Anda di halaman 1dari 22

Pajak Internasional dan Tax Amnesty

Dosen Pengampu: Arnita, S. H., M. H.

Disusun Oleh: Kelompok IV

1. Geubrina Mudhira (18051034)

2. Siti Maisarah (180510328)

3. Joni Sandika putra (180520162)

4. Widya Wulandari (190510107)

5. Wira Hadi Kesuma (180510236)

6. Mawar Liza (190510174)

7. Uswatul Hasanah (180510303)

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

2021
i
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Pajak
Internasional dan Tax Amnesty” ini dengan baik tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa yang
telah memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan makalah
ini, namun kami menyadari bahwa di dalam karya ilmiah yang telah kami susun ini masih
terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami juga sangat mengharapkan saran
serta masukan dari para pembaca. Akhir kata, kami berharap agar karya ilmiah ini bisa
memberikan banyak manfaat bagi para pembaca.

ii
Daftar Pustaka

Kata Pengantar.............................................................................................................................................i
Daftar Pustaka.............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah..........................................................................................................................1
2. Rumusan masalah....................................................................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
A. Pajak Internasional.................................................................................................................................5
A.1. Pengertian........................................................................................................................................5
A.2. Hukum Pajak Internasional..............................................................................................................5
A.3. Sistem Pajak Internasional di Indonesia...........................................................................................6
A.4. Dasar Hukum Pajak Internasional di Indonesia...............................................................................6
A.5. Penerapan Pajak Internasional.........................................................................................................7
a. Penyebab Terjadinya Pajak Berganda Internasional............................................................................8
b. Upaya Penghindaran Pajak Berganda Internasional.............................................................................8
c. Beberapa Permasalahan Dalam Perpajakan Internasional....................................................................9
d. Contoh Kasus Pajak Internasional.....................................................................................................10
B. Tax Amnesty.........................................................................................................................................10
B.1. Pengertian......................................................................................................................................10
B.2. Ketentuan Umum Tax Amnesty.....................................................................................................11
B.3. Asas dan Tujuan Tax Amnesty......................................................................................................12
B.4. Subjek dan Objek Tax Amnesty.....................................................................................................13
B.5. Tarif dan Periode Tax Amnesty.....................................................................................................13
B.6. Pertimbangan Tax Amnesty...........................................................................................................16
B.7. Jenis-Jenis Tax Amnesty................................................................................................................17
BAB 3 PENUTUP.....................................................................................................................................19
1. Kesimpulan............................................................................................................................................19

iii
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Setiap upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selalu membutuhkan dana
untuk pelaksanaannya. Pada dasarnya ada beberapa sumber yang bisa dijadikan sebagai upaya
untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, diantaranya adalah pajak, pinjaman luar negeri ataupun
investasi pihak ketiga serta sumber lainnya. Dari berbagai alternatif tersebut, pajak adalah sumber yang
paling “mandiri” dibandingkan sumber yang lain, karena sifatnya yang bisa diatur dan dikelola sendiri
oleh negara pemungutnya. Demikian pentingnya peranan pajak, maka segala upaya terus dilakukan
oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, baik yang
sifatnya intensifikasi, ekstensifikasi hingga modernisasi sistem perpajakan (Kesuma, 2016).

Pajak pada dasarnya adalah kewajiban yang harus dibayar oleh wajib pajak tanpa
mendapatkan kompensasi yang langsung dapat mereka nikmati, sehingga karena disebabkan
sifatnya yang merupakan kewajiban bahkan bisa dikatakan beban membuat wajib pajak “secara
naluri” berusaha untuk mengurangi, menunda bahkan berusaha untuk tidak membayar pajak.
Adanya pola sikap seperti ini yang berpotensi menghambat upaya pemungutan pajak. Meskipun
tidak bisa di generalisasi karena masih banyak juga wajib pajak yang penuh kesadaran menjalankan
kewajiban perpajakannya (Kesuma, 2016).

Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri dan
memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah
berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Adalah
merupakan suatu tujuan ekonomi dalam negara untuk memajukan perdagangan di tiap dan antar negara
serta  mendorong laju investasi. Dan setiap pemerintah suatu negara  berusaha untuk meminimalkan pajak
yang menghambat perdagangan investasi dimana salah satunya adalah dengan melakukan penghindaran
pajak berganda. Sehingga yang melatar belakangi suatu pajak internasional dapat disimpulkan sebagai
berikut : Indonesia adalah bagian dari dunia Internasional; dalam era globalisasi Indonesia perlu
menjalin hubungan dengan negara lain, mengadakan transaksi-transaksi lintas batas yang saling
menguntungkan dan mengizinkan entitas asing untuk melakukan kegiatan ekonomi dan memperoleh
penghasilan di Indonesia. Penghasilan entitas asing di dalam negeri bisa menjadi sumber pendapatan
pajak bagi Indonesia; Menurut benefit theory of taxation, pemajakan ini bisa dilakukan karena
terdapat hubungan (economic attachment) antara Indonesia sebagai negara sumber (Source
State) dengan aktivitas yang memberikan penghasilan tersebut. Penghasilan entitas asing di Indonesia

1
bisa menjadi sumber pendapatan perpajakan bagi negara domisili entitas asing tersebut, Negara yang
menjadi domisili entitas asing (residence state) juga berhak atas pajak penghasilan yang bersumber dari
luar negaranya karena terdapat keterkaitan antara negara-negara dengan subjek pajak dalam negerinya
(personal attachment). Maka diperlukan adanya perjanjian perpajakan internasional yang mengatur
pemajakan penghasilan entitas asing didalam negeri dan penghasilan entitas dalam negeri dari luar negeri
yang bertujuan adalah untuk menghindari terjadinya pemajakan berganda yang memberatkan wajib pajak
masing-masing negara.

Sehingga berbicara perpajakan internasional adalah  berbicara suatu permasalahan yang rumit dan
complicated karena mencakup hak pemajakan (taxing right) suatu negara. Karena masing-masing negara
sangat berkepentingan terhadap kebijakan perpajakan internasional yang baik yang dipilih oleh PBB
maupun OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Hal ini disebabkan karena
dalam menyusun Perjanjian Penghindaraan Pajak Berganda (Tax Treaty), maupun kebijakan Perpajakan
Internasional dalam UU Domestik, ada 2 (dua) ‘kiblat’ yaitu : United Nations (UN) Model dan OECD
Model.

Negara-negara berkembang umumnya memilih untuk menggunakan model PBB karena model ini
relatif memberikan hak pemajakan yang lebih luas pada Negara sumber. Sampai saat ini, pada umumnya
Negara-negara Berkembang masih banyak yang masuk dalam kategori Negara pengimpor, baik barang
maupun jasa. Impor jasa, menjadi masalah yang krusial, karena eksistensinya tidak senyata impor barang.
Padahal, nilai impor jasa yang dilakukan Negara-negara berkembang, jumlahnya sangat signifikan.
Karena itu, Negara-negara Berkembang sangat berkepentingan dengan pengertian Permanent
Establishment Karena tanpa BUT, Negara berkembang yang mengimpor jasa, tidak mempunyai hak
untuk memajaki penghasilan jasa yang diterima oleh Negara pengekspor jasa. Padahal penghasilan
tersebut bersumber dari Negara berkembang yang mengimpor jasa tersebut.

Namun pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami


perlambatan yang berdampak pada turunnya penerimaan pajak dan juga telah mengurangi
ketersediaan likuiditas dalam negeri yang sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Selain itu, banyak harta warga Indonesia yang ditempatkan di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, baik dalam bentuk liquid maupun non-liquid yang seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk menambah likuiditas dalam negeri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional (Husnurrosyidah et al., 2016). Walaupun terjadi penurunan penerimaan pajak, dalam
beberapa tahun terakhir ini, target penerimaan negara di sektor pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan negara yang utama. Jika kita lihat data terbaru sumber penerimaan negara dari sektor

2
pajak pada tahun 2016 mencapai 1.546,7 dari 1.822,5 atau sekitar 84,86% pendapatan Negara.
Angka ini menunjukkan penerimaan Negara di sektor pajak merupakan penerimaan terbesar dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Kementerian Keuangan, 2016).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, terdapat dua jenis perlawanan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
atau masyarakat yang dapat menghambat dalam upaya pemungutan pajak (Mardiasmo, 2016).
Perlawanan yang pertama adalah perlawanan pasif yang disebabkan karena perkembangan intelektual
masyarakat, sistem perpajakan yang sulit dimengerti dan kurangnya kontrol atas pelaksanaan pemungutan
pajak. Perlawanan yang kedua adalah perlawanan aktif yaitu usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak
untuk menghindari pajak, baik yang bersifat legal maupun yang bersifat ilegal. Apapun bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tentu akan berimbas pada terhambatnya upaya
pemungutan pajak yang akhirnya berujung pada tidak maksimalnya jumlah pajak yang bisa
dikumpulkan.

