Anda di halaman 1dari 18

CONTOH BERBAGAI TEORI ANTROPOLOGI SOSIAL

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Sosiologi Kesehatan
Dosen : Slamet Rohaedi, S.Kep., M.PH.

Disusun oleh :

Disusun oleh:

Nama : Fahninda Anggri Rahmaniar

NIM : 1801346

FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu΄Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkah Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Hidayah dan
rahmat-Nya kepada kita semua.
Semoga dengan adanya makalah “Contoh Berbagai Teori Antropologi
Sosial” yang saya susun ini dapat menambah wawasan saya.

Makalah ini disusun dengan berbagai literatur khususnya mata kuliah


Antropologi dan Sosiologi Kesehatan, buku-buku yang dianggap relevan,
serta pengetahuan dari penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik sesuai yang diharapkan.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan banyak


terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
bantuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Saya menyadari
bahwa makalah ini masih perlu perbaikan, oleh karena itu, saya mohon
kritikan dan saran yang membangun agar saya dapat menyusun kembali
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khusunya dan bagi
pembaca pada umumnya.

Bandung, 09 September 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

1. Kata Pengantar………………………………………………………… 2
2. Daftar Isi………………………………………………………………….. 3
3. Pendahuluan…………………………………………………………... 4
4. Teori Evoluisme……………………………………………………….. 5
5. Teori Difusionisme………………………………………………...... 6
6. Teori Fungsionalisme……………………………………………….. 8
7. Teori Fungsionalisme Struktural………………………………. 9
8. Teori Strukturalisme………………………………………………… 10
9. Teori Etnosains………………………………………………………… 11
10.Teori Simbolisme………………………………………………………13
11.Teori Interpretivisme……………………………………………….. 14
12.Teori Post-modernisme……………………………………………..15
13. Penutup…………………………………………………………………… 17
14. Daftar Pustaka…………………………………………………………..18

3
BAB I
Pendahuluan

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang


mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu.
Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang
Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari
apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti manusia,
dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai
makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan
antropologi sebagai berikut:

William A. Haviland Antropologi adalah studi tentang umat manusia,


berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia.

David Hunter Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang
tidak terbatas tentang umat manusia.

Koentjaraningrat Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat


manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk
fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Terlepas dari jenis penelitian tentang Antropologi maka harus


memperoleh banyak informasi tentang pendekatan Antropologi baik
secara umum atau khusus yang digunakan dalam ilmu social. Fungsi dari
pendekatan ini adalah untuk mengetahui peistiwa-peristiwa yang
dialami oleh manusia, yang menyangkut kajian tentang satu hal atau
lebih secara intensif. Data yang dikumpulkan dapat diperoleh dengan
berbagai cara. Pendekatan antropologi ini di samping digunakan dalam
penelitian ilmu social, juga dapat memberikan kesimpulan yang berlaku
untuk umum.

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Teori Evolusionisme

Dalam jajaran studi antropologi, aliran evolusionis merupakan


yang tertua, kemudian berturut-turut adalah aliran struktural fungsional,
kognitif, strukturalisme, dan simbolik-interpretatif.
Prespektif evolusionisme berdasar atas suatu pandangan bahwa ada
suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara evolusioner, dan
dalam bentuknya yang seperti sekarang. Misalkan, teori evolusi keluarga
yang di angkat oleh Bachofen maka masa awal kehidupan manusia itu
mengikuti cara hidup binatang yang disebut sebagai fase promiskuitas,
kemudian berkembang ke kehidupan kelompok yang mengenal
diferensiasi, ayah, ibu, dan anak dalam sebuah keluarga, terus ke
indogami. Jadi, proses perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi,
bermekanisme evolutif perlahan tetapi pasti.[1]

a. Teori Evolusi Kebudayaan L.H. Morgan

Lewis H. Morgan (1818-1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum


yang lama tinggal di daerah suku-suku bangsa Indian Iroquois sebagai
pengacara bagi orang-orang Indian mengenai tanah. Dengan demikian ia
mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan orang-orang Indian itu.
Sesuai zamannya, ia juga percaya kepada konsep evolusi masyarakat.
Karya pokoknya yang berjudul Ancient Society (1877) mencoba
melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui
delapan tingkat evolusi universal. Yaitu :

1. Zaman Liar, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan


api; dalam zaman ini manusia hidup meramu, mencari akar-akar dan
tumbuh-tumbuhan liar.

