MAKALAH
Disusun Oleh:
C A H Y O N O, M.Pd.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sarana utama untuk mensukseskan pembangunan nasional,
karena dengan pendidikan diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia berkualitas yang
dibutuhkan dalam pembangunan. Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada
peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar
pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pendidikan juga merupakan hal
mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa agar tidak
sampai menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain.
Berbicara tentang konsep pendidikan saat ini, bahwasanya pendidikan itu ada dan
hidup dan berkembang di dalam masyarakat, maka keduanya memiliki hubungan
ketergantungan yang sangat erat. Pendidikan mengabdi kepada masyarakat dan masyarakat
menjadi semakin berkembang dan maju melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah
proses pematangan dan pendewasaan masyarakat. Maka lembaga-lembaga pendidikan harus
memahami perannya tidak sekadar menjual jasa tetapi memiliki tugas mendasar memformat
Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Hal ini senada apa yang dikatakan oleh
Suwarma, (2001:39), bahwa pendidikan nasional kita masih dihadapkan pada beberapa
masalah, antara lain: peningkatan kualitas proses dan hasil, terbatasnya dana yang tersedia
dan belum tergalinya sumber dana dari masyarakat secara professional. sesuai dengan prinsip
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang
tua.
Sementara itu, pendidikan masih terus bergelut dengan semakin menguatnya
pendekatan kuantitas sebagai dampak dari upaya memberikan tempat kepada prinsip
demokratisasi pendidikan. Disisi lain, masalah kesempatan memperoleh pendidikan lebih
memiliki kekuatan politis untuk menyita perhatian para pengambil keputusan dalam
pendidikan. Dampaknya, menambah beban kerumitan dalam usaha meningkatkan mutu
pendidikan dan peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Peningkatan kualitas manusia Indonesia berkaitan erat dalam masalah budaya bangsa,
dimana pendidikan yang merupakan bagian integral yang memiliki peran strategis dalam
usaha tersebut. Manusia Indonesia harus mampu mengembangkan kualitasnya, sesuai dengan
gerak perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis, yang menantang manusia serupa
tetap survive, memiliki daya tahan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai khalifah di
muka bumi.
Kulitas manusia Indonesia dalam menyongsong tahun 2020 harus dan diantisipasi
kadar kualitasnya, dimana dalam era abad informasi modern ini diperlukan manusia yang
canggih dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Maka pendidikan harus bisa
tanggap terhadap tuntutan ini, apabila pendidikan mau memelihara eksistensinya sebagai
“ilmu” yang mampu memecahkan berbagai fenomena pendidikan.
Untuk dapat berperan secara optimal, pendidikan harus mampu menata dirinya,
menunjukkan keterbukaan untuk menerima masukan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan
3
dan teknologi, harus bisa menempatkan fenomena pendidikan sebagai masalah social yang
merupakan tanggung jawab semua pihak.
Masalah pendidikan amat luas jikalau kita pikirkan, menyangkut berbagai aspek
kehidupan, tidak hanya dibtasi dalam kelas saja, bukan persoalan proses belajar mengajar
semata, oleh karena itu diperlukan berpikir holistic integralistik futuris dalam memecahkan
masalah-masalah pendidikan itu. Kontribusi intervensi berbagai disiplin ilmu-ilmu social
yang diperlukan, untuk memecahkan masalah pendidikan dalam menyongsong pembentukan
kulitas manusia Indonesia, harus sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat.
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas, maka untuk lebih mempertegas
masalah yang akan dikaji dan memperjelas lebih mendalam lagi mengenai kondisi dan nilai
social budaya pendidikan, dan pendekatan holistik integralistik futuristik dalam memecahkan
masalah pendidikan, di bawah ini di rumuskan satu persatu permasalahan yang akan di bahas
pada bab berikutnya, yaitu:
1. Bagaimana masalah pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia
2. Bagaimana peluang dan tantangan pendidikan
3. Bagaimana implikasi peluang dan tantangan pendidikan terhadap lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK)
4. Seperti apa kondisi dan nilai social budaya pendidikan ilmu pengetahuan social (IPS)
dalam pembangunan nasional
5. Bagaimana tantangan dan peluang bagi pendidikan ilmu pengetahuan social (PIPS)
6. Apa saja implikasi social budaya terhadap pendidikan ilmu pengetahuan social
7. Bagaimana pendekatan integralistik dan futuristic dalam memecahkan masalah
pendidikan
8. Bagaimana data empirik tentang kualitas manusia Indonesia dan pendidikan
B. Identitas buku
1. Judul Buku : Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya
2. Pengarang : Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, SH.,M.Pd
3. Penerbit : Gelar Pustaka Mandiri, Bandung
4. Konsentrasi Ulasan : Bab 3 dan Bab 4 (Hal. 39-57)
5. Perihal : Kondisi dan Nilai Sosial Budaya Pendidikan (bab 3), dan Pendekatan Holistik
Integralistik Futuristik Dalam Memecahkan Masalah Pendidikan
4
BAB II
karena keterbatasan sumber daya (dana, tenaga, dan waktu) dan kendala lain, kedua pilihan itu
tidak menggembirakan. Kiranya sulit dihindari bahwa kondisi dan posisi seperti ini merupakan
salah satu kelemahan pendidikan sekolah sekarang ini, sementara itu peningkatan kualitas
sumber daya manusia menyongsong abad ke-21 yang membawa tuntutan kualitas SDM semakin
meningkat merupakan tantangan.
Kemudian persoalan pendidikan nasional dalam peningkatakan sumber daya manusia
tidak hanya terperangkap oleh peningkatan mutu dan memperluas kesempatan, akan tetapi juga
terperangkap oleh pemikiran, yang memperkecil arti pendidikan dalam formalistik persekolahan
yang nantinya akan mempersempit peran pendidikan juga memperckecil makna pendidikan.
C. Implikasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
Peluang dan tantangan dalam usaha memerankan pendidikan dan ilmu pendidikan dalam
dalam meningkatkan sumber daya manusia seperti dikemukakan di atas, berdampak terhadap
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) serta nilai sosial tenaga kependidikan
dewasa ini. Salah satu dampaknya LPTK lebih terkesan sebagai lembaga yang mempersiapkan
“Guru” persekolahan, ketimbang tenaga kependidikan dalam arti luas, yang secara sosiologis
menempatkan lapangan kerja lulusan LPTK “dibatasi” pada jalur persekolahan. Kondisi ini
makin memperkuat berbagai pihak untuk tidak menerima lulusan lembaga ini, walaupun
sebenarnya mereka memerlukan jasa pendidikan dalam rangka peningkatkan sumber daya
manusia melalui DIKLAT pada lembaga atau perusahaan mereka. Kondisi ini cenderung
menguat dengan adanya berbagai kebijakan yang telah diformalkan masih dirasakan amat
membatasi mobilitas SDM lulusan LPTK.
Kiranya sulit disangkal bahwa semakin berkurangnya minat calon mahasiswa untuk
LPTK ada kaitannya dengan kondisi tersebut, ditambah dengan jaminan kesejahteraan guru
belum menggembirakan, dibanding dengan tenaga pada lapangan lain. Sementara itu peran
LPTK dalam pendekatan kuantitas untuk memenuhi kebutuhan guru, lebih menonjol perannya
sebagai lembaga pemasok ketimbang sebagai pengembang dan pendukung ilmu pengetahuan.
Kiranya LPTK sebagai subsistem dari pendidikan nasional masih juga dihadapkan pada
pemikiran dilematis kuantitas dan kualitas yang sulit berkelit dari beban perekayasaan
sentralistik dalam kebijakan akademiknya.
capability, pendidikan harus mampu memunculkan ketiga kemampuan tersebut. Untuk itu
pendidikan harus mampu memberikan kemudahan memperoleh informasi, menganalisis
informasi, dan mendayagunakannya untuk memecahkan masalah kehidupan.
BAB III
Teori orientasi nilai sosial budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck
yang mana dalam teori ini mengatakan bahwa dalam masyarakat terlihat dimana orientasi nilai-
nilai yang menekankan pandangan waktu yang berorientasi kemasa depan, pandangan terhadap
alam yang menekankan bahwa hukum alam dapat diketahui dan dikuasai, pandangan bahwa
bekerja itu sesuatu yang dapat menimbulkan kerja yang lebih banyak, pandangan bahwa semua
manusia itu sama, semuanya merupakan orientasi nilai yang telah membawa kemajuan.
Berbicara tentang pendidikan dan kaitannya dengan nilai social budaya, realitasnya carut-
marut situasi pendidikan di Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh perubahan sosial. Dan
setiap berbicara mengenai pendidikan, orang selalu berkonotasi sekolah formal. Meski tidak
semuanya salah namun konsep ini menisbikan peran pendidikan informal dan non formal,
padahal keduanya sama pentingnya. Dengan demikian keterpurukan pendidikan tidak boleh
didefinisikan sebagai kegagalan pendidikan formal semata. Kebobrokan sistem dan perilaku
sejumlah pemuka masyarakat dan negara, dengan demikian bukan dosa sekolah semata.
Oleh sebab itu sekolah juga mendapat tempat yang istimewa dalam pemikiran tiap orang
dalam usahanya meraih tangga sosial yang lebih tinggi. Sedemikian istimewanya hingga sekolah
telah menjadi salah satu ritus yang harus dijalani orang-orang muda yang hendak mengubah
kedudukannya dalam susunan masyarakat.
Esensi dari sekolah adalah pendidikan dan pokok perkara dalam pendidikan adalah
belajar. Oleh sebab itu tujuan sekolah terutama adalah menjadikan setiap murid di dalamnya
lulus sebagai orang dengan karakter yang siap untuk terus belajar, bukan tenaga-tenaga yang siap
pakai untuk kepentingan industri. Dalam arus globalisasi dewasa ini perubahan-perubahan
berlangsung dalam tempo yang akan makin sulit diperkirakan. Cakupan perubahan yang
ditimbulkan juga akan makin sulit diukur. Pengaruhnya pada setiap individu juga makin
mendalam dan tak akan pernah dapat diduga dengan akurat.
yang hanya berorientasi pasar sesungguhnya telah kehilangan akar pada kesejatian dan identitas
diri. Gejala-gejala pendangkalan ini sekarang mudah dibaca.
Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu
yang dimaksud antara lain pengetahuan, tradisi dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara
umum penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang konsen terhadap generasi
selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi
yang lebih baik dan beradab. Apabila berbicara pendidikan berskala nasional maka secara umum
konsep pendidikan nasional di Indonesia tak lagi memperlihatkan keberpihakan terhadap dunia
pendidikan di berbagai daerah. Salah satu contoh yaitu kontroversial mengenai Ujian Nasional
yang memperlihatkan betapa sentralistiknya pendidikan saat ini. Pusat terkesan memaksa
seleranya terhadap anak didik di daerah.
Hal senada dengan apa yang dikatakan oleh Tilaar (2012:156), bahwa: system pendidikan
nasional yang sangat sentralistik dan kemudian melaksanakan Ujian Nasional (UN) yang kaku
bahkan akan mematikan kemampuan kreativitas peserta didik. Dengan adanya UN yang sama
dari Sabang sampai Merauke, maka tidak da peluang untuk pengembangan kreativitas peserta
didik. Belum lagi impilkasi yang terjadi terhadap kerusakan moral dari peserta didik karena
tujuannya ialah lulus dari UN dengan berbagai cara meskipun dengan cara-cara amoral.
Sesungguhnya pendidikan nasional harus bertitik-tolak kebutuhan anak Indonesia.
Artinya pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan serta dalam konteks social ekonomi suatu
bangsa. Pendidikan nasional yang sesuai dengan kebutuhan anak Indonesia berkaitan dengan
kebijakan desentralisasi serta otonomi daerah. Dengan adanya otonomi pendidikan yang
diberikan kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu hal yang positif dalam rangka
kontekstualisasi pendidikan yang disesusaikan dengan kebudayaan local serta potensi kekayaan
alam Nusantara. Dengan proses belajar kritis dan kreatif berarti pendidikan nasional meletakkan
dasar bagi lahirnya para inventor dan manusia yang bisa menciptakan peluang usaha dalam
masyarakat Indonesia.
sedikitnya ada enam masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan
moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal
sistem pendidikan, (4) status kelembagaan, (5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan
pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum profesional.
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara
kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang
memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu.
Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik
dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan
kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting
dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan melalui kerjasama secara demokratis. Unesco
(1990) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan Pancasila: pertama;
pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know),
belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together),
dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be); kedua, belajar seumur hidup (life long
learning). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada
akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
kontinyu. pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga
kependidikan pada umunya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan
pelatihan (diklat) maupun bukan diklat (Danim, S. 2010), antara lain:
1) Pendidikan dan pelatihan
a. In-house training (IHT)
b. Program magang
c. Kemitraan sekolah
d. Belajar jarak jauh
e. Pelatihan berjenjang
f. Kursus singkat diperguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya
g. Pembinaan internal oleh sekolah
h. Pendidikan lanjut
2) Kegiatan selain pendidikan dan pelatihan
a. Diskusi masalah-masalah pendidikan
b. Seminar
c. Workshop
d. Penelitian
e. Penulisan buku/bahan ajar
f. Pembuatan media pembelajaran
g. Pembuatan karya teknologi/karya seni
pelajaran yang di UN (ujian nasional) kan, ada kecenderungan mengabaikan, baik oleh siswa
maupun pihak sekolah akan pentingnya materi PKn.
Hal ini sangat kentara terasa pada siswa kelas IX dan XII, dimana menjelang UN, mata
pelajaran PKn ditiadakan atau ditinggal pada kegiatan pemadatan materi pelajaran di sekolah-
sekolah. Padahal, pada ujian sekolah untuk mata pelajaran PKn masih banyak siswa yang
mendapat nilai dibawah standar/KKM. Ironisnya, pihak sekolah dengan alasan klise meminta
(memerintahkan) pada guru agar mata pelajaran-mata pelajaran yang tidak di UN kan, termasuk
PKn, agar mendokrak nilai ujian sekolah tersebut demi gengsi sekolah dan untuk memenuhi
tuntutan pengguna lulusan yang mensyaratkan nilai PKn minimal 7 untuk dapat diterima di
lembaganya. Akibatnya, posisi PKn dengan materi yang begitu penting dan wajib seakan bias
dengan keadaan nyata oleh kebijakan sekolah yang terkesan bahwa PKn hanyalah pelengkap
penderita.
Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus
berkualitas internasional seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus berpikir global dan
bertindak lokal. Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan global,
yaitu meliputi:
1) Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga
dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak
lebih rendah dari bangsa lain)
2) Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi,
mengolah informasi, mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
3) Tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami
fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku
ekonomi dan kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi
di dunia.
4) Mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak
hanya menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.
mengetahui bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan sangat penting artinya guna
memahami tentang masalah pendidikan.
Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat
dilestarikan dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal, nonformal, dan informal. Sebaliknya
bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di
mana proses pendidikan itu berlangsung (Tirtarahardja dan Sulo, 2005). Pendidikan jika
diabaikan dapat diasumsikan sosial budaya suatu bangsa akan mengalami kepunahan karena
tidak ada proses transfer budaya sehingga tidak ada yang melestarikan dan mengembangkan
budaya.
Pendidikan bisa dikatakan sebagai proses transformasi budaya yang merupakan kegiatan
pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan merupakan proses
pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan (memanusiakan manusia),
menjadi manusia dewasa, dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan tugas pokok dan
fungsi secara penuh dan mengembangkan budaya.
Dan hal inilah yang terjadi, sehingga semua bidang kehidupan bermasalah. Beberapa
kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan,
seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru
tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah
dan begitu banyak pemimpin-pemimpin negara ini yang korupsi dari lapisan bawah hingga atas.
Sehingga jika ini terus dibiarkan maka lambat laun negara dan bangsa ini akan hancur.
Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam
pembangunan negeri ini.
Berbicara tentang keadaan atau kondisi pendidikan Indonesia, maka dapat dikatakan
proses globalisasi telah membuat perubahan yang besar dalam lapangan ekonomi dan politik,
karena itu mau tidak mau juga akan menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam bidang
15
pendidikan baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Saat sekarang terjadi
reorientasi pendidikan baik pada tingkat kelembagaan, kurikulum maupun manajemen sesuai
dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam proses globalisasi tersebut.
a. Pendidikan Mahal
Meminjam pepatah kaum kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan pagi yang gratis”.
tampaknya pepatah ini mulai digunakan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia dalam
menjalankan visi pendidikannya. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memasang tarif yang
gila-gilaan, akibatnya sebagian besar orang tua dan anak anak lulusan SMA menjadi
kelimpungan. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN favorit seakan dihadang
ranjau yang membahayakan masa depannya. Ada sebuah fenomena menarik dikalangan PTN
besar dan favorit di Indonesia yang terkesan “money oriented”, hanya bersifat materialistis
belaka, yang hanya dengan sebuah argumentasi bahwa subsidi dari pemerintah/negara untuk
PTN minim sekali dan tidak dapat memenuhi kebutuhan PTN. PTN ini telah membuat kebijakan
pembayaran uang kuliah yang sulit dijangkau masyarakat umum, tanpa mau berpikir panjang
mencari sumber sumber dana alternatif selain “memeras” mahasiswanya.
Pihak PTN berpikir bahwa kampus yang mereka kelola sangat marketable sehingga
merekapun mengikuti hukum ekonomi, “biaya tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang
cukup dilematis, disatu sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan kemampuan atau
kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat telah dibelenggu oleh biaya
pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah hanya kaum yang berduitlah yang mampu
menyekolahkan anaknya Liberalisasi pendidikan terutama pada perguruan tinggi yang
dipromosikan oleh WTO (World Trade Organization) sebetulnya dibungkus dengan sesuatu
yang positip yakni agar lembaga pendidikan asing bisa memacu peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia namun realitas dilapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan cita cita awalnya.
Pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal sehingga semakin menjauhkan masyarakat
menengah ke bawah untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri favorit yang
murah.
Pendidikan di Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan
maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang
membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Kepribadian akademis
sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun
yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan
pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya. Perkembangan pendidikan di Indonesia
tak ubahnya seperti industri, pendidik hanya bertindak sebagai pencetak produk masal yang
seragam tanpa memikirkan dunia luar yang berubah menjadi lebih rumit. Cara pendidik
mengajar juga cenderung mengarah pada pembentukan generasi muda yang dingin dan
mengagungkan individualisme. Diskusi yang bersifat dialog jarang terjadi dalam proses
16
pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan dengan tanda bahwa
anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap bodoh.
Kondisi pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang kondusif dan
kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang baik muncul dalam lingkungan
kampus. Konflik antar mahasiswa atau pimpinan lembaga pendidikan tinggi telah terjadi di
beberapa kampus, sehingga citra lembaga pendidikan tinggi agak mengalami kemunduran.
Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari ilmu
pengetahuan yang bersifat terbuka.
Ditengah gejala kurang fokusnya orientasi pendidikan kita, pendidikan di negara kita juga
dihinggapi oleh masalah masih minimnya tingkat kesejahteraan para pendidik (kaum guru) yang
mengemban tugas meningkatkan kecerdasan anak bangsa. Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa
yang dilabelkan kepada sosok guru telah membentuk kesadaran masyarakat tersendiri bahwa
tugas guru hanya mencerdaskan bangsa tanpa mengurus kesejahteraannya sebagai manusia. Guru
merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang
dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak
maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat
ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah dalam melakukan reorientasi pendidikan belum
menyentuh substansi dasar pada pihak pendidik dan sarana prasarana belajar, selama ini
pembaharuan baru ditunjukkan melalui perubahan perubahan kurikulum saja dan masih minim
melakukan perbaikan sarana dan prasarana, kita bisa lihat di pedesaan banyaknya gedung gedung
sekolah yang rusak dan kurang mendapat perhatian serius.
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai
dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan
antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang
konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien
Dalam pp no.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk
jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak
mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum
dan silabus sd/mi/sdlb/paket a, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya
kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan
berkomunikasi
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan
siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan
keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan
baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
Meminjam pendapat seorang tokoh terkenal di bidang pendidikan dari negara Brazil
yakni Paulo Friere dalam bukunya berjudul Pedegogy of Hope yang mengatakan bahwa “tujuan
pendidikan hendaknya bukan berpihak kepada partai ini atau partai itu, juga bukan kepada agama
ini atau agama itu yang sectarian atau ideologis, melainkan pendidikan harus ditujukan untuk
pembebasan yakni agar orang mampu secara beradab menentukan pilihannya”. Kita mengenang
pikiran Rene Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan
demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Dari
kesadaran itu kemudian muncul pemahaman tentang nilai-nilai, dimana kita memiliki kebebasan
18
untuk memberikan pengertian terhadap istilah yang dibuat dengan menggunakan kebebasan
berpikir yang disertai dengan rasio.
Oleh karena itu perlu pendekatan pembelajaran integralistik dalam mengatasi masalah
pendidikan. Pendekatan integralistik, dikenal juga dengan holistik (sesuai dengan makna harfiah
keduanya :keseluruhan) adalah pendekatan secara menyeluruh atau terpadu dengan mencari
hubungan fungsional maupun komplementer dari semua komponen yang terlibat dalam suatu
proses. (Ludjito, A.1995). kemudian Suwarma (2001) mengatakan bahwa, pendekatan holistic
memandang pendidikan secara menyeluruh, sebagai persoalan yang menyangkut aspek
kehidupan yang menuntut tanggung jawab bersama.
Pendidikan Holistik merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan
tantangan moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda sebagai
generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu
masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan serta ikut berperan dalam
pembangunan masyarakat. Pendidikan holistik berkembang sekitar tahun 1960-1970 sebagai
akibat dari keprihatinan tewrhadap krisis ekologis, dampak nuklir, polusi kimia, dan radiasi,
kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta
institusinya.
Pada saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke 19 yang
menekankan pada reductionism (belajar terkotak-kotak), linier thinking (bukan sistem) dan
positivism (fisik yang utama), yang membuat siswa sulit untuk memahami meaning relevance
dan value antara yang dipelajari disekolah dengan kehidupannya. Oleh karena itu, dibutuhkan
sistem pendidikan yang terpusat pada anak yang dibangun berdasarkan asumsi connectedness,
wholeness dan being fully human.
20
Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang juga harus
diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan manusia holistik. Termasuk di dalamnya
membentuk anak menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala
sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan pembelajaran yang
dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati diantaranya adalah pendekatan
siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang daya minat anak atau rasa keingintahuan anak,
pendekatan belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain (Megawangi
et.al, 2005).
Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik membuat siswa belajar sesuai dengan
gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan
akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh.
Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari
berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah
dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan
kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi
siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat
aktif (fisik, social, emosi, akademik).
menggunakan pengetahuan itu secara bermakna dalam (1) pengambilan keputusan yang
diinformasikan, (2) pemikiran yang kritis, kreatif dan futuristik, dan (3) pemecahan masalah.
Model futuristik dibentuk dengan asumsi bahwa masa depan berbeda dengan masa lalu.
Oleh karena itu pembelajar perlu di didik agar mereka siap untuk menghadapi tantangan di masa
depan. Perspektif masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekonstruksi sosial, yang
menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan sosial,
yang menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Setiap individu harus mampu mengenali berbagai
permasalahan yang ada di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan yang sangat cepat.
Dengan kata lain, kurikulum dengan futuristic model akan mencetak pembelajar yang
diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang akan timbul di masa mendatang, juga
mempersiapkannya untuk terjun ke dalam masyarakat masa depan sesuai dengan prediksi yang
telah dilakukan.
1) Materi akan disediakan melalui berbagai representasi dengan berbagai strategi untuk
merealisasikannya.
2) Kurikulum akan dirancang sebagai modul dan diakses melaui jaringan (network).
3) Materi, pengalaman dan dukungan akan diambil dari sumber yang luas dan terintegrasi dalam
struktur inti suatu kurikulum.
Kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru,
sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak
dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten.
Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana.
Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain
berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran
yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak
lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman
yang pensiun
Terdapat beberapa gejala perilaku yang dapat merusak kualitas manusia Indonesia yang
merupakan tantangan dan ancaman, seperti: kemerosotan nilai-nilai etis idealitas tergeser oleh
egoisme untuk keuntungan pribadi, rendahnya nilai-nilai kesetiakawanan, tumbuhnya nilai-nilai
spekulatif, responsive terhadap kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tanpa pemikiran yang
rasional, budaya gengsi lebih tinggi sehingga nilai-nilai keropos berusaha ditutupi, menampilkan
berbagai pola tingkah laku yang tidak solid, menurunnya mitos simbolik (Suwarma, 2001).
