Anda di halaman 1dari 18

PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

Syifa Fajrina (190203088)


Nisrina Firda Oktari (190203091)
Rahmikawati (160203038)

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil 'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah
menganugerahkan keimanan, keislaman, kesehatan, dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyusun makalah ini dengan baik.

Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah
berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.

Meski demikian, penulis meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam penyusunan
makalah ini, baik dari segi dalil, sumber hukum, tata bahasa, dan bahkan tanda baca sehingga
sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian sebagai bahan evaluasi penulis.

Demikian, besar harapan penulis agar makalah ini dapat menjadi bacaan menarik bagi
pembaca dan peserta seminar.

Banda Aceh, 06 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
BAB I...................................................................................................................................................iii
Pendahuluan.........................................................................................................................................iii
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................v
BAB II...................................................................................................................................................1
Pembahasan...........................................................................................................................................1
A. Pengertian Syariat Islam............................................................................................................2
B. Prinsip Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh................................................................................3
C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh................................................................................4
D. Pro dan Kontra Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh...................................................................5
E. Kendala Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh..............................................................................8
BAB III................................................................................................................................................11
PENUTUP...........................................................................................................................................11
KESIMPULAN...............................................................................................................................11
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................12

iii
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Sejarah telah mencatat bahwa Islam telah berada di Aceh sekitar abad 13 yang kemudian
tersebar keseluruh nusantara dan bagi masyarakat Aceh tidak ada satupun yang menggerutu,
menolak, menggugat dan melakukan perlawanan terhadap Penerapan Syari’at Islam serta
dijadikan panduan amalan dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan modal dalam
meningkatkan proses Islamisasi Aceh serta masyarakat untuk mewujudkan keadilan,
kemakmuran dan kesejahteraan serta memantapkan kemampuan daerah dalam menghadapi
tantangan global.

Syari’at Islam bukanlah hal yang baru dan asing bagi masyarakat Aceh. Kepatuhan
masyarakat Aceh terhadap Syari’at Islam merupakan modal dalam menumbuhkan kemajuan,
kemakmuran dan kesejahteraan. Pemahaman dan penghayatan serta pengamalan terhadap
nilai-nilai ajaran Islam bagi masyarakat Aceh telah melahirkan budaya dan adat yang selalu
dijunjung tinggi keberadaannya. Sehingga terkenal dalam sebuah hadih maja, hukoum ngon
adat lagee zat ngon sifeut” yang berarti hukum/syara’ dan adat tidak dapat dipisahkan
bagaikan zat dan sifat.

Kentalnya nuansa Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh. tercermin dalam
ungkapan yang selama ini sangat familiar dikalangan masyarakat, yaitu : “Adat Bak Po
Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putro Phang, Reusam Bak
Laksamana”. (terjemahan dalam bahasa Indonesia: Hukum Adat dipegang oleh raja, hukum
agama dipegang oleh ulama, qanun dipegang oleh tuan putri dan adat kebiasaan dipegang
oleh laksamana) dan ungkapan ini merupakan salah satu bentuk pernyataan jati diri
masyarakat Aceh terhadap eksistensi Syari’at Islam dalam kehidupannya.

Implementasi Syari'at Islam di bumi Serambi Mekkah merupakan fenomena sangat


menarik sekaligus menantang. Menantang di sini dimaksudkan terutama berkaitan dengan
kesiapan pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dan masyarakatnya secara keseluruhan
dalam menerima dan melaksanakan Syari‟at Islam secara menyeluruh (kaffah), implementasi
dari pengertian di dalam kamus umum bahasa Indonesia, berarti: pelaksanaan, dari apa yang
disepakati .

iv
UUD No 1974 Pasal 2 tentang Perkawinan Menyebutkan Penerapan Syari‟at Islam di
Nangroe Aceh Darussalam, 1974 Sudah berlaku Pelaksanaan Perda Syariah di NAD. Dan
kemudian tidak menjadikan Syari’at Islam sebagai pemicu perpecahan di dalam masyarakat
serta elit politik yang akhirnya merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, meskipun
sesungguhnya secara historis pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh bukan hal asing bagi
masyarakatnya, konsekuensinya adalah klaim untuk menentukan suatu kawasan wilayah
Islam dengan Formalisasi Syari‟at sebagai hukum positif adalah Kontradiksi karena
banyaknya kendala yang muncul dalam prasarat penerapan Syari‟at Islam di aceh tersebut.
Relasi relasi kekuasaan yang membentang sepanjang sejarah hingga saat ini telah
menunjukan persinggunganya dengan gagasan Kemerdekaaan, dan Demokrasi globalisasi,
perkembangan dunia, Negara dan Politik lokal itu kemudian berpengaruh pada ilmu
pengetahuan.

