Anda di halaman 1dari 66

DAR2/Profesional/857/004/2022

PENDALAMAN MATERI AKUNTANSI

MODUL 4
ADMINISTRASI PAJAK
KB 4 Pajak Penghasilan Bruto Tertentu (PP 23 2018), PBB, dan BPHTB

Nama Penulis:
Ponty SP Hutama, S.E., M.Si., Ak., CA.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
2022
A. Pendahuluan
Pajak adalah kontribusi Wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tuntutan pembiayaan APBN dari sektor
perpajakanan yang setiap tahun semakin meningkat sangat dirasakan bahwa pajak
merupakan suatu kebutuhan.
Pajak Penghasilan Bruto Tertentu (PP 23 2018) merupakan salah satu jenis
pajak pusat yang kewenangan pemungutannya berada di Direktorat Jenderal Pajak.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang kewenangannya sudah diserahkan dari DJP
kepada Pemerintah Daerah. Pajak Penghasilan Bruto Tertentu (PP 23 2018) masih
merupakan sistem self-assessment yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak
diWajibkan menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri
kewajiban perpajakannya. Namun untuk PBB dan BPHTB lebih condong kepada
official-assessement karena jumlah pajak sudah ditentukan besarannya oleh
Pemerintah daerah dan Wajib Pajak hanya menyetor saja, yang mana menghitung,
memperhitungkan, dan penyetoran dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pejabat
yang ditunjuk. Dalam sistem ini aparat pajak berperan dalam melakukan pembinaan,
pengawasan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan dari
Wajib pajak. Dalam rangka efektivitas administrasi perpajakan dan memberikan
keadilan, merupakan suatu keharusan bagi setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak
mempunyai penguasaan ketentuan Pajak Pusat dan Pajak Daerah sehingga dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pelatihan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan ini memberikan bekal bagi guru
agar siap menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Penyelenggara
pelatihan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan administrasi empat jenis pajak,
yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
Barang Mewah (PPnBM), Pajak Penghasilan Bruto Tertentu, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), dan BPHTB.
Oleh karena itu, peserta pelatihan harus memahami jenis-jenis pajak tersebut.
Kegiatan Belajar 4 (KB4) ini memberikan gambaran secara utuh mengenai ketentuan
pajak tersebut, yang meliputi dasar-dasar, dan ketentuan pengenaan pajak dan
perubahannya meliputi; PP 23 2018, PBB dan BPHTB. Selain itu KB 4 ini juga
membahas penghitungan sampai dengan pengisian surat pemberitahuan (SPT).
Agar peserta berhasil menguasai materi-materi pajak di atas, ikutilah petunjuk
belajar berikut:
1. Baca capaian/sub-capaian dengan cermat sebelum membaca materi kegiatan
belajar.
2. Baca materi kegiatan belajar dengan cermat.
3. Kerjakan latihan sesuai petunjuk/rambu-rambu yang diberikan. Jika tersedia kunci
latihan, janganlah melihat kunci sebelum mengerjakan latihan.
4. Baca rangkuman, kemudian kerjakan tes formatif secara jujur tanpa terlebih
dahulu melihat kunci.
5. Pajak selalu dan selalu berubah, baik dari aspek undang-undang dan peraturan di
bawahnya (Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak, dll). Kadangkala
dan bahkan tidak jarang, ketika buku/modul tentang pajak terbit, seketika itu pula
ada undang-undang atau peraturan yang berubah. Oleh sebab itu, cara belajar
pajak yang terbaik, disamping menggunakan buku atau modul, peserta harus
selalu mencari informasi terbaru secara mandiri dengan menggunakan internet
(misalnya dengan mesin cari, google search, selalu kunjungi website resmi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP): www.pajak.go.id, Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan RI, ortax.org, dll). Selain website, medsos juga penting
untuk disimak, antara lain follow akun Instagram (IG) ortax, ddtc, ddtcindonesia,
ditjenpajakri, dan sebagainya.
6. Jika petunjuk di atas Anda ikuti dengan disiplin, Anda akan berhasil.
7. Selamat belajar.

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran
Peserta memahami PP 23 2018, PBB dan BPHTB sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi subjek pajak,
objek pajak, tarif pajak, penghitungan pajak, dan pelaporan pajak dan dapat
memahami ketentuan PP 23 2018, PBB dan BPHTB, serta dapat menghitung
PP 23 2018, PBB dan BPHTB, dan juga mengisi SPT dengan benar.

2. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Pada Kegiatan Belajar 4 (KB 4) PPN dan PPN BM ini, peserta didik
diharapkan dapat:
a. Menjelaskan PP 23 2018, PBB dan BPHTB
b. menjelaskan objek pajak PP 23 2018, PBB dan BPHTB
c. menentukan tarif dan dasar pengenaan pajak
d. menetapkan faktur pajak
e. menjelaskan pengenaan PP 23 2018, PBB dan BPHTB
f. menjelaskan pemungutan PP 23 2018, PBB dan BPHTB oleh pemungut
g. memanfaatkan fasilitas PP 23 2018, PBB dan BPHTB
h. mengisi SPT (Surat Pemberitahuan)

3. Pokok-Pokok Mater
Pada KB 4 ini, pokok-pokok materi yang akan dipelajari adalah:
a. Dasar-dasar PPh Bruto tertentu:
1) Tarif PPh final 0,5% bersifat opsional
2) Tarif PPh final 0,5% menurut PP 23 2018
3) Pengenaan tarif berbatas waktu
4) WP yang Dikenai PPh Final Berpenghasilan di Bawah Rp 4,8 M
5) Siapa yang Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%?
6) Jika Ingin Mengikuti Tarif Skema Normal, Wajib Pajak Perlu
Mengajukan Diri
b. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
1) Dasar hukum PBB
2) Objek pajak PBB
3) Dikecualikan dari objek pajak PBB
4) Subjek pajak PBB
5) Menghitung PBB
6) Tarif PBB
7) Tahun, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang
8) Pendaftaran, Penetapan, dan Penagihan
9) Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran
10) Keberatan dan Banding
11) Pengenaan PBB dalam hal-hal tertentu
c. Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
1) Dasar hukum BPHTB
2) Subjek pajak BPHTB
3) Objek pajak BPHTB
4) Dikecualikan dari Pengenaan BPHTB
5) Menghitung BPHTB
6) Contoh Penghitungan BPHTB
7) Saat dan Tempat Terutang BPHTB
8) Prosedur Pemungutan BPHTB
4. Uraian Materi
a. Dasar-Dasar Pajak Penghasilan Bruto Tertentu (PP 23 2018)
Pada bulan Oktober 2021 lalu, Pemerintah telah mengesahkan
undang-undang baru terkait perpajakan yaitu Undang-Undang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu kebijakan
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tersebut
menyebutkan adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi UMKM. Kebijakan ini berlaku per tahun pajak
2022, PTKP ini tidak hanya untuk wajib pajak Orang Pribadi saja, tapi
Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM juga ada PTKP-nya yaitu sebesar Rp
500 juta dalam satu tahun. Artinya, penghasilan UMKM Orang Pribadi
dengan penghasilan kurang dari atau sama dengan Rp500 juta setahun
tidak perlu membayar PPh final sebesar 0,5%.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2018, penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu.
Penghasilan bruto tertentu yaitu penghasilan dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008, ketentuan
tersebut tidak menjelaskan adanya batasan PTKP bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi UMKM. Sehingga, peredaran bruto yang diperoleh WP
OP UMKM akan dikenakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% setiap
bulannya dengan jangka waktu paling lama 7 tahun karena tarif tersebut
tidak dapat digunakan selamanya.
1) Cara Menghitung PPh Final UMKM Setelah Berlakunya UU
HPP

Per Tahun 2022, UU HPP terkait Pajak Penghasilan sudah mulai


diberlakukan. Sehingga perhitungan PPh Final UMKM bagi WP OP
sudah dapat dikurangin dengan PTKP. Pelaku UMKM harus
mengetahui apabila omzetnya telah melebihi Rp 500 juta dalam satu
tahun, baru akan dikenakan tarif PPh Final UMKM. Apabila omzet
dalam satu tahun kurang dari Rp 500 juta, maka dalam UU HPP
tersebut, omzet tersebut tidak dikenakan PPh Final UMKM. Berikut
merupakan contoh perhitungan PPh Final UMKM dalam UU HPP:

