Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Witra Fari Ning Rizkie

NIM : 185110801111007

PRODI : Antropologi

MATKUL : Antropologi Klasik

Riview kali ini akan membahas keseluruhan dari bab II, III dan VI. Dalam
pembahasan di bab II ini lebih menjelaskan tentang sebuah perkembangan
keilmuan tentang manusia, di jelaskan bahwa Bangsa Eropa, merupakan bangsa
yang bisa dibilang memiliki tingkat keilmuan yang tinggi dan kedudukan yang
melebihi bangsa dari benua benua lain, tidak heran apabila banyak muncul tokoh
tokoh peneliti terkenal. Namun kemudian eropa sempat mengalami masa masa
keterpurukan yang kemudian kembali lagi pada masa yang disebut Rernaissance ,
tidak hanya kembali seperti awal, namun eropa mengalami improvisasi terutama
pada bidang keilmuannya Kemudian dijelaskan pula bahwa pada dasarnya
manusia memiliki keragaman yang masing masing memiliki keidentikan sendiri
yang berbeda dengan manusia yang lain, atau bisa disebutkan dalam bab ini yaitu
aneka macam warna pada manusia.

Manusia pada setiap zamannya pasti mengalami perubahan, perubahan yang


dapat mengalami improvisasi, maupun kemunduran. Ilmu ilmu tentang
kemanusiaan memang pada saat itu dikuasai oleh bangsa eropa, yang pada
awalnya ilmu tentang manusia mencakup ilmu tentang anatomi manusia yang
mana sering dipergunakan untuk tulang belulang. Lalu kemudian muncullah suatu
ilmu tentang warna warni manusia yang lebih meluas. J.F Bluemnbach kemudian
mencetuskan sebuah buku berjudul De Generi Human Verietate Navita, yang
ketika itujuga muncul suatu ilmu baru yaitu Antropologi Fisik yang mana
menimbulkan konsep tentang ras ras pada manusia. Kemudian dari keilmuan
Antropologi fisik yang sebelumnya menitik beratkan pada bagian luar manusia,
kemudian para peneliti mulai mendalami tentang pola perilaku manusia,
bagaimana manusia sedemikian rupa mampu berfikir hingga menguasai
sekitarnya. Baron de la Brede et de Montesque, seorang ahli yang mencetuskan
buku mendunianya yang berjudul L’Esprit de Loi itu mejelaskan dalam bukunya
bahwa manusia berkembang melalui tiga tingkatan Evolusi sosial, yaitu ada
Sauvage, Barbarism dan Civilization. Ketiga tingkatan tersebut menjelaskan
bahwa manusia itu pertama berevolusi karena kondisi alam, lalu kemudian timbul
suatu pola pikir yang mendorong manusia untuk hidup secara bersama, dan
kemudian munculah suatu pola pikir untuk bagaimana dari kehidupan bersama
tersebut menimbulkan suatu kesejahteraan. Dalam aneka warna manusia tersebut
para ahli khususnya antropolog berfikir keras bahwa dari aneka warna manusia itu
harus lepas dari kebudayaan. Karena anggapan tersebut, terlepas dari kebudayaan,
kemajuan manusia adalah konsep siklus, yang mana manusia akan mengalami
kemajuan hingga akhirnya menyebabkan kemunduran.

Menyambung dari bab II yang membahas tentang ilmu dalam evolusi


manusia, kali ini bab III akan membahas tentang Teori Teori Evolusi yang
mengaitkan ilmu Evolusi pada manusia. Pada dasarnya Konsep evolusi secara
uiversal di pandang sebagai perkembangan pada manusia namun secara lambat,
lalu konsep Evolusi tersebut di kembangkan dan di perinci namun berdasarkan
beberapa perspektif yang berbeda beda oleh para ahli, seperti Herbert Spencer dari
perspektif Filsafat, kemudian dari perspektif Hukum yaitu J.J Bachofen, H Maine
dan L.H Morgan, kemudian E.B Taylor yang mengemukakan dari perspektif
sejarah kebudayaan, dan dari perspektif Folklore Yaitu J. Frazer.

Seperti salah satu contoh dari konsep evolusi yang dikemukakan oleh Herbert
Spencer lahir berdasarkan perspektif filsafat, yang mana Spencer melihat
perkembangan manusia terjadi karena manusia sendiri sadar akan sistem Religi.
Sistem religi sendiri menurut Spencer hadir karena manusia sendiri memiliki
kesadaran dan takut akan maut. Kemudian konsep evolusi yang diciptakan oleh
J.J Bachofen adalah sebuah teori evolusi dalam keluarga, yang mana kekeluargaan
pada manusia berkembang berdasarkan empat tingkatan. Dari tingkatan tingkatan
tersebut dijelaskan bahwa manusia pada awalnya hidup berkelompok secara turun
temurun namun tidak memiliki ikatan, hingga pada saat itu belum ada sebutan
keluarga inti, lalu tingakatan kedua yaitu masyarakat matriarchate yang mana
masyarakta ini hidup berdasarkan garis keturunan ibu. Lalu terjadi tingkatan

kembali yang dikarenakan kaum pria tidak setuju dengan ideologi tersebut, hingga
terciptanya suatu pemikiran bahwa ayah adalah kepala dari keluarga, yang pada
akhirnya menimbulkan konsep patriarchate. Dan tingkatan terakhir terjadi pada
saat perkawinan di dalam kelompok kelompok keluarga, hal tersebut kemudian
menimbulkan suatu konsep kekerabatan.

Yang terakhir yaitu bab ke 3, menjelaskan tentang difusi kebudayaan,


dimana kebudayaan mengalami persebaran dari satu tempat ke tempat lain hingga
mampu menimbulkan persamaan dalam kebudayan namun dengan tempat yang
berbeda. Dalam persamaan unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia
disebabkan karena persebaran atau difusi unsur unsur itu sendiri. Dalam konsep
persebearan kebudayaan, ada yang disebut dengan konsep Kulturkreise. Yang
mana konsep ini berisi tentang metode klarifikasi kebudayaan, yang akan
bertujuan untuk memunculkan gambaran tentang persebaran atau difusi dari unsur
unsur kebudayaan dari masa lalu. Seorang tokoh bernama W. Schmidt
mengemukakan dalam ilmu antropologi bahwa persebaran budaya paling utama
tersebar melalui sistem yang disebut religi, karena ia berpendirian bahwa religi
bersifat monotheisme. Dalam bab ini peran dalam pemikiran persebaran hingga
unsur unsur kebudayaan di akali oleh para sarjana, seorang sarjana bernama F.
Ratzel beranggapan bahwa kebudayaan pada awlanya hanya satu, yanng muncul
karena manusia. Kemudian pangkal kebudayaan tersebut berkembang dan pecah
menjadi banyak kebudayaan yang disebabkan oleh kondisi tempat dan waktu

Anda mungkin juga menyukai