Anda di halaman 1dari 17

SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx

ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

Kedatangan Fundamentalis Islam Selaku Fenomena Kekalahan Politik Barat

Oleh : Ilham Panggabean, M. Ahdavi, Marzuki

ilhampgb1509@gmail.com

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Abstrak

Islam merupakan agama yang mengajak kepada perdamaian. Dakwah Islam


yang utama adalah perdamaian serta kasih cinta. Tetapi amat bertolak balik jika Islam
tetap dinisbatkan kepada bermacam wujud kekerasan yang terjalin dikala ini.
Kekerasan itu timbul bersamaan dengan timbulnya dan bertumbuhnya mengerti
fundamentalis di golongan pemeluk berkeyakinan. Serta setelah itu menabur alhasil
masuk pula dalam ranah agama Islam. Hingga postingan ini hendak mangulas hal
karena kedatangan atas uraian itu antara lain dari kekalahan politik Barat.

Kata kunci: Nilai kemanusiaan; kekerasan politik; terorisme; masyarakat religious;


kebenaran Alkitab

Abstract

Islam is a religion that calls for peace. The main Islamic da'wah is peace and
love. But it is quite the opposite if Islam is still attributed to the various forms of
violence that occur today. This violence coincided with the emergence and growth of
fundamentalist understanding in the group of believers. And after that sowing
eventually entered the realm of Islam. Until this post is about to discuss things because
of the arrival of that description, among others, from Bara's political defeat.

Keywords : Human values; political violence; terrorism; religious community; bible


truth

PENDAHULUAN
Agama Islam termasuk agama terbesar kedua di dunia dengan pertumbuhan
yang cepat yang jumlahnya saat ini mencapai 1,3 hingga 1,5 miliar di dunia. Andrew
Heywood (2016) menyebutkan, kekuatan Islam terkonsentrasi di Asia dan Afrika dan
dengan cepat tersebar di Amerika dan Eropa. Islam tidak hanya sekedar agama saja,
namun juga memiliki tuntunan hidup yang lengkap dengan perintah tentang perilaku
moral, ekonomi dan politik baik itu bagi individu maupun bangsa. Namun, dalam diri
umat Islam sendiri terjadi perbedaan pendapat mengenai bentuk negara ideal saat ini,
khususnya yang berbicara soal Islam dan negara. Pada pemikirn politik Islam modern
memiliki tiga bentuk tipologi Islam dan negara. Pertama, tipologi hubungan organik,
dimana menurut kelompok ini, agama Islam dianggap sebagai agama sekaligus negara

1
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

serta menempatkan Islam selaku agama sempurna mengatur semua aspek hidup
manusia, termasuk ke dalam kehidupan politik. Hubungan Islam dan negara bersifat
organik dimana negara didasarkan pada Syariat Islam. Kedua, tipologi sekuler yang
menyebutkan, Islam sebagai agama murni sama dengan agama lain yang tidak
mengajarkan bernegara dan bermasyarakat, maka dipisahlah negara dengan agama.
Ketiga, tipologi moderat yang menolak klaim ekstrem Islam yang mengklaim Islam
agama lengkap, serta juga menolak klaim sekuler yang menyebut Islam tidak memiliki
kaitan pada politik. Menurut kelompok ini, Islam memiliki asas moral serta etika dalam
bernegara. Dengan begitu, umat dapat memilih sistem terbaik yang ada (Kamil, 2013).
Salah satu kelompok yang memiliki pandangan sendiri tentang Islam dan negara
adalah fundamentalis Islam yang tampak dari pemikiran para tokohnya. Fundamentalis
Islam sendiri dibagi menjadi dua kelompok yaitu fundamentalis tradisional dan
modernis. Kalangan tradisional menekankan untuk kembali pada Al-Qur‟an Hadis yang
dimplementasikan di kehidupan setiap harinya. Menurut mereka, hanya Al-Qur‟an serta
Hadistlah sumber pokok Islam. Tampak dari gerakan pada Islam Klasik serta
Pertengahan dengen dipelopori oleh Ahmad bin Hanbal (780-855 M), Muhammad bin
Abdul Wahab (1703-1792 M) serta Ahmad Sirhindi (1564-1624 M). Mereka juga
mengkritik penguasa Islam yang lebih mengakomodasi tradisi non-Islam, praktik tarekat
dan taqliq buta. Bahkan, kelompok ini cenderung sulit penerimaannya atas pemahaman
Islam yang datang dari luar kelompoknya. Sedangkan fundamentalis modernis lebih
condong kepada usaha dalam menjawab tantangan modernitas. Kelompok ini
menampilkan Islam sebagai alternatif untuk menghadapi ideologi sekuler modern
contohnya nasionalisme, marxisme serta liberalisme. Tokohtokohnya yaitu Hasan Al-
Banna (1906-1949 M), Taqiyuddin An-Nabhani (1914-1977) dan Abul A‟la Al-
Maududi (1903-1979) (Afrohah, 2018). Islam sebagai alternatif tersebut nantinya juga
terlihat bagaimana kelompok ini melihat negara yang ideal.
Pandangan fundamentalis modernis inilah yang pada penelitian ini dianalisis
lebih mendalam lagi dengan melihat bagaimana negara ideal dalam pemikiran tokoh-
tokohnya seperti Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Taqiyuddin An-Nabhani (1914-
1977) dan Abul A‟la Al-Maududi (1903-1979), karena sebelumnya dapat diketahui
bahwa Islam sendiri terdapat berbagai pandangan mengenai negara ideal itu sendiri. Di
samping itu, penelitian ini juga melihat persamaan dan perbedaan pemikiran dan

