Anda di halaman 1dari 9

MENYONGSONG

PERCEPATAN PEMBANGUNAN MADURA1

Oleh: Moh. Mahfud MD*

Pembangunan Jembatan Suramadu yang diresmikan pada 10 Juni 2009 lalu begitu banyak
menyita perhatian masyarakat luas. Bukan saja karena jembatan itu tercatat sebagai jembatan
terpanjang di Asia Tenggara, tetapi juga karena jembatan itu menjangkau Madura, pulau yang
sebagian besar penduduknya masih menjalani pola hidup tradisional dengan budaya agamis yang
sangat kental. Dengan dibangunnya akses Surabaya-Madura tentu kini banyak orang mulai menerkanerka, perubahan macam apa kelak yang akan terjadi di Madura? Dapatkah kawasan ini
mempertahankan semboyannya sebagai kawasan yang Madurawi, Islami, dan Indonesiawi, seperti
yang didengungkan oleh ulama-ulama Basra?
Penduduk Madura selama ini dikenal sebagai masyarakat yang cukup kuat memegang tradisi.
Hingga saat ini berbagai macam tradisi di bidang keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi hidup dan
berkembang secara dinamis di Pulau Madura. Bermacam tradisi tersebut diwarisi oleh masyarakat
Madura dari nenek moyang mereka secara turun temurun sepanjang sejarah. Secara historis, tradisi
masyarakat Madura sebenarnya tidak berbeda jauh dari tradisi masyarakat Jawa, yakni masih
memiliki pertalian dengan nilai-nilai yang pernah dianut masyarakat pada masa kerajaan Hindu dan
Islam. Sejarah mencatat bahwa Pulau Madura pernah berada di bawah pengaruh Kerajaan Kediri,
Singasari, Majapahit, Demak, dan Mataram. Hanya saja, pada masyarakat Madura peralihan dari era
Hindu ke era Islam lebih tegas dibanding pada umumnya masyarakat Jawa Pedalaman, sehingga
nilai-nilai ajaran Islam tampak lebih kental mewarnai tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang di
Madura hingga saat ini.
Berbagai tradisi yang sarat dengan nilai-nilai ke-Islaman tersebut makin terpupuk seiring
dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan di Madura. Lembaga-lembaga
pendidikan tradisional mulai dari tingkat keluarga, langgar/surau, hingga pesantren sangat
menekankan pentingnya penanaman nilai-nilai keagamaan pada setiap anggota masyarakat Madura.
Hal tersebut menjadi pilihan sadar karena masyarakat Madura percaya bahwa proses internalisasi
ajaran agama, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk etika pergaulan bermasyarakat, akan
mendukung terciptanya harmoni sosial. Di sisi lain, pendidikan agama juga sangat bermanfaat bagi

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Bersama Membangun Madura yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Kabupaten Bangkalan di Bangkalan, tanggal 31 Oktober 2009.
*** Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

