Anda di halaman 1dari 10

Ni Komang Dewarati Radha Dewi

2310340026
Tata Kelola Seni

UTS Teori Kebudayaan

1. Budaya sebagai ekspresi kelas sosial-ekonomi (Karl Marx)

Sebelumnya Marx adalah seorang filsuf, ekonom, dan teoritikus politik yang
mengembangkan teori kritis terhadap sistem kapitalis, dia berpendapat bahwa struktur sosial
dan budaya, merupakan hasil dari pertentangan antara kelas sosial yang berbeda. Marx
berpendapat bahwa budaya dan seni mencerminkan struktur sosial serta ekonomi masyarakat,
dan itu termasuk peran serta pengaruh kelas sosial. Sehingga Marx menekankan pentingnya
kelas sosial dalam membentuk budaya dan seni atau bisa juga konflik kelas serta dominasi
ekonomi yang terjadi dalam masyarakat.

Adapun beberapa poin penting yang saya rangkum terkait dengan pandangan Marx
tentang hubungan antara budaya dan kelas sosial-ekonomi:

a. Hegemoni Kelas Dominan:


Pada point ini Marx mengutarakan bahwa kelas borjuis, merupakan kelas dominan
dalam sistem kapitalisme, kelas ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam
menentukan norma, nilai, dan budaya yang mendominasi masyarakat. Mereka sangat
memegang kendali terhadap lembaga-lembaga budaya seperti media, pendidikan, seni,
dan ini memengaruhi cara budaya dan seni diproduksi dan dipahami.

b. Refleksi Struktur Kekuasaan:


Marx berpendapat bahwa seni dan budaya sering kali mencerminkan dan mereproduksi
struktur kekuasaan dalam masyarakat. Karya seni dan budaya dapat merayakan nilai
dan norma yang menguntungkan kelas dominan, atau sebaliknya, mengkritik dan
menantang ketidaksetaraan sosial.

c. Peran Kelas Buruh:


Marx juga menggarisbawahi potensi peran kelas buruh dalam menciptakan budaya
alternatif yang mencerminkan kepentingan mereka dan menentang kapitalisme. Ini bisa
termasuk seni yang memperjuangkan hak-hak buruh atau menggambarkan realitas
hidup kelas pekerja.

Menurut pandangan ini, budaya cenderung memperkuat status quo dan


mempertahankan ketidaksetaraan sosial, karena dominasi kelas yang berkuasa cenderung
memengaruhi produksi dan reproduksi budaya. Dalam pemikiran Marx, perubahan sosial yang
signifikan terjadi melalui perubahan struktur ekonomi yang mendasar, yang pada gilirannya
akan memengaruhi budaya.

Berikut contoh-contoh yang mencerminkan pandangan Marx ini:

o Seni dan Kesenian: Dalam kesenian, terdapat ciri khas perbedaan ekspresi budaya
antara kelas sosial ekonomi. Seperti, seni rupa yang mahal cenderung dibuat oleh
seniman kelas atas. Mereka memiliki akses sumber daya dan pengalaman yang lebih
baik. Sebaliknya, seni jalanan (kelas bawah) seringkali menjadi ekspresi kelas lebih
rendah.

o Gaya Hidup dan Konsumsi: Budaya ini juga mencerminkan perbedaan kelas sosial
ekonomi. Orang dari kelas atas cenderung mengonsumsi barang mewah dan merek
terkenal, sementara orang dari kelas menengah dan bawah cenderung memilih barang-
barang yang lebih murah. Gaya hidup, sandang pangan dan papan atas dan bawah
sering kali mencirikan kelas sosial ekonomi seseorang.

o Pendidikan: Sistem pendidikan juga mempertahankan perbedaan kelas sosial


ekonomi. Orang dari kelas atas lebih mungkin memiliki akses ke pendidikan berkualitas
tinggi, sementara orang dari kelas bawah mungkin terbatas Ini memengaruhi budaya
dalam pengetahuan dan pendidikan dalam masyarakat.

o Bahasa dan Komunikasi: Penggunaan bahasa dan komunikasi juga mencerminkan


kelas sosial ekonomi. Orang dari kelas atas mungkin memiliki aksen atau kosakata yang
berbeda dari mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah. Ini dapat
menciptakan seperti orang yang tidak berpendidikan sering kali penyebutan kosa kata
terkadang tidak tepat

o Akses ke Hiburan: Hiburan dari berbagai kelas sosial ekonomi juga berbeda. Orang
dengan kelas atas mungkin akses mereka ke acara-acara eksklusif, sementara orang dari
kelas bawah mungkin lebih cenderung mengakses hiburan yang terjangkau, seperti
televisi dan radio.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa teori Marx tentang budaya sebagai
ekspresi kelas sosial-ekonomi merupakan satu pandangan dalam analisis sosial yang lebih luas,
dan terdapat berbagai pendekatan yang dapat memberikan wawasan yang lebih komprehensif
terkait dengan peran budaya dalam masyarakat.

