pada obat modern. Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat, yang
meliputi :
a. Kebenaran bahan
Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk dibedakan
satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang
diinginkan. Sebagai contoh lempuyang di pasaran ada beberapa macam yang agak sulit untuk
dibedakan satu dengan yang lain. Lempuyang emprit (Zingiber amaricans) memiliki bentuk
yang relative lebih kecil, berwarna kuning dengan rasa yang pahit. Lempuyang emprit ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang kedua adalah lempuyang gajah (Zin giber
zerumbet) yang memiliki bentuk lebih besar dan berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat
sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber
aromaticum) yang memiliki warna agak putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis
lempuyang sebelumnya, jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing (Sastroamidjojo S, 2001).
Di Belgia, 70 orang harus menjalani dialysis atau transplantasi ginjal akibat mengkonsumsi
pelangsing dari tanaman yang keliru (WHO, 2003).
b. Ketepatan dosis
Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa dikonsumsi sembarangan.
Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya resep dokter. Buah mahkota dewa, misalnya,
hanya boleh dikonsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam 3 gelas air. Sedangkan daun mindi
baru berkhasiat jika direbus sebanyak 7 lembar dalam takaran air tertentu (Suarni, 2005). Hal ini
menepis anggapan bahwa obat tradisional tak memiliki efek samping. Anggapan bila obat tradisional aman dikonsumsi walaupun gejala sakit sudah hilang adalah keliru. Sampai batas-batas
tertentu, mungkin benar. Akan tetapi bila sudah melampaui batas, justru membahayakan.
Efek samping tanaman obat dapat digambarkan dalam tanaman dringo (Acorus calamus), yang
biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki kandungan senyawa bioaktif
asaron. Senyawa ini punya struktur kimia mirip golongan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis
rendah, dringo memang dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek
sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat ((Manikandan S, dan Devi RS., 2005), (Sukandar
E Y, 2006)). Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya,
yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, et al., 2003). Asaron dringo, juga
merupakan senyawa alami yang potensial sebagai pemicu timbulnya kanker, apalagi jika
tanaman ini digunakan dalam waktu lama (Abel G, 1987). Di samping itu, dringo bisa
menyebabkan penumpukan cairan di perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan
hati, serta dapat menimbulkan efek berbahaya pada usus ((Chamorro G, et al., 1999),(Garduno L,
et al., 1997), (Lopez ML, et al., 1993)). Berdasarkan fakta ilmiah itu, Federal Drugs of Administration (FDA) Amerika Serikat telah melarang penggunaan dringo secara internal, karena
lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada manfaat (Suarni, 2005).
Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum banyak didukung oleh
data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran sejumput, segenggam
atau pun seruas yang sulit ditentukan ketepatannya. Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam
satuan gram dapat mengurangi kemungkinan terjadinya efek yang tidak diharapkan karena batas
antara racun dan obat dalam bahan tradisional amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman
obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun.
c. Ketepatan waktu penggunaan
Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan sudah turun-temurun dikonsumsi
dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik dikonsumsi saat datang bulan (Sastroamidjojo
S, 2001). Akan tetapi jika diminum pada awal masa kehamilan beresiko menyebabkan
keguguran. Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu penggunaan obat tradisional
menentukan tercapai atau tidaknya efek yang diharapkan.
d. Ketepatan cara penggunaan
Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Masing-masing
zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya.
Sebagai contoh adalah daun Kecubung jika dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan
digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan /
mabuk (Patterson S, dan OHagan D., 2002).
e. Ketepatan telaah informasi
Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah
untuk diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan telaah
atau kajian yang cukup seringkali mendatangkan hal yang menyesatkan. Ketidaktahuan bisa
menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan membahayakan. Contohnya, informasi di
media massa meyebutkan bahwa biji jarak (Ricinus communis L) mengandung risin yang jika
dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker (Wang WX, et al., 1998). Risin sendiri bersifat
toksik / racun sehingga jika biji jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan
dan diare ((Audi J, et al., 2005), (Sastroamidjojo S, 2001)). Contoh lainnya adalah tentang pare.
Pare, yang sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat lebih bagi kesehatan.
Pare alias paria (Momordica charantia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid.
Pare mengandung alpha-momorchorin, beta-momorchorin dan MAP30 (momordica antiviral
protein 30) yang bermanfaat sebagai anti HIV-AIDS ((Grover JK dan Yadav SP, 2004), (Zheng
YT, et al., 1999)). Akan tetapi, biji pare juga mengandung triterpenoid yang mempunyai aktivitas
anti spermatozoa, sehingga penggunaan biji pare secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas pada pria ((Girini MM, et al., 2005), (Naseem MZ,
et al., 1998)). Konsumsi pare dalam jangka panjang, baik dalam bentuk jus, lalap atau sayur,
dapat mematikan sperma, memicu impotensi, merusak buah zakar dan hormon pria, bahkan
berpotensi merusak liver ((Basch E, et al., 2003), (Lord MJ, et al., 2003)). Bagi wanita hamil,
sebaiknya konsumsi pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan pemberian jus pare
menimbulkan keguguran.
1. f. Tanpa penyalahgunaan
Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena tidak memerlukan
resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat dari tanaman obat maupun
obat tradisional tersebut. Contoh :
Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalahgunakan untuk pengguguran
kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi
bahkan kematian.
-
Pada bulan Mei 2003, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru menarik 9.708
kotak obat tradisional dari peredaran dan memusnahkannya. Obat yang ditarik dari peredarannya
sebagian besar berupa jamu-jamuan yang mengandung bahan-bahan kimia obat (BKO)
berbahaya bagi tubuh pemakainya. Bahan-bahan kimia obat yang biasa dicampurkan itu adalah
parasetamol, coffein, piroksikam, theophylin, deksabutason, CTM, serta bahan kimia penahan
rasa sakit seperti antalgin dan fenilbutazon (Kompas, 31 Mei 2003). Bahan-bahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh pemakainya jika digunakan dalam jumlah
banyak. Bahan kimia seperti antalgin misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan pada organ
pencernaan, berupa penipisan dinding usus hingga menyebabkan pendarahan. Fenil-butazon
dapat menyebabkan pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi cairan
yang dikenal dengan istilah moonface, dan jika digunakan dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan osteoporosis.
g. Ketepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu
Dalam satu jenis tanaman dapat ditemukan beberapa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi.
Rasio antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus menjadi pertimbangan
dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi. Contoh, daun Tapak dara
mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan diabetes. Akan tetapi daun Tapak dara
juga mengandung vincristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel
darah putih) hingga 30%., akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi
((Bolcskei H, et al., 1998), (Lu Y, et al., 2003), (Noble RL, 1990), (Wu ML, et al., 2004)).
Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun Tapak dara tidak
tepat digunakan sebagai antidiabetes melainkan lebih tepat digunakan untuk pengobatan
leukemia.
1. Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisional/
komponen bioaktif tanaman obat
Dalam suatu ramuan obat tradisional umumnya terdiri dari beberapa jenis tanaman obat yang
memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan.
Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan
kontra indikasi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek
yang dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri dari
komponen utama sebagai unsur pokok dalam tujuan pengobatan, asisten sebagai unsur
pendukung atau penunjang, ajudan untuk membantu menguatkan efek serta pesuruh sebagai
pelengkap atau penyeimbang dalam formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis
tanaman obat sehingga komposisi obat tradisional lazimnya cukup komplek. Misalnya suatu
formulasi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah, komponennya terdiri dari : daun
sledri (sebagai vasodilator), daun apokat atau akar teki (sebagai diuretika), daun murbei atau
besaren (sebagai Ca-antagonis) serta biji pala (sebagai sedatif ringan). Formulasi lain
dimaksudkan untuk pelangsing, komponennya terdiri dari : kulit kayu rapet dan daun jati
belanda (sebagai pengelat), daun jungrahap (sebagai diuretik), rimpang kunyit dan temu lawak
(sebagai stomakik sekaligus bersifat pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan
ditingkatkan oleh temu lawak dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh
kulit kayu rapet dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defakasi dinetralisir oleh temulawak dan
kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses pelangsingan sedangkan proses defakasi dan
diuresis tetap berjalan sebagaimana biasa.
Terhadap ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan (untuk memperbaiki
warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk memenuhi jumlah/volume tertentu). Bahan
tambahan sering disebut sebagai Coringen, yaitu c.saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya
menta atau kayu legi), c.odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah adas)
dan c.coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu secang, kunyit atau
pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari atau adas, sekaligus ada ramuan yang
disebut adas-pulowaras atau adas-pulosari.Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan,
seringkali masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai Stabilisator dan
Solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi menstabilkan komponen aktif dalam unsur
utama, sedangkan solubilizer untuk menambah kelarutan zat aktif. Sebagai contoh,
kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam kunyit yang bersifat labil (tidak stabil) pada suasana alkalis
atau netral, tetapi stabil dalam suasana asam, sehingga muncul ramuan kunir-asem. Demikian
juga dengan etil metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang agak sukar larut dalam air;
untuk menambah kelarutan diperlukan adanya suspending agent yang berperan sebagai
solubilizer yaitu beras, sehingga dibuat ramuan beras-kencur. Selain itu beberapa contoh
tanaman obat yang memiliki efek sejenis (sinergis), misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun
keji beling, daun kumis kucing, akar teki, daun apokat, rambut jagung dan lain sebagainya.
Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif dalam satu tanaman,
contohnya seperti pada herba timi (Tymus serpyllum atau T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan
obat batuk. Herba timi diketahui mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari : tymol
dan kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Tymol dalam timi berfungsi sebagai ekspektoran
(mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri penyebab batuk; sedangkan flavon
polimetoksi sebagai penekan batuk non narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurangkurangnya ada 3 komponen aktif yang saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula efek
diuretik pada daun kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid, saponin dan kalium. Pada
satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi
Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman
bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga memungkinkan tanaman tersebut
memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung (seperti
pada herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling berlawanan
atau kontradiksi (sperti pada akar kelembak). Sebagai contoh misalnya pada rimpang temu lawak
(Curcuma xanthoriza) yang disebutkan memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain :sebagai
anti inflamasi (anti radang), anti hiperlipidemia (penurun lipida darah), cholagogum
(merangsang pengeluaran produksi cairan empedu), hepatoprotektor (mencegah peradangan hati)
dan juga stomakikum (memacu nafsu makan). Jika diperhatikan setidak-tidaknya ada 2 efek
yang kontradiksi, yaitu antara anti hiperlipidemia dan stomakikum. Bagaimana mungkin bisa
terjadi pada satu tanaman,terdapat zat aktif yang dapat menurunkan kadarlemak/kolesterol darah
sekaligus dapat bersifat memacu nafsu makan. Hal serupa juga terdapat pada tanaman kelembak
(Rheum officinale) yang telah diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non polar dan
berfungsi sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa tanin yang
bersifat polar dan berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa menyebabkan konstipasi untuk
menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer
karena disebutkan dapat untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Kenyataan seperti itu
disatu sisi merupakan keunggulan produk obat alam, tetapi disisi lain merupakan bumerang
karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya merupakan lahan subur bagi para peneliti bahan obat alam
untuk berkiprah memunculkan fenomena ilmiah yang bisa diterima dan dipertangungjawabkan
kebenaran, keamanan dan manfaatnya.
1. 3. Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif
Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami
pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit
metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju
perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam
pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pada periode sebelum tahun 1970-an
banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan
mengunakan antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau Jamu yang
efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak efektif. Sebaliknya pada
periode berikutnya hinga sekarang sudah cukup banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang
potensinnya lebih tinggi sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi. Akan
tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan
metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta
gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan
penyakit metabolik dan degeneratif.
Yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia
(kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif
diantaranya: rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung),
haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory). Untuk menanggulangi penyakit
tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu lama sehinga jika mengunakan obat modern
dikawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh
karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam, walaupun penggunaanya dalam waktu lama
tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman. dikonsumsi
secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare ((Audi J, et al., 2005), (Sastroamidjojo
S, 2001))
Potensi Tanaman Obat Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity untuk tumbuhan obat di dunia. Wilayah
hutan tropika Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 di dunia setelah Brazilia.
Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30 000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940
jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan
tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Jumlah tumbuhan obat tersebut
meliputi sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Asia (Puslitbangtri,
1992). Menurut Ditjen POM(1991) ada 283 spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar
digunakan oleh industri Obat Tradisional di Indonesia. diantaranya 180 spesies tumbuhan obat
yang berasal dari hutan tropika. Kekayaan alam Indonesia telah terbukti mampu menghidupi
masyarakat penghuninya. Masyarakat lokal memiliki pengertian yang dalam akan manfaat
berbagai jenis tumbuhan lokal. Tidak kurang dari 400 etnis masyarakat Indonesia yang erat
kehidupannya dengan alam dan memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam
memanfaatkan tumbuhan obat. untuk perawatan kesehatan. Diantaranya, yang mayoritas
menggunakan tumbuhan obat untuk penyembuhan berbagai macam penyakit seperti malaria,
diare, demam, sakit perut, dan sakit kuning yaitu etnis Sunda yang diketahui telah memanfatkan
305 jenis tumbuhan, etnis Jawa memanfaatkan 114 jenis tumbuhan, etnis Melayu mengenal 131
jenis tumbuhan, dan etnis Bali mengenal 105 jemis tumbuhan (Darusman, et al., 2004).
Plasmanutfah tumbuhan obat yang berlimpah di Indonesia dan didukung dengan pengetahuan
lokal yang dimiliki oleh berbagai etnis dalam memanfaatkan tumbuhan obat, serta tradisi
penggunaan obat tradisional berupa jamu yang diwariskan turun-temurun adalah merupakan aset
bernilai tinggi yang potensial untuk pengembangan industri agromedisin.
Salah satu upaya pemerintah melalui Ditjen POM dalam mendukung pengembangan agroindustri
tumbuhan obat Indonesia adalah ditetapkannya 13 komoditi tumbuhan obat unggulan yaitu
temulawak, jati belanda, sambiloto, mengkudu, pepagan, daun ungu, sanrego, pasak bumi, daun
jinten, kencur, pala, jambu mete, dan tempuyung dengan pertimbangan bahwa komoditi tersebut
bernilai ekonomi yang tinggi, mempunyai peluang pasar dan potensi produksi yang tinggi, serta
berpeluang dalam pengembangan teknologi (Sumarno dalam Biofarmaka, 2002). Peluang
pengembangan obat tradisional Indonesia masih terbuka lebar karena permintaan pasar yang
terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk Indonesia yang tinggi dan menyadari
mahalnya harga obat sintetik belakangan ini. Tingginya minat masyarakat akan obat alami,
banyak perusahaan industri farmasi nasional menawarkan produk obat alami dalam bentuk
ekstrak tumbuhan obat (fitofarmaka) yang diolah dan dikemas secara modern di pasaran saat ini
seperti prolipid dan prouric.
