Pembangunan Jembatan Suramadu yang diresmikan pada 10 Juni 2009 lalu begitu banyak
menyita perhatian masyarakat luas. Bukan saja karena jembatan itu tercatat sebagai jembatan
terpanjang di Asia Tenggara, tetapi juga karena jembatan itu menjangkau Madura, pulau yang
sebagian besar penduduknya masih menjalani pola hidup tradisional dengan budaya agamis yang
sangat kental. Dengan dibangunnya akses Surabaya-Madura tentu kini banyak orang mulai menerkanerka, perubahan macam apa kelak yang akan terjadi di Madura? Dapatkah kawasan ini
mempertahankan semboyannya sebagai kawasan yang Madurawi, Islami, dan Indonesiawi, seperti
yang didengungkan oleh ulama-ulama Basra?
Penduduk Madura selama ini dikenal sebagai masyarakat yang cukup kuat memegang tradisi.
Hingga saat ini berbagai macam tradisi di bidang keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi hidup dan
berkembang secara dinamis di Pulau Madura. Bermacam tradisi tersebut diwarisi oleh masyarakat
Madura dari nenek moyang mereka secara turun temurun sepanjang sejarah. Secara historis, tradisi
masyarakat Madura sebenarnya tidak berbeda jauh dari tradisi masyarakat Jawa, yakni masih
memiliki pertalian dengan nilai-nilai yang pernah dianut masyarakat pada masa kerajaan Hindu dan
Islam. Sejarah mencatat bahwa Pulau Madura pernah berada di bawah pengaruh Kerajaan Kediri,
Singasari, Majapahit, Demak, dan Mataram. Hanya saja, pada masyarakat Madura peralihan dari era
Hindu ke era Islam lebih tegas dibanding pada umumnya masyarakat Jawa Pedalaman, sehingga
nilai-nilai ajaran Islam tampak lebih kental mewarnai tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang di
Madura hingga saat ini.
Berbagai tradisi yang sarat dengan nilai-nilai ke-Islaman tersebut makin terpupuk seiring
dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan di Madura. Lembaga-lembaga
pendidikan tradisional mulai dari tingkat keluarga, langgar/surau, hingga pesantren sangat
menekankan pentingnya penanaman nilai-nilai keagamaan pada setiap anggota masyarakat Madura.
Hal tersebut menjadi pilihan sadar karena masyarakat Madura percaya bahwa proses internalisasi
ajaran agama, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk etika pergaulan bermasyarakat, akan
mendukung terciptanya harmoni sosial. Di sisi lain, pendidikan agama juga sangat bermanfaat bagi
1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Bersama Membangun Madura yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Kabupaten Bangkalan di Bangkalan, tanggal 31 Oktober 2009.
*** Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
pemenuhan kebutuhan spiritualitas setiap individu dalam masyarakat sekaligus menjadi faktor utama
pembentuk karakter atau jati diri masyarakat Madura yang religius.
Karakter masyarakat Madura, selain dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, juga
dipengaruhi oleh faktor alam. Banyak orang menghubung-hubungkan karakter masyarakat madura
yang santun dan hangat tapi juga bisa tegas dan keras, bersahaja tapi juga gigih dan ulet, dengan
struktur tanah dan kondisi alam di Madura. Tanah Madura yang kurang subur memang tidak begitu
menguntungkan bagi warga masyarakat yang membuka lahan pertanian dan peternakan. Oleh sebab
itu, masyarakat petani Madura dipaksa oleh alam untuk senantiasa bekerja keras dengan kreativitas
yang tinggi untuk mempertahankan survivalitas mereka. Kreativitas masyarakat Madura sejak zaman
dahulu telah terbukti dapat menghasilkan alternatif-alternatif yang dapat menggerakkan
perekonomian di tengah keterbatasan alam, seperti pertanian lahan kering dengan makanan pokok
yang disesuaikan dan peternakan sistem paron (ngowan) yang rumit dan tipikal. Kegigihan dalam
bekerja keras juga dimiliki oleh masyarakat Madura yang memilih bidang pekerjaan lain di luar
pertanian. Sebut saja, misalnya, para nelayan Madura yang terkenal dengan falsafahnya: asapok
angen abental ombek (berselimut angin berbantal ombak) yang menunjukkan bahwa mereka pantang
berleha-leha dan berputus asa dalam berusaha. Begitu juga dengan para pedagang dan perantaunya
yang sudah sangat dikenal keuletan dan kreativitasnya di berbagai pelosok bumi Nusantara.
