Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH PERATURAN PERPAJAKAN

Disusun Oleh :

Angga Prayoga (1706020080)

UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF TANGERANG


Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Akuntansi
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan

Rahmat dan Karunia-Nya sehingga para kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas  Peraturan Perpajakan dari tahun 2017-2020.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan

tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, para

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal

dari Tuhan Yang Maha Esa.

Para penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.  Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada kita sekalian.

Tangerang, 18 Juni 2020

                   Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Tujuan Penelitian
Bab II Pembahasan
2.1 Peraturan Pajak Tentang Penghindaran Pajak Beganda Pada Tahun 2017
2.2 Peraturan Pajak Tentang Surat Keterangan Domisili SPDN Indonesia Dalam Rangka
Penghindaran Pajak Berganda Pada Tahun 2018
2.3 Peraturan Pajak Tentang Perhitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pada Tahun 2019
2.4 Peraturan Pajak Tentang Panduan Umum Tatanan Normal Baru di Dirjen Pajak
Bab III
Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan peraturan pajak selalu mengalami perubahan.Perubahan yang terjadi
akibat persepsi Dirjen Pajak yang menganggap perubahan diperlukan untuk
meningkatkan keadilan dan peningkatan pajak yang pemasukannya untuk pembiayaan
pembangunan.Implikasinya dalam mewujudkan pembangunan negara perlu
menganggarkan pengeluaran serta pemasukan negara, pemasukan negara yang sebagian
besar berasal dari pajak.Pajak merupakan instrument penting dalam anggaran suatu
negara, hal ini terlihat bahwa kebijakan fiskal masa kini serta masa mendatang dari
upaya meningkatkan penerimaan pajak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara Penghindaran Pajak Berganda Pada Tahun 2017?
2. Bagaimana cara mengurus Surat Keterangan Domisili SPDN Indonesia
Dalam Rangka Penghindaran Pajak Berganda Pada Tahun 2018?
3. Bagaimana Perhitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pada Tahun 2019?
4. Apa Saja Panduan Umum Tatanan Normal Baru di Dirjen Pajak?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui tentang Penghindaran Pajak Beganda Pada Tahun 2017
2. Untuk mengetahui tentang Cara Mengurus Surat Keterangan Domisili
SPDN Indonesia Agar terhindar dari Pajak Berganda Pada Tahun 2018
3. Untuk mengetahui tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib
Pajak Baru, Bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib
Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat
Laporan Keuangan Secara Berkala Dan Wajib Pajak Ornag Pribadi
Pengusaha Tertentu Pada tahun 2019
4. Untuk Mengetahui tentang Panduan Umum Pelaksanaan Tugas Dalam
Tatanan Normal Baru Di Lingkungan Di Rektorat Jendral Pajak

1.4 Manfaat Penelitian


1. Untuk menambah wawasan tentang peraturan perpajakan terbaru
2. Menjadikan setiap peraturan sebagai landasan atau acuan

1.5 Tujuan Penelitian


1. Memberikan pengetahuan dan kejelasan tentang peraturan perpajakan
terbaru dari tahun 2017-2020
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peraturan Pajak Tahun 2017 Tentang Penghindaran Pajak Berganda

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 10/PJ/2017 TENTANG


TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda
sebelumnya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang
Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010;

b. bahwa ketentuan mengenai pencegahan penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak


berganda sebelumnya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010;

c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 diatur bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
Pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak;

d. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda;
e. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan untuk mencegah penyalahgunaan
persetujuan penghindaran pajak berganda, perlu mengganti Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 dan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,


huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara
Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; Mengingat : Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893); Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5183); Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248); MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan: Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak. Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa tarif pajak yang
lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh atau pengecualian
dari pengenaan pajak di negara sumber. Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat
WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh yang
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk
usaha tetap atau tanpa melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Pemotong dan/atau Pemungut
Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan
pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN.
Surat Keterangan Domisili WPLN yang selanjutnya disingkat SKD WPLN adalah surat
keterangan berupa formulir yang terdiri dari Form DGT-1 atau Form DGT-2 yang diisi oleh
WPLN dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B
dalam rangka penerapan P3B. Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama
apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN
yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi
mitra P3B dalam rangka penerapan P3B. Pejabat yang Berwenang Mengesahkan SKD WPLN
atau Competent Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang
memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence
berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Kustodian adalah
lembaga yang telah mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang di Indonesia untuk
memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain,
termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan
mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. Agen adalah orang pribadi atau badan
yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
Nominee adalah orang pribadi atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan/atau
penghasilan (legal owner) untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya
menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh Manfaat P3B sehubungan dengan
penghasilan yang timbul di Indonesia, sementara manfaat ekonomi dari penghasilan tersebut
dimiliki oleh orang pribadi atau badan di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak
pemanfaatan P3B jika penghasilan tersebut diterima langsung.

BAB II KEWAJIBAN PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK

Pasal 2 (1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau
pemungutan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN, (2) Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemotong dan/atau Pemungut Pajak melakukan
pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dalam
hal: a) terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh dan
ketentuan yang diatur dalam P3B; b) penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri
Indonesia; c) penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek
pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B; d) WPLN menyampaikan SKD
WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya; e) tidak
terjadi penyalahgunaan P3B; dan penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal
dipersyaratkan dalam P3B.

BAB III TATA CARA PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN DAN


PELAPORAN PAJAK

Pasal 3 (1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti, pemotongan dan/atau
pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang bukti pemotongan dan/atau
pemungutan pajak penghasilan. (2) Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau diperoleh
WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut di Indonesia berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tetap harus membuat
bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak. Pasal 4 (1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak
harus menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan tertentu
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d sebagai lampiran dalam SPT Masa
untuk masa terutangnya pajak penghasilan. (2) Dalam hal Pemotong dan/atau Pemungut Pajak
tidak menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan
sebagai berikut: Manfaat P3B tidak diberikan kepada WPLN; dan Pemotong dan/atau Pemungut
Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh. (3) Penyampaian SKD WPLN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB IV PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK

Pasal 5 (1) Dalam hal terjadi: a. kesalahan penerapan P3B; atau b. SKD WPLN disampaikan
setelah Pemotong dan/atau Pemungut Pajak menyampaikan SPT Masa untuk masa terutangnya
pajak, WPLN tetap dapat diberikan Manfaat P3B melalui mekanisme pengembalian kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. (2) Manfaat P3B sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak diberikan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B. (3) SKD WPLN yang
disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e serta persyaratan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (4) Dalam
hal WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia: a. tidak menerima
Manfaat P3B; dan b. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tidak menyampaikan SPT Masa untuk
masa pajak terutangnya pajak atas penghasilan tersebut, WPLN tetap dapat diberikan Manfaat
P3B melalui mekanisme Mutual Agreement Procedure (MAP).

