Anda di halaman 1dari 8

EVOLUSIONISME

Dasar Evolusionisme berasal dari Charles Darwib (1809-1882), yang menyatakan


bahwa perubahan dalam masyarakat berlangsung secara evolusioner (lama) yang dipengaruhi
oleh kekuatan yang tidak dapat diubah oleh perilaku manusia. Pemikiran Darwin kemudian
memengaruhi pemikiran Tylor dan Morgan E.B. Tylor yang berpendapat bahwa asal mula
religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa. Tylor (1865) membagi evolusi
kebudayaan menjadi tiga tahap, yakni tahap Savagery, Barbarism dan Civilization, dengan
ekonomi dan teknologi sebagai unsur-unsur budaya pembeda di antara tiga tahap tersebut.
Kemudian teori evolusi kebudayaan dari Tylor tersebut dikembangkan lagi oleh L.H.Morgan
(1877), yang membagi tahap Savagery dan Barbarism menjadi tiga, yakni Savagery Awal
(Lower Savagery), Savagery Tengah (Middle Savagery), dan Savagery Akhir (Upper
Savagery); Barbarisme Awal, Barbarisme Tengah, dan Barbarisme Akhir. Tahap akhir adalah
tahap Peradaban (Civilization).

1. Zaman Liar Tua, yang berlangsung dari masa muda ras manusia sampai pada waktu
diketemukannya api. Kehidupannya adalah dari mencari akar-akaran dan tumbuh-tumbuhan
liar.

2. Zaman Liar Madya, dimulai dari masa setelah manusia mengetahui penggunaan api
dan hidup dari menangkap ikan sampai pada masa manusia menemukan anak panah dan
busurnya. Contohnya adalah suku bangsa asli di Australia dan sebagian besar dari suku
Poynesia ketika diketemukan oleh bangsa barat.

3. Zaman Liar Muda dimulai sejak manusia menemukan panah dan busurnya dan
berakhir pada zaman ketika diketemukannya seni untuk membuat periuk. Suku bangsa yang
hidup dan masih tinggal pada tingkatan ini ialah : suku Athapascan dari daerah Hudson Bay
suku bangsa yang hidup di lembah Columbia dan beberapa suku bangsa yang hidup di
Amerika Utara dan Selatan.

4. Zaman Barbar Tua dimulai sejak manusia menemukan seni untuk membuat periuk,
dan berakhir pada zaman manusia mulai berternak atau mulai bercocok tanam. Ke dalam
tingkat ini dapat disebut suku bangsa Indian di Amerika Serikat di sebelah sungai Missouri

5. Zaman Barbar Madya dimulai dengan pengenalan akan beternak dan bercocok tanam
dan irigasi sampai kepada zaman dimana telah diperoleh kepandaian mencairkan bijih besi.
Suku bangsa dalam tingkat ini adalah Village Indians dari New Mexico, Mexico dan Amerika
Tengah serta Peru.

6. Zaman Barbar Muda dimulai sejak manusia mengenal pembuatan besi dan berakhir
pada waktu manusia mengenal tulisan. Sejak itu mulai berkembang peradaban. Suku bangsa
yang ada dalam tingkat ini dalah suku Yunani pada zaman Homerus dan suku bangsa Italia
pada zaman sebelum didirikan Romawi dan suku bangsa Germania pada zaman Caesar.

7. Zaman Peradaban dimulai sejakorang mengenal tulisan hingga zamsn sekarang.


Zaman peradaban ini terbagi dua yaitu zaman peradaban kuno dan zaman peradaban modern
(Nidia, 2017: 6).

