Dosen Pengampuh :
RIDA RISTIYANA, S.E., M.Ak.
NAMA KELOMPOK 3 :
1. ANGGA PRAYOGA
2. FELLIA HELSYA ZHAFIRAH
3. LISA SHOLIATI
4. SELVA SUCI YANI
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nyalah kami dapat
menyelesaikan makalah perpajakan internasional tentang METODE PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA DAN BENTUK USAHA TETAP (BUT) dengan tepat pada waktunya.
Shalawat beriring salam selalu kita panjatkan kepada Rasullullah SAW, karena kegigihan beliau
dan ridho-Nyalah kita dapat merasakan kenikmatan dunia seperti sekarang ini.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh dosen pengajar pada mata kuliah Perajakan Internasional, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca sekalian.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu RIDA RISTIYANA, S.E., M.Ak. selaku
dosen mata kuliah Perpajakan Internasional yang telah memberikan tugas untuk menambah
wawasan sesuai bidang studi. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir.
Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran penulis harapkan dari pembaca sekalian demi terciptanya kesempurnaan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Table of Contents
KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.............................................................................................3
A. Pengertian penghindaran pajak berganda......................................................................................3
B. Juridical Double Taxation dan Economic Double taxation...............................................................3
C. Tujuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)...............................................................4
D. Penyebab Terjadinya Pajak Berganda..............................................................................................5
E. Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan Internasional............................................6
F. Mengapa Terjadi Perpajakan Berganda Internasional?...................................................................7
G. Upaya untuk Menghindari Pajak Berganda Internasional................................................................7
H. Cara Menghindari Terjadinya Pajak Berganda Internasional (Avoidance of Double Taxation)........8
I. Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional......................................................................9
BENTUK USAHA TETAP..............................................................................................................................12
J. Pengertian BUT..............................................................................................................................12
K. Macam-macam Bentuk Usaha Tetap.............................................................................................13
L. Ketentuan Atribusi Laba Usaha pada BUT.....................................................................................14
M. Time Test BUT............................................................................................................................16
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mobilisasi dunia usaha akhir-akhir ini sangat pesat dengan adanya globalisasi modal dan
perdagangan. Globalisasi modal dapat terjadi baik melalui partisipasi langsung maupun tidak
langsung oleh badan privat dan publik serta organisasi internasional. Badan usaha dapat
didirikan oleh modal asing, kepemilikan (saham) pada suatu badan ditransfer ke mancanegara,
perwakilan cabang didirikan di mancanegara dan pinjaman tersedia oleh kreditur bagi debitur
dengan tempat tinggal yang berlainan negara.
Adanya dunia usaha yang sangat pesat tersebut harus didukung dengan ketentuan atau
peraturan di bidang yang berkaitan dengan usaha tersebut, sehingga dunia usaha dapat
berkembang tanpa adanya hambatan dan masalah. Salah satu hal yang penting dalam dunia usaha
adalah pajak. Dalam dunia usaha yang telah bertaraf internasional, hal yang mungkin menjadi isu
adalah pajak berganda, dimana pajak dapat saja dikenakan dua kali yaitu di Negara tempat usaha
dan di negara asal entitas tersebut. Pajak berganda ini sangat perlu dipelajari dalam
mengembangkan sumber daya yang dapat menghadapi isu-isu penting yang mungkin terjadi.
Sebagai mahasiswa ekonomi kita harus tau mengenai pajak dan akuntansi internasional.
1
oleh beberapa hal, antara lain oleh falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakan
tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sector-sektor tertentu.
Bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu kedudukan yang
khusus karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut agak berbeda
dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam kaitan nya dengan
perjanjian perpajakan (tax treaty), ada tidak nya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan
dapat atau tidak nya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh
suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
1.3 Tujuan
2
11. Untuk mengetahui time test BUT
BAB II
PEMBAHASAN
3
B. Juridical Double Taxation dan Economic Double taxation
Dalam “ Commentary on Articles 23A and 23B Concerning the Methods for Elimination
of Double Taxation” membedakan antara pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dan
pajak berganda ekonomis (economic double taxation):
Pajak berganda yuridis terjadi apabila orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu
negara atas penghasilan yang sama.
Pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan
pajak atas suatu penghasilan yang sama.
Menurut Prof.Mansury (1999: 6) ada dua tujuan pokok dari persetujuan penghindaran
pajak berganda (P3B).
1. Tujuan utama pembuatan P3B atau Tax Treaty adalah mencegah terjadinya pajak berganda
(double taxation) atas subjek pajak dalam negeri dari salah satu dari dua Negara yang
mengadakan tax treaty yang bersangkutan.
4
7. Memastikan pertukaran informasi untuk mencegah penghindaraan atau penyelundupan
pajak.