Meskipun masyarakat Madura memiliki etos kerja yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi
mereka tidak dapat berkembang dengan pesat. Selain disebabkan oleh karena kreativitas yang mereka
ciptakan masih bersifat tradisional, kondisi geografis Pulau Madura juga kurang mendukung.
Madura, sebagai bagian dari Jawa Timur dipisahkan oleh lautan sehingga mengesankan bahwa alam
memang mengisolasinya dari ingar bingar yang terjadi di Pulau Jawa. Akibatnya, sekian puluh tahun
masyarakat Madura termarjinalkan dalam pembangunan yang pada gilirannya berdampak domino
pada timbulnya prasangka sosial terhadap orang Madura.
Keterbelakangan pembangunan memang kerapkali berkelindan dengan keterbelakangan di
bidang ekonomi dalam suatu wilayah. Pembangunan biasanya akan bergerak maju pada wilayahwilayah yang secara ekomomi memiliki potensi untuk maju sihingga antara pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi dapat saling mendorong. Logika simbiosis mutualisme antara pembangunan
dan potensi ekonomi tersebut pada akhirnya sampai juga ke Madura setelah ada hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa kawasan pantai Pulau Madura sebenarnya sangat kaya akan minyak dan gas.
Pada tahun 1990 Pemerintah Pusat mencanangkan pembangunan jembatan yang menghubungkan
Surabaya dengan Madura. Dan 19 tahun kemudian jembatan itu pun mewujud nyata.
Mengawal Transisi
Pembangunan Jembatan Suramadu ditengarai sebagai mula dari sutau perubahan sosial
budaya yang sedang bergerak cepat di Pulau Madura. Potret masyarakat Madura yang semula agraris
tradisional dalam waktu tidak terlalu lama dapat berubah menjadi masyarakat industri yang modern.
Selama ini masyarakat Madura membangun harmoni sosial melalui tradisi dan solidaritas sosisal
yang tinggi. Beberapa faktornya antara lain masyarakat Madura relatif homogen dan sederhana,
hubungan antarsesama warga cukup erat dan hangat, serta belum banyak ragam pekerjaan yang
menuntut profesionalitas, sehingga solidaritas di tengah-tengah masyarakat dengan mudah tercipta
secara mekanik. Hal yang berbeda tentu akan terjadi di masa mendatang. Kita akan dihadapkan pada
sebuah masyarakat Madura yang kompleks dengan bidang pekerjaan yang terbagi-bagi sedemikian
rupa, sehingga harmoni sosial kemungkinan tidak lagi dibentuk oleh tradisi dan solidaritas mekanik,
melainkan terbentuk oleh hubungan-hubungan interdependen antarbidang-bidang profesi/pekerjaan
dan kepentingan antarindividu.
Perubahan yang sedang bergerak dengan cepat di Madura ini patut disambut gembira
sekaligus diwaspadai mengingat percepatan perubahan tersebut terjadi karena adanya stimulasi dari
luar. Maka perlu dipikirkan bagaimana agar supaya pembangunan baik di bidang sosial, budaya,
maupun ekonomi melahirkan inovasi-inovasi yang berkarakter Madura. Sekurang-kurangnya,
pembangunan yang bergerak cepat itu jangan sampai menggilas identitas budaya Madura yang berciri
positif, apalagi jika sampai memarjinalkan masyarakat setempat. Intinya, masyarakat Madura tidak
boleh menjadi penonton di kandang sendiri. Sudah cukup banyak kasus di mana pembangunan yang
dikonsentrasikan di suatu wilayah tertentu tidak membawa dampak kesejahteraan yang memadai
bagi masyarakat setempat. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang tragis, bukan hanya kesejahteraan
masyarakat sekitar tidak meningkat, tetapi juga lingkungan alam mereka rusak, tradisi dan
kebudayaan asli mereka punah, dan nilai-nilai menjadi kabur sehingga tidak bisa lagi menjadi alat
kontrol sosial. Hal demikian tentu saja tidak kita diharapkan terjadi di Madura.
Oleh karena itu, proses transisi sosial budaya pada masyarakat madura ini perlu
direncanakan dan dikawal dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini masyarakat Madura sendiri dapat
bernegosiasi dengan dunia luar tentang arah perubahan yang diinginkan. Dalam konteks
pembangunan nasional, peluang negosiasi itu terbuka lebar mengingat Indonesia sekarang ini sudah
menerapkan otonomi daerah. Masyarakat lokal diberi ruang kebebasan untuk mengadopsi, menolak,
dan mencipta sesuai dengan karakter lokalnya dan sejauh tidak merugikan kepentingan nasional.