BAB V SKD WPLN YANG MEMENUHI PERSYARATAN ADMINISTRATIF

Pasal 6 (1) SKD WPLN memenuhi persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf d dalam hal: a) menggunakan Form DGT-1 atau Form DGT-2; b) diisi dengan
benar, lengkap dan jelas; c) ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan
oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B; d) disahkan
dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang
Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B; e) digunakan
untuk periode yang tercantum pada SKD WPLN; dan f) disampaikan oleh Pemotong dan/atau
Pemungut Pajak bersamaan dengan penyampaian SPT Masa, paling lambat pada saat
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak. (2)
Penandasahan oleh Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dituangkan dalam Part III Form DGT-1 atau Part III Form DGT-2. (3) Penandasahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digantikan dengan Certificate of Residence yang
harus memenuhi ketentuan: a) menggunakan bahasa Inggris; b) berupa dokumen asli atau
dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak; c) paling sedikit
mencantumkan informasi mengenai nama WPLN, tanggal penerbitan, dan tahun pajak
berlakunya Certificate of Residence; dan d) mencantumkan nama dan ditandatangani atau diberi
tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di
negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. (4) Dalam hal WPLN menggunakan Certificate of
Residence sebagaimana dimaksud pada ayat (3), WPLN tetap wajib mengisi Form DGT-1 selain
Part III atau Form DGT-2 selain Part III. (5) Periode yang tercantum pada SKD WPLN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu paling lama 12 (dua belas) bulan. (6) Form
DGT-1 atau Form DGT-2 menggunakan formulir dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 7 (1) Form DGT-1 digunakan oleh WPLN selain
WPLN yang menggunakan Form DGT-2. (2) Form DGT-2 digunakan oleh: a) WPLN yang
menerima dan/atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan
dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen; b) WPLN bank; atau c) WPLN berbentuk dana
pensiun.

BAB VI SKD WPLN YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU LAINNYA

Pasal 8 SKD WPLN memenuhi persyaratan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf d dalam hal: a. bagi WPLN yang menggunakan Form DGT-1, WPLN harus
menyatakan dalam lembar ke-2 formulir tersebut bahwa WPLN mempunyai: motif ekonomi
yang relevan terkait pendirian entitas; kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan
manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; aset
tetap dan tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk menjalankan kegiatan usaha di negara
mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
pegawai dengan keahlian tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan dalam
jumlah yang cukup dan memadai; dan kegiatan atau usaha aktif lainnya selain hanya menerima
penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia; b. bagi
WPLN yang menggunakan Form DGT-1 dan WPLN dipersyaratkan sebagai beneficial owner
berdasarkan P3B, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
WPLN harus menyatakan dalam lembar ke-3 formulir tersebut bahwa: bagi WPLN orang
pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau bagi WPLN Badan, tidak bertindak
sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, yang harus memenuhi ketentuan: a) mempunyai kendali
untuk menggunakan, atau menikmati dana, aset, atau hak, yang mendatangkan penghasilan dari
Indonesia; b) tidak lebih dari 50% penghasilan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada
pihak lain; c) menanggung risiko atas aset, modal, dan/atau kewajiban yang dimiliki; dan d) tidak
mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk memberikan sebagian atau
seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lainnya; dan c. bagi WPLN yang
menggunakan Form DGT-2, WPLN harus menyatakan dalam Part II formulir tersebut bahwa
WPLN: merupakan subjek pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B berdasarkan undang-
undang di bidang perpajakan di negara tersebut; dan tidak bertindak sebagai Agen, Nominee,
atau Conduit atas penghasilan yang diterima, dalam hal WPLN dipersyaratkan sebagai Beneficial
Owner berdasarkan P3B.

BAB VII PENYALAHGUNAAN P3B

Pasal 9 (1) Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e terjadi
dalam hal tujuan utama atau salah satu tujuan utama pengaturan transaksi adalah untuk
mendapatkan Manfaat P3B serta bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B. (2)
Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terjadi dalam hal WPLN
memiliki: substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan
transaksi; bentuk hukum (legal form) yang sama dengan substansi ekonomi (economic
substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi; kegiatan usaha yang dikelola oleh
manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk
menjalankan transaksi; aset tetap dan aset tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk
melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang
mendatangkan penghasilan dari Indonesia; pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai
dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan
perusahaan; dan kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen,
bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia. (3) Kegiatan atau usaha aktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan secara
aktif oleh WPLN sesuai keadaan yang sebenarnya yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang
dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara
langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk kegiatan signifikan yang dilakukan WPLN untuk mempertahankan
kelangsungan entitas. (4) Dalam hal terdapat perbedaan antara bentuk hukum (legal form) suatu
struktur/skema transaksi dengan substansi ekonomisnya (economic substance), perlakuan
perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya
(substance over form) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a.

BAB VIII BENEFICIAL OWNER

Pasal 10 (1) WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f dalam hal: a. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai
Agen atau Nominee; atau b. bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau
Conduit, yang harus memenuhi ketentuan: mempunyai kendali untuk menggunakan atau
menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia; tidak lebih dari
50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain; menanggung
risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan tidak mempunyai kewajiban baik
tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima
dari Indonesia kepada pihak lain. (2) Yang dimaksud dengan penghasilan badan sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) huruf b angka 2 yaitu seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan
dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan
nonkonsolidasi WPLN. (3) Untuk menentukan nilai 50% penghasilan yang digunakan memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 tidak termasuk: a. pemberian
imbalan kepada karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan; b. biaya lain
yang lazim dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya; dan c. pembagian keuntungan
dalam bentuk dividen kepada pemegang saham.

BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 11 (1) Dalam hal penerima penghasilan merupakan Pemerintah negara mitra atau
yurisdiksi mitra P3B, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan
secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh otoritas perpajakan di Indonesia dan
otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, penerapan P3B dapat dilakukan
dengan tidak menggunakan Form DGT-1 atau Fonn DGT-2. (2) Penerima penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Certificate of Residence yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan pasal 6 ayat (3) atau surat keterangan dari otoritas
perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang menyatakan bahwa penerima
penghasilan tersebut merupakan pihak yang dapat dikecualikan dari pengenaan pajak di negara
sumber atas penghasilan tertentu berdasarkan P3B, (3) Certificate of Residence atau surat
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk tahun pajak yang
tercantum pada Certificate of Residence tersebut. Pasal 12 Untuk dapat menerapkan ketentuan
yang diatur dalam P3B selain ketentuan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan,
WPLN harus menyerahkan Certificate of Residence yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal, tempat kegiatan usaha atau tempat kedudukan WPLN di Indonesia. BAB X
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku: SKD
yang telah disahkan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009
tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 dan masa berlakunya
belum terlewati, tetap dapat dipergunakan sampai dengan berakhirnya masa berlaku tersebut;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan
Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2017. Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 19 Juni 2017.

