Anda di halaman 1dari 38

MEDIA KOMUNITAS ONLINE SEBAGAI RUANG

EKSISTENSI MUSIK INDIE


(Studi Kasus Pada ronascent.biz)

SKRIPSI

Oleh
ANNISA MAULIDYA RAHMA
NIM 15041184057

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
JURUSAN ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama tahun 1980-an, musik kampus, yang mana adalah awal mula

dari kemunculan musik indie dan label independen sebagai gerakan

perubahan, yang dipublikasikan melalui gelombang udara pada radio

kampus mulai memasuki kancah nasional dan internasional. Musik ini pun

juga mulai memiliki pasar untuk perdagangannya sendiri, menduduki

tangga lagu di majalah Rolling Stone, dan menjadi pengisi acara di

sejumlah acara tahunan. Munculnya radio kampus dan charts (tangga lagu)

yang mereka buat, menciptakan kemungkinan bahwa sebuah band

independen dapat memiliki dan mendongkrak popularitas tanpa bantuan

label rekaman besar. Band Independen tersebut juga dapat mencapai

kesuksesan mainstream setelah sempat menjadi salah satu jajaran label

independen, contoh: REM dan Nirvana. (Holly Kruse, 1993: 33).

Pergerakan indie sebenarnya bukan sesuatu yang baru, mereka dimulai

pada era musik punk tahun 1970-an di Inggris. Pada era itu, sistem seolah

dijungkirbalikan dengan semangat D.I.Y. (do it yourself) termasuk dalam

cara merilis rekaman. Momentum itulah cikal bakal perkembangan dari

musik indie yang kita kenal sekarang (Naldo, 2012). Pergerakan musik

indie di Indonesia sendiri muncul sekitar akhir 1990-an. Kehadirannya

1
dapat dilacak melalui beberapa band seperti Pure Saturday, Pas Band, The

Puppen, dan Tengkorak yang merekam, merilis, dan memasarkan sendiri

lagu lagu mereka secara independen pada tahun 1995, tanpa ada bantuan

dari mayor label (Sigit Triputra Adam, 2018).

Wendi Putranto (Nando, 2012) mengungkap bahwa perkembangan

musik indie melahirkan beberapa dampak, salah satunya adalah perbaikan

selera masyarakat yang menjadikan musik indie sebagai alternatif di

tengah sesaknya musik-musik mainstream. Pertumbuhan industri musik

sejak era 1960-an otomatis memunculkan kebutuhan akan informasi musik

dan menjadikannya bagian dari budaya populer (Idhar Resmadi, 2018:51).

Salah satu media yang fenomenal dalam sejarah musik Indonesia adalah

majalah Aktuil. Memulai penerbitan pada tahun 1967, Aktuil bertahan

selama tiga belas tahun dengan menulis beragam peristiwa dan

perkembangan musik, serta berupaya membentuk opini masyarakat

pencinta musik Tanah Air. Namun, majalah Aktuil resmi berhenti pada

1981 karena menanggung kerugian finansial akibat mengadakan konser

yang mendatangkan Deep Purple ke Indonesia (Idhar Resmadi, 2018:8).

Majalah musik fenomenal lainnya adalah Rolling Stone Indonesia.

Rolling Stone pertama kali terbit di Indonesia pada Mei 2005 dengan

menjadikan gambar Bob Marley sebagai cover majalahnya. Rolling Stone

berhasil memikat masyarakat Indonesia dengan ulasan-ulasan panjang

2
yang menjadi panduan dalam mengarungi industri musik. Pada Desember

2007, Rolling Stone juga menerbitkan edisi penting berisikan ruang

apresiasi pada album-album legendaris sepanjang sejarah musik Indonesia

(Idhar Resmadi, 2018:27).

Saat majalah-majalah mainstream berguguran satu persatu, zine dan

media alternatif malah tampak bergeliat di ranah subkultur. Maraknya

penerbit-penerbit alternatif di tengah gegap gempita dunia digital

menjelaskan bahwa eksistensi media cetak belum begitu pudar. Hal ini

dibuktikan dengan menculnya media-media alternatif seperti buku,

katalog, dan zine yang unik dari segi kemasan dan sangat spesifik

menyasar ke suatu komunitas tertentu (Idhar Resmadi, 2018:158).

Informasi tentang musik memang tidak bisa dilepaskan dari

digdayanya industri musik yang lewat perpanjangan kapitalnya mampu

menggerakkan roda imajinasi kaum muda. Fenomena berkembangnya

media musik memang tidak dilepaskan dari posisi musik sebagai industri

budaya. Informasi musik kemudian dapat kita tempatkan sebagai alat

promosi sekaligus apresiasi karya musisi. Selain itu, informasi musik juga

dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi masyarakat (Idhar Resmadi,

2018:51). Publisitas lokal dan regional dipenuhi dengan fanzine (fans

magazine atau majalah non-resmi yang diproduksi oleh penggemar)

beranggaran rendah yang membantu menciptakan identitas untuk

3
komunitas mereka, dengan bantuan artis yang membuat rekaman dan

menghasilkan kaset sendiri atau dengan bantuan perusahaan rekaman

independen (Holly Kruse, 1993: 33).

Dikutip dari artikel pada portal online Vice, Zine sendiri bukanlah

bagian dari media mainstream dan tidak akan pernah menuju ke arah sana.

Kebanyakan orang pun masih heran saat menelaah lembaran demi

lembaran hasil fotokopian yang dijilid staples; judul yang kadang absurd,

topik yang bikin dahi menekuk, dan layout yang seolah-olah dikerjakan ala

kadarnya. Portal online Socamedia dalam salah satu artikelnya pun

mengungkap bahwa kemunculan sebuah media literasi yang dikelola

secara independen, Zine, diawali pada sekitar tahun 1990-an. Di Indonesia

sendiri, pada awal kemunculannya, Zine hanya berisikan tentang musik.

Diterbitkan pada tahun 1995, Revograms Zine merupakan zine musik

pertama yang berasal dari Bandung. Kehadiran zine sebagai media

alternatif mencoba untuk menawarkan sesuatu yang tidak dilakukan

media arus utama karena batas halaman, sistem kurasi, dan gaya

penulisannya yang sedikit nyentrik.