Daerah pertanaman tumbuhan obat-obatan menyebar di seluruh propinsi di Indonesia dengan
sentra utama di pulau Jawa. Pengusahaan tumbuhan obat di Indonesia dalam skala luas dengan
areal penanaman seluas 126 504 197 m2 yang dikelola oleh Ditjen Bina Produksi Hortikultura
(Ditjen Perkebunan, 2004) pada tahun 2003 masih terbatas untuk 13 komoditi tumbuhan obat
yaitu: jahe, lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, kejibeling, dringo,
kapulaga, temukunci, mengkudu, dan sambiloto. Perkembangan luas areal dan produksi
tumbuhan obat selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Areal dan Produksi 13 Tanaman Biofarmaka di Indonesia Tahun 1999-2003
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003*
Produksi (kg)
170.602.793
193.018.174
208.165.152
202.532.547
228.711.260
Sumber:Statistik tanaman hortikultura, Ditjen Bina Produksi Hortikultura 2004 * ) Tahun 2003.
Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) menyebabkan masyarakat
lebih memilih menggunakan obat alami yang diyakini tidak memiliki efek samping dan harga
lebih terjangkau daripada obat sintetik. Kondisi ini memacu peningkatan kebutuhan akan obat
tradisional maupun fitofarmaka. Hal ini dapat terlihat pada kondisi pasar dan perkembangan
jumlah industri obat tradisional di dalam negeri. Pada tahun 1984 volume penjualan obat
tradisional sebesar 970,6 ton, dan pada tahun 1998 terjadi peningkatan sekitar 10 kali lipat
menjadi 9.273,4 ton. Pada tahun 2002 omzet obat alami secara nasional sekitar satu triliun rupiah
dan pada tahun 2003 diperkirakan meningkat menjadi Rp 1,4 triliun (Said, 2002). Seiring dengan
meningkatnya volume dan omzet obat alami perkembangan jumlah industri obat tradisional di
Indonesia dari tahun ke tahun juga terus meningkat Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah industri
obat tradisional meningkat 6 kali. Pada tahun 1981 industri obat tradisional yang terdaftar di
Ditjen POM sebanyak 165 buah dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 443 buah. Hingga
tahun 2001, jumlah industri obat tradisional mencapai 997 buah (Ditjen POM, 2002).
Bahan baku untuk proses industri (jamu, obat ekstrak, dan fitofarmaka) berasal dari tumbuhan
yang merupakan produk biofarmaka. Produk ini dapat merupakan tanaman segar ataupun yang
sudah dikeringkan (simplisia). Dalam bentuk segar, produk ini dimanfaatkan sebagai sediaan
ekstrak hasil perasan, tingtur atau ekstrak cair, maserat minyak atau ekstrak yang menggunakan
pelarut minyak. Sedangkan produk dari simplisia dapat berupa sediaan serbuk, obat sediaan teh,
maserat minyak, ataupun dalam bentuk ekstrak kental maupun kering. Produk farmasi yang lain
merupakan hasil proses lebih lanjut yaitu hasil ekstraksi, pemisahan, dan pemurnian menjadi
ekstrak, fraksi, atau senyawa murni. Dari segi pemanfaatannya sebagai obat asli Indonesia,
produk biofarmaka dapat digunakan sebagai jamu atau fitofarmaka. Pengujian Produk Obat
tradisonal jamu hanya melalui uji pra klinis, sedangkan pengujian produk fitofarmaka harus
melalui uji praklinis dan klinis yang berpedoman kepada SK Menteri Kesehatan tentang
pedoman fitofarmaka No.761/Menkes/SK/IX/1992 dan Peraturan Menkes RI.
No.760/Menkes/Per/ IX/1992 (Pusat Studi Biofarmaka, 2002 dan Sujatno, 2001).
KEADAAN PASAR OBAT HERBAL DUNIA
Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang produk herbal, memiliki 940 perusahaan
obat tradisional dengan nilai penjualan domestik mencapai 6 milyar USD dengan pangsa pasar
mencapai 33% dari total pasar obat dunia. Di India 60-70% penduduk menggunakan sistem
pengobatan alami, dengan nilai penjualan mencapai 3 milyar USD pada tahun 2002. Di Korea
output dari obat herbal mencapai 500 juta USD yang merupakan 12% dari total penjualan obat
dunia. Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai 1,2 milyar USD,
dengan trend pasar meningkat 13% per tahun. Perdangangan dunia untuk produk tumbuhan obat
(herbal) pada tahun 2000 sekitar US$ 20 milyar dengan pasar terbesar adalah di Asia (3 9%),
diikuti dengan Eropa (34%), Amerika Utara (22%), dan belahan dunia lainnya (5%) (Pramono,
2002). Di tahun 2001 terjadi peningkatan penjualan menjadi US$ 45 milyar (Biofarmaka, 2002).
Di Indonesia volume perdagangan obat tradisional pada tahun 2002 baru mencapai 150 juta
USD, padahal kurang lebih 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi
obat tradisional yang dikenal sebagai jamu. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa kebutuhan
bahan baku untuk 1.023 buah perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat
tradisional (IOT, aset > Rp. 600 juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (IKOT, aset < Rp.
600 juta) justru 85% diperoleh dari upaya penambangan dari hutan dan pekarangan tanpa upaya
budidaya. Ekspor bahan baku dan simplisia tanaman obat Indonesia menunjukkan peningkatan
yang berarti. Pada tahun 2000 mencapai 26,06 juta USD dan tahun 2001 890,24 juta USD.
Negara pengimpor tanaman obat asal Indonesia antara lain Singapura, Taiwan, Hongkong dan
Jepang. Trend penjualan tanaman obat yang di ekspor cukup fluktuatif. Neraca perdagangan
internasional tanaman obat Indonesia adalah positif pada kurun waktu 1996-2001, dengan nilai
surplus eskpor tertinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar 400,48 juta USD
Hasil-hasil industri agromedisin asli Indonesia berupa bahan baku dalam bentuk simplisia dan
minyak atsiri telah banyak dimanfaatkan oleh banyak negara maju sebagai bahan baku untuk
berbagai tujuan penggunaan seperti herbal medicine, food supplement, kosmetik, dan farfum.
Ekspor bahan baku dan simplisia tumbuhan obat sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 dapat
dilihat pada tabel 2. Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa nilai ekspor bahan baku dan simplisia
tumbuhan obat Indonesia mengalami pasang surut. Hal ini menurut Pramono (2002) disebabkan
karena mutu dan suplai bahan baku dan simplisia yang tidak konsisten.
Tabel 2. Perkembangan Nilai Ekspor Tanaman Obat Tahun 1998-Oktober 2002.
