Anda di halaman 1dari 14

“SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA”

A. Kondisi Nusantara Pra Islam


1. Agama

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu dan Budha telah berkembang luas di
nusantara ini, disamping banyak yang masih menganut animism dan dinamisme, kedua agama
itu kian lama kian pudar cahayanya dan akhirnya kedudukannya sepenuhnya diganti oleh agama
Islam yang kemudian menjadi anutan 85 hingga 95% rakyat Indonesia.

Secara geografis, wialayah Indonesia termasuk ke dalam kawasan Asia Tenggara.


Masyarakat di wilayah ini telah memiliki peradaban yang tinggi sebelum kedatangn Islam. Hal
itu disebabkan karena wilayah Asia Tenggara merupakan Negara-negara yang memiliki
kesamaan budaya dan agama. Bangsa Indonesia dalam sejarahnya telah mengenal tulisan yang
diajarkan oleh para penyebar agama Hindu dan Budha.pengaruh ini telah berlangsung cukup
lama, mungkin sejak abad ke-6 atau ke-7 M sampai abad ke-14 dan ke-15 M. pengaruh
Hinduisme dan Budhisme membawa perubahan besar, terutama dalam sistem pemerintahan.

Bukti dari pengaruh agama Hindu dan Budha bagi masyarakat Indonesia dapat dilihat
dari banyaknya bangunan-bangunan suci untuk peribadatan, seperti candi-candi, ukiran, dan
sebagainya. Semua bangunan itu merupakan perpaduan antara seni bangunan zaman
megalithicum, seperti punden berundak-undak.ukiran dan relief yang terdapat di dalamnya
menggambarkan kreatifitas bangsa Indonesia.

2. Bentuk kekuasaan

Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu-Buddha di Indonesia tampaknya belum


mengenal corak pemerintahan dengan sistem kerajaan. Sistem pemerintahan yang
berlangsungmasih berupa sistem pemerintahan desa dan kesukuan yang mencakup daerah-
daerah yang terbatas. Pimpinan dipegang oleh seorang kepala suku bukanlah seorang raja.Sistem
pemerintahan kerajaan baru dikenalkan oleh orang-orang India. Dalam sistem ini, kelompok-
kelompok kecil masyarakat bersatu dengan kepemilikan wilayah yang luas. Kepala suku yang
terbaik dan terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan. Pemimpin ditentukan secara turun-
temurun berdasarkan hak waris sesuai dengan peraturan hukum kasta. Pada masa Hindu-
Budhaberdiri kerajaan-kerajaan, seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Majapahit, dan
kerajaan bercorak Hindu-Buddha lainnya yang tersebar di Nusantara.

3. Budaya
Sebelum ditemukannya mesin yang menggerakkan kapal laut, pelayaran kapal-kapal
lebih ditentukan oleh arus angin. Sistem angin di kepulauan Nusantara yang dikenal sebagai
angin musim (angin muson), memberikan kemungkinan pengembangan jalan pelayaran Barat-
Timur pulang balik secara teratur dan berpola tetap. Musim barat dan musim timur sangat
menentukan munculnya kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat kerajaan sejak aman Sriwijaya
sampai akhir Majapahit.

Kehidupan di kota pelabuhan menampakkan suatu kehidupan yang dinamik. Interaksi


manusia melalui perdagangan di kota pelabuhan dapat menciptakan unit-unit kehidupan
manusia. Interaksi antara unit-unit akan membangun struktur sosial yang dinamik, sehingga
akan menampakkan adanya suatu perubahan.
Masyarakat di kota pelabuhan merupakan masyarakat yang urban dan kosmopolit.
Terciptalah suatu tatanan masyarakat kota. Interaksi tidak hanya terbatas pada pertukaran
barang-barang ekonomi, akan tetapi terjadi pula interaksi budaya antarkelompok masyarakat.

Dengan demikian, kehidupan masyarakat di kota pelabuhan akan menciptakan suatu masyarakat
yang terbuka. Dalam masyarakat yang seperti ini, akan memudahkan masuknya unsur budaya
dari luar. Apabila unsur budaya itu mampu membangun suatu tatanan kehidupan yang mapan,
maka akan menjelma menjadi suatu peradaban.

Sebelum kedatangan Islam di wilayah Nusantara, peradaban yang pernah muncul dan
mampu membangun suatu struktur masyarakat yang mapan yaitu Hindu-Buddha. Peradaban
Hindu-Buddha sangat berpengaruh pada pembentukan struktur masyarakat di Nusantara.
Masyarakat yang dibentuk dalam peradaban ini adalah masyarakat yang memiliki struktur
hierarkis.

Dalam masyarakat seperti ini, terdapat lapisan-lapisan sosial yang sangat ketat.
Masyarakat terbagi atas kasta yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Hubungan
antarkasta ini bersifat vertikal yang sempit, artinya interaksi antarindividu hanya terjadi pada
kelompok kastanya sendiri. Sebagai contoh seorang kasta Ksatria tidak bisa menikah dengan
seseorang yang berasal dari Kasta Waisya.

Dalam konsepsi Hindu-Buddha, hubungan antara manusia dan jagad raya bagaikan
hubungan kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia adalah mikrokosmos
dan jagad raya adalah makrokosmos. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada di
bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan
planet-planet.

Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan atau berakibat


kehancuran. Terjadinya kesejahteraan atau kehancuran tergantung pada dapat tidaknya individu-
individu dan kelompok-kelompok masyarakat terutama sekali negara, berhasil menyelaraskan
kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagad raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagad raya
dapat dicapai dengan menyusun kerajaan itu sebagai gambaran sebuah jagad raya dalam bentuk
kecil.

Penguasa makrokosmos adalah Dewa, sedangkan penguasa mikrokosmos adalah raja,


sehingga lahirlah konsep dewa-raja. Raja adalah wakil dewa di muka bumi. Kedudukan raja
dianggap sebagai titisan (inkarnasi) dari dewa atau sebagai keturunan, atau sebagai kedua-
duanya, baik sebagai penitisan maupun keturunan dewa.

Raja memiliki kedudukan yang sangat sentral. Hubungan antara raja dengan rakyat
membentuk struktur yang patrimonial. Dalam hubungan ini tercipta hubungan kawula dan gusti.
Rakyat lebih banyak melakukan kewajibannya. Pemikiran konsep ini tidak memungkinkan
adanya suatu bentuk perjanjian sosial (social contract) atau konsep mengenai kewajiban-
kewajiban timbal balik antara atasan dan bawahan.
.
4. Mata pencaharian
Sebelum masuk pengaruh hindhu-budha penduduk Nusantara telah mengenal tradisi
agraris, perdagangan, dan pelayaran. Penduduk Indonesia sudah berlayar sampai ke lautan lepas.

