dengan Lubbock, para sarjana lain seperti Durkheim,
George Frazer, dan Freud sama-sama menegaskan bahwa penyem-
bahan terhadap totem, sebagai representasi realitas tertinggi, pada
masyarakat primitif adalah bentuk keyakinan yang paling primor-

358 Wajah Studi Agama-Agama


dial, dan fondasi paling asali dari seluruh agama. Dalam melihat
pengalaman keagamaan pada diri manusia, Freud menukik ke
dalam pengalaman psikis terdalam manusia melalui apa yang
disebutnya sebagai “kerinduan Oedipus” dan perasaan bersalahnya
karena telah membunuh ayahnya. Melalui psikoanalisis, Freud
berpendapat bahwa secara dasariah apa yang disebut Tuhan sesung-
guhnya tidak ada, ia hanya imaji (gambaran) belaka tentang seorang
bapak yang agung. Karena itu, jika totem adalah bentuk yang paling
awal dari bapak pengganti, maka konsep tentang tuhan atau dewa
baru muncul kemudian.369
Dalam satu spirit yang sama dengan Freud, C.G. Jung, ahli psi-
kologi yang juga kontra agama, berpendapat bahwa apa yang
disebut tuhan sesungguhnya adalah representasi dari sejumlah
energi libido. Melalui serangkaian riset psikologi, Jung meyakini
bahwa tuhan merupakan konstruksi dari libido yang mendasarkan
pada imaji seorang ibu ketimbang figur bapak370 (dalam hal figur
atau imaji ini, Jung berbeda dengan Freud yang lebih menunjuk
kepada figur bapak). Figur-figur di atas telah sampai pada kesim-
pulan bahwa agama bisa ditemukan pada manusia primitif yang
paling awal, tetapi tidak dengan konsep tuhan. Tylor misalnya, mes-
kipun ia membuat definisi agama sebagai “kepercayaan kepada
wujud spiritual,” namun dalam pandangan masyarakat purba, apa
yang disebut wujud spiritual itu tak lain adalah ruh-ruh individu
yang bersemayam di alam,371 bukan Tuhan dari “alam sana.”
Berlawanan dari apa yang menjadi pandangan para sarjana di
atas, para pendukung Urmonotheismus juga menunjukkan argu-
men-argumen “ilmiah” tentang keyakinan akan Tuhan pada ma-
syarakat primitif yang paling kuno. Wilhelm Schmidt misalnya,
dengan mengambil teori Andrew Lang tentang tuhan-tuhan yang
tinggi, menegaskan melalui karyanya Der Ursprung der Gottesidee
seperti dikutip Buckley, bahwa ide tentang Wujud Tertinggi (Su-
preme Being) dapat ditemukan pada hampir seluruh kebudayaan
masyarakat primitif, yang di banyak tempat tidak diekspresikan
dalam bentuk dan model yang sama, tetapi ide tentang itu cukup

Dr. Media Zainul Bahri 359


menonjol yang membuat posisinya cukup dominan dan tidak dira-
gukan lagi. Karena itu, ide dan keyakinan tentang Urmonotheismus
terdapat pada tahap yang paling awal sebagai objek agama dari
seluruh model kebudayaan primitif berikutnya. Masyarakat primitif
tidak memiliki kesulitan untuik mengenal ide tentang Wujud Ter-
tinggi itu. Dengan demikian, monoteisme berada pada tahap awal,
bukan di akhir, dari perkembangan pemikiran keagamaan umat
manusia. Lebih dari itu, Raffaelle Pettazzoni, menurut Buckley, me-
nunjukkan justru ide monoteisme primitif adalah bentuk revolusi
melawan politeisme pada masyarakat primitif itu sendiri. Pettaz-
zoni melakukan riset pada masyarakat primitif Maori. Mereka me-
nyembah Io sebagai tuhan langit. Mereka juga memercayai Io
sebagai pencipta tuhan-tuhan lain seperti Rangi dan Papa. Namun,
dalam analisis terakhir, Pettazzoni menemukan justru Io itu adalah
Rangi sendiri dan Rangi-lah yang berdiri di belakang Io sebagai
Tuhan Langit yang sesungguhnya yang pada akhirnya diagungkan
dan tinggikan posisinya sebagai Io (dengan nama Io), zat yang tidak
tercipta dan sebagai sumber awal dari segala sesuatu.372 Jadi, riset
Pettazzoni menyimpulkan bahwa sedari awal kepercayaan masya-
rakat primitif bukan semata monoteisme, namun juga mereka me-
nentang politeisme dengan cara menunjukkan satu-satunya Ke-
kuatan Agung sebagai sumber awal dan pencipta segala sesuatu,
termasuk menciptakan tuhan-tuhan minor.
Dalam perdebatan sengit antara para pendukung Uratheismus
dan Urmonotheismus, pada ranah akademis, riset-riset yang telah
dilakukan oleh Lubbock, Taylor, Evans-Pritchard, Frazer, dan Dur-
kheim misalnya, atau kaum evolusionis seperti Darwin dan Robert
N. Bellah yang paling mutakhir, memiliki pengaruh yang sangat
kuat, dan menjadi referensi wajib bagi para peminatnya. Lebih dari
itu juga telah menjadi bacaan umum yang digemari. Dalam skala
luas, karya-karya mereka bersama dengan teori evolusi Darwin me-
nyebabkan menguatnya pandangan dan sikap yang skeptik, bah-
kan ateistik pada masyarakat Eropa di abad ke-19. Tentu saja, riset
antropologis, sosiologis, dan psikologis yang mendasarkan diri pada

360 Wajah Studi Agama-Agama


observasi sulit dibantah, meskipun selalu ada kemungkinan untuk
“dipatahkan” dengan bukti dan penemuan baru yang berbeda. Sela-
ma masa keemasan para sarjana itu, bahkan hingga hari ini, gereja
(para teolog) atau ilmuwan-ilmuwan yang sepaham dengan gereja
selalu menunjukkan konfrontasi.
Sikap konfrontasi, bahkan permusuhan itu disayangkan oleh
Buckley. Dalam konteks kedigdayaan teori-teori asal-usul agama
yang mengabaikan revelasi Tuhan, Buckley mengusulkan disiplin
Studi Agama yang ilmiah untuk menggali usaha-usaha teologis yang
berbeda (nuansanya) dengan apa yang telah dilakukan oleh Studi
Teologi pada abad ke-19 dan 20. Dengan kata lain, sudah tidak
masanya lagi para teolog dan disiplin Teologi terus bermusuhan
dengan kaum saintis. Jika kajian teologi memfokuskan diri kepada
ilmu-ilmu ketuhanan, maka para teolog harus melakukan sebuah
perjalanan menuju pengetahuan yang mendalam mengenai apa
pun tentang Tuhan yang akan menghasilkan perspektif yang positif
dan mencerahkan. Buckley menulis:

There is no time now to argue and nuance this suggestion with the
distinctions it obviously cries for, but only to propose that the scien-
tific study of religion could well call the theological enterprise to an
inquiry quite different from that which obtained in the nineteenth
and twentieth centuries. For, to allow the final word to Nicholas Lash:
“Every Christian, and hence every Christian theologian, is called to
journey in the direction of deeper knowledge of the things of God, and
the journey is a homecoming, for God is our end as well as our begin-
ning.”373

Jika kebudayaan manusia telah dieksplorasi sedemikian rupa


oleh para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, maka hal yang
menarik bagi para pengkaji studi ilmiah agama menurut Buckley,
adalah menyingkap hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan. Misalnya,
mengungkap momen-momen penting pengalaman spiritual ma-
nusia tentang Tuhan. Buckley secara retorik bertanya: bisakah Kris-

Dr. Media Zainul Bahri 361


tus dilihat sebagai yang memberi cahaya, sehingga menarik untuk
dikaji, ketimbang harus berkompetisi dengan problem-problem
kontroversial yang telah ditemukan dalam studi ilmiah agama? Teo-
log-teolog Kristen mungkin dapat mengkaji secara baik tentang
iluminasi Yesus dengan tanpa harus mencari data-data kebudayaan
manusia, tetapi cukup dapat menunjukkan secara memadai apa
yang bisa dipelajari dari Tuhan. Nostra aetate374 yang dihasilkan oleh
konsili Vatikan II merupakan refleksi dari kekayaan spiritual Bapa-
Bapa suci. Nostra itu, menurut Buckley, telah mengakui bahwa Ca-
haya Tuhan dapat menerangi siapa pun dari makhluk-Nya dan da-
lam tradisi agama apa pun. Bisakah para teolog Kristen membuat
studi ilmiah mengenai kekayaan batin tokoh-tokoh Kristen tentang
Tuhan hingga menghasilkan Nostra yang mengagumkan itu?375
Pada abad Pertengahan, teologi Kristen juga mengambil sum-
ber-sumber dari ajaran Aristoteles, Ibn Rusyd dan Dionysius neo-
Platonik untuk mempelajari banyak hal tentang Tuhan. Apakah
bisa para teolog Kristen hari ini belajar dari kekayaan Islam kontem-
porer? Atau dari mistik Hindu? Menurut Buckley, saat ini tidak
sedikit teolog dan sarjana agama yang memiliki pandangan yang
sempit tentang kata “agama” sehingga menyulitkannya untuk ber-
integrasi dengan dunia lain yang lebih luas. Padahal, Gereja perdana
(the early Church) berhasil menyerap unsur-unsur yang agung dari
Neo-Platonisme, Stoisisme dan Neo-Phytagorianisme. Padahal,
tradisi-tradisi filsafat kuno itu bukan agama, dan sampai hari ini pun
tidak juga kita menyebutnya sebagai agama.376 Berbagai pertanyaan
dan penjelasan di atas penting untuk menunjukkan bahwa Studi
Agama masih memiliki lahan yang luas, dan karenanya masih me-
miliki posisi yang penting dibanding menghabiskan energi untuk
berkonflik dengan disiplin ilmu lain. Bahkan, dalam satu dasawarsa
terakhir, lebih dari sekadar kajian mengenai pengalaman spiritual
atau saling keterpengaruhan di antara kebudayaan dan agama, isu-
isu aktual mengenai fundamentalisme dan liberalisme agama, agama
dan radikalisme, hubungan agama dan negara, atau agama dan