Izin Pelaksanaan Syari’at Islam di berikan pada masa Reformasi melalui UU Nomor
44 tahun 1999 dan UU Nomor 18 tahun 2001. Tetapi ini pun tidak dituliskan secara lugas dan
jelas. Dengan kata lain, ada ruang yang memungkinkan munculnya penafsiran yang akan
membatasi ruang lingkup dan gerak Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Dibalik pelaksanaan
Syari’at Islam secara sempurna pun memerlukan tafsir, tidak cukup sekedar memahami apa
apa yang tertulis didalam kedua undang-undang diatas secara literal. Karena itu, untuk
memudahkan dan memuluskan masyarakat dan pemerintah provinsi Aceh melaksanakan
Syari’at Islam secara sempurna, rasanya perlu disusun tafsir dan pemahaman yang sama
antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi Aceh yang barangkali akan menjadi
tafsir resmi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis berkeinginan untuk meneliti lebih
dalam terkait pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Serta tantangan-tantangan dan hal-hal yang
telah dilakukan pemerintah Aceh dalam menegakkan syari’at Islam.

v
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan syari’at Islam di Aceh?
2. Apa saja kendala yang di hadapi dalam menegakkan syari’at Islam di Aceh?
3. Upaya apa saja yang dilakukan agar penerapan syari’at Islam berjalan dengan lancar?

vi
BAB II
Pembahasan

Provinsi Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang paling religius. Aceh
merupakan satu-satunya bagian dari kepulauan yang menjatuhkan hukuman kepada
penduduknya berdasarkan hukum Islam.
Penerapan syariat Islam di Aceh didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 dan UU No.
18 tahun 2001.
Menyimak pelaksanaan Syariat Islam di Aceh beberapa tahun lalu, terdapat beberapa
keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan
cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh, dan
pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan
yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh. Atas nama Syariat Islam,
seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dan penganiayaan dari
masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa tanpa busana, bahkan
sampai pada pelecehan seksual (contohnya pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga
oleh oknum polisi Syariah). Kasus Mesum tahun 2007 di Abdya yang juga berakhir dengan
pembakaran rumah seorang janda yang diduga sebagai pelaku perbuatan mesum oleh warga.

Salah satu kritik adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh
penekanannya juga hanya pada beberapa hal dan terkesan dangkal, seperti yang seringkali
muncul ke permukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian
direspon oleh masyarakat melalui sweping-sweping di jalan-jalan negara yang dalam
beberapa kasus berakhir ricuh, dan kafe-kafe dengan penekanan pada penggunaan pakaian
bagi perempuan. Dalam pelaksanaan Syariat Islam, justru terjadi pelanggaran terhadap
serangkaian aturan-aturan lainnya. Oleh karenanya muncul pertanyaan, apakah korupsi dan
manipulasi keuangan negara dibenarkan dalam Islam? Apakah tidak menunaikan ibadah
shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan
menghina pelaku pelanggaran Syariat Islam tanpa adanya proses hukum yang adil dibenarkan
oleh Islam? Sebagian besar masyarakat di Aceh membenci pelanggar Syariat Islam, padahal
justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya
sebagai seorang muslim, bak kata pepatah lama Aceh “sembahyang wajeb uro jumat,

vii
sembahyang sunat uro raya” (shalat wajib adalah Shalat Jumat, dan shalat sunnah adalah
Shalat Ied).
Tidak mengherankan apabila masih dijumpai masyarakat di Aceh yang sudah akhil
baligh belum begitu mampu membaca Al Quran dengan lancar, tidak pernah menjalankan
ibadah puasa di bulan Ramadhan, padahal dia mengaku sebagai seorang muslim.