2
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

tindakan antar ketiga tokoh tersebut, serta melihat relevansi pemikiran mereka tentang
negara idela dengan kondisi Indonesia saat ini.
Penelitian mengenai fundamentalisme Islam sudah banyak dilakukan oleh
peneliti lain, seperti Afrohah (2018), Nor Huda Ali (2016), dan Abdurrohman Kasdi
(2018). Afrohah (2018) dalam tulisannya “Fundamentalisme: Korelasi Ideologi
Fundamentalis dengan Ideologi Gerakan Islam Modern” lebih menjelaskan soal
bagaimana korelasi antara fundamentalis dengan berbagai gerakan Islam modern. Ali
(2016) dalam penelitiannya “Gerakan Fundamentalisme Islam di Indonesia: Persepktif
Sosio-Histori” lebih meneropong tentang bagaimana fundamentalisme bisa masuk ke
Indonesia, serta melihat bahwa funamentalisme tidak selalu radikal yang terlihat dalam
politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Kasdi (2018) dalam tulisannya
“Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Pusaran Krisis Politik di Timur Tengah”
lebih menjelaskan peran dan posisi fundamentalisme dalam konflik di Timteng.
Adapun penelitian ini, lebih melihat dan menganalisis pemikiran fundamentalis
moderat dengan menggali pemikiran Hasan Al-Banna, Abul A‟la Al-Maududi dan
Taqiyuddin An-Nabhani tentang negara ideal. Tidak hanya membahas soal akar dan
sejarah dari fundamentalisme Islam itu sendiri, tetapi juga menganalisis persamaan dan
perbedaan pemikiran dan praktik dari ketiga tokoh tersebut, serta relevansinya dengan
kondisi Indonesia saat ini.NDAHULUAN Fundamentalisme adalah gerakan dalam
agama Protestan Amerika, di mana mereka memprioritaskan kebenaran Alkitab, bukan
hanya di dalam bidang keimanan dan akhlak, melainkan sebagai bukti catatan sejarah di
mana kebenaran tentang kenabian ditulis, sebagai contoh peristiwa kelahiran Kristus
dari seorang ibu yang masih perawan (Marsden, 1984). Fudamentalisme mencerminkan
sebuah perlawanan terhadap Gereja Ortodox yang menentang terhadap Sains modern,
tatkala disadari bahwa Bibel mengingkari terhadap segala phenomena ataupun riwayat-
riwayat yang telah diceritakan (Marsden 2006 ; Wibisono 2020).
Namun fundamentalisme mempunyai rekam jejak rekam yang sangat
mengerikan (Allitt, 2003). Para fundamentalis cenderung berwatak keras bahkan tidak
jarang bahwa fundamentalisme menjadi akar terbentuknya tindakan dan pemikiran
terorisme. Dan pastinya perbuatan yang dilakukan oleh kaum fundamentalis sangat
bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh agama. Sebagai contoh dari tindakan
tersebut diantaranya peristiwa mematikan terror gedung kembar WTC (Syah & Setia,
2021), kemudian peristiwa pemboman dan penembakan Jemaah muslim yang sedang

3
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

melaksanakan shalat jumat di masjid al-Raudah di Sinai Mesir, ataupun pelengseran


para pemimpin dari suatu Negara yang dianggap sesat karena tidak sejalan dan
sepemikiran denganmereka dan masih banyak peristiwa lainnya (Setia &
Rahman,2021). Peristiwa ini dihubungkan juga dengan gerakan fundamentalisme yang
berkembang di negara tersebut.
Fundamentalisme awalnya digunakan untuk mulanya sebagai perlawanan
terhadap modernitas dan membela ajaran ortodoksi agamanya. Namun istilah tersebut
juga digunakan untuk pemeluk agama lain yang memiliki, sehingga ada juga
fundamentalisme Islam, Hindu dan Budha. Dari pergerakan tersebut, kesemuanya
mempunyai karakteristik yang sama yaitu identik dengan karakter yang keras dan
cenderung anarkis bahkan tidak sedikit mengarah kepada tindakan teroris dan siap
untuk melakukan segala tindakan jika itu diperlukan. Fundamentalisme selalu
berkonotasi negatif. Karena fundamentalisme sebagai pola pemikirannya cenderung ke
arah absolutisme dan dalam gerakannya cenderung intoleran, eksklusif dan bahkan
terkadang destruktif (Fauzan, 2010).Dikutip dari jurnal Abu Bakar yang berjudul
‘Teologi Fundamentalisme’, beliau menyebutkan bahwa Fundamentalisme dapat dilihat
dari empat Sudut pandang: Pertama, fundamentalisme dipandang sebagai gerakan
taqlide. Kedua, fundamentalisme dipandang sebagai reaksi terhadap kaum modernis.
Ketiga, fundamentalisme dipandang sebagai reaksi terhadap modernisasi. Keempat,
fundamentalisme dipandang sebagai kepercayaan terhadap suatu agama sebagai
ideologi alternatif (Bakar, 2009). Sedangkan menurut Amin Rais, fundamentalisme
terutama seperti gerakan dalam masyarakat religius yang ingin kembali ke prinsip dasar
atau dasar agama semula. Kedua, adalah sebuah gerakan yang dilandasi oleh rasa
intoleransi beragama asal-asalan dan anti-modernisasi (Rubaidi & Setianingsih, 2021).
Awalnya, ajaran-ajaran ini memberi ruang bagi nalar untuk mengkritik secara
cerdas. Penganut ajaran ini dapat mengkritik dan mendiskusikan keyakinan mendasar
ini. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan fenomena sebaliknya (Rahman,
2010). Keyakinan dasar ini kemudian diasumsikan sedemikian rupa sehingga hanya ada
sedikit ruang untuk munculnya pendapat yang berbeda. Kebalikan dari fenomena ini
dapat dilihat, misalnya, dalam ajaran bahwa Alkitab bebas dari kesalahan, yang
kemudian berkembang menjadi ajaran bahwa buku adalah satu-satunya sumber
kebenaran. Perkembangan keyakinan ini tentunya melahirkan: sikap kaku tanpa
kompromi dan cenderung mengarah pada klaim kebenaran. Klaim kebenaran ini pada

