Anda di halaman 1dari 8

Budaya keranjingan penggemar band Indie

Friends culture of Indie band fans


Bintang Krisna Airlangga Sofyan
Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polittik, Universitas Airlangga
Surabaya, 60286, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: bintang.krisna-13@fisip.unair.ac.id

Abstrak
Cikal bakal terbentuknya atmosfir Indie di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 1970-
an sebagai pendahulu. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid
(Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka
inilah generasi pertama rocker Indonesia. Didukung kemajuan teknologi internet yang memperkenalkan karya
kepada audiens yang berpotensi besar dengan biaya lebih rendah melalui music blog, jejaring sosial seperti
Myspace, Spotify, dan Joox yang juga digunakan perusahaan musik independen untuk membuat kemajuan besar
dalam bisnisnya. Kemudian, ditunjang keseriusan label rekaman independen oleh Aksara Records dan De
Majors di Jakarta dan FFWD Records di Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh band Indie
yang mengangkat potret sosial terhadap budaya keranjingan bagi penggemarnya. Keranjingan bisa dibilang
dengan kata lain adalah kecanduan, keranjingan atau kecanduan adalah sebuah tingkah laku yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, baik fisik, psikologis maupun fisiolgis. Studi ini menunjukkan karena adanya tingkah laku
avid yang tercipta dari lingkungan yang banyak orang suka dengan band Indie sehingga mau tidak mau orang
yang tidak terlalu suka kritik sosial band Indie akan bergabung di lingkungannya yang pada akhirnya
menciptakan perilaku keranjingan karena lingkungan. Semua informan dalam penelitian ini adalah penggemar
band Indie kritik sosial. Ini bisa dilihat dari kepemilikan lebih dari dua merchandise dan selalu datang ke acara
band Indie di Surabaya. Namun, dalam menjadi penggemar band-band Indie tidak ada asosiasi penggemar yang
menyukai band-band Indie. Itu karena para penggemar band ini cenderung menjadi penggemar pribadi atau
individualistis.

Kata kunci: keranjingan; band indie; kritik sosial; musik

Abstract
Forerunner to the formation of an Indie atmosphere in Indonesia, it is difficult to be released from the 1970s
pioneering Rockers as a precursor. For example, God Bless, Pegangsaan Gang, Gypsy (Jakarta), Giant Step,
Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA / SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) to Rawe Rontek from Banten.
They are the first generation of Indonesian rockers. Supported by internet technology that promotes work for
audiences that support huge costs through music blogs, social networks such as Myspace, Spotify, and Joox who
also use independent music companies to make great progress in their business. Then, transferred the
seriousness of independent record labels by Aksara Records and De Majors in Jakarta and FFWD Records in
Bandung. This research involves looking at Indie bands who raise social portraits of avid culture for their fans.
Avidness can be seen in other words as addiction, craze or addiction is behavior related to factors, whether
physically, psychologically, or physiologically. Make it because of the avid behavior created by the environment
that many people like with Indie bands so want people who don't like social criticism Indie bands will join the
environment. And this eventually creates an avid problem because of the environment. All informants in this
study were fans of the Indie band social criticism. This can be seen from the ownership of more than two
merchandise, and also always comes to Indie band events in Surabaya. However, in becoming a fan of Indie
bands there is no fan association that likes Indie bands. That's because the fans of this band like personal or
individualistic fans.

Keywords: avid; band indie; social criticism; music

Pendahuluan
Saat ini banyak sebagian orang-orang tidak bisa lepas dari musik, karena dengan musik seseorang bisa
mengekspresikan kehendak atau jiwanya sehingga bisa dipahami oleh orang lain (Tan et al. 2010).
Musik juga dijadikan sebagai salah satu bentuk budaya manusia untuk menjadi hal yang menarik
sebagai media hiburan bagi peminatnya. Musik merupakan bagian dari pengalaman manusia dari
jaman anak-anak hingga dewasa, karena begitu kuatnya pengaruh seni musik dalam kehidupan

95
Sofyan: “Budaya keranjingan penggemar band Indie”

manusia sehingga menjadikan musik memiliki kemampuan mengubah perasaan dan sikap manusia itu
sendiri (Slevc & Okada 2015). Musik bisa disebut juga sebagai media universal yang mampu
berbicara dalam berbagai bahasa, mampu menyuarakan isi hati para penciptanya dan mencerminkan
kebudayaan dari berbagai macam belahan dunia, belakangan ini musik sudah menjadi kebutuhan bagi
masyarakat luas (Patel et al. 1998; Patel 2008; Ludden 2015).

