Anda di halaman 1dari 11

Sosio-Antropologi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Antropologi adalah suatu disiplin ilmu yng mempelajari manusia
sebagai makhluk biologis atau individu dan makhluk sosial. Berbeda lagi
dengan pendapat Koentjaraningrat mengenai antropologi yang berarti ilmu
yang mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan
yang di hasilkan. Dengan adanya studi-studi mengenai masyarakat ini
banyak muncul berbagi macam teori, konsep mengenai antropologi. dan
sama hal teori difusi kebudayaan ini.
Sejak lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang
sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang seringkali jauh
letaknya satu sama lain. Ketika cara berpikir mengenai evolusi
kebudayaan berkuasa, para sarjana mengurai gejala persamaan itu dengan
keterangan bahwa persamaan-persamaan itu disebabkan karena tingkat-
tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai tempat
dimuka bumi. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar,
dan pecah kedalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan
lingkungan dan waktu.

1
Sosio-Antropologi

1.2 Rumusan masalah


1.Bagaimana gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan ?
2.Bagaimana sejarah persebaran unsur-unsur kebudayaan ?
3.Bagaimana konsep kulturkreis dan kulturschicht dari Graebner ?
4.Bagaimana mazhab Schmidt ?
5.Bagaimana teori difusi Rivers ?
6.Bagaimana teori difusi Elliot Smith dan Perry ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan
2. Untuk mengetahui sejarah persebaran unsur-unsur kebudayaan
3. Untuk mengetahui konsep kulturkreis dan kulturschicht dari Graebner
4. Untuk mengetahui mazhab Schmidt
5. Untuk mengetahui teori difusi Rivers
6. Untuk mengetahui teori difusi Elliot Smith dan Perry

2
Sosio-Antropologi

BAB II

PEMBAHASAN

1. GEJALA PERSAMAAN UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN


Sejak lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang
sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang seringkali jauh
letaknya satu sama lain. Ketika cara berpikir mengenai evolusi
kebudayaan berkuasa, para sarjana mengurai gejala persamaan itu dengan
keterangan bahwa persamaan-persamaan itu disebabkan karena tingkat-
tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai tempat
dimuka bumi. Sebaliknya ada juga uraian-uraian lain yang mulai tampak
di kalangan ilmu antropologi, terutama waktu cara berpikir mengenai
evolusi kebudayaan mulai kehilangan pengaruh, yaitu kira-kira akhir abad
ke-19. Menurut uraian ini, gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di
berbagai tempat di dunia disebabkan karena persebaran atau difusi dari
unsur-unsur itu ke tempat-tempat tersebut.

2. SEJARAH PERSEBARAN UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN


MANUSIA
Berhubung dengan perhatian terhadap masalah persebaran
kebudayaan tersebut diatas, ada seorang seorang ilmu hayat menerangkan
ilmu bumi bernama F. Ratzel (1844-1904) yang pernah mempelajari
berbagai bentuk senjata busur di brbagai tempat di Afrika.ia banyak
menemukan persamaan bentuk pada busur-busur di berbagai tempat di
Afrika itu, dan kemudian juga pada unsur-unsur kebudayaan lain,seperti
bentuk rumah, topeng, pakaian dll., sehingga ia berkesimpulan bahwa di
waktu yang lampau antara suku-suku bangsa yang mendiami tempat-
tempat dimana ditemukannya unsur-unsur kebudayaan yang sama itu,
pernah ada hubungan. Kebudayaan manusia itu pangkalnya satu dan di
satu tempat yang tertentu, yaitu pada waktu manusia baru saja muncul di
dunia ini. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan

3
Sosio-Antropologi

pecah kedalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan


lingkungan dan waktu.
Para sarjana yang melakukan penelitian-penelitian serupa itu
seakan-akan mengikuti suatu aliran cara berpikir yang tertentu, yang untuk
mudahnya akan kita sebut saja aliran difusionisme. Para sarjana dalam
aliran ini ada di Eropa Tengah, dan yang terpenting diantara mereka
adalah F.Graebner dan W.Schmidt. Tokoh lain-lainya, seperti W.H.R.
Rivers adalah sarjana Inggris sedangkan F. Boas adalah sarjana Amerika.