4
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

gilirannya dapat membenarkan penggunaan kekuatan untuk elemen lain yang tidak
sesuai dengannya (Nur Rosidah, 2012).Dengan keadaan pikiran seperti itu, akan mudah
untuk mengidentifikasi munculnya fenomena fundamentalisme dalam agama apapun.
Fundamentalisme agama merupakan fenomena yang terjadi pada setiap agama,
termasuk Islam. Maka makalah ini bertujuan diantaranya penulis akan membahas
mengenai faktor dari kemunculan fundamentalisme tersebut serta menelisik akar
persoalan yang menjadi biang kebiasan istilah fundamentalisme.
Untuk menjawab semua kebingungan epistemologis ini, penting untuk
mengklasifikasikan masing-masing tema dalam makalah ini dalam studi yang berbeda;
bagian pertama, berkaitan dengan pengertian serta awal mula kemunculan istilah
fundamentalisme. Bagian kedua, karakteristik atau ciri-ciri dari kaum fundamentalis.
Bagian ketiga, pengaruh Barat terhadap kemunculan kaum fundamentalis di kalangan
umat Islam. Dan bagian ke empat adalah kesimpulan. Sementara itu, pendekatan
metodologis yang digunakan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pendekatan
penelitian kepustakaan dengan memadukan unsur metode penelitian deskriptif-historis
dengan unsur metode penelitian deskriptif-analitis.

TINJAUAN TEORI
A. Fundamentalis Islam
Fundamentalime Islam (al-ushuliyyah al-Islamiyyah) hadir di awal abad ke-20
disebabkan oleh berbagai faktor. Penggunaan istilah fundamentalisme Islam sendiri
masih menjadi perdebatan, karena terdapat kelompok yang setuju serta kelompok tidak
setuju. Namun, ada baiknya terlebih dahulu kita memahami asal-usul kata
fundamentalisme ini.stilah fundamentalisme pada awalnya lahir pada agama Kristen di
Amerika Serikat. Menurut Kamus Webster, terdapat dua arti yang mengarah pada kata
fundamentalisme, yaitu, (1) gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan
penafsiran pada Alkitab secara literal/harfiah sebagai sesuatu yang mendasar bagi hidup
dan pengajaran Kristen, (2) suatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan
ketaatan secara harfiah terhadap sejumlah prinsip.prinsip dasar. Adapun menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, fundamentalisme adalah paham atau gerakan
keagamaan yang bersifat reaksioner yang merasa perlu kembali pada ajaran agama yang
asli seperti yang tersurat dalam kitab suci (Kamil, 2013).

5
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

Penggunaan istilah tersebut pada awalnya digunakan dalam penyebutan pada


penganut ortodoksi Kristen Protestan di Amerika Serikat dengan berpedoman pada
kepercayaan yang mendasar, yaitu (1) Kitab Suci tidak mengandung kesalahan, (2)
Kedatangan Yesus yang kedua kalinya, (3) Kelahiran Yesus dari Perawan Maria, (4)
Yesus bangkit dari kematian, dan (5) Penebusan dosa manusia oleh Yesus. Pada tahun
1919 didirikan World Christian Fundamentals Association (WCFA) yang mengokohkan
keberadaan kelompok tersebut. Kemudian menjadi term “Fundamentalis” setelah Curtis
Lee Laws menambahkannya di tahun 1920 dan menyatakan bahwa kaum fundamentalis
adalah mereka yang siap bertempur untuk kembali ke ajaran dasar (fundamen) (Denny,
1987).Terminologi fundamentalisme dalam Islam itu sendiri begitu marak
diperbincangkan dalam media massa dan politik ketika peristiwa meletusnya Revolusi
Islam. Dalam revolusi Iran tersebut tergambar bagaimana besarnya unsur peranan Islam
dalam menumbangkan monarki Iran. Kemudian pada tahun 1990-an, fundamentalisme
Islam ini kembali ke permukaan dengan peristiwa penggagalan pemilihan umum di
Aljazair setelah kemenangan Front Islamic du Salut (FIS), munculnya perlawanan
terhadap Israel, konflik di Kosovo, Khasmir dan daerah lainnya. Sehingga fenomena-
fenomena tersebut memunculkan Islam sebagai kekuatan yang dipersepsikan sebagai
fundamentalis (Kurniady, 1999).
Unsur penting dalam pandangan fundamentalisme Islam adalah pandangan
bahwa dunia Islam sedang mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh
ditinggalkannya ajaran Islam serta tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang
menyeluruh. Oleh karena itulah terminologi fundamentalisme Islam ini berarti balik
pada fundamen-fundamen keimanan, mengukuhkan dasar otoritas yang sah serta politik
umat (Muthohirin, 2014). Kemunculan fundamentalisme Islam dalam sejarah Islam
modern ini merupakan reaksi atas krisis modernitas, rusaknya akhlak masyarakat,
dominasii Barat, ketidakpastian relasi antara negara-agama dan terjadinya deprivasi
sosial akibat krisis ekonomi-politik dan degradasi moral, serta negara-bangsa yang
dianggap tidak berhasil untuk menyatukan program politik, ekonomi serta budaya
dengan sistem nilai-nilai (worldview) dalam masyarakat. Munculnya fundamentalisme
Islam ini juga tidak terlepas dari krisis sosial politik umat Islam setelah jatuhnya
kekuasaan khilafah Turki Ustmani pada tahun 1920-an. Dan bagi sebagian muslim,
penghapusan lembaga kekhalifahan ini merupakan suatu bentuk kemunduran umat
Islam (Bamualim, 2003).