Hingga dapat disimpulkan bahwa struktur kelas sosial-ekonomi yang berbeda


menghasilkan perbedaan dalam produksi, distribusi, dan konsumsi budaya. Kelas yang
berkuasa, akan menciptakan dan memengaruhi budaya sehingga mencerminkan kepentingan
dan nilai-nilai mereka, sedangkan kelas yang tertindas (dibawah) mungkin memiliki pengaruh
terbatas atau terpinggirkan dalam produksi budaya dan juga memberikan dasar bagi teori-teori
kritis tentang budaya, yang menyoroti pentingnya analisis struktur kekuasaan dan ekonomi
dalam memahami produksi dan penyebaran budaya dalam masyarakat. Meskipun ada kritik
dan variasi pandangan terhadap pandangan Marx ini, kontribusinya terhadap pemahaman
tentang hubungan antara budaya dan kekuasaan kelas sosial-ekonomi tetap menjadi bagian
penting dalam studi sosial dan kultural.

Sumber Pustaka:
Umanailo, C. (2019). Pemikiran-Pemikiran Karl Marx. M Historis - Social and Behavioral
Sciense, 1-3. Retrieved from https://www.researchgate.net/profile/Muhamad-
Chairul-Basrun-Umanailo/publication/336764610_Pemikiran-
Pemikiran_Karl_Marx/links/5db70f994585151435cdc570/Pemikiran-Pemikiran-Karl-
Marx.pdf
2. Budaya sebagai praktik penandaan (Ferdinand D Saussure, Levis Strauss)

Konsep "Budaya sebagai praktik penandaan" lebih terkait dengan teori semiotika
(keindahan), terutama konsep dari Ferdinand de Saussure dan Claude Lévi-Strauss. Untuk
lebih jelasnya, saya telah merangkum konsep budaya dari masing-masing ahli yakni Ferdinand
D Saussure dan Levis Strauss:

❖ Ferdinand de Saussure:

Saussure adalah seorang ahli bahasa yang dikenal dengan konsep tanda (sign)
dalam bahasa. Ia membagi tanda menjadi dua komponen: signifier (penanda) dan
signified (penandaan). Penanda adalah bentuk fisik atau kata yang kita gunakan untuk
merujuk pada konsep atau makna tertentu (penandaan). Ini berarti bahwa bahasa adalah
sistem tanda di mana kata-kata adalah penanda yang mengacu pada penandaan. Budaya,
menurut Saussure, juga bisa dianggap sebagai sistem tanda di mana simbol-simbol dan
praktik-praktik memiliki makna tertentu yang diterima oleh masyarakat.

❖ Claude Lévi-Strauss:

Lévi-Strauss adalah seorang antropolog budaya yang mengembangkan konsep


strukturalisme. Dia melihat budaya sebagai sistem tanda yang memiliki struktur yang
mendalam. Dalam pandangannya, elemen-elemen budaya, seperti mitos, memiliki
struktur dan hubungan yang sama pentingnya seperti dalam bahasa. Dia mengatakan
bahwa budaya adalah cara masyarakat memahami dan mengorganisasi dunia mereka,
dan elemen-elemen budaya adalah tanda-tanda yang membantu dalam proses ini.