A. Pengertian Syariat Islam


Secara etimologi istilah syariah berasal bahasa Arab ‫شريعة‬memiliki arti undang-undang.
Selain itu, istilah Syariah juga disebut ‫(قانون إسالمي‬Qānūn Islami) adalah kode moral dan
hukum Islam. Selanjutnya, Syafaul merujuk pada penjelasan Irshad Abdal-Haqq bahwa para
ahli juga menjelaskan bahwa kata syariah berasal dari bahasa Arab kuno yang berarti jalan
yang harus diikuti, atau bagian menuju lubang air. Lebih lanjut Syafaul merujuk pada
penjelasan Weiss bahwa definisi yang terakhir berasal dari fakta bahwa jalan menuju air
adalah seluruh cara hidup di lingkungan padang pasir gersang.

Secara terminologi syariat Islam memiliki beberapa pengertian. Hal ini merujuk pada
penjelasan Azman. Dkk, beberapa diantaranya sebagai berikut :

 Syariat berarti agama (al-din) yang ditetapkan oleh Allah yang terdiri dari
berbagai hukum dan ketentuan yang beragam. Dengan demikian, syariat dan
agama memiliki konotasi yang sama. pengertian ini sebagaimana penjelasan
Hizbut Tahrir.
 syariat adalah segala yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammda berupa
wahyu, baik yang terdapat dalam AlQur’an maupun sunnah nabi (al-Nushush al-
Muqaddasah).
 Syariat adalah peraturan yang ditetapkan Allah, dimana ditetapkan dasar-dasarnya
saja, agar manusia dapat menjaga hubungan manusia dengan Tuhan-Nya,
saudaranya sesama muslim, sesama manusia dan dengan kehidupan sekitarnya
dan hubungan dengan kehidupan ini.

Berdasarkan berbagai pengertian syariat yang telah disebutkan tersebut, baik secara
etimologi maupun terminologi dapat disimpulkan bahwa syariat Islam adalah aturan atau
ketapan hukum Allah yang menjadi pedoman hidup terhadap manusia. Pedoman tersebut

viii
menjadi tuntunan hidup terhadap manusia menuju kebaikan, kesuksesan dan keselamatan
hidup di dunia dan akhirat.

B. Prinsip Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Upaya pelaksanaan syariat Islam secara positif di provinsi Aceh perlu didukung dengan
prinsip keadilan, tanpa dikuasai oleh kepentingan politik yang dapat menyebabkan kecacatan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Oleh karena itu, pelaksanaan syariat Islam di provinsi
Aceh harus berlandaskan pada prinsip keadilan. Hasanuddin Yusuf Adan menjelaskan bahwa
prinsip pemberakukan syariat Islam di Aceh adalah untuk:

1. Mengajak semua manusia beriman kepada Allah bertuhan kepada Allah, dan
mencari ridha Allah (AlQur’an surat An-Nisak ayat 6).
2. Menjalankan semua perintah Alllah (Al-Qur’an surat An-Nisak ayat 59).
3. Meninggalkan segala larangan Allah (Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104).
4. Mengamalkan, menyebarkan, dan memajukan semua hukum-hukum Allah (Al-
Qur’an surat Al-Jatsiyah ayat18).
5. Memenuhi panggilan Allah untuk mendiami syurgaNya dengan menjauhkan
neraka-Nya (Al-Qur’an surat Al-Fajr ayat 30).

Selain prinsip-prinsip tersebut terdapat pula prinsip lain yang harus diperhatikan
dalam pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh:
1. Berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh mengacu pada landasan dasar ajaran
Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis.
2. Menjamin keadilan hukum.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh untuk memberikan jaminan hukum
yang adil kepada masyarakat Aceh berdasarkan hukum Islam.
3. Pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh tidak hanya mengacu pada pemberian
hukuman bagi yang melanggar syariat Islam di Aceh. Nunukan, status otonomi
khusus dalam bidang syariat Islam yang diberikan oleh pemerintah pusat memiliki
sasaran untuk pertumbuhan perekonomian masyarakat Aceh.
4. Politik yang Islami.

ix
Sebagai provinsi yang memiliki otoritas syariat Islam, provinsi Aceh memiliki
hakhak untuk mengatur sistem politik yang Islami untuk mewujudkan
kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakat Aceh.
5. Sosio-kultural yang masyarakat Aceh.
Salah satu pertimbangan penting dalam penerapan syariat Islam di provinsi Aceh
adalah sosio-kultural. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah Aceh terkait dengan
penerapan syariat Islam di provinsi Aceh untuk memberikan jaminan terhadap
pemeliharaan kultur keacehan yang kental dengan syariat Islam.