Dapat disimpulkan, pada bulan Januari sampai bulan Mei,


omzet kumulatif toko kelontong Tuan A sebesar Rp 500 juta,
sehingga pada bulan Januari sampai bulan Mei, Tuan A tidak
dikenakan PPh Final UMKM. Tuan A akan dikenakan PPh Final
UMKM setelah omzet kumulatif yang diperoleh melebihi Rp 500
juta, yaitu pada bulan Juni hingga bulan Desember. Omzet tersebut
akan dikenakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari omzet
setiap bulannya. Maka, total PPh Final UMKM yang dibayarkan
oleh Tuan A selama tahun 2022 semenjak diberlakukannya UU HPP
yaitu sebesar Rp 3,5 juta. Dimana sebelum diberlakukannya UU
HPP, PPh Final UMKM yang dibayarkan Tuan A sebesar Rp 6 juta
karena belum ada pengurangan PTKP bagi WP OP UMKM.
Namun, ada sejumlah ketentuan yang tidak kalah penting
untuk diketahui Wajib pajak. Berikut ini beberapa hal penting dalam
PP No. 23 Tahun 2018, antara lain:
1) Tarif PPh Final 0,5% Bersifat Opsional
Pemerintah telah memutuskan untuk meringankan tarif PPh
Final menjadi 0,5%. Namun, ketentuan ini bersifat opsional karena
Wajib pajak dapat memilih untuk mengikuti tarif dengan skema
final 0,5%, atau menggunakan skema normal yang mengacu pada
pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Sifat opsional ini memberi keuntungan bagi Wajib
pajak karena:
a) Bagi Wajib pajak (WP) pribadi dan badan yang belum dapat
menyelenggarakan pembukuan dengan tertib, penerapan PPh
Final 0,5% memberikan kemudahan bagi mereka untuk
melaksanakan kewajiban perpajakan. Sebab, perhitungan
pajak menjadi sederhana yakni 0,5% dari peredaran
bruto/omzet. Namun, penerapan PPh Final memiliki
konsekuensi yakni WP tetap harus membayar pajak meski
sedang dalam keadaan rugi.
b) Sementara, WP badan yang telah melakukan pembukuan
dengan baik dapat memilih untuk dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif normal yang diatur pasal 17 UU
No. 36 tentang Pajak Penghasilan. Konsekuensinya,
perhitungan tarif PPh akan mengacu pada lapisan penghasilan
kena pajak. Selain itu, WP juga terbebas dari PPh bila
mengalami kerugian fiskal.
2) Pengenaan Tarif PPh Final 0,5% Punya Batas Waktu
Tidak seperti PP No. 46 Tahun 2013, kebijakan terbaru
tentang PPh Final 0,5% punya grace period alias batasan waktu.
Batasan waktu yang diberikan pemerintah bagi WP yang ingin
memanfaatkan tarif PPh Final 0,5% adalah:
a) 7 tahun pajak untuk WP orang pribadi.
b) 4 tahun pajak untuk WP badan berbentuk koperasi, CV, atau
firma.
c) 3 tahun pajak bagi WP badan berbentuk PT.
Setelah batas waktu tersebut berakhir, WP akan kembali
menggunakan skema normal seperti diatur oleh pasal 17 UU No.36.
Hal ini ditujukan untuk mendorong Wajib pajak menyelenggarakan
pembukuan dan pengembangan usaha.
3) WP yang Dikenai PPh Final Berpenghasilan di Bawah Rp 4,8 M
Ambang batas penghasilan Wajib pajak yang dikenai PPh
Final tidak berubah yakni senilai Rp 4,8 miliar. Batasan nilai
tersebut secara eksplisit menargetkan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) sebagai target pajak. Pemerintah memang
ingin merangkul sebanyak mungkin UMKM untuk masuk dalam
sistem perpajakan.
4) Siapa yang Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%?
Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang
dikenai PPh Final 0,5% adalah:
a) Wajib Pajak orang pribadi
b) Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, CV, firma, atau PT
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran
bruto di bawah Rp 4,8 miliar.
c) Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan PP 23 Tahun
2018 dilunasi dengan cara disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu; atau dipotong atau dipungut
oleh Pemotong atau Pemungut Pajak yang ditunjuk sebagai
Pemotong atau Pemungut Pajak.
d) Jika disetorkan sendiri, penyetoran PP 23 2018 ini dilakukan
setiap bulan paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
e) Jika disetor oleh pemotong/pemungut, disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana
administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran
Pajak yang telah diisi atas nama Wajib Pajak yang dipotong
atau dipungut serta ditandatangani oleh Pemotong atau
Pemungut Pajak.
5) Siapa yang Tidak Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%
a) Wajib Pajak orang pribadi dengan penghasilan yang diperoleh
dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Ini termasuk
persekutuan atau firma yang terdiri dari WP orang pribadi
berkeahlian sejenis seperti firma hukum, kantor akuntan dan
lain sebagainya.
b) Wajib pajak dengan penghasilan yang diperoleh di luar negeri
yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri.
c) Wajib pajak yang penghasilannya telah dikenai PPh yang
bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan tersendiri.
d) Wajib pajak dengan penghasilan yang dikecualikan sebagai
objek pajak.
6) Jika Ingin Mengikuti Tarif Skema Normal, Wajib Pajak Perlu
Mengajukan Diri
Jika tidak ingin berstatus sebagai Wajib pajak PPh 0,5%, Anda
harus lebih dulu mengajukan permohonan pada Ditjen Pajak.
Selanjutnya, Anda akan mendapatkan keterangan sebagai Wajib
pajak yang dikenai PPh yang mengacu pada pasal 17 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Namun,
Wajib pajak yang sudah memilih untuk dikenai PPh dengan skema
normal tidak dapat memilih untuk dikenai PPh Final 0,5%.

b. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


1) Dasar Hukum
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD). Dasar hukum lain adalah Peraturan Bupati dan
Peraturan Daerah (Kota/Kabupaten) masing-masing. Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) awalnya
merupakan pajak pusat yang kemudian dialihkan menjadi pajak
daerah kota/kabupaten. Pengalihan menjadi pajak daerah dapat
dimulai sejak diundangkannya UU PDRD, yaitu per Januari 2010.
Namun Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten) diberikan tenggang
waktu paling lambat harus sudah menerapkan PBB P2 sebagai Pajak
Daerah per 1 Januari 2014. Selanjutnya, masing-masing
kota/kabupaten harus menyusun peraturan sebagai dasar
pemungutan PBB P2 tersebut.
2) Objek Pajak
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah adalah Bumi dan/atau Bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
badan, kecuali Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Item-item yang termasuk dalam pengertian Bangunan adalah jalan
lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan
dengan kompleks Bangunan tersebut; jalan tol; kolam renang; pagar
mewah; tempat olahraga; galangan kapal; dermaga; taman mewah;
tempat penampungan/kilang minyak; air dan gas; pipa minyak; serta
Menara.
3) Dikecualikan Dari Objek Pajak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Objek Pajak yang tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek
pajak yang:
a) Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan
pemerintahan;
b) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, Pendidikan dan kebudayaan
nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan;
c) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu;
d) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh suatu
desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e) Digunakan oleh perwakilan diplomatic dan konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f) Digunakan oleh badan atau perwakilan Lembaga internasional
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4) Subjek Pajak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang
dapat mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Hal ini berarti bahwa tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan
merupakan bukti kepemilikan. PBB melekat pada pemiliknya
meskipun dapat dialihkan kepada penyewanya atau pihak lain. Jika
suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa Wajib Pajaknya,
maka yang menjadi subjek pajak dapat ditunjuk oleh Dirjen Pajak.
Beberapa ketentuan khusus mengenai siapa yang menjadi subjek
pajak diatur sebagai berikut:
a) Jika suatu subjek pajak memanfaatkan atau menggunakan bumi
dan/atau bangunan milik orang lain bukan karena suatu hak
berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian,
subjek pajak yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau
bangunan ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
b) Suatu subjek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di
pengadilan, maka orang atau badan yang
memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan
sebagai Wajib Pajak.
c) Subjek pajak yang dalam waktu lama berada di luar wilayah
letak objek pajak, sedangkan untuk merawat objek pajak
tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau
badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak.
5) Menghitung PBB
Besarnya PBB dihitung dengan cara mengalikan tarif dan dasar
pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak sebagaimana diformulasikan sebagai berikut:

Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak

Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x (NJOP – NJOPTKP)

a) Dasar Pengenaan Pajak


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan dasar
pengenaan pajak adalah:
(1) Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP)
dikurangi nilai jual objek pajak tidak kena pajak
(NJOPTKP).
(2) NJOP ditetapkan setiap periode tertentu (misalnya, 3 tahun)
kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. NJOP
PBB P2 ditetapkan oleh Kepala Daerah (Bupati/Walikota).
Apabila kabupaten/kota belum menetapkan sendiri NJOP,
dapat menggunakan acuan penetapan NJOP sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
150/PMK.03/2010-Lampiran II (Klasifikasi NJOP untuk
objek pajak sektor perdesaan dan sektor perkotaan).
(3) Besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah
Rp10.000.000 untuk setiap Wajib Pajak (selanjutnya
ditetapkan oleh masing-masing daerah berdasarkan Perda).
b) Tarif
Tarif PBB P2 ditetapkan paling tinggi adalah 0,3% dan dapat
ditentukan secara bervariasi sesuai masing-masing daerah yang
dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Contoh: Kabupaten X menetapkan tarif PBB secara bergradasi
sebagai berikut:
(1) Untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan
Rp500.000.000, tarifnya 0,12%;
(2) Untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari Rp500.000.000
sampai dengan Rp1.000.000.000, tarifnya 0,14%;
(3) Untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari
Rp1.000.000.000, tarifnya 0,24%.
Contoh (NJOP sampai dengan Rp500.000.000)
Wajib Pajak A mempunyai tanah dan bangunan yang berlokasi
di Kabupaten X berupa:
(1) Tanah seluas 100 meter persegi dengan harga jual
Rp350.000 per meter persegi;
(2) Bangunan seluas 80 meter persegi dengan nilai jail
Rp740.000 per meter persegi.
Besarnya NJOPTKP di Kabupaten tersebut adalah
Rp12.000.000. Tarif PBB ditetapkan sebagai berikut:
(1) Untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan
Rp500.000.000, tarifnya 0,12%;
(2) Untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari Rp500.000.000
sampai dengan Rp1.000.000.000, tarifnya 0,14%;
(3) Untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari
Rp1.000.000.000, tarifnya 0,24%.
Menentukan NJOP (berdasarkan Lampiran II PMK Nomor
150/PMK.03/2010):
Objek Harga/Nilai Pengelompokan NJOP NJOP
Pajak Jual per m2 Sesuai Tabel per m2 per m2
Tanah Rp350.000 >Rp308.000 s.d. Rp362.000 Rp335.000
Bangunan Rp740.000 >Rp656.000 s.d. Rp744.000 Rp700.000