Pembangunan Madura yang memperhatikan aspek-aspek lokal sebenarnya secara tidak langsung
mendukung pembangunan nasional. Sebut saja misalnya hal-hal posistif yang perlu didorong untuk
menyertai proses percepatan pembangunan Madura seperti penyerapan tenaga kerja, revitalisasi
tradisi, dan penegakan hukum merupakan dukungan terhadap agenda pembangunan nasional,
khususnya dalam mengatasi pengangguran, penguatan ketahanan budaya, dan menciptakan
kepastian hukum.
Seiring dengan itu perlu juga dipikirkan untuk segera mendirikan universitas yang besar,
perpustakaan-perpustakan yang representatif, dan pasar ilmu pengetahuan dan teknologi (IT).
Tindakan afirmatif dan protektif bagi masyarakat lokal yang masih lemah tersebut tidak perlu
diletakkan dalam kerangka mempersulit para investor dari luar, melainkan semata-mata untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Madura secara keseluruhan. Pemahaman akan hal ini
menjadi penting sebagai landasan pikir bagi upaya pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial.
Hanya dengan prinsip keadilanlah sikap positif masyarakat terhadap pembangunan dapat
ditumbuhkembangkan.
Oleh karena itu, desain kreatif perubahan budaya di Madura perlu melibatkan pihak-pihak
yang selama ini dipandang sebagai pilar kokohnya tradisi masyarakat Madura. Secara sederhana
pilar-pilar tersebut dapat kita petakan menjadi tiga. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan
dan pusat dakwah yang sangat besar peranannya dalam membentuk karakter dan mengembangkan
tradisi masyarakat Madura. Pesantren adalah basis penanaman nilai-nilai keagamaan yang selama ini
cukup berhasil mempengaruhi frame kebudayaan Madura.
Potensi pesantren sebagai mengawal perubahan sosial sudah diakui tidak hanya pada
masyarakat Madura tetapi juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Pandangan sementara kalangan
yang melihat pesantren sebagai lembaga pendidikan yang konservatif, stagnan, dan tidak dapat
berkompromi dengan kemajuan sebenarnya keliru sama sekali. Pesantren justru merupakan lembaga
pendidikan dan pusat dakwah yang dinamis, mampu mendialogkan nilai-nilai keagamaan dengan
kebutuhan masyarakat, serta secara kreatif mampu menciptakan kearifan lokal (local wisdom).
Kemampuan pesantren untuk eksis selama empat abad di bumi Nusantara ini membuktikan bahwa ia
dapat menerima sekaligus berperan dalam proses perubahan sosial.
Percepatan pembangunan Madura dengan berbagai dampak sosialnya yang potensial akan
terjadi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pesantren. Pesantren dituntut untuk
lebih kreatif lagi melakukan antisipasi-antisipasi baik yang terkait dengan materi pendidikan maupun
metode pendekatan kepada masyarakat. Selain itu, sebagai benteng pertahanan nilai budaya lokal,
pesantren juga perlu meningkatkan kemandiriannya secara ekonomi dan politik di hadapan ikon-ikon
budaya baru yang mungkin akan muncul.
Kedua, tokoh agama yang selama ini memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial. Bagi
masyarakat Madura yang paternalistik, tokoh agama merupakan pemimpin kultural yang sangat
dihormati. Keberadaan tokoh agama dalam masyarakat Madura tidak hanya dianggap penting untuk
urusan keagamaan, melainkan juga untuk urusan-urusan yang bersifat duniawi. Bukan suatu rahasia
bahwa hingga saat ini masih banyak anggota masyarakat yang membutuhkan nasihat atau petuah dari
tokoh agama sebelum membuka usaha atau mendirikan bangunan. Fakta ini menunjukkan bahwa
pengaruh tokoh agama dapat mengendalikan perilaku budaya masyarakat Madura.
Dengan demikian, peran tokoh agama menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan
arah pembangunan Madura ke depan. Tantangan yang sangat nyata bagi tokoh agama antara lain
adalah mewabahnya pengaruh negatif budaya asing yang dapat menggerogoti nilai-nilai budaya lokal.