Demi mengurangi perlawanan tersebut, negara selalu berupaya untuk menyempurnakan


sistem perpajakan nasional. Proses pengembangan terus menerus dilakukan pemerintah, seperti
perbaikan sistem administrasi yang dipermudah, penyempurnaan undang-undang perpajakan,
peningkatan mutu petugas pajak, penyuluhan dan lain lain. Hal tersebut dilakukan supaya sistem
perpajakan tidak hanya berorientasi kepada potensi jumlah nominal pajak yang akan dihimpun tapi
juga memperhatikan aspek yang menggugah kesadaran dan kemauan masyarakat untuk membayar
pajak, sehingga diharapkan bahwa peraturan perpajakan yang baru lebih mudah dipahami dan
dilaksanakan oleh masyarakat.

Sejalan dengan hal itu, pemerintah melakukan pengoptimalan intensifikasi perpajakannya


dengan mengeluarkan program terbarunya yaitu Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty yang disahkan
pada tanggal 1 Juli 2016 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang
“Pengampunan Pajak”. Tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak
dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara
mengungkap Harta danmembayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no 11 tahun
2016. Dimana Tax Amnesty tahun 2016 merupakan tahun ketiga pelaksanaan program Tax Amnesty
di Indonesia.

Amnesti pajak merupakan kebijakan baru pemerintah di bidang perpajakan yang diharapkan
akan meningkatkan kemauan membayar pajak pada semua wajib pajak di masa yang akan datang.
Setelah kebijakan pengampunan berakhir akan diterapkan penegakan hukum bagi Wajib Pajak yang
tidak melakukan kewajiban perpajakannya, maka Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk lebih

3
terbuka atas kewajiban perpajakannya melalui kebijakan Amnesti Pajak. Upaya penegakan hukum
diterapkan berdasarkan informasi yang telah dimiliki selama pelaksanaan kebijakan pengampunan.
Tujuan yang diharapkan jika tax amnesty diimplementasikan yaitu akan dapat mendorong masuknya
dana-dana dari luar negeri yang dalam jangka panjang dapat digunakan sebagai pendorong
investasi yang pada gilirannya bermanfaat untuk mendorong perekonomian nasional.

2. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari pajak internasional, hukum pajak internasional dan sistem pajak internasional di
Indonesia ?

2. Apa pengertian dari tax amnesty, asas, tujuan, subjek,objek serta pertimbangan tax amnesty ?

4
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pajak Internasional

A.1. Pengertian
Pajak internasional merupakan kesepakatan perpajakan antarnegara yang mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Wina.
Persetujuan ini mengakibatkan peraturan pajak yang berlaku di suatu negara tidak berlaku atas penduduk
atau organisasi asing, apabila sudah disepakati perjanjian bilateral khusus antar kedua negara yang
memiliki kesepakatan tersebut. Pajak internasional merupakan aspek perpajakan yang tidak lahir begitu
saja. Hal ini diatur dan disepakati oleh negara-negara yang mengadakan transaksi. Guna dari kesepakatan
ini untuk meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, menghilangkan hambatan dalam
investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak dari kedua
negara.

Pada umumnya terdapat dua faktor yang mempengaruhi ketentuan pajak internasional suatu
negara, di antaranya: 

1. Personal Connecting Factor

Faktor penghubung yang mengaitkan hak pajak suatu negara berdasarkan status subjek pajak
negara tersebut. Untuk subjek pajak orang pribadi ketentuannya berdasarkan kriteria tempat
tinggal atau keberadaan. 

2. Objective Connecting Factor

Mengaitkan hak pajak suatu negara berdasarkan keberadaan aktivitas ekonomi atau objek pajak
terhubung dengan daerah teritorial suatu negara. Pemberlakuannya diatur dalam hukum pajak
internasional.  

A.2. Hukum Pajak Internasional


Berdasarkan kesepakatan negara-negara di Eropa Barat atau negara Anglo Sakson, istilah hukum
pajak internasional sendiri dibagi menjadi :

1) Hukum pajak nasional yang mengatur hukum pajak luar negeri (National External Tax Law)

5
National External Tax Law adalah hukum pajak yang memuat ketentuan mengenai pengenaan pajak yang
mempunyai kekuatan hukum sampai di luar batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik
mengenai sumber pajak yang ada di luar negeri maupun subjek pajak yang ada di luar negeri.