Berikut adalah contoh-contoh yang mengilustrasikan bagaimana budaya dapat


diinterpretasikan sebagai sistem tanda:

o Pakaian dalam Masyarakat: Penggunaan pakaian dalam suatu masyarakat adalah


contoh budaya sebagai praktik penandaan. Pakaian yang dipilih oleh individu atau
kelompok dapat berfungsi sebagai penanda yang mengkomunikasikan status sosial,
agama, atau identitas budaya. Sebagai contoh, pemakaian jilbab dalam budaya Islam
adalah tanda identitas keagamaan.

o Bahasa dan Sistem Tanda: Bahasa itu sendiri adalah sistem tanda yang sangat
penting. Kata-kata (penanda) dalam bahasa kita mengacu pada konsep atau objek
(penandaan). Misalnya, kata "buku" adalah penanda yang mengacu pada objek fisik
yang digunakan untuk membaca. Bahasa adalah contoh utama sistem tanda dalam
budaya.

o Ritual dalam Agama: Upacara keagamaan atau ritual juga merupakan contoh praktik
penandaan dalam budaya. Misalnya, perayaan Natal adalah tanda dari peristiwa
kelahiran Yesus dalam agama Kristen. Upacara ini memiliki simbolisme dan makna
yang dalam untuk komunitas tersebut.

o Mitologi dalam Budaya Kuno: Mitos dalam berbagai budaya adalah sistem tanda
yang menceritakan kisah-kisah yang memiliki makna mendalam. Misalnya, mitos
penciptaan dalam budaya suku-suku asli Amerika mengandung penandaan tentang
asal-usul dan hubungan antara manusia dan alam.
o Simbolisme dalam Seni: Seni visual, seperti lukisan dan patung, sering kali memuat
simbol-simbol yang memiliki makna dalam konteks budaya. Misalnya, warna, bentuk,
dan gambar dapat berfungsi sebagai penanda yang mengungkapkan ide, emosi, atau
pesan tertentu.

Jadi, "Budaya sebagai praktik penandaan" mengacu pada gagasan bahwa budaya dapat
dipahami sebagai sistem tanda dengan terdiri atas elemen-elemen yang memiliki makna dan
digunakan untuk merujuk pada aspek-aspek dunia dan masyarakat. Hal ini mencerminkan
pandangan bahwa bahasa dan budaya memiliki kesamaan dalam hal struktur tanda dan makna
yang diterima oleh anggota masyarakat.

Sumber Pustaka:
Dayu, B. S. (2023). Memahami Konsep Semiotika Ferdinand De Saussure dalam
Komunikasi. LENTERA - Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, -. Retrieved from
http://ojs.uninus.ac.id/index.php/LANTERA/article/view/2774

3. Budaya sebagai fakta sosial (Emile Durkheim)

Pandangan Emile Durkheim tentang budaya sebagai fakta sosial menekankan


pentingnya memahami budaya sebagai suatu kolektivitas yang spesifik pada masyarakat.
Baginya, budaya lebih dari sekedar individu dan merupakan hasil interaksi sosial kolektif.
Durkheim berpendapat bahwa kebudayaan bukan hanya produk perilaku individu, tetapi juga
hasil dari batasan-batasan sosial yang tersebar luas di masyarakat.

Durkheim menggambarkan budaya sebagai seperangkat norma, nilai, dan praktik sosial
yang diadopsi dan diwakili secara kolektif oleh suatu masyarakat. Baginya, budaya merupakan
sumber penting integrasi sosial karena menjadi landasan solidaritas sosial yang mengikat
individu dengan masyarakat.

Dari sudut pandang fakta sosial, Durkheim menekankan bahwa budaya mempunyai
kekuatan untuk secara kolektif mempengaruhi perilaku dan perilaku individu. Ia juga
menekankan pentingnya pemahaman struktur dan fungsi kebudayaan dalam menjaga stabilitas
sosial. Contoh konkret dari budaya sebagai fakta sosial berdasarkan pandangan Emile
Durkheim meliputi:

o Upacara Perkawinan: Budaya perkawinan, seperti pandangan tentang peran suami


dan istri, peran dalam keluarga, dan tradisi perayaan pernikahan, mencerminkan nilai-
nilai dan norma-norma yang diadopsi oleh masyarakat secara kolektif. Oleh karena itu,
institusi perkawinan merupakan contoh konkret dari bagaimana budaya, sebagai fakta
sosial, berfungsi sebagai sarana integrasi sosial dan identitas kolektif yang mengikat
masyarakat bersama.

o Bahasa: Bahasa merupakan fakta sosial yang sangat penting. Dalam sebuah
masyarakat, bahasa tertentu digunakan secara kolektif untuk berkomunikasi. Norma-
norma bahasa, kosakata, dan aturan tata bahasa adalah contoh konkret dari bagaimana
budaya beroperasi sebagai fakta sosial.