Musik juga dapat mempengaruhi seseorang, terbukti pada trend fashion, banyak penikmat musik yang
meniru gaya berpakaian dari musisi yang mereka favoritkan. Sampai saat ini terdapat banyak aliran
musik yang ada di masyarakat seperti musik Pop, Rock, Jazz bahkan underground. Musik Indie
bermula dari kesulitan dari beberapa group band yang memiliki idealisme dalam bermusik untuk
memasuki dapur rekaman karena benturan kepentingan antara pemilik perusahaan rekaman dan
idealisme dalam bermusik dari group band itu sendiri (Hesmondhalgh 1999).

Beberapa dari perusahaan rekaman beranggapan bahwa aliran musik tersebut tidak dapat dinikmati
masyarakat, tidak mempunyai mutu dan tidak mengikuti pasar musik yang ada sekarang, sehingga
banyak band-band tersebut menggunakan jalan lain dalam memperkenalkan hasil karya-karyanya ke
public dengan cara Indie atau bisa disebut juga independent yang berarti merdeka, berdiri sendiri,
berjiwa bebas, dan tidak bergantung (Hibbett 2005; Naldo 2012). Juga karya-karya mereka berada di
luar mainstreem atau berbeda dengan corak lagu yang sedang laris di pasaran. Mereka bebas
melahirkan karya yang sangat berbeda dari yang ada di pasar, atau dalam kata lain tidak komersial dan
umumnya memiliki pasar-pasar tersendiri terhadap jenis lagu yang mereka sodorkan. Mereka
memasarkan sendiri lagu-lagu mereka. Biasanya band-band ini memiliki lagu-lagu yang bisa diterima
pasar, namun dalam penggarapan album, mereka tidak melibatkan major label atau perusahaan
rekaman yang telah memiliki nama.

Cikal bakal terbentuknya atmosfir Indie di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir
era 1970-an sebagai pendahulu. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta),
Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga
Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Padahal kalau mau jujur,
lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan
milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led
Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontra produktif ini kemudian mencatat
sejarah namanya yang sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass
Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan), hingga Roxx
(Jakarta). Selain itu adalah Log Zhelebour yang membidani lahirnya label rekaman rock pertama di
Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, Semut Hitam,
yang dirilis pada 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Pada 2000-an sampai sekarang, musik Indie berkembang pesat didukung label-label rekaman
independen yang semakin banyak. Apalagi didukung kemajuan teknologi internet yang
memungkinkan mereka memperkenalkan karya kepada audiens yang berpotensi besar dengan biaya
lebih rendah melalui music blog, jejaring sosial seperti Myspace, Spotify, dan Joox yang juga
digunakan perusahaan musik independen untuk membuat kemajuan besar dalam bisnisnya
(Riomanadona & Irwansyah 2019).

Hal itu juga ditunjang keseriusan label rekaman independen dalam berbisnis dan berpromosi yang
belakangan tengah gencar dilakukan oleh Aksara Records dan De Majors di Jakarta dan FFWD
Records di Bandung. Perusahaan rekaman Indie menyediakan landasan atau wadah bagi band-band
yang beraliran post-punk, Indie pop, electronic, metal, alternative rock, dan lain-lain, yaitu jaringan
distribusi luas, pembagian hasil seimbang antara label dan band, idealis DIY (Do It Yourself) untuk
marketing, art, dan produksi yang dipandu atas kepercayaan mereka pada kebebasan berekspresi,
inovasi dan keberagaman dengan tujuan sederhana, menyebarkan dan memperkenalkan musik yang
mereka suka.