C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


Syariat Islam bertujuan untuk membentuk muslim ideal yang menjunjung tinggi perintah
Allah dan senantiasa mengabdi diri kepada jalan agama Allah. Penarapan syariat Islam juga
memiliki tujuan umum yaitu rahmatan lil ‘alamin.

Ketetapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada Bab II Pasal 2 menetapkan tujuan dan
fungsi pengaturan pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan
untuk:

 Membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari
pengaruh ajaran sesat;
 Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya;
 Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana
dan lingkungan yang Islami.

Berdasarkan penjelasan tersebut tersirat bahwa penerapan syariat Islam memiliki


tujuan yang komprehensif untuk membentuk muslim yang memberikan rahmat terhadap
makhluk yang lain. Manusia yang taat akan hukum Allah dan menghargai akan hak-hak
sesama manusia, sehingga akan memberikan kedamaian terhadap kehidupan di dunia.

Mewujudkan tujuan tersebut tidaklah mudah tentu harus dilengkapi dengan tata aturan
hukum dan kepatuhan muslim terhadap ketetapan aturan Islam oleh setiap muslim. Tanpa
kesadaran terhadap kepatuhan tata aturan hukum tidak mungkin akan terwujud masyarakat
muslim yang bermanfaat bagi yang lain.

x
Penerapan syariat Islam pada dasarnya sejalan dengan tujuan penciptaan manusia,
yaitu untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah.

َ ‫ت ْال ِج َّن َوااْل ِ ْن‬


‫س اِاَّل لِيَ ْعبُ ُدوْ ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz Dzariyaat: 56).

Tujuan dasar penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah. Melakukan ibadah
artinya manusia melakukan peran dan fungsinya sebagai hamba Allah yang dituntut untuk
melaksanakan perannya secara optimal, yaitu ‘abdullah.

D. Pro dan Kontra Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah mewarnai tata kehidupan masyarakat Aceh
sejak masa kerajaan Aceh, masa penjajahan, dan bahkan sampai setelah Indonesia merdeka.
Bahkan jika kita melihat sejarah bagian dari pada tuntutan utama terhadap pemerintah pusat
adalah syariat Islam.

Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh kini telah berjalan 18 tahun sejak tahun
1999-2017. Dalam masa tersebut, pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah muncul berbagai
argumen, baik dari masyarakat nasional maupun internasional. Argumennya ada yang
mendukung (pro) dan ada yang tidak setuju (kontra).

Reaksi pro dan kontra tersebut bukanlah suatu penghalang terhadap pemerintah Aceh
karena pelaksanaan syariat Islam merupakan tekat dan keinginan masyarakat Aceh dalam
wilayah yang miliki khas syariat Islam. pelaksanaan syariat Islam secara kaffah adalah hak
masyarakat Aceh yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat luar Aceh.

1. Masyarakat Aceh pro syariat Islam

Sebagaimana telah disebutkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan


keinginan penuh dari masyarakat Aceh. Syariat Islam bagi masyarakat Aceh tidak hanya
sebagai ajaran agama tauhid tapi telah menjadi bagian yang mengakar dari pada sistem
budaya.

xi
Secara umum bentuk dari pada semangat dan dukungan masyarakat terhadap syariat
Islam di provinsi Aceh dapat dilihat dari:

1) Peran akademisi, intelektual, dan ulama bersama- sama masyarakat terlibat


terhadap pengawasan syariat Islam di Aceh.
2) Peran DPRA (legislatif) dalam melahirkan qanun- qanun penerapan syariat Islam.
3) Peran gubernur Aceh (eksekutif) dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Dukungan DPRA (legislatif ) dan gubernur Aceh(eksekutif ) dalam pengoptimalan


pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat juga lihat dari keseriusan masing-masing pihak
tersebut dalam membuat qanun-qanun dan mengsahkan qanun. Misalnya Qanun Nomor 6
Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang sempat tertunda akhirnya disahkan pada tahun
2014.

Meskipun secara umum masyarakat Aceh pro dan sangat menghormati terhadap
pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sejauh ini masih juga ditemukan kasus-kasus pelanggaran
syariat Islam, di antara:

1) Maisir (judi).
2) Khamar (minuman yang memabukkan).
3) Khalwat (mesum, berdua-duaan dengan non-muhrim).

Demikian dinamika pelaksanaan dan pelanggaran syariat Islam di provinsi Aceh.