Menghitung besarnya PBB yang terutang:


 NJOP Tanah : 100 x Rp335.000 Rp33.500.000
 NJOP Bangunan : 80 x Rp700.000 Rp56.000.000
 Total NJOP Tanah dan Bangunan Rp89.500.000
 NJOPTKP Rp12.000.000 –
Nilai jual objek pajak kena pajak Rp77.500.000
PBB yang terutang = 0,12% x Rp77.500.000 Rp93.000
(Tarif yang digunakan adalah 0,12% sesuai dengan ketentuan: Jika NJOP tidak lebih
dari Rp500.000.000, tarifnya adalah 0,12%).

6) Tahun, Saat, Dan Tempat Yang Menentukan Pajak


Terutang
a) Tahun Pajak
Tahun pajak adalah jangka waktu 1 tahun takwin, yaitu dari 1
Januari sampai dengan 31 Desember.
b) Saat Terutangnya Pajak
Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh:
Pada 1 Januari 2016, Wajib Pajak A mempunyai objek pajak
berupa tanah dan bangunan dengan NJOP sebesar
Rp789.000.000. Pada 10 April 2016, bangunan yang dibeli
seharga Rp100.000.000 terbakar, maka PBB yang terutang
tahun 2016 tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada 1
Januari 2016, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut
terbakar (dengan NJOP sebesar Rp789.000.000).
c) Tempat Terutangnya Pajak
Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang
mencakup letak objek pajak.
7) Pendaftaran, Penetapan, dan Penagihan
Beberapa hal yang perlu diketahui dalam pendaftaran/pendataan,
penetapan, dan penagihan PBB adalah:
a) Subjek pajak melakukan pendaftaran objek pajak dengan cara
mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang
selanjutnya diisi oleh subjek pajak dan dikembalikan ke
Kantor/Dinas yang menangani PBB di wilayah kabupaten/kota
setempat.
b) SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, tepat waktu,
serta ditandatangtangani dan disampaikan kepada Kantor/Dinas
yang menangani PBB di wilayah Kabupaten/Kota tempat objek
pajak berada, selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
c) Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah (Bupati/Walikota)
menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
d) SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, tetapi untuk membantu
Wajib Pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek
pajak yang telah ada di Kantor/Dinas yang menangani PBB di
wilayah Kabupaten/Kota.
e) Bupati/Walikota dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD) apabila:
(1) SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis
oleh Bupati/Walikota;
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
f) Bupati/Walikota dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak
Daerah (STPD) apabila Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) atau SKPD tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo
pembayaran.
g) Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar dalam
STPD ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
setiap bulan.
8) Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran
Pembayaran dan penyetoran PBB P2 dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a) Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak yang terutang
dengan menggunakan SPPT, SKPD, atau STPD.
b) Pembayaran pajak yang terutang dilakukan dengan
menggunakan surat setoran pajak daerah (SSPD).
c) Pembayaran pajak dilakukan sekaligus atau lunas paling lambat
pada saat jatuh tempo pembayaran, yaitu:
1. Paling lambat 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT.
2. Paling lambat 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya SKPD,
STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keberatan, dan
Putusan Banding.
d) Pembayar pajak bisa dilakukan di ATM atau di tempat lain
yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
9) Keberatan dan Banding
a) Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk atas SPPT dan/atau
SKPD dengan cara sebagai berikut:
(1) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas (mengemukakan
data dan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau
kurang bayar yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau
pejabat yang ditunjuk adalah tidak benar).
(2) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak
tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali
jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah
membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib
Pajak.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap
sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan
diterima, Bupati/Walikota harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan.
(6) Keputusan tersebut dapat berupa menerima seluruhnya atau
menerima sebagian atau menolak atau menambah besarnya
pajak terutang.
(7) Apabila jangka waktu tersebut sudah lewat, Surat Keberatan
dianggap dikabulkan.
b) Banding
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota, dengan tata
cara sebagai berikut:
(1) Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3
bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan surat
keputusan keberatan.
(2) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban
pembayaran pajak sampai dengan 1 bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding.
(3) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga 2%
setiap bulan untuk paling lama 24 bulan.
(4) Imbalan bunga tersebut, dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan
atau Keputusan Banding.
(5) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding,
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% tersebut,
tidak dikenakan.
(7) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan
sebagai, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan
Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
10) Pengenaan PBB dalam Hal-Hal Tertentu
Terdapat perlakuan khusus terhadap pengenaan PBB, khususnya
untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Rumah Sakit Swasta.
Seiring dengan berjalannya waktu, PTS dan Rumah Sakit Swasta
dipandang tidak lagi hanya berfungsi sebagai Lembaga Pendidikan
dan sosial saja, tetapi juga Lembaga yang mencari laba. Oleh karena
itu, sudah sepantasnya jika PBB dikenakan pula terhadap kedua
institusi tersebut.
a) Pengenaan PBB pada Perguruan Tinggi Swasta
Ketentuan mengenai pengenaan PBB pada PTS diatur dalam
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. SE.10/PJ.6/1995,
yang menetapkan bahwa Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) diterbitkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
(1) Luas bangunan sama dengan 2.000 meter persegi atau lebih.
(2) Luas tanah 20.000 meter persegi atau lebih.
(3) Jumlah lantai sama dengan 4 lantai atau lebih.
(4) Jumlah mahasiswa sama dengan 3.000 orang atau lebih.
(5) Jumlah pungutan dalam 1 tahun atau lebih sama dengan
Rp2.000.000.
Apabila suatu PTS memenuhi kriteria tersebut, maka dikenakan
PBB dengan tarif 50% dari ketetapan yang seharusnya dibayar.
b) Pengenaan PBB pada Rumah Sakit Swasta
PBB yang harus dibayar sebesar 50% dari jumlah PBB yang
seharusnya terutang diberlakukan untuk Rumah Sakit Swasta
yang merupakan Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM),
jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
(1) Jumlah tempat tidur untuk pasien yang tidak mampu lebih
besar dari 25% dari jumlah semua tempat tidur.
(2) Sisa Hasil Usaha (SHU) untuk reinvestasi di dalam rumah
sakit bukan untuk pengembangan di luar rumah sakit.

c. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


1) Dasar Hukum
Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan
Pemberitahuan Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PEM-01/PJ.09/2010 tentang
Pengalihan Pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan (BPHTB) dinyatakan bahwa sebagai implementasi
Undang-Undang Nomor 208 Tahun 2009, maka:
a) Mulai 1 Januari 2011, pengelolaan BPHTB dialihkan dari
Pemerintah Pusat (Menghitung Pajak Kementerian Keuangan)
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota;
b) Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang telah memiliki
Peraturan Daerah tentang BPHTB diharapkan dapat segera
berkoordinasi dengan instansi terkait agar pelaksanaan
pengelolaan BPHTB dapat berjalan dengan lancar;
c) Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang belum memiliki
Peraturan Daerah tentang BPHTB diharapkan dapat segera
menyelesaikan Peraturan Daerah dimaksud;
d) Apabila masih diperlukan pembahasan lebih lanjut tentang
pelaksanaan pengelolaan BPHTB, Pemerintah Kabupaten/Kota
dapat berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Dirjen Pajak atau
Kantor Pelayanan Pajak setempat.
2) Subjek BPHTB
Pihak yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib Pajak
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi
atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
3) Objek BPHTB
Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang meliputi:
a) Pemindahan hak karena:
(1) Jual beli;
(2) Tukar menukar;
(3) Hibah;
(4) Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus
mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu yang
berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;
(5) Waris;
(6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
yaitu pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari
orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau
badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada
Perseroan terbatas (PT) atau badan hukum lainnya tersebut;
(7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu
pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesame
pemegang hak bersama;
(8) Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan
pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang
tercantum dalam Risalah Lelang;
(9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, sebagai pelaksanaan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi
peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai
salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam
putusan hakim tersebut;
(10) Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dua badan usaha
atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha
lainnya yang menggabung;
(11) Peleburan usaha, yaitu penggabungan dua badan usaha atau
lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut;
(12) Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha
menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara
mendirikan badan usaha baru atau mengalihkan sebagian
aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang
dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
(13) Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan
hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan hukum kepada pemberi hadiah.
b) Pemberian hak baru karena:
(1) Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru
kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas
tanah yang berasal dari pelepasan hak;
(2) Di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah
kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau
pemegang hak milik menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Hak atas tanah meliputi:
a) Hak milik, yaitu hak turun-menurun, terkuat, dan terpenuh
yang dapat dimiliki orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
b) Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c) Hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
d) Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
e) Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas
satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah yang meliputi
hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama
yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
f) Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan
dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang
diperoleh:
a) Perwakilan diplomatic, dan konsulat berdasarkan atas perlakuan
timbal balik;
b) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum, yaitu
tanah dan bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintah (baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah)
dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, misalnya tanah dan atau bangunan yang digunakan
untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum;
c) Badan dan/atau perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat
tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan dan/atau perwakilan organisasi tersebut;
d) Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
Konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak
baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk
pengakuan hak oleh pemerintah.
e) Orang pribadi atau badan karena wakaf;
Wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak
milik tanah dan/atau bangunan dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
f) Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah;
g) Objek pajak tertentu.
4) Menghitung Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)