Tahun
1998
1999
2000
2001
Oktober 2002
Pertumbuhan (%)
15.39
33.64
-23.24
-23.17
obat hipertensi. Berbagai jenis tumbuhan obat Indonesia seperti kina, jahe, pule pandak,
ketumbar, lidah buaya, sambiloto, adas, meniran, dan kapulaga menjadi komoditas ekspor yang
penting. Pasar utama tumbuhan obat Indonesia antara lain Amerika Serikat, Jepang, Perancis,
Jerman, Switzerland, dan Inggris (Biofarmaka, 2002). Keempat belas spesies tumbuhan obat asal
Indonesia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Tumbuhan obat Indonesia yang digunakan sebagai bahan baku obat di USA
No
1
2
Spesies Tumbuhan
Anamirta cocculus
Andrograp his paniculata
3
4
5
6
Areca catechu
Azadirachta indica
Catharanthus roseus
Centella asiatica
7
8
9
10
11
12
13
Cephaelisipe
cacaermacha
Cinnamomum campora
Datura metel
Dioscorea spp
Rauwolfia serpentina
Ricinus communis
Digitalis purpurea
14
Strychnos spp
Senyawa Aktif
Picrotoxin
Andrografolid
Neoandrografolid
Arecoline
Azadi rachtin
Vinblastin
Asiaticosoda
Vincristine
Emetin
Khasiat
Analeptic
Bacillary dysentery
Camphor
Scopolamin
Diosgenin
Ajmalisin Reserpin
Castrol oil
Digitalin
Digitoxinnitalin
Strychine
Rubefacient
Sedative
Kontraseptik
Anti hipertensi
Laxative
Cardiotonic
Anthelninthic
Insektisida
Anti kanker
Keterbelakangan
Amobelisida
CNS Stimulant
Tahun
2003
2010
Obat Modern
Permintaan
(Rp. trilyun)
17
37
Pangsa
pasar (%)
89,5
84,0
tidak terjamin, terutama simplisia impor untuk formulasi obat ekstrak dan nutraceutical. Oleh
karena itu salah satu arah pengembangan tanaman obat adalah untuk meningkatkan kualitas,
kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah seperti terlihat pada pohon
industri temu-temuan dan purwoceng.
Masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan TO untuk pelayanan kesehatan formal, sebagai
sumber devisa dan PDB di Indonesia adalah:
belum ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan TO obat resmi
dan salah satu sumber kesejahteraan rakyat,
belum ada program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan
dan pemanfaatan TO nasional ;
kurangnya koordinasi dan sin kronisasi program antar instansi pemerintah, swasta dan
litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien
Undang-undang kesehatan yang ada belum kondusif bagi pemanfatan TO dalam pelayanan
kesehatan formal.
Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang kuat, mandiri dan
berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia dibutuhkan
Kebijakan Nasional dan Keputusan Politik pemerintah pada level paling atas yaitu Presiden RI
dan jajaran birokrasi di bawahnya, yang didukung penuh oleh DPR dan seluruh masyarakat.
Kebijakan pemerintah tersebut diwujudkan dengan menyusun Program Nasional Pengembangan
Obat Bahan Alam, yang ditindak lanjuti oleh masing-masing pihak terkait, yaitu: Badan POM,
Depkes, Deptan, Dephut, Deperin, Depdag, Depdagri, Depag, Kementrian Ristek/BPPT, LIPI,
Pemda, Perguruan Tinggi, dunia usaha, petani maupun oleh berbagai organisasi yang terkait
dengan pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat lainnya. Target program tersebut adalah
menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan
alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020.
A. Strategi
Guna mencapai target yang telah ditetapkan di dalam Program Nasional Pengembangan Obat
Bahan Alam, maka perlu disusun Grand Strategi Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang
merupakan bagian dari Program Nasional tersebut, yang meliputi:
-
Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan,
Penetapan produk turunan dari tanaman obat unggulan dan bentuk industri pengolahannya,
akan digunakan sebagai acuan di dalam perencanaan program nasional pengembangan tanaman
obat.
C. Kebijakan
Untuk menjamin keberlangsungan agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat dari hulu
hingga ke hilir perlu dukungan kebijakan dari pemerintah agar citra, khasiat dan nilai tambah
pemanfaatan tanaman obat menjadi setara dengan obat-obatan sintetis. Dukungan kebijakan yang
dibutuhkan adalah sebagai berikut.
Keputusan politik pemerintah untuk menetapkan penggunaan obat bahan alami yang
bahan bakunya antara lain tanaman obat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan formal.
Amandemen dan revisi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang belum sejalan
dengan keputusan politik.
Penyusunan program nasional pengembangan obat bahan alam berbasis tanaman obat asli
Indonesia (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) secara terpadu, yang melibatkan
semua pihak terkait dari hulu sampai hilir.
Memanfaatkan kelembagaan yang ada khusus yang memiliki otoritas memadai yang akan
merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan program nasional.
Membangun dan melengkapi sarana dan prasarana pendukung : (a). Universitas yang akan
mendidik tenaga medis untuk pelayanan kesehatan dengan obat bahan alami, (b) Rumah Sakit
dan Apotek yang melayani masyarakat dengan obat bahan alami, (c) Jalan, transportasi dan
telekomunikasi ke daerah-daerah sentra produksi tanaman obat, (d) Bantuan modal untuk petani
dan pengusaha yang akan berusaha dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat
(temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) baik di hulu maupun di hilir.
Fasilitasi munculnya iklim usaha dan kemitraan yang sinergis dengan prinsip win-win
diantara para pelaku agribisnis dan agroindustri berbasis obat bahan alam di Indonesia.
PENUTUP
Kecenderungan masyarakat modern untuk kembali ke alam, telah mendorong peningkatan nilai
perdagangan produk-produk obat herbal atau fitofarmaka. Indonesia adalah negara kedua
terbesar keragaman hayatinya, tetapi pangsa pasarnya dalam perdagangan tanaman obat
tertinggal jauh dengan Malaysia dan Thailand. Peluang investasi agribisnis tanaman obat,
khususnya dari kelompok temutemuan seperti temulawak, kunyit, kencur, dan jahe, masih sangat
terbuka. Diperkirakan pada tahun 2010, pangsa obat tradisional domestik akan meningkat
menjadi Rp 7,2 triliun dari Rp 2,0 triliun tahun 2003. Kecenderungan yang sama terjadi di pasar
global. Di samping itu, nilai tambah rimpang menjadi simplisia mencapai 7 15 kali dan
pengolahan menjadi ekstrak mencapai 80 280 kali. Areal pengembangan yang sesuai tersebar
luas di berbagai daerah dan varietas unggul telah tersedia.
Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB dan penyumbang
devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi
sumber dayanya jauh lebih kecil. Trend back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di
dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara, yang juga telah memanfaatkan pasar Indonesia.
Nilai perdagangan obat herbal, suplemen makanan, nutraceutical dll di dunia pada tahun 2000
mencapai 40 milyar USD. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 60 milyar USD dan pada tahun
2050 diperkirakan menjadi 5 triliun USD dengan peningkatan 15% per tahun, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern hanya 3% per
tahun.
Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional (IOT), jumlah petani
dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend investasi ke depan, lima komoditas
TO yang potensial untuk dikembangkan adalah temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng.
Keempat jenis tanaman rimpang-rimpangan tersebut paling banyak digunakan dalam produk
jamu karena diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit (degeneratif, penurunan imunitas,
penurunan vitalitas). Purwoceng sangat potensial sebagai komplemen dan substitusi ginseng
impor dalam rangka menghemat devisa negara. Produk setengah jadi dari tanaman temulawak,
kunyit, kencur dan jahe adalah simplisia, pati, minyak, ekstrak. Produk industrinya adalah
makanan/minuman, kosmetika, sirup, instan, bedak, tablet dan kapsul. Produk setengah jadi
purwoceng adalah simplisia dan ekstrak produk industri dalam bentuk jamu seduh, minuman
kesehatan, pil atau tablet/kapsul.