2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai
ia menemukan senjata busur-panah; dalam zaman ini manusia mulai
merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu memjadi pencari
ikan di sungai-sungai atau menjadi pemburu.

5
3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata
busur-panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-
barang tembikar; dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih
memburu.

4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan


kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak atau bercocok
tanam

5. Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak atau


bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-
benda dari logam.

6. Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan


kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal
tulisan.

7. Zaman Peradaban Purba

8. Zaman Peradaban Masa Kini

b. Menghilangnya Teori-Teori Evolusi Kebudayaan

Pada abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara


berpikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan.
Kecaman mulai menyerang detail dan unsur-unsur tertentu dalam
berbagai karangan daripara penganut teori-teori tersebutkemudian
meningkat menjadi serangan terhadap konsepsi dasar dari teori-teori
tentang evolusi kebudayaan manusia. pada permulaan abad ke-20
hampir tidak ada lagi karya antropologi yang berdasarkan konsep
evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-
penelitian antropologi berdasarkan konsep-konsep itu di Uni Soviet.

2. Teori Difusionisme

a. Sejarah Persebaran Unsur-Unsur Kebudayaan Manusia

Anggapan dasar dari para sarjana seperti F. Ratzer (1844-1904) yang


pernah mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat
di Afrika mengemukakan bahwa kebudayaan manusia itu pangkalnya

6
satu, dan di suatu tempat tertentu, yaitu pada waktu makhluk manusia
baru saja muncul di dunia. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang,
menyebar, dan pecah kedalam banyak kebudayaan baru, karena
pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Dalam proses memecah itu
bangsa-bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan yang baru tadi tidak
tinggal terpisah. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi
gerak perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan serta
pengaruh-mempengaruhi. Tugas terpenting ilmu etnologi menurut para
sarjana tadi ialah antara lain untuk mencari kembali sejarah gerak
perpindahan bangsa-bangsa itu, proses pengaruh-mempengaruhi, serta
persebaran kebudayaan manusia dalam jangka waktu beratus-ratus ribu
tahun yang lalu, mulai saat terjadinya manusia hingga sekarang.

b. Teori Difusi Elliot Smith dan Perry

Di Inggris pada waktu itu pula ahli antropologi yang merupakan


berbagai penelitian difusi unsur-unsur kebudayaan. Seorang tokoh
penting diantaranya A.C. Haddon, yang pernah memimpin Ekspedisi
Cambridge ke elat Torres. Ada juga G. Elliot smith (1871-1937) dan W.J.
Perry (1887-1949). Elliot dan Perry mengajukan teori bahwa sejarah
kebudayaan dunia zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi
yang besar yang berpangkal di Mesir. Teori itu kemudian sering
disebutHeliolithic Theory, karena menurut Elliot mith dan Perry unsur-
unsur penting dari kebudayaan Mesir Kuno yang tersebar di daerah luas
tersebut di atas itu tampak pada bangunan-bangunan batu besar,
atau megalith, dan juga pada suatu komplex unsur-unsur keagamaan
yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios.

Tetapi pendirian seperti Elliot dan Perry kemudian mendapat


berbagai kecaman. Salah satu kecaman diajukan oleh R.H. Rowie, ahli
antropologi Amerika yang menyatakan bahwa teori Heliolitik itu
merupakan teori difusi yang sangat ekstrem, dan tidak sesuai dengan
kenyataan, baik di pandang dari sudut penggalian ilmu prehistori
maupun dari sudut konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran
unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima
dalam ilmu antropologi. Pada masa sekarang teori itu dalam kalangan
ilmu antropologi digunakan sebagai contoh untuk menerangkan gejala

7
persamaan-persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di
dunia.

3. Teori Fungsionalisme

Bronislaw Malinowski (1884-1942) dididik di Polandia sebagai


seorang ahli matematika. Kemudian mempelajari antropologi di Inggris
selama 4 tahun dan selama Perang Dunia I tinggal diantara penduduk
asli Pulau Trobriand. Sambil mengamati cara hidup penduduk asli Pulau
Trobriand serta kebiasaan-kebiasaan daripenduduk asli. Malinowski
mengajukan sebuah orientasi yang dinamakan fungsionalisme. Yang
beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan
bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Menurut
Malinowski fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk
memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang
timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga
suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan dan
reproduksi (melahirkan keturunan). Beberapa aspek dari kebudayaan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan
kebutuhan itu muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs),
kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan.
Contohnya : unsur kebudayaan yang memenuhi akan makanan
menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama
dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi’ untuk itu
masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi polotik dan
pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerja
sama tersebut diatas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang
kebudayaan yaitu semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang
sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.