6
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

B. Sistem Politik
Dilihat dari sisi etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yakni polis
yang berarti kota yang berstatus negara kota (city state). Dalam negarakota di zaman
Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, menurut
Aristoteles) dalam hidupnya. Politik yang berkembang di Yunani kala itu dapat
ditafsirkan sebagai suatu proses interaksi antara individu dengan individu lainnya demi
mencapai kebaikan bersama.Pemikiran mengenai politik pun khususnya di dunia barat
banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles
menganggap politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity)
yang terbaik. Namun demikian, definisi politik hasil pemikiran para filsuf tersebut
belum mampu memberi tekanan terhadap upaya-upaya praksis dalam mencapai polity
yang baik. Meskipun harus diakui, pemikiranpemikiran politik yang berkembang
dewasa ini juga tidak lepas dari pengaruh para filsuf tersebut.
Dalam perkembangannya, para ilmuwan politik menafsirkan politik secara
berbeda-beda sehingga varian definisinya memperkaya pemikiran tentang politik.
Gabriel A. Almond mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang berbuhungan dengan
kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di
mana kendali ini disokong lewat instrumen yangsifatnya otoritatif dan koersif. Dengan
demikian, politik berkaitan erat dengan proses pembuatan keputusan publik. Penekanan
terhadap penggunaan instrumen otoritatif dan koersif dalam pembuatan keputusan
publik berkaitan dengan siapa yang berwenang, bagaimana cara menggunakan
kewenangan tersebut, dan apa tujuan dari suatu keputusan yang disepakati. Jika ditarik
benang merahnya, definisi politik menurut Almond juga tidak lepas dari interaksi dalam
masyarakat politik (polity) untuk menyepakati siapa yang diberi kewenangan untuk
berkuasa dalam pembuatan keputusan publik.
Definisi politik juga diberikan oleh ilmuwan politik lainnya, yaitu Andrew
Heywood. Menurut Andrey Heywood, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang
bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan
umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala
konflik dan kerja sama. Dengan definisi tersebut, Andrew Heywood secara tersirat
mengungkap bahwa masyarakat politik (polity) dalam proses interaksi pembuatan
keputusan publik juga tidak lepas dari konflik antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain,

7
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

masingmasing kelompok saling mempengaruhi agar suatu keputusan publik yang


disepakati sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Apa itu fundamentalis ?
Istilah fundamentalisme lahir sekitar tahun 1910. Fundamentalisme digunakan
untuk membedakan kelompok agama tertentu dari Kristen liberal yang diyakini telah
menggerogoti iman Kristus. Kelompok ini sebenarnya ingin mengembalikan dasar
tradisi Kristen secara kaku dan mutlak. Adapun secara dilihat dari keadaannya
fundmentalis sering dianggap sebagai sesuatu tindakan radikal ataupun suatu
implementasi dari kegiatan teroris yang senantiasa mengatasnamakan atas dasar agama
(Munir, 2018). Istilah fundamentalisme juga awalnya digunakan untuk menyebut:
gerakan dalam Kristen Protestan di Amerika Serikat, yang menganut ajaran Ortodoksi
Kristen berdasarkan keyakinan dasar berikut; [1] Ineransi literal dari Kitab Suci (bahwa
Alkitab secara literal tidak salah); [2] Kedatangan Kedua Yesus Kristus (bahwa Yesus
akan kembali ke bumi); [3] Kelahiran dari perawan (bahwa Yesus lahir dari perawan
Maria, bukan dari konsepsi yangPengganti (yang dibayar Yesus untuk dosa-dosa
seluruh umat manusia) (Munir, 2018). Secara historis, istilah fundamentalisme lahir di
lingkungan tradisi Kristen. Ini pertama kali digunakan untuk menyebut gerakan agresif
dan konservatif dalam gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat pada periode
pascaPerang Dunia I, yang muncul terutama di gereja Baptis, Desciple—dan
Presbiterian dan menerima dukungan dari kelompok agama. Kemudian istilah
fundamentalisme berkembangan dan menyebar sehingga istilah tersebut berkembang
pula di dalam agama Islam. Gerakan tersebut selalu diidentikkan dengan suatu gerakan
keras dan radikal yang mengarah kepada pergerakan teroris (M Taufiq Rahman, 2021).
Namun istilah fundamentalisme sendiri masih menjadi suatu perbincangan
terutama di dalam penisbatan fundamentalisme kepada agama Islam. Apakah istilah
tersebut sesuai atau tidak digunakan dalam tradisi Islam. Hal ini dimungkinkan karena:
pertama, istilah fundamentalisme bukan hanya istilah yang berasal dari tradisi Islam,
tetapi juga sering digunakan untuk menyebut citra miring pada gerakan yang berbau
ekstremisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam realisasi atau memperoleh
keyakinan agama (Fauzan, 2010). Karena keidentikan dari fundamentalisme ini yang
mempunyai sikap extreme di dalam beragama dan juga bertolak belakang dengan nilai