362 Wajah Studi Agama-Agama


perubahan iklim adalah tema-tema menarik yang juga menjadi la-
han Studi Agama.
Meski demikian, kemunculan buku terbaru Robert N. Bellah,
Religion In Human Evolution, From The Paleolithic to the Axial Age
(2011) kembali menunjukkan bahwa teori asal-usul agama tetap
memiliki posisi yang penting di Barat. Buku Bellah itu disebut-sebut
sebagai karya terbesar dalam bidang sosiologi dan sejarah agama
setelah Hegel, Durkheim dan Weber. Jürgen Habermas menyebut
karya Bellah itu sebagai karya agung yang lahir dari tradisi intelek-
tual dan akademik yang kaya dari seorang ahli teori sosial terke-
muka yang menggabungkan pendekatan biologis, antropologis dan
historis demi menghasilkan karya yang ambisius mengenai asal usul
ritus dan mitos keagamaan dalam proses evolusi natural spesies
manusia yang disandingkan dengan proses evolusi keagamaan
pada zaman Aksial.377 Karya Bellah ini tentu saja memperkaya tu-
lisan-tulisan para antropolog, sosiolog, dan sejarawan sebelumnya
tentang tema yang sama, namun dengan eksplorasi bukti-bukti
baru yang mengejutkan. Karya ini sesungguhnya memperkuat
pandangan bahwa diskursus tentang teori asal-usul agama masih
relevan untuk didiskusikan, terutama dalam materi studi PA, dalam
semangat ilmiah dan demi mencari kebenaran ilmiah.

H. Model Studi yang Dilakukan


Dalam rentang waktu lebih dari tiga dasawarsa setelah berdi-
rinya Jurusan PA pada 1961, kita melihat munculnya berbagai mo-
del studi PA. Karya-karya PA yang dihasilkan beserta model
pengajarannya menunjukkan model atau pendekatan studi PA telah
berkembang sesuai dengan perkembangan aktor-aktor akade-
miknya. Pada masa-masa awal berdirinya studi PA, secara umum
kita melihat satu model yang cukup dominan, yaitu model historis-
komparasi-teologis, atau historis-fenomenologis plus teologis, atau
komparasi-teologis. Agama-agama manusia dilihat berdasarkan se-
jarah, ajaran-ajaran teologinya, fenomena-fenomena keagamaan
yang melingkupinya, kemudian dibandingkan dengan Islam atau

Dr. Media Zainul Bahri 363


diberi “nilai” oleh Islam. Model ini cukup lama berlangsung dan
menjadi pendekatan “favorit” di kalangan kaum Muslim para peng-
kaji studi PA masa itu, karena hasil dari studi model itu menunjuk-
kan hal yang “menggembirakan” bagi mereka, yaitu keunggulan
Islam atas agama-agama lain.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu di masa akhir 1980-an
hingga menjelang akhir 1990-an, mulai muncul kajian-kajian yang
bersifat obyektif (ilmiah) dan humanis. Tokoh-tokoh studi PA di
(IAIN) Yogyakarta dan Jakarta menghasilkan karya-karya dengan
pendekatan-pendekatan yang beragam: historis-fenomenologis,
atau fenomenologis saja, atau komparatif saja, atau sosiologis-antro-
pologis, dan mulai memublikasikan rumusan-rumusan pendekatan
seperti yang dirumuskan oleh Mukti Ali sebagai “scientific-cum-
doctrinair” atau “ilmiah agamis,” yaitu pendekatan dengan berbagai
ilmu sosial plus pendekatan dogmatis agama atau fenomenologis, atau
plus pendekatan komparatif. Rumusan ini diikuti oleh Burhanuddin
Daya. Amin Abdullah menggagas pendekatan multi-disipliner
seperti pendekatan ilmu-ilmu sosial plus fenomenologis atau plus
teologis yang telah “dicerahkan” oleh filsafat. Farichin Chumaidy
concern kepada pendekatan komparatif dan fenomenologis. Rom-
dhon mengembangkan pendekatan historis, fenomenologis dan
komparatif yang objektif. Kautsar Azhari Noer juga setia dengan
pendekatan komparatif dan fenomenologis plus pendekatan
perenial yang menjadi fokusnya pada masa-masa awal 1990-an. Ia
juga mendukung berbagai pendekatan sekaligus seperti pendekatan
historis, fenomenologis dan komparatif yang didukung secara ber-
samaan dengan ilmu-ilmu bantu lain seperti hermeneutik, antro-
pologi, sosiologi dan lain-lain.
Sepanjang masa ini, terdapat macam-macam model (pende-
katan) sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan para
insan akademik PA. Kita tidak bisa menggeneralisir adanya satu atau
dua model untuk semua model-model yang pernah dimunculkan.
Model Burhanuddin Daya misalnya tidak pasti sama dengan model
Farichin Chimaidi. Model Amin Abdullah tidak sama dengan Kau-

364 Wajah Studi Agama-Agama


tsar. Model para penulis buku Perbandingan Agama diatas juga ber-
beda-beda penekanannya, meskipun sama-sama dalam semangat
apologis. Ada yang menekankan model komparatif-teologis, ada
pula yang menekankan fenomenologis, komparatif dan teologis
sekaligus.
Meski demikian, secara keseluruhan, model studi yang dila-
kukan sejak awal Jurusan PA berdiri hingga masa akhir Orde Baru
dapat dibagi dalam dua periode, yaitu pertama, periode model ka-
jian normatif (dari 1961 hingga pertengahan 1980), yaitu mengkaji
agama-agama non-Islam dengan memakai beberapa pendekatan,
namun pada akhirnya akan ditarik pada pendekatan teologis (sub-
jektif). Kedua, masa model kajian non-normatif atau deskriptif (mu-
lai akhir 1980 hingga akhir 1990), yaitu kajian yang mengusahakan
berbagai pendekatan ilmiah yang melihat agama atau keberagamaan
suatu komunitas dengan aspek-aspek studi yang kompleks dan
tunduk kepada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dalam disiplin
ilmu yang menjadi pendekatannya. Namun, harus juga dipahami
bahwa dua periodisasi di atas, normatif dan deskriptif, tidak bersifat
“pasti” atau “absolut” secara keseluruhan. Sangat mungkin terda-
pat aspek-aspek yang “cair” atau kondisi yang “fleksibel” dalam
setiap periode itu. Mungkin terdapat beberapa karya yang bercorak
“semi-ilmiah” pada era normatif, atau terdapat pula beberapa karya
dengan corak “teologis-apologetik” pada era deskriptif seperti karya-
karya yang telah kita lihat dalam dua periodisasi itu.
Sepanjang era ini, kita melihat studi PA dilakukan dengan
mengikuti tradisi kesarjanaan Barat (termasuk Kristen Barat) dan
realitas sosioreligio masyarakat Indonesia. Dua corak itu, terutama
terlihat menonjol pada sosok Mukti Ali. Murid-murid intelektual
dan para pengikutnya yang tersebar, terutama di Jawa, menjadi
“corong suara” Mukti Ali pada Jurusan-Jurusan Perbandingan
Agama di IAIN, yang tentu saja dengan memasukkan beberapa
variasi dan perkembangan lebih lanjut dari apa yang telah diru-
muskan oleh Mukti Ali. Dalam hal ini Mukti Ali berjasa besar dalam
mengambil referensi yang berlimpah dari Barat dan mengolahnya