2) Hukum pajak luar negeri (Foreign Tax Law)

Keseluruhan perundang-undangan dan peraturan pajak dari negara yang ada di seluruh dunia.

3) Hukum pajak internasional (International Tax Law)

International tax law merupakan kaidah pajak yang didasarkan pada hukum antar negara dan diterima
baik oleh negara-negara di dunia untuk mengatur perpajakan antar negara yang memiliki kepentingan.

A.3. Sistem Pajak Internasional di Indonesia 


Sebagai negara yang menjalin hubungan dengan negara lain, Indonesia tidak terhindar untuk
mengadakan berbagai macam transaksi seperti aktivitas impor, ekspor, serta beragam aktivitas lainnya
yang masuk ke kategori kegiatan perdagangan internasional. Transaksi ini akan mengakibatkan penduduk
dari salah satu negara akan memperoleh penghasilan. Atas transaksi antar negara ini maka dikenakan
pajak internasional. Indonesia juga merupakan subjek hukum internasional karena telah mengikuti dan
menandatangani Konvensi Wina. Konvensi internasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat antar
negara yang ikut menandatangani kesepakatan tesebut. Oleh karena itu, jika Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B), hal ini terjadi bukan saja karena keinginan dari pihak Indonesia sendiri melainkan
ada asas timbal balik dan keinginan yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian.

Berbicara tentang pajak internasional di Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku hanya
terbatas pada subjek dan objek pajak yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap
orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak
dikenakan pajak berdasarkan dasar hukum yang dimiliki Indonesia. Namun pajak internasional dapat
berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan
yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomi atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.  

A.4. Dasar Hukum Pajak Internasional di Indonesia 


Pajak internasional yang diberlakukan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam beberapa peraturan
perpajakan nasional, di antaranya :

1) Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda  (Pasal 32 A
Undang Undang PPh) mengenai pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan

6
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.
2) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak termasuk Subjek Pajak.
3) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT).
4) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Bilamana terdapat
Ketidakwajaran dalam Perpajakan.
5) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri.

A.5. Penerapan Pajak Internasional


Untuk memudahkan dalam pemahaman tentang pajak internasional khususnya  ditinjau dari
Subjek dan Objek Pajak, maka  dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) pandangan yaitu :

1. Taxing Inbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang memperoleh
penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
2. Taxing Outbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang memperoleh
penghasilan yang bersumber dari dalam negeri

Kita mengetahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak terhadap setiap
penghasilan setiap individu dan terdapat “connecting factors” antara Negara dengan suatu
transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. Dalam Undang- Undang pajak menerapkan
dua prinsip berdasarkan “connecting factors” tersebut yaitu :

 Residence Principle (Azas Residensi), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu
atau badan) karena terdapat “personal attachment”, seperti: residensi, domisili, kewarganegaraan,
tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen. (Worldwide Income)
 Source Principle (Azas Sumber), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau
badan) karena terdapat “economic attachment” yaitu penghasilan yang bersumber di Negara
tersebut.

Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional yang salah satunya dikemukakan oleh
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan
internasional, yaitu:

1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak
yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar

7
negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena
menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit
pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimana pun investasi berasal,
dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan
dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak
pemajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya
pengurang laba.

a. Penyebab Terjadinya Pajak Berganda Internasional


Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya
prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari
dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak).
Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh
negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak
oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara
residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang
dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan
dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.

Bentrokan klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-
sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena
pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu
dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga
Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada
Indonesia maupun Singapura.

b. Upaya Penghindaran Pajak Berganda Internasional


 Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B): yaitu perjanjian antara 2 negara
untuk menghindari pajak berganda untuk memajukan investasi antara 2 negara tersebut. Untuk
active income, Biasanya negara sumber hanya berhak memajaki penghasilan dari cabang (BUT)
dan penghasilan dari aset tak bergerak yang berhasil dari negara sumber tersebut. Bila ekspor-

