“Studi Media Zainul Bahri ini patut dipuji karena bermutu dan sangat
informatif. Buku Wajah Studi Agama-Agama ini sesungguhnya tidak
mendeskripsikan sejarah salah satu disiplin akademik saja, tetapi
sekaligus menunjukkan bagaimana “wajah” masyarakat (muslim) di
Indonesia dicerminkan di dalam pemikiran ihwal agama lain.” —Prof.
Dr. Edwin P. Wieringa
Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
Hingga Masa Reformasi
Penulis
Dr. Media Zainul Bahri
Desain Cover
Haetamy el-Jaid
Tata Letak
Abi Fairuz
Pemerikasa Aksara
Ratih
Penerbit
PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. (0274) 381542, Fax. (0274) 383083
E-mail: pustakapelajar@yahoo.com
Website: pustakapelajar.co.id
ISBN: 978-602-229-545-7
BAB I. Pendahuluan 1
Catatan 12
A. Pendahuluan
Secara dramatis, Daniel L. Pals menceritakan bahwa pada suatu
hari di musim semi bulan Februari 1870, seorang ilmuwan setengah
baya berkebangsaan Jerman menaiki mimbar di sebuah acara ke-
rajaan di London guna menyampaikan satu kuliah umum. Saat
itu, profesor-profesor Jerman sudah diakui kemampuannya di Ing-
gris, tak terkecuali orang ini. Meski demikian, ia tampil seperti se-
orang Inggris tulen. Nama profesor itu adalah Friedrich Max Müller
(1823-1900). Ia datang ke Inggris pertama kali sewaktu muda untuk
belajar tulisan-tulisan kuno dari kitab Weda-India. Sejak saat itu, ia
merasa betah di Inggris, bahkan menikahi gadis Inggris dan akhir-
nya mendapatkan posisi penting di Universitas Oxford. Müller sa-
ngat dikagumi karena pengetahuannya yang mendalam tentang
Hinduisme kuno dan keahliannya dalam menulis dengan bahasa
Inggris yang ia gunakan untuk membuat tulisan populer mengenai
bahasa dan mitologi. Dalam kesempatan kuliah umum itu, ia meng-
usulkan disiplin ilmu baru, suatu ilmu yang siap ia promosikan
dan ia sebut sebagai “the science of religion.”1
Menurut Pals, istilah the science of religion yang diajukan Müller
pada mulanya hampir membuat “marah” yang hadir karena ma-
syarakat Inggris—dalam satu dekade itu—masih dihebohkan de-
ngan karya Charles Darwin, The Origin of Species (1859) yang me-
munculkan persaingan sengit antara sains dan agama. Karena itu,
istilah the science of religion kembali memunculkan rasa keingin-
tahuan mereka: apakah mungkin kepastian-kepastian iman yang
telah lama dianut dapat “dicampuraduk” dengan kajian ilmiah yang
B. Beberapa Pendekatan
1. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah salah satu pendekatan yang cukup
“favorit” dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama. Pende-
katan ini merupakan pendekatan yang paling tua dan dipakai per-
tama kalinya untuk mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agama-
agama baik sebelum ilmu agama menjadi disiplin yang berdiri sen-
diri (otonom) atau sesudahnya. Dengan pendekatan historis, suatu
studi berusaha menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan
pranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembangan
historis tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yang
dimiliki agama untuk memperjuangkan (mempertahankan) dirinya
selama periode-periode itu. Menurut Frederick J. Streng, interpre-
tasi historis telah dibenarkan dengan daya tarik dokumentasi dan
2. Pendekatan Teologis
Pendekatan ini dalam rentang sejarah yang cukup lama meru-
pakan pendekatan yang paling dominan dan paling berpengaruh
dalam Studi Agama dan studi agama-agama (Perbandingan Aga-
ma), bahkan hingga hari ini meskipun tidak lagi mendominasi.
Selama berabad-berabad, teologi dianggap sebagai “Ratu Ilmu
Pengetahuan (Queen of the Sciences),” terutama di dunia Yahudi,
Kristen dan Islam. Inilah pendekatan yang bersifat normatif dan
subyektif. Dengan pendekatan ini seorang penganut suatu agama,
apakah itu Kristen, Islam atau agama lain ketika membuat studi
teologis biasanya ia melakukan satu dari dua hal: pertama, studi
internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti agama adalah orang
dalam (insider) yang berusaha secara aktif dalam kegiatan ilmiahnya
untuk melestarikan dan mempromosikan keunggulan agamanya
serta mempertahankannya dari ancaman atau serangan orang lain.