Seiring dengan berjalannya waktu, konten yang dimuat dalam zine

mengalami beberapa perubahan. Kultur zine berkembang di komunitas

graffiti, musik independen, dan aktivisme sosial politik. Beberapa

kelompok dapat mencetak dan mempublikasikan gagasan-gagasan mereka

4
tanpa harus bergantung pada media massa mainstream (Idhar Resmadi,

2018). Terbukti zine menjadi suatu corong komunitas maupun gagasan

orang per orang menyuarakan ide-ide besar atau sekedar isu remeh-temeh.

Zine sukses menjadi media penyambung lidah antar komunitas, melintasi

ras, budaya, gender, dan bahkan kelas sosial (dikutip dari portal online

Vice, 2016). Zine tidak lagi hanya membahas seputar musik saja, tetapi juga

mulai membahas hal-hal yang bersifat politis, personal, sports, art dan

komik hingga seks.

Irwan Bajang (2011) mengatakan bahwa pada era ini, zine makin

berkembang dengan pesat. Tidak seperti diawal kehadirannya, zine pada

era ini lebih memiliki banyak bentuk. Banyak zine yang kini hadir dengan

kemasan yang dibuat seperti mini majalah dan terkesan lebih personal.

Banyak juga yang beredar lebih luas dan mulai dikelola dengan sentuhan

profesional. Namun, ongkos produksi dan biaya operasional yang kian

mahal serta perubahan konsumsi informasi khalayak yang mengarah pada

media baru, tidak seketika membuat zine punah. Dengan tetap

mempertahankan semangat awalnya sebagai media alternatif, zine berubah

menjadi webzine. Webzine tidak lagi hadir dalam bentuk fisik, ia

mengonvergensikan dirinya seiring dengan perkembangan teknologi.

Di era konvergensi, jaringan sosial audiens meluas sehingga audiens

berkembang menjadi audiens aktif bahkan interaktif (Jenkins, 2006).

5
Perkembangan teknologi komunikasi melahirkan fenomena yang disebut

global village (McLuhan, 2011), di mana teknologi komunikasi telah

mengintegrasikan berbagai model komunikasi yang mengubah jaringan

masyarakat dari audiens massa menjadi jaringan interaktif (“Super

Highway”) (Castells, 2010). Jaringan interaktif memicu lahirnya masyarakat

yang terhubung dalam jaringan glokal (global dan lokal), serta dominan

menggunakan banyak media interaktif (van Dijk, 2005). Di dalam jaringan

interaktif inilah terbentuk identitas kolektif (McLuhan, 2011).

Dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, McQuail (2011) menjelaskan

bahwa Media Baru atau New Media adalah berbagai perangkat teknologi

komunikasi yang didigitalisasi dan memiliki cakupan yang luas untuk

penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi. Ciri utama media baru

adalah adanya saling keterhubungan akses terhadap khalayak maupun

individu sebagai penerima maupun pengirim pesan, interaktivitasnya,

kegunaan yang beragam sebagai karakter yang terbuka, dan sifatnya yang

ada di mana-mana.

Media baru membuka peluang yang begitu besar bagi keberlangsungan

media komunitas di masa depan. Banyak celah bagi komunitas atau

kelompok masyarakat yang merasa miris dengan media massa hari ini

untuk menciptakan alternatif dan membuat arus baru melalui situs web

atau blog, bahkan media sosial. Belum lagi tren media baru terus menanjak

6
akibat turunnya antusias publik terhadap media-media konvensional

seperti koran, radio, dan televise (dikutip dari portal online Remotivi, 2016).

Para pelaku dan penikmat musik indie lebih memilih media baru seperti

internet dan radio lokal dalam memenuhi kebutuhan informasi mereka

untuk mengakses perkembangan musik indie tersebut. Munculnya indie

label sebagai salah satu bentuk produksi media baru dalam industri musik

yang juga merupakan suatu usaha untuk menawarkan sesuatu yang lain.

Semakin lama, dukungan terhadap musik band indie pun semakin besar.

Terbukti dengan banyaknya grup band yang memilih jalur ini (dikutip dari

tesis Naldo, 2012).

Kota Surabaya menjadi satu dari sekian kota yang memiliki berbagai

komunitas aktif dalam membuat dan mempublikasikan zine, terutama

yang memuat konten tentang musik indie. Banyaknya penggiat musik

indie di Surabaya, memunculkan skenanya (lingkungan/perkumpulan)

sendiri. Dengan melibatkan beberapa anggota komunitas indie dan

pencinta musik, Kota Surabaya memunculkan beberapa zine seperti

Radiogasm, Praotozine, Radio Kemarin Sore, Radio Active Voice,

KonterKultur, FojuMusik, dan Ronascent. Namun, keberadaan zine musik

di Surabaya mulai hilang dengan berbagai alasan pribadi, hingga finansial.

Dibentuk pada pertengahan tahun 2012, tepatnya tanggal 25 Juli 2012,

Ronascent adalah satu di antara banyak webzine (web magazine atau majalah

7
elektronik) yang bermunculan di era mutakhir saat ini. "Mendengarkan,

merangkum dan menuliskan gambaran musik di skena indie tanah air yang

tentunya menitikberatkan pada kota asal kami, yakni Surabaya. Mengamati

gejolak dan gairah industri musik independen yang kerap menjadi

sokongan musik berkualitas" adalah visi Ronascent sebagai media

alternative (dikutip dari portal online Ayo Rek, 2013).

Ronascent memiliki konsistensi dan kerja keras sebagai media alternatif

dalam skena musik di Surabaya. Ronascent aktif membangun definisi

skena musik Indonesia dan Surabaya, terutama musisi independen yang

tidak/belum dimotori label industri besar. Dengan 3-4 post per minggu,

Ronascent menjadi media satu-satunya yang aktif memberikan berita,

informasi gigs dan acara, ulasan dan profil band indie, info rilisan musik

akan datang, dan unduhan musik dari pelosok Indonesia, dengan

perhatian khusus pada kota asalnya, Surabaya (dikutip dari portal online

Ayo Rek, 2013).

Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana sebuah media alternatif

dapat bertahan dan konsisten dalam memberikan informasi terbaru

mengenai musik indie di era digital ini. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus untuk dapat

menjelaskan bagaimana Ronascent menjadi media musik satu-satunya dan

dapat secara aktif memberikan informasi tentang musik indie di Surabaya.

8
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana “Ronascent” dapat menjaga eksistensinya sebagai media

informasi musik indie di Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Ronascent tetap

dapat konsisten memberikan informasi musik indie di Surabaya sekaligus

menemukan fakta bagaimana Ronascent dapat menjaga eksistensinya

sebagai media informasi musik indie di Surabaya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai media

komunitas online dalam menjaga eksistensi dan konsistensi

sebagai media informasi musik indie di Surabaya.

b. Penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan ataupun referensi

untuk kajian pustaka mengenai media komunitas online dalam

menjaga eksistensi dan konsistensi sebagai media informasi

musik indie di Surabaya.

9
2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

“Ronascent” sebagai media komunitas online dalam menciptakan

ruang eksistensi musik indie.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

“Ronascent” sebagai media informasi bagi komunitas pencinta

musik indie.

10
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Musik Indie sebagai Alternatif

Band indie bermula dari kesulitan dari beberapa group musik yang

memiliki idealisme dalam bermusik untuk memasuki dapur rekaman

karena benturan kepentingan antara pemilik perusahaan rekaman dan

idealisme dalam bermusik dari group band itu sendiri. Beberapa dari

perusahaan rekaman beranggapan bahwa aliran musik tersebut tidak dapat

dinikmati masyarakat, tidak mempunyai mutu dan tidak mengikuti pasar

musik yang ada sekarang. Salah satunya aliran musik pop punk yang lebih

memilih jalur indie karena musik yang mereka bawakan mempunyai pasar

tersendiri dan mempunyai idealisme yang berbeda dengan jenis musik

yang lain (dikutip dari skripsi Yofi Aprilia, 2015).

Menurut Resmadi (2008), sesuai asal katanya independent yang berarti

merdeka, berdiri sendiri, berjiwa bebas, dan tidak bergantung, sehingga

jika di ambil pengertian secara bebas, bisa ditafsirkan dua pengertian

mengenai band indie yang kini tumbuh subur di Tanah Air. Pengertian

pertama yang bisa diberikan pada band indie adalah karya-karya mereka

berada di luar mainstream. Mereka bebas melahirkan karya yang sangat

berbeda dari yang ada di pasar, atau dalam kata lain tidak komersial dan

umumnya memiliki pangsa pasar tersendiri. Pengertian kedua dari band

11
indie adalah band itu merekam dan memasarkan sendiri lagu-lagu mereka.

Biasanya band-band ini memiliki lagu-lagu yang bisa diterima pasar,

namun dalam penggarapan album, mereka tidak melibatkan major label

atau perusahaan rekaman yang telah memiliki nama.

Menurut Wendi Putranto, seorang editor majalah Rolling Stone (dikutip

dari tesis Nando, 2012), perkembangan musik indie di Indonesia

menghasilkan beberapa dampak. Dampak pertama adalah munculnya

berbagai band yang dibesarkan secara indie dan mulai menjadi besar dan

kian mapan, seperti PAS Band, Naif, Superman Is Dead, Maliq &

D'Essentials, Mocca, dan lain sebagainya. Lalu dampak kedua adalah

perbaikan selera musik masyarakat secara keseluruhan, yang sempat

diperburuk kembali dengan adanya band mainstream dengan lagu-lagu

bertema cinta dan patah hati yang dibuat dengan pengulangan chord

mayor dan minor tanpa melakukan terobosan baru pada struktur

musiknya. Musik indie kemudian hadir sebagai alternatif yang lebih baik

di antara sesaknya musik-musik mainstream. Dampak yang ketiga adalah

akan berkembangnya indie label yang didukung oleh major label. Label

indie mulai bangkit dengan semakin banyaknya label indie yang

bermunculan dan semakin seriusnya label rekaman independen dalam

berbisnis dan berpromosi. Dan dampak yang terakhir adalah lahirnya

generasi pendengar musik-musik indie.

12
Dikutip dari Katharine McGwin (2013), Hebdige adalah orang pertama

yang menerapkan subkultur pada komunitas musik, dan memfokuskan

pendekatannya pada pemahaman budaya sebagai cara hidup yang

mencakup berbagai kegiatan sosial, makna, nilai, kepercayaan, institusi,

dan komoditas. Dia menjelaskan bahwa budaya adalah produk dari

"konfigurasi budaya" tertentu seperti jenis kelamin, etnis, dan usia, dengan

kelas menjadi faktor mediasi paling signifikan yang menentukan kegiatan

budaya individu. Dia mengidentifikasi bahwa subkultur bertindak sebagai

solusi untuk masalah atau kontradiksi dalam budaya dominan, berfungsi

sebagai cara bagi anggotanya untuk melawan melalui ritual dan gaya.

Hebdige, dengan prespektif subkultur yang sama dari Pusat Studi

Budaya Kontemporer (Centre of Contemporary Cultural Studies), adalah

orang pertama yang menerapkan istilah ini pada subkultur musik. Seperti

yang disebutkan sebelumnya, pendekatan Hebdige memperlakukan

subkultur sebagai solusi untuk masalah atau kontradiksi dalam budaya

dominan, dan berfungsi sebagai cara bagi anggotanya untuk melawan,

yang mereka lakukan melalui ritual dan gaya. Dalam pendekatan ini, gaya

adalah dasar utama untuk budaya, di mana objek dan praktik budaya dapat

dilihat dalam cara anggota berbicara, berperilaku, dan berpakaian.

Bagi anggota subkultur, identitas sosial adalah hal yang berharga, dan

untuk mendapatkannya, seringkali mereka akan berupaya untuk dapat

13
membiasakan diri dengan simbol, nilai, dan perilaku yang ada dalam

subkultur tersebut (Green & Jones, 2006).