Dr. Media Zainul Bahri 365


untuk konteks Indonesia yang majemuk dan untuk konteks per-
guruan tinggi Islam. Karena itu, corak studi PA pada masa Orde
Baru tidak semata berorientasi ke Barat (Western oriented), dalam
hal materi dan metodologi, namun juga melibatkan konteks ke-
Indonesiaan. Hal itu dapat dilihat pada materi-materi perkuliahan
yang mendiskusikan agama-agama dan kepercayaan yang hidup
di Indonesia.
Pandangan atas dua corak di atas yang berdasarkan penelusuran
saya ternyata dikuatkan oleh, atau paling tidak memiliki kesamaan
dengan catatan Ahmad Norma Permata, seorang alumni PA dan
akademisi Studi Agama. Ia mencatat tiga karakter penting model
studi agama di Indonesia, terutama pada masa-masa awal kemun-
culannya. Pertama, studi tentang agama-agama (study of religions
dan bukan religious studies) di Indonesia dibangun menurut dasar-
dasar tradisi Religionwissenschaft dan IAHR (International Associa-
tion for the History of Religions). Karakter utama dari tradisi ini adalah
kehendak untuk menjadikan studi agama sebagai sebuah disiplin
ilmu yang independen, objektif dan ilmiah namun tetap memiliki
nuansa religius. Metode inilah yang disebut Mukti Ali sebagai ”sci-
entific-cum-doctrinair” atau istilah lain “religio-scientific,” yaitu pen-
dekatan yang paling memadai dan paling berhak untuk menguasai
kajian agama. Menurut Permata, mengandaikan satu pendekatan
yang “super” yang akan mengkaji realitas agama secara kompre-
hensif menyebabkan para sarjana dalam tradisi IAHR di seluruh
dunia, termasuk Indonesia, menghadapi problem yang kompleks
dan jalan buntu. Usaha seperti itu, disebut Permata, ibarat “meng-
gantang asap, menghasta kain sarung,” karena realitas agama ter-
nyata seluas kehidupan itu sendiri yang mustahil untuk “ditangkap”
secara memadai hanya dengan sebuah pendekatan.378
Menurut Permata, jalan buntu tersebut kemudian mulai dapat
diatasi oleh para pemikir IAHR kontemporer melalui munculnya
kesadaran metodologis (methodological awareness) bahwa realitas
agama tidak mungkin dapat didekati secara utuh hanya dari sebuah
sudut pandang. Masing-masing perspektif menghadirkan realitas

366 Wajah Studi Agama-Agama


sesuai dengan kapasitasnya, dan tidak ada salah satu di antara mere-
ka yang secara inheren lebih unggul atas yang lain.379
Kedua, studi agama di Indonesia pada awalnya hanya berkem-
bang di dalam lembaga-lembaga yang memiliki afiliasi formal de-
ngan agama tertentu, yang notabene memiliki misi keagamaan
(dakwah). Dalam kasus Islam, studi agama yang memiliki nama
Perbandingan Agama secara resmi dibuka pertama kali di PTAIN
Yogyakarta. Seperti telah banyak disebut bahwa dengan label Islam
pada perguruan tinggi itu, maka studi PA yang dilakukan pun da-
lam semangat dakwah. Menurut Permata dan berdasarkan fakta
yang ada, tidak satu pun lembaga pendidikan umum, baik tingkat
menengah maupun tinggi, yang menyelenggarakan studi agama
dalam arah Religionwissenschaft.380 Fenomena ini tidak berarti sesua-
tu yang negatif sebab sampai pada pertengahan abad 20, corak ke-
agamaan pada dunia Kristen dan Islam yang lazim terjadi memang
model dalam semangat dakwah. Karena itulah, dalam konteks per-
guruan tinggi Islam pada era 1960-an, adanya model studi agama
atau Perbandingan Agama yang berorientasi ilmiah, empirik, dan
objektif masih dianggap sebagai sesuatu yang “asing.”
Ketiga, studi agama di Indonesia juga memiliki kecenderungan
yang kuat ke arah aktivisme pragmatis keagamaan masyarakat se-
cara luas. Kajian atas fenomena agama tidak pernah dilakukan se-
mata-mata demi kepentingan keilmuan atau dunia akademik an
sich. Hal itu terjadi terutama karena para praktisi studi agama seba-
gian besarnya aktif di dalam lembaga-lembaga keagamaan.381 Mukti
Ali sendiri yang dianggap sebagai sarjana istimewa didikan Barat
masih tetap berpegang pada pandangan tradisional Islam bahwa
hidup untuk ibadah, termasuk tujuan pengembangan studi PA ada-
lah untuk ibadah.382Sekali lagi, pada level ini kita bisa melihat Mukti
Ali sebagai teolog Muslim yang mengarahkan studi PA untuk tujuan
yang bersifat keagamaan dan (tujuan) praktis. Begitu pula, diskusi
dan perdebatan soal pluralisme agama yang diusung empat tokoh
di atas, tidak semata atas kehendak mengembangkan kajian teologis
(keilmuan) an sich, melainkan didasarkan pula atas kenyataan so-

Dr. Media Zainul Bahri 367


siologis masyarakat Indonesia yang majemuk. Menurut tokoh-tokoh
dan para pendukungnya, isu pluralisme perlu terus dikembangkan
sebagai respons dan dukungan teologis bagi kehidupan sosial yang
harmoni dan damai di antara para pemeluk agama.
Dari sisi isu dalam studi PA, tampaknya isu pluralisme agama
selalu menjadi kajian yang menarik, untuk tidak menyebutnya se-
bagai isu yang abadi, sejak masa teosofi hingga masa reformasi.
Pluralisme agama sesungguhnya tidak pernah menjadi mata kuliah
tersendiri atau menjadi bagian dari kurikulum PA. Namun yang
menarik—pada level yang sangat teoretis—keseluruhan mata kuliah
pokok (keahlian), terutama yang menyangkut materi agama-aga-
ma, secara langsung atau tidak, akan menghasilkan pemahaman
dan sikap yang pluralis atas agama-agama non-Islam, atau setidak-
nya inklusif. Pandangan yang mengarah kepada paham inklusivisme
dan pluralisme ini sulit dihindari, karena selain menerima penjelasan
langsung tentang agama-agama dari sumber (karya) pertama dan
dari seorang dosen yang ahli (dan berpengalaman) dalam materi
itu, meskipun dosen tetap seorang Muslim, secara perlahan sang ma-
hasiswa atau peserta kuliah juga memiliki ketertarikan (feeling dan
empati) serta pengalaman emosional dengan agama yang dipelajari,
apalagi ditambah dengan mata kuliah praktikum (kunjungan lang-
sung) ke tempat ibadah dan pusat studi, atau menerima kuliah
umum (studium general) dari sarjana atau tokoh agama yang ber-
sangkutan. Pengalaman-pengalaman intelektual dan emosional
yang didapatkan mahasiswa PA pada mata kuliah-mata kuliah po-
kok menjadikannya memiliki perspektif baru yang berbeda, dan
terkadang benar-benar berbeda, dengan penjelasan para teolog Mus-
lim tentang agama-agama non-Islam.
Para teolog itu (termasuk sebagian sarjana Muslim) yang tidak
pernah belajar atau mengenyam pendidikan tentang agama-agama
secara akademis, namun sering berbicara tentang agama-agama lain
dipandang oleh para mahasiswa dan orang-orang yang terlibat da-
lam studi ilmiah PA hanya memiliki pemahaman teologis yang
subjektif, yang berbeda dengan studi PA yang ilmiah dan objektif.

368 Wajah Studi Agama-Agama


Dalam perspektif ini pula, Studi Agama-Agama atau Studi Perban-
dingan Agama dengan produk yang dihasilkannya sulit “berdamai”
dengan pandangan atau fatwa tradisional Islam yang mengharam-
kan pluralisme. Meski secara teoretis bahwa sebagian besar (dan
belum tentu seluruhnya) pandangan pluralisme agama akan men-
jadi produk studi PA, tetapi tidak berarti secara otomatis para maha-
siswa dan insan akademiknya menerima pandangan tentang “kesa-
tuan Asal (Sumber) dan (kesatuan) tujuan agama-agama,” atau me-
miliki pandangan bahwa “semua agama sama,” atau “merelatifkan”
semua agama, apalagi seenaknya berpindah-pindah agama. Jika
dilihat secara tajam lagi, terdapat derajat atau tingkatan pemahaman
mahasiswa dan dosen tentang apa itu pluralisme. Dari istilah “plu-
ralisme” yang sama akan muncul pemahaman yang berbeda-beda,
dari hanya sekadar menghormati eksistensi agama-agama lain hing-
ga pemahaman mengenai kesederajatan semua agama (equality of
religions).
Karena itu, pada level praktis, harus pula disadari bahwa terda-
pat proses belajar-mengajar, transfer ilmu, dan diskusi diantara do-
sen dengan dosen atau dosen dengan mahasiswa yang sangat hati-
hati dengan “isu sensitif” seperti pluralisme agama. Ahmad Mut-
taqin misalnya, Ketua Program Studi PA UIN Yogyakarta, menyata-
kan bahwa sikap kehati-hatian para dosen PA dalam mendiskusikan
isu pluralisme agama dengan mahasiswa adalah sangat penting,
mengingat mahasiswa yang diajar adalah program S-1 yang diang-
gap belum memiliki “modal yang kuat” tentang keislaman. Dosen
perlu “mengarahkan” para mahasiswa untuk tidak menelan secara
bulat diskursus mengenai pluralisme agama seperti yang dipahami
di Barat. Sikap “kehati-hatian” dan “pengarahan” para dosen di UIN
Yogyakarta sesungguhnya “satu bingkai” dengan semangat dan
rumusan Mukti Ali mengenai studi PA dalam konteks perguruan
tinggi Islam yang tetap harus berpegang kepada misi keislaman.383
Saya kira sebagian insan akademik PA UIN Jakarta juga memiliki
pandangan dan sikap serupa.