Pada masa Hindu-Budha kegiatan perdagangan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu
perdagangan maritim dan agraris. Perdagangan maritim dilakukan oleh kerajaan yang berada di pesisir
seperti Kerajaan Sriwijaya. Perdagangan agraris biasa dilakukan kerajaan yang berada di pedalaman
seperti Kerajaan Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Mataram Kuno, Kediri, dan Singasari. Kerajaan agraris
sangat bergantung pada sungai besar sebagai alat transportasi. Sungai Mahakam, Candrabaga, Bengawan
Solo, dan Brantas merupakan sungai-sungai utama di wilayah Kepulauan Indonesia yang berperan
penting dalam kegiatan perdagangan agraris.
Awalnya, pedagang- pedagang dari India yang singgah di Indonesia membawa barang-barang
seperti berbagai jenis rempah-rempah, seperti lada dan cengkih, serta hasil-hasil kerajinan dan
berbagai jenis binatang khas yang unik. ke Cina. Seiring dengan perkembangan perdagangan
internasional, hubungan dagang antara Indonesia –India – Cina pun berkembang disebutkan
bahwa pada abad ke-5 Masehi, bangsa Indonesia telah mampu turut serta dalam perdagangan
maritim internasional Asia.
Tenaga kerja, Tenaga kerja berasal dari rakyat.Dalam hal ini, rakyat merupakan abdinya yang
harus menaati semua perintahnya. Hal ini dikarenakan pada masa itu, kekuasaan raja merupakan
kekuasaan tertinggi dan mutlak sebab raja dianggap sebagai penjelmaan dewadi bumi dan
memerintah atas nama dewa. Oleh karena itu, rakyat dituntut untuk bersikap setia kepada raja.

B. Alur perjalanan dakwah di nusantara


1. Fase awal masuknya Islam

a. Fase perdagangan
Islam masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan di perkirakan abad ke-7 M sampai
dengan abad ke-11 M, begitu pula perkembangan Islam. Melalui para pedagang dari luar
Indonesia maupun pedagang Indonesia sendiri, Islam disebarkan di pelabuhan-pelabuhan
sepanjang jalur perdagangan, misalnya di sekitar selat Malaka, Samudra, Palembang, menyusul
Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, serta Indonesia Timur.
Agama Islam tersebar pertama kali di pulau Sumatera kira-kira abad ke-7 M (abad I H).Yang
mana disebabkan letak geografinya dan dalam alur pelayaran serta adanya pelabuhan alam yang
menjadi persinggahan para pedagang, baik untuk memasarkan atau untuk mencari barang
dagangan.
Penyebaran agama Islam di Sumatera secara intensif diperkirakan bersamaan waktunya
dengan kemunduran Sriwijaya dan berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam di Perlak dan Samudera
Pasai. Proses penyebaran agama Islam di daerah Minangkabau pada akhir abad ke-14 dan 15 M
sudah memperoleh pengikut yang amat banyak, sekalipun masih ada hambatan dari penguasa
yang masih beragama Hindu. Agama Islam terus menyebar ke daerah-daerah lain sampai ke
daerah-daerah yang dihuni oleh suku Batak, Daerah ini di-Indonesiakan oleh orang Aceh.
Sedang orang-orang Batak di daerah pesisir banyak yang masuk Islam karena pengaruh orang-
orang suku Melayu.
Untuk mengetahui lebih jauh, penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada
perdagangan Internasional, cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para
pedagang muslim yang sudah berada di Nusantara sejak kurang lebih abad ke-7 M untuk tetap
mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk islam, penguasa
local pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam
masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang mendukung
bagi perdagangan. Contoh kasus ini adalah Konversi penguasa Malaka, Prameswara, yang
agaknya menerima Islam demi menarik kedatangan para pedagang muslim ke pelabuhannya
yang baru di bangun.
b. Fase perkawinan
Penyebaran agama Islam juga ditempuh melalui perkawinan. Cara ini ditempuh oleh para
penyebar sekitar abad ke-11 M sampai dengan abad ke-13 M. Para pedagang Gujarat, Benggala,
Arab, dan sebagainya kawin di Indonesia. Karena mereka orang-orang kaya dan terhormat maka
mereka memperistri orang-orang terhormat, raja-raja, pejabat-pejabat, dan sebagainya.
Cara ini ternyata cukup strategis, sebab wanita yang dikawin oleh para penyebar Islam itu di
Islamkan terlebih dahulu, dan ini merupakan modal pada usaha penyebaran Islam. Sekalipun
pendekatan lewat perkawinan ini tidak selalu berhasil, seperti Maulana Ishaq tidak berhasil
mengislamkan raja dan rakyat blambangan, tetapi pada umumnya usaha ini banyak dipakai oleh
para penyebar Islam maupun oleh para pedagang muslim, dan hasilnya diakui banyak keluarga-
keluarga pihak istri yang masuk Islam dan menjadi tulang punggung usaha penyebaran Islam
selanjutnya. Dalam cerita babad dikenal perkawinan antaara Sunan Ampel dengan Nyi Gede
Manila putri Tumenggung Wilatikta. Sayyid Abdurrahman seorang muslim Arab kawin dengan
Putri Raden Ariya Teja putri Aria Dikara (Bupati)Tuban, Sunan Gunung Jati kawin dengan Putri
Kawunganten serta Sunan Giri kawin dengan putri Ki Ageng Bungkul penguasa (bangsawan)
Majapahit di Surabaya. Banyak pedagang-pedagang muslim yang kawin dengan anak-anak
bangsawan atau wanita-wanita rakyat biasa. Usaha ini sering juga didukung dengan keahlian
menyembuhkan penyakit , seperti peristiwa Maulana Ishaq sendiri dan Syekh Nuruddin Ibrahim
dari Cirebon.
c. Fese Akulturasi Budaya
Kurang lebih abad ke-12 M sampai dengan abad ke-14 M, cara akulturasi budaya ditempuh
untuk memberi kesan adanya persesuaian dan agar masyarakat tidak merasa adanya
keterpaksaan dalam memeluk agama Islam. Seperti cara para Sunan wali songo dalam
menyebarkan agama Islam melalui seni wayang, lagu-lagu, permainan dan lain sebagainya.
Menjelang masuknya Islam di Indonesia telah ada kebudayaan baru hasil akulturasi antara
budaya Indonesia dan budaya Hindu, yaitu melalui Akulturasi kebudayaan. Setelah islam masuk
dengan nilai-nilai budaya maka terjadi lagi akulturasi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan
Islam. Akhirnya, lahirlah corak kebudayaan baru dalam kebudayaan Indonesia.
Segi bangunan, terutama sekali dalam bentuk bangunan masjid dengan corak baru beratap
tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil. Jumlah susunannyua ganjil,
tiga ada juga yang lima. Di Bali atap tumpang masih di pakai untuk kuil corak baru pada
bangunan masjid pada jaman Madya adalah tudak adanya menara (kecuali masjid Kudus dan
masjid Banten).
Segi makam, dalam perkembangannya bentuk makam islam masih terpengaruh pola lama
sebelum Islam, yaitu terletak pada tempat yang dianggap suci, agak tinggi atau kalau di tempat
yang latar diberi undak-undak seperti punden berundak di jaman pra sejarah. Makam biasanya
diberi cungkup (rumah), bagaikan menggantikan funsi candi dimasa sebelum Islam dalam
makam yang baru biasanya diberi atau dilengkapi masjid.