Mall (2006) dalam Katharine McGwin (2013) melakukan studi inovatif

di mana ia memeriksa berbagai nilai budaya komunitas musik independen.

Ia menemukan empat nilai spesifik yang menjadi ciri subkultur indie, yaitu

(1) penikmat, yang dapat digambarkan seperti menemukan sebuah album

lama dan muali mempelajari tentang latar belakang band yang terkait

dengan subkultur tersebut; (2) prinsip do-it-yourself (DIY), yang

menekankan pentingnya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari arus

utama; (3) jejaring sosial, di mana jejaring ini berfungsi untuk

mengotentikasi musisi dan non-musisi yang terkait dalam komunitas

tersebut; dan (4) partisipasi aktif dari non-musisi atau anggota komunitas,

di mana individu-individu dalam komunitas, yang tidak memproduksi

musik, secara aktif berpartisipasi dalam komunitas dengan berbicara

tentang band-band yang mereka dengarkan dan konser-konsernyang akan

mereka lihat. Dan faktanya, dalam beberapa subkultur, ada partisipasi aktif

dari semua anggota, partisipasi yang disebut sebagai "konsumerisme

kreatif," di mana anggota dapat menjadi konsumen sekaligus produsen

(Katharine McGwin, 2013).

14
B. Zine sebagai Media Alternatif

Merujuk pada akibat yang disebabkan oleh praktik konglomerasi media,

masyarakat sipil terpaksa membuat agenda untuk menciptakan suatu

model alternatif dalam industri media. Beragam elemen masyarakat sipil

dalam berbagai isu dengan ragam komunitas menyusun agenda media

masing-masing. Salah satu agendanya adalah keinginan untuk

menciptakan media alternatif yang mandiri, independen, mengamalkan

demokrasi serta dapat menantang konglomerasi (Eni Maryani, 2018).

Media alternatif kemudian muncul sebagai bentuk demokratisasi

informasi dari media mainstream yang cenderung bias dan memiliki

banyak kepentingan. Media alternatif sekaligus menjadi jawaban atas

dominasi budaya arus utama yang membosankan dan dianggap telah

mendiktekan kriteria budaya, moral, dan nilai dalam masyarakat (Idhar

Resmadi, 2018:162).

Sebuah media dapat dikategorikan sebagai media alternatif apabila

ditinjau dari beberapa aspek, yakni (1) memiliki susunan organisasi yang

relatif kecil, biasanya berupa komunitas, (2) memiliki konten yang berbeda

dengan media mainstream karena konten media alternatif lebih

disesuaikan dengan kebutuhan informasi dari komunitas tersebut, dan (3)

dalam pengelolaannya, media alternatif cenderung berbasis kolektif dan

non-komersil (Idhar Resmadi, 2018:161).

15
Media komunitas dapat dikategorikan sebagai media alternatif karena

selalu merepresentasikan ide dan gagasan alternatif dari komunitas

tertentu. Sullivan (Idhar Resmadi, 2018: 161) mengungkapkan alasan

umum mengapa media komunitas dapat dikategorikan sebagai media

alternatif, yakni:

“Community media may also sometimes be classed as alternative in that

they frequently represent groups who feel that their viewpoints and

concerns are not sufficiently represented within existing local and

national media”.

Pawito (2007) mengatakan bahwa media komunitas (community media)

merupakan jenis media (cetak maupun elektronik) yang hadir di dalam

lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu dan dikelola dan

diperuntukkan bagi warga komunitas tertentu. Pernyataan tersebut

didukung oleh definisi media komunitas yang disampaikan oleh Committee

on Media and Culture European Union 2004-2009 (Rochmad Effendy, 2012),

media yang bertanggung jawab kepada komunitas dan tidak berorientasi

pada keuntungan. Media ini terbuka terhadap partisipasi anggota

komunitas dalam menciptakan isi konten.

John Fiske (Idhar Resmadi, 2018:158) membagi pers dalam tiga jenis yang

berbeda, yaitu quality press, popular press, dan alternative press. Quality press

dan popular press berwujud media-media mainstream karena produksi

16
kontennya melalui proses yang objektif, terstruktur, dan memiliki kemasan

yang lebih bagus. Sementara alternative press dicirikan dengan pemberitaan

yang lebih radikal, cenderung anti-mainstream, dan selalu kritis terhadap

praktik budaya dominan. Salah satu contoh media alternatif yaitu zine.

Berdasarkan telusuran kamus etimologi, zine mulanya dikenal sebagai

kependekan dari fanzine atau magazine, sebuah self-published sederhana.

Zine yang dibuat pertama kali, yang konon dianggap sebagai perintis,

adalah The Comet yang terbit di Amerika Serikat pada 1930. Zine ini dibuat

oleh dua creator tokoh Superman, Raymond Palmer dan Walter Dennis.

Singkat cerita, saat itu cukup banyak publikasi karya fiksi ilmiah yang

beredar dan zine hadir sebagai wadah bagi para penggemar untuk

mengungkapkan kesan dan suara alternatifnya. Di The Comet edisi

pertama itu, Science Correspondence Club terpampang sebagai judul (dikutip

dari portal online Jurnal Ruang, 2018).

Perkembangan budaya zine makin bergeliat sejak komunitas punk di

Inggris dan Amerika menjadikannya sebagai media untuk menyebarkan

ide dan gagasan mereka pada tahun 1970-an. Zine yang terbit pada saat itu

hanya berisi tentang musik, kultur musik, dan skena musiknya. Hal-hal

yang bersifat politis kemudian masuk dan mempengaruhi perkembangan

zine selanjutnya (Idhar Resmadi, 2018:159).