8
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

Islam wasathi (slam yang moderat), sehingga memberikan konotasi terhadap mereka
bahwa mereka merupakan suatu golongan yang anarkis keras dan selalu mengarah
kepada terorisme (Setia, 2021).Di sisi lain fundamentalisme secara pemaknaan harfiah
memiliki beberapa kerancuan. Karena scar harfiah fundamentalisme mempunyai makna
berpegang teguh pada prinsip dasar dalam agama (Rosyad et al., 2021). Sementara
sebagian besar umat Islam di muka bumi ini selalu berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk berpegang teguh pada doktrin-doktrin fundamental Islam, baik dalam akidah
maupun syariah. Maka jikalau fundamentalisme dimaknai umum secara harfiah seperti
itu maka akan menghasilkan sebuah konotasi makna negative terhadap Islam
bahwasanya Islam adalah agama yang fundamentalis, berikut dengan karakteristik di
dalam fundamentalisme tersebut (Wibisono, 2020). Maka dari pada itu dalam tulisan ini
akan dibahas kembali tentang kaitan munculnya fundamentalisme di dalam agama Islam
dan hal tersebut bukanlah suatu hal yang muncul murni dari agama Islam akan tetapi hal
tersebut muncul karena suatu dorongan dari luar agama Islam.
B. Karakteristik Fundamentalis
Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa di dalam awal mula kemunculan
dari kaum fundamentalis adalah berawal dari gerakan di golongan agama Kristen.
Istilah fundamentalisme pertama kali digunakan sejak seabad yang lalu oleh
sekelompok orang Kristen konservatif di AS. Ide konseptualnya adalah mencoba untuk
kembali ke ajaran agama yang asli dan mendasar, seperti yang tertulis dalam Alkitab.
Biasanya mereka benar-benar mengarah ke denominasi Kristen Protestan. Baru
kemudian menjadi istilah umum yang digunakan secara luas untuk merujuk pada
berbagai tradisi agama yang memiliki pandangan konservatif yang sama (Munir, 2018).
Sekarang labelnya 'fundamentalisme agama' telah menjadi istilah umum,
diterapkan secara luas ke sejumlah besar kelompok dari tradisi agama yang berbeda,
terdiri dari orang-orang yang memiliki pandangan agama yang sangat konservatif
(Bush, 2012). Seperti yang dibahas oleh Jeffrey Haynes di dalam bukunya yang
berjudul “Religious Fundamentalism” Singkatnya, dapat dikatakan bahwa
fundamentalis agama memiliki beberapa ciri penting yang sama, termasuk: keyakinan
inti, norma dan nilai, termasuk diantaranya adalah :
1. Keinginan untuk kembali ke dasar tradisi keagamaan dan menghapus
penambahan yang tidak perlu
2. Penolakan agresif terhadap modernitas sekuler barat

9
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

3. Identitas kelompok minoritas oposisi dipertahankan secara eksklusif dan dengan


cara militan
4. Upaya untuk memenangkan kembali suasana publik sebagai ruang religi dan
kemurnian moral
5. Pengaturan hubungan patriarki dan hierarkis antara jenis kelamin (Bush, 2012).
Dari gambaran tersebut Marty dan Scott Appleby (2021) mendefinisikan
fundamentalis agama sebagai berikut ini. Mereka adalah orang-orang yang
menggunakan 'seperangkat strategi yang dengannya orang-orang percaya yang
terkepung mencoba mempertahankan identitas khas mereka sebagai orang atau
kelompok'. Mereka melihat diri mereka bertindak sebagai tanggapan atas serangan
nyata atau khayalan dari mereka yang, menurut pandangan mereka, ingin melibatkan
mereka dalam "lingkungan budaya yang sinkretis, religius, atau non-religius".
Semantara, Kuntowijoyo (1997) mengungkapkan pelbagai karakter lain yang sama-
sama dimiliki oleh kalangan fundamentalis dari agama mana pun. Kesamaan tersebut
terkait dengan keserupaan doktrinal, kepercayaan, norma dan nilai. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut ;
1. Kaum fundamentalis menginginkan cita-cita kehidupan yang ada pada zaman
rasul Saw. Saat berpakaian, mereka cenderung memakai gamis dan kerudung
tradisional dengan motivasi menolak industri fashion. Mungkin 'kesalahan'
menganggap mode [produk muamalah] sebagai bagian dari sesuatu yang bersifat
religius adalah hal yang wajar? dilihat dari sudut kajian politik identitas yang
berupaya memerangi hegemoni masa kini dengan menghadirkan unsur-unsur
masa lalu sebagai identitas politiknya.
2. Para fundamentalis biasanya menggunakan bahan-bahan alami seperti siwak dan
sebagainya.
3. Selain itu, kaum fundamentalis memiliki peran yang memiliki implikasi
signifikan dalam hal reformasi politik. Inilah sebabnya mengapa negara-negara
industri modern melabeli fundamentalisme sebagai sinonim dengan terorisme.
Oleh karena itu, negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sebagainya,
melihat Iran, Libya, Al-Jazair, Somalia dan Sudan sebagai sarang
fundamentalisme dan terorisme (Munir, 2018).
Sikap tersebut muncul berkaitan dengan tekanan asing yang dianggap mereka
bisa mengganggu dari keesksistensian agama karena dalam persepsi mereka hal tersebut

10
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

dianggap sebagai serangan oleh kekuatan asing yang tidak diinginkan. Maka daripada
itu timbulah sikap fundamentalis ini (Haynes, 2021b). Singkatnya, dapat dikatakan
bahwa fundamentalis agama memiliki kesamaan berikut: Pertama mereka takut bahwa
cara hidup berorientasi agama yang mereka sukai diserang oleh pengaruh sekuler atau
kelompok asing yang tidak diinginkan. Kedua, tujuan mereka adalah untuk menciptakan
masyarakat yang berorientasi tradisional dan kurang modern. Ketiga, akibatnya, banyak
yang melakukan kampanye sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai ajaran agama
yang sesuai untuk mengubah hukum, moralitas, norma sosial dan dalam beberapa kasus
konfigurasi politik domestik dan/atau internasional. Keempat, banyak yang bersedia
berjuang secara politik dengan rezim yang berkuasa dengan berbagai cara jika
yurisdiksi yang terakhir tampaknya merambah bidang kehidupan pendidikan inklusif,
hubungan gender, dan kebijakan ketenagakerjaan yang diyakini oleh para fundamentalis
agama adalah bagian integral dari visi mereka tentang masyarakat yang sesuai secara
agama, yang dicirikan oleh jenis iklim moral "murni" tertentu (Rahman, 2013; Islam,
2021).
Penggunaan Alkitab oleh orang Kristen konservatif di AS menarik perhatian
pada fakta bahwa fundamentalis agama umumnya menggunakan Kitab Suci sebagai
sumber penting untuk ide-ide mereka (Marsden, 1996). Namun, banyak analis yang
menggunakan istilah fundamentalisme agama, mengacu pada contoh Kekristenan
Amerika yang konservatif, menunjukkan bahwa itu hanya berlaku untuk agama Kristen
dan agama "Abrahamic" lainnya dari "kitab suci": Islam dan Yudaisme. Seperti itu
karena fundamentalis Kristen, Islam dan Yudaisme semuanya memiliki dogma yang
mendefinisikan apa yang mereka anggap sebagai kesempurnaan Firman Tuhan sendiri,
sebagaimana tertuang dalam kesucian kitab tersebut (Guth, 2021). Karakter utama dan
implikasi dari doktrin fundamentalisme terletak pada fokus perhatiannya pada masalah
moral dan sosial, lebih khusus lagi; masalah hubungan interaktif antara negara-sosial
masyarakat [dan/atau agama]. Fundamentalisme agama biasanya berakar pada beberapa
hal; modernisasi kegagalan dan reaksionisme terhadap manifestasi modernitas yang tak
terduga; penolakannya terhadap nilai-nilai dan penghancurannya terhadap keluarga
sebagai institusi sosial (Haynes, 2021a).
C. Islam dan Fundamentalis
Fundamentalisme Islam atau Islam radikal terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok yang bersifat nasional dan regional, beroperasi di satu negara