Selanjutnya, ditegaskan bahwa pelaksanaan bukan hanya di aspek tersebut di atas saja.
Pelaksanaan syariat Islam memiliki peran terhadap pengembangan ekonomi masyarakat
Aceh, selama ini belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah karena masih fokus pada
sosialisasi dan penerapan qanun terkait dengan tiga aspek tersebut.

2. Kritik terhadap syariat Islam di Aceh

Dinamika pro dan kontra kritik terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini
muncul dari berbagai kalangan, baik masyarakat Aceh maupun internasional. Misalnya, kritik
Human Rights Watch (HRW) menyebut bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar
nilai-nilai pokok dalam standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. Peneliti lembaga
ini juga menambahkan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh sudah tidak sesuai dengan
kesepakatan yang tertuang dalam MOU (Memorandum of Understanding) Helsinski.

xii
Perwakilan HRW untuk wilayah Asia Phelim Kine, mengatakan penerapan syariat
Islam di Aceh tidak memenuhi standar internasional. Salah satunya dengan penerbitan dua
hukum baru pada September 2014 yang mengikat warga non- muslim, peminum alkohol, dan
kaum homoseksual, serta semua pihak yang memiliki hubungan di luar nikah.

Berikut penulis merincikan empat kritikan Human Rights Watch (HRW) terhadap
pelaksanaan syariat Islam di Aceh:

1) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar HAM, berupa hak individu.


2) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh bagian dari tindakan diskriminasi terhadap
masyarakat.
3) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak adil.
4) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan
budaya.

Human Rights Watch (HRW) merupakan organisasi asingnonpemerintah yang


berpusat di New York City, Amerika Serikat, dengan lancang mengintervensi pelaksanaan
syariat Islam di Aceh terkait dengan kasus homo atau liwath. Kasus hubungan sesama jenis
(homoseksual) yang terungkap di Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, pada 29
Maret 2017.

Intervensi Human Rights Watch (HRW) terhadap penghentian penyelidikan kasus


homoseksual tersebut yang sedang di tangani oleh Wiyatul Hisbah (WH) dan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP), di akui oleh Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP dan WH Aceh,
Marzuki.13

Lebih lanjut Marzuki menjelaskan, HRW juga salah satu lembaga asing yang sejak
awal menolak diberlakukannya Qanun Jinayat di Aceh. Bahkan lembaga internasional yang
concern terhadap pembelaan HAM tersebut bersikukuh agar jangan ada pemberlakuan Qanun
Jinayat di Aceh.14 inilah satu contoh dinamika intervensi lembaga asing terhadap penerapan
syariat Islam di Aceh.

Kritikan-kritikan tersebut kemungkinan hanya bentuk dari kekhawatiran pihak-pihak


non-muslim dan mereka yang tidak senang terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Marzuki Abubakar, Pada mulanya, umat non-muslim memang sangat kuatir dengan legalitas
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Kekhawatiran ini memang lumrah terjadi, karena
kebanyakan umat non-muslim belum memahami esensi dari pelaksanaan Syariat Islam

xiii
tersebut. Apalagi ditambah dengan adanya berbagai isu dan wacana- wacana yang disebarkan
oleh beberapa pihak, bahwa Syari’at Islam melanggar HAM dan anti kesetaraan gender.15

Penting untuk diingat bahwa kritikan Human Rights Watch (HRW) tersebut tidak
mendasar dan tidak memamahi tentang kekhasan Aceh. Aceh memiliki hak penuh untuk
melaksanakan syariat Islam dan menjatuhi hukuman jinayat bagi pelanggaran syariat Islam di
Aceh, baik bagi warga muslim dan non-muslim yang menetap di Aceh, berdasarkan Qanun
Nomor 6 tahun 2006 Tentang Hukum Jinayat.

Menurut penulis, apa yang dituduhkan oleh Human Rights Watch (HRW) bahwa
pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar HAM, merupakan penghinaan terhadap
masyarakat Aceh yang memiliki hak penuh untuk melaksanakan syariat Islam. Oleh karena
itu, masyarakat dunia harus menghargai terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh dengan
tidak memberikan komentar-komentar yang dapat mengganggu penerapan syariat Islam di
Aceh.