Dr. Media Zainul Bahri 369


Menurut Djam’annuri, Mukti Ali tidak mau berkompromi soal
akidah, dan Djam’annuri memberi penekanan bahwa mungkin—
sekali lagi mungkin—Mukti Ali tidak mengakui adanya kesela-
matan pada agama lain. Jika pluralisme agama berarti bahwa “se-
mua agama sederajat” atau “semua agama sama,” maka menurut
Djam’annuri, Mukti Ali tidak pernah menganut paham itu. Djam-
’annuri merujuk kepada pidato Mukti Ali di Gedung Wanita Yogya-
karta pada 1993 yang menyatakan bahwa “Islam adalah satu-satu-
nya jalan yang benar menuju Tuhan. Adalah keliru jika orang me-
ngatakan bahwa semua agama adalah sama, sama kelirunya dengan
mengatakan bahwa putih sama dengan hitam.”384
Menurut Muttaqin, boleh jadi banyak alumni PA Yogyakarta
yang menganut paham pluralisme agama—sebagai konsekuensi
dari “output” mata kuliah-mata kuliah keahlian atau persentuhan
mereka dengan dunia yang lebih luas, tetapi kebijakan lembaga
tetap dalam semangat Mukti Ali di atas. Di kalangan dosen pun
hanya satu atau beberapa (dari sekian banyak) yang benar-benar
menganut paham itu. Dalam melihat kebijakan lembaga dan dina-
mika para insan akademik PA di Yogyakarta, Muttaqin membuat
tamsil yang tepat, yaitu “eksklusif (atau mungkin inklusif) dalam
hal teologi, tetapi pluralis dalam ranah sosial.”385
Saya kira gambaran di Yogyakarta itu relatif sama dengan apa
yang terjadi di UIN Jakarta. Meski demikian, terdapat dinamika
pemikiran dan perdebatan yang cukup menarik di internal dosen
dan mahasiswa, walaupun secara kelembagaan, Jurusan Perban-
dingan Agama tetap bersikap “hati-hati” dalam “membina” para
mahasiswa ketika mendialogkan pergumulan Islam dengan agama-
agama lain. Namun, dengan membaca silabus yang dirancang dan
output-nya, tak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa dosen,
alumni dan mahasiswa yang “menganut” paham pluralisme agama,
dalam pengertian pada ranah pemikiran dan penghayatan tentang
keniscayaan keselamatan pada agama-agama non-Islam. Saya kira
Kautsar Azhari Noer adalah salah satu “mahaguru” yang secara eks-
plisit menganut dan menghayati doktrin pluralisme agama itu seba-

370 Wajah Studi Agama-Agama


gai konsekuensinya mendalami sufisme Ibn Arabi, mistik agama-
agama dan passing over. Ia adalah seorang “sufi” yang kukuh mem-
bela kebebasan beragama sembari tetap mempromosikan semua
umat beragama untuk mendalami “jantung” atau yang inti (eso-
terik) dari agama masing-masing, dan tidak hanya berhenti pada
aspek syariat (eksoterik) semata.
Dalam rentang lebih dari satu dasawarsa di penghujung era
Orde Baru inilah, isu pluralisme agama menjadi semacam “brand”
(merek) studi PA bersamaan dengan isu-isu lain beserta dengan
metodologinya yang menjadikan studi ini tampil dalam wajah yang
baru.

Dr. Media Zainul Bahri 371


BAB VI
STUDI PERBANDINGAN
AGAMA DI ERA REFORMASI
(1998-2014)

A. Polemik Pergantian Nama


Nama “Perbandingan Agama” tetap digunakan di UIN Yogyakarta
dan Jakarta dan IAIN lain semisal IAIN Walisongo Semarang dan
UIN Bandung. Sebenarnya, di kalangan dosen-dosen muda UIN
Yogyakarta dan Jakarta di masa Reformasi—terutama masa-masa
di atas tahun 2000-an, terdapat keinginan yang kuat untuk meng-
ganti nama Jurusan atau Program Studi menjadi religious studies
seperti yang ada di Barat atau dalam istilah Indonesia menjadi “Stu-
di-Studi Agama” atau “Studi Agama-Agama.” Nama yang terakhir
itu yang ramai diperbincangkan sebagai ganti dari nama yang lama.
Menurut Ahmad Muttaqin, beberapa “suara” generasi muda UIN
Yogyakarta yang menghendaki perubahan nama memiliki alasan
pokok misalnya nama Perbandingan Agama di masa reformasi (de-
mokrasi terbuka) terlalu “sensitif.” Di masa ketika menguatnya fun-
damentalisme agama, istilah Perbandingan Agama selalu menjadi
sasaran/hantaman keras kaum Islamis yang menganggap program
studi itu “berbahaya.”1
Dari prospek lapangan pekerjaan, sarjana Perbandingan Agama
juga sulit bersaing karena nama Perbandingan Agama kurang layak
jual (marketable).2 Alasan pokok lain menurut Muttaqin, adalah bah-
wa ilmu PA di masa Orde Baru belum memiliki epistemologi yang
mapan. Saat itu, studi PA lebih mengarah ke aktivisme dibanding

Dr. Media Zainul Bahri 389


kegiatan akademik atau pengembangan keilmuan. Sedangkan saat
ini, ilmu PA telah berkembang pesat, baik dari sisi metodologis
maupun dari aspek materi-materinya.3
Namun, sebagian besar generasi tua tidak setuju dengan peru-
bahan nama. Menurut Muttaqin, beberapa dosen senior mengkha-
watirkan perubahan SK mengajar atau Sertifikat Profesi yang selama
ini secara mapan telah tercantum “Dalam Bidang Ilmu Perban-
dingan Agama.” Perubahan SK Profesi Dosen dari Perbandingan
Agama ke Studi Agama-Agama bukan perkara mudah. Menurut
Djam’annuri, penolakan atas perubahan nama, termasuk penolak-
an dirinya, setidaknya memiliki tiga alasan pokok: pertama, alasan
historis. Nama Perbandingan Agama memiliki sejarah yang panjang
baik di Barat, di Timur Tengah dan di Indonesia sendiri. Nama itu
sudah begitu akrab di kalangan akademisi Studi Agama karena
akar yang kuat dan proses yang panjang. Kedua, alasan akademik.
Nama Perbandingan Agama (Comparative Religion) masih diguna-
kan di banyak universitas di seluruh dunia. Ketiga, inti (core) Com-
parative Religion adalah tetap pada posisinya yaitu mempelajari aga-
ma-agama yang bukan agama sendiri. Fakta itu masih tetap dijalan-
kan di program studi PA, setidaknya di dua UIN yang besar, yakni
UIN Yogyakarta dan Jakarta.4
Di UIN Jakarta, Ismatu Ropi, dosen (generasi) muda Perban-
dingan Agama, memiliki perspektif yang kritis menyangkut “dunia
comparative religion” dan “dunia religious studies.” Menurutnya,
Studi Agama dapat dilihat dalam tiga perspektif pokok. Pertama,
apa yang disebut sebagai theological studies, yakni studi agama yang
membahas elemen-elemen tertentu dari satu agama tertentu. Studi
teologis, yang berumur sangat tua yang juga disebut “Queen of the
Sciences”—terus mengalami perkembangan terutama pada masya-
rakat yang sedang bergairah dalam beragama. Kedua, comparative
religion, yakni elemen-elemen satu agama tertentu—seperti yang
ada pada theological studies—dibandingkan dengan elemen agama
lain. Namun, yang sering terjadi, perbandingan itu dilakukan dari
sudut pandang “agama besar,” atau dari satu perspektif “agama

390 Wajah Studi Agama-Agama


tertentu” ketika melihat agama-agama lain. Perspektif ini pernah
lama mendominasi kajian comparative religion di dunia Kristen Barat.
Model studi ini bersifat preskriptif, dalam pengertian harus ada
elemen-elemen tertentu sebagai “alat” untuk mengukur agama lain.5
Perguruan tinggi Islam Indonesia—sejak dulu sampai kini—
terjebak memakai model preskriptif ini. Misalnya, ketika membuat
ciri-ciri agama, maka harus ada konsep tuhan, kitab suci, nabi/utus-
an tuhan, aturan kewajiban dan larangan. Ciri-ciri ini selalu dipakai
ketika akan menentukan apakah sebuah keyakinan layak disebut
agama atau tidak. Cara pandang “mengukur” bahkan “menilai”
keyakinan orang lain biasanya adalah ciri khas dari comparative reli-
gion. Hal paling “buruk” yang akhirnya terjadi adalah ingin menun-
jukkan superioritas agama tertentu atas agama lain. Meskipun tidak
selalu akhirnya berujung seperti itu.6
Ketiga, religious studies. Menurut Ismet—panggilan akrabnya,
jika dibandingkan dengan Religionwissenschaft atau science of reli-
gion yang dulu digagas Max Müller, istilah dan pengertian religious
studies sesungguhnya memiliki kemiripan dan semangat yang sama.
Perbedaan pokoknya adalah bahwa dalam Religionwissenschaft saat
itu agama dilihat (diletakkan) dalam satu perspektif, misalnya meli-
hat agama hanya dalam perspektif sosiologis, atau hanya fenome-
nologis, atau hanya teologis. Sementara pada religious studies agama
dapat dibaca dalam beberapa perspektif sekaligus. Satu komunitas
agama misalnya, dapat didekati melalui sejarah komunitas itu (histo-
ris), penghayatan/pengalaman keagamaan mereka (psikologis), in-
teraksi sosial-keagamaan mereka (sosiologis) dengan komunitas lain,
prosesi ritus dan cara pemaknaan mereka atas simbol-simbol keaga-
maan (antropologis) dan lain-lain.7
Hal yang paling menonjol dari religious studies adalah bahwa
setiap fenomena keagamaan diperlakukan sama. Misalnya konsep
tentang Tuhan. Ia tidak dilihat sebagai apakah konsep ketuhanan
itu monoteis, politeis, atau henoteis yang diletakkan dalam cara
pandang tertentu, tetapi lebih dilihat nilai (value) dan maknanya
(meaning) bagi pemeluknya dan bagaimana pengalaman ketuhanan