Malinowski percaya bahwa pendekatan yang fungsional mempunyai


suatu nilai praktis yang penting. Pengertian akan hal tersebut
dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarkat primitif.
Malinowski menerangkannya sebagai berikut : “nilai praktis dari teori
tersebut (teori fungsionalisme) adalah teori ini mengajarkan pada kita
tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beragam-
ragam itu; bagaiamana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu sama

8
lainnya. Bagaimana harus dihadapi oleh penyiar agama oleh penguasa
kolonial dan oleh mereka yang secara ekonomis mengeksploatir
perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif.

4. Teori Fungsionalisme Struktural

a. Malinowski

Dalam ilmu antropologi teori ini dikembangkan oleh seorang


tokoh yaitu, Bronis law Malinowski (1884-1942). Perhatiannya terhadap
folklor menunjukkan bahwa ia membaca buku J.G. Frazer, The Golden
Bough, mengenai imu gaib, yang menyebabkan ia menjadi tertarik
kepada ilmu etnologi.

Bukunya yang pertama,yang telah banyak menarik perhatian


dunia ilmu etnologi dan antropologi waktu itu adalah Argonauts of the
Western Pacific (1922). Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori
baru yang menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang
disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional
theory of culture.`

Dalam konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku


manusia, dan pranata-pranata sosial. Dalam hal ini ia membedakan
antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya
terhadap adat,tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam
masyarakat.

2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap
kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya,
seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi yang ketiga mengenai pengaruh atau efeknya
terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi
dari suatu sistem sosial yang tertentu.

9
5. Teori Strukturalisme

Salah satu tokoh dari teori strukturalisme adalah C. Levi Strauss.


Dalam buku-bukunya yang besar, mulai dari Les Structures Elementaries
de la Parente, Levi-Strauss menguraikan berbagai macam unsur
kebudayaan manusia dengan suatu metode analisa khas yang juga
diambilnya dari ilmu linguistik yang disebutnya metode “segitiga kuliner”
(triangle culinaire). Metode itu diterapkannya terhadap unsur makanan.
Sebab mengapa Levi-Strauss begitu banyak menaruh perhatian terhadap
makanan adalah rupa-rupanya disebabkan karena makanan adalah
kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusia, dan karena
makanan manusia menjadi unsur kebudayaan yang diolah api, yaitu
salah satu unsur kebudayaan dan sumber energi manusia yang sangat
dini. Itulah sebabnya unsur makanan paling cocok untuk
mengilustrasikan perbedaan antara alam dan kebudayaan.

Levi-Strauss menganggap ilmu antropologi sebagai ilmu yang


dapat memberikan data etnografis mengenai masyarakat primitif, yang
ianggapnya perlu untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan konsep-
konsep filsafatnya. Masyarakat bersahaja dianggapnya sebagai contoh
dari masyarakat elementer, dan manusia yang hidup di dalamnya tentu
juga berpikir secara elementer, atau dengan istilahnya: berpikir secara
bersahaja(la pensee sauvage).

Pranata “totemisme” sudah sejak lebih dari satu abad lamanya


menjadi bahan pembicaraan para ahli antropologi, yaitu sejak gejala itu
pertama-tama dilaporkan oleh seorang pedagang keliling bernama J.
Long, yang sering mendatangi tempat-tempat pemukiman suku-suku
bangsa Indian Algonquin dan Chippeway di daerah sekitar danau-danau
besar di Kanada Selatan. Dalam buku kisah perjalanannya berjudu Trader
of an Indian Interpreter and Trader (1701) ia mendeskripsikan untuk
pertama kalinya suatu keyakinan diantara para warga suku bangsa
Ojibnya khususnya, akan adanya suatu roh pelindung totem yang
bermukim dalam tubuh sejenis binatang tertentu, yang karena itu
dianggap keramat dan pantang diburu atau dibunuh. Terutama karena
tulisan-tulisan para pendekar antropologi E.B. Tylor dan J.Frazer, maka
konsep totem dan pranata totemisme menjadi konsep penting yang

10
sangat banyak dipelajari oleh berbagai pengumpul data etnografi di
lapangan, maupun oleh para ahli etnologi dan antropologi di kamar kerja
mereka sejak zaman Durkheim hingga kini. A. Van Gennep yang pernah
menulis buku I Etat Actuelle du Probleme Totemique (1920), yang
sebenarnya merupakan suatu tinjauan menyeluruh.