pemenuhan kebutuhan spiritualitas setiap individu dalam masyarakat sekaligus menjadi faktor utama
pembentuk karakter atau jati diri masyarakat Madura yang religius.
Karakter masyarakat Madura, selain dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, juga
dipengaruhi oleh faktor alam. Banyak orang menghubung-hubungkan karakter masyarakat madura
yang santun dan hangat tapi juga bisa tegas dan keras, bersahaja tapi juga gigih dan ulet, dengan
struktur tanah dan kondisi alam di Madura. Tanah Madura yang kurang subur memang tidak begitu
menguntungkan bagi warga masyarakat yang membuka lahan pertanian dan peternakan. Oleh sebab
itu, masyarakat petani Madura dipaksa oleh alam untuk senantiasa bekerja keras dengan kreativitas
yang tinggi untuk mempertahankan survivalitas mereka. Kreativitas masyarakat Madura sejak zaman
dahulu telah terbukti dapat menghasilkan alternatif-alternatif yang dapat menggerakkan
perekonomian di tengah keterbatasan alam, seperti pertanian lahan kering dengan makanan pokok
yang disesuaikan dan peternakan sistem paron (ngowan) yang rumit dan tipikal. Kegigihan dalam
bekerja keras juga dimiliki oleh masyarakat Madura yang memilih bidang pekerjaan lain di luar
pertanian. Sebut saja, misalnya, para nelayan Madura yang terkenal dengan falsafahnya: asapok
angen abental ombek (berselimut angin berbantal ombak) yang menunjukkan bahwa mereka pantang
berleha-leha dan berputus asa dalam berusaha. Begitu juga dengan para pedagang dan perantaunya
yang sudah sangat dikenal keuletan dan kreativitasnya di berbagai pelosok bumi Nusantara.
Meskipun masyarakat Madura memiliki etos kerja yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi
mereka tidak dapat berkembang dengan pesat. Selain disebabkan oleh karena kreativitas yang mereka
ciptakan masih bersifat tradisional, kondisi geografis Pulau Madura juga kurang mendukung.
Madura, sebagai bagian dari Jawa Timur dipisahkan oleh lautan sehingga mengesankan bahwa alam
memang mengisolasinya dari ingar bingar yang terjadi di Pulau Jawa. Akibatnya, sekian puluh tahun
masyarakat Madura termarjinalkan dalam pembangunan yang pada gilirannya berdampak domino
pada timbulnya prasangka sosial terhadap orang Madura.
Keterbelakangan pembangunan memang kerapkali berkelindan dengan keterbelakangan di
bidang ekonomi dalam suatu wilayah. Pembangunan biasanya akan bergerak maju pada wilayahwilayah yang secara ekomomi memiliki potensi untuk maju sihingga antara pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi dapat saling mendorong. Logika simbiosis mutualisme antara pembangunan
dan potensi ekonomi tersebut pada akhirnya sampai juga ke Madura setelah ada hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa kawasan pantai Pulau Madura sebenarnya sangat kaya akan minyak dan gas.
Pada tahun 1990 Pemerintah Pusat mencanangkan pembangunan jembatan yang menghubungkan
Surabaya dengan Madura. Dan 19 tahun kemudian jembatan itu pun mewujud nyata.

Mengawal Transisi

Pembangunan Jembatan Suramadu ditengarai sebagai mula dari sutau perubahan sosial
budaya yang sedang bergerak cepat di Pulau Madura. Potret masyarakat Madura yang semula agraris
tradisional dalam waktu tidak terlalu lama dapat berubah menjadi masyarakat industri yang modern.
Selama ini masyarakat Madura membangun harmoni sosial melalui tradisi dan solidaritas sosisal
yang tinggi. Beberapa faktornya antara lain masyarakat Madura relatif homogen dan sederhana,
hubungan antarsesama warga cukup erat dan hangat, serta belum banyak ragam pekerjaan yang
menuntut profesionalitas, sehingga solidaritas di tengah-tengah masyarakat dengan mudah tercipta
secara mekanik. Hal yang berbeda tentu akan terjadi di masa mendatang. Kita akan dihadapkan pada
sebuah masyarakat Madura yang kompleks dengan bidang pekerjaan yang terbagi-bagi sedemikian
rupa, sehingga harmoni sosial kemungkinan tidak lagi dibentuk oleh tradisi dan solidaritas mekanik,
melainkan terbentuk oleh hubungan-hubungan interdependen antarbidang-bidang profesi/pekerjaan
dan kepentingan antarindividu.
Perubahan yang sedang bergerak dengan cepat di Madura ini patut disambut gembira
sekaligus diwaspadai mengingat percepatan perubahan tersebut terjadi karena adanya stimulasi dari
luar. Maka perlu dipikirkan bagaimana agar supaya pembangunan baik di bidang sosial, budaya,
maupun ekonomi melahirkan inovasi-inovasi yang berkarakter Madura. Sekurang-kurangnya,
pembangunan yang bergerak cepat itu jangan sampai menggilas identitas budaya Madura yang berciri
positif, apalagi jika sampai memarjinalkan masyarakat setempat. Intinya, masyarakat Madura tidak
boleh menjadi penonton di kandang sendiri. Sudah cukup banyak kasus di mana pembangunan yang
dikonsentrasikan di suatu wilayah tertentu tidak membawa dampak kesejahteraan yang memadai
bagi masyarakat setempat. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang tragis, bukan hanya kesejahteraan
masyarakat sekitar tidak meningkat, tetapi juga lingkungan alam mereka rusak, tradisi dan
kebudayaan asli mereka punah, dan nilai-nilai menjadi kabur sehingga tidak bisa lagi menjadi alat
kontrol sosial. Hal demikian tentu saja tidak kita diharapkan terjadi di Madura.
Oleh karena itu, proses transisi sosial budaya pada masyarakat madura ini perlu
direncanakan dan dikawal dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini masyarakat Madura sendiri dapat
bernegosiasi dengan dunia luar tentang arah perubahan yang diinginkan. Dalam konteks
pembangunan nasional, peluang negosiasi itu terbuka lebar mengingat Indonesia sekarang ini sudah
menerapkan otonomi daerah. Masyarakat lokal diberi ruang kebebasan untuk mengadopsi, menolak,
dan mencipta sesuai dengan karakter lokalnya dan sejauh tidak merugikan kepentingan nasional.
Pembangunan Madura yang memperhatikan aspek-aspek lokal sebenarnya secara tidak langsung
mendukung pembangunan nasional. Sebut saja misalnya hal-hal posistif yang perlu didorong untuk
menyertai proses percepatan pembangunan Madura seperti penyerapan tenaga kerja, revitalisasi
tradisi, dan penegakan hukum merupakan dukungan terhadap agenda pembangunan nasional,
khususnya dalam mengatasi pengangguran, penguatan ketahanan budaya, dan menciptakan
kepastian hukum.