Kedua, eksternal. Dalam hal ini, seorang peneliti atau penganut
agama tertentu melakukan kajian terhadap agama/keyakinan orang
lain untuk “menilai” dan “menghakiminya” dengan ukuran agama
sang peneliti. Dulu, pendekatan ini disebut juga pendekatan teks-
tual atau pendekatan kitabi dengan sifat utamanya: apologis dan
polemis.
3. Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan fenomenologis yang bermula dari cara berfilsafat
yang didirikan oleh Edmund Husserl kemudian hari dipergunakan
pula dalam berbagai bidang disiplin lain, termasuk Perbandingan
Agama. Joachim Wach mengatakan bahwa Fenomenologi Agama
bertujuan memahami ide-ide, kegiatan-kegiatan, tingkah laku, dan
pranata-pranata keagamaan dengan menangkap maksudnya tanpa
mendasarkan diri pada teori-teori yang sudah dipergunakan sebe-
lumnya entah itu teori teologis, filosofis, metafisis, atau psikologis.12
Fenomenologi, seperti telah disebut di muka, awalnya adalah
istilah filsafat yang dibangun oleh Edmund Husserl (1859-1938)13
dalam melihat fenomena: gejala yang tampak atau yang menam-
pakkan diri. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang
apa yang tampak (phainomenon).14
Namun, apa yang sesungguhnya disebut fenomena dalam fil-
safat Husserl, bukan hanya “apa yang menampakkan diri dalam
4. Pendekatan Komparatif
Selain pendekatan sejarah dan fenomenologi, pendekatan kom-
parasi juga sangat diminati oleh para mahasiswa, peneliti dan ahli
Perbandingan Agama, karena salah satu tugas Ilmu Perbandingan
Agama adalah mem(per) bandingkan agama-agama. Marc Bloch,
sejarawan Prancis, seperti dikutip oleh Michael Stausberg, meng-
gambarkan empat proyek studi perbandingan, yaitu: (a) penya-
ringan (selection); bagaimana melakukan seleksi terhadap beberapa
fenomena atau lingkungan sosial yang berbeda, (b) menggambarkan
garis-garis evolusi fenomena atau keadaan sosial itu, (c) melakukan
pengamatan atas kesamaan dan perbedaan-perbedaan di antara me-
5. Pendekatan Perenial
Perenialisme atau filsafat perenial telah lama dijadikan pende-
katan dalam memahami asal-usul wahyu keagamaan, aspek onto-
logis dan epistemologis agama dan akhirnya memahami perbedaan
bentuk-bentuk agama historis dan titik-temu esoterik agama-
agama. Saya kira penting untuk memahami sejarah formulasi filsa-
fat perenial secara singkat dan kemudian membedah isinya. Filsafat
perenial atau dalam bahasa Latin populer disebut philosophia perennis
adalah filsafat tentang Yang Abadi dan Sejati yang memiliki daya
tahan (enduring) dan tahan lama dalam keabadiannya (ever lasting)
dan telah (atau selalu) diwariskan dari generasi ke generasi.27
Menurut Charles Schmitt, banyak orang menyangka bahwa
filsafat perenial berasal dari Leibniz, karena ia memang sering meng-
gunakan istilah itu dalam sebuah surat untuk temannya, Remundo,
yang banyak dikutip orang, tertanggal 26 Agustus 1974. Namun,
sebuah penelitian yang lebih cermat membuktikan bahwa istilah
philosophia perennis sudah digunakan orang jauh sebelum Leibniz,
7. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud mencari
relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial. Michael
S. Northcott menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis dibedakan
dari pendekatan lainnya karena fokusnya pada interaksi agama dan
masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis adalah perha-
tiannya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan
kebudayaan termasuk agama. Objek-objek, pengetahuan, praktik-
praktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog
dipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi sosial.
Bagi para sosiolog, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial.
8. Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan
produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana
A. E.B. Tylor
Selain Geertz, nama-nama di atas adalah para ilmuwan yang
mendedikasikan hidupnya untuk meneliti kebudayaan masyarakat
primitif. Tylor misalnya, adalah ilmuwan yang sebagian besar
hidupnya dipakai untuk mengarahkan perhatian pada orang-orang
primitif, khususnya pada suku Indian di Amerika Tengah. Atas
pengamatannya yang sangat serius, ia menghasilkan karya-karya
yang bermutu seperti Anahuac: Or Mexico and The Mexican Ancient
and Modern (1861), dan Researches inti the Early History of Mankind
and the Development of Civilization (1865). Namun, karya puncaknya
Primitive Culture (1871) yang ia tulis dalam dua jilid besar, telah
mengantarkannya menjadi ahli antropologi Inggris ternama, dan
Primitive Culture dapat disebut sebagai “kitab suci” bagi para ilmu-
wan sesudahnya yang sangat terinspirasi oleh apa yang mereka sebut
sebagai “Mr. Taylor’s Science.”71
Pada mulanya, Tylor tidak tertarik pada soal agama. Namun,
keterlibatannya pada kehidupan kaum primitif mengharuskannya
untuk memahami kepercayaan mereka tentang roh, dewa-dewa,
mitos, dan asal-usul kepercayaan itu. Setelah bergelut lama dengan
kebudayaan kaum primitif, Tylor sampai pada kesimpulan bahwa
agama adalah “keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual.” Menu-
rutnya, semua agama, besar dan kecil, yang primitif maupun yang
modern, selalu mendasarkan keyakinan kepada roh-roh yang ber-
pikir, berperilaku dan berperasaan seperti manusia. Karena itu,
esensi setiap agama adalah animisme (anima: roh), yaitu keper-
B. Clifford Geertz
Antropolog lain yang pantas kita jadikan contoh adalah Clifford
Geertz. Geertz, salah satu “begawan” antropologi Amerika yang
amat masyhur dan memasyhurkan sebuah kota kecil di Jawa Ti-
9. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini bermaksud mencari hubungan atau pengaruh
agama terhadap kejiwaan pemeluk agama atau sebaliknya pengaruh
Sebab jang diseboet igama itoe, sifatnja: tjinta pada sesama, ringan memberi
pertoeloengan dan sofan ati boedinja; djadi jang diseboet igama jang sedjati
itoe boekannja perkara lahir, tetapi perkara di dalem ati, batin. Djika
sareat igama itoe dikeras-kerasken, dibagoes-bagoesken dengan tjeri-
ta’an dan pentjela’an pada lain roepa igama, itoelah djadi bidji kedja-
hatan.48
Dalam pengertian ini pula, sudah tidak memadai lagi jika dok-
trin teosofi yang menekankan rasa kesucian dan pengalaman “rasa
ketuhanan” kemudian diikat-ikat oleh adat, cara, wujud, bentuk
agama dan kekuasaan lahir. Semua ikatan itu akan membatasi hidup
bahkan membunuh hidup padahal hidup memberi kebebasan
kepada manusia.49 Nah, teosofi hanya terikat kepada Tuhan Yang
Maha Tak Terbatas. Kritik teosofi itu tertuju kepada dua hal: per-
tama, kepada orang yang menuhankan syari’at, akidah dan iden-
titas. Menurut teosofi, orang mestinya setia dengan esensi agama
dibanding kepada bentuk atau manifestasinya. Saat ini banyak orang
melakukan kekerasan, merusak kehidupan sesamanya bahkan
membunuh dengan dalih setia kepada “syari’at agama,” padahal
“esensi agama” mengutuk perbuatan itu. Kedua, sekarang banyak
orang yang lebih terpikat kepada lahiriah hidup yang glamour atau
pada kekuasaan lahiriah hingga menghalalkan segala cara untuk
meraihnya, sementara esensi/roh hidup diabaikan padahal esensi
hidup itulah yang mulia karena di dalamnya bersemayam nilai-nilai
kejujuran dan kesucian hidup yang harus mewujud dalam praktik.
Apakah teosofi membuat seseorang menjadi tak setia dengan
syari’at, ajaran atau doktrin agamanya? Tidak juga. Karena selain
Djadi boleh dipandang nantinja akan ada satoe gredja sedoenia bagi
sekalian manoesia, atau satoe masjid oemoem bagi orang sedoenia,
dimana orang manoesia dari roepa-roepa igama disitoe tidak hanja
sama menjembah pada satoe Toehan sadja; tetapi sama merasa poela
djadi hambanja sator Leerar Besar dari kemanoesiaan. Inilah satoe
Maka, setiap bangsa memiliki ajaran yang unik dan cocok bagi
diri mereka masing-masing. Setelah dirasa cocok, menurut MTI,
setiap pemeluk agama harus teguh menjalankan ajaran, kewajiban
dan aturan agama masing-masing dengan bebas dan saling meng-
hormati satu sama lain.58
Salah satu penyebab konflik antarpemeluk agama yang disorot
oleh MTI adalah persoalan fanatisme buta. Fanatisme yang dimak-
sud kaum teosofi adalah perasaan bahwa agamanya lebih baik atau
lebih tinggi derajatnya dari agama lain, lalu memandang sinis kepada
agama-agama lain. Seorang penulis menganjurkan para anggota
teosofi untuk tidak memiliki perasaan bahwa agamanya lebih baik,
melainkan mesti merasa bahwa semua agama bertujuan baik, se-
hingga prasangka dan perselisihan dapat dihindari.59 Seorang guru
teosofi mengajarkan untuk tidak “jatuh cinta” atau “kesengsem”