2.2 Peraturan Pajak Tahun 2017 Tentang Surat Keterangan Domisili Bagi SPDN
Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 28/PJ/2018 TENTANG
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang :

(1)Bahwa ketentuan mengenai surat keterangan domisili bagi subjek pajak dalam negeri
Indonesia dalam rangka penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda telah diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2017 tentang Surat Keterangan Domisili
bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda; bahwa dalam rangka penyederhanaan dan kemudahan administrasi, serta
memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam negeri untuk memperoleh manfaat
persetujuan penghindaran pajak berganda, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai surat
keterangan domisili bagi subjek pajak dalam negeri Indonesia dalam rangka penerapan
persetujuan penghindaran pajak berganda sebagaimana dimaksud dalam huruf a; bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat

(2)Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan


Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek
Pajak Dalam Negeri Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda; Mengingat : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5183); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK
DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal 1 Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan: Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra yang selanjutnya disebut Negara Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan
Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak
berganda dan pengelakan pajak. Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang selanjutnya disingkat SKD SPDN adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak dimaksud adalah subjek pajak dalam negeri
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Domisili yang selanjutnya disebut Kepala KPP Domisili adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar
atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. Surat Pemberitahuan Tahunan yang
selanjutnya disebut SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak. Formulir Khusus adalah formulir yang diterbitkan oleh otoritas pajak
Negara Mitra yang berisi konfirmasi status subjek pajak dalam negeri Indonesia.

Pasal 2 (1)Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penerbitan SKD SPDN kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam rangka memperoleh manfaat P3B untuk: Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak saat permohonan penerbitan SKD SPDN diajukan; atau Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak sebelum tahun saat permohonan penerbitan SKD SPDN diajukan yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan belum melewati daluwarsa
penetapan. (2)Permohonan penerbitan SKD SPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara elektronik melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (3)Direktur Jenderal Pajak berwenang
menerbitkan SKD SPDN secara elektronik kepada Wajib Pajak berdasarkan permohonan
penerbitan SKD SPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal Wajib Pajak tersebut
memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.

Wajib Pajak berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) a.Undang-Undang PPh; b.Wajib Pajak telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
c.Wajib Pajak telah menyampaikan:
(1)SPT Tahunan PPh Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban Wajib Pajak
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam hal Wajib
Pajak mengajukan permohonan penerbitan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak saat permohonan penerbitan SKD SPDN diajukan;

(2)SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan permohonan
penerbitan SKD SPDN yang menjadi kewajiban Wajib Pajak berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan
penerbitan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sebelum tahun saat
permohonan penerbitan SKD SPDN diajukan; dan d.permohonan yang diajukan memenuhi
persyaratan administratif permohonan penerbitan SKD SPDN, yaitu: 1)diajukan untuk: a)satu
Negara Mitra yang menjadi tempat penghasilan bersumber; b) satu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak; dan c)satu lawan transaksi; dan (2)memuat informasi mengenai lawan transaksi di
Negara Mitra paling sedikit berupa: a)nama lawan transaksi; b)taxpayer identification number
dan/atau alamat dari lawan transaksi; dan c)penjelasan mengenai penghasilan yang berasal dari
lawan transaksi. (4) Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penerbitan SKD
SPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT
Tahunan PPh, Wajib Pajak tersebut harus mengisi pernyataan bahwa Wajib Pajak tersebut tidak
memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh dalam laman milik Direktorat Jenderal
Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pengganti
persyaratan penyampaian SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
(5)Dalam hal terjadi gangguan pada sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak dan/atau
keadaan kahar berdasarkan pengumuman gangguan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak
sehingga permohonan penerbitan SKD SPDN tidak dapat diajukan secara elektronik, Wajib
Pajak dapat: mengajukan permohonan penerbitan SKD SPDN secara elektronik setelah
gangguan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak dinyatakan selesai; atau mengajukan
permohonan penerbitan SKD SPDN secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui
Kepala KPP Domisili dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(6) Atas permohonan penerbitan SKD SPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b,
diselesaikan dengan tata cara sebagai berikut: a. KPP Domisili melakukan penelitian
permohonan penerbitan SKD SPDN berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3); dan b.berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a, Kepala
KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan: 1)SKD SPDN, dalam hal
permohonan penerbitan SKD SPDN memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3); atau 2)surat penolakan permohonan penerbitan SKD SPDN, dalam hal permohonan
penerbitan SKD SPDN tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3), dalam 5 (lima) hari kerja sejak permohonan penerbitan SKD SPDN diterima lengkap. Pasal
3 (1)Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penerbitan SKD SPDN secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengakses laman milik Direktorat Jenderal Pajak
atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (2)Wajib Pajak yang telah
mengakses laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan informasi dalam
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d melalui laman milik
Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu tersebut. (3)Dalam hal permohonan penerbitan
SKD SPDN yang diajukan oleh Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKD SPDN dalam bentuk dokumen elektronik.
(4)Dalam hal permohonan penerbitan SKD SPDN yang diajukan oleh Wajib Pajak tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, permohonan penerbitan SKD SPDN
dimaksud tidak dapat diproses. (5)Atas permohonan penerbitan SKD SPDN yang tidak dapat
diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dapat mengajukan kembali
permohonan penerbitan SKD SPDN sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2. (6) SKD SPDN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember tahun diterbitkannya SKD SPDN.
(7)SKD SPDN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterbitkan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 4 (1)Dalam hal diperlukan,
Wajib Pajak yang telah memperoleh SKD SPDN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dapat mengajukan permohonan pengesahan Formulir Khusus
kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Domisili. (2)Permohonan pengesahan
Formulir Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan Formulir Khusus yang
dimohonkan pengesahan. (3)Permohonan pengesahan Formulir Khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4)Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak mengesahkan Formulir Khusus
sepanjang: a.atas Wajib Pajak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah diterbitkan SKD SPDN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) yang sesuai dengan Formulir Khusus yang dimohonkan pengesahan;
b.permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil
Wajib Pajak, atau kuasa Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan. c.Formulir
Khusus yang dilampirkan berisi keterangan paling sedikit berupa: 1)Negara Mitra yang menjadi
tempat penghasilan bersumber; dan