o Agama: Agama adalah bagian integral dari budaya di banyak masyarakat. Nilai-nilai,
norma-norma, dan praktik agama diadopsi oleh anggota masyarakat dan memainkan
peran penting dalam membentuk norma perilaku dan pandangan dunia mereka.
o Makanan: Pilihan makanan dan cara makan adalah contoh bagaimana budaya
memengaruhi aspek kehidupan sehari-hari. Di berbagai budaya, terdapat makanan
khas, cara memasak, dan aturan perilaku seputar makanan yang dipegang oleh
masyarakat secara kolektif.

o Pakaian: Budaya juga tercermin dalam pakaian. Setiap masyarakat memiliki norma
dan nilai-nilai yang mempengaruhi pakaian yang dikenakan oleh individu. Misalnya,
pakaian tradisional adalah contoh yang jelas dari bagaimana budaya memengaruhi
pilihan pakaian.

Pandangan Durkheim memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman


kita tentang peran budaya dalam membentuk identitas kolektif dan bagaimana budaya secara
luas mempengaruhi pembentukan dan perubahan masyarakat. Ide-idenya menjadi landasan
penting bagi penelitian di bidang sosiologi dan antropologi budaya.

Sumber Pustaka:
Arif, A. M. (2020). PERSPEKTIF TEORI SOSIAL EMILE DURKHEIM DALAM
SOSIOLOGI PENDIDIKAN. Jurnal Studi Ilmu Pengetahuan Sosial, -.
doi:https://doi.org/10.24239/moderasi.Vol1.Iss2.28

4. Budaya sebagai sebuah dorongan hasrat (Sigmud Freud)

Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, mendefinisikan budaya sebagai produk


pergulatan internal antara dorongan dasar manusia yang tersembunyi di alam bawah sadar dan
upaya masyarakat untuk mengendalikan dan mengarahkan dorongan tersebut. Dalam
pandangannya, dorongan-dorongan keinginan tersebut merupakan kekuatan pendorong utama
perilaku manusia, dan budaya terbentuk sebagai respons terhadap konflik internal yang muncul
dari keinginan-keinginan tersebut.

Freud memperkenalkan konsep "prinsip realitas" dalam teori psikoanalisisnya. Ia


berpendapat bahwa individu dilahirkan dengan dorongan-dorongan hasrat yang kuat, seperti
dorongan seksual (libido) dan dorongan agresif. Namun, dalam masyarakat, individu
dihadapkan pada aturan, norma, dan tuntutan yang membatasi pelampiasan langsung dari
dorongan-dorongan ini. Budaya dan masyarakat berperan dalam menekan dan mengatur
dorongan-dorongan ini agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

Ia percaya bahwa manusia memiliki dorongan biologis yang kuat, seperti dorongan
seksual dan agresi, yang berakar pada pikiran bawah sadar. Dorongan tersebut seringkali
bertentangan dengan aturan dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Dia menggunakan
konsep "struktur kepribadian" yang terdiri dari id, ego, dan superego untuk menjelaskan
interaksif dorongan-dorongan ini dengan situasi sosial masyarakat.

o ID: Mewakili dorongan dasar seperti hasrat seksual dan agresi. Id tidak dipengaruhi
oleh realitas eksternal atau aturan sosial.
o Ego: Berfungsi sebagai perantara antara id dan realitas eksternal. Ego bertanggung
jawab untuk memenuhi keinginan id dengan cara yang realistis dan dapat diterima
secara sosial.
o Superego: Mewakili aturan, nilai, dan norma sosial internal yang dipelajari seseorang
dari lingkungan sosialnya. Superego berfungsi sebagai pengendalian internal yang
menekan impuls-impuls yang tidak disetujui masyarakat.
Freud berhipotesis bahwa budaya muncul sebagai akibat dari konflik antara dorongan
bawah sadar dan tuntutan masyarakat, khususnya melalui mekanisme seperti represi dan
represi. Menurutnya, kebudayaan bertujuan untuk menyalurkan dorongan-dorongan tersebut
ke dalam saluran-saluran yang dapat diterima secara sosial, yang pada gilirannya membentuk
norma-norma, nilai-nilai, dan struktur sosial yang dengannya masyarakat dikenal.