kepada tata-cara (syari’at) agama, perkumpulan teosofi atau organi-
2. Mengapa Apologetik?
Mengapa Apologetik? mungkin pertanyaan banyak orang. Un-
tuk menjawabnya secara luas kita perlu sekilas menengok ke bela-
kang. Mircea Eliade menyebut bahwa Ilmu Agama (Religionwis-
senschaft) mulai dirintis pada abad ke-19 dalam waktu yang hampir
bersamaan dengan Ilmu Bahasa. Max Müller, sebagai sarjana yang
dianggap “Bapak” Ilmu Agama atau Perbandingan Agama di dunia,
dalam pengantarnya pada edisi Chips from a German Workshop (Lon-
don, 1867) memberinya nama “Ilmu Agama-Agama” atau “Ilmu
Perbandingan Agama.” Menurut Wilfred C. Smith, disiplin Ilmu
Agama (Perbandingan Agama) dimulai menjadi kajian serius sejak
Zaman Penemuan (the Age of Discovery) ketika dunia Kristen Barat
menemukan bagian-bagian dunia lain; agama-agama lain, kemu-
dian mulai menyelidiki, mengurasnya dan secara bertahap menjadi
sadar akan adanya masyarakat dan wilayah yang berada jauh dari
bumi mereka. Abad ke-19 adalah era bangkitnya sebuah usaha yang
serius, berdisiplin untuk mengumpulkan dan menemukan bahan-
bahan, merekamnya secara hati-hati, memahami dan mencerma-
tinya secara lebih sistematis. Lalu, ketika banyak yang menggan-
drungi kajian dunia Timur (oriental) dan antropologi, maka mulailah
di sana-sini dibuka jurusan Religionwissenschaft.66 Dengan kata lain,
muncul kesan yang kuat bahwa ilmu PA adalah temuan Kristen
Barat, dan proyek awalnya menurut Ninian Smart, tak lepas dari
kesan “Western imperialism and Christian superiority.”67 Bahkan
dalam penjelasan khusus Smith, definisi dan kategori “agama” pun
adalah temuan Kristen Barat, yang kemudian banyak digunakan
atau sangat berpengaruh di dunia Timur.68 John Hinnells menulis
secara eksplisit bahwa,
Keadaan itu tentu disadari juga oleh para akademisi yang terli-
bat langsung dengan kajian PA. Kautsar Azhari Noer misalnya
menulis satu artikel yang relevan berjudul Beberapa Kemungkinan
Pengembangan Studi Perbandingan Agama (1998). Menurutnya, PA
sebagai sebuah cabang studi ilmiah tentang agama-agama perlu
mendapat perhatian serius agar studi ini dapat berkembang dengan
baik sesuai dengan tuntutan akademis yang inovatif dan tuntutan
praktis yang dinamis. Apa kemungkinan-kemungkinan yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan PA? Menurut Kautsar setidak-
nya ada empat (4) hal penting yang harus disoroti: (1) Berbagi (shar-
ing) informasi di antara para sarjana PA, mengingat abad ini adalah
abad “banjir bah” informasi. (2) Peningkatan kualitas ilmiah para
tenaga pengajar PA. Misalnya, pengiriman para dosen itu untuk
belajar S-2 dan S-3 di bidang studi PA atau Studi Agama-Agama di
F. Isu-Isu Penting
1. Agama dan Pembangunan
A. Pembangunan Manusia Seutuhnya
Seperti telah disebut bahwa salah satu tugas pokok Mukti Ali
sebagai Menteri Agama kala itu adalah membuat rumusan-rumus-
an bagaimana agama memberi kontribusi yang signifikan bagi
“pembangunan nasional” dan “stabilitas”; dua istilah yang sangat
“sakti” dan proyek besar dalam pemerintahan Orde Baru yang se-
dang gencar membangun. Karena itu, isu tentang hubungan agama
dan pembangunan merupakan salah satu diskursus yang pokok
pada awal-awal berdirinya studi PA. Isu itu kemudian ramai dibica-
rakan orang karena usaha-usaha Mukti Ali yang serius sebagai Men-
teri Agama membicarakan hal itu dalam forum-forum nasional, baik
resmi maupun informal. Bagi Mukti Ali, agama harus berperan
memberi makna bagi arah pembangunan yang membawa kesejah-
teraan, bukan hanya bagi fisik-lahiriah manusia-manusia Indone-
2. Pluralisme Agama
Pada masa 1990-an, seiring dengan isu dan diskursus Studi