2)Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang dimohonkan pengesahan, yang sesuai dengan
keterangan yang tercantum pada SKD SPDN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana
dimaksud pada huruf a; dan d.Formulir Khusus sebagaimana dimaksud pada huruf c memenuhi
persyaratan administratif sebagai berikut: 1) menggunakan bahasa Inggris; 2)mencantumkan
nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
3)menerangkan status subjek pajak dalam negeri Wajib Pajak; dan 4)terdapat kolom atau ruang
pengesahan untuk Kepala KPP Domisili. (5)Dalam hal permohonan pengesahan Formulir
Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak mengesahkan Formulir Khusus
paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak permohonan pengesahan Formulir Khusus tersebut
diterima dengan lengkap. (6)Dalam hal permohonan pengesahan Formulir Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala
KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat penolakan pengesahan
Formulir Khusus paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak permohonan pengesahan Formulir
Khusus tersebut diterima dengan lengkap. (7)Atas permohonan pengesahan Formulir Khusus
yang diterbitkan surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Wajib Pajak dapat
mengajukan kembali permohonan pengesahan Formulir Khusus sepanjang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8)Surat penolakan pengesahan Formulir Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (6)diterbitkan sesuai dengan contoh format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini. Pasal 5 Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, terhadap:
a.permohonan: 1.SKD SPDN; atau 2.SKD SPDN dan pengesahan Formulir Khusus, yang
diajukan sebelum Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku dan belum diselesaikan, proses
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
08/PJ/2017 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia dalam
Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan b.SKD SPDN yang telah
diterbitkan atau Formulir Khusus yang telah disahkan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-08/PJ/2017tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam
Negeri Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dalam SKD SPDN
atau Formulir Khusus yang telah disahkan tersebut. Pasal 6 Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2017 tentang Surat
Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia dalam Rangka Penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2019. Ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 14 Desember 2018.

2.3 Peraturan Pajak Tahun 2019 Tentang

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 25/PJ/2019


TENTANG PETUNJUK LEBIH LANJUT PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 215/PMK.03/2018 TENTANG PENGHITUNGAN ANGSURAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS
DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK, BADAN USAHA MILIK
NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA, WAJIB
PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT
LAPORAN KEUANGAN BERKALA DAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
PENGUSAHA TERTENTU DIREKTUR JENDERAL PAJAK
A.Umum Dengan telah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang
Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar
Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan
Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(PMK-215) yang merupakan amanah dari Pasal 25 ayat (7) UU PPh, diharapkan memberikan
kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang lebih
mendekati kewajaran jumlah yang akan terutang pada akhir tahun. Dalam pelaksanaannya masih
terdapat pertanyaan dalam menghitung Angsuran PPh Pasal 25, sehingga diperlukan Surat
Edaran untuk menjelaskan maksud dari Peraturan Menteri Keuangan agar didapat kesamaan
pemahaman.

B.Maksud dan Tujuan

1.Maksud Sebagai pedoman untuk menghitung besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dalam Tahun
Pajak berjalan bagi Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan
membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

2.Tujuan Sebagai petunjuk pelaksanaan dan keseragaman pelaksanaan operasional di lapangan


untuk memberikan kemudahan, keadilan serta kepastian hukum dalam menghitung besarnya
Angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun pajak berjalan. C.Ruang Lingkup Surat Edaran Direktur
Jenderal Angsuran PPh Pasal 25 diharapkan dapat lebih mendekati jumlah yang akan terutang
pada akhir tahun pajak. Pengaturan Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak tertentu dilakukan
perubahan antara lain: perubahan tata cara penghitungan bagi Wajib Pajak bank, masuk bursa,
dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan
berkala; dasar penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak bank yang semula berdasarkan
laporan triwulanan menjadi berdasarkan laporan bulanan; Wajib Pajak baru yang semula
dihitung berdasarkan penghasilan neto sebulan disetahunkan ditetapkan menjadi nihil pada tahun
berjalan. Beberapa perubahan yang perlu mendapat perhatian terkait dengan aturan terbaru untuk
Wajib Pajak tertentu, meliputi: Beberapa kondisi Wajib Pajak yang mempengaruhi besarnya
Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank, masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, khususnya terkait
komponen penghasilan neto dan dasar penghitungan Angsuran PPh Pasal 25, dalam hal Wajib
Pajak: mempunyai kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan; masuk bursa mendapatkan
fasilitas pengurangan tarif; mendapatkan fasilitas pengurang penghasilan neto; dan/atau
mendapatkan fasilitas pengurangan tarif 50%. Penegasan terkait penghasilan neto fiskal yang
menjadi dasar Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah. Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak berjalan bagi Wajib Pajak yang tidak
lagi memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018. Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu. Penjelasan lainnya terkait: tata cara pemindahbukuan akibat lebih bayar Angsuran PPh
Pasal 25; saat pemberlakuan penghitungan Angsuran PPh Pasal 25; dan penghapusan sanksi
administrasi secara jabatan atas kesalahan penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak
Januari 2019 sampai dengan Masa Pajak Maret 2019 (masa transisi). D.Dasar 1.Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh); 2.Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran PPh dalam Tahun Pajak
Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan
Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu; dan 3.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu (PMK-99). E. Materi 1.Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank, masuk
bursa, dan Wajib Pajak Lainnya. a.Penghasilan neto sebagai dasar penghitungan Angsuran PPh
Pasal 25 merupakan penghasilan neto komersial, tidak termasuk: 1)penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (berupa penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak di
luar negeri dan/atau penghasilan yang dikenai pajak di luar negeri); 2)penghasilan yang dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan; dan 3) biaya
terkait penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan yang dilakukan
secara proporsional atau berdasarkan pembukuan yang terpisah antara penghasilan yang bersifat
final dan yang bersifat tidak final serta penghasilan yang bukan objek pajak. b.Dasar
penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 untuk: 1) Wajib Pajak bank adalah penghasilan neto
komersial dalam laporan keuangan bulanan sesuai dengan laporan bulanan yang disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan atau yang dipublikasikan pada situs web bank. 2)Wajib Pajak
masuk bursa dan Wajib Pajak Lainnya adalah penghasilan neto komersial dalam laporan
keuangan triwulanan sesuai dengan laporan triwulanan yang disampaikan kepada Bursa Efek
Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan. 3) Bagi Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib
Pajak Lainnya sebagaimana dimaksud pada angka 2) yang tidak memiliki kewajiban
menyampaikan laporan keuangan triwulan ke-empat, Angsuran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak
Januari sampai dengan Masa Pajak Maret tahun berjalan sama dengan besarnya Angsuran PPh
Pasal 25 untuk bulan terakhir Tahun Pajak sebelumnya. 4)Dalam hal Wajib Pajak Lainnya tidak
memiliki kewajiban laporan bulanan atau triwulanan, maka penghitungan Angsuran PPh Pasal
25 mengikuti ketentuan umum. c.Kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan dalam
menghitung Angsuran PPh Pasal 25 adalah berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan. Dalam
hal terbit surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, kerugian
fiskal yang dapat dikompensasikan sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
Keberatan, atau Putusan Banding tersebut dengan mengacu ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan
Pasal 31A ayat (1) huruf c UU PPh. d.Bagi Wajib Pajak masuk bursa yang tahun pajak
sebelumnya mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2b) UU PPh, penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 menggunakan tarif Tahun Pajak
sebelumnya. e.Bagi Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A UU PPh, penghasilan neto yang menjadi dasar
penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 adalah penghasilan neto dikurangi jumlah fasilitas yang
diterima sesuai dengan Surat Keterangan Pemanfaatan Fasilitas. f.Wajib Pajak dengan peredaran
bruto Tahun Pajak sebelumnya sampai dengan Rp50.000.000.000.00 (lima puluh miliar rupiah)
yang mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen), berlaku
ketentuan penghitungan Angsuran PPh Pasal 25: 1)batasan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) untuk memperoleh fasilitas pengurangan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh merupakan semua penghasilan yang
diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha tahun pajak
berjalan, meliputi penghasilan yang: a) dikenai Pajak Penghasilan bersifat final; b)dikenai
Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan c)dikecualikan dari objek pajak. 2) penghitungan
Angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak berjalan dihitung berdasarkan tarif dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh untuk peredaran bruto tahun
pajak berjalan sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). 3)dalam hal
peredaran bruto tahun pajak berjalan pada Masa Pajak tertentu telah melebihi
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud dalam angka 1),
Angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak tersebut dan seterusnya dihitung berdasarkan tarif yang
berlaku umum. 2.Penghasilan neto fiskal sebagai dasar penghitungan Angsuran PPh Pasal 25
bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah selain: Wajib Pajak
bank; Wajib Pajak masuk bursa; dan/atau Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah laba/rugi menurut RKAP tahun pajak
yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setelah
dilakukan penyesuaian fiskal termasuk memperhitungkan kerugian yang dapat dikompensasikan.
3.Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagai
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018
termasuk yang memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum adalah
sebagai berikut: bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b UU
PPh dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran pajak adalah sesuai
dengan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut sebagaimana telah diatur dalam
PMK-215; bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, besarnya
angsuran pajak untuk tahun pertama adalah nihil. 4.Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari
peredaran bruto masing-masing tempat usaha termasuk tempat usaha yang berada di tempat
tinggal Wajib Pajak. 5.Penjelasan ketentuan lainnya: Wajib Pajak yang melakukan permohonan
pemindahbukuan atas kelebihan setoran Angsuran PPh Pasal 25 ke Angsuran PPh Pasal 25
Masa-Masa Pajak berikutnya wajib melampirkan dasar perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 yang
sebenarnya. Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan PMK-215 berlaku sejak Masa
Pajak Januari 2019. Dalam hal terdapat kesalahan penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 yang
mengakibatkan timbulnya sanksi administrasi dalam masa transisi pemberlakuan penghitungan
Angsuran PPh Pasal 25 sesuai PMK-215 yaitu Masa Pajak Januari 2019 sampai dengan Masa
Pajak Maret 2019, dihapus secara jabatan oleh pejabat yang berwenang karena bukan merupakan
kesalahan Wajib Pajak. P.Penutup 1.Dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-77/PJ/2010 tentang Pengawasan atas Pelaksanaan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2.diminta agar seluruh unit terkait di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak untuk melakukan pengawasan sehubungan dengan pelaksanaan Surat Edaran
Direktur Jenderal ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing. Demikian untuk diketahui dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 September 2019