17
Zinesters (kelompok yang pembuat zine) menerbitkan zine dengan

berbagai alasan, seperti mengekspresikan diri dan mencurahkan

kreativitas, membangun jaringan dan komunitas, hingga sebagai bentuk

resistensi budaya dan aspirasi kritik sosial dan politik (Schilt and Zobi,

dalam Idhar Resmadi, 2018: 160). Sedangkan Duncombe (Idhar Resmadi,

2018: 160) mendefinisikan zine sebagai sebuah media yang dikelola secara

non-komersil, non-profesional, dan biasanya sangat terbatas peredarannya

dalam satu komunitas tertentu. Dalam perspektif Duncombe, semua zine

mengemukakan persoalan yang serupa, yakni identitas, komunitas,

kegiatan kerja, pencarian, autentisitas, dan politik budaya alternatif. Media

ini muncul dan digunakan oleh komunitas untuk berbagi informasi seputar

komunitas dan kegemarannya. Zine paling banyak ditemui diberagam

komunitas musik. Zine kemudian menjadi sarana untuk membagikan

informasi soal wacana sosial-politik, dan musik antar-anggota komunitas.

Namun sayangnya, zine-zine musik ini mulai tumbang satu persatu.

Alasannya sangat beragam, mulai dari manajemen yang belum solid dan

masih kurang professional, persoalan finansial, hingga terpaan internet dan

media sosial. Dalam hasil skripsi Soleh Solihun (Idha Resmadi, 2018:168)

menegaskan bahwa media musik–terutama media cetak–tidak akan dapat

bertahan lama. Geliat zinesters pada era digital terasa sangat berkurang

dengan siginifikan karena adanya terpaan dari internet dan media baru.

18
C. Keintiman Zine dengan Anggota Komunitas

Zine menawarkan kesan intim dan personal kepada pembacanya

melalui bentuk-bentuk kontennya yang beragam, seperti foto, kolase,

ilustrasi, dan tulisan-tulisan di dalamnya yang dibuat sendiri oleh zinesters.

Sentuhan personal itulah yang akhirnya membuat zine dapat bertahan

sebagai media komunitas karena menawarkan material fisik yang tidak

dapat ditawarkan dalam bentuk daring (Idhar Resmadi, 2018:169).

Piepmeier (2008) menjelaskan bahwa material fisik zine dapat

menciptakan koneksi yang intim antar-anggota komunitas. Itulah mengapa

pola relasi yang terbentuk melalui zine dapat sangat kuat. Relasi yang

terbentuk berdasarkan sukarela, tanpa pamrih, dan mengusung nilai

kebersamaan. Keintiman itu membuat zine kini menjadi media personal

yang menarik untuk komunitas. Peipemeier juga menjelaskan alur relasi

zine yang dapat membentuk suatu komunitas yang solid,

“Zinesters value the bands between the zines artist and zines writers,

what he or she is drawing, and the person reading the zine. Instead of

emulating the slickness of the commercial mass media … the illustration

in zines are more reminiscent of the doodles and sketches in the margins

of a personal letter: a style of intimate commection. Most zinesters reject

the commercial aesthetic because they reject the ideology of commercial

mass media; rather than positioning readers as consumers, as a

19
marketplace, the zine positions them as a friend, equals, members of an

embodied community who are part of a conversation with the zinesters,

and the zine aesthetic plays a crucial role in this positioning.”

Keintiman zine itu sendiri tidak dapat digantikan oleh media cetak

lainnya, seperti buku, jurnal, ataupun majalah. Zine benar-benar menjadi

media yang sangat personal. Kita dapat merasakan gagasan, keresahan,

atau ekspresi sang pembuat zine. Membaca zine memang lebih seperti

membaca surat dari sahabat dibandingkan mengonsumsi informasi dari

media massa (Idhar Resmadi, 2018:169).

D. New Media dan Webzine

Straubhaar dan LaRose (Kinkin Yuliaty, 2018) mencatat bahwa adanya

perubahan terminologi yang menyangkut media. Perubahan itu berkaitan

dengan perkembangan teknologi, cakupan area, produksi massal,

distribusi massal, sampai pada efek yang berbeda dengan apa yang ada di

media massa. Keberadaaan media baru seperti internet bisa melampaui

pola penyebaran pesan media tradisional. Sifat internet yang memiliki

cakupan luas hingga mengaburkan batas geografis, dapat memaksimalkan

kapasitas interaksi dan dapat dilakukan secara real time.

Meyrowitz (Nasrullah, 2014) mengungkap bahwa lingkungan media

baru (cyberspace) telah membawa tawaran pemikiran baru terhadap riset

media yang tidak hanya berfokus pada pesan semata, tetapi mulai

20
melibatkan teknologi komunikasi itu sendiri yang secara langsung maupun

tidak memberikan fakta bahwa perangkat komunikasi berteknologi itu

merupakan salah satu bentuk dari lingkungan sosial. Tidak hanya dapat

dilihat sebagai media dalam makna teknologi semata, tetapi media baru

memiliki makna lain yang muncul seperti budaya, politik, dan ekonomi.

Pada awal tahun 2000, media internet memberikan dampak yang cukup

besar. Akses internet memberi alternatif bagi komunitas underground untuk

mengekspresikan diri. Fasilitas seperti blogspot dan wordpress

memungkinkan siapa saja menuangkan gagasan serta ide secara bebas di

dunia maya. Pergeseran bentuk media ini memberi dampak pada bentuk

fisik media seperti zine dan majalah yang aktualisasinya telah digantikan

oleh media baru (dikutip dari portal online Socamedia, 2018).

Merebaknya penggunaan media internet ini sekaligus menjadi pemicu

kemunculan zine-zine baru yang memang difokuskan pada media internet

saja, seperti webzine dan e-zine. Zine-zine ini tidak lagi membutuhkan

kertas, gunting, koran bekas, lem dan tinta dalam pembuatannya. Zine ini

telah bertransformasi ke platform digital yang dapat diakses oleh semua

orang tanpa batas. Hal yang membedakan antara webzine dan e-zine

adalah webzine berbasis website dan tampilannya hanya dapat dilihat

melalui jaringan internet, sedangkan e-zine dapat diunduh, digandakan,

dan disimpan sebagai file data (Irwan Bajang, 2011).

21
E. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini berfokus pada peran media komunitas online bernama

Ronascent sebagai ruang eksistensi bagi pelaku musik indie di Surabaya

melalui portal online beralamat www.ronascent.biz.

Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu dengan pembahasan

serupa, seperti perbedaan waktu penelitian, tempat pelaksanaan hingga

fokus objek penelitian. Diharapkan penelitian ini dapat menambahkan

informasi dan referensi terkait media komunitas, khususnya untuk

komunitas musik indie, dalam era new media.

Berdasarkan dari penelitian sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan

bahwa musik indie bermula dari pemberontakan kultural pada label

mainstream, yang pada akhirnya menciptakan subkultural musik indie, di

mana ada beberapa kelompok yang membuat label rekaman mereka dan

mempublikasikannya secara independen karena perbedaan idealisme

yang dianut oleh anggota subkultur musik indie dan label mainstream.

Untuk menciptakan identitas baru, para anggota subkultur pun

membuat fanzines ekonomis yang dipublikasikan ke khalayak dengan

bantuan artis dan label independen. Fanzines adalah media komunitas

kovensional berupa majalah yang sekarang berkonvergensi menjadi

website, seperti www.ronascent.biz.

22
Tabel 2.1 Daftar Penelitian Terdahulu

Metode
No. Penulis Judul Tujuan Penelitian
Penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi
subkultur musik
independen yang berkaitan
Music dengan genre musik indie,
Subcultures karena ini adalah genre
Online: The Indie populer dalam bidang yang
Katharine Folk Scene and diminati di lingkungan
1. Kualitatif
McGwin How Facebook Providance, Rhode Island.
Influences Tujuan lainnya adalah
Participation untuk mengidentifikasi
(2013) bagaimana situs jejaring
sosial, Facebook, dapat
berperan dalam subkultur
rakyat indie yang
diidentifikasi.
Pada penelitian ini, peneliti
menarik kesimpulan dari
perbandingan konsep
Gerakan Sosial Baru (GSB)
yang dipaparkan oleh
Gerakan Sosial Singh, Touraine dan Jasper
Gunawan Baru pada Musik: sebagai unit analisis yang
Wibisono, Studi Etnografi disesuaikan dengan praktik
2. Kualitatif
Drajat Tri pada Band sosial Navicula. Unit
Kartono Navicula analisis GSB itu di
(2016) antaranya pesan yang
disampaikan, paradigma
baru aksi kolektif, refleksi
pemberontakan kultural
dan efek gerakan.

23
Penelitian ini bertujuan
Musik Indie
untuk mengetahui bentuk
Sebagai
dan warna musik atau
Perlawanan
genre dari grup Mocca
Terhadap Industri
ketika ikut meragamkan
Musik
industri musik Indonesia
Mainstream
dan mengetahui bentuk
3. Naldo Indonesia (Studi Kualitatif
resistensi band Mocca
Kasus Resistensi
dalam perjuangannya
Band Mocca
dengan warna musik yang
Dalam Menyikapi
bertolak-belakang dengan
Industri Musik
industri musik pop
Indonesia)
Indonesia yang bisa
(2012)
diterima oleh masyarakat.

24
F. Kerangka Berpikir

Media Alternatif Zine

Musik Indie

Media Baru

Webzine

Ronascent

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Rachmat Kriyantono (2006:48) mengatakan bahwa istilah lain dari

perspektif adalah pendekatan. Ada dua sifat pendekatan, yaitu bersifat

membatasi padangan kita dan bersifat selektif. Mulyana (Rachmat

Kriyantono, 2006:48) turut menyampaikan jika jenis perspektif atau

pendekatan yang disampaikan oleh teoretisi bergantung pada bagaimana

teoretisi itu memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka.

Perbedaan pendekatan ini pada dasarnya adalah perbedaan penafsiran

tentang apa itu realitas dan bagaimana kedudukan manusia dalam realitas

tersebut.

Pendekatan akan menentukan jenis metodologi riset. Menurut

Suriasumantri (Rachmat Kriyantono, 2006:49), metodologi adalah ilmu

yang mempelajari prosedur atau teknik-teknik tertentu, dan juga

merupakan suatu pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat

dalam metode riset. Sedangkan metode merupakan suatu prosedur atau

cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang

sistematik. Sedangkan metode merupakan suatu prosedur atau cara

mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematik.

26
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian

dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki

suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti

menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat

antara peneliti dan subjek yang diteliti (Noor, 2011:34).

Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan suatu fenomena

dengan sedalam-dalamnya berdasarkan kedalaman (kualitas) dan bukan

banyaknya (kuantitas data) (Rachmat Kriyantono, 2006:57). Penelitian

kualitatif berangkat dari teori menuju data, memanfaatkan teori yang ada

sebagai bahan penjelas, dan berakhir pada penerimaan atau penolakan

terhadap teori yang digunakan (Noor, 2011:34).

3.2 Metode Penelitian

Pendekatan kualitatif dikenal memiliki beberapa metode penelitian,

antara lain focus group discussion (FGD), wawancara mendalam (indepth

interview), studi kasus, dan observasi. Selain itu, ada juga metode analisis

isi kualitatif, framing, semiotika, maupun analisis wacana (dikutip dari

tesis Nando, 2012).

Menurut Rachmat Kriyantoro (2006:65), studi kasus adalah metode

riset yang menggunakan berbagai sumber data yang dapat digunakan

untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif

27
berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau

peristiwa secara sistematis. Karena itulah, metode studi kasus dapat

menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipan, dokumentasi,

hasil survei, dan bukti lainnya sebagai sumber data.

Untuk dapat memahami Ronascent sebagai media komunitas penyedia

ruang eksistensi untuk pelaku musik indie di Surabaya, maka jenis

penelitian ini adalah studi kasus. Jenis penelitian ini memungkinkan untuk

didapatkannya data yang menyeluruh dengan mengungkap semua

variabel yang dapat menyebabkan terjadinya kasus ini dari berbagai

aspek, seperti pengamatan mengapa individu melakukan apa yang dia

lakukan, bagaimana tingkah lakunya, dan apa pengaruhnya terhadap

lingkungan (Noor, 2011:35).