96
Dialektika Vol. 14, No. 2, 2019, hal.95-102

Di Indonesia, pengaruh Indie belum terasa hinga pada pertengahan tahun 1990an. Namun, sebelum
mengenal istilah Indie, masyarakat Indonesia lebih mengenal istilah underground (Sabrina 2018).
Berbeda dengan Indie, musik underground cenderung keras. Pas Band merupakan band yang memulai
tradisi merilis album secara Indie. Mereka pun sukses menjual album mereka sebanyak 5.000 kopi.
Karena keberhasilan Pas Band, akhirnya banyak band metal dan rock yang mengikuti jejak mereka.
Kemudian ada Pure Saturday, band Indie pertama selain metal yang membuat album rekamannya
sendiri pada tahun 1995. Disusul oleh Mocca yang berhasil menjual album mereka hingga menembus
angka di atas 100.000 kopi. Keberhasilan Mocca kemudian membawa dampak pada band-band Indie
di Indonesia hingga sekarang. Memasuki era modern, mulai diperkenalkan download digital melalui
iTunes atau situs download lagu lainnya. Hal ini membuat banyak bermunculan band-band Indie baru.
Mereka lebih memilih berekspresi dengan karya karya mereka daripada harus bergabung dengan label
rekaman besar yang bisa mengikuti tren musik yang didominasi muik pop, R&B, rock mainstream
atau hip hop.

Pada akhirnya band-band Indie di Indonesia dapat berkembang pesat hingga saat ini dan menunjukan
keberhasilan dan eksistensinya di publik seperti go internasional dan lain-lain, beberapa contoh band
yang memberikan prestasi dan go internasional seperti the sigit yang melakukan tour di Australia,
Stars and Rabbits yang pernah memberikan penampilan di Inggris, Bottelrsmoker yang pernah
manggung di Malaysia, White Shoes And The Couples Company yang tampil di SXSW Austin,
Melody of Life Thailand, Clockenflap Tiongkok dan Saarang India, Elephant kind yang pernah
manggung di Malaysia, Mocca yang pernah konser di Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, dan
Korea, dan masih banyak band-band Indie lainya yang melebarkan sayapnya hingga go internasional.
Sehingga band Indie saat ini banyak di sukai oleh berbagai lapisan masyarakat dari anak remaja
hingga orang dewasa, band Indie juga memiliki banyak sekali genre seperti yang tertera di atas seperti,
pop, rock, jazz, metal, dan folk. Folk yang mengambarkan musik rakyat yang penuh dengan
kesederhanaan dan keseharian dalam lagunya.

Genre ini juga tercipta dari corak musik etnik yang dimainkan sehari-hari untuk menghibur diri,
membuang rasa jenuh dan kebosanan dengan alat musik seadanya. Alat musiknya seperti gitar akustik,
ukulele, akordion, harmonika dan lainnya. Alat-alat musik digital sangat dikurangi atau pun ditiadakan
sehingga musik Folk tersebut terlihat sangat sederhana dan temanya kebanyakan tentang realitas sosial
yang ada di masyarakat. Tentunya folk berkembang dan hidup pada awalnya dari daratan Eropa yaitu
Inggris oleh Thomas William dan terus berkembang ke seluruh dunia dan sampailah di Indonesia.

Band-band Indonesia yang memakai genre Folk tersebut banyak sekali dan tersebar luas di Indonesia,
beberapa bandnya terserbut seperti Payung Teduh, Float, Banda Neira, Afternoon, Silampukau, Endah
n Rhesa, Stars and Rabbit, Tetangga Pak Gesang, Rusa Militan, Nosstress, Mr. Sonjaya, Katjie &
Piering dan puluhan bahkan ratusan musisi folk Indonesia. Adapun itu musisi-musisi yang beraliran
atau bergenre folk di atas akan memilih jalan Indie dikarenakan orang yang menyukai hanya kalangan-
kalangan tertentu dan tidak mengikuti pasar yang ada. Adapun saat ini musik Indie berkembang sangat
cepat dan peminat nya semakin hari semakin berkembang dan banyak, sehingga band-band Indie
memiliki pasar sendiri (Harvey 2017).

Melihat fenomena tersebut maka penelitian ini menjadi penting karena untuk melihat”Bagaimana
pengaruh band Indie yang mengangkat potret sosial terhadap budaya keranjingan bagi penggemarnya”
keranjingan bisa dibilang dengan kata lain adalah kecanduan, keranjingan atau kecanduan adalah
sebuah tingkah laku yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik fisik, psikologis maupun fisiolgis.
Istilah keranjingan atau kecanduan itu sendiri lebih ke arah negatif seperti kecanduan dengan zat
adiktif seperti alkohol, tembakau, dan obat-obatan lainnya.