2.4 Peraturan Pajak Tentang Panduan Umum Pelaksanaan Tugas Dalam Tatanan Normal
Baru Di Lingkungan Di Rektorat Jendral Pajak

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 33/PJ/2020


TENTANG PANDUAN UMUM PELAKSANAAN TUGAS DALAM TATANAN
NORMAL BARU DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTUR
JENDERAL PAJAK

A.Umum Bahwa sehubungan dengan perkembangan informasi terkait penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan mempertimbangkan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tanggal 29 Mei 2020 tentang
Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru perlu memberikan
panduan umum pelaksanaan tugas agar dapat beradaptasi terhadap tatanan normal baru yang
produktif dan aman COVID-19. Penyesuaian diperlukan agar pelaksanaan tugas dapat berjalan
efektif dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan bagi pegawai dengan cara
menjalankan protokol kesehatan dalam aktivitas keseharian.

B.Maksud dan Tujuan Memastikan pelaksanaan tugas serta layanan Direktorat Jenderal Pajak
dapat berjalan secara efektif dan efisien. Memberikan panduan pelaksanaan tugas dalam
beradaptasi dengan tatanan normal baru yang produktif dan aman COVID-19. Mencegah,
mengurangi penyebaran, dan melindungi pegawai Direktorat Jenderal Pajak dari risiko COVID-
19.
C.Ruang Lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini memuat panduan untuk seluruh pegawai,
pejabat, atasan langsung, dan pimpinan unit/satuan kerja dalam pelaksanaan tugas serta layanan
yang efektif dalam tatanan normal baru yang produktif dan aman COVID-19 di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak.

D.Dasar Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19). Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease
(COVID-19) sebagai Bencana Nasional. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020
tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease (COVID-19). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.01/2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 211/PMK.01/2014 tentang Hari
dan Jam Kerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK.01/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
214/PMK.01/2011 tentang Penegakan Disiplin Dalam Kaitannya Dengan Tunjangan Khusus
Pembinaan Keuangan Negara di Lingkungan Kementerian Keuangan. Keputusan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan
Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13.A Tahun
2020. Surat Edaran Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 4
Tahun 2020 Tanggal 6 Mei 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka
Penanganan COVID-19. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam
Tatanan Normal Baru. Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-15/MK.1/2020 tentang
Pelaksanaan Work From Home (WFH) dan Pembatasan Kegiatan Bepergian ke Luar
Negeri/Kota serta Cuti dalam Rangka Pencegahan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) bagi
Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan. Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-
16/MK.1/2020 tentang Penegasan Masa Pelaksanaan Work From Home (WFH) dan Tindak
Lanjut Pencegahan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Kementerian
Keuangan. Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-19/MK.1/2020 tentang Penegasan
Kembali Masa dan Pelaksanaan Work From Home (WFH), serta Tata Cara Perjalanan Dinas
Kaitannya dengan Kebijakan Pembatasan Bepergian Dalam Rangka Pencegahan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Kementerian Keuangan. Surat Edaran Menteri
Keuangan Nomor SE-22/MK.1/2020 tentang Sistem Kerja Kementerian Keuangan pada Masa
Transisi dalam Tatanan Normal Baru. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
13/PJ/2020 tentang Panduan Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona
Virus Disease (COVID-19) di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2020 tentang Pedoman Dukungan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) dalam Pelaksanaan Work from Home. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-16/PJ/2020 tentang Panduan Tindak Lanjut Pelaksanaan Tugas dan Pencegahan
Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-18/PJ/2020 tentang Panduan Pelaksanaan Tugas
Terkait Upaya Peningkatan Kewaspadaan Atas Pencegahan Corona Virus Disease (COVID-19)
di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
30/PJ/2020 tentang Panduan Pelaksanaan Bekerja Dari Kantor (Work From Office) Dan Bekerja
Dari Rumah (Work From Home) Dalam Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) Di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-31/PJ/2020 tentang Pembukaan Kembali Layanan Informasi dan Pengaduan via
Telepon 1500200.

