Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

DEMAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah Gizi Olahraga yang Diampu oleh:

Lisna Annisa F.,S.Kep.,Ners.,M.kes.,AIFO

Disusun oleh:

Cindy Isna Risanti (1801287)

Fahninda Anggri Rahmaniar (1801346)

Wulan Nova Ningrum (1806982)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini. kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Linda Amalia ,
S.Kp., M.KM. selaku dosen mata kuliah Metodologi Keperawatan serta tidak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

kami berharap semoga tugas ini bisa bemanfaat dan bisa menambah pengetahuan serta
pengalaman untuk para pembaca. kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena terbatasnya pengetahuan dan pengalaman kami, untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................................................... ii
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 1
BAB II........................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 2
2.1 PENGATURAN SUHU TUBUH ................................................................................................. 2
A. Keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas......................................................................... 2
2.1.1 Produksi Panas ............................................................................................................................. 2
2.1.2 Kehilangan Panas ......................................................................................................................... 3
2.2 DEFINISI DEMAM ...................................................................................................................... 5
2.3 ETIOLOGI DEMAM .................................................................................................................... 6
2.4 POLA DEMAM ............................................................................................................................ 7
2.5 PENATALAKSANAAN ............................................................................................................ 11
BAB III ....................................................................................................................................................... 12
PENUTUP .................................................................................................................................................. 12
3.1 KESIMPULAN ........................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 13

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Masalah demam berawal dari suatu hipotesis yang menyatakan bahwa demam merupakan
suatu proses alamiah yang timbul sebagai akibat suatu stimulus. Ahli dari mesir beranggapan
bahwa demam diakibatkan oleh inflamasi lokal. Bilroth pada tahun 1868 membuktikannya
dengan menyuntikan pus kepada kelinci percobaan, kemudian kelinci tersebut menjadi demam
yang terjadi akibat adanya endotoksin, yaitu suatu produk bakteri gram negatif yang
mengkontaminasi bahan suntikan. Menkin pada tahun 1943 berhasil mengisolasi bahan
penyebab demam yang disebut pyrexin. Kemudian Gery dan Waksman berhasil mengidentifikasi
interleukin-1 (IL-1), dikenal sebagai sitokin yang terbukti identik dengan pirogen endogen.
Dalam evolusi kehidupan, tubuh telah mengembangkan suatu sistem pertahanan yang cukup
ampuh terhadap infeksi. Dan peninggian suhu badan memberikan suatu peluang kerja yang
optimal untuk sistem pertahanan tubuh.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun beberapa masalah yang akan dibahas pada isi makalah ini yaitu sebagai berikut :

o Bagaiman pengaturan suhu tubuh?


o Apa yang akan terjadi jika tubuh mendapat infeksi dari luar?
o Definisi, penyebab, jenis – jenis, proses terjadi dan penatalaksanaan demam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGATURAN SUHU TUBUH


A. Keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas

Pengaturan suhu memerlukan mekanisme perifer yang utuh, yaitu keseimbangan


produksi dan pelepasan panas, serta fungsi pusat pengatur suhu di hipotalamus yang mengatur
seluruh mekanisme. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju
hilangnya panas, timbul panas dalam tubuh dan temperatur tubuh meningkat. Sebaliknya, bila
kehilangan panas lebih besar, panas tubuh dan temperatur tubuh akan menurun. 1,2

2.1.1 Produksi Panas


Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic Rate (BMR).
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rate antara lain: 1,2
i. laju metabolisme dari semua sel tubuh;
ii. laju cadangan metabolisme yang disebabkan oleh aktivitas otot;
iii. metabolisme tambahan yang disebabkan oleh pengaruh tiroksin, epinefrin,
norepinefrin dan perangsangan simpatis terhadap sel;
iv. metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi
didalam sel sendiri.

Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung, tiroid, pankreas
dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat sel yang melibatkan
adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru lahir menghasilkan panas pada jaringan lemak coklat, yang
terletak terutama dileher dan skapula. Jaringan ini kaya akan pembuluh darah dan mempunyai
banyak mitokondria. Pada keadaan oksidasi asam lemak pada mitokondria dapat meningkatkan
produksi panas sampai dua kali lipat. Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan
vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan menggigil sebagai respon terhadap kenaikan
suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam
mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat,

2
pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen dari sistem saraf otonom
untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan aliran darah dikulit menyebabkan
pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit kesekitarnya dalam bentuk keringat.
Dilain pihak, pada lingkungan dingin akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga akan
mempertahankan suhu tubuh.

2.1.2 Kehilangan Panas


Berbagai cara panas hilang dari kulit ke lingkungan dapat melalui beberapa cara yaitu:

i. Radiasi : kehilangan panas dalam bentuk gelombang panas infra merah, suatu
jenis gelombang elektromagnetik. Dimana melalui cara ini tidak menggunakan
sesuatu perantara apapun. Secara umum enam puluh persen panas dilepas secara
radiasi;
ii. Konduksi : kehilangan panas melalui permukaan tubuh ke benda-benda lain
yang bersinggungan dengan tubuh, dimana terjadi pemindahan panas secara
langsung antara tubuh dengan objek pada suhu yang berbeda. Dibandingkan
dengan posisi berdiri, anak pada posisi tidur dengan permukaan kontak yang
lebih luas akan melepas panas lebih banyak melalui konduksi;
iii. Konveksi : pemindahan panas melalui pergerakan udara atau cairan yang
menyelimuti permukaan kulit;
iv. Evaporasi : kehilangan panas tubuh sebagai akibat penguapan air melalui kulit
dan paru-paru, dalam bentuk air yang diubah dari bentuk cair menjadi gas; dan
dalam jumlah yang sedikit dapat juga kehilangan panas melalui urine dan feses.

Faktor fisik jelas akan mempengaruhi kemampuan respon perubahan suhu. Pelepasan panas pada
bayi sebagian besar disebabkan oleh karena permukaan tubuhnya lebih luas dari pada anak yang
lebih besar.

3
B. Konsep “set-point” dalam pengaturan suhu tubuh

Konsep “Set-Point” dalam pengaturan temperatur yaitu semua mekanisme pengaturan


temperatur yang terus-menerus berupaya untuk mengembalikan temperatur tubuh kembali ke
tingkat “Set-Point”. Set-point disebut juga tingkat temperatur krisis, yang apabila suhu tubuh
seseorang melampaui diatas set-point ini, maka kecepatan kehilangan panas lebih cepat
dibandingkan dengan produksi panas, begitu sebaliknya. Sehingga suhu tubuhnya kembali ke
tingkat set-point. Jadi suhu tubuh dikendalikan untuk mendekati nilai set-point. 1,2

C. Peranan Hipotalamus dalam pengaturan suhu tubuh.

Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan balik, dan
hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada area
preoptik hipotalamus anterior. 1,2
Daerah spesifik dari interleukin-1 (IL-1) adalah regio preoptik hipotalamus anterior, yang
mengandung sekelompok saraf termosensitif yang berlokasi di dinding rostral ventrikel III,
disebut juga sebagai korpus kalosum lamina terminalis (OVLT) yaitu batas antara sirkulasi dan
otak. Saraf termosensitif ini terpengaruh oleh daerah yang dialiri darah dan masukan dari
reseptor kulit dan otot. Saraf yang sensitif terhadap hangat terpengaruh dan meningkat dengan
penghangatan atau penurunan dingin, sedang saraf yang sensitif terhadap dingin meningkat
dengan pendinginan atau penurunan dengan penghangatan. Telah dibuktikan bahwa IL-1
menghambat saraf sensitif terhadap hangat dan merangsang cold-sensitive neurons. Korpus
kalosum lamina terminalis (OVLT) mungkin merupakan sumber prostaglandin. Selama demam,
IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVLT melalui jendela kapiler untuk merangsang sel
untuk memproduksi prostaglandin E-2 (PGE-2); secara difusi masuk kedalam regio preoptik
hipotalamus anterior untuk menyebabkan demam atau bereaksi dalam serabut saraf dalam
OVLT. PGE-2 memainkan peran penting sebagai mediator, terbukti dengan adanya hubungan
erat antara demam, IL-1 dan peningkatan kadar PGE-2 di otak. Penyuntikan PGE-2 dalam
jumlah kecil kedalam hipotalamus binatang, memproduksi demam dalam beberapa menit, lebih
cepat dari pada demam yang diinduksi oleh IL-1. 1,2