6. Teori Etnosains

Etnografi ditinjau dari segi harfiah berarti tulisan atau laporan


tentang suatu suku bangsa yag ditulis oleh seorang antropolog atas hasil
penelitian lapangan(field work)selama sekian bulan atau tahun.
Penelitian antropologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu
khas, sehingga kemudian istilah etnografi juga digunakan untuk
mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut.

Peneliti awal yang terkenal dalam antropologi adalah W.H.R Rivers


dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika Serikat pengalaman penelitian
pertama Rivers adalah sebagai peserta dalam Cambridge Torres Staits
Expedition(1899), di mana beliau kemudian berhasil mengembangkan
suatu metode wawancara yang khas, yang disebut dengan
istilah “genealogical method”. Sementara itu boas telah melakukan
berbagai ekspedisi penelitan lapangan dikalangan orang Eskimo dan
Indian di Amerika Utara, satu yang terkenal diantarnya adalah Jessup
pacific expedition (1897-1902)

Pada masa awal ini, teknik etnografi yang utama adalah


wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informasi kunci,
yaitu orang-orang tua dalam masyarakat tersebut yang kaya dengan
cerita masa lampau, tentang kehidupan yang “nyaman” pada suatu
masa dahulu. Orientasi teoritis para peneliti terutama berkaitan dengan
perubahn sosial dan kebudayaan. Para peneliti berasal dari aliran
pemikiran difusioniisme(rivers) dan aliran kulturhistoris (boas).
Pendeknya, tipe penelitian etnografi pada masa awal ini
adalah “informan oriemted”, karena tujuannya adalah untuk
mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat tersebut.

11
a. Etnografi Modern

Metode etnografi modern seperti yang umum dijalankan orag


pada masa kini, baru muncul pada 1915-1925, dan dipelopori oleh dua
ahli antropologi sosial Inggris, A.R. Radcliffe-brown dan Bronislaw
Malinow-ski. Cirri penting yang membedakan merka dari para etnografer
awal adalah bahwa keduanya tidak terlalu memandang penting hal-
ihwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok
masyarakat. Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini
yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat, yaitu tentang way of
life masyarakat tersebut.

Untuk mencapai tujuan tersebut, sang peneliti tidak cukup hanya


melakukan interview dengan beberapa informan tua, seperti yang
dilakukan oleh para etnografer pemula, tetapi yang lebih penting lagi
adalah melakukan observasi sambil berpartisipasi dengan kehidupan
masyarakat tersebut. Teknik inilah yang dikembangkan oleh Maliniwski
di kepulauan trobriand.

b. Etnografi Baru

Dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat


dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar peneliti.
Sedangkan dalam etnografi baru, bentuk tersebut dianggap meupakan
susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut,
dan tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar dari pikiran mereka,
cara mengorek dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran
manusia itu adalah khas, yaotu melalui metode folx taxonomy. Karena
itu, objek kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut,
tetapi tentang cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran
(mind)manusia.jadi singkatnya, budaya itu ada pada pikiran manusia dan
bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material. Tugas
etnografi adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran
tersebut.

12
7. Teori Simbolisme

Dalam bidang kebudayaan arti penting simbolisme semakin diakui


oleh para peneliti. Bagaimanapun besarnya perbedaan gaya hidup dan
struktur sosial suku-suku dan bangsa-bangsa, semuanya mendiami apa
yang dapat disebut didunia simbolis. Makan, dan minum, memasak,
membersihkan, fungsi-fungsi tubuh semuanya dilakukan di dalam
konteks hubungan sosial yang lebih luas yang diungkapakan dalam kata-
kata, gerak-gerik dan tata cara. “Masyarakat” meliputi nenek moyang
yang sudah meninggal, roh-roh yang baik dan jahat, serta kaum kerabat
dan anggota suku-suku lainnya. Melalui bentuk-bentuk simbolis
kesejahteraan suku dapat dipelihara dan kebutuhan individu yang
bersifat jasmani dilampaui.[9]