Dr. Media Zainul Bahri 391


itu dihayati. Jika pada comparative religion, ciri yang menonjol adalah
sifatnya yang preskriptif, maka watak utama religious studies adalah
deskriptif, dalam pengertian bagaimana elemen-elemen keagamaan
dideskripsikan sebagai hal bermakna bagi penghayatnya. Deskriptif
biasanya dimaknai sebagai “suatu penjelasan tentang fenomena
yang bisa diukur.” Padahal, dalam religious studies, yang dikehendaki
pada studi deskriptif adalah penjelasan tentang meaning (numena),
disamping yang fenomen itu.8
Dengan watak utamanya pada deskripsi, religious studies lebih
cenderung kepada tema-tema seperti Tuhan, Kitab Suci, Reinkar-
nasi, Manusia Suci (Santo) dan lain-lain. Soal Kitab Suci misalnya.
Dalam religious studies, tidak penting apakah kitab suci itu diwahyu-
kan, diinspirasikan dari langit, atau diciptakan oleh kultur tempat
kitab itu lahir, tetapi lebih melihat kitab suci sebagai titik sentral
bagi komunitas agama tertentu dan bagaimana kitab suci itu ber-
pengaruh terhadap hidup keseharian mereka. Soal utusan Tuhan
atau nabi misalnya. Bagi religious studies tidak penting apakah nabi
itu harus mendapat wahyu dari tuhan atau tidak, harus memiliki
mukjizat atau tidak, tetapi yang paling penting adalah bagaimana
makna nabi atau orang suci dalam komunitas tertentu, bagaimana
nabi itu memiliki pengaruh dan posisi yang khusus pada sebuah
komunitas. 9
Menurut Ismet, dalam comparative religion, aspek-aspek ter-
tentu dari kitab suci, nabi atau liturgi diperbandingkan antara satu
agama dengan agama lain: menyangkut sejarahnya, asal-usul, dan
doktrin pokoknya, tetapi nilai dan makna tema-tema itu tidak di-
eksplorasi secara memadai seperti apa yang dilakukan oleh reli-
gious studies. Sebenarnya, comparative religion mau mencari yang
esensi, namun sering kali terjebak pada “ukuran” atau “nilai” yang
digunakan. Contoh yang lain adalah konsep mengenai spiritualitas.
Spiritualitas satu agama dibandingkan dengan spiritualitas agama
lain dan dicoba untuk dicari esensi dan makna spiritualitas kedua
agama yang dibandingkan. Akan tetapi, dalam comparative religion,
biasanya harus ada satu model spiritualitas yang dijadikan “ukuran.”

392 Wajah Studi Agama-Agama


Dalam comparative religion, selalu harus ada “ukuran”—disadari
atau tidak.10
Jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya tidak ada elemen
dalam agama-agama yang bisa benar-benar dibandingkan secara
tepat, adil, dan objektif karena masing-masing pandangan, pengha-
yatan dan pengalaman keagamaan tidak bisa “disama-samakan”
atau “dibeda-bedakan” secara head to head dan secara pasti (empi-
ris). Misalnya konsep Allah dalam Islam, Trinitas dalam Kristen,
dan Trimurti dalam Hindu. Dengan “cara pandang” dan “pengalam-
an keagamaan” yang subjektif dan kompleks dari para pemeluk-
nya, apakah mungkin membandingkan secara objektif konsep tu-
han dalam tiga agama tersebut? Jangankan tiga agama, dalam Is-
lam-pun, pandangan dan pengalaman ketuhanan antara seorang
Muslim dengan Muslim yang lain akan sulit dibuat komparasi yang
benar-benar tepat dan adil.11
Dengan penjelasan di atas, Ismet seperti ingin menegaskan bah-
wa model yang paling ideal untuk Studi Agama-Agama adalah
model religious studies. Selain memenuhi kriteria yang “obyektif”
atau “ilmiah,” model ini juga bersifat humanis, dalam arti mampu
menjelaskan fenomena dan numena keagamaan seperti yang benar-
benar dihayati oleh pemeluknya, tanpa ada ukuran, nilai atau per-
spektif dari (agama) yang besar terhadap yang kecil (minor) atau
dari (agama) yang mayoritas terhadap yang minoritas. Jika ingin
berbicara tentang Studi Agama secara ketat, model comparative re-
ligion dengan beberapa eksesnya yang negatif sesungguhnya tidak
bisa dipertahankan lagi. Bahkan nama “Perbandingan Agama”—
pun yang lebih bernada pejoratif sebenarnya tidak bisa dipakai lagi.
Menurut Ismet, ilustrasi menarik tentang bagaimana keinginan
comparative religion mendeskripsikan fenomena keagamaan seka-
ligus value dan meaning yang dihayati pemeluk agama tertentu seba-
gai pengalaman personal yang subjektif adalah teori tentang Ikan
Mas (golden fish) ala Wilfred Cantwell Smith. Menurut Smith, para
peneliti berdiri di depan akuarium kecil yang berisi ikan mas. Yang
satu fokus kepada matanya, yang lain kepada mukanya, yang lain

Dr. Media Zainul Bahri 393


lagi kepada badannya, yang lain lagi kepada ekornya dan begitu
seterusnya. Menurut Smith, semua penjelasan mereka tentang ikan
mas (mata, muka, badan, ekor) adalah benar. Namun, yang tidak
bisa mereka jelaskan adalah “bagaimana rasanya menjadi ikan mas?”
Model comparative religion dan pendekatan-pendekatan studi il-
miah agama yang lain sering kali berpuas diri pada penjelasan-pen-
jelasan “dari luar” yang tidak menyentuh esensi keberagamaan.
Menurut Ismet, religious studies adalah usaha yang serius dan me-
narik tentang mendeskripsikan bagaimana “rasanya menjadi ikan
mas;” bagaimana memahami agama sebagai tindakan yang ber-
makna bagi pemeluknya, atau bagaimana agama berfungsi dalam
hidup mereka.12
Namun, menurut Ismet lebih lanjut, model religious studies
masih sangat sulit dilakukan di UIN atau IAIN di tanah air. Reli-
gious studies murni hanya bisa berkembang di negara-negara sekuler
karena model ini mengasumsikan bahwa negara tidak mengakui
atau tidak mengistimewakan satu atau beberapa tradisi agama ter-
tentu. Juga, insan akademik model ini—para dosen, peneliti dan
mahasiswa—tidak mesti terlibat dalam (menganut) agama tertentu,
atau tidak beragama sama sekali, karena yang terpenting adalah
aktivitas studi yang objektif berdasarkan kaidah-kaidah religious
studies. Dalam pengertian inilah, UIN dan IAIN tidak bisa mengem-
bangkan religious studies murni seperti yang dilakukan di negeri-
negeri Barat.13
Meski demikian, bagi Ismet, keberadaan program studi PA di
UIN dan IAIN, dilihat dari perspektif lain yang lebih positif, adalah
sebuah kemajuan bagi Studi Agama di Indonesia. Di negeri ini,
pendidikan agama, baik di sekolah menengah-atas (SMP-SMU)
maupun di perguruan tinggi, dilakukan dengan cara confesionalize
class room, yakni belajar/mendalami agama tertentu bagi siswa/ma-
hasiswa pemeluk agama itu untuk memperkuat keyakinan siswa/
mahasiswa dengan pendekatan yang sangat teologis dan tidak meli-
batkan siswa/mahasiswa pemeluk agama lain.14 Pada saat mata pela-
jaran/kuliah agama Kristen, yang beragama Kristen mengikuti ma-

394 Wajah Studi Agama-Agama


teri itu hanya bersama teman-temannya yang Kristen. Begitu pula
materi Islam bagi Muslim, Hindu bagi pemeluk Hindu dan seterus-
nya. Agama masing-masing dipelajari masing-masing tanpa meli-
batkan pemeluk agama yang berbeda.
Dalam konteks demikian, adalah sebuah kemajuan bagi UIN
dan IAIN yang mengembangkan program studi PA, yakni belajar
agama-agama bersama-sama dengan penganut beragam agama.
Pada keseluruhan kegiatan perkuliahan studi PA, mahasiswa Mus-
lim sesungguhnya tidak hanya belajar agama-agama non-Islam dari
para dosen yang Muslim, namun juga berinteraksi dengan pengajar
dan mahasiswa non-Muslim untuk bersama-sama mendalami kajian
agama yang bukan agama mereka sendiri. Tidak hanya perjumpaan
yang terjadi, namun juga berbagi (sharing) pandangan dan penga-
laman. Menurut Ismet, meskipun tidak semua orang nyaman de-
ngan model comparative religion, tetapi apa yang dilakukan oleh
PA di UIN adalah keadaan yang sangat maju untuk ukuran negara
yang menganut confesionalize class room.15
Dalam konteks perguruan tinggi Islam Indonesia, Ismet mena-
warkan model-model mata kuliah PA yang relevan dengan keislaman
dan keindonesiaan. Pertama, mata kuliah ke-Ushuludin-an diper-
kuat. Misalnya subjek Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf diajar-
kan secara mendalam, sehingga sarjana PA kelak tetap memiliki
akar keislaman. Tiga materi di atas juga memiliki keterkaitan erat
dengan materi-materi pokok agama-agama. Akan tetapi, subjek
keislaman yang lain seperti ilmu hadis, tafsir, fikih dan ushul fikih
tidak perlu diajarkan kepada mahasiswa PA karena tidak relevan
atau tidak terkait langsung dengan penguatan tradisi keilmuan PA.
Kedua, tema mengenai sejarah agama-agama atau agama-agama
dunia diperkuat untuk bekal memasuki tema-tema pokok PA.
Topik sejarah agama-agama harus kembali diajarkan pada program
studi PA UIN Jakarta , yang dalam dua dasawarsa terakhir hanya
diajarkan kepada mahasiswa program studi non-PA. Ketiga, materi-
materi mata kuliah keahlian harus diarahkan kepada tiga hal pokok:
(1) agama-agama yang hidup di Indonesia. Karena itu harus tetap