Plasmanutfah tumbuhan obat Indonesia yang berlimpah adalah merupakan aset nasional bernilai
tinggi yang potensial untuk pengembangan industri agromedisin. Aset ini perlu dikelola dengan
bijaksana secara lestari untuk menghindari kelangkaan atau kepunahan suatu spesies tumbuhan
obat. Permintaan yang tinggi akan obat alami di dalam maupun di luar negeri merupakan
peluang besar yang menggiurkan namun harus tetap memperhatikan dan memprioritaskan
penyediaan bahan obat alami yang berkualitas, aman, dan bermanfaat. Menghadapi era pasar
bebas dan persaingan global, kemampuan ekspor berbagai komoditas tumbuhan obat akan
menghadapi persaingan yang lebih ketat.
DAFTAR PUSTAKA
Abel G, 1987, Chromosome-damaging effect of beta-asaron on human lymphocytes, Planta
Med., 53(3): 251-3.
Audi J, Belson M, Patel M, Schier J, Osterloh J., 2005, Ricin poisoning: a comprehensive
review, J Ameri can Medical Association, 294 (18): 2342-51.
Balittro 2001. Pengembangan agribisnis berbasis tanaman obat. Di dalam: Supriadi et al., editor.
Prosiding Seminar Nasional XIX Tumbuhan Obat Indonesia; Bogor, 4-5 Apr 2001. Bogor: Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor bekerjasama dengan Kelompok Kerja Nasional
Tumbuhan Obat Indonesia dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 3 5-50.
Basch E, Gabardi S, Ulbricht C, 2003, Bitter melon (Momordica charantia): a review of efficacy
and safety, Am J Health Syst Pharm., 60(4): 356-9.
Bolcskei H, Szantay C Jr, Mak M, Balazs M, Szantay C, 1998, New antitumor derivatives of
vinblastine, Acta Pharm Hung., 68(2): 87-93.
BPOM RI, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, http://pom .go. id/public/ h u
k u m _ peru n dan g a n/p df/ SK%20CPOTB(1).pdf, diakses Desember 2005.
Badan Penelitian dan Pengembangan, 2005. Prospek dan Aarah Pengembangan Agribisnis
Tanaman Obat. Jakarta: Deptan RI.
Darusman LK et al. 2004. Konsep Strategi Pengembangan Biofarmaka Indonesia. Di dalam:
Sumbang Saran Pemikiran Pengembangan Agribisnis Berbasis Biofarmaka. Bogor: Pusat Studi
Biofarmaka -LP IPB. hlm 47-71.
Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2004. Produksi, Luas Panen dan Produk tivitas Buah-buahan,
Sayuran, Tanaman Hias, dan Tanaman Obat Tahun 2003. Jakarta: Deptan. RI.
Ditjen POM. 1991. Laporan Tahunan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Tahun 1990/91.
Jakarta: Depkes. RI.
Ditjen POM. 2002. Laporan Tahunan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Tahun 2001/2002.
Jakarta: Depkes. RI.
Dorly, 2005. potensi tumbuhan Obat Indonesia dalam Pengembangan Industri Agromedisin.
Sekolah Pasca Sarjana IPB; Bogor.
Fang Y, Li L, Wu Q, 2003, Effects of beta-asaron on gene expression in mouse brain, Zhong Yao
Cai, 26(9) :650-2.
Garduno L, Salazar M, Salazar S, Morelos ME, Labarrios F, Tamariz J, Chamorro GA, 1997,
Hypolipidaemic activity of alpha asarone in mice, J Ethnopharmacol, 55(2):161-3.
Girini MM, Ahamed RN, Aladakatti RH, 2005, Effect of graded doses of Momordica charantia
seed extract on rat sperm: scanning electron microscope study, J Basic Clin Physiol Pharmacol.,
16(1): 53-66.
http://ridiah.wordpress.com/2010/06/13/%E2%80%9Dpospek-pengembangantanaman-obat-indonesia%E2%80%9D-kajian-potensi-indonesia-terhadap-pasarherbal-dunia/
APA ITU TANAMAN OBAT
Tanaman Obat adalah Obat Tradisional Indonesia yang sudah cukup dikenal sejak masa
prasejarah sampai masa sejarah yang ditandai prasasti batu bertulis kerajaan Kutai Kertanegara
pada abad ke 5, Kejayaan Sriwijaya, kejayaan Majapahit sampai dengan masa kesultanan
Mataram dan dilanjutkan dnegan masa penjajahan oleh VOC, obat kita adalah Tanaman Obat.
Penggunaan Tanaman Obat itu dengan Nenek Moyang kita telah membawa kesejahteraan dan
kejayaan selama berabad-abad yang ditandai dengan peninggalan sejarah seperti Borobudur
Prambanan, keraton-keraton dan sistem transportasi diselurh jawa dan pulau-pulau lain.
Perubahan terjadi baru pada abad 20 ketika itu berdiri Sekolah Dokter Jawa yang bernama
STOVIA tahun 1904 di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak itulah kita mulai belajar
tentang obat-obatan modern, obat-obatan barat dengan pendekatan kimiawi.
Adopsi pengobatan modern kedalam sistem pengobatan masyarakat terjadi bukan karena
permintaan masyarakat pribumi tetapi karena kebutuhan penduduk Belanda yang membutuhkan
tenaga dokter. Sedangkan pada saat itu kita masyarakat pribumi memiliki sistem pengobatan
sendiri yang sudah mencukupi, sama halnya dnegan masyarakat Tiong Hoa setempat yang sudah
juga memiliki penyembuhan sendiri.
Pada saat itu masyarkat kita yang terdidik sangat tertarik sekali dengan sesuatu yang bersifat
modern, maka segala sesuatu yang modern cendrung diadopsi dan hal-hal yang bersifat
tradisional cendrung ditinggalkan. Cara berpakaian kita cendrung berubah dari surjan
cendrung kekemeja, setelan Jas, Tulisan kita berubah dari hanacaraka menjadi huruf lain, tetapi
lebih dari itu bothekan, pipisan dan lumpang kita pun mulai ditinggalkan dan beralih keobatobatan modern. Semua resep-resep nenek moyang kita dibuang dan diganti dengahn nasehat
dokter yang berkualitas medis tekhnis. Meskipun kita bersyukur nasi rawon, gudeg, pecel
rendang, bajigur, wedang ronde tidak diganti sepenuhnya dengan hot-dog, pizza, dan coca-cola
serta joghurt.
Adopsi dibidang obat modern sungguh tidak terbatas sehingga bothekan telah terbuang entah
kemana. Motto Modern yang berkembang saat itu adalah : Orang yang sudah makan sekolahan
tidak pantas lagi untuk minum jamu. Obat herbal dianggap kuno, ketinggalan Jaman,
berbahaya, tidak higienis. Akibatnya obat herbal ditinggalkan sedemikian jauh sampai hampirhampir tidak dikenal lagi ! Terbukti banyak ibu-ibu sekarang sudah tidak kenal lagi dengan
Sambiloto, Tempuyung, Pegagan, dll.
Perhatian Besar sudah mulai berkembang pada dekade terakhir abad ke 20 yaitu semangat back
to nature dari dunia barat merasuki pola fikir negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pada perkembangan ini masyarakat mulai sadar bahwa obat modern yang pada umumnya obat
kimia itu memiliki kelemahan-kelemahan yang signifikan sementara pada sisi lain terdapat
kelebihan-kelebihan obat herbal.