BPHTB = Tarif Pajak x NPOPKP


= 5% x (NPOP – NPOPTKP)

NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak) disebut sebagai dasar


pengenaan pajak.
Penghitungan tersebut dapat dibuat dengan urutan sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) XXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) XXX –
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) XXX
BPHTP yang terutang/dibayar:
(5% x NPOPKP) XXX
Jika perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut karena
waris/hibah wasiat/pemberian hak pengelolaan, maka BPHTB
yang harus dibayar adalah:

BPHTB = 50% x BPHTB yang terutang


= 50% x 5% x NPOPKP
a) Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah paling tinggi
5%. Tarif BPHTB selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
b) Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dapat berupa harga transaksi
atau nilai pasar atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP dalam
penghitungan PBB). Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal:
(1) Jual beli dalam hal transaksi;
(2) Tukar menukar adalah nilai pasar;
(3) Hibah adalah nilai pasar;
(4) Hibah wasiat adalah nilai pasar;
(5) Waris adalah nilai pasar;
(6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah
nilai pasar;
(7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai
pasar;
(8) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
(9) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak adalah nilai pasar;
(10) Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah
nilai pasar;
(11) Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
(12) Peleburan usaha adalah nilai pasar;
(13) Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
(14) Hadiah adalah nilai pasar;
(15) Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang
tercantum dalam Risalah Lelang.
Apabila NPOP pada nomor 1 sampai dengan 14 tidak diketahui atau
lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB
pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak (DPP) yang
digunakan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan
Bangunan.
Contoh 1:
Wajib Pajak Hakim membeli tanah dan bangunan dengan harga
transaksi harga transaksi sebesar Rp90.000.000. Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) tanah dan bangunan yang digunakan sebagai dasar
pengenaan PBB sebesar Rp75.000.000. Sehingga yang dipakai
sebagai dasar pengenaan BPHTB atau NPOP adalah Rp90.000.000.

Contoh 2:
Wajib Pajak Ananda membeli tanah dan bangunan dengan harga
transaksi sebesar Rp90.000.000. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
tanah dan bangunan yang digunakan sebagai dasar pengenaan PBB
sebesar Rp105.000.000. Sehingga yang dipakai sebagai dasar
pengenaan BPHTB atau NPOP adalah Rp105.000.000 dan bukan
Rp90.000.000.

Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan belum


ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
c) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
ditetapkan secara regional (Kabupaten/Kota) paling banyak
Rp60.000.000. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah
wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah adalah garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat (termasuk
suami/istri) maka NPOPTKP ditetapkan secara regional paling
banyak Rp300.000.000. Besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Daerah.
d) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) merupakan
dasar pengenaan pajak. Besarnya NPOPKP dihitung dari Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

NPOPKP = NPOP - NPOPTKP


Contoh 1:
Pada 1 Februari 2018, Akbar membeli tanah yang terletak di
Kabupaten Bantul dengan NPOP sebesar Rp50.000.000 dan
NPOPTKP (untuk perolehan hak selain karena waris atau hibah
wasita yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat atau satu
derajat ke atas dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri)
untuk Kabupaten Bantul ditetapkan sebesar Rp60.000.000.
Besarnya NPOPKP adalah:
NPOP Rp50.000.000
NPOPTKP Rp60.000.000 –
NPOPKP NIHIL
NPOP lebih kecil dari NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut
tidak terutang BPHTB.
Contoh 2:
Pada 1 Februari 2018, Perdana membeli tanah dan bangunan yang
terletak di Kabupaten Karanganyar dengan NPOP sebesar
Rp100.000.000. NPOPTKP (untuk perolehan hak selain karena
waris atau hibah wasita yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat atau satu derajat ke atas dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri) untuk Kabupaten Karanganyar ditetapkan
sebesar Rp60.000.000.
Besarnya NPOPKP adalah:
NPOP Rp100.000.000
NPOPTKP Rp 60.000.000 –
NPOPKP Rp 40.000.000
5) Contoh Menghitung BPHTB
Contoh 1:
Faisal membeli tanah dan bangunan dengan nilai objek pajak
sebesar Rp500.000.000.
Besarnya BPHTB yang terutang dihitung sebagai berikut:
NPOP Rp500.000.000
NPOPTKP Rp 60.000.000 –
NPOPKP Rp440.000.000
Pajak BPHTB yang terutang: 5% x Rp440.000.000 = Rp22.000.000
Contoh 2:
PT. Abadi membeli sebidang tanah dan bangunan dengan nilai
transaksi sebesar Rp950.000.000. Sesuai SPPT PBB, tanah seluas
1.000 m2 mempunyai NJOP Rp537.000 per m2 dan bangunan seluas
500 m2 mempunyai NJOP Rp700.000 per m2. NPOPTKP sebesar
Rp50.000.000. Besarnya BPHTB yang terutang dihitung sebagai
berikut:
NJOP tanah = 1.000 m2 x Rp537.000 Rp537.000.000
NJOP bangunan = 500 m2 x Rp700.000 Rp350.000.000 +
NJOP PBB Rp887.000.000
Harga transaksi/nilai pasar Rp950.000.000
Harga transaksi lebih besar daripada NJOP PBB, maka yang dipakai
sebagai dasar pengenaan pajak (BPHTB) atau NPOP adalah
nilai/harga transaksi.
NPOP Rp950.000.000
NPOPTKP Rp 50.000.000 –
NPOPKP Rp900.000.000
BPHTB yang terutang = 5% x Rp900.000.000 Rp45.000.000
6) Saat dan Tempat Terutang BPHTB
a) Saat Terutang BPHTB
Saat terutang BPHTB untuk:
(1) Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
(2) Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
(3) Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
(4) Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
(5) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
(6) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
(7) Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
(8) Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
(9) Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
(10) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
(11) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak
tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat ketetapan
pemberian hak;
(12) Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
(13) Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
(14) Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
(15) Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b) Tempat Terutang BPHTB


Tempat terutang BPHTB adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau
Provinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.
7) Prosedur Pemungutan BPHTB
Prosedur pemungutan BPHTB meliputi:
a) Prosedur pengurusan Akta Pemindahan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan;
b) Prosedur penelitian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD);
c) Prosedur pembayaran BPHTB;
d) Prosedur Pendaftaran Akta Pemindahan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan;
e) Prosedur pelaporan BPHTB;
f) Prosedur penagihan BPHTB;
g) Prosedur pengurangan BPHTB.

a) Prosedur Pengurusan Akta Pemindahan Hak atas Tanah


dan/atau Bangunan
Prosedur pengurusan akta pemindahan hak atas tanah dan/atau
bangunan merupakan proses pengajuan pembuatan akta sebagai
dokumen legal penerimaan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak selaku penerima hak atas
tanah dan/atau bangunan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Prosedur ini meliputi:
(1) Wajib Pajak (penerima hak) mengurus perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan ke PPAT/Pejabat Lelang dengan
menyerahkan dokumen terkait perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan (berupa surat perjanjian, dokumen jual
beli, surat hibah, surat waris, dan lain-lain yang
menyatakan telah terjadi pemindahan hak atas tanah
dan/atau bangunan).
(2) PPAT/Pejabat Lelang menerima dokumen perolehan hak
dari Wajib Pajak PPAT/Pejabat Lelang kemudian
memeriksa data mengenai objek pajak ke Kepala Kantor
Bidang Pertanahan.
(3) Kepala Kantor Bidang Pertanahan menyediakan data yang
dibutuhkan oleh PPAT/Pejabat Lelang terkait pemeriksaan
objek pajak.
(4) PPAT/Pejabat Lelang menyusun draft Akta Pemindahan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(5) PPAT/Pejabat Lelang kemudian menyimpan Draft Akta
Pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(6) Berdasarkan prosedur yang berjalan, PPAT/Pejabat Lelang
menerima formulir SSPD BPHTB dari Dinas Pengelolaan,
Pendapatan, dan Aset Daerah.
(7) PPAT/Pejabat Lelang menghitung BPHTB terutang dan
menyiapkan SSPD BPHTB.
(8) Wajib Pajak Bersama-sama dengan PPAT/Pejabat Lelang
menandatangani SSPD BPHTB.
b) SSPD BPHTB terdiri atas 6 lembar dengan rincian:
(1) Lembar 1 untuk Wajib Pajak.
(2) Lembar 2 untuk PPAT/Pejabat Lelang.
(3) Lembar 3 untuk Kantor Bidang Pertanahan sebagai
lampiran permohonan pendaftaran.
(4) Lembar 4 untuk Fungsi Pelayanan sebagai lampiran
permohonan penelitian SSPD BPHTB.
(5) Lembar 5 untuk Bank yang ditunjuk/Bendahara
Penerimaan sebagai arsip.