Dr. Media Zainul Bahri 395


dipertahankan mata kuliah seperti Hindu dan Buddha di Indone-
sia, Islam di Indonesia, Kristen di Indonesia, Konghucu di Indone-
sia, Agama-Agama Lokal, dan Aliran Kepercayaan, (2) topik tema-
tema Perbandingan Agama dibuat mata kuliah sendiri-sendiri,
misalnya Tuhan Dalam Agama-Agama, Kitab Suci Agama-Agama,
Utusan Tuhan Dalam Agama-Agama, Eskatologi Dalam Agama-
Agama dan seterusnya, (3) dibuat mata kuliah keterampilan,
misalnya Agama dan Resolusi Konflik, Dialog Antar-agama, Strategi
Penanganan Konflik dan hal-hal semacam itu.16
Dengan kerangka tiga tema besar di atas, maka dalam bayangan
Ismet, sarjana PA kelak adalah mereka yang memiliki akar keis-
laman (karena lahir dari institusi Islam), memiliki keahlian dalam
Studi Agama-Agama dan memiliki keterampilan pada wilayah
agama dan problem-problem sosial. Harus diakui, pada program
S-1 tidak mungkin diharapkan output (sarjana) yang benar-benar
ahli dan terampil dalam Studi Agama-Agama atau dalam hal agama
dan problem sosial. Sulit mencetak sarjana S-1 menjadi para ahli
(expert) dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, Silabus/
mata kuliah yang dibuat harus dirancang untuk—minimal—”mem-
bekali” mahasiswa ke arah tiga perspektif di atas, sehingga mereka
memiliki “imajinasi” dalam hal-hal yang bersifat teoretis dan prak-
tis.17 Bekal itu dapat sangat bermanfaat, apakah untuk melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau untuk bekerja.
Berbeda dengan Ismet, Kautsar Azhari Noer, generasi tua studi
PA UIN Jakarta memandang bahwa nama Perbandingan Agama
masih relevan untuk dipertahankan. Kautsar senada dengan Djam-
’annuri menyatakan bahwa nama PA memiliki akar historis yang
panjang. Karena itu, dalam area akademik, nama itu juga masih
dipakai di banyak perguruan tinggi di seluruh dunia. Kautsar kon-
sisten dengan keyakinannya bahwa kajian inti (core) PA adalah dok-
trin-doktrin teologis dan praktik keberagamaan (pada agama-aga-
ma), bahkan lebih tinggi lagi, yakni pemikiran dan pengalaman
spiritual. Inilah ruh agama-agama. Kautsar menunjuk satu contoh
buku tentang World Spirituality yang berisi studi perbandingan

396 Wajah Studi Agama-Agama


tentang aspek-aspek mistik pada agama-agama sebagai model ideal
kajian inti studi PA. Begitu pula buku karya Toshihiko Izutsu, Sufism
and Taoism, menurut Kautsar adalah salah satu buku terbaik tentang
PA. 18
Menurut Kautsar, penekanan yang kuat pada aspek pemikiran,
tepatnya pemikiran teologis dan spiritualitas pada PA sangat relevan
dengan core Ushuluddin yang juga fokus pada aspek pemikiran.
Bagi Kautsar, aspek pemikiran bukanlah pemikiran biasa, tetapi
pemikiran yang mencerahkan, yang mampu mengubah pola pikir
(mindset) manusia beragama. Kautsar sangat setuju dengan adagium
yang menyatakan “Jika mau mengubah manusia, ubahlah pemi-
kirannya.” Kautsar menceritakan ketika ia menjadi salah satu pema-
kalah dalam sebuah simposium internasional di Oxford, Inggris,
yang diadakan oleh Ibn Arabi Society, seorang sarjana agama me-
ngatakan bahwa “Ibn Arabi’s thought changes my life.” Menurut
Kautsar, tema spiritualitas tetap menarik bukan semata tema abadi
yang masih ramai dikonsumsi banyak kaum beragama, namun
juga mampu mengubah cara berpikir manusia. Dalam konteks ini
menurut Kautsar, studi PA bukanlah aktivitas “membanding-ban-
dingkan” semata, tetapi perbandingan yang mampu mengubah mind-
set umat beragama, bahkan bisa memperkaya pengalaman spiri-
tual mereka, seperti yang terjadi pada passing over.19
Kautsar sesungguhnya dapat memahami area studi pada reli-
gious studies dan pendekatan-pendekatannya yang berkembang
selama ini. Namun, ia melihat pendekatan-pendekatan pada reli-
gious studies lebih fokus pada ilmu-ilmu sosial, yang dalam konteks
materi dan pendekatan ilmu PA, hal itu akan tumpang tindih dengan
disiplin ilmu-ilmu sosial. Karena itu, Kautsar tidak setuju jika titik
tekan pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah bagian dari core PA. Me-
nurutnya, jika suatu kajian yang penekanannya pada pendekatan
ilmu-ilmu sosial, meskipun objeknya agama, maka hal itu lebih
cocok di program studi ilmu sosial, bukan di PA. Menurut Kautsar,
jika di UIN ada perdebatan apakah sosiologi agama atau antropologi
agama bagian dari ilmu sosial atau religious studies, maka ilmu itu

Dr. Media Zainul Bahri 397


Religions, Inter-Religious Dialogue: theories and practices, Violence and
Peace in Religions, Inter-Religious Study of Mysticism, dan Special
Topics in Inter-Religious Relation.50
Dalam Religion and Local Culture, tentu saja yang didiskusikan
adalah soal agama dan kebudayaan lokal Nusantara, konversi para
penganut agama lokal kepada salah satu agama besar (formal) di
Indonesia atau sebaliknya, dan lain-lain. Dalam kluster ini juga ter-
dapat lima (5) mata kuliah: Indigenous Religion, World Religion and
Local Culture, Art Religion and Spirituality, Religion and Environ-
ment, dan Special Topics in Religions and Local Culture.51
Dalam Religion and Contemporary Issues, didiskusikan soal
perjumpaan agama dengan isu-isu yang hangat dan berkembang,
baik isu-isu pada level lokal maupun isu pada tingkat dunia. Dalam
mendiskusikan Agama dan Isu-Isu Kontemporer, dibutuhkan dua
keahlian (wawasan), yaitu penguasaan atas teori-teori sosial (social
theories) dan etika-sosial keagamaan atau agama dalam dimensi
etika dan sosialnya (religious social ethics). Dalam kluster ini, ter-
dapat enam (6) mata kuliah pokok, yaitu Religion, State, and Civil
Society, Religion and Gender, Religion, Science, and Technology, Reli-
gious Education, Religion and Human Rights, dan Special Topics in
Religion and Contemporary Issues.52
Dengan melihat penjelasan Ancu dan mata kuliah-mata kuliah
yang diajarkan, tampak jelas bahwa model religious studies di CRCS
adalah model yang saat ini dikembangkan di Barat. Inilah model
deskriptif, bukan preskriptif, dan lebih fokus kepada tema-tema
keagamaan dan sosial keagamaan yang sedang aktual diperbincang-
kan. Dalam mendiskusikan World Religions, misalnya Buddhisme,
tentu saja itu adalah satu agama yang kompleks dan panjang seja-
rahnya. Tetapi CRCS hanya memilih topik-topik tertentu yang bisa
dihubungkan atau diperbandingkan dengan agama lain. Ketika
mendiskusikan sejarah agama tertentu misalnya, dosen yang ahli
dalam bidang ini juga mengajak para mahasiswanya untuk melihat
secara luas konteks sosial, budaya dan politik agama yang dikaji.