Jika karena Tanaman Obat dianggap kuno, tidak ilmiah, tidak higienis, dan berbahaya tetapi
sekarang kenapa kita mulai memperhatikan tanaman obat ? Bahkan negara maju sendiri
mempelopori gerakkan-gerakan back to nature ! Gerakkan ini dulakukan didasari karena
kelemahan obat kimia itu sendiri yang bersifat kimia sintetis. Kelemahan yang paling utama
dirasakan adalah efek samping dari obat kimia itu sendiri. Efek obat kimia itu sendiri bahkan
sudah diketahui efek sampingnya dan terncantum dalam label atau brosur dan menjadi perhatian
oleh dokter dan apoteker itu sendiri.
Secara logis obat kimia berefek samping karena merupakan zat tunggal atau gabungan zat
tunggal yang murni karena pengertian dari obat konvensional adalah obat kimia tertentu yang
digunakan dalam proses pengobatan. Zat kimia murni tentu tidak cocok dengan tubuh yang
kompleks regulasi reaksi-reaksi kimia tertentu. Obat yang murni ini cendrung memodifikasi
reaksi-reaksi yang ada untuk mencapai tujuan pengobatan, tetapi sering terjadi modifikasimodifikasi yang menyimpang atau berlebihan. Hal inilah yang menimbulkan efek samping. Efek
samping jangka pendek tidaklah terlalu menakutkan karena dapat segera dikurangi atau
dihindari, tetapi efek samping jangka panjang seperti kerusakkan ginjal, kerusakkan liver, lemah
syahwat, dan berbagai tumor memang sangat menakutkan dan biasanya tidak reversible (tidak
bisa balik). Begitu pula masalah efektifitas pengobatan modern telah dikembangkan dengan
sarana penelitian yang luar biasa (bahkan tidak terbatas) dengan lembaga-lembaga pendidikan
yang maha besar dan termaju didunia dibanding bidang-bidang lain dan dilayani oleh orangorang terpandai didunia. Bayangkan anak-anak kita hampir semua bercita-cita menjadi seorang
dokter ! Tapi tidak sanggup mengatasi penyakit-penyakit sehari-hari seperti: Influenza,
hipertensi, diabetes, hepatitis, colitis dll. Tetapi dengan bangga para peneliti guru besar dan
dokter mengatakan belum ditemukan obatnya. Belum diketahui penyebabnya. Harus minum
obat seumur hidup. Tidak ada obat yang ampuh dan cukup aman, Stadiumnya sudah lanjut, Tidak
bisa lagi diobati. Pernyataan-pernyataan itu dikatakan dengan bukan rasa sesal dan maaf serta
bukan dnegan sikap rendah hati, tetapi sering dengan rasa bangga. Kemudian ini yang sering
membuat pasien kecewa dan tertegun, Apakah tidak ada alternatif lain ? Akhirnya pasien mulai
berfikir Bukankah Tuhan Menciptakan Manusia juga menyiapkan obatnya ? Bukan kah Tuhan
jauh lebih Bijaksana ?
Demikan pula dengan mahalnya harga obat kimia. Hal ini terjadi karena 82% bahan baku obat
dan sarana pendukung pembuat obat diperoleh dengan Import. Sementara pendapatan kita
diperoleh dengan susah payah diperoleh dalam rupiah, kita harus membayar obat yang bernilai
dollar. Akibatnya harga obat tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat kita. Untuk
sementara ditanggulangi dengan subsidi yang diberikan melalui Puskesmas, dan Rumah sakit
seta keringanan Pajak. Itupun masih banyak harga obat kita rasakan sangat mahal.
Kalau kita coba kembali pada kehebatan kekayaan alam bangsa ini terutama kekayaan alamnya
dalam hal ini adalah Tanaman Obat, yang referensi jenisnya terkaya nomor 2 didunia setelah
negara Brazil, maka perlu dikaji ulang pemanfaatannya yang sangat efektif dan relatif aman ini.
Tanaman obat memiliki kelebihan tertentu dibanding obat modern. Tentu efek sampingnya yang
snagat kecil. Secara formal berdasarkan pengujian toksisitas akut LD tanaman obat memang
umumnya tidak toksik, tetapi karena perbedaan individual bisa jadi orang-orang tertentu alergi
terhadap tanaman obat tertentu meskipun masih pada dosis aman. Selain itu toksisitas jangka
panjang memang banyak yang masih belum jelas, oleh karena itu untuk tanaman obat yang tidak
biasa digunakan sebagai makanan sebaiknya digunakan pada waktu sakit saja,sesudah sembuh
dihentikan. Dari pengalaman belasan tahun, ternyata efek samping tanaman obat pada dosis
normal memang tidak ada, kecuali pada orang-orang tertentu yang alergi.
Banyak orang mengasosiasikan tidak adanya efek samping ini dengan tidak adanya efektivitas.
Mereka ragu jika tidak ada efek samping apakah berarti memang tidak ada efektivitasnya? Pola
pikir ini keliru di dua hal. Pertama efektivitas obat herbal terjadi bukan oleh satu zat aktif tetapi
oleh resultan efek dari zat-zat aktif dan non aktif, atau bahkan resultan zat-zat yang seluruhnya
bukan zat aktif. Sementara efek samping pada obat kimia terjadi karena satu zat aktif yang
memodifikasi fungsi tertentu dalam tubuh. Modifikasi fungsi yang tidak dikehendaki atau
berlebih itulah yang menciptakan efek samping. Kedua, tiadanya efek samping dari obat herbal
adalah karena banyaknya zat yang terkandung dalam satu tanaman, sehingga setiap zat itu
konsentrasinya relatif kecil atau dosisnya relatif kecil. Berdasarkan prinsip paracelsus; dosis sola
fecit venenum, atau dosislah yang menentukan sesuatu menjadi racun, karena dosis setiap zat
dalam tanaman obat relatif kecil maka tidak toksik.
Kelebihan tanaman obat berikunya adalah harga yang relatif murah. Bisa menjadi sangat murah
jika bisa menanam atau mencari sendiri di kebun-kebun. Tetapi jika harus diperoleh dalam
bentuk simplisia tentu jadi lebih mahal. Tentu akan menjadi lebih mahal, jika sudah diolah, tetapi
umumnya tetap lebih murah jika dilihat efektifitasnya.
Selanjutnya sifat tanaman obat yang aman ini menyebabkan dalam penggunaannya tidak
dibutuhkan pengawasan yang ketat sehingga sering pengobatannya tidak dibutuhkan pengawasan
yang ketat dan tidak dibutuhkan bantuan tenaga medis atau para medis, tetapi cukup oleh
anggota keluarga sendiri jika diagnosa sudah jelas.
Dari uraian pemahaman kita bersama tentang aman serta efektifnya penggunaan Tanaman Obat
sebagai obat diatas, untuk itu adalah sesat jika secara filosofis jika kita berfikir Ketika Tuhan
menciptakan manusia, Tuhan telah menciptakan tempat hidup dan makanannya, tetapi Tuhan
lupa jika menciptakan obatnya, untuk menanggulangi kalau manusia sakit Pola fikir ini
menyebabkan orang menunggu-nunggu hasil penelitian karena difikir penelitian farmokologlah
yang akan akan menciptakan Obat !. Obat-obatan alam tidak dipercayai, tetapi obat-obatan yang
berlandaskan teori ilmiah dipercayai dan tidak terbantah.
