Disusun Oleh:
Penyusun
DAFTAR ISI:
1. Kata Pengantar
2. Daftar Isi
3. Pendahuluan:
I. Latar Belakang
II. Tujuan
III. Metode Penulisan
IV. Sistematika Penulisan
4. Pembahasan:
I. Apa/Siapa Homicide
II. Dimana Homicide Berkembang
III. Kapan Homicide Berkembang
IV. Bagaimana Homicide Mengelola Musik Mereka
V. Mengapa Homicide Membuat Musik Rap Politik
VI. Kajian Teks dan Konteks Homicide
Musik adalah salah satu cabang seni yang sangat dekat dengan kehidupan kita.
Bahkan sejak kita masih bayi, mungkin, kita sudah dikenalkan dengan ‘seni musik’
oleh ibu kita, yaitu lewat nyanyian-nyanyian sederhana, misalnya: lagu Nina Bobo,
Pelangi, Pak Pos, dan banyak lagi. Nyanyian-nyanyian itu juga menyemarakkan hidup
kita hingga memasuki masa pendidikan prasekolah maupun awal-awal sekolah.
Selama pendidikan sekolah formal maupun di lingkungan kita masing-masing, kita
pun selalu dikenalkan nyanyian-nyanyian yang makin lama makin rumit seiring
dengan makin bertambahnya tingkat pendidikan kita. Musik yang kita kenal pun
bukan lagi hanya sekedar musik vokal tapi, lebih dari itu, kita pun mengenal
instrumen-instrumen musik baik itu instrumen ritmis maupun melodis. Dan musik
akan selalu mengiringi hidup kita hingga kita dewasa bahkan hingga kita kembali ke
pangkuan-Nya. Musik yang kita kenal pun tidak terbatas sebagai sarana hiburan saja
melainkan juga musik sebagai salah satu bagian dari sebuah kebudayaan dari suatu
bangsa, musik sebagai salah satu bagian dari ritus keagamaan, musik sebagai sarana
peluap emosi, dan sebagainya. Lebih dari semua hal diatas, musik adalah bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari suatu kebudayaan. Lahirnya dan berkembangnya suatu
kebudayaan oleh manusia sudah dipastikan tidak akan terlepas dari unsur musik.
Pendek kata, setiap kebudayaan pasti memiliki musik tersendiri. Jadi sekali lagi dapat
disimpulkan bahwa manusia tidak akan bisa terlepas dari musik.
Tapi yang perlu mendapat perhatian dan sekaligus menjadi keprihatinan yang
mendasar adalah bahwa musik di Indonesia selama ini hanyalah sebagai hegemoni
hiburan. Dan yang perlu Kita sikapi adalah musik Indonesia terlalu berorientasi
sebagai sebuah komoditas industri yang pada akhirnya dengan orientasi tersebut
seolah menghilangkan fungsi esensi musik yang sebenarnya. Lantas musik tersebut
dihidangkan dengan berbagai macam epigon dan keseragaman atas nama selera pasar,
dan sayangnya para penikmat musik Indonesianya sendiri menganggap keseragaman
ini sah-sah saja dan ikut terbawa Arus menikmati musik pasaran ini. Salah satu alasan
akan hal ini adalah bahwa Mereka yang mendengarkan musik tersebut dibawa masuk
oleh lapis “efek-efek” individual yang membungkus standarisasi musik dan membuat
pendengar menganggap apa yang Mereka dengar sebagai sesuatu yang berbeda dan
Baru.1 Padahal sebenarnya diluar keseragaman musik yang bertendensi pada
pencarian profit tersebut, serta musik yang hanya berorientasi hiburan. Ternyata
masih ada musik yang digunakan sebagai penyampai pesan dan media resistensi.
