Dalam konteks semiotik, budaya dapat dipandang sebagai ringkasan atas kegiatan
dapat dipelajari dan diajarkan dan disalurkan ke semua anggota masyarakat, serta
tertentu, demikian menurut definisi yang diberikan oleh Juri Lotman. “"Culture is
komunitas yang tidak diberikan secara turun temurun” (Lotman).1 Makna, nilai,
dan arti beredar dalam bahasa urutan kedua (lambang, nilai, gambar, cerita,
mitos) yang menggunakan, baik bahasa biasa (bahasa asli seseorang) maupun
sistem tanda lainnya seperti kesan visual, media massa, dan teknologi informasi.
Berbagai macam cara yang ditujukan untuk menyalurkan semua arti yang
tersimpan atau yang terpakai oleh semua anggota masyarakat terikat dalam
konteks yang termediasi. Hal yang termasuk dalam Budaya Popular: nilai-nilai
yang berasal dari periklanan, industri hiburan, media dan ikon mode, fashion dan
1
Juri Lotman, Universe of the Mind: A Semiotic Theory of Culture. (Translated by Ann Shukman,
introduction by Umberto Eco). London & New York: I. B. Tauris & Co Ltd, 1990, p. xiii. See
also, Lotman Jurij M.; Uspenskij B.A.; Ivanov, V.V.; Toporov, V.N. and Pjatigorskij, A.M. 1975.
“Theses on the Semiotic Study of Cultures (as Applied to Slavic Texts)” in Sebeok Thomas A.
(ed.), The Tell-Tale Sign: A Survey of Semiotics. Lisse (Netherlands): Peter de Ridder, 1975, pp.
57–84.
1
norma yang berasal dari lembaga-lembaga yang bersifat tradisional, politis,
Pada tahun 1980an dan 1990an, beberapa ahli antropologi beralih pada
sudut pandang penafsiran atas budaya yang bahkan bersifat lebih radikal, yang
merupakan pendekatan ilmiah dan rasional terhadap pemahaman atas dunia yang
budaya melalui proses terus menerus yang mewakili proses menulis, membaca
dan menafsirkan sebuah teks. Dari sudut pandang inilah, orang selanjutnya
menciptakan dan saling memperdebatkan makna dari semua aspek budaya, seperti
dalam masyarakat dan fungsi apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah
federal. Banyak ahli antropologi sekarang ini mengkaji dan menulis tentang
dalam karya tulis Althusser selanjutnya dikembangkan dalam teori budaya dengan
penyesuaian atas ide-ide milik Antonio Gramsci. Karya Gramsci membuka cara-
cara baru dalam mengkonseptualisasikan peran budaya dan praktik budaya dalam
ketegangan antara sudut pandang ahli budaya dan strukturalis yang bersaing pada
tahun 1970an.2 Ketika pentingnya ide Gramsci telah pudar dalam teori budaya,
saat itulah ide Michel Foucault berkembang. Kekuatan sentral dari pengaruh
Foucault adalah membentuk suatu pemahaman atas bahasa budaya yang lebih
bersifat diskursif (didasarkan pada pemikiran analitis) dan hubungan satu sama
lain antara kekuasaan dan representasi.3 Pengaruh Foucault juga nampak dalam
2
See, for example, Stuart Hall et al., Policing the Crisis, 1978.
3
See Sean Nixon, Hard Looks, 1996.
4
See Laurence Grossberg et al. (eds.), Cultural Studies, 1992. 3
Hubungan saling mempengaruhi antara ras, etnis dan budaya juga muncul
sebagai sebuah perhatian utama pada teori budaya kontemporer. Hal ini sering
melalui kritik atas bentuk-bentuk etnisitas yang diambil dalam tradisi teori budaya
seperti istilah yang diberikan Paul Gilroy yaitu daya tarik tak wajar terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan Inggris.5 Daya tarik ini juga memberi tantangan berupa
nasional tertentu. Dalam hal ini, para penulis seperti Gilroy malah menekankan
proses budaya di luar batasan yang ditentukan oleh konsepsi budaya yang dibatasi
secara nasional. Dalam pengertian ini, konsepsi ini lebih lazim dihubungkan
dengan paham orientalis karya Edward Said, yang tidak hanya mengkaji
budaya saat ini. Hal yang nampaknya besar disini adalah hubungan saling
5
See Ain't No Black in the Union Jack, 1987.