Difusi dan Akulturasi

Merupakan sebuah salah satu paradigma dalam memahami bagaimana kebudayaan


tumbuh dalam masyarakat. Sebelum Difusi dan Partikularisme Historis, paradigma
evolusionisme merupakan yang pertama kali muncul untuk menjelaskan kebudayaan dalam
masyarakat. Evolusionisme memandang kebudayaan secara universal, yaitu bahwa semua
kebudayaan mengalami tahap evolusi yang sama. Kemudian paradigma Difusi muncul
menambahkan teori sebelumnya bahwa kebudayaan tidak hanya mengalami tahap evolusi,
namun juga berkembang akibat adanya persebaran kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat
(2004) difusi ialah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dan sejarah ke seluruh penjuru dunia
juga turut tersebar bersama dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia.
Aliran difusi Inggris dipimpin oleh G. E. Smith dan tokoh-tokoh lain seperti W. J. Perry
dan W. H. R. Rivers. Orang-orang ini berpendapat bahwa semua budaya dan peradaban di
bumi berasal Mesir kuno dan tersebar ke seluruh seluruh dunia melalui migrasi dan
kolonisasi kebudayaan. Aliran pemikiran ini tidak bertahan lama karena keterbatasan data
untuk mempertanggungjawabkan penemuan mereka. Orang-orang Mesir yang disebut dengan
‘putra-putra dewa matahari’ ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai
tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas,
perak dan permata. Akulturasi berbeda dengan enkulturasi, dimana akulturasi merupakan
suatu proses yang dijalani individu sebagai respon terhadap perubahan konteks budaya.
Budaya menurut Melville J. Herskovids (1938) merupakan sikap, perasaan, nilai, dan
perilaku yang menjadi ciri dan menginformasikan masyarakat secara keseluruhan atau
kelompok sosial di dalamnya (Herskovids, 1938).
Partikularisme Historis

Teori patrukularisme historis dipelopori oleh bapak antropologi amerika franz


boas(1963). Partikularisme historis memusatkan perhatianya pada pengumpulan data
etnografidan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu. Pada abad ke-20 berakhirlah kejayaan
evolusionisme. Dan kemudian berkembanglah sebuah teori yang menentang teori tersebut
yang dipengaruhi oleh franz Boas pada tahun (1858-1942) yang kemudian disebut dengan
teori patrikularisme historic. Boas tidak setuju terhadap teori evolusi dalam hal asumsi
tentang adanya hukum universal yang menguasai kebudayaan manusia. Ia menyatakan bahwa
variasi kebudayaan sangat kompleks dan percaya bahwa terlalu permatur bila merumuskan
teori yang universal. Ia menyatakan bahwa teori evolusionisme kurang memperhatikan faktor
eksternal dari perubahan budaya. Menurut Boas, pandangan difusionistis lebih cocok untuk
merekonstruksi sejarah kebudayaan. Pandangan difusionisme memandang bahwa perubahan
budaya dapat terjadi dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Boas menyatakan bahwa
sejarah kebudayaan bersifat khas dan unik, sehingga harus diteliti dan mengumpulkan data
melalui penelitian lapangan serinci mungkin. Melalui partikularisme historis itu, murid-murid
Boas terinspirasi untuk melakukan penelitian lapangan dan merekonstruksi sejarah
kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia. Dari sejarah budaya itu diketahui adanya
hubungan saling mempengaruhi antarkebudayaan dan proses penyebarannya di masa lampau,
sehingga tercetus lah istilah culture areas, yaitu daerah dengan berbagai kebudayaan yang
memiliki kesamaan satu sama lain (Ahimsa-Putra 2011:14-16).

Fungsionalisme

Tokoh utama dalam aliran ini adalah Malinowski dan Radcliff-Brown. Bronislaw
Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang  mengembangkan teori fungsional tentang
kebudayaan, atau a functional theory of culture. Inti dari teori Malinowski menjelaskan
bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya memuaskan suatu rangkaian kebutuhan
naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan kehidupannya.Kebutuhan itu meliputi
kebutuhan primer/biologis maupun kebutuhan sekunder/psikologis, kebutuhan mendasar
yang muncul dari kebudayaan itu sendiri.
Teori fungsionalisme struktural Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan
mengabaikan konflik serta perubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian
akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung
untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadapa sistem yang lain
dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat
menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini
beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu
masyarakat. Maka jika terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan
perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap
dalam keseimbangan. Singkatnya adalah masyarakat menurut kaca mata teori (fungsional)
senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur fungsional bagi sistem sosial itu.
Demikian pula semua institusi yang ada, diperlukan oleh sosial itu, bahkan kemiskinan serta
kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dalam
keseimbangan.

Kebudayaan dan Kepribadian

Benedict menekankan bahwa kebudayaan itu seperti seorang individu, lebih kurang
terlihat dalam pola-pola yang konsisten untuk berpikir dan bertindak. Pola ini berisi
karakteristik emosional dan intelektual dari individu-individu dalam masyarakat. Ruth
Benedidict adalah salah satu murid dari Franz Boas. Melalui bukunya yang berjudul Patterns
of Culture, Beneddict membagi kebudayaan menjadi empat tipe: Apollonian, Dionysian,
Paranoid, dan Meglomanic. Tipe-tipe itu menunjukkan bagaimana manusia menjalani
kehidupan, berinteraksi sesama, dan bertingkah laku sehari-hari (Barnard and Spencer
1996:137). Kemudian Sigmund Freud juga mencetuskan teori yang dinamis tentang
kepribadian manusia yang mampu menjadi penghubung antara proses psikis dan sistem
cultural sehingga memicu munculnya teori kepribadian dan kebudayaan (Manners, 2002:
182).