Menurut Theodor Adorno dalam keseragaman musik yang berorientasi sebatas
komoditas dan hiburan selalu masih ada beberapa pihak yang menggunakan musik
untuk sesuatu yang lebih. Adorno menyebutnya “Elitisme.” Adorno menerangkan
elitisme disini sebagai sebagian kecil dari Mereka yang terpilih dan tercerahkan,
dengan cara melaksanakan berbagai praktek intelektual dan kultural dalam musik
Mereka, bisa memisahkan diri dari berbagai macam aktivitas massa sehingga bisa
melawan kekuatan Industri budaya.2
II. Tujuan
Karena itulah penulis merasa perlu mengangkat isu ini, bahwa selain musik yang
berorientasi industri budaya dan hiburan dangkal ini, masih ada segelintir musisi
intelek dan cerdas yang menggunakan musik mereka sebagai media resistensi akan
ketidakadilan atau ketidakberesan dalam sistem politik dan sosial Indonesia. Dan
salah satu dari segelintir musisi ini adalah sebuah grup hip-hop/rap politik asal
Bandung bernama Homicide.
1
Theodor Adorno. (1991) The Culture Industry, Hal. 302. Seperti dikutip Dominic Strinati dalam
Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. (2004) hal. 74: Bentang, Yogyakarta.
2
Makalah ini dibagi menjadi 2 bab utama yakni pendahuluan yang didalamnya
dijelaskan latar belakang masalah musik Indonesia yang epigon dan sebagai hiburan
dangkal berorientasi industri budaya serta penjelasan adanya musik lain yang
digunakan sebagai penyampai pesan dan media resistensi. Dan pembahasan yang
didalamnya menjelaskan mengenai Homicide, sejarah berdirinya, dan lain sebagainya.
Juga ditambahkan kesimpulan dan penutup, serta daftar pustaka sebagai bab
tambahan.
PEMBAHASAN
I. Apa/Siapa Homicide
Homicide adalah sebuah grup musik hip-hop/rap yang berasal dari Bandung,
Jawa Barat. Yang pada awalnya bernama Verbal Homicide atau jika diterjemahkan ke
bahasa Indonesia kurang lebih berarti “Pembunuhan lisan.” Pemilihan nama itu
dimaksudkan sebagai simbol bahwa pada masa ketika Homicide berkembang terjadi
pembunuhan lisan oleh penguasa kepada rakyatnya hingga tak boleh mengungkapkan
pendapat secara bebas. Namun pada perkembangannya nama Verbal Homicide yang
dirasa terlalu panjang dirubah hanya menjadi Homicide saja. Grup ini berkembang
dalam skena Indie lokal Bandung, meski tidak terlampau terkenal secara nasional dan
hanya dikenal oleh segelintir pihak saja, justru Homicide bisa dibilang sebagai salah
satu artis hip-hop terbaik di Indonesia. Jurnal Inside Indonesia yang terbit di Australia
menulis Homicide sebagai band hip hop veteran yang “overtly political and with their
aggressive style and confrontational on-stage oration, Homicide has collected a loyal
fan base and a notorious reputation.” The Jakarta Post menulis band Ucok tersebut
sebagai band paling cerdas (cerebral) yang pernah muncul di belantika musik
Indonesia dan album mereka Nekrophone Dayz: Remnants and Traces from the Days
Worth Living masuk sebagai album terbaik Indonesia dekade pertama abad 21. 3
Apa yang membuat Homicide pantas dinobatkan menjadi grup hip-hop/rap
terbaik di Indonesia? Tak lain adalah karena pemilihan tema tak biasa dalam lagu-
lagu Mereka. mereka tidak bicara tentang memble, atau bling bling, atau So What
Gitu loh, atau Ngentot, atau tipikal lirik-lirik band Hiphop Kacangan. Mereka lebih
suka bicara neoliberalisme dan bahayanya untuk negeri ini, tentang kapitalisme busuk
korporasi multinasional yang menjadikan Negara kita ini sebagai korban. Tentang
bagaimana liciknya pemerintahan negeri, atau tentang para Fasis yang bertopeng
Agama dan Konstitusi yang dengan seenaknya membacok leher orang. Mungkin tema
yang mereka bawakan akan terlalu berat buat beberapa orang, tapi amat
menyenangkan dan intelek. Dalam makalahnya Affiliating With Rap Music: Gangsta
Rap or Political Rap? David C. Caldwell menjelaskan perbedaan krusial dari gangsta
rap dan political rap terletak dalam tema lagu, dimana gangsta rap bercirikan tema
kekerasan, obat-obatan terlarang, vandalisme, tindakan gangster, dan lain sebagainya.