E. Kendala Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Kendala terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh disebabkan oleh 2 faktor :


1) Faktor dari pemerintah Aceh. Faktor ini terkait dengan berbagai kebijakan yang
ditempuh oleh pemerintah Aceh dalam rangka penerapan syariat Islam masih
belum optimal. Pemerintah masih setengah-setengah dalam pelaksanaan syariat
Islam. Disebutkan setengah-setengah terutama sekala dalam aspek anggaran.
Pelaksanaan syariat Islam mulai dari tingkat provinsi sampai ke tingkat daerah
kabupaten kota banyak program yang tersendat karena terkendala anggaran di
samping banyak faktor lain.
2) Faktor dari masyarakat. Pengetahuan masyarakat terhadap syariat Islam masih
dangkal sehingga menimbulkan kekeliruan terhadap pemahaman terhadap syariat.
Di samping ini, juga terdapat faktor kesadaran masyarakat terhadap penerapan
syariat yang masih relatif rendah sehingga menimbulkan pelanggaran-pelanggaran.

Kendala-kendala lainnya yaitu :

1. Masalah Dana. Keterbatasan dana yang dialokasikan untuk menyukseskan


pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan hambatan yang cukup serius. Karena

xiv
hal ini mengakibatkan minimnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh
instansi yang bergerak dalam bidang penerapan syariat Islam. Pihak legislative
juga terkesan melakukan diskriminasi anggaran yang menomorduakan syariat
Islam dan lembaga yang bergerak di bidang agama menambah hambatan
pelaksanaan syariat Islam menjadi lebih serius.
2. Pro-kontra terhadap qanun syariat. Tarik-ulur pembahasan dan pengesahan
beberapa qanun syariat membuat implementasi syariat Islam berjalan di tempat,
seperti tarik- ulur pengesahan Qanun Jinayah. Padahal kebutuhan akan adanya
sebuah qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah di Aceh sejak dari dulu disuarakan
oleh masyarakat yang peduli syariat Islam, tetapi kenyataannya sampai saat ini
belum mencapai hasil seperti yang diinginkan untuk mengurangi berbagai bentuk
pelanggaran terhadap syariat, disamping sebagai payung hukum bagi WH agar
dapat bertindak secara profesional dan proporsional. Selain itu, qanun yang sudah
disahkan pun terlihat belum optimal karena kenyataannya tidak menyentuh hal-hal
yang begitu subtantif dan juga belum menyeluruh. Hal ini mengakibatkan kepada
lahirnya persepsi masyarakat tentang kurang relevansinya penerapan syariat Islam.
3. Pengaruh Media Massa. Pengaruh media massa yang lebih sering mengangkat isu
negatif tentang pelaksanaan syariat Islam telah menimbulkan stigmatisasi negatif
terhadap proses penegakan syariat Islam. Padahal idealnya, media massa dalam
konteks ke-Aceh-an mampu menjadi saluran yang mendukung penerapan syariat
Islam. Di samping itu, media massa juga kerap menampilkan berita- berita yang
tidak mendidik seperti pemberitaan kronologi pemerkosaan, publikasi gambar
berbau pornografi dan pemberitaan asusila lainnya.
4. Intervensi Asing. Tekanan dan pengaruh negara dan budaya barat untuk menyerang
ideologi Islam dengan menyebarluaskan ideologi SEPILIS (sekularisme,
pluralisme dan liberalisme) telah membuat penerapan syariat Islam di Aceh tidak
berjalan sempurna, seperti desakan Organisasi Amnesti International agar hukum
cambuk di Aceh dihentikan karena di pandang sebagai suatu pelanggaran terhadap
HAM. Kondisi ini diperparah lagi oleh kekhawatiran pemerintah terhadap
kekuatan asing yang sering berdalih atas nama pertimbangan investasi.
5. Kurang selektif penempatan SDM. Penempatan sumber daya manusia dalam
bidang pelaksanaan syariat Islam yang tidak linear dengan keahliannya merupakan
hambatan tersendiri. Di mana, pelaksana dan petugas yang menempati bidang
syariat Islam tidak memahami secara utuh konsep syariat Islam dan metode