Afirmasi bagi yang Lemah


Dengan dibukanya akses transportasi cepat Surabaya-Madura, tak lama lagi Madura akan
menjadi kawasan yang sangat strategis. Para pelaku ekonomi baik dari kalangan nasional maupun
regional akan melihat Madura tak ubahnya melihat masa depan. Para investor dan ekspatriat akan
berdatangan untuk turut ambil bagian dalam proses industrialisasi Madura. Pendek kata, Madura
sebagai kawasan industri baru akan mengalami booming ekonomi. Dalam kondisi demikian, apakah
masyarakat Madura yang sebelumnya masih tradisional dalam mata pencarian sudah sepenuhnya
siap menyongsong perubahan? Tidakkah mereka akan menjadi korban dari sebuah turbulensi?
Tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan membutuhkan investasi. Oleh karena itu sering
kita dengar pendapat yang menyatakan bahwa salah satu penyebab lambatnya pembangunan
nasional adalah tipisnya kepercayaan para investor asing terhadap stabilitas nasional baik dalam
pengertian politik maupun hukum sehingga berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi. Jika
memang dalam beberapa waktu ke depan Madura dapat membuktikan diri sebagai kawasan yang
kondusif, tidak ada gejolak politik lokal serta tidak banyak hambatan di bidang birokrasi, maka dapat
dipastikan para investor akan berduyun-duyun datang ke Madura. Sampai pada kondisi demikian,
dapat dikatakan bahwa Madura sudah berhasil satu langkah, yakni menciptakan iklim yang baik bagi
percepatan pembangunan ekonomi. Langkah berikutnya, yang tak kalah penting bagi masa depan
Madura, adalah menyiapkan kompetitor dari kalangan masyarakat Madura sendiri.
Jika melihat kondisi riil sumber daya manusia di Madura saat ini sebagian memang sudah
memiliki modal keterampilan, pengalaman, dan finansial. Namun di sisi lain tidak sedikit dari mereka
yang hanya bermodalkan semangat untuk bekerja keras. Dalam konteks perebutan peran dalam
pembangunan ekonomi di Madura ini perlu dipikirkan bentuk-bentuk afirmasi bagi masyarakat yang
masih lemah dalam rangka meminimalisasi korban pembangunan. Dalam hal ini, masyarakat kelas
menengah Madura punya kewajiban moral untuk melindungi sekaligus membina mereka supaya pada
saatnya nanti sama-sama dapat berdiri di garda depan. Kewajiban yang sama juga berada di pundak
para pengambil kebijakan untuk menciptakan regulasi-regulasi yang memungkinkan untuk
melibatkan seluruh lapisan masyarakat Madura dalam pembangunan. Di samping itu, tentu belum
terlambat untuk menyiapkan infrastruktur-infrastruktur terutama di bidang pendidikan yang dapat
mendukung terwujudnya sumber daya manusia yang terampil, profesional, dan siap tempur.
Infrastruktur di bidang pendidikan juga diharapkan dapat menciptakan kondisi di mana ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat tumbuh dengan subur di Madura. Selama ini banyak orang Madura
yang terpelajar enggan untuk kembali ke kampung halaman karena alasan keterbatasan komunitas
intelektual, akses terhadap pengetahuan, dan akses terhadap teknologi. Oleh karena itu, dalam
kerangka afirmasi terhadap kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, lembaga-lembaga
pendidikan di Madura perlu dipacu peningkatan mutu dan fasilitasnya dalam jangka waktu tertentu.