11
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

(nasional) dan beberapa negara (regional). Kedua, kelompok yang bersifat transnasional
atau supranasional dan tidak terikat dengan negara tertentu. Kelompok ini juga disebut
neo-fundamentalis, neo-Islamis dan/atau jihadis. Kaum fundamentalis Islam atau Islam
radikal umumnya menganggap demokrasi sebagai sistem kufur. Berdasarkan prinsip ini,
mereka semua melarang mengambil dan menerapkan sistem demokrasi (Imarah, 1999).
Di awal fundamentalisme muncul sebagai sebuah perlawananan dari sebuah sikap
kemodernan (modernism). Modernism inilah yang dianggap menjadi sumber
berkembang dan menyebarnya pemahaman dari sekulerisme yang mana dampak dari
penyebaran pemahaman ini menjadikan agama semakin terpinggirkan. Walaupun
diawal penggunaan modernismdi dalam prilaku keberagamaan dipakai agar bisa
menyesuaikan dengan perkembangan zaman, akan tetapi malah menjadi sebuah wasilah
di dalam menyampingkan agama di dalam prilaku kehidupan. Sehingga agama kian
lama kian terpinggirkan serta tergantikan dengan adanya perkembangan sains dan
kemajuan teknologi (Mufti & Rahman, 2019).
Pergeseran kedudukan serta penurunan pengaruh agama dalam kehidupan
beragama seseorang menajdi salah satu dari penyebab lahirnya Islam fundamentalis.
Dan harus diakui bahwasanya kaum fundamentalis atu radikal di dalam agama Islam
memang ada, akan tatapi hal tersebut tidak bisa dipukul sama ratakan bahwa tatkala
terdengar kata Islam yang muncul di dalam gambaran seseorang adalah kekerasan
(Mujani, 1993). Sehingga membawa konotasi Islam adalah fundamentalis atau identik
dengan kekerasan serta terbelakang. Perlu ditekankan kembali bahwa di dalam kaidah
Islam sendiri sikap fundamentalis ataupun radikal tidaklah diajarkan di dalam agama
Islam. Bahkan di dalam Islam sendiri justru lebih banyak ditekankan nilai kasih sayang,
kemanusiaan serta perdamaian. Adapun penyimpangan seperti itu maka tidak lepas dari
beberapa faktor yang telah terlebih dahulu disinggung sebelumnya di dalam
karakteristik fundamentalisme (Latif, 2013). Adapun dari beberapa nilai Islam yang
sering diidentikan dengan kaum fundamentalis dan teroris diantaranya adalah
pergerakan “jihad”. Istilah jihad yang awalnya hanya mengungkapkan peristiwa sejarah
yang terjadi pada masa nabi, kemudian muncul dan menjadi masalah besar dengan
adanya gerakan-gerakan yang menamakan dirinya aksi jihad seperti bom bunuh diri,
teroris dan sebagainya (Edyar, 2017).
Dengan maraknya gerakan ini, banyak pihak yang bertanya-tanya tentang motif
di balik gerakan tersebut dan siapa pelaku dari aksi-aksi gerakan tersebut. Dengan latar

12
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

belakang inilah agama akhirnya menjadi fokus utama mempertanyakan istilah-istilah


