NIM : 634142210001
TENTANG
Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi
hak dan kewajiban warga negara dan penduduk Indonesia, perlu menempatkan perpajakan sebagai
salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan
pembangunan sosial.
Bahwa untuk menerapkan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran
dan peningkatan rasio pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, diperlukan penyesuaian
kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon dan kebijakan berupa
program pengungkapan sukarela Wajib Pajak dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif.
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3263)' sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OOg Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5069);
Ada beberapa poin penting mengenai pajak penghasilan dalam UU HPP, mulai dari PPh orang pribadi
hingga penyusutan dan amortisasi.
Penghitungan pajak penghasilan orang pribadi diterapkan atas penghasilan yang jumlahnya melebihi
batas PTKP. Besaran PTKP ini masih sama dalam UU HPP, yaitu Rp54 juta untuk orang pribadi belum
menikah, tambahan Rp4,5 juta untuk wajib pajak kawin, dan tambahan Rp4,5 juta untuk setiap
tanggungan maksimal 3 orang.
1. diterbitkan keputusan;
g. Terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai dengan
persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4).
Pada undang-undang PPh, natura/kenikmatan bukan objek pajak penghasilan dan tidak dapat
dibiayakan. Melalui UU HPP, terdapat penyesuaian bahwa natura dan/atau kenikmatan merupakan
objek PPh (taxable) bagi penerima/karyawan, kecuali berupa:
a. Makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai.
b. Natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu.
c. Natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan.
d. Natura dan/atau kenikmatan yang bersumber/dibiayai APBN/APBD/Desa.
e. Natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan /atau batasan tertentu.
f. Natura dan/atau kenikmatan bagi pemberi kerja menjadi dapat dibiayakan (deductible).
Pasal yang terdampak dari perubahan ini adalah pasal 4 ayat (1) huruf a, pasal 4 ayat (3) huruf d,
pasal 6 ayat (1) huruf n. Ada pun pasal 9 ayat (1) huruf e dihapus.
Batas peredaran bruto tidak dikenai pajak bagi wajib pajak orang pribadi
Sedangkan bagi wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto tertentu, diberikan pengecualian
pengenaan pajak terhadap peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta.
Pasal terdampak atas perubahan ini adalah Pasal 17 ayat (1) huruf b.
Pada UU PPh, belum ada pasal yang mengatur perlakuan PPh atas penghasilan berupa bunga atau
diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang secara tegas. Oleh karena
itu, terdapat perubahan pada pasal 4 ayat (2) huruf a dalam UU HPP yang mengatur pajak atas
penghasilan tersebut.
Dalam UU HPP, mengatur memberikan pilihan bagi wajib pajak dapat membebankan biaya
penyusutan bangunan permanen dan amortisasi harta tak berwujud yang memiliki masa manfaat
lebih dari 20 tahun sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan wajib
pajak.
Pasal terdampak atas perubahan ini adalah penambahan pada pasal 11 ayat (6a) dan pasal 11A ayat
(2a), perubahan pasal 11 ayat (7) dan pasal 11A ayat (1a). Serta, penghapusan pasal 11 ayat (11).
Secara garis besar, pengaturan kembali PPN terdapat pada objek dan fasilitas PPN, kenaikan tarif,
serta kemudahan dan kesederhanaan pemungutan PPN.
Untuk memperluas basis pemajakan, non BKP (barang kena pajak) dan non JKP (jasa kena pajak)
menjadi BKP dan JKP. Namun, masih terdapat barang dan jasa yang tidak dikenakan atau
mendapatkan fasilitas PPN.
Sedangkan untuk barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak dan barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (tidak termasuk hasil
pertambangan batu bara), diberikan fasilitas dibebaskan pengenaan PPN secara selektif dan terbatas.
Di sisi lain, jasa non-JKP, seperti jasa pelayanan kesehatan medik dan jasa pelayanan sosial, dikenakan
fasilitas tidak dipungut pengenaan PPN, yang diberikan secara selektif dan terbatas,
Kenaikan Tarif
Tarif PPN yang semula 10% akan naik menjadi 11% pada 1 April 2022, dan akan menjadi 12% yang
paling lambat akan diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2025.
PPN dikenakan atas konsumsi BKP dan/atau JKP di dalam Daerah Pabean. Karena itu, atas ekspor BKP
dan/atau JKP untuk konsumsi di luar Daerah Pabean dikenai PPN dengan tarif 0%.
Dalam UU HPP cakupan PPN, terdapat perubahan peraturan mengenai perhitungan, pemungutan,
dan penyetoran PPN. Pada perhitungan PPN, pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
PPN dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai
ekspor, atau lainnya.
Lalu, untuk kemudahan dalam pemungutan PPN, atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha
tertentu diterapkan tarif PPN ‘final’, misalnya 1%, 2%, atau 3% dari peredaran usaha, yang diatur
dengan PMK.
UU HPP turut memuat program pengungkapan sukarela (PPS), sebuah program yang bertujuan
untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak dan diselenggarakan berdasarkan asa
kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan.
PPS merupakan program pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau
mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum secara sukarela melalui:
Kebijakan 1, pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum
sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak. Subjek dari kebijakan ini adalah
wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty. Basis aset dalam kebijakan ini adalah aset
per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti tax amnesty. Tarif PPh Final yang
dikenakan sebesar 11% untuk deklarasi luar negeri, 8% untuk aset luar negeri repatriasi dan aset
dalam negeri, dan 6% untuk aset luar negeri dan aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam
SBN/hilirisasi/renewable energy.
Kebijakan 2, pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan
dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi tahun pajak 2020. Subjek kebijakan ini adalah
wajib pajak orang pribadi, dengan basis aset perolehan tahun 2016-2020 yang belum dilaporkan
dalam SPT Tahunan 2020. Tarif PPh Final yang dikenakan sebesar 11% untuk deklarasi luar negeri,
14% untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri, dan 12% untuk aset luar negeri dan aset
dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.
Pajak Karbon
Pemerintah menyepakati untuk menerapkan pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram karbon
dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pajak karbon sendiri dikenakan atas emisi karbon,
dengan subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung
karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pengenaan pajak ini dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan
pasar karbon. Pemerintah sendiri menetapkan kebijakan peta jalan karbon, yaitu strategi penurunan
emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan
terbarukan, dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
Penerapan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor
pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada tahun 2022 –
2024.
Implementasi perdagangnan karbon secara penuh dan perluasa sektor pemajakan pajak karbon
dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memerhatikan kondisi ekonomi, kesiapan
pelaku, dampak dan/atau skala pada tahun 2025 dan seterusnya.
Penegasan dan penambahan jenis Barang Kena Cukai hasil tembakau berupa rokok elektronik.
Penegakan hukum pidana cukai dengan mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan
negara.
Perpajakan Internasional
Terdapat ruang lingkup perpajakan internasional dalam UU HPP, salah satunya mengenai pengaturan
konsensus pemajakan global.
Maka di dalam UU HPP, pengaturan tersebut berubah. Pemerintah berwenang untuk membentuk
dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah
negara mitra atau yurisdiksi mitra secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
Selain pengaturan tersebut, terdapat pengaturan lainnya yang dibahas dalam ruang lingkup
perpajakan internasional pada UU HPP, di antaranya:
Cukai
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
47551 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
a. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses
pembuatannya;
b. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak
mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang
mengandung etil alkohol; dan.
c. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan
hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan
pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.