Seiring dengan itu perlu juga dipikirkan untuk segera mendirikan universitas yang besar,
perpustakaan-perpustakan yang representatif, dan pasar ilmu pengetahuan dan teknologi (IT).
Tindakan afirmatif dan protektif bagi masyarakat lokal yang masih lemah tersebut tidak perlu
diletakkan dalam kerangka mempersulit para investor dari luar, melainkan semata-mata untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Madura secara keseluruhan. Pemahaman akan hal ini
menjadi penting sebagai landasan pikir bagi upaya pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial.
Hanya dengan prinsip keadilanlah sikap positif masyarakat terhadap pembangunan dapat
ditumbuhkembangkan.

Peranan Tiga Pilar


Salah satu hal yang sudah pasti akan mengikuti percepatan pembangunan di Madura adalah
perubahan perilaku budaya masyarakat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan
perilaku tersebut. Salah satunya adalah dianutnya nilai-nilai modernitas yang menekankan tindakantindakan rasional. Hal ini sudah menjadi konsekuensi logis dari profesionalisasi di bidang pekerjaan.
Selain itu, faktor lain yang juga besar pengaruhnya adalah penetrasi budaya. Seiring dengan
terbukanya akses transportasi dan komunikasi yang serba cepat, masyarakat Madura akan kebanjiran
tawaran kebudayaan dari berbagai arah. Persoalannya adalah tidak semua budaya yang masuk ke
Madura itu senafas dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Madura.
Dalam kontestasi nilai tersebut masyarakat Madura bisa kalah tetapi juga bisa menang.
Masyarakat Madura dapat dikatakan kalah jika perubahan yang terjadi berjalan jauh dari pandangan
nilai yang sebelumnya dianut oleh sebagian besar masyarakat. Kondisi demikian memungkinkan
terjadi apabila tidak ada mekanisme penyaringan dari masyarakat terhadap nilai-nilai baru sehingga
nilai-nilai lama ditinggalkan begitu saja. Bisa juga kekalahan tersebut terjadi setelah melewati
perbenturan nilai yang begitu sengit dan lama sehingga terjadi anomali di mana masyarakat tak
punya lagi pegangan nilai. Jika hal ini yang terjadi maka sistem nilai baru akan terbentuk setelah
masyarakat menemukan keseimbangan baru, tetapi intinya tetap meninggalkan nilai-nilai lama.
Konsekuensi logis dari kekalahan dalam kontestasi ini adalah hilangnya identitas kultural masyarakat
Madura.
Sebaliknya, masyarakat Madura akan memenangi kontestasi jika perubahan dapat diarahkan
sesuai dengan orientasi nilai yang hidup di masyarakat Madura sebelumnya. Untuk itu dituntut
adanya kreativitas masyarakat dalam mendesain asimilasi dengan prinsip mempertahankan nilainilai budaya lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai budaya baru yang lebih baik. Penerapan
prinsip ini dalam konteks kebudayaan bukanlah sesuatu yang mudah karena tidak ada jaminan bahwa
nilai baru yang akan diadopsi dapat bersenyawa secara harmonis dengan nilai-nilai lama.