Akan tetapi istilah tersebut berkembang di kehidupan masyarakat saat ini sehingga kata tersebut tidak
di pandang atau merujuk ke arah obat-obatan terlarang tetapi dapat juga melekat atau merujuk ke arah
kegiatan atau suatu hal yang bersifat positif yaitu seperti mengidolakan suatu hal (artis, model, band,
musik, public figure dan lain-lain) yang menurut mereka pantas di idolakan, dapat kita lihat karya nya
dan apa saja yang bisa mereka (idola) keluarkan di masyarakat luas. Keranjingan bisa di bilang

97
Sofyan: “Budaya keranjingan penggemar band Indie”

kegiatan yang di akukan oleh para penggemar seperti dapat di lihat dalam penggemar musik band
Indie, mereka rela membeli merchandise dari band, atribut-atribut yang di gunakan personil, datang ke
setiap acara gigs atau konser dari band yang mereka sukai itu dan juga membeli CD asli dari band
tersebut.

Pada umunya band-band labeling hanya mengikuti pasar saja, tidak memiliki keunikan tersendiri dari
segi kreatifitas dalam berkarya atau dalam membuat sebuah lagu sehingga menciptakan suatu
kebosanan bagi pendengar atau di anggap suatu karya yang monoton seperti lagu-lagu yang
menceritakan tentang sepasang kekasih yang pacaran, baru putus cinta, dan lain-lain yang
menceritakan tentang siklus percintaan akan tetapi band Indie memberikan warna yang berbeda yaitu
dengan menceritakan sebuah life experience dari hidupnya, potret sosial, kritik sosial, menggambarkan
sebuah keadaan di masyarakat saat ini dan lain-lain yang dibentuk menjadi sebuah karya lagu untuk
masyarakat luas dengan di kemas secara menarik. Karya-karya tersebut tidak monoton, kita dapat tahu
bahwa sebuah kreatifitas tidak ada yang membatasi, sehingga band-band tersebut bebas berkarya.
Masyarakat sekarang lebih menyukai band Indie di bandingkan band labeling. Sehingga saya peniliti
melakukan penilitian tersebut.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian ini diperoleh sepuluh informan dari
mahasiswa hingga orang sudah berkerja penggemar band Indie. Informan sesuai dengan kriteria yang
peneliti tetapkan, sehingga pada saat wawancara, peneliti mendapatkan data yang benar dan sesuai
yang diperlukan oleh penelitian tersebut. Setelah data didapat dari berbagai informan tersebut lalu data
akan dilakukan reduksi data dan dikategorikan sesuai dengan topik yang dikaji. Setelah itu, data
dianalisis dengan teori dan studi-studi terdahulu yang relevan.

Hasil dan Pembahasan


Pemahaman tentang band Indie

Musik adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan dan musik juga suatu
kompenen yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena musik bisa menjadikan suatu media
untuk membuat hal positif bagi manusia, seperti menjadi media penghibur untuk mengubah mood
seseorang menjadi lebih baik, bisa menjadi suatu media untuk terapi, sebagai media upacara, sebagai
media komersial, media yang mengiringi tarian, sebagai media pendidikan, media komunikasi, media
untuk kreativitas, dan sebagai media ekspresi diri.

Media ekspresi diri itu seperti mengeluarkan ide-ide yang ada di dalam pikiran dengan landasan tanpa
kekangan seseorang sehingga musik yang keluar lebih natural, terlihat apa adanya. Konsep nya
kurang lebih seperti dalam band Indie yang mengusung kebebasan, do it yourself adalah kata-kata
yang sering di pakai dalam dunia band Indie, do it yourself yang berarti kerjakan sendiri, sehingga
band Indie terlihat lebih mandiri dan mengusung kebebasan dalam bermusik.

Faktor yang melatarbelakangi munculnya keranjingan bagi penggemar terhadap band Indie
yang mengangkat kritik sosial

Penggemar selalu dicirikan (mengacu pada asal-usul istilahnya) sebagai suatu kefanatikkan yang
potensial. Hal ini kelompok penggemar dilihat dari prilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan
kegilaan atau pun bisa dibilang keranjingan. Keranjingan awalnya terbentuk dari kebosanan terhadap
lagu dari band labeling yang di naungi oleh major label. Lagunya yang bertemakan percintaan saja
sehingga tercipta kebosanan (monoton) terhadap para penggemar sehingga para penggemar atau pun
anak muda saat ini lebih melirik band Indie yang dinaungi oleh band itu sendiri karena tidak memiliki
label besar karenana lagunya lebih bervariasi dan genre nya lebih beragam.