gerakan yang biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam. Para pelaku tindakan
seperti serangan bunuh diri, teroris memberikan kesan bahwa Islam mengajarkan
kekerasan atau ada kelompok pemeluk Islam yang tegas. Dua istilah inilah yang perlu
ditegaskan dan digali akar masalahnya. Dengan latar belakang inilah agama akhirnya
menjadi fokus utama mempertanyakan maksud gerakan yang sebagian besar dilakukan
oleh pemeluk agama Islam. Pelaku tindakan seperti serangan bunuh diri, teroris
memberikan kesan bahwa Islam mengajarkan kekerasan atau ada kelompok Islamis
yang keras kepala. Dua istilah inilah yang perlu ditegaskan dan digali akar masalahnya
(Mu’allim, 2006).
Kemudian tatkala kita melihat terhadap beberapa ayat yang secara harfiah
mempunyai sebuah konotasi mengarah kepada kekerasan, sebagai contoh di dalam surat
al-Fath ayat 29 mengisyaratkan jikalau kita melihatnya tanpa kaidah yang jelas seakan-
akan memberikan konotasi Islam harus keras terhadap orang-orang kafir dan harus
bersikap baik dan lemah lembut kepada sesama muslim. Ayat tersebut jika dimaknai
secara mentah tanpa melihat kepada kaidah yang telah diatur di dalam ilmu quran maka
akan menfsirkan bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan kekerasan
terkhusus kepada orang-orang nonmuslim (Mubarok & Rahman, 2021). Akan tetapi
pemahaman tersebut jelas salah, karena Islam tidak melakukan suatu perlawanan
terkecuali di dalam ranah pembelaan. Maka konotasi ayat yang tadi adalah ada disaat
dalam situasi membela agama Islam jikalau orang-orang nonmuslim melawan terhadap
orang muslim. Adapun dikeadaan sehari-hari dalam bermuamalah baik dengan sesama
muslim ataupun dengan nonmuslim maka itu semua diperbolehkan. Bahkan Kanjeng
Nabi sendiri melarang kepada orang-orang muslim untuk berbuat dzalim kepada kaum
kafir dzimmi. Kafir Dzimi adalah orang-orang nonmuslim yang hidup dikalanngan atau
dibawah pemerintahan orang muslim. Adapun mereka dijaga haknya sebagaimana
sesama penduduk muslim sendiri. Maka harta, benda serta nyawa mereka walaupun
berbeda keyakinan dengan umat muslim akan tetapi mereka hidup berdampingan di
bawah naungan orang muslim maka haram berbuat dzalim kepada mereka (non-
muslim).
Berbeda dengan istilah kekerasan, dalam penggunaan makna ini sering dikaitkan
dengan tindakan/gerakan yang terkadang menimbulkan kerancuan. Seperti halnya
pergerakan dari kelompok radikal ISIS, al-Qaeda dan lainlain, mereka tepatnya lebih

13
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

disebabkan dan dilatarbelakangi oleh ideologi-ideologi yang lain. Serta pemahaman


ayat yang salah yang menjadikan mereka memegang suatu pendapat yang salah bahkan
tidak sesuai dengan maksud srta kaidah yang diajarkan oleh Islam sebenarnya (Laisa,
2014). Maka di sini pentingnya memahami agama baik dari Quran dan Sunnah harus
dengan pemahaman yang arif, sahih serta bijak. Karena dari pemahaman yang salah
tersebut menyebabkan prilaku keberagamaan seseorang menjadi keras dan radikal.
Dengan kata lain agama bercuci tangan dari prilaku keberagamaan yang keliru seperti
itu, karena pada hakikatnya kekerasan tersebut lahir dan muncul dari orientasi serta
emosi kemauan manusia.
D. FUNDAMENTALIS SEBAGAI BUKTI KEKALAHAN SISTEM
PEMERINTAHAN BARAT
Fundamentalisme dalam agama merupakan suatu sikap yang muncul bukan dari
asli dari agama itu sendiri, melainkan lahir disebabkan beberapa faktor yang datang dari
luar nilai agama itu sendiri. Diantara faktor tersebut adalah rasa ketidakpuasan serta
ketidaknyamanan atas sistem pemerintahan yang telah dilakukan dan diterapkan oleh
barat. Elemen penting dalam pandangan dunia fundamentalis Muslim adalah bahwa
dunia Islam sedangmengalami kemunduran (Jung, 2021). Persepsi seperti itu setidaknya
dapat ditelusuri kembali ke generasi Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh,
dan populer di kalangan penerus mereka. Secara internal, kemerosotan Islam lebih
disebabkan oleh kegagalan para ulama dan lembaga-lembaganya dalam menjalankan
tugas yang diberikan agama kepada mereka. Sedangkan runtuhnya Islam dari luar
sebagian besar disebabkan oleh invasi dan serangan budaya, politik dan ekonomi dari
Barat (Fauzan, 2010).mengalami kemunduran (Jung, 2021).
Persepsi seperti itu setidaknya dapat ditelusuri kembali ke generasi Jamaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan populer di kalangan penerus mereka. Secara
internal, kemerosotan Islam lebih disebabkan oleh kegagalan para ulama dan lembaga-
lembaganya dalam menjalankan tugas yang diberikan agama kepada mereka.
Sedangkan runtuhnya Islam dari luar sebagian besar disebabkan oleh invasi dan
serangan budaya, politik dan ekonomi dari Barat (Fauzan, 2010). Faktor eksternal
tersebut memberikan suatu nilai serta anggapan bahwasanya apa yang ditawarkan barat
dari mulai budaya, politik dan ekonomi adalah suatu kegagalan yang tidak dapat
memberikan suatu nilai yang positif. Maka para kaum fundamentalis menganggap
solusi dari kegagalan tersebut adalah dengan kembali merujuk serta menerapkan

14
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

berbagai kadah serta hukum yang didasarkan dari pemahaman agama Islam baik dari
Quran maupun Sunnah (Ghadbeigy & Jafari, 2021). Dan inilah salah satu cara yang
paling baik dan bisa membawa kembali kejayaan Islam seperti halnya pada zaman
dahulu.
Namun perlu diketahui tidak semua pergerakan yang notabene pergerakan yang
mengajak kepada kembali kepada ajaran yang dulu yaitu Quran dan Sunnah yang
dianggap oleh Barat semuanya adalah bagian dari Islam fundamentalis yang mengarah
kepada Islam yang radikal bahkan teroris (Azwar, 2007). Akan tetapi ada sabagian dari
mereka yang secara pengertian bisa dikatakan termasuk ke dalam kaum fundamentalis,
akan tetapi mereka justru memberikan suatu nilai perkembangan yang lebih baik dan
positif. Diantara mereka seperti halnya Jamaludin al-Afghani dan juga Muhammad
Abduh. Pergerakan mereka yang erat dikatakan barat sabagai gerakan Fundamentalis
justru memberikan suatu nilai yang positif bagi umat Islam tersendiri. Dengan
pemahaman mereka Islam menjadi lebih maju dan berkembang serta bisa lebih
menyesuaikan dengan zaman. Akan tetapi itulah sisi lain dari istilah pemakaian
fundamentalisme di dalam Islam. Oleh sebab itu pengistilahan fundamentalisme di
dalam Islam sendiri masih dipermasalahkan, karena disisi lain memberikan makna
positif dan di sisi lain memberikan makna negatif. Memberi makna positif disaat
memberikan suatu nilai berkemajuan di dalam agama Islam itu sendiri. Dan memberi
makna negatif jika Fundamentakisme tersebut memberikan suatu dampak negatif seperti
kekerasan, terorisme dan kehancuran terhadap mayarakat, karena pad hakikatnya hal itu
berususan dengan nilai kemanusiaan.