E.Materi

1.Dalam rangka beradaptasi terhadap tatanan normal baru yang produktif dan aman COVID-19,
pelaksanaan tugas di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dilakukan penyesuaian dan
pembatasan tertentu mulai tanggal 15 Juni 2020.

2.Panduan bagi pegawai

a.Sebelum berangkat ke kantor

1)Memastikan diri dalam kondisi sehat.

2)Menyiapkan alat pelindung diri yang diperlukan dalam perjalanan ke kantor.

b.Selama dalam perjalanan menuju/dari kantor

1)Wajib mengenakan masker.


2)Menghindari menggunakan angkutan umum, namun apabila terpaksa, maka:

a)tetap menjaga jarak dengan orang lain minimal 1 (satu) meter;

b)tidak sering menyentuh fasilitas umum;

c)gunakan helm sendiri;

d)upayakan membayar secara non tunai, jika terpaksa memegang uang gunakan hand sanitizer
sesudahnya; dan

e)tidak menyentuh wajah atau mata dengan tangan, gunakan tisu bersih jika terpaksa.

c.Selama di kantor

1)Menjaga jarak minimal 1 (satu) meter dengan pegawai/Wajib Pajak/tamu.

2)Membersihkan tangan menggunakan hand sanitizer atau cuci tangan dengan sabun.

3)Menghindari menyentuh mata, hidung, dan mulut.

4)Menerapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut dengan lengan atas
bagian dalam atau tisu, lalu buang tisu ke tempat sampah.

5)Memakai masker dan face shield (untuk kondisi tertentu) serta membersihkan tangan setelah
melepasnya.

6)Menghindari untuk menghadiri/mengadakan kegiatan yang mengumpulkan massa secara fisik,


contoh: workshop/sosialisasi secara fisik, dan lain sebagainya yang sejenis.

7)Apabila melaksanakan rapat fisik, pastikan pintu ruang rapat selalu terbuka, mengatur tempat
duduk agar berjarak minimal 1 (satu) meter.

d.Penjadwalan kehadiran pegawai WFO dan WFH dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana
tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2020.

e.Pengaturan presensi pegawai


1)Jam kerja pegawai WFO dan WFH adalah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
211/PMK.01/2014 s.t.t.d 169/PMK.01/2016.

2)Presensi masuk dan pulang kerja dilaksanakan melalui presensi online yang dapat diakses
melalui daring aplikasi Logbook.

3)Pegawai WFO hanya dapat mengisi presensi online di lokasi unit kerja masing-masing.

4)Selain melakukan presensi online, seluruh pegawai diminta untuk mengisi Self Assessment
Kesehatan (SAK) setiap hari.

5)Data presensi pegawai dinyatakan valid apabila telah memenuhi syarat kumulatif, yaitu:
a)sudah mengisi waktu presensi masuk dan/atau pulang bekerja melalui aplikasi presensi online;

b)mengisi Self Assessment Kesehatan; dan

c)untuk pegawai WFH telah dilakukan approval laporan presensi online oleh kepala unit kerja di
aplikasi Logbook.

6)Ketentuan mengenai tidak masuk bekerja, terlambat masuk bekerja, pulang sebelum waktunya,
tidak berada di tempat tugas, tidak mengganti waktu keterlambatan, dan/atau tidak mengisi daftar
hadir mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan PMK-93/PMK.1/2018 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.01/2011 tentang
Penegakan Disiplin dalam Kaitannya dengan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara di
Lingkungan Kementerian Keuangan.

f.WFH dilaksanakan di rumah/tempat tinggal dimana pegawai ditempatkan/ditugaskan. Pegawai


tertentu dapat melaksanakan WFH di homebase (WFHb) dengan ketentuan sebagai berikut:

1)WFHb hanya diperuntukkan bagi pegawai yang sudah lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut
tidak pulang ke homebase/bertemu keluarga inti;

2)ketentuan penugasan WFHb:

a)penugasan WFHb tidak lebih dari 10 (sepuluh) hari kerja dan tidak boleh ditambah dengan cuti
tahunan;
b)pegawai yang hendak ditugaskan harus dalam kondisi sehat dan memenuhi ketentuan
perjalanan dinas dalam kondisi pandemi COVID-19;

c)maksimum jumlah pegawai yang melaksanakan WFHb untuk setiap unit kerja dalam waktu
yang bersamaan tidak melebihi 20%;

d)kepada pegawai yang melaksanakan WFHb tidak diberikan biaya perjalanan dinas.

g.Dalam kaitannya dengan pemantauan kinerja, Pejabat Administrator, Pengawas, Pelaksana dan
Fungsional melakukan input kegiatan pada aplikasi logbook. Atasan langsung pegawai
melakukan reviu dan memberi nilai kualitas kegiatan yang dilakukan oleh bawahan.

h.Pelaksanaan cuti pegawai dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana tercantum dalam Surat
Edaran Menteri Keuangan nomor SE-18/MK.1/2020 serta ketentuan/kebijakan yang diterbitkan
oleh pemerintah pusat c.q. Kementerian PAN-RB dan/atau Badan Kepegawaian Negara.

i.Perjalanan keluar atau masuk wilayah batas negara dan/atau batas wilayah administratif di
seluruh Indonesia untuk keperluan kedinasan atau non kedinasan yang mendesak/terpaksa,
dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Menteri Keuangan
nomor SE-22/MK.1/2020 serta ketentuan/kebijakan dari pihak yang berwenang.

j.Panduan kegiatan keagamaan

1)Untuk pegawai yang kurang sehat, sebaiknya beribadah secara mandiri.

2)Membawa dan menggunakan alat ibadah masing-masing.

3)Apabila membaca kitab suci yang disediakan di tempat ibadah, dianjurkan dalam kondisi
suci/bersih seperti mencuci tangan dengan sabun hingga bersih, dan setelah membaca gunakan
hand sanitizer.

4)Untuk menghindari kerumunan/antrean di toilet/tempat bersuci pada tempat ibadah, dianjurkan


untuk menggunakan fasilitas toilet/tempat bersuci di ruangan masing-masing. 5)Mencuci tangan
dengan benar menggunakan sabun dan air mengalir sebelum bersuci. 6)Menghindari kontak
fisik, seperti kegiatan bersalaman pada saat sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah.
7)Mengikuti ketentuan tata cara peribadatan yang ditetapkan oleh pengurus tempat ibadah.