3
http://jakartabeat.net/musik/album-musik-paling-penting-menurut-saya.html
Sementara Political rap atau rap politik lebih memilih berbicara dalam kaidah politik
dimana lagu Mereka digunakan sebagai simbol protes akan kebijakan politik tertentu
yang dianggap tidak adil dan otoriter.4 Dan Homicide tergolong sebagai grup rap/hip-
hop politik, sebab tema lagu Mereka cenderung mengarah ke protes politik tersebut.
Homicide sebenarnya sudah lama berdiri, mereka adalah legenda hidup hiphop
Indonesia, namun mereka sangat miskin rilisan. Dari awal Homicide berdiri sampai
memutuskan bubar, Lagu-lagu mereka berserakan sebagai EP atau Single. Hingga
Akhirnya seluruh serakan lagu-lagu itu dikumpulkan dalam sebuah Album (atau lebih
tepatnya Kumpulan EP) ini yakni Tha Nekrophone Dayz. Dirilis tahun 2006. pada
awal pergerakannya Homicide beranggotakan 3 orang yakni Harry Sutresna alias
Ucok (Morgue Vanguard) dan Lephe sebagai MC atau vokalis, serta Kiki sebagai DJ
atau pembuat Beat/musik. Namun dalam perkembangannya akhirnya Lephe dan Kiki
memutuskan keluar dari Band dan meninggalkan Harry Sutresna alias Ucok sebagai
anggota terakhir yang bertahan, Ucok sebagai konseptor utama yang memang
berperan paling penting dalam penciptaan musik dan lirik mempertahankan Homicide
dengan merilis Dua Album, yakni Tha Nekrophone Dayz dan IllShurekshun hingga
akhirnya memutuskan membubarkan Homicide dan membentuk grup baru bernama
Trigger Mortis.
Homicide tumbuh dan berkembang di Bandung, Jawa Barat. Kota yang selalu
menjadi tolok ukur dalam musik-musik cutting edge yang dianggap beda, kreatif dan
bagus. Sebagaimana sudah diketahui sebelumnya bahwa awal pergerakan musik indie
atau musik yang membuat rilisan dan usaha pemasaran sendiri musik Mereka tanpa
bergantung pada sistem pemasaran label besar adalah di Bandung ini, ketika pada
awal dekade 90-an Pas Band, sebuah band alternatif merilis album indie pertama
bertitel 4 Through The Sap yang kemudian jejak Pas Band merilis sendiri albumnya
ini diikuti oleh musisi-musisi lain yang secara kuantitas memang meningkat luar
biasa. Karena itulah Bandung ditasbihkan sebagai Kota asal musik kreatif dan beda.
Karena kebanyakan musisi yang berasal dari Kota ini, alih-alih memilih bernaung di
4
David C. Caldwell. Affiliating With Rap Music: Gangsta Rap or Political Rap?. 2008, sebuah
makalah. terbit dalam Jurnal Novitas Royal.
label rekaman besar namun harus membuat musik populer justru Mereka merilis
sendiri musik Mereka hingga tak terikat oleh peraturan label rekaman besar, jadi
musisi ini mampu membuat musik yang benar-benar tak terikat dan kreatif. Homicide
berkembang dalam segala keterbatasannya di Bandung dengan mengikuti berbagai
acara musik kolektif dan juga rilisan album bersama.