d. Fase Kerajaan
Pada abad ke-13 M, di pesisir aceh sudah ada pemukiman muslim. Persentuhan antara
penduduk pribumi dengan pedagang muslim daari Arab, Persia, dan India memang pertama kali
terjadi di daerah ini. Karena itu, proses Islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu
terjadi. Dengan demikian, kerajaan Islam pertama berdiri di Kepulauan Nusantara di Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada Abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri,
perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-
15 M, di daerah ini lahir Kerajaan Islam yang kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat
berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan
Samudra Pasai yang kalah bersaing.
Dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera Utara dan Timur selat
Malaka, yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan Kerajaan-
kerajaan Islam. Sementara di Jawa, proses Islamisasi sudah berlangsung, sejak Abad ke-11 M,
meskipun belum meluas, terbukti dengan diketemukannya makam Fatimah binti Maimun di
Leran Gresik yang berangka tahun 475 Hijriyah.
Berita tentang Islam di Jawa pada Abad ke-11 M memang masih langka. Akan tetapi, sejak
akhir Abad ke-13 M dan abad-abad berikutnya, terutama ketika majapahit mencapai puncaknya,
bukti-bukti adanya proses Islamisasi sudah banyak, dapat ditemukannya beberapa puluh nisan
kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Bahkan di pusat Majapahit maupun di pesisir, terutama
di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat
muslim.

e.Fase para dewan wali sembilan (songo)


Banyak cerita tradisional mengenai para wali, yaitu orang yang saleh yang diduga telah
menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka
dibidang mistik Islam dan Teologi. Wali-wali di Jawa kabarnya berpusat di masjid Demak,
masjid yang mereka dirikan bersama. Disitulah mereka agaknya mengadakan pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang pengembangan ajaran agama Islam di Jawa.disamping oleh para
pedagang penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh para wali atau utusan dengan melakukan
dakwah-dakwah (sekitar awal Abad ke-15 M). Selain para wali memiliki pengetahaun tentang
agama Islam, Ia juga dianggap memiliki pengetahuan tentang ilmu mujizat (ajaib atau yang
dapat menimbulkan keheranan).
Wali yang sembilan adalah dipercayai oleh orang Jawa sebagai peletak dasar batu pertama
ditanah Jawa. Meskipun pribadi para wali itu sudah di selimuti oleh berbagai dongeng, namun
cerita-cerita dongeng tersebut banyak memberikan pertolongan kepada kita didalam
membuktikan bahwasannya meskipun telah menerima Islam, orang Jawa belum sampai hati
membuang sama sekali sisa-sisa dari pada kepercayaan yang lama.
Adapun para wali tersebut adalah :
1) Maulana Malik Ibrahim, disebut juga Maulana Magribi atau jumadil kubro yang kabarnya
berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik.
2) Sunan Ampel, yang semula bernama Raden Rahmat berkedudukan di Ampel dekat Surabaya.
3) Sunan Bonang, yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rahmat dan
berkedudukan di Bonang, dekat Tuban
4) Sunan Drajat, yang semula bernama Munat yang merupakan anak dari Raden Rahmat
berkedudukan di Drajat dekat Sedayu, Surabaya.
5) Sunan Giri, yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit
Giri dekat Gresik.
6) Sunan Muria, yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
7) Sunan Kudus yang semula bernama Udung berkedudukan di Kudus.
8) Sunan Kalijaga, yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak
9) Sunan Gunung Jati, yang semula bernama Fatahilah atau Faletehan yang berasal dari
Samudera Pasai dapat merebut Sunda Kelapa, Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati
dekat Cirebon.

Menurut para ahli sejarah, masuk dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat tiga teori
yaitu teori Gujarat, teori Saudi dan teori Cina.
a. Islam masuk wilayah Indonesia dari anak benua India seperti Gujarat, Bengali dan malabar.
Menurut Snouck Hurgronje, Islam masuk dari daerah Doccon di India, Kesimpulan ini diambil
berdasarkan fenomena sosial bahawa ajaran tasyawuf yang dipraktikkan oleh orang-orang
muslim di India bagian selatan mirip dengan ajaran Islam di Indonesia. Termasuk munculnya
Syi’ah di daerah Sumatra atau Jawa, dugaan itu juga muncul dari daerah India. Sebab saat itu
kerajaan Islam Deccon ( salah satu kerajaan India ) telah memiliki hubungan baik dengan Iran
negeri pusat penyebaran paham Syi’ah.
b. Pendapat yang menyatakan bahwa Islamisasi di Indonesia terjadi pada tahun 1111 atau abad
ke XII M. Pada saat itu orang-orang Aceh dari Sumatra bagian barat laut memeluk Islam atas
ajakan seorang kebangsaan Arab asli, kemudian setelah masuk Islam mereka
mendakwahkanIslam khususnya di daerah tersebut.
c. Teori yang menyatakan bahwa masuknya Islam di Indonesia langsung dari Mekah atau
Madinah. Menurut teori ini bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad 7 atau 8 M. Atau abad
ke 2 H, yaitu pada masa Khulafaur Rosyidin. Ekspedisi Islam ke Indonesia dibawa langsung
oleh para pedagang dari Arab sejak awal abad hijriyah atau abad ke VII Masehi. Menurut
sumber literatur Cina pada awal abad ke 2 hijrah telah muncul perkampungan perkampungan
muslimArab di pesisir pantai Sumatra. Di Perkampungan ini orang-orang muslim Arab
bermukim dan menikah dengan penduduk setempat serta membentuk komunitas-komunitas
muslim. Teori ini adalah yang paling kuat dan diterima para sejarawan masa kini.

2. Masa penyebaran
Jihad dan tindakan militer tidak hanya berlaku pada proses penyebaran Islam di
Nusantara PENYEBARAN Islam di Nusantara, termasuk di pulau Jawa, biasanya digambarkan
sebagai penyebaran yang bersifat damai. Dengan kata lain, Islam tersebar di wilayah ini tanpa
melalui peperangan sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, dan Asia
Tengah. Penyebaran yang damai ini dilihat oleh sebagian orang sebagai hal yang positif, karena
membantu terbentuknya karakteristik Islam yang cenderung damai dan toleran. Tapi ada juga
yang melihatnya sebagai kelemahan. Pola dakwahnya yang cenderung kurang tegas dalam aspek
aqidah dianggap telah menyebabkan banyaknya percampuran nilai-nilai lokal yang tidak Islami
dengan nilai-nilai dan praktek agama Islam.

Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya memang dilakukan oleh para pedagang
Muslim yang melakukan aktivitas perdagangan hingga ke wilayah ini. Karena mereka bukan
merupakan ulama atau dai yang mengkhususkan diri untuk menyebarkan Islam, maka
perkembangan Islam di Nusantara pada awalnya juga berlangsung relatif lambat. Walaupun para
pedagang dari Timur Tengah telah melalui Selat Melaka sejak sebelum munculnya Islam di
Jazirah Arab, Islam tersebar di Nusantara dalam waktu yang relatif lambat. Hal ini disebabkan
faktor jarak yang jauh antara pusat pertumbuhan Islam di Jazirah Arab dengan wilayah
Nusantara. Sebagaimana Geoffrey Blainey menggambarkan betapa tirani jarak (tyranny of
distance) telah membentuk sejarah negerinya, Australia, tirani jarak juga sebetulnya ikut
membentuk sejarah perkembangan Islam di Nusantara.
Terlepas dari jarak yang jauh dan lambatnya perkembangan Islam di Nusantara, secara
bertahap dan pasti pengaruh agama ini semakin kuat dan meluas di Nusantara. Keberadaan para
pedagang Muslim diterima dengan baik oleh para penguasa dan masyarakat kerajaan Hindu-
Budha di Nusantara. Sejak abad ke-7 pesisir Sumatera telah memiliki sebuah pemukiman Arab
Muslim, dan sebagian dari pedagang ini melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan
setempat (Azra, 1994: 29). Seiring dengan semakin berkembangnya komunitas Muslim di
wilayah ini, pada gilirannya muncul dan berkembang juga kerajaan Islam di Sumatera.
Pola yang hampir sama berlangsung juga di Pulau Jawa, walaupun dalam waktu yang
lebih lambat dibandingkan dengan Sumatera. Daya tarik perdagangan dan interaksi dengan para
pedagang Muslim dari luar mendorong para penguasa kota-kota kecil di pesisir Jawa masuk
Islam dan mengarahkan rakyatnya untuk melakukan hal yang sama (Taylor, 2005: 157-8). Di
Pulau Jawa, wilayah pesisir yang merupakan simpul-simpul perdagangan regional dan
internasional menjadi wilayah yang paling kuat dan menonjol Islamnya (Bosquet, 1940: 1).
Perkembangan Islam menjadi semakin kuat dengan datangnya para ulama dan dai yang
mengkhususkan diri dalam penyebaran Islam. Kebanyakan ulama dan dai ‘profesional’ yang
datang ke Nusantara ini adalah dari kalangan penganut tasawuf. Para dai ‘profesional’ ini datang
ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Kedatangan orang-orang yang mengkhususkan diri
dalam penyebaran Islam ini menyebabkan proses Islamisasi di Nusantara mengalami percepatan
yang signifikan antara abad ke-12 dan ke-16 (Azra, 1994: 31). Penyebaran Islam yang semakin
pesat serta kemunduran yang dialami oleh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha pada gilirannya
mendorong terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam lokal. Beberapa waktu kemudian, kerajaan-
kerajaan Islam berkembang semakin pesat, sementara kerajaan-kerajaan Hindu-Budha terus
mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap dari sebagian besar wilayah Nusantara.
Bersamaan dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam, penyebaran Islam di
Nusantara memasuki fase baru, yaitu politik dan militer. Walaupun aktivitas militer atau jihad
berjalan beriringan dengan, dan barangkali tidak lebih dominan dibandingkan, penyebaran
melalui dakwah dan pengajaran, aktivitas ini memiliki peranan yang cukup penting untuk
diperhatikan. H.J. de Graaf menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara terjadi melalui
tiga cara yang berlangsung secara kronologis. Yang pertama adalah penyebaran melalui
perdagangan (by the course of peaceful trade). Yang kedua melalui dakwah para dai dan kaum
sufi (by preachers and holy men). Yang ketiga melalui kekuatan dan peperangan (by force and
the waging of war) (de Graaf, 1970: 123-4)
Untuk kasus di Jawa misalnya, penyebaran Islam melalui kekuatan militer telah terjadi
sejak awal keberadaan kerajaan Islam di wilayah itu, dalam hal ini Kerajaan Demak.
Hal ini terjadi kurang lebih pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Namun cara-cara
militer ini tidak dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat penyebaran Islam, melainkan
karena adanya ancaman dari kerajaan lain. Pada masa itu, Kerajaan Padjadjaran yang menganut
Hindu berusaha menghalangi penyebaran Islam di wilayahnya dengan cara membatasi para
pedagang Muslim yang datang ke kota-kota pelabuhan yang dikuasainya. Selain itu, Padjadjaran
juga berusaha menjalin kerjasama dengan pihak Portugis yang sejak tahun 1511 telah menguasai
wilayah Malaka. Dalam salah satu perjanjiannya, Kerajaan Padjadjaran berjanji memberi
bantuan lada setiap tahunnya kepada Portugis dan memberi mereka ijin untuk membangun
sebuah benteng di wilayah kerajaannya. Sebagai imbalannya, Portugis diminta membantu
Padjadjaran secara militer jika yang terakhir ini mendapat serangan dari Kerajaan Demak atau
yang lainnya.
Adanya perjanjian ini dilihat oleh Demak sebagai sesuatu yang akan membahayakan
eksistensi Islam di Jawa dan Nusantara. Mereka sudah melihat apa yang telah dilakukan
Portugis terhadap Kerajaan Malaka. Karenanya Demak tidak ingin hal yang sama juga terjadi di
Pulau Jawa. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Demak memutuskan untuk mengambil alih
pesisir Utara Padjadjaran. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pembatasan terhadap para
pedagang Muslim yang hendak berniaga di sana dan juga untuk menutup peluang masuknya
Portugis ke wilayah itu.
Pada tahun 1524-1525, Sultan Demak, Trenggana, mengutus Sunan Gunung Jati dengan
membawa pasukan menuju ke wilayah Banten yang ketika itu merupakan wilayah bawahan
Padjadjaran. Penguasa Banten ternyata menerima kedatangan Sunan Gunung Jati dan membantu
proses Islamisasi di wilayah itu. Pada tahun berikutnya Banten menjadi kerajaan bawahan
Demak.
Langkah selanjutnya yang diambil adalah usaha menaklukkan pelabuhan Sunda Kelapa.
Pelabuhan ini merupakan pelabuhan yang paling menonjol di wilayah kekuasaan Padjadjaran
pada masa itu. Serangan terhadap Sunda Kelapa dilakukan pada tahun 1527 di bawah
kepemimpinan Fatahilah yang merupakan menantu Sunan Gunung Jati. Bersama sejumlah
hampir 1.500 tentara, Fatahilah berhasil merebut kota pelabuhan itu dari tangan Padjadjaran.
Sejak itu, nama Sunda Kelapa berganti menjadi Jayakarta yang merupakan cikal bakal kota
Jakarta (Zakaria, 2010: 34-40).
Sejarah di atas menjelaskan beberapa hal kepada kita. Jihad dan tindakan militer tidak
hanya berlaku pada proses penyebaran Islam di Nusantara, tetapi juga secara langsung
melibatkan tokoh ulama dan wali yang menonjol. Peran Sunan Gunung Jati dan menantunya
dalam pembebasan Banten dan Sunda Kelapa menjadi contoh yang nyata untuk ini. Walaupun
para wali dan ahli tasawuf biasanya lebih banyak dihubungkan dengan dunia ibadah dan akhlak,
ternyata hal itu tidak menghalangi mereka dari aktivitas politik dan militer.
Bagaimanapun, perlu juga disadari bahwa jihad dan aktivitas militer tidak serta merta
dilakukan oleh para pemimpin Muslim pada masa itu. Walaupun syariat jihad telah ada dalam
Islam sejak lebih dari delapan abad sebelumnya, komunitas Muslim tidak melakukan agresi
militer atau sikap memerangi terhadap pihak yang memusuhi melainkan setelah adanya kondisi
tertentu. Mereka mengambil langkah itu ketika keadaan menuntut mereka untuk melakukannya,
yaitu adanya bahaya yang mengancam eksistensi mereka. Selain itu, peranan militer baru
dilakukan ketika sudah adanya suatu kerajaan Islam dan kerajaan tersebut memiliki
perimbangan kekuatan dengan kerajaan lain yang mengancamnya. Jadi hal tersebut tidak
dilakukan secara sporadis tanpa mempertimbangkan peta kekuatan yang ada serta tuntutan untuk
melakukannya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Islam telah berkembang dengan pesat di
Nusantara melalui tahap pembentukan kekuatan ekonomi, pembangunan kekuatan spiritual dan
keilmuan, dan pada akhirnya perwujudan kekuasaan politik dan jihad (militer). Namun
tampaknya pada masa-masa belakangan ini, dua aspek yang awal, yaitu kekuatan ekonomi dan
spiritual, cenderung diabaikan oleh masyarakat Muslim di Nusantara. Yang menjadi perhatian
utama tinggal yang terakhir saja. Itu pun mungkin tanpa diiringi dengan pengertian yang tepat
serta strategi yang jitu.
3. Amanah dalam penyebaran