8
impor biasa tanpa BUT maka negara sumber tidak bisa memajaki. Penghasilan pegawai hanya
boleh dipajaki bila melewati time-test atau dibayar oleh WPDN ataupun BUT. Untuk passive
income seperti deviden, bunga dan royalti, kedua negara berhak memajaki namun terdapat
pengurangan tarif.
 Kredit Pajak Luar Negeri: Yaitu jumlah pajak yang dibayarkan di luar negeri dapat dijadikan
pengurang pajak penghasilan secara keseluruhan. Di Indonesia diatur dalam UU PPh pasal 24.
Dimana kredit pajak luar negeri hanya sebatas: Penghasilan LN/(Semua penghasilan LN dan DN)
x PPh terutang untuk semua penghasilan.

c. Beberapa Permasalahan Dalam Perpajakan Internasional


1. Transfer Pricing : Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan
hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan
dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya
lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban
bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A
punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang
tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga
laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal
bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah
ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18
dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan
DER (Debt Equity Ratio).
2. Treaty Shopping : Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun
malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana.
Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty Shopping diredam dengan
ketentuan beneficial owner (penerima manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model
OECD maupun PBB sehingga tax treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya
adalah residen di negara yang menandatangani tax treaty.
3. Tax Heaven Countries : Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti
tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-
negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK
No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong,
Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional,
pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-

9
gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18.
Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty.

d. Contoh Kasus Pajak Internasional


PT Mitra Bersama sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelatihan di
Indonesia, menggunakan jasa konsultan perusahaan asal Amerika dan membayar Management Fee
sebesar Rp300 juta dengan lama pekerjaan 80 hari pada tahun 2019. Berdasarkan contoh kasus ini,
bagaimana pajak atas transaksi PT Mitra Bersama? Apakah perusahaan konsultan asal Amerika itu
dikenakan pajak?

Jika mengacu pada PPh Pasal 26, transaksi PT Mitra Bersama harus dipotong sebesar 20%.
Namun sebelumnya, PT Mitra Bersama harus melihat terlebih dahulu penerapan tax treaty antara
Indonesia dan Amerika. Pada Pasal 5.2.j dalam Treaty Indonesia dengan Amerika, menyebutkan bahwa :
“Istilah ‘Bentuk Usaha Tetap’ meliputi namun tidak terbatas pada: (j) pemberian jasa-jasa, termasuk jasa
konsultasi, melalui pegawai atau orang lain untuk tujuan tersebut, namun hanya jika kegiatan-kegiatan
tersebut berlangsung (untuk proyek yang sama atau yang berhubungan) lebih dari 120 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, sepanjang tidak terdapat suatu bentuk usaha tetap pada tahun pajak di mana jasa-jasa
tersebut dilakukan di negara tersebut untuk suatu masa atau masa-masa yang keseluruhannya kurang dari
30 hari pada tahun pajak itu.” Mengingat kerja sama antara PT Mitra Bersama dengan perusahaan
konsultan asal Amerika itu berlangsung selama 80 hari, maka jasa tersebut tidak dikenakan PPh Pasal 26.
Meskipun nihil, PT Mitra Bersama tetap harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 atau 26 sesuai dengan
peraturan yang berlaku.

B. Tax Amnesty

B.1. Pengertian
Tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta
danmembayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no 11 tahun 2016. Dimana Tax
Amnesty tahun 2016 merupakan tahun ketiga pelaksanaan program Tax Amnesty di Indonesia.
Program Tax Amnesty ini dilaksanakan atas dasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2016, dimana program Tax Amnesty ini merupakan bagian dari program Intensifikasi Pajak yang
melakukan peningkatan penerimaan pajak penghasilan terkait dengan perluasan objek pajak. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 ini menjelaskan tentang pengertian Tax

10
Amnesty, Wajib Pajak yang berhak mengikuti Tax Amnesty, nilai Harta dan Utang yang bisa
mengikuti Tax Amnesty, lama periode Tax Amnesty berlangsung, besar tarif tebusan yang berlaku serta
tata cara pelaporan Surat Pernyataan Harta.

B.2. Ketentuan Umum Tax Amnesty


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Bab I Ketentuan Umum
dijelaskan sebagai berikut : Pasal 1

1) Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai
sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara
mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
2) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
3) Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan
untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan
perolehan Harta.
5) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
6) Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi berdasarkan Surat Tagihan
Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak
dikembalikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
7) Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan
Pengampunan Pajak.
8) Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

11
9) Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat
Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan Harta,
Utang, nilai Harta bersih, serta penghitungan dan pembayaran Uang Tebusan.
10) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan
negara.
11) Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Keterangan
adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti pemberian Pengampunan Pajak.
12) 12. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang selanjutnya disebut SPT
PPh Terakhir adalah:

a. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak
yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember 2015;
atau b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 bagi Wajib
Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30
Juni 2015.