Contoh kasus dari pandangan Freud adalah konsep tabu seksual. Dalam banyak
masyarakat, terdapat aturan dan norma yang mengatur perilaku seksual individu. Hal ini bisa
termasuk pembatasan terhadap hubungan seksual di luar pernikahan atau dengan anggota
keluarga. Freud berpendapat bahwa dorongan seksual alami individu sering kali bertentangan
dengan aturan-aturan ini. Budaya memainkan peran dalam mengajarkan individu untuk
menahan dorongan-dorongan ini dan mengarahkannya pada perilaku yang sesuai dengan
norma sosial.

Budaya, sebagai perwujudan norma dan aturan sosial, memainkan peran dalam
membentuk dan mengarahkan konflik ini. Freud meyakini bahwa pemahaman tentang
bagaimana budaya memoderasi dorongan hasrat penting untuk pemahaman psikologis
manusia.

Sumber Pustaka:
Arif, A. M. (2020). PERSPEKTIF TEORI SOSIAL EMILE DURKHEIM DALAM
SOSIOLOGI PENDIDIKAN. Jurnal Studi Ilmu Pengetahuan Sosial, -.
doi:https://doi.org/10.24239/moderasi.Vol1.Iss2.28

5. Budaya dalam logika pertukaran hadiah (Marcel Mauss)

Dalam teori Marcel Mauss tentang logika pertukaran hadiah, budaya diartikan sebagai
jaringan sosial kompleks di mana praktik pertukaran hadiah memainkan peran penting dalam
membangun dan memelihara hubungan sosial antara individu dan kelompok. Konsep ini
diperkenalkan oleh Mauss dalam karyanya yang terkenal, "The Gift: Forms and Functions of
Exchange in Archaic Societies" (1925).

Menurut Mauss, budaya terbentuk melalui sistem pertukaran hadiah yang mengikat
masyarakat bersama dalam jaringan saling ketergantungan. Pertukaran hadiah ini tidak hanya
bersifat ekonomi, tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial, politik, dan spiritual. Praktik
pertukaran hadiah ini tidak hanya sekadar pertukaran materi, tetapi juga mencakup pemberian,
menerima, dan balas budi.

Konsep budaya dalam logika pertukaran hadiah menekankan pentingnya solidaritas


sosial, kepercayaan, dan kewajiban sosial dalam memelihara hubungan antara individu dan
kelompok. Pertukaran hadiah dianggap sebagai medium penting untuk membangun dan
memelihara ikatan sosial yang kuat antara anggota masyarakat. Melalui pertukaran ini, tercipta
siklus saling memberi dan menerima yang menciptakan hubungan yang harmonis dan saling
memperkuat.

Pemahaman tentang budaya dalam konteks logika pertukaran hadiah oleh Marcel
Mauss menyoroti pentingnya praktik pertukaran dalam membentuk identitas sosial dan
menunjukkan bagaimana pertukaran hadiah memiliki peran penting dalam pembentukan
struktur sosial dan hubungan antarindividu dalam masyarakat.
Beberapa point penting pandangan Mauss tentang budaya dalam konteks pertukaran hadiah
adalah:

a. Kewajiban Sosial:
Dengan memberi hadiah dalam masyarakat seorang yang diberi akan membawa beban
sosial. Jika halnya kita diberikan hadiah kita memiliki beban kewajiban untuk memberi
hadiah kembali dalam bentuk yang setara atau bahkan lebih besar. Ini menciptakan
jaringan hubungan sosial yang kuat

b. Simbolisme:
Hadiah-hadiah tidak hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga nilai simbolis. Mereka
mencerminkan nilai-nilai budaya, status sosial, dan identitas masyarakat. Pertukaran
hadiah juga berfungsi sebagai cara untuk memelihara persatuan sosial dan solidaritas.

c. Prestasi Sosial:
Pertukaran hadiah bukan hanya tindakan individu, tetapi juga mencerminkan
pencapaian sosial. Masyarakat menghargai individu yang dapat memberikan hadiah
dengan kemurahan hati dan individu yang mampu memenuhi kewajiban sosial ini.

d. Pembentukan Kepercayaan: Pertukaran hadiah dalam masyarakat-society membantu


membangun dan memelihara kepercayaan antarindividu dan kelompok. Ini membantu
dalam menjaga harmoni dan stabilitas sosial.