98
Dialektika Vol. 14, No. 2, 2019, hal.95-102

Band Indie juga lebih kreatif dalam membuat lagu sehingga para pecinta musik di manjakan oleh
lagunya dan tidak bosan dalam mendengarkan. Yang melatarbelakangi munculnya sifat keranjingan
terhadap band Indie dikarenakan bosannya terhadap band major label. Setelah mengalami kebosanan,
akhirnya mencari referensi musik lain yang sekiranya dapat bervariasi lagunya yaitu band Indie.
Informan juga menyukai band Indie karena dipengaruhi oleh lingkungan seperti teman-teman sekolah
atau kuliah. Akan tetapi tidak hanya dari faktor bosan akan lagu dari major label saja, ada faktor lain
yang membuat para penggemar tersebut bisa keranjingan terhadap band Indie, seperti faktor
lingkungan pergaulan yang menyukai band Indie sehingga mau tidak mau orang tersebut bisa
menggemari band Indie.

Beberapa faktor yang melatar belakangi munculnya keranjingan band Indie yang beraliran kritik
sosial, yaitu: Pertama, para penggemar musik mengalami ke bosanan terhadap lagu dari band yang
dinaugi oleh major label, karena band major menciptakan lagu-lagu percintaan saja. Kedua, bisa juga
karena dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya terdapat satu orang tidak terlalu menyukai band Indie
akan tetapi karena di tempat pergaulannya banyak sekali yang menyukai band Indie sehingga ia
tetrtarik terhadap band Indie tersebut.

Budaya keranjingan penggemar band Indie yang beraliran kritik sosial di Surabaya

Keranjingan adalah sebuah kata yang mengungkapkan bawa ia tergila-gila ke dalam suatu hal.
Keranjingan bisa berdampak positif seperti membuat kita lebih bahagia bila kita mendapatkan sesuatu
hal kita suka, bisa memiliki hobi, memiliki hal unik atau bisa dibilang kepribadian yang unik, dan
masih banyak lagi, bila kita tinjau dari hal negatifnya adalah misalnya seseorang menyukai suatu hal
bisa berdampak dapat melupakan hal-hal kewajibannya atau bisa lupa akan apa yang harus pioritas
dalam hidupnya dan bergeser ke arah kebutuhan yang dia sukai, bisa dibilang tidak bisa melakukan
manajemen kehidupannya.

Band Indie saat ini sedang mencapai populiritas nya yang sangat tinggi. Banyak sekali anak muda
sekarang yang menyukai band Indie, akan tetapi band Indie yang mengangkat kritik sosial terlihat
lebih unik dari band Indie lai nya, band tersebut memiliki masa atau orang-orang yang mecintainya
yang berbeda, seperti mahasiswa-mahasiswa yang kritis, yang memiliki satu pemikiran dengan musisi
tersebut sehingga yang menyukai hanya segilinitir orang. Menyukai akan sesuatu hingga sampai
membuat keranjingan dalam satu hal yaitu dalam keranjingan terhadap band Indie, seperti mengikuti
gaya musisi band Indie tersebut, menghafal semua lagunya, membeli semua merchandise yang dijual
oleh band Indie tersebut, datang ke setiap acara yang terdapat band Indie favorit nya di dalam kota
hingga di luar kota walaupun harus membeli tiket masuk dengan harga yang cukup mahal.

Kebanyakan orang yang menyukai band Indie hanya menyukai dengan cara personal tanpa harus
membuat kelompok atau dibuat fandom. Keranjingan dengan band Indie, memiliki kebiasaan yang
sering dilakukan, seperti: menghafal lagu dari band Indie favorit nya, dan mendalami lagu tersebut,
selalu menyempatkan datang ke acara atau event konser yang ada band Indie favorit nya,
mengumpulkan merchandise dari yang di jual bebas hingga limited edition, seperti baju, topi, hoodie,
pick, CD, kaset, Vinyl, totebag, hingga poster.