Ekologi Budaya
Konsep steward yang paling dikenal terkait tentang teori ekologi budaya adalah
konsep adaptasi. Gambaran dari metode teori bahwa para ahli ekologi biologi telah
mengembangkan studi adaptasi dari spesies hewan, khusus dikaitkan pada organ tertentu
yang berubah karena lingkungan, Steward berusaha untuk menjelaskan aspek struktur
tertentu dari budaya Shoshon dalam kaitan sumberdaya yang tersedia dalam habitat semi
padang pasir yang miskin. Steward juga mengemukakan bahwa lingkungan hidup hanya
mempengaruhi unsur tertentu saja, yang disebutnya kebudayaan inti. Unsur kebudayaan lain
dipengaruhi oleh proses- proses dalam sejarah yang dialami kebudayan bersangkutan, yang
tentunya berbeda dengan kebudayaan lain. diasosiasikan dengan Materialisme kebudayaan.

Strukturalisme
Dalam pandangan strukturalisme, gejala-gejala kebudayaan merupakan gejala-gejala
yang seperti bahasa (Lévi-Strauss, 1963). Tokoh awalnya Ferdinand de Saussure yang
memberikan pandangan yang menjadi dasar dari strukturalisme Levi Strauss, yaitu : Signified
(tinanda), Signifier (penanda), form (bentuk), content (isi),langue (bahasa), parole (ujaran,
tuturan), synchronic (singkronis), diachronic (diakronis), syntagmatic (sintagmatik),
associative (paradigmatic). (Ahimsa-Putra 2001:33-34). Kemudian Roman Jakobson dengan
linguistik strukturalnya telah memberikan pelajaran pada Levi Strauss tentang bagaimana
memahami atau menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang begitu variatif
serta mudah menyesatkan upaya manusia untuk memahaminya (Ahimsa-Putra 2001:52).

Etnosains

Menurut Ahimsa-Putra (2011), kemunculan paradigma ini didasari atas pandangan


bahwa paradigma fungsionalisme-(struktural) kurang dapat mengungkap aspek maknawi dari
kehidupan manusia. Ward Goodenough memandang budaya sebagai sistem pengetahuan atau
kognitif manusia. Ward Goodenough mencoba memisahkan antara antropolog selaku
etnograf deskriptif dengan antropolog selaku etnolog komparatif. Deskripsi etnografis
berkaitan dengan kategori menurut warga pribumi / warga sesuatu budaya tertentu.Sedangkan
etnologi komparatif berbicara tentang kategori teoritis yang diajukan oleh antropolog. W.H.
Goodenough, Antropologi tetapi juga ahli linguistik. Pemikiran Goodenough menempuh arah
struktural. Goodenough (dalam Keesing, 1974) melihat kebudayaan memiliki kesamaan
dengan bahasa (langue dari Sassure atau competence dari Chomsky), sebagai aturan-aturan
ideasional yang berada di luar bidang yang dapat diamati dan diraba.

Materialisme

Materialisme kebudayaan didasarkan pada konsep bahwa kondisi-kondisi materi


masyarakat menentukan kesadaran manusia, dan bukan sebaliknya. Marvin Harris (1996:227)
menjelaskan jika budaya materialisme dibangun untuk menjelaskan aspek politik dan
ekonomi(dilihat dari konsep srtuktur).  Sesuatu hal yg berhubungan dengan kebutuhan akan
biologi (dari aspek produksi, reproduksi dan infrastuktur). Perkembangan teori marvin sendiri
merupakan sebuah pendekatan yang dipelopori oleh Marx dalam teori marxis. Dalam teori
marxis sendiri terdapat 2 elemen untuk menganalisis permasalahan dari aspek base dan
suprasrtuktur. Artinya ketiga kategori tersebut dapat ditemukan oleh ahli ilmu sosial yang
menelitinya sebagai ilmuwan. Suprastruktur mengandung fenomena etik maunpun emik.
Fenomena emik adalah komponen mental dalam pikiran orangorang yang merupakan anggota
suatu kebudayaan atau masyarakat, yang memandang diri mereka sendiri dan dunia dari
perspektif spesifik mereka sendiri, atas dasar nilainilai, pengetahuan, dan sikap yang
dipelihara dalam kebudayaan.