414 Wajah Studi Agama-Agama


Dalam menjaga kualitas mata kuliah menurut Ancu, kuriku-
lum CRCS di review setiap dua tahun. Kurikulum dibuat oleh ko-
mite akademik yang terdiri atas dosen dari dalam dan ahli dari
luar.53 Hal ini sedikit berbeda dengan kurikulum PA di UIN dan
IAIN yang hanya dirumuskan oleh konsorsium, yaitu dosen-dosen
ahli dari dalam saja dan dapat direview kapan saja sesuai dengan
kebutuhan/aspirasi dosen-dosen Jurusan PA. Pembuatan kuriku-
lum CRCS adalah gabungan dari model yang berkembang di Barat
dengan di Indonesia. Dengan gabungan itu, tampak pula bahwa
CRCS memiliki perhatian serius terhadap kajian akademik menge-
nai agama-agama di Indonesia, baik agama-agama resmi maupun
praktik dan kepercayaan lokal, dan fenomena kehidupan keagama-
an di tanah air. Dari kajian ini sesungguhnya akan lahir teori dan
model kajian mengenai agama-agama di Nusantara; suatu model
khas yang tidak ada di Barat, di Timur Tengah, atau di tempat lain
di Asia Tenggara.
Selain fokus pada pengembangan akademik, CRCS juga con-
cern berpihak pada kerukunan dan pluralisme. Bukti konkretnya
adalah membuat laporan tahunan kehidupan beragama di Indo-
nesia (tahun 2014 adalah tahun ke-6 pembuatan laporan itu). Juga
membuat monograf, yaitu hasil penelitian CRCS yang bekerja sama
dengan LSM-LSM lokal seperti di Bali, Jakarta, Yogyakarta, Kali-
mantan dan Papua. Konsep akademik CRCS atau posisi CRCS
dalam mendefinisikan pluralisme tertuang dalam buku berjudul
Pluralisme Kewargaan, Arus Balik Politik Keragaman di Indonesia
(Mizan, 2011). Bagi CRCS apa yang dimaksud pluralisme adalah
pluralisme kewargaan. Kerja sama CRCS dengan beberapa aktivis
dan lembaga penggiat pluralisme di Jakarta dan Yogyakarta meng-
hasilkan buku seperti Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta:
CRCS, 2011), Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama: Seja-
rah, Teori dan Advokasi (Yogyakarta: CRCS, 2014). Pihak CRCS juga
bekerja sama dengan peneliti tamu, Agus Indiyanto sehingga me-
lahirkan buku berjudul Agama di Indonesia dalam Angka: Dinamika
Demografis Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010 (Yog-

Dr. Media Zainul Bahri 415


yakarta: CRCS, 2013). Kerja sama CRCS dengan aktivis dan LSM
di Kalimantan Tengah menghasilkan buku Badingsanak Banjar-
Dayak: Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan
(Yogyakarta: CRCS, 2011). Dengan aktivis di Bali menghasilkan
buku Bulan Sabit Di Pulau Dewata: Jejak Kampung Islam Kusamba-
Bali (Yogyakarta: CRCS, 2012). Dengan LSM di Yogyakarta mela-
hirkan buku Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi
di SMUN di Yogyakarta (Yogyakarta: CRCS, 2011), dan lain-lain.
Meski demikian menurut Najiah Martiam, Staf Public Educa-
tion CRCS, CRCS tidak masuk terlalu jauh seperti apa yang dilaku-
kan oleh LSM. Misalnya, CRCS tidak melakukan advokasi langsung
di lapangan seperti halnya LSM. Fokus CRCS tetap pada penguatan
akademik, dan peran mediator/fasilitator atas pertemuan-perte-
muan penting menyangkut kerukunan.54 Berbagai macam kerja
penguatan akademik CRCS seperti penelitian, pembuatan mono-
graf, laporan tahunan kehidupan beragama, kerja sama dengan
banyak pihak dan mengadakan Sekolah Pengelolaan Kerukunan
(SPK), yaitu pelatihan gratis bagi para aktivis LSM selama 10 hari
untuk memperkuat wawasan akademik mengenai kerukunan dan
pluralisme, adalah bagian dari proyek besar CRCS, yaitu apa yang
disebut Pluralism Knowledge Programme (PKP).55
Memang, program CRCS (S-2) tidak bisa dibandingkan de-
ngan program Perbandingan Agama S-1 di UIN dan IAIN. Titik
tekan program S-1 lebih pada hal-hal mendasar seperti sejarah dan
ajaran agama-agama secara umum, yang dalam banyak hal bersifat
“pendahuluan.” Meskipun telah ada tema-tema khusus, misalnya
topik tentang catur ariya satyani dan tumimbal lahir, namun hal
itu masuk dalam mata kuliah Agama Buddha, bukan subjek khusus
tentang kedua topik itu. Begitu pula, beban mata kuliah S-1 yang
masih terlalu “gemuk,” dan—dalam kasus Perbandingan Agama
UIN Jakarta—minimnya penguatan materi dan aplikasi ilmu-ilmu
sosial pada program studi, membuat hal itu masih jauh “panggang
dari api.” Jika pada program S-2, pada kasus CRCS misalnya, lebih
banyak aspek “pendalaman” dan penalaran kritis atas topik-topik

416 Wajah Studi Agama-Agama


khusus yang dijadikan mata kuliah sendiri-sendiri, maka pada prog-
ram S-1, sekali lagi, tak lebih dari sebuah “pengantar umum” atau
“pendahuluan” yang dapat menjadi modal pokok untuk melan-
jutkan ke jenjang studi S-2 atau bekerja pada lembaga-lembaga
(amatir dan profesional) yang concern dengan kerukunan, plu-
ralisme dan hubungan antaragama. Adanya kenyataan bahwa akti-
vitas studi Perbandingan Agama yang dilakukan di Perguruan Ting-
gi Islam, yang tentu saja tidak akan “netral” dan terjadi banyak bias,
juga menjadi problem tersendiri dalam hal pengembangan keil-
muan Perbandingan Agama.
Bagaimanapun, pengetahuan mengenai model CRCS sebagai
lembaga formal-akademik yang boleh disebut sebagai ‘institusi
ideal’ dalam hal religious studies kiranya dapat memperkaya per-
spektif para akademisi dan mahasiswa Perbandingan Agama prog-
ram S-1 di UIN dan IAIN.

E. Masa Depan Studi Perbandingan Agama


Melalui pergulatan sejarahnya yang panjang, kita telah melihat
bahwa studi PA—dalam banyak hal—telah bertransformasi ke arah
Studi Agama-Agama (religious studies) sebagai hasil adaptasi atas
perkembangan isu-isu keagamaan dan perkembangan pendekatan-
pendekatan ilmiah. Melihat perubahan karakteristik itu—sebagai
sesuatu yang tak bisa dihindari—maka studi PA sesungguhnya
masih memiliki masa depan yang prospektif. Dinamika kehidupan
keagamaan yang semakin kompleks tidak semata membuat agama
makin digandrungi dan dipelajari, melainkan pula makin merang-
sang munculnya isu-isu dan pendekatan baru dalam Studi Agama.
Problem-problem seperti menguatnya fundamentalisme agama,
kerinduan akan kehangatan spiritual, kemunculan agama-agama
baru dan Gerakan Keagamaan Baru (new religious movement), keber-
agamaan kaum difabel, konflik sosial antar pemeluk agama, hu-
bungan antaragama, regulasi negara terhadap agama, kepadatan
penduduk, hubungan agama dan sains, pemanasan global, konser-
vasi hutan dan laut, dan demokrasi di antara yang prosedural dan

Dr. Media Zainul Bahri 417


yang substansial, menuntut kajian agama untuk melahirkan satu
perspektif yang dapat mencerahkan para pemeluk agama di satu
sisi, dan mengembangkan keilmuan Studi Agama di sisi lain. Untuk
topik-topik kontemporer seperti itu studi PA sudah tidak memadai
lagi. Akan tetapi, untuk pergulatan teologi dan spiritualitas yang
akan terus berlangsung, kajian PA tetap aktual. Masing-masing
dapat memainkan perannya yang kontributif.
Dalam lingkungan institusi Islam atau pendidikan tinggi Is-
lam, selalu muncul pertanyaan, apakah bisa studi PA dan religious
studies menjadi kajian yang benar-benar ilmiah, tanpa kepentingan
dakwah di dalamnya? Untuk menjawabnya secara tuntas, kita perlu
melihat perbedaan fundamental antara studi PA di dunia Islam
dengan religious studies yang berkembang di Barat. Religious studies
yang berkembang di Barat, terutama di Amerika, Kanada dan Eropa
adalah berada di negara-negara sekuler yang tidak memprioritaskan
agama tertentu atau tidak mengakui adanya agama yang resmi dan
tidak resmi. Studi Agama juga dilakukan “with a value free orienta-
tion.” Disiplin ilmu hanya mengejar objektivitas. Orang-orang yang
terlibat dengan studi adalah orang-orang yang tidak “terlibat” de-
ngan agama tertentu; orang-orang netral yang memiliki kebebasan
untuk menguji, mengkritik, dan mengeksplorasi agama berdasar-
kan kaidah-kaidah studi ilmiah agama yang empiris.56
Sementara studi PA atau Studi Agama-Agama yang berlangsung
di pendidikan tinggi Islam Indonesia adalah kajian yang harus ber-
hadapan dengan negara yang mengakui beberapa agama resmi.
Mahasiswa, dosen dan peneliti yang terlibat didalamnya adalah
“kaum beriman” yang terikat (involve) dengan agama tertentu. Sulit
untuk melepaskan diri dari cengkeraman subjektivitas. Namun de-
mikian—seperti telah dikemukakan di atas, transformasi studi PA
ke religious studies dengan mengikuti perkembangan keilmuan dan
isu-isu keagamaan kontemporer seperti yang berkembang di Barat,
dapat dilakukan dengan baik. Hal itu berarti keislaman atau terlibat
menjadi Muslim tidak menghalangi seseorang untuk bersikap il-
miah. Para akademisi Muslim dapat membedakan antara keyakinan