xv
implementasinya. Idealnya mereka adalah orang-orang yang berkompetensi dalam
hal ini agar langkah kerja dan kebijakannya lebih terarah.
6. Kurangnya sinergi antar instansi pemerintahan. Setelah di bentuknya dinas Syariat
Islam sebagai instansi resmi yang menjalankan pelaksanaan syariat Islam, seolah-
olah instansi-instansi yang lain tidak punya hubungan sama sekali dalam
pelaksanaan syariat Islam. Akibatnya muncul sebuah asumsi bahwa penegakan
syariat Islam tidak ada korelasi di antara unsur-unsur pemerintahan. Sebagai
contoh, perizinan sebuah badan usaha yang hanya melihat kepada aspek legalitas
semata tanpa mempertimbangkan nilai-nilai syariat.
7. Ketidakseriusan pemerintah. Pada satu sisi Pemerintah Aceh merupakan lembaga
yang paling bertanggung jawab terhadap terlaksananya syariat Islam kaffah di
Aceh, karena tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah disahkan sebagai
undang-undang yang mesti dilaksanakan. Pada sisi lain, langkah yang telah diambil
oleh pemerintah dalam mengimplementasikannya terkesan setengah hati atau untuk
kepentingan politik semata. Hal ini dibuktikan oleh kurangnya perhatian
pemerintah terhadap anggaran yang memadai dalam bidang pelaksanaan syariat
Islam. Yang lebih ironis lagi, pemerintah sekarang malah memangkas anggaran
yang mendukung pelaksanaan syariat Islam, seperti memangkas anggaran untuk
Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh. Kenyataan ini makin
menambah hambatan yang dialami dalam penegakan syariat Islam kaffah di
Aceh.20

Demikian beberapa kendala umum terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.


Namun, sebagai solusi keluar untuk keberhasilan penerapan syariat Islam di Aceh butuh
kesinergisan dan kekompakan masyarakat Aceh secara bersama-sama mendukung terhadap
pemerintah Aceh terkait dengan program syariat Islam di Aceh.

xvi
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Syariat Islam adalah aturan atau ketapan hukum Allah yang menjadi pedoman hidup
terhadap manusia. Pedoman tersebut menjadi tuntunan hidup terhadap manusia menuju
kebaikan, kesuksesan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Syariat Islam bagi
masyarakat Aceh tidak hanya sebagai ajaran agama tauhid tapi telah menjadi bagian yang
mengakar dari pada sistem budaya.

Hasanuddin Yusuf Adan menjelaskan bahwa prinsip pemberakukan syariat Islam di Aceh
adalah untuk: Mengajak semua manusia beriman kepada Allah bertuhan kepada Allah, dan
mencari ridha Allah (AlQur’an surat An-Nisak ayat 6). Menjalankan semua perintah Alllah
(Al-Qur’an surat An-Nisak ayat 59). Meninggalkan segala larangan Allah (Al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 104). Mengamalkan, menyebarkan, dan memajukan semua hukum-hukum
Allah (Al-Qur’an surat Al-Jatsiyah ayat18). Memenuhi panggilan Allah untuk mendiami
syurgaNya dengan menjauhkan neraka-Nya (Al-Qur’an surat Al-Fajr ayat 30).

Ketetapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada Bab II Pasal 2 menetapkan tujuan dan
fungsi pengaturan pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan
untuk: Membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari
pengaruh ajaran sesat; Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan
fasilitasnya; Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan
suasana dan lingkungan yang Islami.

Ada dua faktor kendala pelaksanaan syariat islam di Aceh, yaitu Faktor dari pemerintah
Aceh. Faktor ini terkait dengan berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Aceh
dalam rangka penerapan syariat Islam masih belum optimal. Dan Faktor dari masyarakat.
Pengetahuan masyarakat terhadap syariat Islam masih dangkal sehingga menimbulkan
kekeliruan terhadap pemahaman terhadap syariat.

xvii
Daftar Pustaka

Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh (Pendekatan Adat, Budaya Dan Hukum). Cet. I.
Banda Aceh: Pena, 2013.

Abidin Nurdin. Dkk. Syariat Islam Dan Isu-Isu Kontemporer. Cet. I. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam,
2011.

Fauzi. Hak Asasi Manusia Dan Penerapan Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. Banda Aceh: NASA, 2017.

Syahrizal Abbas. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam, 2014.

Sulaiman MA. Studi Syariat Islam di Aceh. Cet.I. Banda Aceh:2018

Syamsul Rijal. Dkk. Dinamika Dan Problematika Penerapan Syariat Islam. Cet. II. Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam, 2007.

Undang-Undang Republik Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

xviii

Anda mungkin juga menyukai