Perilaku keranjingan terhadap pop culture menurut perspektif cultural studies

Perilaku keranjingan terhadap pop culture dari perspektif cultural studies adalah salah satu wujud dan
bagian dari budaya, terutama budaya popular (Barker 2000; Storey 2007). Sebagai bagian dari budaya,
atau lebih khusus lagi budaya populer, perilaku keranjingan ini juga melibatkan unsur budaya nonfisik
(nonmaterial culture), seperti selera (taste). Selera seseorang terhadap budaya populer yang
digemarinya berkaitan dengan aspek perasaan. Sebagai sebuah aktivitas budaya, pembentukan selera
dan perilaku keranjingan di pengaruhi banyak faktor, pada intinya perilaku keranjingan remaja urban
menurut perspektif cultural studies bukanlah sekedar bagian dari kegiatan akademik melainkan untuk
kesenangan atau hiburan di luar jam sekolah.

99
Sofyan: “Budaya keranjingan penggemar band Indie”

Band Indie dapat dikatakan adalah budaya popular pada saat ini, banyak sekali anak-anak muda
mengemari musik Indie karena kualitasnya lebih baik dari major label yang ada di Indonesia
khususnya. Sehingga dapat dikatakan perilaku keranjingan band Indie yang beraliran kritik sosial
adalah budaya popular yang dapat lihat perspektif cultural studies. Pernyataan ini di benarkan oleh
informan Robert yang menggatakan bahwa ia awalnya menyukai satu band Indie saja yaitu efek rumah
kaca setelah itu ia mencari band-band lainnya karena ketertarikan terhadap band Indie yang menurut ia
memiliki lagu yang unik dan pantas didengar olehnya. Setelah itu ia menyukai band lainya seperti,
Danilla, The Sigit, Silampukau dan masih banyak lagi.

Budaya Penggemar

Literatur mengenai kelompok penggemar dihantui oleh citra penyimpangan (Sugihartati 2017).
Penggemar selalu dicirikan (mengacu pada asal-usul istilahnya) sebagai suatu kefanatikkan yang
potensial. Hal ini kelompok penggemar dilihat dari prilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan
kegilaan. Jenson menunjukan dua tipe khas patologi penggemar, ‘individu yang terobsesi’ (biasanya
laki-laki) dan ‘kerumunan hiteris’ (biasanya perempuan). Dapat dilihat di sini bahwa penggemar sifat
memiliki keranjingan, kita lihat bahwa di penelitian ini meniliti tentang orang yang sangat
menggemari atau keranjingan terhadap band Indie yang beraliran kritik sosial. Dikarenakan memiliki
keunikan tersendiri. Hal ini sesuai dari temuan data dari para informan, yaitu para informan memiliki
sifat keranjingan terhadap band Indie karena awalnya menyukai beberapa band Indie lalu mereka terus
mencari band Indie lain karena band Indie memiliki keunikan dari band major.

Teori habitus dan lingkungan Bourdieus

Teori habitus dapat didefenisikan sebagai struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk
menghadapi kehidupan sosial (Ritzer 2014). Habitus dibayangkan sebagai struktur sosial yang di
internalisasikan yang diwujudkan. Secara dialektis, Habitus adalah produk dari internalisasi struktur
dunia sosial. Sebenarnya kita dapat menganggap habitus sebagai akal sehat (common sense). Sebagai
contohnya, dapat kita lihat dari kebiasaan makan dengan menggunakan tangan kanan, yang dipelajari
seseorang sejak kecil dari orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga terbawa sampai ia dewasa,
karena kebiasaan tersebut sudah ia internalisasikan dalam dirinya. Kita lihat dari beberapa informan
yang awalnya tidak terlalu menyukai bahkan tidak tau band Indie yang beraliran kritik sosial setelah
itu dapat menyukai dikarenakan lingkungan dari orang tersebut banyak sekali yang menyukai band
Indie, seperti dari lingkungan teman-temannya SMP, SMA, kampus, keluarga seperti dari kakaknya
yang sering mendengarkan lagu-lagu dari band Indie, dan berbagai temannya. Setelah itu
diinternalisasikan dalam dirinya sehingga orang tersebut dapat menyukai band Indie karena setiap hari
lingkungannya mengdoktrin orang tersebut agar dapat menyukai band Indie sehingga membuat ia
menyukai juga karena menjadi kebiasaan nya untuk mendengarkan lagu band Indie yang beraliran
kritik sosial. Informan Robert yang menyukai band Indie sejak SMA, ia mengetahui band Indie dari
lingkungan teman-teman SMA nya yang notabene juga menyukai band Indie dan juga dari media
youtube, karena di sana terdapat banyak video-video lagu dari band Indie. Sehingga dapat diketahui
bahwa dalam pengaruh dari kebiasaan dan faktor lingkungan dalam suatu lingkup sosial dapat
membentuk kita menyukai sesuatu tersebut atau bisa disebut juga kebiasaan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa habitus adalah struktur sosial yang di internalisasi sehingga menjadi suatu kebiasaan yang terus
diwujudkan.