Dalam mengelola musiknya baik dalam konteks musikal maupun finansial dan
marketing, Homicide menggunakan sebuah sistem yang Mereka sebut “Ideologi
Perkawanan.” Dalam ideologi perkawanan ini Mereka memanfaatkan jejaring
pertemanan yang Mereka punya untuk menjalankan organisasi musik Mereka, sebagai
contoh dalam proses pembuatan musik ketika Mereka butuh pemain instrumen
tertentu untuk melengkapi komposisi musik, maka Mereka bisa minta tolong kepada
salah satu temannya yang bisa bermain instrumen itu untuk membantu. Begitu juga
dalam hal finansial, dalam skena musik indie dikenal sebuah istilah yang bernama
“Kolektif.” Kolektif adalah kondisi dimana beberapa musisi memutuskan untuk
mengumpulkan uang bersama-sama atau dalam istilah prokemnya Patungan untuk
membuat sesuatu. Untuk membuat rilisan album atau sebuah konser misalnya, ketika
biaya yang harus ditanggung terasa berat bila sendiri. Maka akan dibuat kolektif
bersama para musisi temannya. Ada juga yang menyumbang tanpa harus ikut
bermain, begitu pula dalam hal marketing atau pemasaran musik. Homicide
memanfaatkan jaringan perkawanan Mereka yang begitu luas untuk menyebarkan
musik yang Mereka buat, tak seperti sistem marketing konvensional yang diterapkan
label rekaman besar yang tentu mampu membuat sebuah strategi marketing skala
besar karena dukungan dana besar pula, Homicide yang bergerak di sektor indie
dengan berbagai keterbatasannya melakukan marketing dengan cara indie pula. Dan
cara itu adalah memanfaatkan jaringan pertemanan yang disebut “Ideologi
Perkawanan” tadi. Sementara dalam mengelola manajemen grup Mereka, pada
awalnya ketika masih bertiga tentu Homicide mampu membagi tugas masing-masing
anggota untuk tugas tertentu. Lephe dan Ucok bisa hanya berperan sebagai MC atau
vokalis. Sedangkan Kiki hanya berkutat di pembuatan musik dan beat. Namun pada
perkembangannya seperti dijelaskan diatas bahwa Lephe dan Kiki memutuskan keluar
dari Homicide dan Ucok tertinggal sebagai anggota tunggal grup. Maka jadilah Ucok
sebagai MC, pembuat lirik, pembuat musik, manajer, produser, dan lain sebagainya.
Jadilah Homicide sebuah grup tunggal.
Musik yang Homicide buat adalah sebuah bentuk perlawanan atau resistensi
akan sistem politik atau kondisi sosial yang dianggap kurang beres. Mari Kita
membicarakan Ucok saja sebagai mastermind alias konseptor tunggal dari Homicide,
karena memang ide-ide cerdas lagu-lagu Homicide berasal dari Ucok ini, salah satu
yang menjadi keprihatinan Ucok dan terus dikritiknya dalam beberapa lagu
ciptaannya adalah tentang Neoliberalisme dan sistem Ekonomi Kapitalisme. Adalah
Ucok a.k.a Morgue Vanguard, sosok yang tak bisa dilepaskan dari Homicide. Selain
menjadi MC, lelaki bernama asli Herry Sutresna ini, juga banyak berperan dalam
mencipta lirik-lirik lagu yang begitu tajam, menyilet, dan genius itu. Bukan hanya
menunjukkan garis perlawanan lewat musik, Ucok juga aktif berjejaring dengan
berbagai komunitas, dalam rangka kampanye komunitas melawan neoliberalisme.
Salah satu bentuk kampanye itu berupa media gratisan bernama Jurnal Apokalips,
yang beredar di beberapa komunitas buku, seni, sampai serikat buruh di Kota
Bandung. Bagi Ucok, neoliberalisme tak ubahnya sebuah sistem yang membuat dunia
menjadi lebih tidak adil lagi, yang akhirnya hanya akan memenangkan segelintir
orang, yaitu pemilik modal terkuat. Jika dulu ruang lingkupnya lebih kecil, kini aktor-
aktornya pun bisa lintas etnis, lintas negara, dsb. "Sialnya, Indonesia punya sumber
daya melimpah, tenaga kerja murah, dan pasar strategis, yang bisa jadi lahan empuk
untuk imperialisme baru masuk ke sini. Untuk menghadangnya harus ada peningkatan
kualitas, yang notabene butuh pendidikan. Sementara itu, akses ke pendidikan mahal,"
kata lelaki yang punya ciri khas berikat kepala ini.5
5
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/052007/03/kampus/obrolan.htm
Alan P. Merriam dalam bukunya yang terkenal sebagai buku panduan dalam
disiplin ilmu Etnomusikologi yakni The Anthropology of Music menjelaskan 10
fungsi pokok musik sebagai berikut:
1. Ekspresi Emosional
2. Pemuasan estetis.
3. Hiburan
4. Media komunikasi
5. Representasi simbol
6. Respon fisik
7. Penguat norma-norma masyarakat
8. Pengesahan institusi sosial dan ritual agama
9. pelestarian dan stabilitas budaya
10. Integritas masyarakat6
1. Kajian Teks
Kajian teks tentang Homicide akan dimulai dengan menelaah beberapa lagu
Homicide baik dari segi lirik dan komposisi lagu. Kelebihan lagu-lagu Homicide tentu
dalam segi lirik yang kuat dan kritis, juga dari segi musik yang menggunakan beat-
beat khas musik hip-hop era 80-an, dengan berbagai sampling suara-suara unik dari
dunia sekitar yang direkam lantas dimasukkan dalam komposisi lagu, serta suara para
MC yang sedang menyanyi rap dengan garang yang lebih menampakkan Mereka
sedang berorasi daripada bernyanyi. Berikut adalah contoh salah satu lirik lagu
Homicide yang berjudul Puritan (Godblessed Fascists):
Adalah bagaimana manusia menyebut nama tuhannya: “tebas lehernya dahulu baru beri dia
kesempatan untuk bertanya
Pastikan setiap tema legitimasi agama seperti hak cipta
Supaya dapat kucuci seluruh kesucianmu dengan sperma
Persetan dengan Surga sejak parameter pahala
Diukur dengan seberapa banyak kepala yang kau pisahkan dengan nyawa
Kini leherku-lah yang membuat golokmu tertawa
Target operasi di antara segudang fasis seperti FBR di Karbala
Karena aku adalah libido amarahmu yang terangsang dalam genangan darah
Selangkangan Shanty jika kau menyebut parang bagian dari dakwah
Melahap dunia menjadi pertandingan sepakbola
Penuh suporter yang siap membunuh jika papan skor tak sesuai selera
Para manusia unggul warisan Pekan Orientasi Mahasiswa
Paranoia statistika agama, wacana phobia ala F.A.K
B.A.K.I.N tak pernah bubar, mewujud dalam nafas kultural
Persis wakil parlemen yang kau coblos dan kau tuntut bubar
Partai bisa ular, belukar liberal
Gengis Khan mana yang coba definisikan moral
Persetankan argumentasi membakar bara masalah
Dengan kunci pembuka monopoli anti argumen komprehensi satu bahasa
Instruksi air raksa mereduksi puisi hingga level yang paling fatal
Kehilangan amunisi, sakral adalah ambisi
Wadah modernisasi, program labelisasi Abu Jahal
Distopia yang tak pernah sabar untuk menuai badai
Aku bersumpah untuk setiap markas yang kalian anggap layak bongkar
Dan setiap buku yang nampak lebih berguna jika terbakar
Jika setiap hal harus bergerak dalam alurmu yang sakral
Sampai api terakhir pun, neraka bertukar tempat dengan aspal
Batalyon pembela Gommorah, sucikan dunia dengan darah
Menipiskan batas antara kotbah dengan gundukan sampah
Jika membaca Albert Camus menjadi alasan badan leher terpisah
Lawan api dengan api dan biarkan semua rata dengan tanah
Lubang tai sejarah, memang dunia adalah
Kakus raksasa nikahi bongkah kranium kerdil berpinak ludah
Jika idealismemu tawaran untuk mengundang surga mampir
Berikan bendera dan seragammu, kan kubakar sampai arang terakhir
Seratus kali lebih dangkal dari kolom Atang Ruswita
Seribu kali lebih busuk dari tajuk Majalah Garda
Untuk semua idiot yang berpikir semua ide dapat berakhir di perapian
Tak ada dunia yang begitu mudah untuk kalian hitam putihkan
Mendukung keagungan layaknya Heidegger mendukung Nazi
Propaganda basi, wahyu surgawi dengan bau tengik terasi
Jika suci adalah wajib dan perbedaan harus melenyap
Maka jawaban atas wahyu parang dan balok adalah bensin, kain, dan botol kecap
Yo, fasis yang baik adalah fasis yang mati
Fasis yang baik adalah fasis yang mati
Fasis yang baik adalah fasis yang mati
Tunggu di ujung jalan yang lain hingga kalian mengancam kami7
Lirik lagu ini secara jelas mengkritisi sebuah ormas keagamaan yang atas nama
Agama melakukan tindakan destruktif dan provokatif dengan cara merusak serta
membunuh pihak-pihak yang Mereka anggap berseberangan dengan keyakinan
Mereka. Homicide mengkritik bahwa Agama harusnya tidak mentolerir kekerasan,
maka Homicide menganalogikan ormas agama itu sebagai fasis karena tindakan
kekerasan Mereka lebih menyerupai para fasis yang kejam daripada para agamawan
7
Homicide – Puritan (Godblessed Fascists). 2006, Tha Nekrophone Dayz: Subciety Record, Bandung.