Persoalan ini tentu tidak perlu dihadapi dengan cara-cara reaksioner asal tolak karena hal itu belum
tentu efektif dan cenderung mengundang masalah baru. Tindakan yang bijaksana justru ketika tokoh
agama berperan secara aktif dalam mendesain arah pembangunan, serta menciptakan formulaformula jalan keluar dalam rangka meminimalisasi dampak-dampak buruknya.
Ketiga, pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan. Pemerintah daerah merupakan
sumbu utama percepatan pembangunan di Madura. Selain sebagai perencana, pemerintah daerah
juga menjadi pelaksana proses pembangunan. Dengan demikian, pemerintah daerah menjadi pihak
yang paling bertanggungjawab atas suksesnya pembangunan Madura dalam pengertian yang luas.
Keberhasilan pembangunan Madura tentu saja tidak bisa hanya diukur dengan kesejahteraan
masyarakat secara ekonomi, tetapi juga harus diukur dengan perspektif kebudayaan, sejauh mana
pembangunan tersebut mampu menciptakan masyarakat yang waras (sane society). Jangan sampai
masyarakat Madura kelak merasa asing di kampung halaman sendiri.
Oleh sebab itu, pemerintah daerah dalam membuat berbagai kebijakan yang terkait dengan
percepatan pembangunan perlu mempertimbangkan keberlangsungan nilai-nilai budaya yang selama
ini telah dianut oleh masyarakat Madura. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi harus
diselaraskan dengan pembangunan di bidang kebudayaan. Bukankah pembangunan kebudayaan jika
dikelola dengan baik dapat mendukung pertumbuhan ekonomi? Di sinilah letak pentingnya berbagai
tradisi masyarakat Madura yang berciri positif, baik yang sudah punah maupun yang masih hidup
dan berkembang, untuk direvitalisasi oleh pemerintah daerah sebagai aset kebudayaan daerah
sekaligus komoditas yang bernilai ekonomi.
dengan kebutuhan masyarakat, aparat penegak hukum bekerja dengan sungguh-sungguh, dan
masyarakat dapat menerima hukum itu sebagai bagian dari kehidupan mereka, pada saat itulah
hukum dapat ditegakkan. Sedangkan bila kita lihat realitas yang berjalan sampai saat ini harus diakui
bahwa penegakan hukum kita masih banyak catatan. Berdasarkan kondisi riil tersebut, dalam konteks
masyarakat Madura, penegakan hukum perlu ditekankan pada dua aspek, yaitu budaya hukum dan
aparat hukum.
Aspek budaya hukum perlu dikondisikan melalui upaya-upaya kultural yang dapat
mendekatkan masyarakat dengan wacana tentang kesadaran hukum. Di sini keterlibatan tokoh agama
dalam melakukan penyadaran hukum kepada masyarakat sangat diperlukan. Seorang tokoh agama,
dengan kearifan lokalnya, tentu dapat menjelaskan bahwa hukum positif sebenarnya merupakan
legalisasi dari etika dan moral yang juga terdapat dalam ajaran agama. Artinya, hukum positif itu tak
kurang dan tak lebih adalah pengejawantahan nilai etika dan moral yang diformalkan. Memang harus
disadari bahwa upaya mempertautkan kearifan lokal dengan tradisi hukum positif
bukanlah
Melangkah Bersama
Agenda percepatan pembangunan Madura merupakan kebutuhan sekaligus masalah bersama
yang harus dipikul oleh masyarakat Madura. Pembangunan Madura yang bersifat komprehensif ini
tidak bisa dihadapi sendiri-sendiri oleh masyarakat, baik dalam pengertian kelompok maupun
teritori. Seluruh komponen masyarakat Madura harus menyusun langkah bersama, jalin menjalin
serta saling mendukung satu sama lain, untuk menyongsong datangnya perubahan. Sekali masyarakat
Madura mengedepankan kepentingan diri, kelompok, atau terirori masing-masing, saat itu juga
pengawalan pembangunan Madura berada dalam bayang-bayang kegagalan.
Kegiatan duduk bersama untuk membicarakan desain dan strategi pembangunan Madura
secara terpadu merupakan langkah positif. Hanya melalui urun rembuk bersama keputusan-
keputusan terbaik bagi masyarakat Madura dapat ditentukan. Kegiatan semacam ini perlu dipelihara
kesinambungannya pada masa-masa yang akan datang dalam kerangka evaluasi terhadap jalannya
pembangunan. Seluruh komponen masyarakat perlu ruang untuk mengontrol proses pembangunan
supaya pembangunan Madura tidak menjadi sekadar pembangunan di Madura. ***