Anda di halaman 1dari 4

Abid al-Jabiri dan Dekonstruksi Epistemologi Islam*

Empat dekade terakhir ini merupakan periode sangat krusial


dalam sejarah pemikiran Islam. Karena dalam rentang waktu empat
puluh tahun inilah sebuah tren pemikiran dan kesarjanaan Islam baru
telah muncul di tengah-tengah masyarakat Muslim. Perkembangan ini
ditandai dengan menjamurnya karya-karya akademis dan intelektual
yang secara radikal menyikapi warisan budaya dan intellektual Islam.
Sulit untuk menafikan bahwa tren ini sangat kuat sekali di pengaruhi
oleh apa yang sedang berkembang di dunia filsafat, ilmu-ilmu sosial
dan humaniora di Barat. Para advokator pemikiran ini banyak
mengadopsi

teori

kritik,

dalam

berbagai

bentuk

ekpresi

dan

representasinya, mulai dari Hegel hingga Karl Marx dan terus turun
hingga ke Hannah Ardent, Max Horkheimer dan Jurgen Habermas, yang
dianggap sebagai kekuatan sentral dalam tradisi kritik Barat.
Bermodalkan dengan perangkat filsafat dan metodologi inilah,
para sarjana pendukung gerakan intelektual ini melakukan apa yang
disebut

oleh

George

Tarabisyi

dengan

pembantaian

turath

(madhbahah al-turath/massacre of tradition). Mereka mendekonstruksi


hampir kesulurahan bangunan ilmu yang telah dihasilkan oleh para
pemikir dan ulama masa silam seperti Tafsir, Fiqh dan Usul Fiqh, Ilmu
Hadith, Teologi, Kalam dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena ada
anggapan, yang sesungguhnya masih perlu di buktikan, bahwa
kemunduran dan keterpurukan masyarakat Arab dan Muslim pada hari
ini disebabkan oleh kuatnya cengkraman pola pikir tradisi masa lampau
pada masyarakat hari ini.
Salah satu tokoh yang mengusung isu dekonstruksi epistemologi Islam
adalah Abid al-Jabiri. Para tokoh Islam liberal di Indonesia acapkali
mengutip pendapat beliau dalam menguatkan argumentasi mereka,
walaupun para liberalis di Arab tidak se-ekstrim tokoh-tokoh Jil di
Indonesia

karena

mereka

tidak

menyinggung

wilayah

sensitif

keagamaan, seperti Al Quran, syariat, tetapi mereka hanya masuk


lewat pintu turath.
Siapakah Al Jabiri ?
Al Jabiri dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada tahun
1936, Jabiri menyelesaikan pendidikan ibtidaiyahnya di madrasah
hurrah wataniyyah, sekolah agama swasta yang didirikan sebuah

gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan menengahnya dia tempuh


dari 1951-1953 di Casabalanca dan memperoleh Diploma Arabic High
School setelah Maroko merdeka. Sejak dari awal Jabiri telah tekun
mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dia mulai pada tahun 1958
di Universitas Damaskus, Syiria. Jabiri tidak lama bertahan di
universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universtas Rabat
yang baru saja didirikan, dinegara asalnya. Dia menyelesaikan program
masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh inda Ibn
Khaldun (Filsafat Sejarah Ibn Khaldun), dibawah bimbingan N. Aziz
Lahbabi (w. 1992), juga seorang pemikir Arab Maghrib yang banyak
terpengaruh oleh Bergson dan Sarter. Dia meraih gelar Doktor Falsafah
pada tahun 1970 dibawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktronya
juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun . Jabiri muda merupakan
seorang aktifis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai
Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah
menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975
dia menjadi anggota biro politik USFP. Disamping aktif dalam politik,
Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia
telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat
dalam program pendidikan nasional.
Jabiri juga merupakan tokoh kontroversial. Banyak ide dan konsep yang
dilontarkannya sangat provokatif sehingga mendorong orang untuk
bereaksi. Diantara ide barunya adalah seperti epistemological rupture
(al-qatiah al-ibistimulujiyyah) yang di ambilnya dari Gaston Bachelard,
trilogi bayani, irfani, dan burhani nya dan lain sebagainya
Kritik Jabiri atas Pemikiran Islam Kontemporer
Jabiri punya ambisi besar untuk membangun sebuah epistemologi baru
yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia merasa
tidak puas dengan usaha pembaharuan yang telah dan sedang dilakukan
oleh para pemikir dan intelektual Arab-Muslim. Dia mengkritik gerakan
salaf, karena kehilangan objektifitas dan historisitas (la tarikhiyyah wa
llamawduiyah) dalam membaca turats. Mereka terlalu mengagungkan
pencapain masa silam sehingga cenderung mengabaikan realitas sosial
masyarakat masa kini; mereka seolah-olah tidak berpijak pada bumi
nyata. Kritik seperi ini bukan menjadi monopoli Jabiri. Hampir
keseluruhan pemikir Arab Muslim hari ini mempunyai pandangan yang
sama