a. Pedagang arab
Pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang Islam dari Gujarat/India,
Persia, dan Bangsa Arab. Saat berdagang terjadilah komunikasi antara penjual dan pembeli, atas
interaksi ini maka terjadilah penyebaran agama Islam. Sebagai seorang muslim mempunyai
kewajiban berdakwah maka para pedagang Islam juga menyampaikan dan mengajarkan agama
dan kebudayaan Islam kepada orang lain, akhirnya banyak pedagang Indonesia memeluk agama
Islam dan merekapun menyebarkan agama Islam dan budaya Islam yang baru dianutnya kepada
orang lain. Secara bertahap agama dan budaya Islam tersebar dari pedagang Gujarat/India,
Persia, dan Bangsa Arab kepada bangsa Indonesia. Proses penyebaran Islam melalui
perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif dibanding cara lainnya.

b. Mubalight/guru agama

Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubalig
yangmenyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren. Dan
didalam pesantren itulah tempat pemuda pemudi menuntut ilmu yang berhubungan dengan
agamaIslam. Yang jika para pelajar tersebut selesai dalam menuntut ilmu mengenai agama
Islam, merekamempunyai kewajiban untuk mengajarkan kembali ilmu yang diperolehnya
kepada masyarakatsekitar. Yang akhirnya masyarakat sekitar menjadi pemeluk agama Islam.
Pesantren yang telahberdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren Sunan
Ampel Surabaya yangdidirikan oleh Raden Rahmat ( Sunan Ampel ) dan Pesantren Sunan Giri
yang santrinya banyakberasal dari Maluku ( daerah Hitu ), dls.

c. Ulama sufi

Seorang Sufi biasa dikenal dengan hidup dalam keserhanaan, mereka selalu menghayati
kehidupan masyarakatnya yang hidup bersama di tengah – tengah masyarakatnya. Para Sufi
biasanya memiliki keahlian yang membantu masyarakat dan menyebarkan agama Islam. Para
Sufi pada masa itu diantaranya Hamzah Fansuri di Aceh dan Sunan Panggung Jawa. Dengan
melalui saluran diatas, agama Islam dapat berkembang pesat dan diterima masyarakat dengan
baik pada abad ke-13. Dan adapun faktor-faktor yang menyebabkan Islam cepat bekembang di
Indonesia antara lain : Syarat masuk Islam hanya dilakukan dengan mengucapkan dua kelimat
syahadat;Tata cara beribadahnya Islam sangat sederhana; Agama yang menyebar ke Indonesia
disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia; Penyebaran Islam dilakuakn secara damai.

d. Para wali

Banyak cerita tradisional mengenai para wali, yaitu orang yang saleh yang diduga telah
menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka
dibidang mistik Islam dan Teologi. Wali-wali di Jawa kabarnya berpusat di masjid Demak,
masjid yang mereka dirikan bersama. Disitulah mereka agaknya mengadakan pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang pengembangan ajaran agama Islam di Jawa.[8] disamping oleh para
pedagang penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh para wali atau utusan dengan melakukan
dakwah-dakwah (sekitar awal Abad ke-15 M). Selain para wali memiliki pengetahaun tentang
agama Islam, Ia juga dianggap memiliki pengetahuan tentang ilmu mujizat (ajaib atau yang
dapat menimbulkan keheranan).
Wali yang sembilan adalah dipercayai oleh orang Jawa sebagai peletak dasar batu pertama
ditanah Jawa. Meskipun pribadi para wali itu sudah di selimuti oleh berbagai dongeng, namun
cerita-cerita dongeng tersebut banyak memberikan pertolongan kepada kita didalam
membuktikan bahwasannya meskipun telah menerima Islam, orang Jawa belum sampai hati
membuang sama sekali sisa-sisa dari pada kepercayaan yang lama.
Adapun para wali tersebut adalah :
1) Maulana Malik Ibrahim, disebut juga Maulana Magribi atau jumadil kubro yang kabarnya
berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik.
2) Sunan Ampel, yang semula bernama Raden Rahmat berkedudukan di Ampel dekat Surabaya.
3) Sunan Bonang, yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rahmat dan
berkedudukan di Bonang, dekat Tuban
4) Sunan Drajat, yang semula bernama Munat yang merupakan anak dari Raden Rahmat
berkedudukan di Drajat dekat Sedayu, Surabaya.
5) Sunan Giri, yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit
Giri dekat Gresik.
6) Sunan Muria, yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
7) Sunan Kudus yang semula bernama Udung berkedudukan di Kudus.
8) Sunan Kalijaga, yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak
9) Sunan Gunung Jati, yang semula bernama Fatahilah atau Faletehan yang berasal dari
Samudera Pasai dapat merebut Sunda Kelapa, Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati
dekat Cirebon.