3. KONSEP KULTURKREIS DAN KULTURSCHICHT DARI


GRAEBNER
Di Jerman penelitian-penelitian yang pada pangkalnya di
kembangkan oleh F.Graebner (1877-1934). Sarjana ini mula-mula adalah
konsevator museum di Berlin dan kemudian di Koln. Ia mendapat ide
untuk menggunakan suatu cara baru untuk menyusun bendan-benda
kebudayaan di museum. Benda-benda itu biasanya disusun menurut
tempat asalnya, tetapi Graebner mencoba menyusun berdasarkan
persamaan unsur-unsur tersebut. Sekumpulan tempat dimana ditemukan
benda-benda yang sama sifatnya itu oleh Graebner disebut satu
kulturkreis.
Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat
dimuka bumi ke dalam berbagai kulturkreise ini sebagaimana yang
diterangkan dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu Methode der
Ethnologie (1911). Prosedur klasifikasi itu berjalan sebagai berikut:
1. Seorang peneliti mula-mula harus melihat ditempat-tempat mana
dimuka bumi terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama. Misalnya
di tiga kebudayaan di tempat-tempat yang kita sebut A. B dan C yang
letaknya saling bejauhan terdapat unsur kebudayaan a yang sama,
maka unsur itu di A kita sebutkan a, di B kita namakan a, dan di C
adalah a”. Kesadaran akan persamaan tadi dicapai dengan alasan

4
Sosio-Antropologi

pembandingan berupa ciri-ciri, atau kualitas, dari ketiga unsur tadi,


dan disebut Qualitas Kriterium.
2. Si peneliti kemudian harus melihat apakah di A ada unsur-unsur lain
yang sama dengan unsur-unsur lain di B dan C; dan misalkan ada
unsur b,c,d,dan e di A yang sama pula dengan unsur-unsur
b”,c”,d”,dan e” di C maka alasan pembandingan berupa suatu jumlah
banyak (kuantitas) dari beragai unsur kebudayaan tadi disebut
Quantitas Kriterium. Tiap kelompok unsur-unsur yang sama tadi,
yaitu: (a b c d e), (a’ b’ c’ d’ e’), dan (a” b” c” d” e”), masing masing
disebut Kulturkomplex.
3. Akhirnya peneliti menggolongkan ketiga tempat itu, yaitu A, B, C,
dimana terdapat ketiga Kulturkomplex tadi, menjadi satu seolah-olah
memasukan ketiga tempat ditas peta bumi itu kedalam sau lingkaran.
Ketiga tempat tadi menjadi satu kulturkreis.

4. MAZHAB SCHMIDT
Wilhelm Schmidt (1868-1954) mendapat pendidikan dasarnya
dalam ilmu bahasa, namun sejak permulaan riwayat karya ilmiahnya ia
menaruh perhatian terhadap ilmu antropologi. Schmidt adalah guru besar
alam perguruan tinggi yang mulal-mulanya di Austria, kemudian di Swiss,
dimana dididik calon-calon pendeta penyiar agama katolik dari organisasi
Societas Verbi Divini, para pendeta itu juga mendapat pendidikan luas
dalam ilmu antropologi. Schmidt sendiri sebenarnya tidak pernah
melakukan field work sendiri, sehingga seluruh karyanya yang terdiri dari
beberapa ratusan karangan itu merupakan pengolahan dari bahan yang di
catat oleh muridnya atau yang termuat dalam buku-buku etnografi lain.
W. Schmidt menjadi terkanal dalam dunia antropologi sebagai
orang telah mengembangkan lebih lanjut metode klasifikasi kebudayaan-
kebudayaan di dunia kedalam kulturkreies. Klasifikasi itu dicita-citakan
untuk dilakukan secara besar-besaran, dengan tujuan untuk dapat melihat