Berikut adalah contoh-contoh dalam konteks pertukaran hadiah:

o Potlatch di Masyarakat Asli Amerika: Potlatch adalah tradisi suku-suku Asli


Amerika di Pantai Barat yang melibatkan pertukaran hadiah dalam skala besar. Dalam
budaya ini, suku-suku bersaing untuk memberikan hadiah sebanyak mungkin dalam
upaya membangun status sosial dan prestise. Potlatch mencerminkan pentingnya
kekayaan, status, dan solidaritas sosial dalam masyarakat tersebut.

o Hadiah Perkawinan di Berbagai Budaya: Dalam banyak budaya, pertukaran hadiah


dalam upacara perkawinan adalah tradisi yang mencerminkan kesepakatan sosial antara
keluarga mempelai. Hadiah-hadiah tersebut dapat berupa harta, hewan ternak, atau
barang berharga lainnya yang mencerminkan norma dan nilai-nilai masyarakat terkait
perkawinan.

o Sistem Hak Adat di Papua Nugini: Beberapa suku di Papua Nugini memiliki sistem
hak adat yang melibatkan pemberian hadiah dalam konteks penyelesaian sengketa.
Hadiah-hadiah ini mencerminkan upaya membangun kembali perdamaian dan
solidaritas dalam masyarakat setelah konflik.

o Pertukaran Hadiah dalam Acara Keagamaan: Dalam beberapa agama, seperti


Hinduisme dan Buddhisme, ada tradisi pertukaran hadiah selama perayaan agama.
Hadiah-hadiah ini mencerminkan rasa hormat kepada dewa-dewi dan juga memperkuat
ikatan sosial dalam komunitas keagamaan.

Ini menunjukkan bagaimana pertukaran hadiah memainkan peran penting dalam


menjalin hubungan sosial, mempertahankan identitas budaya, dan menghormati norma-nilai
dalam berbagai budaya.
Sumber Pustaka:
Salisbury, R. F. (1989). The Gift as an Analytical Category: A Reappraisal. American
Anthropologist, New Series, Volume 91, Issue 2, 383-385.
doi:https://doi.org/10.1525/aa.1989.91.2.02a00200

6. Budaya dalam hasil dari perkembangan teknologi informasi dan digital

Pendapat para ahli tentang relasi antara budaya dengan perkembangan teknologi dan
digital sangat bervariasi. Dalam konteks ini, saya mengambil sudut pandang dari dua orang
ahli dengan pendapat yang pro dan kontra terkait sarana teknologi dan digital sebagai transmisi
perkembangan budaya. Pandangan ahli ini saya jabarkan sebagi berikut:

a. Marshall McLuhan

Marshall McLuhan, seorang teoriwan media ternama, menganggap bahwa media itu
sendiri merupakan pesan yang mempengaruhi cara kita memandang dan memahami dunia.
Ia menekankan konsep "The medium is the message" yang menyoroti bagaimana bentuk
media yang digunakan dalam komunikasi membentuk persepsi dan pengalaman kita
terhadap pesan tersebut. Menurut ia, teknologi informasi dan digital, dengan
karakteristiknya yang cepat, mendalam, dan menyeluruh, mempengaruhi secara
fundamental struktur sosial dan pola interaksi manusia. Ia memandang bahwa pergeseran
dari masyarakat berbasis cetak menuju masyarakat elektronik, terutama melalui pengaruh
televisi, akan mengubah tatanan budaya secara signifikan.

Dalam konteks ini, McLuhan juga menekankan bahwa perkembangan teknologi


informasi dan digital memfasilitasi terciptanya "desa global", di mana manusia dari
berbagai belahan dunia dapat terhubung dan berinteraksi secara instan. Hal ini,
menurutnya, dapat mengubah pandangan kita terhadap budaya, menggeser batas-batas
geografis, dan memicu munculnya budaya global yang lebih homogen.

Contoh yang dapat dihubungkan dengan pandangan Marshall McLuhan yaitu Berita
Online dan Media Sosial. Media online dan jejaring sosial telah memungkinkan akses
instan ke berita dari seluruh dunia. Orang dapat mengakses berita melalui situs web berita,
aplikasi berita, atau platform media sosial seperti Facebook dan Twitter. Hal ini
menciptakan budaya di mana berita dapat dengan cepat disebarkan dan dibagikan oleh
individu, dan komentar serta diskusi seputar berita dapat terjadi secara real-time.