Habitus

Habitus adalah produk dari internalisasi struktur dunia sosial (Ritzer 2014). Sebenarnya kita dapat
menganggap habitus sebagai akal sehat (common sense). Struktur sosial yang diinternalisasi sehingga
menjadi suatu kebiasaan yang terus diwujudkan. Orang menyukai akan sesuatu, seperti band Indie
yang beraliran kritik sosial. Awalnya ia tidak terlalu menyukai atau bahkan tidak tau akan band Indie
tersebut, akan tetapi karena lingkungan nya menyukai tersebut mau tidak mau ia harus ikut
mendengarkan lagu dari band Indie tersebut karena terbiasa mendengarkan lagu band Indie beraliran
kritik sosial ini karena lingkungannya, sehingga mengubah menjadi menyukai band Indie juga karena

100
Dialektika Vol. 14, No. 2, 2019, hal.95-102

sebuah kebiasan yang ditanamkan oleh lingkungan. Hal ini terbukti dari pernyataan Junita yang
mengatakan bahwa ia menyukai band Indie tersebut dari lingkungan teman-teman kakaknya yang
menyukai band Indie.

Arena

Arena adalah bisa dibilang hal yang mendukung dalam teori tersebut, karena lingkungan berperan
penting dalam hal untuk menuju pembentukan perilaku, seperti lingkungan keluarga, teman main,
teman sekolah, teman kampus dan lain-lain (Ritzer 2014). Informan dalam penelitian tersebut
menyukai karena memiliki temen yang sama menyukai band Indie yang beraliran kritik sosial, seperti
informan Robert menyukai band Indie di karenkan temen sekolah di SMA juga menyukai hal tersebut.
bebarapa informan lain nya seperti Junita juga menyukai di karenakan kakak nya menyukai band Indie
sehingga ia juga menyukai karena setiap hari kakak nya mendengarkan lagu band Indie tersebut
sehingga ia menjadi kebiasaan mendengarkan lagu tersebut.

Modal

Menurut Ritzer (2014) modal bisa di bilang, yang dimiliki orang tersebut, seperti dalam modal
ekonomi adalah mencakup ke harta atau uang bisa dibilang penghasilan dari seseorang tersebut dari
mana misalnya orang tersebut bekerja sehingga dapat membeli merchandise atau membeli tiket konser
dari band Indie tersebut memakai uang nya sendiri karena beberapa informan sudah memiliki
pekerjaan dan ada yang masih meminta uang ke orang tua karena masih kuliah, beberapa informan
yang kerja adalah fadli, azhari, dan rizal selain tiga nama itu adalah yang masih kuliah. Modal lain nya
seperti modal sosial adalah mencakup memiliki temen yang sama-sama menyukai band Indie beraliran
kritik sosial tersebut.

Membentuk Perilaku

Membentuk perilaku adalah hal yang terakhir, orang yang memiliki habitus (kebiasaan), arena
(lingkungan), dan modal (sosial dan ekonomi), ini adalah tiga kompenen dalam membentuk
keranjingan. Keranjingan adalah tergila-gila akan suatu hal seperti di dalam penelitian tersebut
menyukai band Indie yang beraliran kritik sosial. Awalnya memiliki kebiasan menyukai disebabkan
oleh lingkungan nya setelah itu ia memerlukan modal untuk membeli merchandise, tiket konser, CD
lagu, dan ingin bertemu langsung dengan pemain band Indie tersebut setelah itu membentuk perilaku
nya menjadikan ia seorang yang keranjingan. Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa skema
tersebut berimplikasi terhadap temuan data yang ada pada penelitian tersebut.