22
Masalah kualitas manusia pada dasarnya tergantung dengan pendidikan yang ada dalam
sebuah Negara. Perlunya pemerataan pendidikan di Negara Indonesia biar semua masyarakat
bisa merasakan dan mengenyam pendidikan.
23
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pendidikan nasional masih berkutat dengan dua pemikiran yang dilematis antara segi
kuantitas dan kualitas pendidikan. Namun menjadi sebuah tantangan dan harapan baru bagi
pendidikan nasional apbila menjadikan kedua aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang
utuh dan dipandang sangat penting sehingga nantinya menjadi kekuatan dalam menggali dan
menciptakan sumber daya pendidikan.
2. Perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama
berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan
dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa
pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu. Pendidikan adalah
kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan
hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan
kebutuhan peserta didik.
3. Untuk meningkatkan kualitas tenaga guru, maka guru dan tenaga kependidikan professional
harus menjalani proses pembinaan dan pengembangan secara kontinyu. pembinaan dan
pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga kependidikan pada umunya,
dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat)
maupun bukan diklat.
4. Menempatkan pendidikan tidak terbatas dalam pemikiran formalistik persekolahan.
5. Sementara itu perlu adanya reposisi pendidikan termasuk pendidikan IPS dijadikan titik
orentasi pengembangan, Maka pendidikan akan lebih berperan dalam mempersiapkan
sumber daya manusia Indonesia yang unggul untuk mendukung tumbuh tumbuh
berkembangnya teknologi social dan system social yang mantap.
6. Pendidikan di Indonesia masih mengalami berbagai macam problematika. Salah satunya
adalah kerancuan sistem pendidikan yang masih bersifat positivistic dan parsial dalam
memandang peserta didik. Dalam konteks parsialisasi ini, peserta didik tidak dipandang
sebagai sosok manusia yang memiliki kepribadian secara utuh (integral), melainkan seakan
terdiri dari berbagai unsur (komponen) yang berdiri sendiri. Cara pandang terhadap
kepribadian peserta didikpun tidak sempurna dan tidak adil. Akal dipandang sebagai raja"
dalam struktur kepribadian peserta didik. Akibat dari cara pandang seperti ini proses
pendidikan dan pengajaran mengalami pendangkalan makna sebagai penjejalan pengetahuan
ke dalam otak peserta didik.
7. Pendidikan Nasional harus mampu melahirkan sumber daya manusia yang handal dan
berakhlak mulai, yang mampu bekerja sama dan bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknolgi, memiliki etos kerja, dan mampu membangun budaya kerja yang lebih produktif
dalam menghadapi era globalisasi.
24
DAFTAR PUSTAKA
Al Muchtar (2001). Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri
Danim, S. (2010). Profesi Kependidikan. Bandung. Alfabeta.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata
Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta:
Direktorat Pembinaan SMP.
Depdiknas. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009.
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Latifah, M.2008. Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (tidak dipublikasikan). Departemen Ilmu
Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Megawangi, R., Melly L., Wahyu F.D. 2005. Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia
Heritage Foundation
Somantri (1993). Beberapa Pokok Pikiran tentang: Penelusuran Filsafah Ilmu tentang
Pendidikan IPS dan kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial.
Ujung Pandang: Panitia Forum Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP
Universitas.
Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Tilaar, A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja, U., dan Sulo, S. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
(_____,2009, http://www.scribd.com/doc/13977506/Teacher-Professionalism)
25
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu bentuk analisis terhadap KAJIAN KONDISI DAN NILAI SOSIAL BUDAYA
PENDIDIKAN, SERTA PENDEKTAN HOLISTIK INTEGRALISTIK FUTURISTIK
DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN dalam Buku Masalah Sosial Budaya
karangan Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, S.H., M.Pd.
Tidak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu saya meminta kritik dan
sarannya yang bersipat membangun, untuk perbaikan kedepannya.
Akhirnya saya berharap semoga makalah buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis, dan umumnya bagi kita semua. Amiin...
Penulis
i
26
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
B. Identitas Buku ................................................................................................. 3
ii
27
MAKALAH
Disusun Oleh:
C A H Y O N O, M.Pd.