Namun, McLuhan juga mengingatkan bahwa penyebaran teknologi tersebut tidak tanpa
konsekuensi. Ia menggarisbawahi risiko homogenisasi budaya serta potensi hilangnya
identitas budaya lokal akibat dominasi media global. Dalam perspektifnya, pemahaman
akan peran media dan teknologi dalam membentuk budaya sangat penting untuk
memahami transformasi budaya yang terjadi dalam era informasi dan digital.

b. Sherry Turkle

Sherry Turkle, seorang profesor di bidang Ilmu Sosial Teknologi di Massachusetts


Institute of Technology (MIT) dan seorang penulis terkenal, telah memberikan pandangan
yang kaya dan mendalam terkait dengan dampak teknologi informasi dan digital terhadap
budaya dan interaksi manusia. Dia mengangkat perhatian terhadap perubahan perilaku
manusia, komunikasi interpersonal, dan identitas pribadi sebagai akibat dari perubahan
teknologi digital.
Ia sering menekankan bahwa perkembangan teknologi informasi dan digital, seperti
media sosial dan perangkat seluler, telah mengubah cara kita berinteraksi satu sama lain
dan dunia di sekitar kita. Dia mengamati bagaimana ketergantungan yang semakin besar
pada teknologi dapat menghambat kemampuan kita untuk terlibat dalam komunikasi yang
mendalam dan memadai secara emosional. Karya-karyanya, seperti "Alone Together: Why
We Expect More from Technology and Less from Each Other" (2011) dan "Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age" (2015), menyoroti dampak negatif
teknologi terhadap keterlibatan sosial dan komunikasi interpersonal yang otentik.

Pendapatnya terkait budaya dalam hasil dari perkembangan teknologi informasi dan
digital sering kali menyoroti dampak emosional dan psikologis dari keterlibatan yang
semakin intensif dengan teknologi. Berikut adalah beberapa pendapat yang dapat
dihubungkan dengan pandangan Turkle:

a. Alienasi dalam Hubungan Manusia:


Turkle menyoroti bahwa terlalu banyak keterlibatan dengan teknologi dapat
mengakibatkan alienasi dalam hubungan manusia. Dia mencatat bahwa penggunaan
yang berlebihan dari perangkat digital dan media sosial dapat mengurangi kualitas
interaksi sosial dan empati antarmanusia.

b. Ketidaknyamanan dalam Kehidupan Nyata:


Turkle menekankan bagaimana keterlibatan yang intensif dengan teknologi dapat
menciptakan ketidaknyamanan dalam kehidupan nyata. Individu dapat merasa
canggung atau tidak nyaman saat berinteraksi secara langsung dengan orang lain karena
lebih terbiasa dengan interaksi melalui perangkat digital.

c. Perubahan dalam Pembentukan Identitas:


Dia juga menyoroti perubahan dalam pembentukan identitas individu dan budaya, di
mana media sosial dan teknologi digital telah menciptakan ruang baru untuk
membangun dan mengubah identitas online, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
persepsi dan pemahaman tentang diri sendiri.

d. Kekhawatiran terhadap Ketergantungan:

Salah satu perhatian Turkle adalah meningkatnya ketergantungan pada teknologi, yang
dapat mengganggu kemampuan individu untuk merespons dan mengelola dunia di
sekitar mereka secara langsung. Dia memperingatkan tentang pentingnya menemukan
keseimbangan yang sehat antara keterlibatan dengan teknologi dan interaksi sosial yang
berbasis pada kedekatan dan empati.

Pendapat Turkle menyiratkan bahwa perkembangan teknologi informasi dan digital


telah membawa perubahan signifikan dalam budaya, terutama dalam hal komunikasi, identitas,
dan interaksi sosial. Pandangannya menekankan bahwa kita perlu lebih sadar akan dampak
positif dan negatif dari teknologi ini, serta bagaimana kita dapat mengatasi perubahan budaya
yang muncul sebagai hasilnya.
Sumber Pustaka:
Kristiyono, J. (2015). BUDAYA INTERNET: PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM MENDUKUNG PENGGUNAAN
MEDIA DI MASYARAKAT. Jurnal SCRIPTURA, Vol. 5,, 23-30.
doi:https://doi.org/10.9744/scriptura.5.1.23-30
Saleh, G. (2018). Pengaruh Media Sosial Instagram dan WhatsApp Terhadap Pembentukan
Budaya “Alone Together”. Jurnal Komunikasi Vol. 10, -.
doi:https://doi.org/10.24912/jk.v10i2.2673

Anda mungkin juga menyukai