Simpulan
Para penggemar band Indie mengalami keranjingan dikarenakan beberapa faktor, yaitu mengkoleksi
beberapa merchandise dari beberapa band Indie seperti CD, kaos, pick gitar, hoodie, totebag, dan lain-
lain. Infoman juga memiliki pengetahuan tentang band Indie, sangat sering bahkan hampir selalu
datang bila terdapat acara konser atau gigs walaupun terkadang harus membayar tiket yang bisa
dibilang tidak murah. Beberapa informan mengalami kebosanan terhadap band major label yang hanya
menyediakan lagu-lagu yang monoton, setelah munculnya beberapa band Indie yang beraliran kritik
sosial ini dapat memberikan warna baru terhadap para informan.

Beberapa informan yang di temui oleh peneliti dalam penelitian tersebut, dapat disimpulkan juga
bahwa dalam menyukai band Indie tersebut terlihat lebih personal dalam menyukainya dikarenkan
orang-orang tersebut tidak membuat suatu perkumpulan yang melambangkan bahwa mereka adalah
fans dari band Indie tersebut. Sehingga dalam menyukai band Indie tidak terorganisir dengan baik atau
bisa dibilang lebih bebas dalam menyukai nya. Di dalam band Indie juga terdapat yang lebih unik
yaitu terdapat beberapa band Indie yang lagunya bertemakan tentang kritik sosial, kita tau bahwa
kritik sosial dapat disuarakan dengan demo, orasi, lewat media masa, dan masih banyak lagi. Akan
tetapi sekarang lebih unik yaitu memakai media seni seperti puisi, mural, menggambar, dan salah

101
Sofyan: “Budaya keranjingan penggemar band Indie”

satunya adalah musik. Dalam seni musik dapat menyuarakan kritik sosial dengan cara mengingatkan
lagi masalah-masalah sosial yang belum tuntas di hal layak umum. Karena terdapat keunikan yang di
miliki band Indie yang beraliran kiritik sosial tersebut, sehingga yang menyukai band Indie yang
beraliran kritik sosial hanya segilintir orang yang peka atau sesintif terhadap lingkungan sosial yang
terdapat di Indonesia khusunya. Dari yang hanya segelintir orang ini yang menyukai band Indie yang
beraliran kritik sosial, semakin harinya semakin bertambah yang menyuka dikarenakan band Indie
sekarang juga lebih kreatif dalam memasarkan lagunya ke masyarakat.

Daftar Pustaka

Barker C (2000) Cultural Studise Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Harvey E. (2017) Siding with vinyl: Record Store Day and the branding of Independent music.
International Journal of Cultural Studies 20(6):585– 602.
Hesmondhalgh D (1999) Indie: The Institutional Politics and Aesthetics of a Popular Music Genre.
Cultural Studies 13(1): 34 – 61.
Hibbett R (2005) What Is Indie Rock? Popular Music and Society 28(1): 55 – 77.
Ludden D (2015) Is Music a Universal Language? Expressing the shared human experience. Dalam:
https://www.psychologytoday.com/us/blog/talking-apes/201507/is-music-universal-language.
Diakses 15 Januari 2019.
Naldo (2012) Music Indie sebagai Perlawanan Terhadap Industri Music Mainstream Indonesia (Studi
Kasus Resistensi Band Mocca dalam Menyikapi Industri Music di Indonesia. Thesis.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Patel AD, Gibson E, Ratner J, Besson M, & Holcomb PJ (1998) Processing syntactic relations in
language and music: An eventrelated potential study. Journal of Cognitive Neuroscience
10(6): 717–733.
Patel AD (2008) Music, language, and the brain. Oxford: Oxford University Press.
Riomanadona MP & Irwansyah (2019) Musik Rilisan Fisik Di Era Digital: Musik Indie Dan
Konsumsi Rilisan Musik Fisik. Jurnal Komunikasi 11(2): 128 – 140.
Ritzer G (2014) Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group.
Sabrina G (2018) Merunut Kelahiran Musik Indie Indonesia. Dalam:
https://www.whiteboardjournal.com/ideas/merunut-kelahiran-musik-Indie-indonesia/. Diakses
19 Oktober 2018
Slevc LR & Okada BM (2015) Processing Structure in Languange and Music: A Case for Shared
Reliance on Cognitive Control. Psychonomic Bulletin & Review 22: 637 – 652.
Storey J (2007) Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Percetakan
Jalasutra.
Sugihartati R (2017) Budaya Populer dan Subkultur Anak Muda. Surabaya: Airlangga University
Press.
Tan SL, Pfordresher P, & Harre R (2010) Psychology of Music: From Sound to Significance. New
York: Psychology Press.

102

Anda mungkin juga menyukai