3.3 Objek Penelitian

Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah media komunitas online

di Surabaya, yakni Ronascent. Semua bagian dari berbagai perspektif di

dalam Ronascent dilihat sebagai sebuah data. Pihak-pihak yang terkait

dalam Ronascent akan dipilih secara sengaja untuk menjadi narasumber.

Namun, agar penelitian ini memiliki sumber yang berlimpah, akan ada

beberapa pihak lain seperti anggota subkultur, pelaku, atau pengamat

musik indie yang juga akan menjadi narasumber. Dengan memiliki banyak

28
sudut pandang yang berbeda, diharapkan akan mendapatkan data yang

valid dan dapat dikonfirmasi.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik

pengumpulan data. Teknik Triangulasi berarti menggunakan teknik

pengumpulan data yang berbeda-beda demi mendapatkan data dari

sumber yang sama. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam,

observasi partisipatif pasif, dan dokumentasi-dokumentasi untuk

mendapatkan data yang kaya dari sumber data yang sama secara

serempak. Menurut Susan Stainback (1988), tujuan dari teknik triangulasi

data bukan mencari kebenaran tentang beberapa fenomena yang terjadi,

tetapi lebih pada peningkatan pemahaman terhadap apa yang diteliti.

Penelitian ini akan menggunakan observasi pada setiap kegiatan yang

diselenggarakan ataupun diikuti oleh tim redaksi Ronascent. Dengan

melakukan wawancara mendalam pada pihak Ronascent yang dipilih

menjadi narasumber, maka akan diperoleh data yang kaya dan mendalam

perihal peran Ronascent sebagai ruang eksistensi bagi pelaku musik indie

di Surabaya. Hasil wawancara tersebut didokumentasikan dengan

rekaman audio, transkrip, dan foto.

29
3.5 Sumber Data

3.5.1 Observasi Partisipatif

Observasi partisipatif mengamati apa yang dikerjakan seseorang

atau suatu kelompok, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan

berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Namun, penelitian ini akan

melakukan partisipasi pasif, yaitu pengamatan dengan datang ke tempat

kegiatan objek yang dikaji, dalam hal ini adalah kantor Redaksi

Ronascent, namun tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut (Susan

Stainback, 1988). Kantor Redaksi Ronascent sendiri berada di Jalan

Ngagel Dadi V No. 54, Surabaya.

3.5.2 Wawancara Mendalam

Esterberg (Sugiyono, 2011) mendefinisikan wawancara sebagai

pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik

tertentu. Ada beberapa macam wawancara yang bisa digunakan dalam

melakukan penelitian ini, namun penelitian ini hanya akan

menggunakan wawancara wawancara mendalam (indepth interview)

(Sugiyono, 2011). Tujuan dari wawancara mendalam adalah untuk

menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang

diajak wawancara diminta pendapat serta ide-idenya.

30
Dalam wawancara diperlukannya daftar pertanyaan maka peneliti

akan menggunakan daftar pertanyaan tertutup dimana informan tidak

mengetahui pertanyaan peneliti. Hal ini bertujuan agar data yang

disampaikan oleh informan merupakan data yang sebenarnya.

Wawancara ini akan dilakukan dengan beberapa narasumber, yakni

Founder Ronascent, dan salah satu perwakilan band indie di Surabaya.

3.5.3 Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan pengumpulan dokumen-dokumen

dan data-data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu

ditelaah secara intens sehingga dapat menambah pembuktian dan

mendukung kepercayaan dari suatu kejadian (Satori, 2009: 149).

Dokumen yang dimaksud dalam hal ini adalah foto dokumentasi

berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh Ronascent, arsip statistik

situs ronascent.biz, rekaman wawancara, dan bukti foto saat wawancara.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahap berikutnya yang dilakukan peneliti

guna mencari, menata, dan merumuskan kesimpulan secara sistematis

dari hasil wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Teknik analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tekhnik analisis model

interaktif milik Miles dan Huberman, di mana aktivitas dalam analisis data

31
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-

menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh (Sugiyono, 2011). Ukuran

kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau

informasi baru. Teknik analisis data model interaktif menurut Miles dan

Huberman terdiri atas tiga tahapan, yaitu:

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar

yang muncul dari catatan tertulis peneliti di lapangan (Pawito, 2008).

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan beberapa tahap dalam

mereduksi data, yakni:

1. Peneliti mengumpulkan semua data yang diperoleh, baik

itu transkrip wawancara, hasil observasi dan juga

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah

penelitian ini menjadi data tertulis.

2. Peneliti menyusun data-data yang relevan dengan masalah

penelitian untuk kemudian dikelompokkan dan disusun

berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang telah

ditentukan sebelumnya.

32
3. Peneliti menyusun konsep-konsep serta penjelasan

berkenaan dengan kelompok data yang diperoleh saat

penelitian.

b. Penyajian Data

Penelitian ini akan menyajikan data dalam bentuk teks uraian yang

mendeskripsikan, tabel, dan sejenisnya yang berkaitan dengan

anggota subkultur musik indie yang telah direduksi sebelumnya.

Seiring dengan pendapat Miles dan Huberman yang menyatakan

bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif

(Sugiyono, 2011).

c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Kesimpulan merupakan ringkasan dan sintesis dari hasil analisis

dan interpretasi data. Sementara itu, verifikasi yang dilakukan yaitu

dengan cara memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang catatan

dilapangan, dan bertukar pikiran dengan orang lain (Sugiyono,

2011).