Agama yang berkembang di Barat serta perkembangan kehidupan
sosial-keagamaan dalam negeri, muncul isu-isu penting, yang selain
hangat dibicarakan di dunia akademis dan masyarakat luas, juga
menjadi semacam “wajah baru” Studi Agama Indonesia. Isu-isu
aktual di masa itu pada gilirannya berperan menunjukkan arah
baru Studi Islam dan Studi Agama-Agama serta merangsang mun-
culnya tema-tema lain yang lebih luas serta metodologi yang me-
nyertainya. Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa diskursus me-
ngenai konsep pluralisme agama saat itu merupakan isu yang pal-
ing hangat dan menyedot perhatian luas publik keagamaan. Di
bawah ini, saya akan menyajikan empat tokoh Islam—secara singkat
saja— yang berhasil menggulirkan gagasan mengenai pluralisme
agama dan mendapat sambutan luas, terutama dalam jagat kajian
Studi Agama dan Studi Islam Indonesia. Mereka adalah Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Jalaluddin Rakh-
mat.
A. Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid atau biasa disapa Cak Nur adalah figur
utama yang membuat isu pluralisme agama ramai dibicarakan. Cak
Nur kemudian menjadi ikon yang sulit dipisahkan dengan isu itu,
meskipun pada masa-masa sebelumnya Mukti Ali juga sebenarnya
telah membicarakan tema itu secara terbatas, atau Ahmad Wahib
melalui catatan hariannya yang terkenal itu. Jika pada era 1970-an
Cak Nur populer karena gagasannya mengenai pembaruan pemi-
kiran Islam Indonesia dan isu soal Sekularisasi, maka di tahun 1990-
an ia kembali ramai menjadi pembicaraan publik karena tulisan-
C. Djohan Effendi
Membincang isu pluralisme agama dan dialog antar-iman di
era Indonesia modern tak mungkin mengabaikan sosok dan peran
penting Djohan Effendi. Secara pribadi dan pemikiran ia dikenal
dekat dengan Mukti Ali, Gus Dur, dan Cak Nur. Bersama dengan
dua nama terakhir dan tokoh-tokoh Muslim lainnya, Djohan juga
berani membela kebebasan beragama dan kelompok minoritas ke-
agamaan yang tertindas. Yang unik dari Djohan adalah bahwa ia
seorang birokrat di pemerintahan dan aktivis LSM sekaligus. Seba-
gai pegawai, ia pernah menjadi staf pribadi Sekjen Departemen
Agama (Bahrum Rangkuti waktu itu), penulis pidato-pidato Menteri
Agama Mukti Ali, dan selama 20 tahun menjadi penulis pidato-
D. Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat adalah salah satu cendekiawan Muslim In-
donesia yang mulai dikenal dan diperhitungkan pada era 1990-an.
Ia juga dikenal sebagai dai yang memikat dan orator ulung karena
kekayaan kosakata, intonasi suaranya yang sangat khas dan gaya
bicaranya yang komunikatif. Selain karena talenta yang dimilikinya
dan bacaannya yang sangat luas, juga karena ia adalah ahli komu-
nikasi dengan pendidikan formal dalam bidang Ilmu Komunikasi,
bahkan menjadi Guru besar dalam bidang itu. Saat itu, dua kar-
yanya yang cukup populer adalah Islam Aktual dan Islam Alternatif.
Melalui pengajian rutin di “Salman ITB” Kang Jalal, begitu sapaan
akrabnya, mulai menyebarkan gagasan-gagasan keislamannya yang
banyak merujuk kepada pemikiran Ali Ibn Abi Thalib, Murtadha
Muthahari dan tokoh-tokoh Syi’ah (Iran) lainnya. Di awal kemun-
culannya, ia tidak pernah mengaku sebagai penganut Syi’ah. Namun,
setelah reformasi meletus dan adanya jaminan kebebasan berpen-
dapat, berkeyakinan dan berserikat Kang Jalal mulai mendekla-
rasikan dirinya sebagai penganut Syi’ah, sebagai salah satu pendiri
Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia), dan menjadi Ketua
Dewan Syuro lembaga Syi’ah Indonesia itu. Dulu, Kang Jalal banyak
bicara tentang Islam yang berpihak kepada kaum lemah dan ter-
tindas, lalu ia mendalami sufisme, terutama dari tokoh-tokoh Syi’ah.