13) Manajemen Data dan Informasi adalah sistem administrasi data dan informasi Wajib Pajak
yang berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang dikelola oleh Menteri.

14) Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima setoran
penerimaan negara dan berdasarkan Undang-Undang ini ditunjuk untuk menerima setoran
Uang Tebusan dan/atau dana yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.

15) Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015
sampai dengan 31 Desember 2015.

B.3. Asas dan Tujuan Tax Amnesty


Pelaksanaan program Tax Amnesty ini memiliki beberapa asas dan tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tax Amnesty
dilaksanakan berdasarkan asas:

a) Kepastian hokum;
b) Keadilan;
c) Kemanfaatan; dan
d) Kepentingan nasional.

12
Selain itu Tax Amnesty memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu sebagai berikut:

a) Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang


antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar
Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;
b) Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta
perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi; dan
c) Meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan
pembangunan.

B.4. Subjek dan Objek Tax Amnesty


Setiap program perpajakan akan selalu ada pihak dimana menjadi subjek atau objek pajaknya,
begitu juga program Tax Amnesty. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Bab III
Subjek dan Objek Pengampunan Pajak menjelaskan bahwa: Pasal 3

1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.


2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak
melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang
sedang: a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh
Kejaksaan; b. dalam proses peradilan; atau c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana
di Bidang Perpajakan.
4) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas
kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum
sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak.
5) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas kewajiban:
a. Pajak Penghasilan; dan b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

13
B.5. Tarif dan Periode Tax Amnesty
Besaran tarif tebusan yang berlaku serta jangka waktu berlakunya Tax Amnesty dijelaskan
secara mendetail oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2016 pada Bab IV Tarif
dan Cara Menghitung Uang Tebusan, yaitu: Pasal 4

1. Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung
sejak dialihkan, adalah sebesar:

a) 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai
dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
b) 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c) 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari
2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

2. Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:

a) 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama
sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- Undang ini mulai berlaku;
b) 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat
terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016;
dan
c) 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal
1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

3. Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir adalah
sebesar:

a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau

b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan.

14
Untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai
berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Pasal 5 ;

1) Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan.
2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai
Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta
dikurangi nilai Utang.

Pasal 6 ;

1) Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi: a. nilai Harta yang telah dilaporkan
dalam SPT PPh Terakhir; dan b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya
dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.

2) Nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata
uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.

3) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta yang telah dilaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan
kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun
buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir.

4) Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai nominal untuk
Harta berupa kas atau nilai wajar untuk Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir.

5) Dalam hal nilai Harta tambahan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta
tambahan ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan: a. nilai nominal untuk Harta
berupa kas; atau b. nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk Harta selain kas, Dengan
menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir
Tahun Pajak Terakhir.

Pasal 7 ;

15
1) Nilai Utang yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi: a. nilai Utang yang telah dilaporkan
dalam SPT PPh Terakhir; danb. nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.

2) Untuk penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan, besarnya nilai Utang yang berkaitan secara
langsung dengan perolehan Harta tambahan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta
bagi: a. Wajib Pajak badan paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai Harta
tambahan; atau b. Wajib Pajak orang pribadi paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari
nilai Harta tambahan.

3) Nilai Utang yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam
mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.

4) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Utang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri
untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh
Terakhir.

5) Nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam daftar Utang pada akhir
Tahun Pajak Terakhir.

6) Dalam hal nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b ditentukan dalam mata uang selain Rupiah, nilai Utang ditentukan dalam mata uang
Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak
pada akhir Tahun Pajak Terakhir.

B.6. Pertimbangan Tax Amnesty


Menurut Riadi (dalam Devano, 2006:137-138) dalam menerapkan pengampunan pajak,
terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemerintah, yaitu:

1. Underground Economy. Bagian dari kegiatan ekonomi yang sengaja disembunyikan untuk
menghindarkan pembayaran pajak, yang berlangsung di semua negara, baik negara maju maupun
negara berkembang. Kegiatan ekonomi ini lazimnya diukur dari besarnya nilai ekonomi yang
dihasilkan, dibandingkan dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Kegiatan ekonomi bawah tanah ini

16
tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak
Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan pajak (tax evasion).