a. Teori simbolisme Clifford Greetz

Selama beberapa tahun Greetz menetapkan tujuan utama


hidupnya adalah untuk menfasirkan kebudayaan-kebudayaan. Bukunya
yaitu Anthropological Approaches to the Study of Religion.Menurutnya
penggunaan Greetz sendiri, kebudayaan berarti suatu pola makna yang
ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalm simbol-simbol,
suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan,
mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang
serta sikap-sikap mereka terhadap hidup. Jadi, “makna yang
diejawantahkan dalam simbol”,”konsep yang terungkap dalam bentuk
simbolis” merupakan pusat minat dan penelitiannya. Bentuk-bentuk
simbolis, dalam suatu konteks sosial khusus, mewujudkan suatu pola
atau sistem yang dapat disebut suatu kebudayaan. Menafsirkan suatu
kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk simbolnya dan dengan
demikian menurunkan makna yang autentik. Ia menyetujui dan menutip
tekanan yang diberikan Suzanne Langer kepada tempat dominan yang
diduduki makna dan simbol dalam disiplin ilmu filsafat pada zaman kita.

Dengan memusatkan perhatian pada simbol-simbol keagamaan


atau yang suci, Greetz memberikan paradigma ini : simbol keagamaan
“berfungsi mensintesikan etos suatu bangsa nada, watak, mutu hidup
mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya serta pandangan hidup

13
mereka, gambaran yang mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa
adanya, gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensif tentang
tatanan.

Lalu bagaimana sebuah simbol dapat didefinisikan ? lagi, dengan


mengikuti Langer, Greetz mengajukan “setiap objek, tindakan, peristiwa,
sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu
konsepsi, dan konsepsi ini adalah ‘mankna’ simbol. Jadi, penafsiran
kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab
simbol-simbol bersifat teraba, terserap, umum, dan konkret. Simbol-
simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan
mengintergretasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia
sebagaimana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk
menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.[10]

8. Teori Interpretivisme

Antropologi humanistic adalah mentalitas dalam orientasinya


memandang kebudayaan sebagai sistem gagasan nilai-nilai dan
makna. Kajian ideografig adalah khusus dan didasarkan pada ksus yang
sedemikian rupa dapat menangkap totalitas kehidupan dalam suatu
masyarakat dan variasinya. Cifford Geertz (1973) mengemukakan makna
yang didasarkan pada pandangan nativ sesungguhnya relative fisik,
maksudnya adalah pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan
diri sendiri, persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi
pengetahuan orang lain, persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain.
Geertz menulis “ gagasan kita, nilai-nilai kita, perilaku kita, bahkan emosi
kita, seperti halnya sistem persarafan, adalah produk kebudayaan yang
dibangun di luar kecenderungan kapasitas, dan posisi ketika kita
dilahirkan, melainkan di bangun dan terus dibangu..”

Interpretativisme Simbolik sebagai Paradigma

Interpretativisme Simbolik adalah kajian mengenai istilah-istilah dasar


dengan memendang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dan mengenai bagaimana istilah-istilah dasar yang
digunakan oleh manusia untuk membangun suatu mede kehidupan bagi
diri kita sendiri.

14
9. Teori Post-modernisme

Menurut Kohler (1977) dan Hassan (1985), istilah ‘post-


modernisme’ pertama kali digunakan oleh Federico de Onis pada 1930-
an untuk menunjukkan reaksi minor terhadap modernisme. Istilah itu
menjadi populer pada 1960-an di New York ketika digunakan oleh para
seniman, penulis dan kritikus. Istilah ini dipakai secara lebih luas dalam
bidang arsitektur, seni visual dan pertunjukan, dan musik dalam tahun
1970-an dan 1980-an. Kemudian disebarkan secara berulang-ulang
antara Eropa dan Amerika Serikat sebagai pencarian akan penjelasan
dan pembenaran teoritis post-modernisme seni yang pembahasannya
tentang postmodernitas.

Diantara berbagai ciri yang berasosiasi dengan post-modernisme


dalam bidang seni adalah: penghapusan batas antara seni dengan
kehidupan sehari-hari; ironi, lelucon dan pertunjukan tentang
‘kedangkalan’ permukaan budaya: menurunnya keaslian/bakat produser
seni; dan asumsi bahwa seni hanya merupakan pengulangan.