SIMPULAN
Terlepas dari pantas tidaknya penggunaan istilah fundamentalisme dalam Islam,
yang pasti dalam perilaku keberagamaan umat Islam pasti ada yang cenderung absolut,
radikal, ekslusif ataupun intoleran. Di sinilah kita seolah-olah bisa memposisikan
gerakan-gerakan fundamentalis yang cenderung radikal. Sebagai aliran pemikiran, tidak
ada yang berhak menentangnya, tetapi ketika pemikiran tersebut diwujudkan dalam
bentuk tindakan yang merugikan pihak lain dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan,
maka masalah ini bukan lagi masalah agama, ras, dan agama tertentu atau negara, tetapi
merupakan masalah kemanusiaan pada umumnya.

15
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

DAFTAR PUSTAKA

Allitt, P. (2003). Religion in America since 1945. Columbia University Press.

Appleby, R. S. (2021). Fundamentalism: Genus and Species. In Fundamentalismus als


ökumenische Herausforderung (pp. 3–14). Brill Schöningh.

Azwar, N. (2007). Fundamentalisme dalam Konflik Agama. Id.Shvoong. Com.

Bakar, A. (2009). Theologi Fundamentalisme. TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi


Umat Beragama, 1(1), 29– 37. https://doi.org/10.24014/trs.v1i1.440

Bush, E. (2012). Routledge Handbook of Religion and Politics. In Politics, Religion &
Ideology (Vol. 13, Issue 1). https://doi.org/10.1080/21567689.2012.659491

Edyar, B. (2017). Religious Radicalism, Jihad And Terrorism. AJIS, 2(1).

Fauzan. (2010). Fundamentalisme Dalam Islam. Al-AdYaN, V(1), 47–60.

Ghadbeigy, Z., & Jafari, M. (2021). The Islamic Fundamentalism in Southeast Asia
(The Case of Indonesia)

Guth, J. (2021). Protestant Clergy and Christian Nationalism. Perspectives in Religious


Studies, 48(2), 135–147.

Haynes, J. (2021a). Religion and international relations: what do we know and how do
we know it? Religions, 12(5), 328.

Haynes, J. (2021b). Religion in international relations: Theory and practice. In


Handbook on Religion and International Relations. Edward Elgar Publishing.

Imarah, M. (1999). Fundamentalisme Dalam Islam. Gema Insani.

Islam, M. (2021). Political Theory and South Asian Counter-Narratives. Routledge.

Jung, E. (2021). Bringing Social Movements into the Inclusion-Moderation Thesis: The
Influence of Religious Fundamentalism in Indonesia and South Korea. Asian Survey,
61(5), 797–824.

Kuntowijoyo. (1997). Identitas politik umat Islam. ATF Press.

Laisa, E. (2014). Islam Dan Radikalisme. Islamuna: Jurnal Studi Islam, 1(1), 1–18.
https://doi.org/10.19105/islamuna.v1i1.554

16
SSN: 2614-6754 (print) Halaman xxx-xxx
ISSN: 2614-3097(online) Volume x Nomor x Tahun xxxx

Latif, Y. (2013). Tuhan pun tidak partisan: melampaui sekularisme dan


fundamentalisme. Syabas Books. Marsden, G. M. (1984). Understanding fundamentalist
views of science. Science and Creationism, 98.

Marsden, G. M. (1996). Agama dan Budaya Amerika. Jakarta: Sinar Harapan.

Marsden, G. M. (2006). Fundamentalism and American culture. Oxford University


Press.

Mu’allim, A. (2006). Relasi Agama dan Kekerasan. Unisia, 29(61), 257–265.


https://doi.org/10.20885/unisia.vol29.iss61.art2

Mubarok, M. F. Z., & Rahman, M. T. (2021). Membandingkan Konsep Islam


Keindonesiaan dengan Islam Nusantara dalam Kerangka Pluralisme. Hindu, 1, 0–4.

Mufti, M., & Rahman, M. T. (2019). Fundamentalis Dan Radikalis Islam Di Tengah
Kehidupan Sosial Indonesia. TEMALI : Jurnal Pembangunan Sosial, 2(2), 204–218.
https://doi.org/10.15575/jt.v2i2.4445

Mujani, S. (1993). Di Balik Polemik ‘Anti-Pembaruan’Islam: Memahami Gejala


‘Fundamentalisme’Islam di Indonesia. Islamika.

Munir, A. A. (2018). Agama, Politik Dan Fundamentalisme. Sekolah Tinggi Agama


Islam Tasikmalaya Jawa Barat, 1(1), 149–169. https://doi.org/10.5281/zenodo.1161572

Nur Rosidah. (2012). Fundamentalisme Agama. Walisongo, 20(1), 1–24. Rahman, M.


T. (2010). Pluralisme Politik. WAWASAN: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
34(1), 1–13.

Rahman, M Taufiq. (2013). Politik identitas Islam di Indonesia: Menelusuri Politik


Kebangsaan dan Politik Ekonomi Islam di Indonesia.

Rahman, M Taufiq. (2021). Sosiologi Islam. Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan
Gunung Djati Bandung.

Rosyad, R., Mubarok, M. F., Rahman, M. T., & Huriani, Y. (2021). Toleransi Beragama
dan Harmonisasi Sosial. Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

17

Anda mungkin juga menyukai