yang penuh welas asih. Sementara untuk musiknya dalam lagu Puritan ini Homicide
dengan berani memasukkan sampling suara seorang anggota ormas agama ini yang
sedang berpidato memprovokasi anggota ormasnya untuk bertindak anarkis.
Lagu kedua yang cukup menarik untuk Kita telaah adalah Boombox Monger,
berikut adalah liriknya:
Dalam lagu ini Homicide menceritakan hip-hop era tahun 80-an dan
mengkorelasikannya dengan tema kapitalisme dan neoliberalisme yang Mereka kritik
sebagai bentuk penjajahan dunia baru. Dari segi musiknya Homicide memasukkan
riff-riff gitar elektrik yang dicampur dengan musik hip-hop.
Sebenarnya masih banyak lagi lagu Homicide yang sangat menarik untuk
ditelaah, namun kiranya tidak perlu ditulis di makalah ini karena akan terlalu panjang.
Cukup dengan Dua lagu itu saja dapat disimpulkan betapa kritisnya lirik lagu
Homicide dan lepas dari stereotype lirik lagu hip-hop yang notabene bertipikal
tindakan kekerasan atau hedonisme dangkal. Juga lepas dari epigonisme lirik lagu
populer Indonesia yang kebanyakan berkutat pada kisah cinta atau perselingkuhan.
2. Kajian Konteks.
Secara konteks apakah Homicide mempengaruhi kondisi sosio-kultural dunia
sekitarnya? Dan apakah keputusan Mereka mengangkat isu-isu kritis dalam musik
Mereka berguna secara signifikan? Jawabnya adalah ya, Homicide memang tidak
8
Homicide – Boombox Monger, 2006, Tha Nekrophone Dayz: Subciety Record, Bandung.
begitu dikenal secara luas. Namun dengan adanya Mereka Kita punya harapan bahwa
ditengah segala kejenuhan akan musik yang monoton dan memperbodoh pendengar
ini masih ada Mereka yang mengajak Kita berpikir kritis. Homicide ibarat oase
penyegar bagi para pendengar musik yang mulai bosan dengan musik mainstream
Indonesia yang itu-itu saja. Homicide juga penting karena berkat Merekalah Kita ini
yang mendengarkan musiknya tahu dan sadar tentang berbgai isu-isu penting yang
melingkupi dunia dimana Kita tinggal. Homicide mempengaruhi banyak
pendengarnya agar tidak jadi manusia yang hanya menuruti perintah dan terdiam,
Homicide mempengaruhi pendengarnya agar mempertanyakan segala sesuatu yang
dianggap tidak beres. Maka dalam konteks pentingnya Homicide Sebagai kondisi
sosio-kultural Indonesia, bisa dikatakan Mereka amat penting.
Caldwell, David C. 2008 Affiliating With Rap Music: Gangsta Rap or Political Rap?
sebuah makalah. terbit dalam Jurnal Novitas Royal.
http://jakartabeat.net/musik/album-musik-paling-penting-menurut-saya.html
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/052007/03/kampus/obrolan.htm
Merriam, Alan P., 1964, The Anthropology of Music, Chicago: North Western
University Press.
Strinati, Dominic. 2004, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer:
Yogyakarta, Bentang.