Pada saat yang bersamaan ia juga menggulirkan gagasan-gagasan
keislaman yang bercorak inklusif, liberal dan pluralis. Baru bela-
kangan ini ia secara intensif menulis dan berceramah tentang Syi’ah.
Pandangan pluralisme agama Kang Jalal sesungguhnya telah
dimulai pada pertengahan era 1990-an. Namun, baru beberapa ta-
hun terakhir ini gagasan-gagasan teologisnya tentang isu tersebut
baru diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Islam dan Plu-
ralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (2006). Kang Jalal me-
mulai pandangan teologisnya dengan mengemukakan renungan
A. Dialog Antaragama
Dalam sejarah dialog antaragama di Indonesia, sebenarnya
Mukti Ali sendiri telah merintis dan terlibat aktif dalam kegiatan
dialog ini sejak 1969. Aktivitasnya dalam dialog antar-agama sema-
kin intens ketika ia menjadi Menteri Agama. Karena itu, ketika
berdiskusi dengan Mukti Ali, B.J. Boland menyatakan bahwa ia
“menolak” menyebut Mukti Ali sebagai sarjana Perbandingan Aga-
ma, tetapi lebih tepat menamainya sebagai “Teolog Muslim tentang
agama-agama” (Muslim theology of religions), dan dalam istilah
Steenbrink, Mukti Ali adalah designer of Muslim Theology of Reli-
gion.297 Pandangan Boland itu berdasarkan kepada beberapa argu-
men pokok. Menurut Boland, Islam sejak awal telah mengenal “teo-
logi agama-agama,” dalam pengertian selain menegaskan finalitas
dan kesempurnaannya, Islam juga menghormati dan memiliki pan-
dangan yang positif atas agama-agama lain, terutama Yahudi dan
Kristen. “Teologi agama-agama” menurut Boland, berbeda dengan
studi Perbandingan Agama. Studi PA adalah studi ilmiah tentang
2. Model Historis-Kronologis
Salah satu model pengajaran PA yang mencolok dalam hal
materi agama-agama, sejak awal jurusan PA berdiri hingga masa
akhir Orde Baru, bahkan hingga masa reformasi adalah melalui
pendekatan historis-kronologis. Agama-agama diperkenalkan kepa-
da mahasiswa mulai dari sejarah hingga perkembangannya. Model
pengajaran ini terlihat eksplisit dalam karya-karya PA. Sejak masa
Mahmud Yunus melalui karyanya, al-Adyan (1937) hingga Perkem-
bangan Fikiran Terhadap Agama (1965) karya Zainal Arifin Abbas,
semua pembahasan mengenai suatu agama selalu dimulai dengan
kronologi sejarahnya. Metode yang sama dapat kita baca pada seba-
gian besar buku PA yang terbit sesudah berdirinya Jurusan Perban-
dingan Agama pada 1961 hingga masa kini, seperti Perbandingan
Agama karya Moh. Rifai (1965), Perbandingan Agama karya Mastur
Halim (1970), Perbandingan Agama, dua volume karya Abu Ahmadi
(1977), Agama Yahudi karya Burhanuddin Daya (1982), Agama Sinto
karya Djam’annuri (1982), Agama-Agama Besar Di Dunia karya
Joesoef Sou’yb (1983), Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar
karya H.M. Arifin (1986), Agama-Agama Besar Di Dunia karya 12
dosen PA IAIN Yogyakarta (1988), dua karya Ahmad Shalabi: Per-
bandingan Agama, Bagian Agama Masehi (1964) dan Perbandingan
Agama, Agama-Agama Besar di India (1998), Studi Agama-Agama
There is no time now to argue and nuance this suggestion with the
distinctions it obviously cries for, but only to propose that the scien-
tific study of religion could well call the theological enterprise to an
inquiry quite different from that which obtained in the nineteenth
and twentieth centuries. For, to allow the final word to Nicholas Lash:
“Every Christian, and hence every Christian theologian, is called to
journey in the direction of deeper knowledge of the things of God, and
the journey is a homecoming, for God is our end as well as our begin-
ning.”373