5
Sosio-Antropologi

sejarah persebaran dan perkambangan kebudayaan atau kulturhistorie dari


seluruh umat manusia dimuka bumi ini.
W. Schmidt juga jadi terkanal dalam kalangan ilmu antropologi
karena penelitian-penelitiannya mengenai bentuk religi yang tertua. Ia
berpendirian bahwa keyakinan akan adanya satu Tuhan bukanlah suatu
perkembangan yang termuda dalam seajarah kebudayaan manusia. Religi
yang bersifat monotheisme itu malahan adalah bentuk yang sangat tua.
Sebelum W. Schmidt mengajukan pendirian itu ada sarjana lain yang
mengutarakan pendirian tersebut juga, yaitu sarjana ahli kesusasteraan
berbangsa Inggris, Andrew Lang. Kemudian anggapan A. Lang tersebut
diolah lebih lanjut oleh W. Schmidt.

5. TEORI DIFUSI RIVERS


W.H.R. Rivers (1864-1922) mula-mula adalah seorang dokter dan
ahli psikologi yang kemudian tertarik terhadap ilmu antropologi, ketika ia
turut sebagai anggota Cambridge Torres Straits Expedition dalam tahun
1899. Expedisi yang merupakan peristiwa penting dalam sejarah
perkembangan ilmu antropologi itu bermaksud meneliti hubungan antara
kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa yang mendiami daerah-daerah
sekitar Selat Torres yaitu Irian Selatan dan Australi Utara. Metode yang
digunakan oleh Rivers adalah menggunakan suatu metode wawancara.
Sebagaimana ia berhasil menggunakan metode tersebut dalam expedisinya
yang mengumpulkan banyak bahan, terutama mengenai sistem
kemasyarakatan suku-suku bangsa yang tinggal di sekitar daerah Selat
Torres.
Metode yang oleh Rivers kemudian diuraikan dalam karangannya
yang berjudul A Genealogical Method of Anthropological Inquiry
merupakan metode yang kemudian akan menjadi metode pokok dalam
sebagian besar penelitian antropologi yang berdasar field work. Apabila
seorang peneliti datang kepada suatu masyarakat maka sebagian besar dari
bahan keterangannya akan diperolehnya dari para informan, dengan

6
Sosio-Antropologi

berbagai macam metode wawancara. Dengan demkian seorang peneliti


harus mengumpulkan sebanyak mungkin daftar asal-usul individu-individu
dalam masyarakat obyek penelitian itu. Dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan mengenai kaum kerabat dan nenek moyang para individu tadi
sebagai pangkal, seorang peneliti dapat mengembangkan suatu wawancara
yang luas sekali,mengenai bermacam-macam peristiwa yang menyangkut
kaum kerabat dan nenek moyang tadi, dengan pertanyaan yang bersifat
konkret.
Banyak dari bahan keterangan yang dikumpulkan oleh River
selama melakukan penelitian di Selat Torres menjadi bahan dari kedua
jilid bukunya yang berjudul The History of Society (1914-an). Terutama
jilid II menggunakan metode-metode penelitian difusi unsur-unsur
kebudayaan dari kebudayaan–kebudayaan di daerah Melanesia. River juga
melakukan field work di tempat lain di daerah suku bangsa Toda yang
tinggal di Provinsi Mysore di India Selatan. Penelitian ini menghasilkan
buku The Todas 1960. Dalam penelitian ini Rivers rupa-rupanya
mendapat bahan banyak mengenai sistem kekerabatan orang Toda.