Oleh karena itu, desain kreatif perubahan budaya di Madura perlu melibatkan pihak-pihak
yang selama ini dipandang sebagai pilar kokohnya tradisi masyarakat Madura. Secara sederhana
pilar-pilar tersebut dapat kita petakan menjadi tiga. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan
dan pusat dakwah yang sangat besar peranannya dalam membentuk karakter dan mengembangkan
tradisi masyarakat Madura. Pesantren adalah basis penanaman nilai-nilai keagamaan yang selama ini
cukup berhasil mempengaruhi frame kebudayaan Madura.
Potensi pesantren sebagai mengawal perubahan sosial sudah diakui tidak hanya pada
masyarakat Madura tetapi juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Pandangan sementara kalangan
yang melihat pesantren sebagai lembaga pendidikan yang konservatif, stagnan, dan tidak dapat
berkompromi dengan kemajuan sebenarnya keliru sama sekali. Pesantren justru merupakan lembaga
pendidikan dan pusat dakwah yang dinamis, mampu mendialogkan nilai-nilai keagamaan dengan
kebutuhan masyarakat, serta secara kreatif mampu menciptakan kearifan lokal (local wisdom).
Kemampuan pesantren untuk eksis selama empat abad di bumi Nusantara ini membuktikan bahwa ia
dapat menerima sekaligus berperan dalam proses perubahan sosial.
Percepatan pembangunan Madura dengan berbagai dampak sosialnya yang potensial akan
terjadi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pesantren. Pesantren dituntut untuk
lebih kreatif lagi melakukan antisipasi-antisipasi baik yang terkait dengan materi pendidikan maupun
metode pendekatan kepada masyarakat. Selain itu, sebagai benteng pertahanan nilai budaya lokal,
pesantren juga perlu meningkatkan kemandiriannya secara ekonomi dan politik di hadapan ikon-ikon
budaya baru yang mungkin akan muncul.
Kedua, tokoh agama yang selama ini memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial. Bagi
masyarakat Madura yang paternalistik, tokoh agama merupakan pemimpin kultural yang sangat
dihormati. Keberadaan tokoh agama dalam masyarakat Madura tidak hanya dianggap penting untuk
urusan keagamaan, melainkan juga untuk urusan-urusan yang bersifat duniawi. Bukan suatu rahasia
bahwa hingga saat ini masih banyak anggota masyarakat yang membutuhkan nasihat atau petuah dari
tokoh agama sebelum membuka usaha atau mendirikan bangunan. Fakta ini menunjukkan bahwa
pengaruh tokoh agama dapat mengendalikan perilaku budaya masyarakat Madura.
Dengan demikian, peran tokoh agama menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan
arah pembangunan Madura ke depan. Tantangan yang sangat nyata bagi tokoh agama antara lain
adalah mewabahnya pengaruh negatif budaya asing yang dapat menggerogoti nilai-nilai budaya lokal.
Persoalan ini tentu tidak perlu dihadapi dengan cara-cara reaksioner asal tolak karena hal itu belum
tentu efektif dan cenderung mengundang masalah baru. Tindakan yang bijaksana justru ketika tokoh
agama berperan secara aktif dalam mendesain arah pembangunan, serta menciptakan formulaformula jalan keluar dalam rangka meminimalisasi dampak-dampak buruknya.
Ketiga, pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan. Pemerintah daerah merupakan
sumbu utama percepatan pembangunan di Madura. Selain sebagai perencana, pemerintah daerah

juga menjadi pelaksana proses pembangunan. Dengan demikian, pemerintah daerah menjadi pihak
yang paling bertanggungjawab atas suksesnya pembangunan Madura dalam pengertian yang luas.
Keberhasilan pembangunan Madura tentu saja tidak bisa hanya diukur dengan kesejahteraan
masyarakat secara ekonomi, tetapi juga harus diukur dengan perspektif kebudayaan, sejauh mana
pembangunan tersebut mampu menciptakan masyarakat yang waras (sane society). Jangan sampai
masyarakat Madura kelak merasa asing di kampung halaman sendiri.
Oleh sebab itu, pemerintah daerah dalam membuat berbagai kebijakan yang terkait dengan
percepatan pembangunan perlu mempertimbangkan keberlangsungan nilai-nilai budaya yang selama
ini telah dianut oleh masyarakat Madura. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi harus
diselaraskan dengan pembangunan di bidang kebudayaan. Bukankah pembangunan kebudayaan jika
dikelola dengan baik dapat mendukung pertumbuhan ekonomi? Di sinilah letak pentingnya berbagai
tradisi masyarakat Madura yang berciri positif, baik yang sudah punah maupun yang masih hidup
dan berkembang, untuk direvitalisasi oleh pemerintah daerah sebagai aset kebudayaan daerah
sekaligus komoditas yang bernilai ekonomi.

Aparat sebagai Teladan


Hal lain yang tak kalah pentingnya diprioritaskan dalam percepatan pembangunan di Madura
adalah penegakan hukum. Persoalan apa pun yang kelak mengiringi proses percepatan pembangunan
Madura harus dapat diselesaikan di muka hukum. Seluruh lapisan masyarakat harus menyadari
bahwa hukum adalah sarana untuk menyelesaikan persoalan secara adil.
Penegakan hukum menjadi demikian penting karena kepatuhan masyarakat Madura
terhadap hukum positif cenderung lebih rendah dibanding kepatuhan mereka terhadap tradisi atau
tokoh agama. Realitas ini tidak menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Madura akan ketertiban
dan keadilan masih rendah, melainkan kesadaran akan ketertiban dan keadilan tersebut selama ini
lebih banyak disandarkan pada tradisi dan kearifan lokal. Realitas ini memiliki potensi risiko apabila
tidak segera diantisipasi karena proses percepatan pembangunan Madura bisa saja berdampak pada
mengendornya keterikatan masyarakat terhadap tradisi dan pemimpin kultural mereka sehingga
kesadaran akan ketertiban dan keadilan kehilangan sandaran nilainya. Terlebih lagi jika, misalnya,
pengawalan percepatan pembangunan di bidang ekonomi dan budaya tidak berjalan dengan mulus
sehingga menimbulkan banyak korban pembangunan yang merasa terpinggirkan, disorientasi, dan
frustrasi, bukan tidak mungkin tidakan-tidakan kriminal menjadi subur dalam berbagai bentuk dan
pola.
Berbagai bentuk tindakan kriminal itu sebenarnya bisa diminimalisir dengan penegakan
hukum yang efektif. Sementara itu efektivitas hukum tergantung pada tiga aspek, yaitu
substansi/materi hukum, aparat hukum, dan budaya hukum. Apabila materi hukum sudah sesuai