Tafsir Kebudayaan
Clifford Geertz adalah tokoh dari aliran ini yang sependapat dengan konsep Max
Weber yang menyatakan bahwa kebudayaan pada hakikatnya merupakan sebuah semiotis.
Bagi Geertz, makna tidak terletak di "dalam kepala orang". Simbol dan makna dimiliki
bersama oleh anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka.
Simbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private)." Geertz mengangggap
pandangannya tentang budaya adalah semiotik. Cliford Geetz mencoba membuat konsep
kebudayaan yang sifatnya interpretatif, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks
yang perlu diinterprestasikan maknanya. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebudayaan menurut Geertz bukan hanya sebuah pola perilaku yang
menjadi suatu kebiasaan di masyarakat melainkan pola perilaku yang oleh masyarakat
tersebut memiliki maknamakna tersendiri yang diyakini oleh para pelaku kebudayaan
tersebut. Pada dasarnya Geertz mencoba menggali setiap makna di dalam sebuah pola perilku
yang disebut dengan kebudayaan.

Fenomenologi

Huserl adalah sumber dan inspirasinya, tetapi Alfred Schutz (1899-1959) adalah
tokoh terpenting dalam kemunculan dari sosiologi fenomenologis. Bagi Schutz (1967) makna
ialah dapat diinterpretasikan dari berbagai perspektif manusia sebagai makhluk sosial, makna
dilahirkan berdasarkan pada sebuah pengalaman yang subjektif, yang dikonstruksikan dalam
diri manusia sebagai individu yang merdeka. Individu yang aktif dalam proses pemberian
makna, bahwa setiap manusia memaknai realitas berdasarkan pada apa yang pernah dilihat,
didengar, dirasakan sebagai pengalaman yang nyata. Banyak pemikiran Schutz ysng
dipusatkan terhadap satu aspek dunia sosial yang disebut kehidupan dunia atau dunia
kehidupan seharihari. Inilah yang disebut dunia intersubyektif.

Konstruksionisme

Teori Konstruksionisme merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang


dicetuskan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman. Pemikiran Berger dan Luckmann
merupakan derivasi perspektif fenomenologi. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant
dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann (Basrowi
dan Sukidin, 2002: 204). Pada dasarnya, teori konstruksi sosial ini terpengaruh oleh
pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyektif”,
Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” serta Mead tentang
“interaksi simbolik”. Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial merupakan konstruksi
sosial yang diciptakan oleh masyarakat. Berger juga berpendapat bahwa kunci utama dalam
memahami teori konstruksi sosial adalah pengetahuan dan kenyataan (Akmal, 2014).
Pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah objektivasi dari proses-proses dan makna-
makna subjektif. Dalam mengobjetivasi kenyataan diperlukan adanya kesadaran manusia.
Realitas sosial tersebut terdiri dari realitas subyektif dan realitas obyektif. Dari sinilah peran
teori kontruksi sosial berjalan.

Konstruksi sosial ialah suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu
terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya, yaitu makna subjektif dari realitas objektif di
dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari. Berger memahami
suatu realitas sosial sebagai sesuatu yang kehadirannya tidak bergantung pada masing-masing
individu. Dalam karyanya bersama Luckmann, Berger memaparkan bahwa bagi analisis
sosiolog hal yang terpenting adalah realitas kehidupan sehari-hari, yakni realitas yang dialami
atau dihadapi oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S. 1994. Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangannya.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory,
Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik,
Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi,
Surabaya: Insan Cendekia.
Geertz, Clifford . 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Hendra, Akmal Zekky. 2013. “Manusia, Kebudayaan dan Kepribadian”. Diakses pada 30
November 2017, dari
https://www.academia.edu/5517376/2_makalah_manusia_budaya_dan_kepribadian_
OK.
Ihrom, T.O. 2005. Pokok-pokok Natropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ihsan, Muhammad. 2015. Fenomenologi. Pekanbaru: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau.

Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Nidia, Vega. 2017. Makalah Antropologi Budaya. Diakses pada 9 Desember 2017, dari
https://www.academia.edu/4900995/Makalah_Antropologi_Budaya.

Poloma, Margaret (ed.). 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://bowolampard8.blogspot.co.id/2011/07/bidang-ilmu-dan-aliran-antropologi.html.
Diakses pada 9 Desember 2017.
Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer:Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media

Anda mungkin juga menyukai