ketika

melihat

kelompok

salaf.

Yang

menarik

Jabiri

mengidentifikasikan salafi ini dengan pemikir yang dalam literatur


modern biasanya dikategorikan sebagai modernis Muhammad Abduh
dan Afghani. Meskipun demikian Jabiri juga tidak setuju dengan
pendekatan dan solusi yang ditawarkan oleh kelompok liberal yang
terlalu silau dengan kemajuan dan kecanggihan peradaban barat
sehingga sanggup untuk menjadikannya model sebuah bangunan
peradaban.
Selanjutnya Jabiri menilai bahwa baik sikap salafi maupun liberal
bukanlah sebuah alternatif terbaik menyelesaikan problema yang
sedang dihadapi masyarakat Arab-Muslim. Kesalahan mereka, katanya,
terletak pada cara berpikir mereka yang mengadopsi pola pikir qiyasi,
pola pikir yang punya kecenderungan untuk selalu memberi otoritas
referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Mereka sering
membuat analogi dalam menyelesaikan masalah, menganalogikan
fakta-fakta aktual dengan dengan hal ghaib qiyas al-ghaib ala alshahid (analogi yang invisible dengan yang visible), menganalogikan
masa lalu dengan masa sekarang, dan masa akan datang dengan masa
lalu dan sekarang.
Kesimpulan
Al-Jabiri sepertinya berusaha menjadi penilai yang objektif dan
berusaha mengambil yang terbaik dari pemikiran yang ada. Tetapi
sayangnya, baik sadar atau tidak Jabiri sebenarnya telah hanyut
kedalam rentak kelompok liberal yang menurutnya menjadikan
peradaban Barat sebagai model ideal dalam membangun kembali
peradaban Islam. Gagasan Jabiri yang perlu dipertanyakan juga adalah
keinginannya

agar

umat

Islam

melakukan

epistemic

rupture

sebagaimana yang dilakukan Barat. Alasannya karena, menurut Jabir


proses ini sudah pernah dilakukan oleh Ibn Rusd. Yaitu ketika Ibn Rush
telah berhasil memutus hubungan epistemologinya dengan mazhab
pemikiran yang dibangun Ibn Sina dan al-Ghazali, yang menurutnya
secara kuat terpengaruh oleh pemikiran Hermeticism Yunani. Tapi
benarkah Ibn Rushd berhasil melepaskan diri dari jaringan pemikiran
yang dibangun oleh ahli falsafah Arab Timur dengan mazhab
peripatetiknya. Rasanya Jawabannya adalah negatif. Sebab realitasnya
Ibn Rushd sebagaimana al-Farabi dan Ibn Sina terpengaruh oleh
pemikiran

Yunani.

Karya-karyanya

dikenal

sebagai

the

best

Commentator of Aristotle. Komentar-komentarnya terhadap Aristotle

telah menjadi standard literatur di universitas-universitas Barat pada


akhir abad ke 17.
Sayangnya dalam kancah pemikiran di Indonesia, perbedaan-perbedaan
ini jarang dikedepankan, sehingga seolah-olah pikiran-pikiran Jabiri,
Nasr Hamid dan lainnya, ditampilkan nyaris tanpa cacat, sebagai
alternatif baru yang menjanjikan kemajuan bagi umat Islam. Menurut
George Tarabisyi betapapun beragamnya model pembacaan turats yang
diketengahkan oleh pemikir Arab kontemporer tersebut, sesungguhnya
semuanya justru berakhir pada pemenggalan/penjagalan turats itu
sendiri.
* Sumber : Hasil diskusi sabtuan INSISTS dan makalah Dr. Nirwan Syafrin

Anda mungkin juga menyukai