5. Forum Diskusi
Materi bahan diskusi untuk KB4 ini adalah sebagai berikut:
a. Forum Diskusi KB 4.1
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak penghasilan yang dasar pengenaan
pajaknya dari penghasilan neto atau bruto? Jelaskan jawaban Saudara/i.
b. Forum Diskusi KB 4.2
Mengapa pemerintah mengeluarkan PP 23 2018 dan tidak menggunakan
UU PPh saja untuk menghitung dan memperhitungkan PPh terutang?
Apakah bisa PP 23 2018 dan UU PPh tumpang tindih? Jelaskan jawaban
Saudara/i.
C. Penutup
1. Rangkuman
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan atau
bangunan. Objek dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau
bangunan. Subjek dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi/badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak. Hal yang menjadi dasar pengenaan
PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan 3(tiga) tahun
sekali oleh Menteri Keuangan. Sedangkan dasar perhitungan PBB adalah
Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah yang
saat ini besarnya 20% dan 40% dari NJOP.
Objek BPHTB meliputi dua hal yaitu karena pemindahan hak dan pemberian
hak baru. Untuk pemindahan hak mencakup 13 jenis sedangkan pemberian
hak baru mencakup 2 jenis. Selain itu terdapat beberapa objek yang tidak
dikenakan BPHTB. Subjek Pajak BPHTB menjadi Wajib pajak apabila
dikenakan kewajiban membayar BPHTB. Tarif yang ditentukan untuk
BPHTB adalah tarif tunggal, sedangkan untuk menentukan besarnya
kewajiban BPHTB yang menjadi beban dari Wajib pajak perlu adanya dasar
pengenaan dari BPHTB tersebut. Pada umumnya dasar pengenaan dari
BPHTB adalah nilai pasar dari objek yang bersangkutan kecuali dalam hal
perolehan hak hasil dari pelaksanaan lelang harta tetap. Disamping itu
terdapat suatu nilai batas tidak kena pajak yang ditujukan untuk meringankan
beban dari Wajib pajak yang kurang mampu.
Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat serta hak pengelolaan
diatur dengan Peraturan Pemerintah masing-masing Nomor 111/2000 dan
Nomor 112/2000 tanggal 1 Desember 2000. Pajak terutang harus dilunasi
pada saat terjadinya perolehan hak yaitu saat ditandatanganinya akta atau
risalah lelang atau penerbitan hak baru sedangkan tempat terutangnya pajak
adalah di wilayah Kabupaten/Kota atau Propinsi yang meliputi letak tanah
dan atau bangunan. Keterlambatan pembayaran BPHTB oleh Wajib pajak
berakibat terbitnya sanksi atas pembayaran berupa bunga sebesar 2% per
bulan maksimum 24 bulan, sedangkan apabila ditemukan data baru (novum)
yang mengakibatkan pajak terutang masih kurang dibayar akan terbit sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari kekurangan bayar tersebut.
2. Tes Formatif KB 4
1. Pajak atas Peredaran Bruto Tertentu yang diatur melalui PP 23 2018
adalah untuk Wajib pajak dengan peredaran bruto:
A. Lebih dari Rp4,8 Milyar per tahun
B. Kurang dari Rp4,8 Milyar per tahun
C. Kurang dari Rp4,8 Milyar per bulan
D. Lebih dari 4,8 Milyar per bulan
E. Lebih dari Rp400 Juta per bulan
2. Tarif pajak PP 23 2018 adalah:
A. 1% dari peredaran bruto
B. 0,5% dari peredaran bruto
C. 1% dari laba komersial
D. 0,5% dari laba fiskal
E. 1% dari laba neto
3. Batas waktu pembayaran pajak PP 23 2018 jika disetor sendiri oleh
Wajib pajak adalah:
A. Tanggal 5 bulan berikutnya
B. Tanggal 10 bulan berikutnya
C. Tanggal 15 bulan berikutnya
D. Tanggal 20 bulan berikutnya
E. Setiap 31 Maret
4. Batas waktu pembayaran pajak PP 23 2018 jika disetor oleh
pemotong/pemungut adalah:
A. Tanggal 5 bulan berikutnya
B. Tanggal 10 bulan berikutnya
C. Tanggal 15 bulan berikutnya
D. Tanggal 20 bulan berikutnya
E. Setiap 31 Maret
5. Tarif PBB adalah:
A. Tarif tetap/tunggal
B. Tarif objektif
C. 5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
D. 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
E. Tarif progresif
6. PP 23 2018 berbatas waktu atau mempunyai grace period. Batasan
waktu untuk Wajib pajak orang pribadi dalam memanfaatkan PP 23
2018 ini adalah:
A. 3 tahun
B. 4 tahun
C. 5 tahun
D. 6 tahun
E. 7 tahun
7. Dasar penagihan PBB adalah:
A. SPPT/SKP
B. SPPT/SKP/STP
C. SPOP/SPPT
D. SPOP/SPPT/SKP
E. SPOP/SPPT/SPT
8. SPPT harus dilunasi/dibayar:
A. dalam jangka waktu 6 bulan sejak diterbitkannya SPPT oleh
KPPBB
B. dalam jangka waktu 6 bulan sejak diterimanya SPPT oleh WP
C. dalam jangka waktu 6 bulan sejak dikirimkan oleh KPPBB melalui
Kantor Pos
D. dalam jangka waktu 60 hari sejak diterima oleh WP
E. dalam jangka waktu 120 hari sejak diterima oleh WP
9. Surat Tagihan Pajak (STP) harus dilunasi dalam jangka waktu ......
terhitung mulai tanggal diterima oleh Wajib pajak:
A. 2 x 24 jam
B. 7 (tujuh) hari
C. 6 (enam) bulan
D. 1 (satu) bulan
E. 30 hari
10. Dalam hal suatu objek pajak belum jelas diketahui Wajib pajaknya ........
dapat menetapkan subjek pajak atas objek pajak tersebut menjadi Wajib
pajak.
A. Menteri Keuangan
B. Direktur Jenderal Pajak
C. Kakanwil Ditjen Pajak
D. Kepala KPPBB a/n Menteri
E. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
11. Perubahan UU No.21 Tahun 1997 menjadi UU No:20 Tahun 2000
tentang BPHTB diharapkan dapat mencapai sasaran:
A. Meningkatkan penerimaan pajak sebesar-besarnya
B. Memberikan kepastian hukum
C. Memberikan rasa keadilan
D. Memberikan rasa keadilan, kepastian hukum dan memperluas
cakupan objek pajak
E. Meningkatkan kepatuhan pajak
12. Badan atau Organisasi Internasional yang tidak dikenakan BPHTB
sebagaimana diatur dalam Kep. Men.Keu. RI No:630/KMK.04/1997
antara lain adalah seperti dibawah ini, kecuali:
A. Badan-Badan Internasional dari PBB
B. Colombo Plan
C. Pakta Pertahanan Australia, New Zealand dan Amerika Serikat
D. Kerjasama Bilateral
E. Kerjasama Multilateral
13. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak:
A. yang dikenakan atas nilai tanah dan atau bangunan
B. atas harga jual yang ditetapkan oleh Kakanwil DJP
C. yang dikenakan pada kepemilikan tanah dan atau bangunan
D. yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
E. atas harga beli yang ditetapkan oleh Kakanwil DJP
14. Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) adalah
jumlah kewajiban yang harus dibayar berupa:
A. Pajak yang kurang dibayar ditambah denda administrasi
B. Pajak yang kurang dibayar ditambah bunga sebesar 2% per bulan
maksimal 24 bulan
C. Pajak yang kurang dibayar ditambah sanksi administrasi sebesar
100% dari pajak yang kurang dibayar
D. Pajak yang kurang dibayar ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak
E. Pajak yang kurang dibayar dikurangi denda administrasi
15. Apabila NPOP lebih rendah dari NJOP, maka dasar pengenaan BPHTB
adalah NJOP. Bila NJOP belum ditetapkan maka yang digunakan adalah:
A. NJOP tahun yang lalu
B. Nilai Pasar tahun yang lalu
C. Harga transaksi tahun yang lalu
D. NJOP yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
E. NJOP dua tahun sebelumnya
3. Tugas Akhir
Tugas Akhir 1
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini
(1) Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang sistem pemungutan pajak yang
berlaku di Indonesia!
(2) Jelaskan perbedaan subjek pajak dan objek pajak!
(3) Jelaskan konsep Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak!

Tugas Akhir 2
Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis jual-
beli/penyerahan BKP/JKP bahwa dalam nilai kontrak sebesar Rp130.000.000
secara tegas dinyatakan sudah termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPN BM
(sebesar 20%).
(1) Hitunglah PPN dan PPN BM dari penyerahan BKP/JKP tersebut.
(2) Jika dalam kontrak atau perjanjian jual-beli tidak dinyatakan dengan
tegas bahwa PPN dan PPN BM termasuk dalam nilai kontrak, hitunglah
PPN dan PPN BM dari penyerahan BKP/JKP tersebut.