4. Cara dakwah di nusantara


a. Perkawinan

Penyebaran agama Islam juga ditempuh melalui perkawinan. Cara ini ditempuh oleh
para penyebar sekitar abad ke-11 M sampai dengan abad ke-13 M. Para pedagang Gujarat,
Benggala, Arab, dan sebagainya kawin di Indonesia. Karena mereka orang-orang kaya dan
terhormat maka mereka memperistri orang-orang terhormat, raja-raja, pejabat-pejabat, dan
sebagainya.
Cara ini ternyata cukup strategis, sebab wanita yang dikawin oleh para penyebar Islam itu di
Islamkan terlebih dahulu, dan ini merupakan modal pada usaha penyebaran Islam. Sekalipun
pendekatan lewat perkawinan ini tidak selalu berhasil, seperti Maulana Ishaq tidak berhasil
mengislamkan raja dan rakyat blambangan, tetapi pada umumnya usaha ini banyak dipakai oleh
para penyebar Islam maupun oleh para pedagang muslim, dan hasilnya diakui banyak keluarga-
keluarga pihak istri yang masuk Islam dan menjadi tulang punggung usaha penyebaran Islam
selanjutnya. Dalam cerita babad dikenal perkawinan antaara Sunan Ampel dengan Nyi Gede
Manila putri Tumenggung Wilatikta. Sayyid Abdurrahman seorang muslim Arab kawin dengan
Putri Raden Ariya Teja putri Aria Dikara (Bupati)Tuban, Sunan Gunung Jati kawin dengan Putri
Kawunganten serta Sunan Giri kawin dengan putri Ki Ageng Bungkul penguasa (bangsawan)
Majapahit di Surabaya. Banyak pedagang-pedagang muslim yang kawin dengan anak-anak
bangsawan atau wanita-wanita rakyat biasa. Usaha ini sering juga didukung dengan keahlian
menyembuhkan penyakit , seperti peristiwa Maulana Ishaq sendiri dan Syekh Nuruddin Ibrahim
dari Cirebon.

b. Pendidikan

Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama yang menyebarkan
Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren. Pesantren adalah
tempat pemuda pemudi menuntut ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Setelah para
pelajar tersebut selesai dalam menuntut ilmu mengenai agama Islam, mereka mengajarkan
kembali ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat sekitar, hingga akhirnya masyarakat
sekitar menjadi pemeluk agama Islam.

c. Budaya/kesenian
Kurang lebih abad ke-12 M sampai dengan abad ke-14 M, cara akulturasi budaya
ditempuh untuk memberi kesan adanya persesuaian dan agar masyarakat tidak merasa adanya
keterpaksaan dalam memeluk agama Islam. Seperti cara para Sunan wali songo dalam
menyebarkan agama Islam melalui seni wayang, lagu-lagu, permainan dan lain sebagainya.
Menjelang masuknya Islam di Indonesia telah ada kebudayaan baru hasil akulturasi antara
budaya Indonesia dan budaya Hindu, yaitu melalui Akulturasi kebudayaan. Setelah islam masuk
dengan nilai-nilai budaya maka terjadi lagi akulturasi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan
Islam. Akhirnya, lahirlah corak kebudayaan baru dalam kebudayaan Indonesia.
Segi bangunan, terutama sekali dalam bentuk bangunan masjid dengan corak baru beratap
tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil. Jumlah susunannyua ganjil,
tiga ada juga yang lima. Di Bali atap tumpang masih di pakai untuk kuil corak baru pada
bangunan masjid pada jaman Madya adalah tudak adanya menara (kecuali masjid Kudus dan
masjid Banten).[6]
Segi makam, dalam perkembangannya bentuk makam islam masih terpengaruh pola lama
sebelum Islam, yaitu terletak pada tempat yang dianggap suci, agak tinggi atau kalau di tempat
yang latar diberi undak-undak seperti punden berundak di jaman pra sejarah. Makam biasanya
diberi cungkup (rumah), bagaikan menggantikan funsi candi dimasa sebelum Islam dalam
makam yang baru biasanya diberi atau dilengkapi masjid.

d. Politik/kekuasaan

Pada abad ke-13 M, di pesisir aceh sudah ada pemukiman muslim. Persentuhan antara
penduduk pribumi dengan pedagang muslim daari Arab, Persia, dan India memang pertama kali
terjadi di daerah ini. Karena itu, proses Islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu
terjadi. Dengan demikian, kerajaan Islam pertama berdiri di Kepulauan Nusantara di Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada Abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri,
perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-
15 M, di daerah ini lahir Kerajaan Islam yang kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat
berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan
Samudra Pasai yang kalah bersaing.[7]
Dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera Utara dan Timur selat Malaka,
yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan Kerajaan-kerajaan
Islam. Sementara di Jawa, proses Islamisasi sudah berlangsung, sejak Abad ke-11 M, meskipun
belum meluas, terbukti dengan diketemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik
yang berangka tahun 475 Hijriyah.
Berita tentang Islam di Jawa pada Abad ke-11 M memang masih langka. Akan tetapi, sejak
akhir Abad ke-13 M dan abad-abad berikutnya, terutama ketika majapahit mencapai puncaknya,
bukti-bukti adanya proses Islamisasi sudah banyak, dapat ditemukannya beberapa puluh nisan
kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Bahkan di pusat Majapahit maupun di pesisir, terutama
di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat
muslim.

C. Kerajaan-kerajaan islam
a. Sumatera

1. Kerajaan Perlak.

Kerajaan Islam yang pertama kali berdiri di Sumatra dan tanah air adalah Kerajaan Perlak
(Peureula). Kerajaan Perlak ini berdiri pada pertengahan abad IX dengan raja pertamanya
bernama Alauddin Syah. Perlak pada saat itu merupakan kota dagang penyedia lada paling
terkenal. Pada akhir abad XII Kerajaan Perlak akhirnya mengalami kemunduran.