Teori tentang Patologi penyakit dan tentang mekanisme kerja obat lebih menarik daripada
kenyataan bahwa pasien sembuh sehat wal afiat. Untuk itu kita harus terus belajar tentang
kehebatan Obat dari Allah yakni Obat alam agar pasien semakin merasakan keampuhan obatobatan alamiah ini dan mensyukuri keagungan Allah.
http://edi-prasetyo.blogspot.com/2010/01/apa-itu-tanaman-obat.html
Penyajian
Bahan baku yang digunakan dapat berupa bahan segar atau bahan kering. Untuk mempersiapkan
bahan baku perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1. Sudah betulkah tanaman/bahan baku yang diambil. Banyak tanaman yang memiliki nama
yang sama, tetapi tanamannya berbeda. Jika ragu-ragu perlu ditanyakan pada orang yang
mengetahuinya.
2. Bagian tanaman yang diambil perlu diteliti pada formula, apakah menggunakan daun, batang,
rimpang, akar, buah, dan lain-lain.
3. Di samping bagian tanaman, perlu diperhatikan ramuan tersebut menggunakan bagian yang
sudah tua atau yang masih muda. Buah yang muda banyak mengandung tanin. Buah yang cukup
tua, tetapi masih segar, taninnya sudah berkurang berubah menjadi zat lain. Daun yang masih
muda mempunyai kandungan kimia yang berbeda dengan yang tua.
4. Bahan baku yang digunakan sebaiknya dilakukan sortasi (pemilahan). Bahan yang sudah
busuk harus dipisahkan, kotoran seperti tanah, bagian tanaman lain yang terikut harus dibuang.
Setelah disortasi, bahan yang kotor dicuci terlebih dahulu. Jika diperlukan, bahan baku dikupas
atau dipotong sesuai keperluan.
5. Bahan baku yang sudah bersih dan ukurannya sudah sesuai, siap untuk diramu sesuai dengan
keperluan.
6. Air yang digunakan dapat menggunakan air bersih atau air minum (air matang atau melalui
penyaringan).
7. Alat yang digunakan sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak menimbulkan kontaminasi dan
tidak berbahaya bagi kesehatan. Logam, seperti besi, tembaga, dan timah sebaiknya dihindari.
Alat dari gelas, logam than karat, kayu, dan panci yang dilapisi email dianjurkan untuk dipakai.
8. Ukuran.
Bila kesulitan untuk memperoleh takaran yang sering digunakan di apotek atau di rumah sakit
dapat menggunakan ukuran yang sering digunakan di rumah tangga, seperti sendok dan gelas.
Ukuran untuk obat yang sering digunakan di apotek atau rumah sakit:
1 sendok teh setara dengan 5 ml
1 sendok makan setara dengan 20 ml
1 gelas setara dengan 200 ml
1 gelas anggur setara dengan 70 ml atau 150 ml
Jenis Pembuatan
1. PIPISAN (MIPIS)
Cara menyari dengan alat pipisan ini merupakan cara pembuatan obat tradisional khas Indonesia.
Cara ini biasanya digunakan untuk bahan baku segar (seperti daun, biji, bunga, rimpang) dan
jarang digunakan untuk bahan keras (kayu, klika, dan akar). Bahan yang telah dipilih dan telah
dibersihkan kemudian dihaluskan dengan bantuan sedikit air matang dengan alat pipisan.
Cara menghaluskannya mula-mula ditumbuk kemudian digerus. Masa yang sudah halus dan
mengandung air diperas melalui kalo (saringan dari anyaman bambu) atau kain kasa, hingga
diperoleh 1/4 cangkir jamu. Jika perasan belum mencapai 1/4 cangkir dapat ditambah air matang
secukupnya melalui ampasnya kemudian diperas lagi.
Jika diperlukan dapat ditambah garam sedikit, gula aren secukupnya, dan jeruk nipis. Jika tidak
memiliki alat pipisan, cara ini dapat dilakukan dengan blender.
2. SEDUHAN
Menyari bahan baku dengan cara menyeduh mirip dengan menyeduh teh. Bahan yang sering
digunakan antara lain daun, bunga, dan bahan lunak lainnya.
Bahan tersebut dipotong kecil-kecil dengan gunting atau dirajang dengan pisau. Untuk bahan
yang keras dapat juga digunakan cara ini, tetapi harus diserbuk terlebih dulu. Cara seduhan ini
dapat digunakan untuk takaran tunggal atau takaran sehari. Untuk pemakaian sehari, sisa harus
disimpan di tempat tertutup, jika memungkinkan di tempat sejuk (lemari es).
Serbuk yang sudah berjamur, dimakan serangga, atau sudah menggumpal, tidak boleh
digunakan.
Cara pembuatan:
Bahan baku yang digunakan dapat berupa bahan baku segar atau bahan yang sudah dikeringkan.
Sebelum diramu, bahan-bahan dipotong kecil-kecil atau diserbuk. Bahan tersebut kemudian
diramu sesuai dengan formula.
Cara penyiapan:
Ambil ramuan seperti yang tertera pada monografi, kemudian diseduh dengan 1/2 gelas (100 ml)
air panas (air yang diangkat setelah mendidih). Diamkan selama lebih kurang beberapa saat
hingga suhu air tahan dipegang dengan tangan (tidak terlalu panas lagi), kemudian saring bila
perlu. Jika diperlukan pula dapat ditambah garam, madu, gula aren, dan jeruk nipis.
3. INFUSA
Di Farmakope Indonesia Edisi I dikenal infusa dan dekokta, mulai Edisi II hanya dikenal infusa
saja. Cara penyarian dengan infusa dapat dilakukan untuk bahan segar ataupun bahan kering.
Selain bahan lunak, seperti daun dan bunga, infusa juga dapat dikerjakan untuk bahan keras,
seperti akar, ranting, kayu, dan klika.
Bahan lunak dididihkan menggunakan panci infusa selama 15 menit, sedangkan bahan keras
dididihkan selama 30 menit.
Cara penyarian dilakukan dengan cara mengambil 10 g ramuan seperti yang tertera pada
monografi bersangkutan, serta menambahkan air sebanyak 110 ml 120 ml dan didihkan selama
15 menit, kemudian saring dengan kain bersih dan peras. Jika diperoleh jamu lebih kurang dari
100 ml, tambahkan air mendidih dengan saringan hingga diperoleh 100 ml.
4. SERBUK
Serbuk umumnya dibuat dari bahan yang telah dikeringkan. Cara membuat serbuk ini ada dua
macam, yaitu sebagai berikut.
1. Setiap bahan diserbuk, kemudian dicampur sesuai dengan ramuan yang dikehendaki.
2. Bahan diramu terlebih dahulu, kemudian diserbuk.
Cara (1) biasa kita dapati pada jamu racikan. Bahan berupa serbuk masing-masing dimasukkan
dalam toples, jika diperlukan baru diramu.
Cara (2) umum digunakan, baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri. Di Indonesia
serbuk jamu mempunyai takaran tunggal antara 5 gram sampai 7 gram.
5. PIL
Pil merupakan upaya kepraktisan obat tradisional sehingga lebih mudah penyimpanannya dan
penggunaannya.