8. Memberikan asistensi dalam pengumpulan pajak.
Menurut Gunadi (2007: 8), ketentuan pajak internasional suatu Negara pada umumnya disusun
untuk mencapai sekurang-kurangnya 4 (empat) tujuan, yaitu:
1. Memperoleh bagian penerimaan dari transaksi lintas batas perbatasan secara adil.
2. Meningkatkan keadilan (fairness) dalam perpajakan.
3. Memperkuat daya saing ekonomi domestic.
4. Netralitas ekspor modal (capital export neutrality) dan impor modal (capital import
neutrality).
Pires (1989) sebagaimana dikutip oleh Gunadi(2007:189) menyebutkan bebberapa tujuan lain
dari P3B, ANTARA LAIN :
5
D. Penyebab Terjadinya Pajak Berganda
Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasar nya tidak ada hukum
internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antara dua Negara
atau lebih.
Dari pengertian bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena atas suatu obkjek
pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan objek lebih dari satu kali sehingga menimbulkan
beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya Prof. Rochmat
Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa penyebab terjadi nya pajak berganda internasional,
yaitu sebagai berikut:
1. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa Negara,yang padat terjadi
karena:
a. Domisili rangkap (dual residence)
Ukuran domisili terkait dengan time test keberadaan seseorang, yang mengenalkan
pajaknya dikaitkan dengan tempat domisili atau kedudukan dari subjek pajaknya .
b. Kewarganegaraan rangkap (dual citizenship)
Bila negara yang bersangkutan menerapkan asas kewarganegaraan/ kebebasan
(citizenship/ nationality) sebagai asas pengenaan pajaknya.
Perpajakan internasinal merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri
dan memajukan pedagangan antarnegara, mendorong laju investasi di masing masing Negara,
pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghamat perdagangan dan innvestasi
6
tersebut. Ada beberapa prinsip yang harus dipahami dalam perpajakan dalam internasional.
Doernderg (1989) menyebut tiga unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan
perpajakan internasional yaitu:
1. Capital Exsport Neutrality (netralitas pasar dometik)
Ke mana pun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama sehingga
tiak ada bedanya bila kita berinvestasi didalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila
berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari 2
negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Pasal yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (netralits pasar internasional)
Dari mana pun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor
dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi
disuatu Negara. Hal ini meladasi hak pemajakan yang sama dalam wajib Pajak dalam negeri
(WPDN) terhadap permament establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang
dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan biasa yang melewati time test dari
peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality
Setiap Negara mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila
ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya
pengurangan laba.
Perpajakan berganda terjadi karena benturan antara klaim perpajakan. Hal ini karena
adanya prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana
penghasilan dari luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara
domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib
pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber
dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu peghasilan
dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber.
7
Bentrokan klaim bisa di perparah bila terjadi dual residence, dimana ada dua negara yang
sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagai wajib pajak dalam negerinya yang
menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali.
Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu pertama cara unilateral
(sepihak) dan kedua, cara bilateral atau multilateral. Penjelas kedua cara tersebut diuraikan
sebagai berikut:
1. Cara Unilateral (sepihak)
Cara ini dilakukan dengan memasukan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan
pajak berganda dalam undang-undang suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas.
8
Biasanya yang dimasukan dalam undang-undang suatu negara adalh prinsip-prinsip yang
sudah menjadi kelaziman internasional, seperti ketentuan tentang pembahasan pajak wakil
diplomatik, wakil-wakil organisasi internasional. Penggunaan cara ini merupakan wujud
kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu
undang-undang.
2. Cara Bilateral
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang
berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda.
3. Cara Multilateral
Cara multilateral dilakukan melalui perundingan multilateral oleh lebih dari dua
negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda.
Seperti halnya konvensi Wina di tahun 1961 di dalamnya dimuat tentang dibebaskannya
perwakilan negara yang ditempatkan di negara lain dari pengenaan pajak. Di Indonesia hal ini
berlaku bagi pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lain dari
negara asing, serta orang-orang asing yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat (1) bukan warga negara Indonesia, dan
(2) di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha, serta (3) negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik (asas reciprositas). Jadi setidaknya harus
dipenuhi tiga syarat tersebut diatas bagi perwakilan negara asing di Indonesia untuk dapat
dibebaskan dari pengenaan pajak.
Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan
waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya
masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri.
9
Full exemption method atau exemption without progression.
Exemption at the top method.
Exemption at the bottom method.
Proportional exemption method.
- Pembebasan objek (object, income exemption), yang lebih dikenal dengan full
exemption atau exemption without progression, diberikan dengan mengeluarkan
10
penghasilan luar negeri daribasis pemajakan WPDN negara. Exemption without
progression (eksemsi tanpa progresi) maksudnya adalah bahwa penghasilan luar negeri
dari WPDN betul-betul dibebaskan dari pengenaan pajak dengan mengeluarkannya
(mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga tidak akan
masuk dalam unsur penghitungan progresi (progresivitas) tariff pengenaan pajak negara
domisili.