2. Kerajaan Samudera Pasai


Pedagang Arab, Persia, dan Gujarat pada abad ke-12 awal, membawa ajaran Islam yang
beraliran Syiah ke wilayah pantai Timur Sumatera, terutama di negera Pasai dan Perlak. Saat itu
aliran Syiah berkembang di Hindustan dan Persia dan juga Dinasti Fatimiah sebagai penganut
paham Islam aliran Syiah yang sedang berkuasa di Mesir.
Mereka berdagang dan bermukim di muara Sungai Pasai dan muara Sungai Perlak membangun
sebuah kesultanan. Pada tahun 1268 Dinasti Fatimiah runtuh dan digantikan dengan Dinasti
Mamluk yang beraliran Syafi’i, mereka menumpas para orang Syiah di Mesir, begitu juga di
pantai Timur Sumatera.
Syekh Ismail sebaai utusan Mamluk mengangkat Marah Silu untuk menjadi sultan di Pasai,
dengan diberi gelar Sultan Malikul Saleh.Marah Silu yang awalnya menganut pemahaman
Syiah berubah menjadi aliran Syafi’i. Keraajaan Islam di Indonesia.
Sultan Malikul Saleh digantikan dengan putranya yang bernama Sultan Malikul Zahir,
sedangkan putra keduanya bernama Sultan Malikul Mansur memisahkan diri serta kembali
menganut paham Syiah.Saat Majapahit melakukan peluasan kekuasaan ke seluruh Nusantara,
Pasai berada dalam kekuasaan Majapahit.
Adanya kerajaan Samudera Pasai ini diperkuat dengan catatan Ibnu Batutah, sejarawan asal
Maroko.Kronik dari sejarah Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah, Samudera
Pasai adalah pusat studi Islam. Pada tahun 1345-1346 ia berkunjung ke kerajaan samudra pasai.
Ibnu Batutah memanggilnya sebagai “Sumutrah”, ejaannya nama Samudera, yang kemudian
berubah menjadi Sumatera.

3. Kesultanan Palembang Darussalam


ialah sebuah kerajaan islam di Indonesia yang bertempat di Sumatra Selatan, sekitar Kota
Palembang sekarang. Pada tahun 1659 Kesultanan Palembang Darussalam diumumkan secara
resmi oleh Sri Susuhan Abdurrahman, seorang muslim bangsawan Palembang keturunan Jawa
dan pada 7 Oktober 1823 oleh pemerintah kolonial Belanda dihapuskan keberadaannya.
Seorang ahli geografi dan petualang dari Perancis Malthe Conrad Bruun (1755-1826),
memaparkan keadaan kota kerajaan dan masyarakat pada waktu itu, yang sudah dihuni oleh
sebuah masyarakat yang beraneka ragam terdiri dari Cina, Siam, Jawa dan Melayu juga
disebutkan pada bangunan yang telah didirikan menggunakan batu bata hanya sebuah istana
kerajaan dan vihara.

4. Kerajaan Pagaruyung
merupakan Kerajaan Islam Melayu yang dulu pernah berdiri di Sumatera Barat. Kerajaan ini
mengalami kehancuran pada saat Perang Padri, setelah adanya tanda tangan perjanjian antara
kepala Adat dengan pihak Belanda yang dijadikan wilayah Kerajaan Pagaruyung berada pada
pengawasan Belanda.
Sebelumnya Kerajaan Pagaruyung tergabung dengan Kerajaan Malayapura.Disebutkan dalam
prasasti Amoghapasa bawah Adityawarman adalah pemimpin kerajaan Malayapara yang
mengikrarkan dirinya sebagai penguasa Tanah Malayu di Suwarnabhumi. Kerajaan kerajaan lain
yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Malayapura ialah kerajaan Dharmasraya dan juga
beberapa kerajaan yang ditaklukan Adityawarman.

5. Kerajaan Aceh
Pada tahun 1514 berdiri pula Kerajaan Aceh. Sultan Ibrahim atau Ali Mugayat Syah tercatat sebagai raja
pertama kerajaan ini yang memimpin antara tahun 1514-1528 M. Kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang
sangat penting bagi para pedagang saat itu. Setelah bandar Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang
banyak yang beralih ke wilayah Aceh. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Pada saat itu wilayah kekuasaan Aceh sangat luas. Beberapa daerah di Semenanjung Malaya
berada di bawah kekuasaannya. Kerajaan Aceh juga telah menjalin hubungan kerja sama dengan para
pemimpin Islam di kawasan Arab. Oleh karena itu, Aceh juga dikenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Puncak hubungan ini terjadi pada masa kekhalifahan Usmaniyah. Hubungan kerja sama dengan kerajaan-
kerajaan di kawasan Arab tidak hanya pada bidang perdagangan dan keagamaan, tetapi kerja sama politik dan
militer.

b. Jawa

1. Kesultanan Demak (1500 – 1550)


Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam yang terbesar dan pertama di pesisir pantai utara
Jawa. Sebelumnya kerajaan ini adalah sebuah kadipaten dari kerajaan Majapahit.Setelah datang
dan masuknya ajaran Islam juga dimulainya masa kemunduran Majapahit, kadipaten ini
kemudian berubah sebagai basis penyebaran ajaran Islam di Nusantara.
Salah satu bukti peninggalan Kerajaan Islam di Indonesia dari kerajaan Demak adalah
berdirinya Masjid Agung Demak.Masjid ini ialah warisan dan peninggalan wali songo, para
ulama penyebaran ajaran Islam di Jawa.

2. Kesultanan Banten (1524 – 1813)


Kerajaan Islam di Indonesia untuk wilayah Jawa selanjutnya berkuasa di atas Tatar
Pasundan.Kerajaan ini bernama Kesultanan Banten.Berdirinya kerajaan ini setelah kerajaan
Demak mempeluas kekuasaannya sampai pesisir barat Jawa.
Maulana Hasanuddin yaitu putra Sunan Gunung Jati merupakan orang yang sangat berjasa
dalam penaklukan tersebut. Karena adanya pengaruh kedatangan dan penyeranan Belanda
terhadap nusantara, kemudian kerajaan ini hanya mampuh bertahan sampai tahun 1813.

3. Kesultanan Cirebon (1552 – 1677)


Pada abad ke-15 dan 16 Masehi, kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam yang sangat
terkenal di jagat Asia.Melalui jalur perdagangan juga pelayaran antar pulau pada waktu itu,
kesultanan ini memiiki posisi yang sangat strategis.
Selain menjadi jembatan dan juga tempat persinggahan para pelayar dan pedagang yang hendak
berlayar ke Barat dan ke Timur, kerajaan Islam yang satu ini juga menjadi sebuah pusat
pertemuan kebudayaan dari berbagai macam daerah.

4. Kesultanan Pajang (1568 – 1618)


Kerajaan Pajang ialah kerajaan Islam yang beretak di Jawa Tengah yang menjadi lanjutan dari
Kerajaan Demak. Selepas meningganya Sultan Trenggana, Kemudian kerajaan Demak runtuh.
Seluruh daerah kekuasannya memisahkan diri dan membangun kerajaannya masing-masing,
termasuk juga kesultanan Pajang ini.
Sekarang, kita masih bisa mendapati bukti keberadaan Islam di Indonesia yaitu kesultanan
Pajang pada zaman dulu.Pondasi dan reruntuhan keratonnya masih tersisa dan masih bisa kita
lihat di kelurahan Pajang, Kota Surakarta.