Tugas Akhir 3
PT A melakukan penyerahan BKP sebesar Rp100.000.000 sudah termasuk
PPN. Berapakah PPN terutang dari penyerahan BKP tersebut?

Tugas Akhir 4
Jika atas penyerahan BKP sebesar Rp100.000.000 tersebut terutang juga
PPN BM dan tarif PPN BM adalah 20%, maka berapakah PPN dan PPN BM
penyerahan BKP/JKP yang terutang?
Tugas Akhir 5
PKP B pada masa Oktober 2017 memiliki pajak keluaran Rp60.000.000 dan
pajak masukan Rp80.000.000. Masa November 2017 memiliki pajak
keluaran Rp50.000.000 dan pajak masukan Rp40.000.000. Masa Desember
2017 memiliki pajak keluaran Rp30.000.000 dan pajak masukan
Rp30.000.000.
(1) Berapakah PPN lebih bayar Masa Oktober 2017?
(2) Berapakah PPN lebih bayar Masa November 2017?
(3) Berapakah PPN lebih bayar masa Desember 2017?
Sejumlah berapakah dapat diajukan pengembalian PPN lebih bayar Masa
Desember 2017?

Tugas Akhir 6
1) Yuliawan pegawai pada PT. Yasa Buana, menikah dengan memiliki 1
anak, memperoleh gaji Rp8.000.000 sebulan, tunjangan-tunjangan
Rp4.000.000 sebulan. PT. Yasa Buana mengikuti program Jamsostek
yaitu premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian
dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 2% dan 3%
dari gaji. PT. Yasa Buana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap
bulan sebesar 3% dari gaji, sedangkan Yuliawan membayar iuran
Jaminan Hari Tua 2% dari gaji setiap bulan. Disamping itu, PT. Yasa
Buana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT. Yasa
Buana membayar iuran pensiun untuk Yuliawan ke dana pensiun, yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan
Rp150.000, sedangkan Yuliawan membayar iuran pensiun Rp100.000
sebulan. NPWP: 04.234.845.543.000. Hitung PPh Pasal 21 sebulan!
2) Bagus status menikah dengan 2 anak bekerja pada perusahaan
elektronika dengan upah satuan. Pada Agustus 2020, Bagus bekerja
selama 25 hari dan mengerjakan 60 unit barang dengan upah per unit
Rp250.000. Hitung PPh Pasal 21! NPWP Bagus: 06.234.743.278.000.
3) PT. Sejahtera Abadi menggunakan API dalam melakukan impor barang.
Pada Januari 2020 melakukan impor kedelai dari Amerika Serikat
dengan harga faktur USD30.000. Biaya asuransi dan biaya angkut
pengapalan barang dari Amerika Serikat ke dalam daerah pabean
(Indonesia) masing-masing sebesar 0,5% dan 15% dari harga faktur.
Biaya tersebut dibayar oleh PT. Sejahtera Abadi. Tarif bea masuk 10%
dari CIF. Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada saat itu
USD1 = Rp14.500. Hitung PPh Pasal 22 yang harus dibayar PT.
Sejahtera Abadi!
4) 22 Oktober 2020, membayar sewa kendaraan untuk mendistribusikan
hasil produksi ke beberapa kota. Sewa dibayar kepada Andika sebesar
Rp6.000.000 yang beralamat di Jl. Adisucipto No. 207 Yogyakarta.
NPWP: 01.111.354.1.543.000.
Tugas Akhir 7
Pada tahun 2017, PT Mandala, bergerak di bidang perdagangan, memperoleh
penghasilan yang dapat dilihat di Laporan Laba Rugi sebagai berikut:
Informasi berkaitan dengan Laporan Laba Rugi:
1. Dalam penjualan, tidak memasukkan penjualan kepada karyawan sebesar
Rp30.000.250 yang pembayarannya melalui pemotongan gaji setiap bulan.
2. Dalam biaya gaji, upah, bonus, dan tunjangan lain ada pengeluaran untuk
pembelian beras yang dibagikan kepada karyawan senilai Rp35.950.000.
3. Dalam biaya perjalanan dinas terdapat bukti-bukti pendukung atas nama
keluarga pemegang saham sebesar Rp3.255.700.
4. Dalam biaya promosi, terdapat sumbangan yang tidak ada hubungannya
dengan kegiatan utama perusahaan sebesar Rp47.123.000.
5. Pajak sebesar Rp115.000.000 merupakan angsuran PPh bulanan selama tahun
2017 (angsuran PPh Pasal 25).
6. Pengeluaran berupa biaya representasi tidak didukung dengan bukti
pengeluaran dari pihak eksternal.
7. Biaya royalti sebesar Rp250.985.000, yang ada bukti pendukungnya dari pihak
eksternal hanya sebesar 240.734.000.
8. Piutang yang benar-benar tidak tertagih dan telah memenuhi syarat untuk
diakui sebagai piutang tak tertagih menurut perpajakan tahun 2017 adalah
sebesar Rp75.865.550.
9. Setelah dilakukan penghitungan berdasar ketentuan fiskal, penyusutan tahun
2017 sebesar Rp234.000.000.
10. Dalam biaya administrasi & umum lain terdapat biaya rekreasi karyawan
sebesar Rp6.560.000.
Lakukanlah rekonsiliasi fiskal untuk keterangan di atas dengan mengisi formulir
yang telah disediakan di bawah ini (halaman berikutnya).
Perintah soal:
A. Isilah formulir di atas dengan mengisi jawaban pada nomor 1 sampai dengan
nomor 10 dan sesuaikan saldo setiap akun menurut fiskal.
B. Berapakah laba neto fiskal dan laba neto komersial PT Mandala?
4. Tes Sumatif
1. Fungsi pajak sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah disebut ...
A. Fungsi Financial
B. Fungsi Budgetair
C. Fungsi Controller
D. Fungsi Regularrend
E. Fungsi Annualler
2. Pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain disebut ...
A. Pajak Langsung
B. Pajak Tidak Langsung
C. Pajak Penghasilan
D. Pajak atas Penjualan Barang Mewah
E. Pajak Bumi dan Bangunan
3. Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung
jawab kepada Wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor,
dan melaporkan sendiri pajaknya disebut sistem pajak …
A. Self-assessment
B. Withholding
C. Official-assessment
D. Partner-assessment
E. Peer-to-peer assessment
4. Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib pajak
adalah …
A. Self-assessment
B. Withholding
C. Official-assessment
D. Partner-assessment
E. Peer-to-peer assessment
5. PT. ADIKARYA membayar pesangon kepada Andrean sebesar Rp52.000.000
karena memasuki masa pensiun. NPWP Andeas: 65.043.657.2.542.000. Berapa
PPh Pasal 21 yang dipotong?
A. Tidak dipotong PPh Pasal 21
B. Rp100.000
C. Rp180.000
D. Rp200.000
E. Rp2.600.000
6. Yanuar berstatus belum menikah dan menanggung 1 adik kandung. Ia bekerja
sebagai karyawan pada perusahaan elektronik sebagai perakit komputer. Upah
yang dibayarkan dihitung berdasarkan jumlah unit/satuan yang diselesaikan
Rp140.000/unit. Upah tersebut dibayar setiap minggu. Dalam waktu 1 minggu
(6 hari kerja), Yanuar mampu merakit 30 unit komputer sehingga total upah
yang diterima Rp4.200.000. Berapa PPh Pasal 21 yang dipotong atas seluruh
upah?
A. Rp90.000
B. Tidak dikenakan PPh Pasal 21
C. Rp15.000
D. Rp75.000
E. Rp12.500
7. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) membayar
honorarium kepada Wahyudi sebagai peserta workshop sebesar Rp500.000.
Wahyudi sebagai PNS Gol. II dan memiliki NPWP. Besarnya PPh yang
dipotong adalah ...
A. Rp25.000
B. Rp75.000
C. Rp12.500
D. Rp37.500
E. Tidak dikenakan PPh Pasal 21
8. Amir adalah bujangan yang bekerja sebagai driver online di wilayah Surabaya.
Pada bulan April 2019 mengalami kecelakaan dan terpaksa harus menjalani
operasi patah tulang di rumah sakit. Meskipun demikian, Amir masih
beruntung karena seluruh biaya operasi yang besarnya Rp30.000.000 dibayar
oleh perusahaan asuransi “Hidup Sehat” yang pendiriannya telah diusahakan
oleh menteri keuangan. Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong oleh asuransi
“Hidup Sehat” atas santunan asuransi yang diberikan kepada Amir adalah ...
A. Rp0 karena santunan asuransi bagi Amir bukan merupakan penghasilan.
B. Rp0 karena dikecualikan dari objek pemotongan PPh Pasal 21
C. Rp4.500.000 karena merupakan penghasilan yang bersifat final
D. Rp1.500.000 karena bagi Amir santunan asuransi merupakan penghasilan
E. Rp3.000.000 karena merupakan penghasilan yang bersifat final
9. Bayu status menikah dengan 1 anak dan menanggung ibu mertua bekerja
sebagai Direktur Utama di salah satu grup usaha PT. Karya Utama yang
bergerak di bidang jasa pelayaran nasional “Laut Lepas”. Setiap bulan Bayu
menerima gaji pokok Rp10.000.000. Selain itu, Bayu juga menerima tunjangan
transport dan perumahan sebesar Rp700.000 dan Rp800.000. Selain itu PT.