4
Hasil akhir mekanisme kompleks ini adalah peningkatan thermostatic set-point yang akan
memberi isyarat serabut saraf eferen, terutama serabut simpatis untuk memulai menahan panas
(vasokonstriksi) dan produksi panas (menggigil). Keadaan ini dibantu dengan tingkah laku
manusia yang bertujuan untuk menaikkan suhu tubuh, seperti mencari daerah hangat atau
menutup tubuh dengan selimut. Hasil peningkatan suhu melanjut sampai suhu tubuh mencapai
peningkatan set-point. Peningkatan set-point kembali normal apabila terjadi penurunan
konsentrasi IL-1 atau pemberian antipiretik dengan menghambat sintesis PGE-2. PGE-2
diketahui mempengaruhi secara negative feed-back dalam pelepasan IL-1, sehingga dapat
mengakhiri mekanisme ini yang awalnya diinduksi demam. 1,2
Sebagai tambahan, arginin vasopresin (AVP) beraksi dalam susunan saraf pusat untuk
mengurangi pyrogen induced fever. Kembalinya suhu menjadi normal diawali oleh vasodilatasi
dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan oleh serabut saraf
simpatis. 1,2

2.2 DEFINISI DEMAM


International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal Physiology
mendefinisikan demam sebagai suatu keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak
seharusnya) merupakan bagian dari respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap
invasi mikroorganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi
dan kawan-kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara
patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus
yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis demam adalah peningkatan
suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu normal di tempat pencatatan. Sebagai
respons terhadap perubahan set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru.
Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi
panas.3-5

Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu
terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 – 06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul
16.00 – 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola diurnal ini.1,2 Suhu tubuh juga
dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan

5
suhu udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal.
Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).3-5

Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat Rentang; rerata Demam


Jenis termometer
pengukuran suhu normal (oC) (oC)

Air raksa, 34,7 – 37,3;


Aksila 37,4
elektronik 36,4

Air raksa, 35,5 – 37,5;


Sublingual 37,6
elektronik 36,6

Air raksa,
Rektal 36,6 – 37,9; 37 38
elektronik

35,7 – 37,5;
Telinga Emisi infra merah 37,6
36,6

2.3 ETIOLOGI DEMAM


Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada
hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh 1,3,5

o infeksi, vaksin, agen biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag,


interferon dan interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma,
suntikan intramuskular, luka bakar),
o keganasan (leukemia, limfoma, hepatoma, penyakit metastasis),
o obat-obatan (demam obat, kokain, amfoterisin B),

6
o gangguan imunologik-reumatologik (lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid),
o penyakit radang (penyakit radang usus),
o ganggguan endokrin (tirotoksikosis, feokromositoma),
o ganggguan metabolik (gout, uremia, penyakit fabry, hiperlipidemia tipe 1), dan
o wujud-wujud yang belum diketahui atau kurang dimengerti (demam mediterania
familial).