Cara pembuatannya:
bahan-bahan setelah diramu kemudian diserbuk sampai halus dan tercampur homogen. Serbuk
tersebut kemudian ditanak seperti nasi. Upaya tersebut di samping untuk membuat masa pil yang
lengket juga dimaksudkan untuk mensterilkan.
Terjadi masa pil, bahan tersebut dibulatkan dengan alat t atau dibulatkan dengan tangan yang
bersih. Berat pil a berkisar antara 150 mg dan 200 mg.
Takaran tunggal antara n 12 pil.
Sediaan pil jarang dijumpai pada obat tradisional Cina. Obat tradisional Cina bentuk boli sering
dibalut dengan bola lilin atau bola plastik. bungkusan dengan lilin tersebut bertujuan agar obat
tradisional tidak lekas rusak karena kadar air bolus semacam ini agak tinggi. Boli pada umumnya
agak lunak, dan dapat separo atau seperempatnya sesuai dengan takaran yang tertulis dalam
petunjuk. Beberapa industri obat tradisional Indonesia ada yang membuat produk tersebut,
produk tersebut disebut juadah atau majun.
6. KAPSUL
Pembuatan kapsul untuk keperluan sendiri dapat menggunakan serbuk bahan baku. Kapsul obat
tradisional untuk dijual, bahan baku yang diisikan harus berupa bahan ramuan yang sudah
diekstraksi, tidak boleh menggunakan bahan serbuk.
Cara ekstraksi:
bahan pelarut untuk proses ekstraksi dapat menggunakan air, etanol, atau campuran air dan
etanol. Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara perendaman (maserasi) atau pendidihan
(infundasi).
Cara maserasi:
Bahan ramuan direndam dalam pelarut biasanya campuran etanol air sama banyak, selama satu
sampai tiga hari. Hasil maserasi disaring, beningan ditampung dan diuapkan sampai kental.
Bahan yang sudah kental ditambah dengan tepung beras, diaduk sampai merata, dan dikeringkan
sampai kering. Ekstrak ini sudah siap untuk diisikan ke dalam kapsul.
Cara infundasi:
Bahan ramuan dididihkan dalam air selama 15 menit. Biasanya jumlah air yang diperlukan
antara tiga dan lima kali bahan ramuan. Hasil pendidihan kemudian disaring, beningan
ditampung dan diuapkan sampai kental. Bahan yang sudah kental ditambah dengan tepung beras
dan diaduk sampai homogen. Campuran tersebut kemudian dikeringkan sampai menjadi ekstrak
kering.
7. SIRUP
Sirup dapat dibuat dari infusa ramuan yang diperlukan kemudian dilarutkan pada gula atau
madu. Larutan gula atau madu selain memberikan rasa manis, juga memberi kalori, dan
mempunyai daya untuk mengawetkan jamu.
Cara pembuatan : 500 ml infusa dipanaskan, kemudian ditambah gula atau madu secukupnya
(lebih kurang 200 gram) lalu diaduk sampai larut. Setelah larut didinginkan kemudian dituang ke
dalam botol yang ukurannya sesuai.
Bila kita ingin mengkaji sejauh mana manfaat dari Jamu Tradisional Indonesia,
sepertinya akan menghabiskan bab demi bab yang begitu banyak mengurai bahanbahan alami jamu yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia.
Apalagi pengetahuan tentang pengobatan tradisional dengan jamu, sudah dikenal sejak
periode kerajaan Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Madhawapura
dari jaman Majapahit yang menyebut adanya tukang meramu jamu yang disebut
Acaraki. Pada relief candi Borobudur sekitar tahun 800 900 masehi, juga
menggambarkan adanya kegiatan membuat jamu.
Konon, pada zaman dahulu kala para selir raja yang jumlahnya bisa mencapai 40
orang. Saling berlomba mempelajari ilmu meracik jamu. Semakin bervariasi dan tinggi
ilmu yang dimilikinya terutama untuk urusan area V. Maka kemungkinan untuk
didatangi sang raja akan semakin sering. Hingga semakin berkembanglah metode dan
racikan jamu untuk menyenangkan kaum lelaki, bahkan akhir-akhir ini tampak semakin
menjamur salon V spa untuk ratus vagina yang memakai bahan dasar ramuan
tradisional jamu Indonesia.
Berikut adalah beberapa resep tradisional jamu Indonesia yang mungkin bisa menjadi
alternatif perawatan murah yang patut untuk dicoba, sebagai salah satu penghargaan
dan pelestarian kekayaan leluhur bangsa Indonesia.
1. Jamu Merapatkan Vagina
Bahan :
- 15 lembar daun sirih
- buah gambir
- Kulit pinang muda secukupnya
- Kapur sirih secukupnya
Cara Membuat:
Serpihkan kulit pinang dengan cara dicabuti, tumbuk gambir hingga halus dan ayak
kapur sirih hingga merata. Semua bahan dicampur jadi satu dalam air mendidih.
Diamkan beberapa jam hingga dingin dan mengendap.
Gunakan untuk membasuh area V pada pagi, siang dan malam hari untuk
mendapatkan kualitas vagina yang selalu dalam keadaan rapat bak perawan keraton
setiap saat.
Jika resep tersebut diatas terlalu ribet, berikut ada racikan sederhananya :
Ambil satu biji buah pinang, kupas dan hancurkan. masukkan dalam gelas dan tuang
dengan air panas setengah gelas. Tunggu sampai air hangat lalu diminum. Bisa
ditambah gula jawa atau gula putih untuk mengurangi rasa sepet-nya. Diminum 1 jam
sebelum bersenggama. Konon khasiatnya bisa menambah kemesraan dan tentunya
kelanggengan serta keharmonisan pasangan suami istri.
2. Mengencangkan wajah yang kusut
Bahan :
- gelas beras (rendam semalaman)
- ruas kunyit
- ruas bangle
- Air mawar
Cara Membuat :
Tiriskan rendaman beras lalu haluskan bersama kunyit dan bangle, campur dengan air
mawar hingga mengental. Usapkan ke wajah setiap malam sebelum tidur seperti
menggunakan masker, diamkan selama 15 s.d 30 menit. Basuh dengan air hangat
kuku. Lakukan rutin niscaya akan mendapatkan wajah yang kencang, segar dan awet
muda.
3. Menghilangkan Bekas Luka
Bahan :
- 50 gr beras (rendam selama 15 menit)
- 1 ruas Kencur
Cara Membuat :
Tiriskan beras dan tumbuk halus bersama kencur. Usapkan pada bekas luka dan
lakukan rutin selama 2 minggu. Niscaya bekas luka akan hilang tanpa bekas.
4. Penambah Darah
Jamu ini baik sekali di konsumsi oleh perempuan yang tengah menstruasi, untuk
mencegah kekurangan darah (anemia), serta menghindari keluhan letih dan lesu.
Bahan :
- 3 tangkai daun pepaya muda
- 1 biji temu ireng
Cara membuat :
Cuci bersih tangkai daun pepaya muda, tambahkan temu ireng lalu tumbuk hingga
halus. Beri segelas air matang lalu saring. Minum sehari sekali selama periode
menstruasi atau setelahnya. Alhasil akan mendapatkan tubuh yang segar, bugar dan
enerjik.
Semoga uraian tentang kekayaan dan manfaat Jamu Tradisional Indonesia bisa
menambah wawasan dan merubah wacana berpikir kita untuk beralih atau setidaknya,
tidak meninggalkan begitu saja warisan berharga para leluhur untuk kita wariskan dan
teruskan kepada anak cucu kita kelak.