Max Weber, seorang teorisi modernitas terkemuka, secara konstruksi dapat di pandang sebagai
seorang tokoh puncak dalam jajaran analis social jerman abad ke Sembilan belas. Kelompok
pemikir-pemikir ini, termasuk tokoh-tokoh penting di dalamnya sebagai ranke, dilthey dan
rickert . di mana ricket adalah rekam sejaman weber di kemudian hari di sebut ‘filsuf-filsuf
kebudayaan’ Heidelberg dan kesemuanya, dengan cara mereka masing-masing ikut, ikut
meramaikan perdebatan tentang pembentukan dan status epistemologis fenomena
kebudayaan. Hinga titik ini warisan mereka telah memberi sumbangan yang besar bagi
pemikiran kontemporer kita tentang ranah kebudayaan, sesuatu yang memiliki kontinuitas
dengan tradisi sastra inggris tersebut di atas, tetapi yang juga sepenuhnya bertentangan
dengan pengertian antropologi tentang struktur social yang sebelumnya dominan, sebagaimana
yang sudah kita bahas sebelumnya. Kumpulan ide ini berangkat dari suatu pengertian yang kuat
tentang yang a priori, yaitu sesuatu yang intriksi dan universal di dalam kondisi manusia.
Semua filsuf kebudayaan tersebut bekerja di dalam seperangkat problematika yang
berakar pada kehadiran kant yang membayang-bayangi, tetapi sekaligus menginspirasi,
mereka. Kant, seperti kita ketahui, melalui akar yang berbeda, telah memaikan pengaruh yang
besar terhadap estetika Coleridge, tetapi, di dalam tradisi akademik jerma keberadaan kant
bukanlah sebuah kebetulan atau main-main
Filsafat Kantian meletakkan dan memproyeksikan sepanjang masalah yang seolah tak
biasa di akurkan yaitu ‘moralitas’ dan ‘ilmu pengetahuan’ kedua elemen fundamental ini
menunjukan adanya dua ranah eksistensi yang berbeda yang merupakan manifestasi dari
konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang manusia; yang satu sebagai makhluk ideal yang murni,
dan yang lain dan yang lain sebagai makhluk praktis yang nyata
Bagaimana kita akan merangkum kontribusi weber terhadap pemahaman kita tentang
kebudayaan? Seberapa bermanfaatkah metode weber sebagai alat bagi karya kontemporer
kita? Tetapi sebelumnya kita mungkin perlu bertanya, bagi masalah apa, menurut weber,
metodologi ilmiah kulturalnya memberikan solusi? Masuk akal kalua kita menyatakan bahwa,
menurut berbagai sumber ( termasuk biografi yang di tulis oleh istrinya ), weber tidak memiliki
aspirasi-aspirasi metodologis yang besar dan rumit
Pembedaan yang di lakukan oleh weber dan filsuf-filsuf kebudayaan antara ilmi-ilmu
‘alam’ dan ilmu-ilmu ‘budaya’ di dasarkan pada status logis konsep-konsep yang memungkinkan
beroperasinya berbagai ranah pemahaman yang berbeda-beda,. Manusia mengatasi beban
ketidak terbatasan itu dengan memilih dan memilah fakta-fakta menentukan letak pemahaman
yang bersangkutan sebagai pemahaman yang ‘natural/alamih’ ataukah ‘kaltural/budaya’
Weber menggunakan ‘tipe ideal’ sebagai cara untuk memecahkan masalah kontradiksi
antara idealisme dan positivisme dan buntuk-bentuk penjelasan altenatif tentang partikularitas
atau generalitas. Karena di mesin esensial subjektivitas dalam tindakan memahami weber
mengakui bahwa individualitas konsep-konsep budayadi turunkan dari suatu pola yang unik di
mana elemen-elemen yang membentuk fenomenen yang bersangkutan muncul.
‘tipe ideal’ dapat di pandang sebagai sebuah alat dalam ilmu budaya yang beroperasi
pada tingkatan yang lebih dari sekedar deskripsi, ia lebih umum sifatnya di bandingkan dengan
yang benar-benar partikular, tetapi ia di rumuskan dalam kaitannya dengan suatu tujuan
sejarah atau budaya tertentu. Seolah-olah metode-lah yang harus mengikuti semangat proses
social, dan barangkali halnya itulah yang bias di kaitan tentang hal ini.