33
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Antonius, Mario. dkk. 2016. Pergulatan Media Komunitas di Tengah Arus
Media Baru. Yogyakarta: Combine Resource Institution.
Castells, M. 2010. The rise of the network Society (2nd edition.). London,
UK: Wiley-Blackwell Publishing Ltd.
Hebdige, D. 1979. Subculture: The meaning of style. Padstow, ENG: TJ
International Ltd.
Hess, Kristy & Lisa Waller. 2016. Local Journalism in a Digital World.
London: Red Globe Press.
Jenkins, H. 2006. Convergence culture: Where old and new media collide.
New York, US: University Press.
John, Vivian. 2008. Teori Komunikasi Edisi Kedelapan. Jakarta: Prenanda
Media Grup.
Kertajaya, Hermawan. 2008. Arti Komunitas. Bandung: Gramedia Pustaka.
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:
Kencana, Prenamedia Group.
Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Isi Media
Televisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kruse, Holly. 1993. Popular Music: Subcultural Identify in Alternative
Music Culture. UK: Cambridge University Press.
L. Rivers, William. et.al. 2004. Media Massa & Masyarakat Modern,
terjemahan Haris Munandar & Dudy Priatna. Jakarta: Prenada
Media.
McLuhan, M. 2002. Understanding media - The extensions of man. London,
UK: Roudledge.
McLuhan, M. 2011. The Gutenberg galaxy - The making of typographic
man. Toronto, Canada: University of Toronto Press.
McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa McQuail, Edisi 6 Buku 1.
Jakarta: Salemba Humanika.
Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi &
Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana, Prenamedia Group.
Pawito. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi
Aksara.
Resmadi, Idhar. 2008. Music Records Indie Label. Jakarta: Dar Mizan.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif R&D.
Bandung: Alfabeta.
van Dijk, J. 2005. The network society: Social aspects of new media. London,
UK: Sage Publications Ltd.

Jurnal
Effendy, Rochmad. 2012. Jurnal Komunikator Vol 4. (1): Peran Radio
Komunitas dalam Menumbuhkembangkan Civic Community.
Universitas Merdeka Malang.
Kruse, Holly. 2010. Popular Music and Society Vol. 33(5): Local Identity and
Independent Music Scenes, Online and Off. UK: Routledge.
Maryani, Eni dan Justito Adiprasetio. 2018. Jurnal Kajian Komunikasi, Vol.
6 (2): Literasi.co sebagai Media Alternatif dan Kooperasi Akar
Rumput. Universitas Padjajaran.
McGwin, Katharine. 2013. Music Subcultures Online: The Indie Folk Scene
and How Facebook Influences Participation. University of Rhode
Island.
Neely, Jeffrey C. 2015. International Journal of Communication 9: Building
Voices: Teens Connect to Their Communities Through Youth
Journalism Websites. USA: University of Tampa.
Pawito. 2007. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 4(2): Media Komunitas dan
Media Literacy. diterbitkan melalui situs online, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
Piepmeier, Alison. 2008. American Periodicals Vol. 18(2): Why Zines
Matter: Materiality and the Creation of Embodied Community. Ohio
State University Press.
Puspita, Yesi. 2015. “Pemanfaatan New Media dalam Memudahkan
Komunikasi dan Transaksi Pelacur Gay”. Jurnal Pekommas. Vol. 18
(3): hal. 204.
Ross, Tara. 2017. Journal of Alternative and Community Media, vol. 2:
Talking about identity, community and belonging: The locative
practices of Pacific news media in Aotearoa New Zealand. New
Zealand: University of Canterbury.
Wibisono, Gunawan & Drajat Tri Kartono. 2016. Jurnal Analisa Sosiologi:
Gerakan Sosial Baru pada Musik: Studi Etnografi pada Band
Navicula. Universitas Sebelas Maret.
Williams, J.P. 2006. Authentic identities: Straightedge subculture, music,
and the Internet. Journal of Contemporary Ethnography, 35(2).
Yuliaty, Kinkin. 2018. Literasi Media Baru Dan Budaya Baru di Masyarakat
Indonesia. Universitas Negeri Jakarta.

Skripsi/Tesis
Adam, Sigit Triputra. 2018. Strategi Komunikasi Pemasaran Band Indie
Scarhead Barricade. Universitas Tadulako.
Naldo. 2012. Musik Indie Sebagai Perlawanan Terhadap Industri Musik
Mainstream Indonesia. Universitas Indonesia.
Sari, Yofi Aprillia. 2015. Budaya Dan Pola Hidup Group Band Indie (Studi
Etnografi Komunikasi Pada Group Band Indie Goodbye High
School). Universitas Telkom.

Rujukan dari Internet


Ayo Rek. 2013. Ronascent Compilation vol. 1, kaleidoskop musik Surabaya
2013 (Online), (http://ayorek.org/2013/12/ronascent-compilation-
vol-1-kaleidoskop-musik-surabaya-2013/#sthash.nOl2AdPG.dpbs,
diakses pada 25 Juni 2019).
Irwan Bajang. 2011. Ptah! Zine Vol. 3: Sastra, Punk, Indie Dan Logika Fiksi
(Online), (https://irwanbajang.com/2011/10/sastra-punk-dan-
media-alternatif/ , diakses pada 29 Juli 2019).
Jurnal Ruang. 2018. Zine: Dari Penggemar ke Media Independen (Online),
(https://jurnalruang.com/read/1538560691-zine-dari-klub-
penggemar-ke-media-independen , diakses pada 28 Juli 2019).
Remotivi. 2016. Optimisme Media Komunitas Di Era Media Baru (Online),
(http://www.remotivi.or.id/amatan/258/Optimisme-Media-
Komunitas-di-Era-Media-Baru, diakses 14 Januari 2019).
Socamedia. 2018. Zine : Sebuah Media Literasi Independen (Online),
(https://socamedia.id/artikel/zine-sebuah-media-literasi-
independen , diakses pada 28 Juli 2019).
Times Indonesia. 2016. Media Online Telah Menjadi Rujukan Informasi
Utama Masyarakat (Online),
(https://www.timesindonesia.co.id/read/120143/20160306/00154
6/media-online-telah-menjadi-rujukan-informasi-utama-
masyarakat/, diakses 8 Januari 2019).
Vice. 2016. Kebebasan dari Mesin Fotokopi: Telaah Singkat Budaya Zine
Indonesia (Online),
(https://www.vice.com/id_id/article/nznny7/kebebasan-dari-
mesin-fotokopi-telaah-singkat-budaya-zine-indonesia , diakses 28
Juli 2019).

Anda mungkin juga menyukai