- Pembebasan pajak (tax exemption) atau dikenal dengan exemption with progression.
Dalam metode ini, pada prinsipnya penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari
pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak dan penerapan
tarif pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas
penghasilan global dipertahankan.
- Apabila negara residen memperlakukan tarif sepadan (proporsional atau flat), maka
pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif atau
menguntungkan wajib pajak apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena
kerugian tersebut dapat merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas
penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan utama antara metode
pembebasan penghasilan (object exemption) dengan pembebasan pajak (tax exemption).
Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti
Indonesia.
11
b. Ordinary tax credit method (Metode Pengurangan Pajak Terbatas)
Sebagai implikasi dari pengenaan PPh atas penggabungan penghasilan yang
terutang pajak atas seluruh penghasilan yang di terima atau di peroleh dari Luar Negeri
dan Dalam Negeri (worldwide income), subjek pajak dalam negeri yang memperoleh
penghasilan dari luar negeri (negara sumber) akan dikenakan pajak di negara domisili.
Negara tempat sumber penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan demikian,
besar kemungkinan akan terjadi pengenaan pajak berganda di mana dua yurisdiksi
perpajakan yang berbeda mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang
diperoleh subjek pajak yang sama. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda ini,
UU pajak domestik secara unilateral memberikan solusi bahwa atas pajak yang terutang
atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam negeri. Namun
demikian, besarnya pajak yang bisa dikreditkan dibatasi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak terutang berdasarkan UU pajak domestik. Metode kredit pajak yang
demikian yakni metode pembatasan tiap negara (per country limitation) dikenal dengan
“Metode Pengkreditan Terbatas” (Ordinary Credit Method).
Namun sering kali pajak berganda internasional (PBI) tidak bisa dieliminir
sepenuhnya, misalnya metode kredit pajak luar negeri di Indonesia, masing menyisakan
potensi pajak berganda internasional karena ada kemungkinan pajak penghasilan yang
sudah dibayar atau dipotong di luar negeri tidak sepenuhnya dapat dikreditkan di
Indonesia. Masalah perpajakan internasional akan semakin kompleks jika seseorang
wajib pajak menjadi dual resident di dua negara dimana negara yang satu menggunakan
consumption based taxation, sementara negara yang lainnya menggunakan income based
taxation.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan yang SPLN (baik
orang ribadi atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Suatu usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business)
yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung, termasuk juga mesin-mesin, peralatan,
gudang, dan komputer. Perwujudan BUT dapat berupa tempay kedudukan manajemen, cabang,
kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan, dll.
Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang
didirikan dan tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh, Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment)
didefinisikan sebgai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
13
Indonesia untuk menjalankan usaha atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
14
3. BUT Keagenan (agency type)
Termasuk dalam kelompok BUT Keagenan adalah orang atau badan yang bertindak
selaku agen yang kedudukannya tidak (dependent agen). Aktivitas keagenan bisa dilakukan
oleh badan atau orang pribadi, dan dalam praktik agak terdapat kesulitan untuk
mengidentifikasi legalitas dependensi ekonomi keagenan tersebut, legal dalamformalitas
atau subtansi ekonomis.
Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, menurut Pasal 5 ayat (1) UU PPh, terdiri
atas tiga jenis yaitu :
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasai (attributable income).
15
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap
di Indonesia (force of attraction income).
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income).
Biaya BUT
Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat
(3) UU PPh. Berdasarkan pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan
force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu,
berdasarkan pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang
besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Prinsip worldwide income pada UU PPh bisa kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh
yang menegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa berasal dari Indonesia
maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata "dari luar Indonesia" inilah yang menjadikan
prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi berdimensi internasional.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business),
yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
16
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Pada umumnya di sebagian besar P3B Indonesia, klausul Uji Waktu (Time Test) BUT
untuk pekerjaan jasa konstruksi, instalasi, perakitan, kegiatan pengawasan (supervisory) dan jasa
lainnya diatur dalam Pasal 5 Tax Treaty Indonesia dengan negara mitra lainnya.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perpajakan Internasional adalah tata cara dan hukum pemajakan yang terdiri atas kaidah-
kaidah, baik kaidah perpajakan nasional maupun kaidah yang berasal dari traktat antarnegara
dan dari prinsip yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-
soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjek
maupun mengenai objeknya Pajak Berganda merupakan permasalahan Perpajakan
Internasional yang terjadi antar beberapa negara.Untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut dilakukan perjanjian untuk menghindari pemungutan pajak yang dilakukan lebih
dari satu kali. Di Indonesia perjanjian tersebut di kenal dengan istilah P3B atau Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda. Dari celah – celah sempit Peraturan perundang-undangan
setiap negara, banyak dijadikan usaha untuk menghilangkan pemungutan pajak., menimbun
asset, melakukan transaksi OffShore, melakukan rekayasa transaksi, pemalsuan nama untuk
suatu transaksi fiktif, dan modus lainnya,
18