Laut Lepas membayar premi asuransi kecelakaan kerja dan kematian masing-
masing 4% dan 2% dari gaji pokok. Berapa PPh Pasal 21 yang dipotong setiap
bulan? NPWP Bayu: 04.654.333.3.439.000
A. Rp463.833
B. Rp479.583
C. Rp592.083
D. Rp576.333
E. Rp493.333
10. Hanif seorang notaris mendapatkan fee sebesar Rp35.000.000. Berapa PPh
pasal 21 yang dipotong?
A. Rp775.000
B. Rp1.500.000
C. Rp2.625.000
D. Rp1.750.000
E. Rp875.000
11. Surat yang berfungsi sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut
SPT Wajib Pajak adalah:
A. Surat Ketetapan Pajak
B. Surat Tagihan Pajak
C. Surat Pemberitahuan
D. Surat Paksa
E. Surat Teguran
12. Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT dan telah ditegur secara tertulis
namun tetap tidak menyampaikan juga sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan dalam Surat Teguran, maka kepada Wajib Pajak tersebut akan
diterbitkan:
A. Surat Paksa
B. Surat Tagihan Pajak
C. Surat Pemberitahuan
D. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
E. Surat Peninjauan Kembali
13. Pada bulan Maret 2018, PT. Indonesia Power melakukan pembayaran kepada
CV. Warna Terang atas pembelian barang senilai Rp10.500.000 (termasuk
PPN 10%). Berapa PPh Pasal 22 yang dikenakan?
A. Tidak dikenakan PPh Pasal 22
B. Rp1.050.000
C. Rp9.545.455
D. Rp9.090.909
E. Rp1.431.818
14. Pada 1 Juli 2018 PT. Maju Lancar membayarkan dividen tunai kepada Bank
BNI (BUMN) dengan jumlah penyertaan 28% dan jumlah dividen
Rp28.000.000. Berapa PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT. Maju Lancar atas
pembayaran dividen tersebut?
A. Rp560.000
B. Rp4.200.000
C. Bukan Objek Pajak
D. Rp2.800.000
E. Rp5.600.000
15. PT. Sejahtera Abadi beralamat di Surabaya memperoleh penghasilan neto pada
tahun 2018 sebagai berikut:
 Penghasilan dari dalam negeri Rp600.000.000
 Penghasilan dari luar negeri Rp800.000.000
(tarif pajak yang berlaku 30%)
Berapa besarnya Kredit Pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24)?
A. Rp350.000.000
B. Rp200.000.000
C. Rp240.000.000
D. Rp150.000.000
E. Rp180.000.000
16. Pernyataan berikut ini yang benar adalah...
A. Di Indonesia, PPN dipungut satu kali
B. Di Indonesia, PPN dipungut tiap rantai distribusi
C. Di Indonesia, PPN dipungut tiap rantai distribusi
D. Di Indonesia, PPN dipungut tergantung bentuk hukum dari perusahaannya
E. Di Indonesia, PPN dipungut tergantung bentuk barangnya
17. Pernyataan berikut ini yang benar adalah....
A. PPN di Indonesia menggunakan tarif tunggal
B. PPN di Indonesia menggunakan tarif ganda
C. PPN di Indonesia menggunakan tarif progresif
D. PPN di Indonesia menggunakan tarif regresif
E. PPN di Indonesia menggunakan tarif rata-rata
18. Pernyataan berikut ini yang benar adalah....
A. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tambahan
B. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Langsung
C. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung
D. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tambahan Langsung
E. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tambahan tidak Langsung
19. Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah....
A. Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN
B. Pengusaha yang melakukan penjualan Barang Kena Pajak saja
C. Pengusaha yang melakukan penjualan Jasa Kena Pajak saja
D. Setiap orang yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak
E. Pengusaha yang melakukan penjualan Barang Kena Pajak saja
20. Pengusaha B selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto Rp500.000.000. Pernyataan berikut ini yang tepat adalah...
A. Pengusaha B Wajib dikukuhkan sebagai PKP
B. Pengusaha B dilarang dikukuhkan sebagai PKP
C. Pengusaha B dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP
D. Pengusaha B tidak dapat memilih dikukuhkan sebagai PKP
E. Pengusaha B Wajib memilih waktu kapan dikukuhkan PKP
21. Berikut ini yang bukan kewajiban pengusaha kena pajak adalah ….
A. memungut pajak yang terutang
B. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal
Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
C. melaporkan penghitungan pajak
D. melaporkan pengusaha lain yang belum dikukuhkan sebagai PKP
E. dinyatakan punya NPWP
22. Berikut ini yang termasuk barang kena pajak adalah…..
A. minyak mentah
B. gas bumi
C. panas bumi
D. minyak tanah
E. minyak goreng
23. Berikut ini yang termasuk barang kena pajak adalah....
A. batubara
B. briket batubara
C. bijih emas
D. bijih perak
E. briket arang
24. Berikut ini yang termasuk jasa kena pajak adalah ....
A. jasa pengiriman surat dengan perangko
B. jasa angkutan umum di darat
C. jasa angkutan umum di air
D. jasa ekspedisi
E. jasa angkutan umum di luar negeri
25. PKP A di Jakarta menjual sejumlah komputer kepada PKP B di Medan. Atas
penjualan ini...
A. Terutang PPN 0%
B. Terutang PPN 10%
C. Terutang PPN 20%
D. Terutang PPN 30%
E. Terutang PPN 35%
26. PKP B di Jakarta melakukan ekspor sejumlah kain ke Hongkong. Atas ekspor
ini...
A. Terutang PPN 0%
B. Terutang PPN 10%
C. Terutang PPN 20%
D. Terutang PPN 30%
E. Terutang PPN 35%
27. PKP A menjual sejumlah printer ke PKP B dengan harga jual Rp11.000.000.
Dasar pengenaan pajak untuk transaksi ini...
A. Harga jual Rp11.000.000
B. Harga jual Rp10.000.000
C. Penggantian Rp11.000.000
D. Penggantian Rp10.000.000
E. Penggantian Rp11.500.000
28. Faktur pajak tidak Wajib dibuat pada saat…
A. Penyerahan barang kena pajak
B. Penyerahan jasa kena pajak
C. Ekspor barang kena pajak berwujud
D. Impor barang kena pajak
E. Ekspor barang kena pajak lainnya
29. Faktur pajak dapat berbentuk…
A. Kertas dan elektronik
B. Kertas dan virtual
C. Virtual dan elektronik
D. Elektronik dan virtual
E. Virtual mandiri
30. Faktur pajak pengusaha kena pajak eceran, yang dapat berupa:
A. PIB
B. PEB
C. Karcis
D. SSP
E. SPT
31. PKP A mempunyai pajak keluaran Rp12.000.000 dan pajak masukan
Rp10.000.000 pernyatan berikut ini yang benar adalah...
A. PPN kurang bayar Rp1.000.000
B. PPN kurang bayar Rp2.000.000
C. PPN lebih bayar Rp1.000.000
D. PPN lebih bayar Rp2.000.000
E. PPN lebih bayar Rp3.000.000
32. PKP C pada masa Maret 2017 mempunyai pajak keluaran Rp16.000.000 dan
pajak masukan Rp15.000.000. pernyatan berikut ini yang benar adalah...
A. PPN harus disetor paling lambat 31 Maret 2017
B. PPN harus disetor paling lambat 15 Maret 2017
C. PPN harus disetor paling lambat 30 April 2017
D. PPN harus disetor paling lambat 31 Desember 2017
E. PPN harus disetor paling lambat 30 Januari 2018
33. Terkait kasus di atas, PKP C harus melaporkan SPT Masa PPN paling lambat
A. paling lambat 31 Maret 2017
B. paling lambat 15 Maret 2017
C. paling lambat 30 April 2017
D. paling lambat 31 Desember 2017
E. paling lambat 30 Januari 2018
34. PKP D pada Masa Maret 2014 mempunyai pajak keluaran Rp32.000.000 dan
pajak masukan Rp38.000.000. pernyatan berikut ini yang benar adalah...
A. PKP D dapat mengajukan permohonan kelebihan pembayaran pajak pada
masa Maret 2014
B. Kelebihan pembayaran pajak dikompensasi ke masa pajak April 2014
C. PPN harus disetor paling lambat 30 April 2014
D. PPN harus disetor paling lambat 31 Desember 2017
E. PPN harus disetor paling lambat 30 Januari 2017
35. Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
A. sebagai sarana mengajukan restitusi
B. sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan PPN
yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya
C. sebagai bukti pembayaran PPN
D. sebagai bukti pemungutan PPN
E. sebagai bukti pembayaran PPH
5. Kunci Jawaban Tes Formatif
No. KB 1 KB 2 KB 3 KB 4
1. C D B B

2. A D D B
3. E A D C
4. D D D B
5. B B C E
6. A D A A
7. D B D B
8. E E D B
9. B A D D
10. A A D B
11. A B D
12. B A C
13. D B D
14. E C D
15. A B D
16. A
17. A
18. D
19. D
20. A
6. Kunci Jawaban Tes Sumatif
No. Sumatif No Sumatif No Sumatif No Sumatif
1. B 11. B 21. D 31. B