4
dalam bahasa budaya dan melalui praktik-praktik budaya. Karya terkini berupa
sebuah kumpulan artefak atau arsip perkembangan namun lebih kepada, seperti
yang ditulis oleh Antonio Gramsci, ‘sebuah arena persetujuan dan perlawanan’
(Stuart Hall, “Dekonstruksi,” hal. 239)7 terhadap bentuk kehidupan sosial. Teori
paham universalis, dan oleh karena itu, andaikata asumsi para kaum elit dan
kesimpulan hegemoni normative tentang budaya dan malah terfokus pada budaya
sebagai “artikulasi dan aktifasi makna” (Storey, hal. xiii) 8 atas dasar bahwa hal ini
sebagaimana yang disebut Michel de Certeau sebagai “hasil kedua” (xiii), lebih
pada bidang konsumsi daripada bidang ekonomi dari proses produksi. Dalam
(pengertian) budaya yang menentukan realita sosial. Sungguh begitu banyak yang
proyek kajian budaya’ (xi) sehingga hanya beberapa orang saja yang sekadar
6
See P. Adams and and E. Cowie, The Women in Question, 1993; and Judith Butler, Bodies that
Matter, 1993.
7
Hall, Stuart. "Notes on Deconstructing 'the Popular'." People's History and Socialist Theory. Ed.
Raphael Samuel. London: Routledge, 1981.
8
Storey, John. Cultural Theory And Popular Culture: A Reader. Atlanta: U of Georgia P, 1998.
5
berpendapat bahwa ‘kajian budaya dapat digambarkan … mungkin secara lebih
akurat sebagai kajian ideologi’ (James Carey qtd. Dalam Storey xii). Fokus kajian
budaya pada kekuatan penting dari wacana untuk menjelaskan realitas sosial telah
mengalihkan perhatian kajian budaya dari hubungan sosial yang lebih luas
terhadap produksi yang membentuk ideology dan konsumsi dan nyatanya juga
menentukan kenyataan sosial, menjadi sebuah teori pasar tentang budaya yang
bentuk subjek tenaga kerja (buruh) menjadi subjek konsumsi yang, jauh dari
Dengan kata lain kajian budaya bersandar pada asumsi bahwa konsumsi
masyarakat (yang menjadi cara lain dalam menunjukkan komoditas yang mereka
dalam hal ini, daripada hubungan tenaga kerja yang harus mereka masuki sebagai
kondisi awal yang dibutuhkan pada proses konsumsi. Pendapat semacam ini
dalam budaya sebagai pria dan wanita, orang kulit hitam, bangsa Latin, homo, …
secara tetap membentuk teori budaya sejak tahun 1960an telah menjadi pengertian
umum baik pada teori budaya maupun budaya harian itu sendiri. Perubahan
teknologi yang pesat pada beberapa dasawarsa terakhir ini telah mengubah sifat 6
dasar budaya dan pertukaran budaya. Masyarakat di seluruh dunia dapat
melakukan transaksi ekonomi dan saling mengirimkan informasi satu sama lain
hampir sseketika itu juga dengan menggunakan komputer dan satelit komunikasi.
seluruh dunia.
Budaya lokal dan struktur sosial sekarang ini dibentuk dengan minat yang
kuat dan luas, dengan cara-cara yang bahkan para ahli antropologi pun belum
sendiri. Namun sekarang, banyak bangsa yang menjadi masyarakat multi budaya,
yang terdiri atas berbagai subkultur (subbudaya) yang lebih kecil. Budaya juga
melintasi batasan Negara. Misalnya, orang-orang di seluruh dunia saat ini tahu
beebagai kata-kata dalam bahasa Inggris dan berhubungan dengan ekspor budaya
Negara Amerika seperti merk pakaian dan produk teknologi, film maupun musik,
kekuasaan, sebuah proses yang oleh beberapa peneliti disebut sebagai hegemoni
budaya. Saat ini banyak ahli antropologi secara terbuka berusaha menentang
kekuasaan masyarakat dunia yang dominan, seperti pemerintah Uni Soviet dan
perusahaan- perusahaan besar, untuk membuat masyarakat lebih kecil yang unik