2. Pelarian modal ke luar negeri secara ilegal. Kebijakan Tax Amnesty adalah upaya terakhir
pemerintah dalam meningkatkan jumlah penerimaan pajak, ketika pemerintah mengalami kesulitan
mengenakan pajak atas dana atau modal yang telah dibawa atau di parkir di luar negeri.
Perangkat hukum domestik yang ada memiliki keterbatasan sehingga tidak dapat menjangkau Wajib
Pajak yang secara ilegal menyimpan dana di luar negeri.

3. Rekayasa transaksi keuangan yang mengakibatkan kehilangan potensi penerimaan pajak.


Kemajuan infrastruktur dan instrumen keuangan internasional seperti yang disebut sebagai tax
heaven countries telah mendorong perusahaan besar melakukan illegal profit shifting ke luar negeri
dengan cara melakukan rekayasa transaksi keuangan. Setelah itu, keuntungan yang dibawa ke luar
negeri sebagian masuk kembali ke Indonesia dalam bentuk pinjaman luar negeri atau investasi
asing. Transaksi tersebut disebut pencucian uang (money laundry). Ketentuan perpajakan domestik tak
mampu memajaki rekayasa transaksi keuangan tersebut. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka
timbul potensi pajak yang hilang dalam jumlah yang signifikan. Tax Amnesty diharapkan akan
menggugah kesadaran wajib pajak dengan memberikan kesempatan baginya untuk menjadi wajib pajak
patuh.

B.7. Jenis-Jenis Tax Amnesty


Menurut Riadi (dalam Sawyer, 2006) menyebutkan beberapa tipe pengampunan pajak
atau Tax Amnesty, yaitu:

1. Filling amnesty. Pengampunan yang diberikan dengan menghapuskan sanksi bagi Wajib Pajak yang
terdaftar namun tidak pernah mengisi SPT (non-filers), pengampunan diberikan jika mereka mau mulai
untuk mengisi SPT.

2. Record-keeping amnesty. Memberikan penghapusan sanksi untuk kegagalan dalam memelihara


dokumen perpajakan di masa lalu, pengampunan diberikan jika Wajib Pajak untuk selanjutnya
dapat memelihara dokumen perpajakannya.

3. Revision amnesty. Ini merupakan suatu kesempatan untuk memperbaiki SPT di masa lalu tanpa
dikenakan sanksi atau diberikan pengurangan sanksi. Pengampunan ini memungkinkan Wajib Pajak
untuk memperbaiki SPT-nya yang terdahulu (yang menyebabkan adanya pajak yang masih harus

17
dibayar) dan membayar pajak yang tidak (missing) atau belum dibayar (outstanding). Wajib Pajak tidak
akan secara otomatis kebal terhadap tindakan pemeriksaan dan penyidikan.

4. Investigation amnesty. Pengampunan yang menjanjikan tidak akan menyelidiki sumber


penghasilan yang dilaporkan pada tahun-tahun tertentu dan terdapat sejumlah uang pengampunan
(amnesty fee) yang harus dibayar. Pengampunan jenis ini juga menjanjikan untuk tidak akan
dilakukannya tindakan penyidikan terhadap sumber penghasilan atau jumlah penghasilan yang
sebenarnya. Pengampunan ini sering dikenal dengan pengampunan yang erat dengan tindak pencucian
(laundering amnesty).

5. Prosecution amnesty. Pengampunan yang memberikan penghapusan tindak pidana bagi Wajib
Pajak yang melanggar undang-undang, sanksi dihapuskan dengan membayarkan sejumlah kompensasi.

18
BAB 3 PENUTUP

1. Kesimpulan

Jadi secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak internasional merupakan sistem
perpajakan yang ditetapkan antar negara yang memiliki kesepakatan bilateral. Ketentuan dan tarifnya juga
ditentukan oleh kedua belah pihak yang memiliki kepentingan. Kesepakatan tersebut dibuat untuk
meningkatkan perekonomian suatu negara dan mengurangi hambatan investasi. Ada dua faktor yang
mempengaruhi pajak internasional di suatu negara yaitu dari status subjek pajak dan objek pajak di suatu
negara. Penerapan pajak internasional tidak lepas dari hukum pajak internasional. Sedangkan untuk
penerapan pajak internasional secara spesifik untuk wilayah Indonesia diatur dalam beberapa Peraturan
Perpajakan Nasional.

2. Saran

19

Anda mungkin juga menyukai