2. C 12. D 22. D 32. C


3. A 13. A 23. B 33. C
4. B 14. C 24. D 34. B
5. B 15. B 25. B 35. B
6. A 16. B 26. A
7. E 17. A 27. A
8. B 18. C 28. D
9. B 19. A 29. A
10. E 20. C 30. C

Keterangan Tes Sumatif:


1. B
2. C
3. A
4. B
5. Jawaban: B
PPh Pasal 21 yang dipotong:
0% x Rp50.000.000 Rp0
5% x Rp2.000.000 Rp100.000 +
PPh Pasal 21 yang dipotong Rp100.000
6. Jawaban: A
Upah sehari (Rp4.200.000 ÷ 6) Rp700.000
Upah kena pajak sehari: Rp700.000 – Rp450.000 Rp250.000
PPh Pasal 21 sehari = 5% x Rp250.000 Rp12.500
PPh Pasal 21 sehari tdk ber-NPWP: 120% x Rp12.500 Rp15.000
PPh Pasal 21 atas seluruh upah (seminggu/6 hari)
(Rp12.500 x 6 hari) Rp75.000
Tdk ber-NPWP: 120% x Rp75.000 Rp90.000
7. E
8. B
9. Jawaban: B
Gaji sebulan Rp10.000.000
Tunjangan transport Rp700.000
Tunjangan perumahan Rp800.000
Premi asuransi kecelakaan kerja (4%xRp10.000.000) Rp400.000
Premi asuransi kematian (2%xRp10.000.000) Rp200.000 +
Penghasilan bruto sebulan Rp12.100.000
Pengurang:
Biaya jabatan: 5% x Rp12.100.000 Rp500.000 –
Penghasilan neto sebulan Rp11.600.000
Penghasilan neto setahun Rp139.200.000
PTKP (K/2)
 Diri WP Rp54.000.000
 Tambahan WP kawin Rp4.500.000
 Tambahan tunjangan 2 Rp9.000.000 +
Rp67.500.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp71.700.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp50.000.000 Rp2.500.000
15% xRp21.700.000 Rp3.255.000 +
PPh Pasal 21 setahun Rp5.755.000
PPh Pasal 21 sebulan (Rp5.755.000 ÷ 12) Rp479.583
10. E. 5% x 50% x Rp35.000.000 Rp875.000
11. B
12. D
13. Jawaban : A
PPh Pasal 22 yang dipungut PT. Indonesia Power dihitung sebagai berikut:
DPP = (100/110) x Rp 10.500.000 = Rp9.545.455
Atas pembayaran tersebut tidak dikenakan PPh pasal 22 karena nilainya
kurang dari Rp10.000.000
14. Jawaban: C
Penerima adalah BUMN dan jumlah penyertaannya lebih dari 25% dari total
saham beredar.
15. Jawaban: B
Penghitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24):
1) Menghitung Total PKP
Penghasilan dalam negeri Rp 600.000.000
Penghasilan luar negeri Rp 800.000.000 +
Jumlah penghasilan neto Rp1.400.000.000
2) Menghitung Total PPh Terutang
Tarif PPh pasal 17 ayat 1 (b) x Penghasilan Kena Pajak
25% x Rp1.400.000.000 = Rp350.000.000
3) Menghitung PPh Maksimum Dikreditkan sesuai Perbandingan Penghasilan
Penghasilan luar negeri X Total PPh Terutang
Penghasilan kena pajak
Rp 800.000.000 x Rp350.000.000 = Rp200.000.000
Rp1.400.000.000
4) Menghitung PPh yang Dipotong atau Dibayar di Luar Negeri
Tarif Pajak luar negeri x Penghasilan luar negeri
30% x Rp800.000.000 = Rp240.000.000
Kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah
Rp200.000.000. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan
total PPh terutang, PPh maksimum dikreditkan sesuai perbandingan
penghasilan, dan PPh terutang atau dibayar di luar negeri. Kemudian, dipilih
nilai terendah di antara ketiganya.
7. Kunci Jawaban Tugas Akhir
Kunci Jawaban Tugas Akhir 2:
1. PPN = (10/130) x Rp130.000.000 = Rp10.000.000
PPN BM = (20/130) x Rp130.000.000 = Rp20.000.000
2. PPN = 10% x Rp130.000.000,00 = Rp13.000.000
PPN BM = 20% x Rp130.000.000,00 = Rp26.000.000

Kunci Jawaban Tugas Akhir 3:


PPN = (10/110) X Rp100.000.000
PPN = Rp. 9.090.909.

Kunci Jawaban Tugas Akhir 4:


PPN = (11/(111+t)) X harga atau pembayaran
BKP
PPN BM = (t/(111+t)) X harga atau pembayaran
BKP
PPN = (11/(111+20)) X Rp100.000.000
PPN = Rp8.396.946
PPN BM = (20/(111+20)) X Rp100.000.000
PPN BM = Rp15.267.175

Kunci Jawaban Tugas Akhir 5:


PPN yang kurang (lebih) bayar dihitung sebagai berikut:
Masa Oktober 2017:
Pajak keluaran Rp60.000.000
Pajak masukan (Rp80.000.000)
PPN lebih bayar (Rp20.000.000)
Masa November 2017:
Pajak keluaran Rp50.000.000
Pajak masukan (Rp40.000.000)
Kompensasi lebih bayar masa Oktober 2017 (Rp20.000.000)
PPN lebih bayar (Rp10.000.000)
Masa Desember 2017:
Pajak keluaran Rp30.000.000
Pajak masukan (Rp30.000.000)
Kompensasi lebih bayar masa November 2017 (Rp10.000.000)
PPN lebih bayar (Rp10.000.000)
Atas kelebihan bayar Rp10.000.000 dapat diajukan pengembalian di akhir tahun
buku, yaitu Masa Desember 2017.
Kunci Jawaban Tugas Akhir 6:
1)

2)

1)
Menghitung nilai impor
Harga faktur (cost) USD30.000
Biaya asuransi (insurance): 0,5% x USD30.000 USD 150
Biaya angkut (freight): 15% x USD30.000 USD 4.500 +
CIF (cost, insurance, freight) USD34.650
Bea masuk: 10% x USD34.650 USD 3.465 +
Nilai Impor (NI) USD38.115
NI (dalam rupiah): USD38.115 x Rp14.500 Rp552.667.500
Menghitung PPh Pasal 22 atas impor
0,5% x Rp552.667.500 = Rp2.763.337,5
(Kedelai termasuk barang impor tertentu dikenakan PPh pasal 22 dengan tarif
0,5% apabila menggunakan API. Apabila importir tidak menggunakan API tarif
7,5% dari Nilai Impor).
2) Membayar sewa kendaraan = 2% x Rp6.000.000 = Rp120.000
Kunci Jawaban Tugas Akhir 7:
1. 30.000.250
2. 35.950.000
3. 3.255.700
4. 47.123.000
5. 115.000.000
6. 95.235.000
7. 10.251.000
8. 10.885.100
9. 85.000.000
10. 6.560.000
Laba neto fiskal PT. Mandala adalah Rp.1.268.032.900
Laba neto komersial PT Mandala adalah Rp.998.682.850
DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka KB 1

Pandiangan, L. (2014). Administrasi perpajakan. Jakarta: Erlangga.

Resmi, S. (2017). Perpajakan teori dan kasus. Buku 1 Edisi 10. Jakarta: Salemba
Empat.

Waluyo. (2018). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.


www. Pajak.go.id

Daftar Pustaka KB 2

Kurniawan, Anang Mury. 2016. Modul Pajak Penghasilan. Kemenkeu Learning


Center. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak.

Pandiangan Liberti. (2014). Administrasi Perpajakan. Erlangga: Jakarta

Resmi, Siti. 2017. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta.

Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan. 2011. Kementerian


Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak.

Waluyo. (2018). Perpajakan Indonesia. Salemba Empat. Jakarta.

www. pajak.go.id
Daftar Pustaka KB 3

Kemenkeu. (2011). Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan.


Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kurniawan, A.M. (2016). Modul Pajak Penghasilan Kemenkeu Learning Center.


Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak.

Resmi, S. (2017). Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.

Daftar Pustaka KB 4

Kurniawan, Anang Mury. 2016. Modul Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Barang Mewah. Kemenkeu Learning Center. Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak.

Resmi, Siti. 2017. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta.

Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan. 2011. Kementerian


Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang- undang


Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB

Undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB

Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-undang No.21 Tahun


1997 tentang BPHTB

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penentuan Besarnya NJKP


Pajak bumi dan Bangunan

Peraturan Pemerintah No.111 Tahun 2000 tentang BPHTB karena Waris dan Hibah
Wasiat

Peraturan Pemerintah No.112 Tahun 2000 tentang BPHTB karena Pemberian Hak
Pengelolaan

Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP

Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 201/KMK.04/2001 tentang Penentuan


Besarnya NJOPTKP PBB

Keputusan Menteri Keuangan RI No.517/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Tempat


dan Tatacara Pembayaran BPHTB.
Peraturan Menteri Keuangan RI No.86/PMK.03/2006 tentang Tatacara Penentuan
Besarnya NPOPTKP BPHTB.

Anda mungkin juga menyukai