8)Senantiasa memperhatikan physical distancing, penggunaan masker dan penyediaan


ventilasi/sirkulasi udara ruangan ibadah yang baik dalam pelaksanaan kegiatan ibadah lainnya.

k.Menerapkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) melalui Pola Hidup Sehat dan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), yaitu:

1)Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Mendorong pegawai mencuci tangan saat tiba di tempat
kerja, sebelum makan, setelah kontak dengan Wajib Pajak/tamu/pihak lain, setelah memegang
benda yang kemungkinan terkontaminasi.

2)Etika batuk Membudayakan etika batuk (tutup mulut dan hidung dengan lengan atas bagian
dalam) dan jika menggunakan tisu untuk menutup batuk dan pilek, buang tisu bekas ke tempat
sampah yang tertutup dan cuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelahnya.

3)Olahraga sebelum bekerja dengan tetap menjaga jarak aman dan anjuran berjemur matahari.

4)Mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang.

5)Hindari penggunaan alat pribadi secara bersama seperti alat sholat, alat makan, dan lain-lain.

l.Edukasi mengenai COVID-19

1)Seluruh pegawai dan keluarga agar memiliki pemahaman yang benar terkait masalah pandemi
COVID-19, sehingga pegawai mendapatkan pengetahuan untuk secara mandiri melakukan
tindakan preventif dan promotif guna mencegah penularan penyakit, serta mengurangi
kecemasan berlebihan akibat informasi tidak benar.

2)Materi edukasi yang perlu dipahami antara lain:

a)penyebab COVID-19 dan cara pencegahannya;

b)mengenali gejala awal penyakit dan tindakan yang harus dilakukan saat gejala timbul;
c)praktek PHBS seperti praktek mencuci tangan yang benar dan etika batuk;

d)alur pelaporan dan pemeriksaan bila didapatkan kecurigaan terpapar COVID-19.


3)Materi edukasi dapat diakses pada www.covid19.go.id.

Panduanan interaksi dengan Wajib Pajak/Pihak Lain

a.Interaksi dengan Wajib Pajak/pihak lain di dalam kantor

1)Memakai masker, face shield, dan sarung tangan (dengan mempertimbangkan kebutuhan dan
risiko).

2)Memberi salam tanpa harus berjabat tangan.

3)Menyampaikan kepada Wajib Pajak/pihak lain terkait kebijakan kewaspadaan penyebaran


COVID-19 misalnya penggunaan alat pelindung diri (masker dan face shield), jaga jarak, dan
lain-lain.

4)Tetap mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-27/PJ/2016 s.t.t.d. PER-
02/PJ/2017 tentang Standar Pelayanan di Tempat Pelayanan Terpadu Kantor Pelayanan Pajak
dalam melayani Wajib Pajak.

b.Interaksi dengan Wajib Pajak/pihak lain di luar kantor seperti kunjungan ke Wajib Pajak
(visit), pemeriksaan, pengamatan, penilaian, penyidikan, dan kegiatan lainnya 1)Memakai
masker, face shield, dan sarung tangan (dengan mempertimbangkan kebutuhan dan risiko).

2)Memberi salam tanpa harus berjabat tangan.

3)Menyampaikan kepada Wajib Pajak/pihak lain terkait kebijakan kewaspadaan penyebaran


COVID-19 misalnya penggunaan alat pelindung diri (masker dan face shield), jaga jarak, dan
lain-lain.

4)Dianjurkan menggunakan kendaraan dinas.

5)Pegawai yang mendapat penugasan ke luar kantor dengan risiko pajanan tinggi, setelah
melaksanakan penugasannya diminta untuk tidak kembali ke kantor dan segera kembali ke
tempat tinggal masing-masing.
6)Pegawai yang mendapat penugasan ke luar kantor dan harus kembali ke kantor pada hari yang
sama agar membersihkan diri sesuai protokol kesehatan COVID-19.

7)Penugasan harus mempertimbangkan urgensi, jumlah pegawai yang ditugaskan, dan kondisi
penyebaran COVID-19 di wilayah tujuan penugasan.

8)Untuk penugasan kedinasan di luar kota, agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a)mematuhi persyaratan perjalanan dari pihak yang berwenang atau menggunakan kendaraan
dinas; atau

b)memastikan tempat penginapan yang menerapkan protokol kesehatan.

9)Mengikuti protokol kesehatan yang ditentukan oleh Wajib Pajak/pihak lain, seperti
penyesuaian jumlah wakil dari para pihak yang hadir dalam persidangan sesuai dengan arahan
Majelis Hakim atau Panitera.

c.Panduan pemberian layanan

1)Layanan tatap muka diselenggarakan kembali, kecuali layanan:

a)Pendaftaran NPWP;

b)Pelaporan SPT Tahunan dan SPT Masa yang sudah wajib e-filing;

c)Surat Keterangan Fiskal (SKF);

d)Surat Keterangan Penerbitan Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran PPh atas
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan atau Perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
atas Tanah dan/atau Bangunan (Validasi SSP PPhTB);

e)Aktivasi dan lupa Electronic Filing Identification Number (EFIN);

f)Layanan di Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara (UPRPPN
Bandara).
2)Untuk Wajib Pajak yang tidak dapat mengakses layanan yang telah tersedia secara online,
diarahkan untuk mengakses laman www.pajak.go.id secara mandiri dengan menggunakan
perangkat pribadi atau dapat diarahkan ke area layanan mandiri.

3)Unit Kerja mengatur antrean pengguna layanan sesuai kapasitas TPT dengan memperhatikan
protokol kesehatan dan dapat menggunakan aplikasi sistem antrean online.

4)Layanan konsultasi dilakukan dengan membuat perjanjian terlebih dahulu melalui saluran yang
telah tersedia seperti email, telepon, atau chat.

5)Kepala Unit Kerja agar menyediakan saluran telepon dan/atau chat minimal 5 (lima) nomor di
KPP dan 2 (dua) nomor di KP2KP, dan/atau cara lain yang memungkinkan pegawai dapat
melayani beberapa Wajib Pajak pada saat yang bersamaan. Nomor-nomor tersebut akan
ditayangkan di https://www.pajak.go.id/unit-kerja.

6)Untuk layanan perpajakan yang belum tersedia secara elektronik, Wajib Pajak dapat
menyampaikannya melalui pos/jasa kurir sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

7)Layanan perpajakan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) seperti Mal Pelayanan Pajak
dikoordinasikan dengan instansi penyelenggara.

8)Kepala Unit Kerja dapat melaksanakan Layanan di Luar Kantor (LDK) dan layanan di tempat
lain dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan kebutuhan tempat dibukanya LDK.