dengan kebutuhan masyarakat, aparat penegak hukum bekerja dengan sungguh-sungguh, dan
masyarakat dapat menerima hukum itu sebagai bagian dari kehidupan mereka, pada saat itulah
hukum dapat ditegakkan. Sedangkan bila kita lihat realitas yang berjalan sampai saat ini harus diakui
bahwa penegakan hukum kita masih banyak catatan. Berdasarkan kondisi riil tersebut, dalam konteks
masyarakat Madura, penegakan hukum perlu ditekankan pada dua aspek, yaitu budaya hukum dan
aparat hukum.
Aspek budaya hukum perlu dikondisikan melalui upaya-upaya kultural yang dapat
mendekatkan masyarakat dengan wacana tentang kesadaran hukum. Di sini keterlibatan tokoh agama
dalam melakukan penyadaran hukum kepada masyarakat sangat diperlukan. Seorang tokoh agama,
dengan kearifan lokalnya, tentu dapat menjelaskan bahwa hukum positif sebenarnya merupakan
legalisasi dari etika dan moral yang juga terdapat dalam ajaran agama. Artinya, hukum positif itu tak
kurang dan tak lebih adalah pengejawantahan nilai etika dan moral yang diformalkan. Memang harus
disadari bahwa upaya mempertautkan kearifan lokal dengan tradisi hukum positif

bukanlah

pekerjaan mudah, melainkan membutuhkan kreativitas.


Selain mendekatkan wacana kesadaran hukum kepada masyarakat, kepercayaan terhadap
(proses) hukum juga perlu dipupuk. Hal ini terkait dengan aspek kinerja aparat hukum. Aparat
hukum dalam arti luas adalah seluruh jajaran eksekutif dan yudikatif. Sebagai aparat hukum mereka
berada pada posisi garda depan penegakan hukum. Mereka adalah tauladan masyarakat di bidang
hukum. Perilaku hukum mereka menjadi standar penilaian masyarakat, sejauhmana hukum benarbenar serius ditegakkan. Penegakan hukum yang dibumbui dengan permainan-permainan seperti
penyuapan, pemerasan, kolusi, tebang pilih, dan sejenisnya akan dinilai oleh masyarakat sebagai
ketidakseriusan yang pada gilirannya akan merendahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Oleh sebab itu, agenda penegakan hukum harus pula mencakup tumbuhnya kesadaran hukum di
kalanagan aparat hukum sendiri.

Melangkah Bersama
Agenda percepatan pembangunan Madura merupakan kebutuhan sekaligus masalah bersama
yang harus dipikul oleh masyarakat Madura. Pembangunan Madura yang bersifat komprehensif ini
tidak bisa dihadapi sendiri-sendiri oleh masyarakat, baik dalam pengertian kelompok maupun
teritori. Seluruh komponen masyarakat Madura harus menyusun langkah bersama, jalin menjalin
serta saling mendukung satu sama lain, untuk menyongsong datangnya perubahan. Sekali masyarakat
Madura mengedepankan kepentingan diri, kelompok, atau terirori masing-masing, saat itu juga
pengawalan pembangunan Madura berada dalam bayang-bayang kegagalan.
Kegiatan duduk bersama untuk membicarakan desain dan strategi pembangunan Madura
secara terpadu merupakan langkah positif. Hanya melalui urun rembuk bersama keputusan-

keputusan terbaik bagi masyarakat Madura dapat ditentukan. Kegiatan semacam ini perlu dipelihara
kesinambungannya pada masa-masa yang akan datang dalam kerangka evaluasi terhadap jalannya
pembangunan. Seluruh komponen masyarakat perlu ruang untuk mengontrol proses pembangunan
supaya pembangunan Madura tidak menjadi sekadar pembangunan di Madura. ***

Anda mungkin juga menyukai