418 Wajah Studi Agama-Agama


keagamaannya dengan kerja ilmiah profesional. Islam sendiri—
dalam penafsirannya yang progresif—sesungguhnya sejalan dengan
semangat mencari kebenaran sebagai bagian dari kerja ilmiah.
Meski demikian, Jacques Waardenburg membuat catatan pen-
ting yang harus diingat oleh para akademisi Muslim yang ingin
mengembangkan Studi Agama-Agama di dunia Islam. Menurut-
nya, terdapat dua problem penting dalam mengembangkan Studi
Agama-Agama di dunia Islam. Pertama, problem adanya adagium
bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan terakhir. Menurut
Waardenburg, terlepas dari apakah pandangan ini benar atau tidak,
model pandangan teologi itu tidak bisa dimasukkan dalam studi
kesarjanaan empiris. Mengenai pertanyaan tentang “kebenaran
mutlak” agama-agama, Studi Agama yang berkembang di Barat
biasanya meletakkan pertanyaan itu dalam “dua tanda kurung”
(brackets, epoche). Hal itu mengasumsikan bahwa ilmu pengetahuan
tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tetapi meletakkannya dalam
suatu perspektif. Pertanyaan itu terletak pada wilayah iman, bukan
studi empiris agama-agama. Pertanyaan dan pernyataan itu juga
akan membuyarkan konsentrasi tentang kenyataan dan fakta bah-
wa terdapat juga para pemeluk agama-agama lain “yang absah”
selain Islam, Kristen atau Buddha. Fokus studi agama-agama adalah
tentang para pemeluk agama-agama itu dan tentang agama mereka.
Sekali lagi, pertanyaan itu terletak pada wilayah iman, bukan pada
studi empiris agama-agama.57
Problem kedua, adalah adanya kenyataan bahwa Islam, dalam
beberapa dekade terakhir, semakin terus menguat menjadi ideologi
dan praktik politik. Lebih meningkat dibandingkan dengan Kristen
atau agama Buddha. Kenyataan lain, ideologisasi dan politisasi Is-
lam juga heterogen. Jika gereja Kristen atau kelompok-kelompok
Kristen misalnya memiliki interpretasi “resmi” tentang kekristenan,
maka hal itu berbeda dengan Islam. Terdapat banyak kelompok,
gerakan dan negeri-negeri Muslim yang memiliki interpretasi ma-
sing-masing tentang Islam. Karena itu, sulit untuk membuat studi
yang adil atau yang tidak penuh prasangka pada orientasi-orientasi

Dr. Media Zainul Bahri 419


yang berbeda itu di dalam satu kebudayaan dan keislaman.58
Meski demikian, sikap-sikap ideologis dan politis pada Mus-
lim dan Kristen misalnya, bukan berarti tanpa manfaat. Sikap-sikap
itu ternyata memiliki relevansi bagi studi lintas kebudayaan dan
agama. Dalam 50 tahun terakhir misalnya, terdapat studi-studi aka-
demik yang serius pada banyak sarjana Muslim tentang kekristen-
an, lebih banyak daripada studi mereka tentang Yahudi. Bahkan,
usaha para akademisi Muslim dan Kristen dalam mengembangkan
dialog antaragama memiliki efek yang sangat bermanfaat dalam
membangun kerja sama antara Barat dan para sarjana Muslim. War-
denburg bahkan meyakini bahwa proses perdamaian di Timur Te-
ngah dapat difasilitasi oleh studi-studi mengenai hubungan Mus-
lim dan kaum Yahudi, terutama dalam banyak fakta sejarah yang
menunjukkan hubungan yang harmonis di antara mereka. Dapat
juga dilakukan studi komparatif antara kitab suci kaum Muslim
dan Yahudi yang memiliki banyak kesamaan akarnya. Dengan be-
gitu akan mempererat pemahaman dan hubungan timbal balik
antara Muslim dan Yahudi yang benar-benar menginginkan adanya
hubungan baik.59
Waardenburg kemudian menggarisbawahi bahwa ketika aga-
ma-agama yang hidup (living religions) menjadi fokus kajian, maka
hal itu menuntut keterbukaan akademik, kontak, perjumpaan, dis-
kusi dan perdebatan. Konsekuensinya, Studi Agama-Agama mem-
butuhkan kebebasan untuk riset, berpikir dan berekspresi. Sikap-
sikap seperti itu dibutuhkan oleh institusi mana pun yang ingin
mengembangkan kajian ilmiah agama dan harus dipertahankan
oleh para sarjana agama di mana pun, termasuk di dunia Islam.60
Hanya dengan sikap dan pandangan seperti ini, para akademisi
Muslim di lembaga pendidikan tinggi Islam dapat mempertahan-
kan dan mengembangkan Studi Agama-Agama, baik pada aspek-
aspek yang sangat teorrtis maupun aspek praktis-fungsional.

420 Wajah Studi Agama-Agama


BAB VII
PENUTUP

Keseluruhan pembahasan buku ini telah menunjukkan bahwa Stu-


di Agama-Agama atau Perbandingan Agama memiliki akar dan
sejarah yang cukup panjang di Nusantara, setidaknya dalam ren-
tang satu abad lebih. Pada mulanya, kesadaran kaum terpelajar
Indonesia untuk mendiskusikan agama-agama yang hidup di Nu-
santara dimotivasi oleh keingintahuan berdasar fakta kemajemukan
agama dan kehendak membangun kehidupan sosial-keagamaan
yang harmonis. Di tengah-tengah proses tersebut muncul pula kon-
flik dan kontestasi di antara agama-agama sehingga memunculkan
model-model Studi Agama yang menyertainya. Seiring dengan per-
kembangan isu-isu dan materi sosial-keagamaan yang sangat dina-
mis, berbagai metodologi Studi Agama-Agama juga dirumuskan,
apakah dengan cara membuat sintesis atas berbagai model atau mem-
buat tesis (model) baru.
Sejauh agama masih memiliki daya tarik sehingga terus dicintai,
dianut dan dipelajari, maka Studi Agama tidak akan pernah redup.
Selama itu, tema-tema keagamaan dan pendekatan-pendekatan
Studi Agama masih akan terus berkembang, mencari model dan
bentuk-bentuknya yang relevan dan aktual, apakah model itu masih
model lama, atau perpaduan dari yang lama dengan yang baru,
atau muncul model yang benar-benar baru. Pencarian itu tidak akan
pernah selesai, dan tidak akan sampai pada titik final. Bagaimana-
pun, karena kompleksitas fenomena keagamaan dan macam-ma-
cam variannya, tak akan muncul “satu model (pendekatan) utama”
untuk beragam kajian keagamaan. Yang niscaya terjadi akan ada
banyak pendekatan yang mungkin bekerja sendiri-sendiri atau be-
kerja sama di antara mereka (inter-disciplinary studies).

Dr. Media Zainul Bahri 425


Studi ini tentu saja memiliki keterbatasan. Beberapa riset men-
datang dapat dilakukan. Misalnya pertama, mengingat studi yang
saya lakukan hanya di UIN Yogyakarta, Jakarta dan IAIN Semarang,
maka menarik untuk dilihat model-model Studi Agama-Agama di
UIN dan IAIN lain, misalnya di UIN Bandung dan Surabaya yang
cukup berkembang. Juga sangat menarik untuk melakukan studi
perbandingan antara perkembangan Studi Agama-Agama di Jawa
dan luar Jawa, misalnya dengan melihat perkembangan disiplin
ilmu ini di Sumatra, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi. Kedua, kare-
na UIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung telah membuka program
Magister Studi Agama-Agama, maka menarik untuk melakukan
riset tentang perkembangan studi ini pada level Pascasarjana.

426 Wajah Studi Agama-Agama


BIODATA PENULIS

Media Zainul Bahri adalah dosen Studi Agama-Agama pada Fa-


kultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lahir di Pama-
nukan-Subang, Jawa Barat, 19 Oktober 1975. Mengenyam pendi-
dikan Menengah dan Atas di Pondok Pesantren Daarul-Rahman,
Kebayoran Baru Jakarta-Selatan (1987-1994). Menyelesaikan S-1
di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Bandung (UNISBA) (1995-1999), S-2 (2000-2003) dan S-3
(2006-2010) keduanya pada Konsentrasi Pemikiran Islam Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan sponsor dari
SEASREP-SEPHIS, mengikuti workshop on Alternative Research
Methodologies di Universitas Filipina, kampus Diliman (Oktober
2007), melakukan penelitian Disertasi di Universitas Ankara Turki
(November 2008 hingga Januari 2009) dengan beasiswa dari Peme-
rintah Turki, Postdoctoral research di Institut Indonesia dan Studi
Keislaman, Universitas Köln, Jerman (Maret 2012 hingga Desember
2013) dengan sponsor Alexander von Humboldt Stiftung, dan mela-
kukan studi kepustakaan di KITLV Universitas Leiden pada Juli-
Agustus 2012 dan Juli-Agustus 2013. Beberapa karyanya yang telah
dipublikasikan antara lain Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Meng-
urai Maqamat Dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi (Jakarta: Prenada Me-
dia, 2005), menulis 17 Entri untuk Ensiklopedi Tasawuf (Bandung:
Penerbit Angkasa, 2008), Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2010), Satu Tuhan Banyak Agama (Jakarta: Mizan,
2011), dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Sebuah Peng-
antar (Jakarta: HIPIUS, 2015).

Dr. Media Zainul Bahri 439

Anda mungkin juga menyukai