Konsep postmodernisme dimanipulasi oleh para seniman,


intelektual dan akademisi sebagai bagian dari pertarungan kekuasaan
dan interdependensi dalam bidang mereka. Salah satu daya tariknya,
konsep postmodernisme ini berbicara dengan berbagai perubahan dan
juga bermaksud menyorotinya dalam pengalaman keseharian dan dalam
praktik-praktik budaya berbagai kelompok yang lebih luas dalam
masyarakat. Postmodernisme menarik bagi berbagai kegiatan seni dan
ilmu sosial serta disiplin humanitas karena mengarahkan perhatian kita
pada berbagai perubahan yang terjadi dalam budaya kontemporer.
Dalam tahun-tahun belakangan ini kita telah menyaksikan adanya
peningkatan minat yang sangat dramatis dalam masalah
kebudayaan.[11]

Terdapat banyak contoh kasus dalam sosial budaya Indonesia yang


dianggap sebagai suatu sifat atau kegiatan postmodern dalam sudut
pandang kaum postmodern itu sendiri. Misalnya dari media elektronik,
berupa televisi. Bentuk iklan rokok A mild menggunakan filsafat
posmodern yang terlihat dari tema-tema yang sering diajukan terkesan
sangat tidak berhubungan dengan produknya, malah lebih sarat dengan

15
tema politik dan sosial yang sedang berkembang. Seperti
sebelumnya, tagline ‘ wani piro’ yang menyindir para koruptor dan
penyuap.

Selain itu bentuk dekonstruksi dan hyperealis dapat kita temukan


dalam internet dan game online seperti facebook. Foto yang ditampilkan
merupakan aspal (asli tetapi palsu), walau ada sebagaian yang
memasang dengan foto yang asli. Chatting : kenal di dunia maya tetapi
belum tentu kenal di dunia nyata. Selain itu bentuk desain
poster/pamflet ataupun media promosi lainnya, yang ada kini sering
berkesan berantakan, asal , atau mungkin mengambil dari masa lalu.[12]

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : Lewis H.


Morgan melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia
melalui delapan tingkat evolusi universal yaitu : Zaman Liar, Zaman Liar
Madya, Zaman Liar Muda, Zaman Barbar Tua, Zaman Barbar Madya,
Zaman Barbar Muda, Zaman Peradaban Purba, Zaman Peradaban Masa
Kini. G. Elliot smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) mengajukan
teori bahwa sejarah kebudayaan dunia zaman purbakala pernah terjadi
suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir. Teori itu
kemudian sering disebut Heliolithic Theory.

Menurut Malinowski teori fungsionalisme adalah teori yang


mengajarkan pada kita tentang kepentingan relatif dari berbagai
kebiasaan yang beragam-ragam itu. Malinowski juga mulai
mengembangkan suatu kerangka teori baru yang menganalisa fungsi
dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional
tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Levi-Strauss
menerapkan teorinya (strukturalisme) pada makanan karena makanan
adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusia, dan
karena makanan manusia menjadi unsur kebudayaan yang diolah api.

Etnografi ditinjau dari segi harfiah berarti tulisan atau laporan


tentang suatu suku bangsa yag ditulis oleh seorang antropolog atas hasil
penelitian lapangan(field work). Menurut Clifford Greetz kebudayaan
berarti suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang
diejawantahkan dalm simbol-simbol. Konsep postmodernisme menarik
bagi berbagai kegiatan seni dan ilmu sosial serta disiplin humanitas
karena mengarahkan perhatian kita pada berbagai perubahan yang
terjadi dalam budaya kontemporer.

17
DAFTAR PUSTAKA

Frederick William Dill, 2002, The Power of Symbols, Yogyakarta :


Kanisius
http://nurulantropologi.blogspot.com/2011/11/post-modernisme-pada-
perayaan-may-day.html0, 08:48, 25/03/2015

James P. Spradly, 2007, Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana

Koentjaraningrat, 1982, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press

Mike Featherstone, 2001, Postmodernisme dan Budaya Konsumen,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nur Syam, 2011, Mazhab- Mazhab Antropologi, Yogyakarta : PT. LkiS

T.O Ihromi (ed.), 1980, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta :


Yayasa Obor Indonesia

18

Anda mungkin juga menyukai