2.4 POLA DEMAM


Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah mendapat
antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat
yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk
infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).5

Pola demam Penyakit

Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan

Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri

Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Quotidian Malaria karena P.vivax

Double quotidian Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid


arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)

Relapsing atau periodik Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Demam rekuren Familial Mediterranean fever

Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

7
Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat suhu
selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi.
Gambaran pola demam klasik meliputi: 3,4,6

 Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh
yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal
suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan. 4,6

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

 Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal
dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling
sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar
2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

8
 Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan
puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua
yang ditemukan di praktek klinis. 3,4

Gambar 3. Demam intermiten

 Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan
perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. 3,4
 Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang
terjadi setiap hari.3,4
 Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

 Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi
selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal. 3,4
 Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam
melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran
nafas atas. 3-5
 Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu
penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ
multipel. 3,4

9
 Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda
(camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari
pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam
kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African
hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa). 3,5,6
 Relapsing fever dan demam periodik:
o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau
irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau
beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah
tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi
setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis. 3-5

Gambar 5. Pola demam malaria

o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang
disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu
(louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF). 4-7

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

10
2.5 PENATALAKSANAAN
Demam merupakan respon terhadap stimulus tertentu. Stimulus tersebut dapat berupa invasi
mikroorgganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. Pada
prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan. Demam dapat membantu
sistem imunitas tubuh. Pada tingkat suhu tertentu,demam merupakan bagian dari sistem
pertahanan tubuh antara lain daya fagositosis meningkat dan viabilitas kuman menurun, tetapi
dapat juga merugikan karena menimbulkan gelisah, nafsu makan menurun, tidak dapat tidur

Tidak semua demam harus diberikan antipiretik. Indikasi pemberian antipiretik lebih
kepada pencegahan komplikasi dan kenyamanan pasien. Demam < 39°C pada sebelumnya sehat
pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila suhu naik > 39°C, cenderung tidak nyaman
dan pemberian obat-obat penurun panas sering membuat pasien merasa lebih baik. Demam
berkaitan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan kurang gizi, penyakit jantung,
luka bakar, atau pasca operasi memerlukan antipiretik. 8

Pada dasarnya menurunkan demam anak dapat dilakukan secara non-medikamentosa dan
medikamentosa.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Demam adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 37,2˚C (99,5˚F)
sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di area preoptik hipotalamus anterior yang
dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi
berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Dimana mekanisme tersebut menyebabkan
perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara
lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis, jejas jaringan, keganasan, obat-obatan, gangguan
imunologik-reumatologik, penyakit peradangan, penyakit granulomatosis, ganggguan endokrin,
ganggguan metabolik, dan bentuk-bentuk yang belum diketahui atau kurang dimengerti.

Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian
secara langsung mengubah “set-point” di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan
konversi panas. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen
yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh yaitu
pirogen mikrobial dan pirogen non-mikrobial. Pirogen mikrobial diantaranya seperti bakteri
gram positif, bakteri gram negatif, virus maupun jamur; sedangkan pirogen non-mikrobial antara
lain proses fagositosis, kompleks antigen-antibodi, steroid dan sistem monosit-makrofag; yang
keseluruhannya tersebut mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen
yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis
Factor (TNF), limfosit yang teraktivasi, interferon (INF), interleukin-2 (IL-2) dan Granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh
makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini
merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat
menyebabkan peningkatan suhu tubuh.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong F.W. Temperature Regulation. Review of Medical Physiology. 21st edition.San


Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 2003. Hal : 254-259.
2. Guyton C.A., Hall E.J. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta. EGC.
1997. 1141-1155.
3. Nelwan, R.H.H. Demam : Tipe dan Pendekatan dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. 2006. Hal 1697 – 1700
4. Woodward TE. Mackowick PA. The fever patterns as a diagnosis aid in : Fever: Basic
mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.h.215-36
5. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever in Clinical manual of fever in children.
Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.1-24.
6. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome in Moffet’s Pediatric infectious
diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William &
Wilkins; 2005.h.318-73.
7. Del Bene VE. Temperature Clinical methods: The history, physical, and laboratory
examinations. Edisi ke-3. :Butterworths;1990.h.990-3.
8. Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin Pediatr. Jun
2003 (42); 383

13

Anda mungkin juga menyukai