6. TEORI DIFUSI ELLIOT SMITH DAN PERRY


Di Inggris pada waktu itu banyak ahli antropologi yang melakukan
berbagai penelitian yang biasanya kita kelaskan dalam golongan
penelitian-penelitian difusi unsur-unsur kebudayaan. G. Elliot Smith
(1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) karena teori yang dipakai sangat
aneh. Mereka mengajukan teori bahwa dalam sejarah kebudayaan dunia
pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar dan
berpangkal di Mesir, yang bergerak kearah timur yang jaraknya sangat
jauh, yaitu kedaerah-daerah sekitar Lautan Tengah, ke Afrika, ke India, ke
Indonesia, ke Polinesia, dan ke Amerika. Teori itu kemudian sering
disebut Heliolithic Theory, karena menurut Elliot Smith dan Perry unsur-
unsur penting dalam kebudayaan Mesir Kuno yang tersebar ke daerah luas
tersebut tampak bangunan-bangunan batu besar atau megalith, dan juga

7
Sosio-Antropologi

pada suatu komplex unsur-unsur keagamaan yang berpusat di


penyembahan matahari atau Helios.
Walaupun mula-mula pendirian-pendirian seperti yang diajukan
Elliot Smith dan Perry mendapat perhatian yang besar sekali, terutama dari
pihak umum yang bukan ahli, namun kemudian mulai timbul berbagai
kecaman. Salah satu kecaman diajukan oleh R.H. Lowie ahli antropologi
Amerika, yang menyatakan bahwa teori Heliolitik itu merupakan teori
difusi yang sangat extrem dan tidak sesuai dengan kenyataan, baik
dipandang dari sudut hasil-hasil penggalian-penggalian ilmu prehistori,
maupun dari sudut konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran
unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam
kalangan ilmu antropologi pada waktu itu. Pada masa sekarang teori
Heliolitik itu hanya bisa dipandang sebagai suatu contoh saja dari slah stu
cara yang pernah digunakan oleh para ahli antropologi untuk mencoba
menerangkan gejala persamaan-persamaan unsur-unsur kebudayaan
diberbagai tempat di dunia.

8
Sosio-Antropologi

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
1. Sejak lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang sama
dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang seringkali jauh
letaknya satu sama lain. Ketika cara berpikir mengenai evolusi kebudayaan
berkuasa, para sarjana mengurai gejala persamaan itu dengan keterangan
bahwa persamaan-persamaan itu disebabkan karena tingkat-tingkat yang
sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai tempat dimuka bumi.
2. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecah
kedalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan lingkungan
dan waktu. Para sarjana yang melakukan penelitian-penelitian serupa itu
seakan-akan mengikuti suatu aliran cara berpikir yang tertentu, yang untuk
mudahnya akan kita sebut saja aliran difusionisme.
3. Benda-benda itu biasanya disusun menurut tempat asalnya, tetapi
Graebner mencoba menyusun berdasarkan persamaan unsur-unsur
tersebut. Sekumpulan tempat dimana ditemukan benda-benda yang sama
sifatnya itu oleh Graebner disebut satu kulturkreis. Ada prosedur
klasifikasi unsur-unsur kebudayaan yaitu Qualitas Kriterium, Quantitas
Kriterium, dan kulturkreis.
4. W. Schmidt terkanal dalam kalangan ilmu antropologi karena penelitian-
penelitiannya mengenai bentuk religi yang tertua. Ia berpendirian bahwa
keyakinan akan adanya satu Tuhan bukanlah suatu perkembangan yang
termuda dalam seajarah kebudayaan manusia. Religi yang bersifat
monotheisme itu malahan adalah bentuk yang sangat tua.
5. Metode yang digunakan oleh Rivers adalah menggunakan suatu metode
wawancara. Sebagaimana ia berhasil menggunakan metode tersebut dalam
expedisinya yang mengumpulkan banyak bahan, terutama mengenai
sistem kemasyarakatan suku-suku bangsa.

9
Sosio-Antropologi

6. Mereka mengajukan teori bahwa dalam sejarah kebudayaan dunia pada


zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar dan
berpangkal di Mesir, yang bergerak kearah timur yang jaraknya sangat
jauh, yaitu kedaerah-daerah sekitar Lautan Tengah, ke Afrika, ke India, ke
Indonesia, ke Polinesia, dan ke Amerika. Teori itu kemudian sering
disebut Heliolithic Theory.

10
Sosio-Antropologi

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI-Press. 2007.

11

Anda mungkin juga menyukai