5. Kesultanan Mataram (1586 – 1755)


Kesultanan Mataram merupakan kerajaan Islam yang berdiri pada abad ke-15 akhir.Raja
pertama dari Kesutanan Mataram adalah Sutawijaya, putra dari Ki Ageng Pemanahan.Pada masa
kejayaannya, Kerajaan Mataram pernah berjasa dalam menyatukan tanah Jawa.Kerajaan
Mataram juga pernah berperang melawan VOC di Batavia.
Beberapa peninggalan yang dapat kita jumpai hingga saat ini diantaranya adalah adanya
kampung Matraman di Jakarta, sistem persawahan di Pantai Utara Jawa, penggunaan hanacaraka
dalam bahasa Sunda, politik feodal, dan beberapa batas daerah administrasi yang dari sekarang
masih berlaku.

c. Kalimantan
1. Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-
kerajaan bercorak Hindu, yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai
Nagara di Amuntai kini.

Raden Samudra dinobatkan sebagai raja Banjar oleh Patih Masiri, Muhur, Balit, dan Kuwin. Pada
waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudra minta bantuan Demak sehingga mendapat
kemenangan.

Sejak itulah penguasa Kerajaan Samudra menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan
Suryanullah. Islamisasi di daerah ini terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah
Kerajaan Banjar meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin,
Sampit, Madawi, dan Sambangan.

2. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.


Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja
Mahkota, yaitu Tuan di Bandang, yang dikenal dengan Dato’ Ri Bandang dari Makasar dan
yang satunya adalah Tuan Tunggang Parangan. Setelah pengislaman itu Dato’ Ri Bandang
kembali ke Makasar, sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Raja Mahkota tunduk
kepada keimanan Islam, setelah itu segera dibanun sebuah masjid dan pengajaran agama Islam
dapat dimulai. Yang pertama mengikuti pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian
pangeran, para mentri, panglima dan hulubalang dan akhirnya rakyat biasa.

Sejak itu Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam dengan pedang. Proses Islamisasi di
Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. Penyabaran lebih jauh daerah-
daerah pedalaman dilakukan terutama pada waktu puteranya Aji di Langgar, dan pengganti-
penggantinya meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.

3. Kerajaan Sukadana.

Pada tahun 1550 Islam telah diperkenalkan kepada Kerajaan Sukadana di wilayah barat Pulau
Kalimantan. Meskipun raja yang berkuasa pada saat itu belum sempat memeluk agama Islam,
penerus kerajaan tersebut selanjutnya memeluk agama Islam. Bahkan, pada tahun 1600 Islam
menjadi agama yang sangat populer di sepanjang pesisir pantai pulau tersebut.

4. Kerajaan Pontianak

Kesultanan Pontianak didirikan pada akhir abad ke-18 M, sekaligus merupakan kesultanan termuda
yang lahir di wilayah Kalimantan Barat. Sebelumnya, telah banyak terdapat kesultanan atau kerajaan
lainnya yang telah lebih dulu berdiri di wilayah ini. Seperti Kerajaan Landak (1472M), Matan (16M),
Mempawah (16M), Sambas (17M), dan lainnya.
Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat
pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Ra ya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Ka
dariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Da lam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Ia memerintah
dari tahun 1771-1808.

Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Pontianak terus mengalami kemajuan hingga menjadi kekuatan
baru di wilayah Kalimantan Barat dalam aktvitas perdagang an nya. Hal ini karena posisi kerajaan yang
strategis sehingga banyak pedagang asing yang singgah

d. Sulawesi

1. Kerajaan Gowa-Tallo
Kedua raja dari Gowa dan Tallo secara resmi memeluk ajaran Islam pada 22 September 1605
M. Sebelum menjadi kerajaan Islam Kerajaan Gowa-Tallo sering berperang dengan kerajaan
yang lainnya di Sulawesi Selatan, semisal dengan Luwu, Soppeng, Bone, dan Wajo.
Sejak itu, Gowa meluaskan wilayah politiknya dengan tujuan agar kerajaan-kerajaan lainnya
memeluk Agama Islam dan tunduk terhadap kekuasaannya.Meski Gowa-Tallo sudah menganut
ajaran Islam, pada masa pemerintahan para Raja Gowa selanjutnya, dengan Portugis yang
beragama Kristen Katolik mereka tetap berhubungan baik.Misalnya, masa kekuasaan Sultan
Gowa Muhammad Said (1639 – 1653) dan dimasa putranya Sultan Hasanuddin (1639 – 1669).

2. Kerajaan Bone
Penyebaran ajaran Islam di Bone tidak terlepas dari penyebaran ajaran Islam Kerajaan
Gowa.Penyebaran Islam secara damai dilakukan oleh Sulthan Alauddin.Pertama yang sulhan
lakukan ialah dakwah kepada para kerajaan tetangga.
Di masa La Tenri Ruwa yaitu Raja Bone XI pada tahun 1611 M Islam masuk di Bone dan Raja
Bone XI cuma berkuasa tiga bulan lamanya. Sebab, beliau yakin terhadap ajaran Islam dan
memeluk Islam padahal dewan adat Ade Pitue dan para rakyatnya menolak ajaran tersebut.
Perlu diketahui, sebelum La Tenri Ruwa atau Sultan Adam Matindore ri Bantaeng masuk Islam,
rakyat Bone sudah ada yang masuk Islam. Bahkan, Raja sebelumnya We Tenri Tuppu sebab
mendengar Sidendreng memeluk Islam, ia pun tergugah hatinya untuk belajar dan wafat di sana.
Sehingga, ia diberi gelar Mattinroe ri Sidendren.

3. Kerajaan Konawe
Masuk dan tersebarnya Islam di Kerajaan Konawe adalah bagian dari proses penyebaran ajaran
Islam di Sulawesi Tenggara. Pada abad ke-18 Islam masuk di Kerajaan Konawe yang
disebarkan oleh para saudagar dari Buton, Bugis, dan Ternate.Namun, jauh sebelumnya diduga
telah masuk para saudagar dari Buton, Bone, dan Ternate.Akan tetapi, ajaran Islam belum
diterima secara resmi.

e. Maluku
1. Kerajaan Ternate
Di Maluku sudah berdiri Kerajaan Ternate Pada abad ke-13. Ibu kota dari Kerajaan Ternate
berada di Sampalu (Pulau Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga sudah berdiri
kerajaan-kerajaan yang lain, seperti Jaelolo, Bacan, Tidore, dan Obi. Di antara kerajaan-
kerajaan Maluku, Kerajaan Ternate adalah yang paling berjaya.Kerajaan Ternate termasuk
kerajaan yang banyak dikunjungi oleh pedagang, baik pedagang Nusantara maupun asing.
2. Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore berada di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah dari raja-raja Ternate dan Tidore,
Raja Ternate yang pertama adalah Muhammad Naqal yang naik kuasa pada tahun 1081 M. Baru di tahun
1471 M, ajaran Islam berhasil masuk di kerajaan Tidore yang disebarkan oleh Ciriliyah, Raja Tidore
kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin meyakini ajaran agama Islam sebagai agamanya berkat
dakwahnya Syekh Mansur dari Arab.

Anda mungkin juga menyukai