9)Kegiatan edukasi/penyuluhan, termasuk dalam rangka pelaporan SPT, dilakukan dengan


mengutamakan kegiatan secara daring dan apabila diperlukan dapat dilakukan secara tatap muka.

d.Penanganan dokumen

1)Dalam menjalankan prosedur penerimaan dokumen fisik di TPT, petugas agar menggunakan
sarung tangan pada saat menerima, meneliti kelengkapan dokumen, dan menerbitkan BPS

2)Dokumen yang diterima dari Wajib Pajak atau pihak lain harus dilakukan penyemprotan
disinfektan dan didiamkan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) jam untuk diproses lebih lanjut
sesuai ketentuan yang berlaku. 3) Untuk dokumen yang memerlukan penanganan
segera/mendesak, dapat dikecualikan dari prosedur angka 2), namun pegawai diwajibkan
mengenakan alat pelindung diri (masker dan sarung tangan) dan sesegera mungkin mencuci
tangan menggunakan sabun setelah selesai melakukan penanganan dokumen.

4)Untuk dokumen yang diperoleh setelah melaksanakan penugasan, pegawai menyerahkan


dokumen tersebut di lobby kantor kepada pegawai di seksi/bagian/bidang/subdit terkait yang
ditunjuk. Dokumen ditangani sesuai angka 2) dan 3).

4.Penanganan pegawai/Wajib Pajak/tamu yang memasuki gedung kantor

a.Membatasi akses masuk bagi pegawai/Wajib Pajak/tamu masuk hanya melalui 1 (satu) pintu
tertentu dan membuat tanda antrean berjarak.

b.Memastikan pegawai/Wajib Pajak/tamu yang memasuki gedung kantor mengenakan masker.

c.Melakukan pengukuran suhu tubuh bagi pegawai/Wajib Pajak/tamu yang akan masuk gedung
kantor. Apabila terdapat pegawai/Wajib Pajak/tamu dengan suhu tubuh lebih dari 38° C, maka:

1)pegawai harus memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat untuk kemudian dalam
kesempatan pertama melaporkan hasil pemeriksaannya kepada atasan langsung;

2)Wajib Pajak/tamu yang ingin bertemu dengan pegawai, diarahkan untuk berkoordinasi lebih
lanjut melalui cara lain seperti telepon atau email;

3)Wajib Pajak yang ingin menyampaikan permohonan/pelaporan lainnya diarahkan untuk


melalui cara lain seperti pos atau online.

d.Menerima Wajib Pajak/tamu hanya di ruang khusus (ruang TPT, ruang konseling, ruang
pembahasan, ruang interogasi, atau ruang sejenis lainnya) dan tidak di ruang kerja.

e.Unit kerja/perusahaan outsourcing melaksanakan Self Assessment Risiko terhadap satuan


pengamanan, pramubakti, petugas kebersihan, dan petugas lainnya yang sejenis sesuai panduan
dari Kementerian Kesehatan dan mewajibkan untuk menjalankan protokol kesehatan serta
perilaku hidup bersih dan sehat.

5..Penyediaan sarana dan prasarana


a.Memasang pesan-pesan kesehatan dan pengumuman terkait kebijakan kewaspadaan
penyebaran COVID-19 di tempat-tempat strategis.

b.Menyediakan sarana dan prasarana:

1)cuci tangan atau hand sanitizer di lingkungan kerja seperti area pintu masuk, ruang rapat, lift,
toilet dan tempat lain;

2)face shield untuk pegawai yang melayani Wajib Pajak/tamu secara langsung serta untuk
pegawai yang diberikan tugas ke luar kantor dengan mempertimbangkan kebutuhan dan risiko
dari sisi pegawai, Wajib Pajak maupun wilayah yang akan dikunjungi; dan

3)Sekat pembatas transparan di tempat yang digunakan untuk berinteraksi langsung dengan
Wajib Pajak/tamu dengan mempertimbangkan keselamatan dan kesehatan pegawai serta
kenyamanan berkomunikasi.

c..Mengatur tempat duduk, tempat tunggu, lift atau sarana lainnya agar memudahkan penerapan
physical distancing.

d.Apabilala dimungkinkan menyediakan tempat karantina/isolasi mandiri misalnya dengan


memanfaatkan rumah dinas yang belum dihuni. Standar penyelenggaraan karantina/isolasi
mandiri merujuk pada pedoman dalam www.covid19.go.id.

e.Mengoptimalkan penggunaan sarana kendaraan dinas untuk melaksanakan penugasan ke luar


kantor.

f.Pengaturan sarana Ibadah

1)Tempat dan sarana ibadah dibersihkan dan didisinfektan secara rutin.

2)Melepas karpet dan meminta jamaah untuk membawa alas ibadah masing-masing.

3)Mengatur tempat pelaksanaan ibadah sehingga dapat menerapkan physical distancing.

g.Pengaturan sarana olahraga

1)Fasilitas olahraga bersama dibersihkan serta didisinfektan secara rutin.


2)Menyediakan fasilitas untuk membersihkan diri setelah berolahraga.

3)Apabila pegawai menggunakan fasilitas olahraga bersama dianjurkan untuk memastikan tubuh
dalam kondisi yang sehat dan bugar, menjaga jarak fisik, dan tetap menggunakan masker.

h.Pengaturan sarana kantin/tempat makan

1)Kantin atau tempat makan di dalam lingkungan kantor harus menjaga kebersihan makanan,
sarana dan prasarana, termasuk fasilitas sanitasi seperti sarana air bersih, tempat cuci tangan, bak
sampah, serta peralatan kebersihan.

2)Mengatur tempat duduk agar memenuhi physical distancing.

3)Menyediakan fasilitas pesan antar.

i.Pengaturan sarana parkir

1)Mengatur akses masuk dan keluar untuk menghindari pengguna sarana parkir saling
berpapasan di pintu keluar atau masuk sehingga physical distancing dapat diterapkan

2)Menjaga kebersihan tempat parkir serta sarana dan prasarananya.

3.Menyediakan hand sanitizer di pintu masuk dan pintu keluar.

6.Panduan komunikasi virtual dan keamanan data

a.Etika berkomunikasi melalui video conference

1)Menghindari penggunaan free internet (free wifi) yang tidak terjamin keamanannya.

2)Memastikan jaringan internet tersedia dan memiliki koneksi yang baik.

3)Menggunakan perangkat yang memadai.

4)Melakukan login lebih awal dan melalui verifikasi host.

5)Disiplin dalam mematikan microphone saat pimpinan/narasumber menyampaikan materi.


6)Menggunakan pakaian sesuai dengan ketentuan pakaian kerja Kemenkeu atau pakaian yang
sopan atau pakaian yang ditentukan/dresscode.

7)Berada di ruangan yang kondusif saat pelaksanaan rapat.

8)Recording dan relay pelaksanaan rapat harus melalui persetujuan host.

9)Menggunakan fasilitas chat dengan sopan dan bijaksana.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juni 2020


BAB III

KESIMPULAN

Peraturan pajak selalu mengalami perubahan.Perubahan yang terjadi akibat persepsi Dirjen Pajak
yang menganggap perubahan diperlukan untuk meningkatkan keadilan dan peningkatan pajak
yang pemasukannya untuk pembiayaan pembangunan suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai