Anda di halaman 1dari 63

24

BAB II
DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN BARAT
DALAM RENTANG SEJARAH

A. Islam versus Barat: Hubungan Penuh Kesalahpahaman


Islam dan Barat ramai diperbincangkan, terutama pasca tragedi 9/11.
Tragedi yang menurut Huntington menjadi pembuktian datangnya musuh
baru bagi Barat pasca Perang Dingin, merupakan fenomena kesekian kali
yang menjadikan Islam dan Barat berada dalam posisi berhadap-hadapan
sebagai musuh. Sebelumnya, Islam dan Barat juga terlibat perang panjang
bernama Perang Salib (Crusades).
Bahasan dalam tesis ini tidak akan menggeneralisir makna Islam dan
Barat. Islam diartikan sebagai agama dan peradaban yang ikut menciptakan
ragam wacana ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.
Sementara Barat merupakan ideologi sekular-liberal yang direpresentasikan
oleh Amerika Serikat, Israel dan sekutunya. Artinya, Barat bisa dimaknai
sebagai Barat-Kristen atau Barat-Yahudi.
Dalam pembahasan berikutnya, peneliti mendeskripsikan konflik demi
konflik yang pernah diukir Islam dan Barat. Menurut Tehranian (2005: 22),
konflik demi konflik ternyata diawali oleh prasangka dan kesalahpahaman.
Dan ini pula yang membedakan hubungan Islam dan Barat dengan Hindu
atau Budha dan Barat. Meskipun ada konflik, namun konflik Hindu atau
Budha dengan Barat tidaklah kompleks sebagaimana konflik Islam dan Barat.

25

Pemaknaan Islam dan Barat ini peneliti korelasikan dengan fluktuasi


hubungan keduanya yang seringkali dipicu oleh persoalan ideologi atau
keagamaan dan kemudian melebar ke ranah politik, ekonomi dan sebagainya.
Pertentangan antara dua ideologi ini sebenarnya sudah pernah diramalkan
oleh Fukuyama (1992: 211-212). Fukuyama beranggapan, musuh ideologi
sekular-liberal hanyalah Islam. Dan hanya ideologi sekular-liberal yang
efektif membentuk pemerintahan yang rasional.
Sebelum Fukuyama meramalkan hal ini, Islam dan Barat sudah terlibat
konflik berkepanjangan yang faktor penyebabnya berkutat masalah agama,
politik dan ekonomi. Islam -yang direpresentasikan dinasti-dinasti atau
negara di Timur-Tengah- dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan
negara-negara Kristen dan Yahudi.
Dalam bahasan berikutnya, peneliti akan membagi rentetan konflik
Islam dan Barat dalam dua fase, yaitu fase pra tragedi WTC dan pasca tragedi
WTC. Pembagian ini untuk memudahkan peneliti dalam menelaah konflik
demi konflik yang terjadi berikut motifnya. Hal ini akan memudahkan
peneliti dalam menelaah perkembangan konflik yang melibatkan Islam dan
Barat.

B. Hubungan Islam dan Barat Pra Tragedi WTC


Tragedi robohnya menara kembar World Trade Center (WTC) pada 11
September 2001 memberikan implikasi luas bagi dinamika politik dunia,
utamanya menyangkut hubungan antara Islam dan Barat. Meskipun pelaku
tragedi masih kontroversial, namun runtuhnya ikon ekonomi Amerika Serikat

26

itu sekaligus mengusung popularitas gerakan Islam Militan, Al-Qaeda1


khususnya dan alumni Virtual Universities for Future Islamic Radicalism2
umumnya yang dituduh sebagai pelaku utama tragedi tersebut (Jervis, 2002:
37-54).
Tuduhan ini kemudian diperkuat oleh pelbagai aksi terorisme di
beberapa

negara.

Diasumsikan

bahwa

pelakunya

adalah

kaum

fundamentalisme.3 Menurut Machasin (2004: 791) gerakan fundamentalisme


Islam seringkali dikaitkan dengan tindakan-tindakan destruktif, seperti
pengeboman tempat keramaian, rumah ibadah dan sebagainya. Kaum

Tujuan Al-Qaeda adalah menegakkan kembali sistem Khilafah Islamiyah untuk menggantikan
sistem negara bangsa yang dianggap impor dari Barat. Pendirian Al-Qaeda itu bisa dilihat dari
sikap politik Al-Jihad pimpinan Ayman Al-Zawahiri yang mengecam sikap Al-Ikhwan AlMuslimun karena menerima sistem demokrasi Barat dengan bersedia ikut pemilu di Mesir dan
duduk di parlemen. Mengenai sepak terjang Al-Qaeda dan Osama bin Laden. Selengkapnya baca
Negara Tuhan: the Thematic Encyclopaedia, 2004: 583).
2

Virtual Universities For Future Islamic Radicalism adalah perkumpulan para mujahidin yang
direkrut oleh Amerika Serikat terkait dengan upaya memerangi komunisme. Amerika Serikat
memandang bahwa komunisme yang direpresentasikan Uni Soviet merupakan musuh bersama
yang harus diperangi. Dinas intelijen Amerika Serikat, Inggris dan Pakistan (CIA, M16 dan ISI)
melakukan perekrutan mujahidin yang siap berperang melawan Uni Soviet. Antara tahun 19821992 tercatat sebanyak 35.000 muslim militan direkrut untuk misi ini. mereka notabene muslim
militan dan radikal dari 43 negara muslim yang berasal dari Timur Tengah, Afrika Utara dan
Timur, Asia Tengah dan Asia Timur termasuk Indonesia. Semua anggota ini didaulat untuk
melakukan peperangan dengan semangat jihad yang tinggi melawan Uni Soviet yang dianggap
sebagai Atheism State di mata mujahidin dan Communism Peril di mata Amerika Serikat
(Maftuh, 2004: 566).
3

Frans Magnis-Suseno memahami fundamentalisme sebagai sebuah pandangan teologis atau


penghayatan keagamaan dimana seseorang mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya,
nilai-nilai hidupnya, pada ajaran eksplisit agamanya. Istilah fundamentalisme dengan merujuk
pada tradisi kitab-kitab suci erat kaitannya dengan istilah skripturalisme. Untuk pertama kalinya,
istilah fundamentalisme muncul dalam The Shorter Oxford English Dictionary pada 1923, setelah
terbit dua belas risalah teologis yang berjudul The Fundamentalis: A Testimony to the Truth
(Syarkun, 2004: 439-440). Menurut Tariq Ramadhan (2002: 29) aplikasi nilai-nilai keislaman yang
kurang proporsional memberikan implikasi negatif terhadap pencitraan Islam. Dalam level yang
lebih umum, keadaan ini bisa mencitrakan bahwa Islam adalah agama yang bertentangan dengan
komunitas selain muslim.

27

fundamentalisme juga seringkali dipahami sebagai sebagai aliran yang


melegalkan kekerasan atas nama agama.
Dugaan bahwa umat Islam sebagai pelaku, memberikan implikasi luas.
Implikasi paling dominan, pertama, terjadinya kecurigaan yang berlebihan
terhadap umat Islam di pelbagai belahan dunia, terutama mereka yang
dipandang sebagai sarang fundamentalis dan teroris. Kedua, ukuran teman
dan lawan diukur dengan ada dan tidaknya teroris pada negara tertentu.
Ketiga, dijadikannya tragedi 9/11 sebagai referensi utama dalam menangkap
anggota jaringan yang diduga sebagai teroris. Dalam hal ini, Amerika Serikat
menjadi motornya dengan mengusung jargon combating terrorism
(Maftuh, 2004: 556).
Pasca tragedi, beragam opini muncul. Sebagian pihak mengklaim bahwa
kalangan teroris khususnya Al-Qaedah- disebut-sebut sebagai pihak yang
paling bertanggungjawab atas tragedi ini.4 Menurut Alwi Shihab (2004: 2),
sebuah kanal televisi di Amerika Serikat bernama FOX tak henti-hentinya
mengekspos pemberitaan tentang Islam sebagai agama yang mengajarkan
kekerasan. Seorang tokoh politik Belanda bernama Pim Fortuyn menegaskan
bahwa ia tidak pernah menunjukkan penghinaan terhadap Islam dan umatnya,
tapi ia sendiri melihat Islam sebagai agama yang memang sudah hina.
4

Kontroversi tentang profil Al-Qaeda pun bermunculan. Apakah benar bahwa Al-Qaeda muncul
dari kalangan garis keras di Timur-Tengah? Apakah gerakan Al-Qaeda lahir dengan latarbelakang
agama atau semata-mata karena ketersinggungan anak bangsa? Pertanyaan tersebut perlu diungkap
karena berkaitan dengan profil Osama bin Laden yang sangat dikenal sebagai pembenci Amerika
Serikat nomer wahid yang selalu meneriakkan pembunuhan massal terhadap rakyat Amerika baik
sipil atau militer. Mengapa Osama bin Laden berubah pendirian begitu cepat setelah sekian lama
menjalin pertemanan dengan Amerika dalam menghabisi the same enemy, Uni Soviet? (Maftuh,
2004: 558)

28

Di pihak lain, muncul pembelaan bahwa Al-Qaeda bukanlah pelaku


tindak terorisme. Tragedi tersebut hanyalah bagian dari konspirasi politik
Amerika Serikat untuk kepentingan hegemoninya di dunia internasional.
George W. Bush dianggap sengaja merancang skenario untuk melakukan
ekspansi ke Timur Tengah. Dengan isu tindak terorisme ini dinilai Bush akan
mempunyai kesempatan untuk menguasai Timur Tengah.
Tragedi 9/11 merupakan bagian dari rangkaian kisah terkini yang
melibatkan dua kubu besar, yaitu Islam dan Barat. Islam direpresentasikan
oleh negara-negara Timur-Tengah dan Barat direpresentasikan oleh Amerika
Serikat dan para sekutunya, termasuk Israel. Klasifikasi ini hanya untuk
memudahkan pembahasan tentang upaya merunut konflik dua kubu. Dengan
demikian, upaya-upaya perbaikan hubungan antara keduanya bisa dikaji
secara spesifik.
Membahas tentang konflik Islam dan Barat, berarti membahas dinamika
masa lalu keduanya. Hal ini penting agar sejarah bisa dibaca secara
komprehensif. Karena hubungan antara Islam dan Barat saat ini sangat
berkaitan dengan dinamika masa lalu. Pada tesis ini, peneliti akan
menjadikan tragedi 9/11 sebagai titik pancang dinamika hubungan antara
Islam dan Barat. Menurut Husaini (2005: 132) tragedi ini menjadi penanda
memanasnya hubungan antara Islam dan Barat. Karena tragedi ini pula,
perkembangan politik internasional kemudian bergerak menuju tesis benturan
peradaban yang dipopulerkan Huntington.

29

Mengutip dari Huntington, Mukhlas Syarkun dan W. Ghorara (2004:


406) menyebutkan beberapa faktor yang mengakibatkan benturan peradaban
antara Islam dan Barat. Pertama, pertumbuhan penduduk Muslim yang
begitu pesat di satu sisi menyebabkan meledaknya angka pengangguran dan
mendorong kalangan anak-anak dan pemuda untuk masuk menjadi anggota
kelompok Islamis. Kedua, kebangkitan Islam memberikan keyakinan baru di
kalangan umat Islam terhadap watak dan keluhuran peradaban serta nilainilai yang dimiliki dibandingkan dengan nilai-nilai Barat. Ketiga, upayaupaya Barat yang simultan untuk mempropagandakan nilai-nilai dan institusiinstitusi mereka, mempertahankan superioritas kekuatan militer dan ekonomi
mereka serta intervensi terhadap dunia Islam, mengakibatkan kebencian di
kalangan umat Islam. Keempat, runtuhnya komunisme menjadi sebab
timbulnya keyakinan akan adanya musuh bersama antara Islam dan Barat dan
melupakan masa lalunya. Kelima, terjadinya hubungan antara orang-orang
Islam dengan orang-orang Barat mendorong munculnya rasa identitas
keduanya dan bagaimana membedakan antara yang satu dengan lainnya.
Pada subbab dinamika hubungan antara Islam dan Barat pra tragedi
WTC, peneliti mendeskripsikan dinamika pada Perang Salib (crusades) dan
kontroversi pendirian negara Israel di kawasan Palestina. Peneliti berharap,
Dua hal ini efektif untuk mencari korelasi antara pra dan pasca tragedi 9/11.

1.

Perang Salib dan Implikasi Politik-Keagamaan

30

Sejarah mencatat bahwa umat Islam dan Kristen pernah mengukir


sejarah panjang bernama Perang Salib.5 Terma Perang Salib yang lebih
dikenal dengan istilah Crusade diambil dari kata Cross yang dalam
bahasa Latin disebut Crux- merupakan delapan ekspedisi militer yang
terjadi sejak abad 11 hingga abad 13 dan melibatkan pasukan Kristen
Franks dan pasukan Muslim Saracen (Esposito, 1995: 40).6 Dalam buku
A Concise Encyclopedia of Christianity disebutkan takrif Perang Salib
adalah sebagai berikut:
Crusades is pilgrimage to the Holy Land were under taken down the ages,
permitted by Arab rulers after the seventh century. But the capture of Jerusalem
by the Turks in 1071 led Pope Urban II in 1095 to declare a crusade to regain the
Holy Places. The ill-named Crusades a use of war which earlier Christians
had repudiated, expressed aggression and greed. Only the first Crusade reached
Jerusalem, establishing a Latin Kingdom in 1099 which lasted till the muslim
Saladin retook the city in 1187. The fourth Crusade turned against the rich
eastern christian city of Constantinopel, breaching its walls on good Friday and
desecrating the Orthodox Cathedral of Hagia Sophia on Easter Day there was an
ill-fated childrens Crusade in 1212 and the eight and last led by Louis of France
was in 1270 (Geoffrey, 1998: 79).

Jika dirunut ke belakang, hampir 14 abad Islam dan Barat (Kristen)


membina hubungan. Hal itu dimulai sejak masa Rasulullah saw. Pada
zaman Rasulullah saw, praktis tidak ada polemik serius antara keduanya.
Setelah wafat, hubungan keduanya sedikit mengalami keretakan, terlebih
5

Perang Salib adalah istilah yang dipakai oleh umat Kristiani. Perang Salib ini menjadi simbol
loyalitas umat Kristiani untuk merebut kembali daerah suci bernama Yerusalem dari tangan umat
Islam. Perang Salib ini dalam bahasa umat Islam- dipopulerkan menjadi Perang Sabil atau
Sabilillah yang berarti perang di jalan Allah Swt. Jika melihat istilah yang dipakai, keduanya
bertemu di titik kulminasi, yaitu perjuangan membela agama Tuhan. Jika umat Kristiani berjuang
merebut tanah suci yang dirampas umat Islam, maka umat Islam pun menganggap sedang
berjuang untuk mempertahankan tanah suci Umat Islam.
6

Dalam perkembangannya, istilah Perang Salib inipun lazim dipakai untuk mengartikan ragam
gerakan atau aktifitas yang mengandung arti upaya menentang kejahatan dan kemungkaran.
Dengan kata lain, istilah ini dipakai sebagai simbol yang menandai kebaikan.

31

saat Islam melakukan ekspansi ke beberapa kawasan pendudukan


Kristen Byzantium, yaitu Syria (635 M), Yerusalem dan Mesir (640 M).
Spanyol yang juga daerah jajahan Kristen Byzantium diserbu pada tahun
710 M dan takluk pada tahun 732 M. Di Timur, India juga jatuh ke
tangan pasukan Islam (Shihab, 2004: 43).
Hal ini menjadi salah satu faktor kemarahan umat Kristen. Mereka
pun terobsesi untuk merebutnya kembali dari tangan umat Islam.
Menurut Watt (1972: 6), ekspansi yang dilakukan umat Islam ini
merupakan jihad dan penapaktilasan jejak Muhammad saw sewaktu
hijrah dari Makkah ke Madinah. Kemarahan umat Kristen memuncak
kala ibu kota Kristen Byzantium, Konstantinopel jatuh ke tangan umat
Islam antara tahun 716-717 M. Gerakan ekspansi umat Islam ini
terhitung progresif. Dalam rentang waktu kurang dari 1 abad, besarnya
kawasan Islam mencapai lebih dari tiga kali luas kawasan Kerajaan
Romawi. Hal itu ditambah dengan ekspansi Islam ke Sisilia, Italia
Selatan lebih kurang selama 2 abad (Shihab, 2004: 43).
Kenyataan ini disinyalir menjadi faktor memanasnya suhu politik
antara umat Islam dan umat Kristen. Umat Kristen berfikir bagaimana
merebut kembali kawasan tersebut dan menghancurkan kekuatan umat
Islam. Jika umat Kristen berpandangan bahwa ekspansi umat Islam
menjadi bukti kebrutalan yang harus dilawan, umat Islam berpandangan
bahwa ekspansi merupakan bagian dari jihad di jalan Allah swt yang
dihukumi wajib.

32

Pecahnya Perang Salib merupakan akumulasi konflik antara Islam


dan Kristen pasca ekspansi Islam besar-besaran ke beberapa kawasan
Kristen. Terlebih, saat Islam menaklukan Spanyol lebih kurang selama
tujuh setengah abad (Yatim, 2003: 93). Artinya, Perang Salib bukanlah
konflik pertama yang menghadapkan antara Islam dan Barat dalam
posisi bermusuhan. Ia lebih sebagai perpanjangan konflik-konflik masa
lampau. Menurut Bakar (2008: 147), Perang Salib sangat melegenda
dibanding lainnya karena mempunyai keterkaitan erat dengan konflik
Yerusalem yang masih terus memanas hingga saat ini.
Secara

umum,

penyebab

pecahnya

Perang

Salib

dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu Kebangkitan Kristen Katolik


di Eropa Barat dan Krisis Politik Keagamaan di Timur Tengah.

a.

Kebangkitan Kristen Katolik di Eropa Barat


Pecahnya Perang Salib tidak lepas dari gerakan kebangkitan
Kristen Katolik di Eropa Barat. Pada akhir abad 10 M Gereja Ordo
Benedektin Cluny di Burgundi, Perancis mensponsori sebuah
reformasi keagamaan di tengah masyarakat Eropa yang dikenal
dengan nama Reformasi Cluny. Tujuannya, mengkristenkan seluruh
masyarakat Eropa Barat. Menurut Bakar (2008: 149), gerakan
reformasi ini didukung oleh Paus dan otoritas Gereja Katolik Roma.

33

Selain itu, meluasnya kawasan ekspansi Islam juga menjadi ruh


lahirnya gerakan Reformasi Cluny.7
Menurut beberapa penginjil, meluasnya ekspansi Islam
membahayakan eksistensi agama Kristen karena ajaran Yesus
Kristus terancam punah dari muka bumi ini. Doktrin ini pada
perkembangannya sangat efektif membangkitkan sense kekristenan
masyarakat Eropa Barat saat itu. Paus dan segenap tokoh agama
terus mengobarkan semangat untuk melakukan Ziarah Pertobatan
atau Ziarah Suci. Lokasi yang menjadi obyek penziarahan adalah
makam St. Petrus di Roma, Maria Magdalena di selatan Perancis,
Joseph-Arimathea di Glastonbury serta St. James yang dipercaya
sebagai saudara kembar Yesus di Compostela.8 Dalam ziarah ini,
mereka juga melakukan ritual acara tobat massal. Dari sinilah

Secara umum, Reformasi Cluny mengajarkan penataan batin, sebagaimana dimiliki rahib, kepada
masyarakat Kristen hingga meliputi persoalan seks. Senggama dilarang ketika masa Adven, praPaskah, menstruasi, hamil, menyusui bayi, serta hari-hari suci seperti Senin, Rabu, Jumat, dan
Minggu. Hidup kerahiban adalah hidup monastikisme, yaitu membujang sebagaimana yang
dilakukan Yesus di muka bumi. Selain itu, mereka juga harus hidup sederhana dan tidak
menggemari kenikmatan keduniawian. Anjuran ini berlangsung sebagai usaha memaknai
kehidupan mereka yang saat itu serba miskin, penuh derita dan dirundung kesedihan meskipun
pada saat bersamaan para pendeta justru hidup serba kecukupan dan hidup mewah. Suatu cara
paling populer dalam meneladani monastikisme, sebagaimana diajarkan Cluny adalah dengan
mengadakan Ziarah Pertobatan (Bakar, 2008: 150).
8

Tempat-tempat tersebut menjadi obyek Ziarah Pertobatan ini meskipun di sisi lain mereka
meyakini bahwa tempat-tempat tersebut belum bisa menandingi kesucian Yerusalem; tempat
Yesus dimakamkan pasca disalib. Tempat itu semakin sakral karena diyakini mengandung
kekuatan Tuhan. Dalam keyakinan Kristen, Yerusalem sejatinya Kota Suci yang diperuntukkan
untuk umat Kristiani, bukan umat Islam. Jadi, jika umat Kristen merampas dari tangan umat
Islam, itu semata-mata mengambil haknya. Tidak hanya umat Islam, kaum Kristen juga
beranggapan bahwa Yahudi pun tidak berhak mengklaim Yerusalem sebagai Tanah Suci bagi
mereka (Bakar, 2008: 151).

34

muncul Mitologi-Apokalipstik9 yang meyakini bahwa dunia akan


mengalami kehancuran akibat gerakan-gerakan ideologis yang
dilakukan umat Anti-Kristus. Maka menurut mereka- salah satu
cara untuk menyelamatkan dunia adalah melawan Anti-Kristus di
tanah suci Yerusalem (Bakar, 2008: 152). Mitologi-Apokalipstik ini
pada perkembangannya menjadi pembangkit semangat bagi umat
Kristen untuk melakukan perjuangan melawan umat Islam,
khususnya yang berada di Spanyol, Italia, Sisilia, dan Mediteranian.
Di samping ziarah dan tobat massal, pengaduan Alexius I, Raja
Byzantium kepada Paus perihal ancaman Islam yang akan
menguasai wilayah Asia dan Ibu Kota Kerajaan menjadi
pembangkit pecahnya perang. Paus pun menyerukan Perang Suci
(Holy War). Menurut Esposito (1995: 40-41), pada konteks ini,
Perang Salib diilhami dua hal, yaitu melakukan ziarah suci dan
perebutan hak atas kepemilikan Kota Suci Yerusalem.10 Selain itu,

Berawal dari Mitologi-Apokalipstik inilah lahirlah semangat untuk menguasai Yerusalem dan
melenyapkan semua umat Anti-Kristus yang ada di sana. Kesakralan Yerusalem di hati para umat
Kristiani pun semakin mengkristal. Mereka mempersiapkan diri untuk turut serta dalam Perang
Suci (Holy War) yang kemudian populer dengan nama Perang Salib (Crusade) yang sangat
melegenda. Mereka hanya menunggu waktu saja karena meskipun kondisi Timur-Tengah sedang
labil, namun umat Kristiani harus merampungkan urusan internalnya dimana Gereja Ortodoks
Timur masih bersitegang dengan Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel.
10

Yerusalem memiliki magnet yang luar biasa bagi tiga agama besar, yaitu Islam, Kristen dan
Yahudi. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, ketiga agama ini pernah terlibat polemik perihal
status Kota Suci Yerusalem. Umat Islam mengklaim Yerusalem sebagai tempat suci karena pernah
disinggahi Nabi Muhammad saw dalam rangkaian perjalanan Isra dan Miraj. Umat Kristen
mensakralkan tempat itu karena disanalah Yesus dimakamkan. Sementara umat Yahudi
mengklaim bahwa Yerusalem adalah negeri asal nenek moyang Yahudi dan tempat itu disinyalirmenjadi kawasan yang dijanjikan Tuhan (Promised Land) untuk mereka tempati. Premis-premis
inilah yang menyebabkan masing-masing penganut tiga agama besar tersebut mempertahankan
keberpihakannya terhadap Yerusalem. Tak ayal, sentimen antar kelompok pun terjadi, misalnya
kaum Kristen menyebut kaum Yahudi sebagai Christ-Killers dan klaim Yahudi atas kepemilikan

35

Perang Salib dinilai sebagai bentuk kecintaan kepada Tuhan (to slay
for Gods love). Nilai-nilai ini efektif membangkitkan semangat
perang demi Yerusalem (Daniel, 1960: 109).

b.

Krisis Politik Keagamaan di Timur-Tengah


Rapuhnya politik-keagamaan di Timur-Tengah ini merupakan
akibat dari polemik internal yang terjadi antara beberapa kerajaan
Islam. Memasuki pertengahan abad XI, muslim Timur-Tengah
mengalami masa kemunduran, terutama di bidang politikkeagamaan. Sejak tahun 485 H / 1092 M, terjadi rentetan
pembersihan para tokoh politik. Pada tahun ini, tokoh terbesar
dalam sejarah Saljuk, Nizham al-Mulk sebagai penguasa de facto
kekaisaran Saljuk beserta keluarganya dibunuh. Tahun ini pun
disebut dengan Tahun Bencana. Kondisi lain yang menandai
rapuhnya kekuatan umat Islam di Timur-Tengah adalah wafatnya
Khalifah Fatimiyah di Mesir, al-Mustanshir yang telah memerintah
selama lebih dari 58 tahun. Khalifah Abbasiyah yang berhaluan
sunni juga wafat (1487 H / 1094 M). Kondisi ini turut
memperlemah stabilitas politik umat Islam di Timur-Tengah
(Hillenbrand, 2005: 43).

Yerusalem dianggap tidak berdasar. Namun dalam perkembangannya, Yahudi melunak dan
memilih berkompromi dengan Kristen untuk menjalin kerjasama merebut Yerusalem dari tangan
umat Islam (Armour, 2002: 64). Yahudi mempunyai kalkulasi politis bahwa umat Kristen lebih
kompromistis dalam masalah Yerusalem dibandingkan dengan umat Islam.

36

Pertikaian juga terjadi antara Dinasti Fatimiyah-Syiah dan


Dinasti Turki-Saljuk-Sunni untuk memperebutkan Syria dan
Palestina. Kekuatan Dinasti Fatimiyah di Mesir melemah akibat
dilanda perang perebutan kekuasaan di antara putera Khalifah alMustanshir. Demikian pula Turki-Saljuk. Kesultanan menjadi
terpecah-pecah dan melahirkan kerajaan-kerajaan kecil semi
merdeka di Irak, Iran, Palestina, Syrian dan Asia Kecil.
Sebelumnya, Dinasti Saljuk sempat berhasil membangun peradaban
megah di Irak terutama di bawah kepemimpinan Alp Arslan. Hal itu
ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di
Madrasah Nizamiah.
Pada masa Alp Arslan, Kekaisaran Romawi di Konstantinopel
mengalami kemunduran akibat kekalahan yang bertubi-tubi di
hadapan barisan tentara Turki ketika hendak merebut Asia Kecil.
Namun demikian, Alp Arslan lebih bersemangat menghancurkan
kebesaran Dinasti Fatimiyah. Para pangeran dan panglima militer
Saljuk yang menguasai sejumlah negara kota yang dipusatkan di
tempat-tempat seperti Aleppo, Damaskus, dan Mosul pada
peralihan abad kesebelas bahkan terlibat perang saudara. Keadaan
ini memperlemah stabilitas politik dinasti-dinasti Islam saat itu.
Kekuatan asing pun datang menyerang. Kaum Frank merebut dan
membentengi pelabuhan-pelabuhan Suriah dan berlanjut dengan
membentuk empat negara Salib di wilayah tersebut, yaitu

37

Yerusalem, Edessa, Antiokhia dan Tripoli (Hillenbrand, 2005: 6061).


Keadaan ini pula yang menjadikan Pasukan Salib bersemangat
memulai serangan untuk merebut Yerusalem yang selama ini
diambil alih umat Islam. Dalam pandangan mereka, Yerusalem
adalah Kota Suci Yesus. Dalam Injil, kata Yerusalem disebutkan
sebanyak 812 kali. Contoh ayat yang dijadikan sebagai pijakan
Pasukan Salib adalah sebagai berikut :

2 Chronicles 6 : 6

But I have chosen Jerusalem that my name might be


there and have chosen David to be over my people
Israel.

Zechariah 1 : 17

and the lord shall yet comfort Zion and shall yet
choose Jerusalem

Smith (2003: 63) menilai ayat tersebut menjadi spirit bagi


Pasukan Salib dalam merebut kembali kota Yerusalem.
Selain dua hal tersebut, ambisi untuk mendapatkan harta
rampasan perang disinyalir menjadi salah satu stimulus untuk
mengangkat senjata melawan pasukan muslim. Nilai toleransi antar
umat beragama yang selama ini diajarkan Injil, justru tidak tampak.
Menurut Brundage (2002: 114) keadaan ekonomi memberikan
pengaruh secara langsung terhadap motivasi yang terbangun dalam
diri mereka.

38

c.

Dinamika Perang Salib dalam Rentang Sejarah


Perang Salib merupakan ekspedisi suci yang dilakukan oleh
umat Kristiani untuk merebut tanah suci Yerusalem dari tangan
umat Islam. Perang Salib ini pecah dalam beberapa tahap dengan
setting dan obyek yang berbeda. Beberapa pendapat mengatakan
bahwa Perang Salib Pertama terjadi pada tahun 1097 M. Namun,
Toyenbee (1954: 242) berpendapat bahwa Perang Salib yang
selama ini dikenal sebagai Perang Salib fase pertama sebenarnya
sudah memasuki fase kedua.
Pada tahun 1018 M tepatnya pada masa Reconquista atau
pembebasan kembali negara Spanyol, kaum Kristen Eropa Barat
sudah terlibat polemik dengan umat Islam. Dalam polemik tersebut,
Perancis mengirim pasukan untuk menahan serangan umat Islam.
Inilah Perang Salib fase pertama.
Pada 17 November 1095 Paus Urbanus II mengeluarkan
maklumat penting tentang urgensi perang suci melawan umat Islam.
Kepada 150.000 sukarelawan, Paus menyerukan untuk merebut
kembali Yerusalem dari tangan umat Islam (Bakar, 2008: 162-171).
Pada

waktu

memasuki

Yerusalem,

mereka

mendapatkan

perlawanan dari Dinasti Fatimiyah. Jumlah yang tidak berimbang


membuat Pasukan Salib memenangkan pertempuran. Pasukan Salib
semakin mengukuhkan kemenangan dengan membangun tiga
Kerajaan Salib, yaitu Edesa, Antiokia dan Yerusalem. Kondisi

39

politik umat Islam yang sedang melemah, membuat Pasukan Salib


terus melakukan ekspansi. Namun ekspansi mereka terhenti di
kawasan-kawasan pedalaman seperti di Aleppo, Hamah, Hims,
Baklabak dan Damaskus. Kota-kota ini memilih untuk membuat
kesepakatan damai dengan Pasukan Salib (Bakar, 2008: 162-171).
Setelah mengalami keterpurukan di Perang Salib I, pada fase
berikutnya Islam bangkit di bawah Zanki, seorang pendiri Dinasti
Zanki dan putranya, Nuruddin. Pada masa Nuruddin, Pasukan Salib
berhasil menjalin komunikasi politik dengan Abu Syuja Syawar bin
Muhir, seorang menteri Dinasti Fatimiyah pada masa Khalifah alAdid guna memperkokoh posisinya. Meskipun Nuruddin berhasil
mengalahkan pasukan koalisi ini, namun ia belum berhasil merebut
Yerusalem.
Sepeninggal Al-Adid dari Dinasti Fatimiyah, Salahudin
mengambil alih kekuasaan dengan membubarkan Dinasti Fatimiyah
yang beraliran Syiah dan menggantinya dengan Kesultanan Islam
Sunni. Setelah memegang tampuk kekuasaan, program utama
Salahudin adalah membebaskan Yerusalem. Pada hari Jumat, 2
Oktober 1187 M bertepatan dengan peringatan Isra Miraj,
Salahudin berhasil merebut Yerusalem. Ia pun segera melakukan
reformasi di kota suci ini dan menciptakan perdamaian dengan
mewujudkan kerukunan umat beragama antara umat Islam dan umat
Kristen.

40

Selang dua puluh hari kemudian, terjadi Perang Salib Ketiga.


Paus Gregorius VIII di Eropa menyerukan agar umat Kristen
mengubah strategi untuk merebut Yerusalem. Seruan Paus ini
direspon oleh Kaisar Jerman, Frederick Barbarossa, Raja Jerman,
Richard I Coeur de Lion dan Raja Perancis, Philip Augustus. Seruan
ini memberikan implikasi positif terhadap hubungan antara
ketiganya yang sebelumnya dilanda krisis.
Pada fase ini Salahudin dan Richard menjalin hubungan yang
baik. Keduanya membuat kesepakatan yang dikenal dengan
Perjanjian Jaffa. Isinya, pertama, kedua belah pihak melakukan
gencatan senjata selama lima tahun. Kedua, Salahudin berjanji
untuk tidak menyerang dan mengusir bangsa Eropa. Ketiga, Richard
berjanji untuk tidak menyerang Yerusalem. Keempat, Pasukan Salib
berkuasa di sepanjang pantai Jaffa hingga Beirut dan kota Acre
menjadi pusat pemerintahan kerajaan mereka. Kelima, penduduk
muslim dan kristiani harus saling menghormati.
Paus Innocentius III kurang senang dengan kedekatan Richard.
Ia

dituduh

telah menodai

misi

Perang Salib.

Paus

pun

memaklumatkan kepada bangsa Eropa-Kristen untuk memulai


kembali Perang Salib Keempat (1198 M). Namun, maklumat ini
kurang mendapatkan respon dari umat Kristen di Eropa. Meskipun
demikian, beberapa pihak seperti Boniface dari Montferrat dan
Philip, anak Frederick Barbarossa memanfaatkan fenomena ini

41

untuk mempropagandakan Perang Salib. Boniface berutang kepada


Erico Dandolo dari Venesia untuk memberangkatkan pasukannya
ke Yerusalem. Selain itu Boniface juga membuat kesepakatan
dengan Sultan Al-Adil di Kairo-Mesir.
Masalah muncul ketika Boniface tidak bisa melunasi
hutangnya kepada Erico. Erico kemudian memberikan opsi
pembebasan hutang, yaitu pengambilalihan kekuasaan Pasukan
Salib. Setelah diambil alih oleh Erico, Pasukan Salib dikerahkan
bukan untuk merebut Yerusalem, tapi untuk ke Yugoslavia guna
merebut Kristen Ortodoks. Philip memanfaatkan kekuatan Pasukan
Salib untu menduduki Konstantinopel guna mengembalikan tahta
Kaisar Isaac, saudara Philip. Namun yang terjadi, Pasukan Salib
justru melakukan serangkaian kekacauan di Konstantinopel.
Pada saat yang sama, di Mesir dan Syria terjadi kekacauan
akibat persaingan dan perang saudara dalam keluarga Salahudin.
Pertikaian itupun dimenangkan oleh Al-Adil. Karena takut
melakukan kontak fisik dengan Pasukan Salib di Acre, Al-Adil
mengijinkan mereka menduduki Iskandariah. Satu persatu daerah
kekuasaan hasil perjuangan Salahudin seperti Beirut, Safawi,
Tiberias dan Askalon jatuh ke tangan Pasukan Salib.
Pasukan Salib tetap terobsesi untuk merebut kembali kota
Yerusalem dari tangan umat Islam. Seruan Paus Innocentius III
untuk melakukan Perang Salib direspon dingin umat Kristiani.

42

Salah satu faktornya, banyak umat Kristen yang membina hubungan


baik

dengan

umat

Islam,

misalnya

kerjasama

di

bidang

perdagangan. Bahkan, tidak sedikit mereka yang mencintai gadis


muslimah.
Pada saat yang sama, terjadi perpecahan antara Sultan AlKamil dan Muazzam - saudara Al-Kamil yang berada di Syria. AlKamil menggalang bantuan dengan melakukan pendekatan kepada
Frederick. Persoalan mulai muncul. Sebagai kompensasi atas
bantuan kekuatan yang diberikan Frederick, Sultan Al-Kamil
menyerahkan Yerusalem kepada Frederick. Peristiwa itu terjadi
pada tahun 1229 M. Hubungan antara Al-Kamil dan Frederick pun
semakin dekat.
Setelah Al-Kamil mangkat, perseteruan antara Mesir dan Syria
yang diwarisi oleh Muazzam dan Al-Kamil terus menegang. Pada
tahun 1239 M Yerusalem jatuh ke tangan Nashir Daud di Kerak,
dari

keluarga

Dinasti

Ayubiyah.

Akibat

perseteruan

yang

berkepanjangan dengan Al-Malik Al-Shalih Najmudin, Nashir


Daud menyerahkan Yerusalem kepada Pasukan Salib sebagai
imbalan atas bantuannya dalam melawan Al-Malik Al-Shalih.
Melihat keadaan ini, Najmudin geram dan meminta bantuan kepada
muslim Turki-Khawarizmi yang merupakan pengungsi akibat
serangan brutal Bangsa Mongol. Koalisi antara Najmudin dan
Turki-Khawarizmi kemudian mampu memukul mundur pasukan

43

Syria dan Pasukan Salib. Mereka kemudian berhasil menduduki


Syria dan Palestina.
Raja Louis VII dari Perancis bangkit dan hendak memimpin
konvoi Pasukan Salib Ketujuh. Setelah gagal menjalin koalisi
dengan bangsa Mongol untuk menghadapi Najmudin di Mesir,
bersama pasukannya, Raja Louis membulatkan tekad untuk
berangkat ke Mesir. Mereka berhasil menduduki daerah Dimyat dan
kemudian hendak melakukan ekspansi ke kota Manshurah.
Melihat situasi ini, Baibars yang menjadi tangan kanan
Najmudin
memimpin

muncul

sebagai

sejumlah

pahlawan.

pasukan

Dengan

muslim,

kelihaiannya

Baibars

berhasil

menghancurkan kekuatan Louis. Bahkan Louis menjadi tawanan


perang. Pada saat

yang sama, detasemen pasukan Mesir

berkebangsaan Turki yang pernah dibentuk pada masa Najmudin


mengambil alih kekuasaan. Detasemen inilah yang disebut dengan
Mamluk.
Setelah Perang Salib Ketujuh berakhir dengan kekalahan
Pasukan Salib, berikutnya Pasukan Muslim menghadapi musuh
baru, yaitu bangsa Mongol. Pada tahun 1257 M, Hulagu membawa
tentara Mongol bergerak menuju ibu kota Kekhalifahan Islam Sunni
di Bagdad. Tentara Mongol dikenal bengis dan kejam. Mereka
selalu membunuh muslim dimanapun mereka jumpai. Dalam waktu
sekejap, praktis kota Baghdad pun bak kota mati yang dipenuhi oleh

44

bangkai muslim. Pada tahun 1260 M, Mongol membuat ratusan ribu


muslim menjadi bangkai. Mereka berhasil menduduki Aleppo,
Damaskus, dan beberapa kota di Palestina. Tidak hanya itu, mereka
juga berhasil menduduki Irak dan Syria.
Ibarat pertunjukan, Raja Louis VII begitu seksama menyimak
adegan demi adegan yang berlangsung antara kubu Baibars dan
kubu bangsa Mongol. Bak memancing di air keruh. Namun
demikian, Sultan Baibars berhasil menghadapi himpitan ini. Sadar
bahwa kaum Kristen ingin menghancurkan Dinasti Mamluk, pada
tahun 1287 M, Ilkhan Mongol menawarkan sebuah koalisi dengan
Paus di Eropa untuk bekerjasama menghancurkan kekuatan Dinasti
Mamluk. Koalisi ini juga mendapatkan sambutan hangat dari
Kristen

Tripoli.

Mereka

merencanakan

penyerangan

demi

menghancurkan Dinasti Mamluk dan sekaligus merebut Yerusalem.


Setelah merekam episode demi episode Perang Salib, peneliti
melihat hubungan umat Islam dan umat Kristiani begitu dinamis.
Masing-masing pihak, baik Islam maupun Kristen mempunyai
prinsip dan keyakinan yang sulit disatukan. Pasukan Salib merasa
bahwa perang yang dilakukan adalah upaya untuk merebut Kota
Suci miliknya sebagaimana disebutkan dalam Injil. Sementara di
pihak muslim, perjuangan mereka semata-mata mempertahankan
Kota Suci Yerusalem dari rongrongan Pasukan Salib. Implikasinya

45

juga sangat besar. Perang Salib menjadi mimpi buruk bagi kedua
agama (Armour, 2002: 180-181).
Setelah menyimak pasang surut pecahnya Perang Salib yang
berlangsung lebih dari 4 abad tersebut, ada beberapa hal yang bisa
disimpulkan, yaitu:
a.

Perang Salib dipengaruhi oleh faktor politik-keagamaan dan


ekonomi. Pasukan Salib mengartikan perjuangan ini sebagai
Perang Suci (Holy War) untuk merebut Yerusalem dari tangan
umat Islam. Kondisi krisis yang melanda warga Eropa
disinyalir menjadi faktor lain bangkitnya Pasukan Salib untuk
merebut Yerusalem.

b.

Hubungan Islam dan Barat pada masa Perang Salib mengalami


pasang surut. Pada satu masa, mereka bisa menjalin
pertemanan dan pada masa yang lain, mereka terlibat
permusuhan yang sengit. Persahabatan antara keduanya
ditunjukkan oleh Salahudin Richard dan Frederick - AlKamil. Sikap simpatik juga ditunjukkan Frederick kala
menegur seorang muadzin yang melantunkan adzan dengan
suara lirih. Frederick menyayangkan jika dengan suara
merdunya, ia beradzan hanya dengan suara lirih.

c.

Antara Islam dan Barat acapkali terjadi kompromi politik yang


berimplikasi positif dan negatif. Implikasi positif sebagaimana
ditunjukkan Salahudin dan Richard. Kompromi keduanya tetap

46

langgeng dan berakhir dengan genjatan senjata. Sementara


implikasi negatif bisa dilihat dalam romantisme yang terjalin
antara Frederick dan Al-Kamil. Al-Kamil harus menyerahkan
Yerusalem kepada Pasukan Salib. Selain itu, kompromi atau
komunikasi politik seringkali dijadikan sebagai alternatif untuk
mencegah timbulnya konflik yang lebih besar. Hal ini
sebagaimana terjadi dalam lobi politik Al-Adil kepada Pasukan
Salib ketika hendak memasuki kawasan Alexandria.
Banyak hal yang bisa disimak dari Perang Salib yang terjadi
hampir 4 abad itu. Ada persahabatan dan permusuhan, ada
konfrontasi dan kerjasama, kebencian dan percintaan. Fluktuasi
hubungan antara Islam dan Barat sebagaimana diukir dalam Perang
Salib ini memberikan implikasi besar terhadap dinamika hubungan
antara Islam dan Barat dalam konteks sejarah kontemporer
(Armour, 2002: 180-181). Menurut Husaini (2005: xxii), selama
konfrontasi fisik berlangsung ratusan tahun, antara pasukan Muslim
dan Kristen, telah terjadi interaksi sosial-budaya yang cukup
intensif. Antara peradaban akan selalu terjadi interaksi, saling
memberi dan menerima. Antara Turki Utsmani dengan negaranegara Barat ketika itu juga terjadi hubungan diplomatik.

47

2.

Kontroversi Berdirinya Negara Israel dan Pengaruhnya terhadap


Konstelasi Politik Global
Palestina negara yang diagungkan tiga agama (Islam, Kristen dan
Yahudi).11 Di dalamnya terdapat Masjidil Aqsa yang terletak di Bukit
Muriah, Yerusalem. Menurut Dockser (2007: 24) sudah sejak lama
mereka hidup berdampingan, baik dalam persahabatan maupun
pertikaian. Dan Yerusalem, menjadi salah satu faktor munculnya
pertikaian antara ketiganya.
Pada bahasan terdahulu, peneliti telah mendeskripsikan kronologi
Perang Salib. Pada bahasan ini, peneliti menelaah lebih dalam tentang
pendirian Negara Israel yang dikenal kontroversial. Kontroversi inilah
yang menyebabkan ketegangan antara Israel dan Palestina, hingga
sekarang. Menelaah tentang konflik Israel-Palestina, berarti menelaah
kronologi berdirinya Israel di Palestina. Hal ini memiliki kemiripan
dengan Perang Salib dimana kedua belah pihak mengklaim kepemilikan
kawasan Palestina sebagai Kota Suci.

11

Umat Islam berkeyakinan bahwa Yerusalem adalah kota suci umat Islam karena disanalah Nabi
Muhammad saw singgah dalam perjalanan Isra dan Miraj. Di pihak lain, umat Kristiani
mengklaim bahwa Yerusalem adalah kota suci umat Kristiani dimana Yesus dimakamkan pasca
disalib. Di sana pula Yesus turun untuk membuat kerajaan Tuhan untuk memusnahkan kelompok
Anti-Kristus. Bukan hanya Islam dan Kristen yang berpolemik tentang kepemilikan Palestina,
melainkan Yahudi juga merasa berhak memiliki kawasan tersebut. Yahudi beranggapan bahwa
Palestina termasuk Yerusalem- adalah pulau yang dijanjikan (Promised Land) bagi kaum Yahudi
meskipun beberapa literatur menyebutkan ada tanah lain yang juga disinyalir menjadi Promised
Land, yaitu tanah Nubia yang terletak di dekat perbatasan antara Mesir dan Sudan.

48

Pada tesis ini tidak dibahas tentang latar belakang bangsa Israel.12
Peneliti memfokuskan kajian pada implikasi politik, ekonomi dan agama
yang terjadi dalam rentang pendirian negara Israel. Implikasi-implikasi
tersebut akan menjadi bahan kajian peneliti untuk mencari titik
kulminasi antara kontroversi pendirian negara Israel dengan kebijakan
luar negeri Barack Obama.
Disebutkan dalam sejarah bahwa pada tahun 1600 SM, keluarga
Nabi Ya'kub as pindah ke Mesir. Perpindahan ini sering disebut sebagai
gerakan pertama bangsa Israel. Sepeninggal Nabi Ya'kub as, anak
keturunannya hidup dari sebidang area yang dihadiahkan Nabi Yusuf as.
Mereka mulai membangun hegemoni di Mesir. Hegemoni tersebut
pelan-pelan merapuh seiring meninggalnya Nabi Yusuf as. Dalam
perkembangannya, bangsa Israel mulai terlibat konflik politik internal
Mesir, yaitu ketika mereka memberikan dukungan terhadap Amaliqoh
Heksos Babilonia yang sedang berseteru dengan Mesir. Ketegangan ini
mencapai klimaks saat Mesir dibawah kekuasaan Ramses II. Karena
termarginalkan dan sering dirundung masalah, mereka pun kembali ke
Palestina.

12

Bangsa Israel merupakan cabang rumpun keluarga Semit. Rumpun lain keluarga Semit adalah
bangsa Babilonia, Abissinia, Kaldea, Assiria, Aramia, Phoenesia dan Arab. Semit adalah saudara
dari Ham, leluhur bangsa-bangsa Afrika yang juga bersaudara dengan Yephet, anak tertua Nabi
Nuh as yang menjadi leluhur bangsa Eropa. Para ahli sejarah juga bersepakat bahwa bangsa Israel
disebut juga dengan bangsa Ibrani. Ibrani berasal dari bahasa Arab abara yang berarti melakukan
perjalanan melalui lembah atau sungai. Kata abara juga berarti aktifitas berpindah-pindah
(nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata ini relevan disematkan kepada bangsa Israel
yang sebelum menetap di Kanan, mereka hidup mengembara dan berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain.

49

Ketika di Palestina, mereka sering terlibat pertikaian dengan


penduduk setempat. Pertumpahan darah pun terjadi. Akhirnya keturunan
bangsa Israel semakin habis.13 Karena sikapnya yang arogan, banyak
pihak bermaksud untuk menghabisi keturunan bangsa Israel. Bahkan,
beberapa pihak menentang keras upaya pendirian negara Israel. Menurut
filosof dan ekonom Jerman, Eugen Karl Duhring, untuk mencampakkan
impian

Israel

membangun

sebuah

negara

harus

dimulai

dari

pembunuhan dan pengusiran (Johnson, 1987: 394).


Setelah berabad-abad mereka dirundung konflik dan hidup dalam
ketidakpastian, muncullah ide mendirikan negara yang berdaulat. Tema
Zionisme pun mulai diusung.14 Zionisme menjadi alat untuk mendirikan
negara Israel yang berdaulat di kawasan Palestina. Terbentuknya
Zionisme harus melalui proses panjang dan berliku. Sejak membaca
opini yang dikembangkan oleh Eugen Karl Duhring, Theodore Herzl
sebagai penggagas Zionisme terus mencari cara untuk mewujudkan
berdirinya negara Yahudi yang berdaulat (Armour, 2002: 150). 15 Herzl

13

Beberapa ahli mengatakan bahwa Israel adalah bangsa yang eksklusif, sombong dan suka
meremehkan pihak lain. Hal ini membuat beberapa negara merasa benci negara pun tidak
menginginkan Israel ada.
14

Zionisme adalah sebagai sebuah ideologi mengalami perkembangan dan bentuk nyata pada abad
ke-19 M di Eropa. Theodore Herzl (1860-1904) merupakan tokoh utama penggagas dan perumus
gerakan Zionisme. Hal ini lahir sebagai pengaruh tidak langsung dari munculnya semangat
nasionalisme di tengah bangsa Eropa. Dalam setiap pidatonya ia selalu mengatakan, "Kami akan
berusaha sekuat tenaga mengusir orang-orang Arab ke negeri tetangga dan akan menutup pintu
masuk dan pekerjaan bagi mereka di negeri kami ini. Kamu sekalian tidak akan menemukan
kebahagiaan bila masih ada penduduk selain Yahudi di tanah Palestina".
15

Theodore Herzl merupakan arsitek munculnya ide pendirian negara-bangsa bagi Yahudi
Diaspora. Sebelum munculnya ide tersebut, di Rusia telah berlangsung gerakan Progrom yang
melibatkan seorang Yahudi dalam aksi gerakan revolusioner dan memicu terjadinya aksi

50

yang berprofesi sebagai jurnalis tidak mau setengah hati dalam


mewujudkan rencana besarnya ini. Kongres Zionis I di Bassel tahun
1897 memutuskan bahwa Zionisme dibentuk sebagai alat untuk
mendirikan negara berdaulat di Palestina. Sebagai tindak lanjut, Herzl
berkunjung ke Yerusalem untuk merancang strategi pembentukan negara
Isarel (Tuchman, 1984: 231).
Dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi Kongres Zionis di
Bassel, Herzl melakukan kunjungan ke Palestina. Ia mulai melakukan
konsolidasi secara persuasif untuk membaca peta politik terkait dengan
rencana pendirian negara Yahudi.16 Banyak perubahan yang terjadi saat
Herzl berada di Yerusalem, terutama pada aspek perdagangan. Banyak
barang-barang yang diimpor ke Yerusalem, misalnya jeruk dari Jaffa,
jubah dari Bettelhem dan sebagainya.
Tahun 1839-1876 Herzl melakukan terobosan yang dikenal dengan
nama Tanzimat. Dengan terobosan ini, Herzl semakin mempunyai
pengaruh kuat di Yerusalem hingga pemerintahan Turki Utsmani tidak

pembunuhan Tsar Alexander II di tahun 1881 M. Kesalahan satu orang Yahudi tersebut tanpa
diduga menyulut amarah Rusia kepada bangsa Israel. Mereka diusir dari Rusia. Pasca insiden,
sebagian melarikan diri ke Eropa Barat dan Amerika, dan sebagian yang lain memilih pindah ke
Palestina. Dengan keadaan ini, Herzl mengurungkan diri untuk mencari dukungan di Rusia.
Kehadiran mereka di Eropa Barat juga kurang mendapatkan sambutan. Puncaknya adalah
munculnya gerakan anti-Semit (Anti-Yahudi) yang mengakibatkan terjadinya pembantaian kaum
Yahudi yang dikenal dengan Holocaust (Bakar, 2008: 227).
16

Dua tahun sebelum Herzl mengunjungi Palestina, Yahudi menjadi penduduk mayoritas di
Yerusalem dengan total 28.110 orang. Penduduk Kristen berjumlah 8.750 orang dan Islam
berjumlah 8.560 orang. Namun, kuasa perpolitikan dipegang kaum muslim seiring dengan
pendudukan Turki Utsmani. Turki Utsmani mempunyai kebijakan bahwa status penduduk Yahudi
dan Kristen dianggap sebagai turis (foreign passport). Jadi mereka belum diakui sebagai penduduk
Yerusalem (Dockser, 2007: 41).

51

bisa mengendalikannya. Paradigma sosial-kemasyarakatan bergeser.


Masyarakat Kristen semakin bebas menyebarkan ajarannya dan warga
asing bisa dengan bebas membeli properti dan mendirikan permukiman
baru. Keadaan semakin tidak terkontrol. Klimaksnya, pemerintah Turki
Utsmani mengakui kota Yerusalem terbagi menjadi beberapa bagian
setelah lebih kurang selama 300 tahun berada di bawah kekuasaan Turki
Utsmani (Dockser, 2007: 42).
Inilah Yahudi. Mereka mempunyai strategi dan kemampuan
komunikasi politik yang sistematis. Tidak mengherankan jika pihak
muslim merasa khawatir dengan kekuatan Yahudi. Bahkan, jauh
sebelum Herzl melakukan kunjungan ke Palestina, negara-negara Arab
sudah mewaspadai masuknya Yahudi ke kawasan mereka. Bagaimana
Herzl bisa masuk ke kawasan Palestina? Disebutkan bahwa dalam
pemerintahan Turki Utsmani terdapat beberapa unsur Yahudi. Ini
menjadi faktor keberhasilan Herzl masuk ke kawasan Palestina
(Dockser, 2007: 43).
Ketika merintis ide Zionisme sebagai alat untuk mendirikan negara
Yahudi, menurut Rollin (2002: 152), Herzl dan para founding fathers
menghadapi problem finansial dan dukungan politik. Dalam situasi ini
Inggris menyatakan kesediaannya menjadi partner Zionis. Bahkan di
saat Herzl belum mendapatkan kepastian tentang kemungkinan pendirian

52

negara Yahudi di Palestina,17 Inggris menawarkan lokasi di Afrika


Timur sebagai alternatif lain. Namun saat ide ini disampaikan dalam
Kongres Zionis, mayoritas anggota menolak. Salah satu tokoh yang
lantang menolak ide tersebut adalah Victor Jacobson yang nantinya
menjadi otak berdirinya Zionis setelah Young Turk menguasai
Konstantinopel (Dockser, 2007: 49).
Pada tahun 1898, Yusuf Khalidi menjabat sebagai Walikota
Yerusalem. Yusuf Khalidi dan keponakannya, Ruhi Khalidi membujuk
Herzl agar mencari tempat alternatif lain untuk pendirian negara Yahudi.
Belum sampai Herzl menanggapi permintaan Yusuf dan Ruhi, Herzl
kembali ke negaranya, Viena. Pada kesempatan itu, Yusuf Khalidi
berkirim surat kepada Herzl. Isi surat itu masih berkaitan dengan
permintaannya kepada Herzl untuk mencari alternatif lain selain
kawasan Yerusalem (Dockser, 2007: 46-47). Herzel menegaskan, Yusuf
Khalidi tidak perlu khawatir dengan rencana pendirian negara Yahudi

17

Bangsa Israel mempunyai landasan ideologis berupa Taurat. Dari tinjauan akidah muslim, kitab
Taurat yang dalam tradisi agama Kristen dikenal sebagai Kitab Perjanjian Lama- harus diimani
sebagai firman Allah pada Nabi Musa. Namun pada perkembangannya, kitab Taurat-Yahudi
sekarang ini penuh kedustaan. Bahkan sekedar mencerminkan pikiran para rabi masa lalu. Tentang
klaim Palestina, dalam al-Quran tidak terdapat teks janji Allah untuk memberikan kepada
keturunan Nabi Ibrahim tanah Palestina. Allah telah berfirman kepada nabi Musa agar
menyelamatkan bangsa Israel, memerintahkan kepada mereka lari dari Mesir menuju Palestina.
Berdasarkan firman ini, berarti bangsa Israel diperkenankan untuk mendiami Palestina, tapi sejauh
mereka masih dalam ketaatan. Kenyataannya justru mereka berdusta (Bakar 2008). Mengomentari
penjelasan dalam Kitab Kejadian 15: 18, Dewey Beegle, seorang doktor dari Wesley Theological
Seminary, mengatakan, Bangsa Israel kuno telah gagal mematuhi perintah Tuhan sehingga
mereka telah kehilangan janji atas tanah Palestina.

53

karena Yahudi berjanji akan menciptakan perdamaian di Timur-Tengah.


Dalam suratnya Herzl menulis:
Do you believe that an Arab who owns land in Palestine, or a house worth three
or four thousand francs, will be sorry to see their value rise five-and ten-fold?
But this would most certainly happen with the coming of the Jews. And this is
what one must bring the natives to comprehend. If one looks at the matter from
this viewpoint, and it is the right viewpoint, one inevitably becomes a friend of
Zionism (Dockser, 2007: 47).

Dalam hubungan jarak jauh ini, Herzl dan Yusuf Khalidi terlibat
komunikasi politik terkait masa depan pendirian negara Israel di
kawasan Palestina. Di Viena, Herzl menulis sebuah novel futuristikimajinatif yang berjudul Old-New Land. Dalam novel tersebut, Herzl
mengungkapkan ketidakpuasannya atas komunikasi politiknya dengan
Yusuf Khalidi. Novel imajiner itu berisi rencana Herzl terhadap masa
depan Palestina. Dalam novel tersebut, tokoh Reschid Bey berperan
sebagai Yusuf Khalidi. Hanya saja, Reschid Bey diceritakan sebagai
Walikota Yerusalem yang menyambut gembira rencana pendirian negara
Yahudi di Palestina karena negara tersebut akan menciptakan stabilitas
politik di Palestina. Selain itu, negara ini berpotensi meningkatkan
kualitas perdagangan di Palestina, terutama di Yerusalem. Pertimbangan
inilah sebagaimana diceritakan novel imajiner tersebut- yang membuat
Reschid Bey mendukung penuh berdirinya negara Israel di Yahudi.
Inilah mimpi besar Herzl. Ia dikenal sebagai tokoh pragmatis. Dengan
cara apapun Herzl tetap berkeinginan mewujudkan berdirinya negara
Yahudi.

54

Dalam konteks ini, Kesultanan Turki Utsmani pernah memberikan


opsi kepada Herzl bahwa pihaknya memperbolehkan warga Yahudi
melakukan imigrasi ke Yerusalem dengan syarat tidak lebih dari 250
orang. Jumlah tersebut akan diakui secara otomatis sebagai warga
negara. Namun Herzl keberatan dengan opsi tersebut (Dockser, 2007:
49). Peneliti melihat bahwa Herzl akan melakukan langkah-langkah
sistematis demi berdirinya negara Yahudi. Disamping motif keagamaan,
motif politik memberikan pengaruh yang signifikan. Berdirinya negara
Israel minimal menjadi bukti bahwa tesis yang dikembangkan Eugen
Karl Duhring tentang wacana pemusnahan Yahudi tidak terbukti. Pada
tingkat wacana, Herzl juga menulis sebuah buku berjudul Der
Judenstaat (The Jews State) sebagai wacana penyeimbang atas tesis
Duhring.
Pendirian negara Israel di kawasan Palestina berkaitan erat dengan
lahirnya Deklarasi Balfour. Pada 2 November 1917 M, Menteri Luar
Negeri Inggris, Arthur James Balfour melalui persetujuan sidang kabinet
mengeluarkan surat resmi berisi janji kepada bangsa Israel. Surat ini
kemudian lebih dikenal dengan Deklarasi Balfour. Selanjutnya surat ini
diberikan kepada L. Rothschild, presiden Federasi Zionis Inggris. Dalam
Deklarasi Balfour tersebut dikatakan bahwa pemerintah Inggris
menyetujui didirikannya sebuah Tanah Air bagi bangsa Yahudi di
Palestina, dan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk melancarkan
pencapaian tujuan ini, setelah dipahami secara jelas bahwa tidak akan

55

dilakukan sesuatu yang dapat merugikan hak-hak sipil dan hak-hak


keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak
dan status politik yang dinikmati oleh setiap bangsa Yahudi di negeri
lain.
Menurut Bakar (2008: 223-224), beberapa ahli berpendapat bahwa
Deklarasi Balfour inkonstitusional. Inggris tidak memiliki hak
sedikitpun terhadap Palestina. Wilayah Palestina bukanlah daerah
jajahan Inggris, melainkan dalam kekuasaan Turki Utsmani di Istanbul.
Artinya, jika pendirian negara Israel didasarkan atas Deklarasi Balfour,
maka hal itu tidak sah.
Inggris punya alasan untuk mendukung Israel. Obsesi Herzl untuk
memajukan Palestina,18 merupakan langkah positif yang harus didukung.
Inggris yakin Palestina akan mengalami kemajuan pesat jika negara
Yahudi bisa berdiri di sana. Kemampuan Israel dalam pemberdayaan
tanah dipandang efektif untuk menjadikan beberapa kawasan di
Palestina sebagai area pertanian yang akan memberikan hasil berlimpah
karena diolah dengan teknologi dan metode pertanian mutakhir
(Armour, 2002b: 155).
Selain Deklrasi Balfour, landasan konstitusi berdirinya negara Israel
adalah perjanjian Sykes-Picot tahun 1916. Sykes-Picot merupakan

18

Teodore Herzl pernah menegaskan kepada Yusuf Khalidi bahwa Yahudi di kawasan TinurTengah akan membawa kemajuan di pelbagai bidang, utamanya perdagangan. Selain itu, Herzl
juga menjamin keamanan dan kerukunan antar umat beragama yang ada di sana. Hal ini
ditegaskan oleh Herzl demi menarik simpati Yusuf Khalidi agar memperkenankan berdirinya
negara Yahudi di Palestina.

56

perjanjian antara Inggris dan Perancis untuk membagi kekuasaan di


Timur Tengah. Inggris menguasai Irak, Jordania dan Haifa di
Palestina,19 sedangkan Perancis memilih Syria dan Lebanon. Selain dua
landasan di atas, Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947 M
merupakan penguat landasan berdirinya Israel. Resolusi tersebut
membagi Palestina menjadi tiga bagian. Pertama, daerah untuk NegaraBangsa Israel seluas 57% dari keseluruhan negeri Palestina yang
sebagian besar adalah kawasan subur. Kedua, daerah untuk negarabangsa Arab-Palestina seluas 42% meliputi daerah tandus. Ketiga, kota
Yerussalem sebagai zona internasional (Bakar, 2008: 225-226). Di atas
fondasi tiga landasan tersebut, Israel mengokohkan diri untuk
mendirikan negara Yahudi yang berdaulat di Palestina.
Meski harus melewati proses yang panjang, pada 4 Mei 1948,
David Ben Gurion berhasil mendeklarasikan negara Israel sebagai
negara bangsa di atas tanah milik bangsa muslim Palestina. Pada tahap
awal, Israel mengkoordinir kelompok-kelompok dari kalangan Yahudi
Ortodoks

yang

siap

hidup

dan

menetap

di

Palestina.

Pada

perkembangannya, jumlah penduduk Yahudi meningkat pesat. Jika pada


tahun 1922 total penduduk Yahudi berjumlah 83.790 orang, pada tahun
1948 jumlahnya meningkat menjadi 700.000 (Armour, 2002b: 159).

19

Pada waktu yang sama Inggris memiliki kesepakatan dengan Syarif Husain di Hijaz terkait
dengan masa depan Timur-Tengah. Jadi langkah yang diambil pihak Inggris dinilai kurang
proporsional.

57

Demi mengukuhkan eksistensinya sebagai negara, pemerintah Israel


meminta dukungan kepada Amerika Serikat dan Inggris. Dua negara ini
diharapkan efektif membantu Israel dalam menghadapi perlawanan demi
perlawanan yang merongrong eksistensi Israel (Evron, 1995: 133).
Setelah kokoh secara infrastruktur, tahun 1950 Israel mengeluarkan
deklarasi yang menyatakan bahwa negara Israel terbuka untuk semua
imigran Yahudi. Secara otomatis mereka berstatus sebagai warga negara
Israel. Langkah semacam ini ditempuh demi memperkokoh eksistensi
negara Israel yang diimpikan Herzl (Hiro, 1999: xix-xx).
Bangsa Yahudi-Israel terus melakukan ekspansi. Posisi bangsa
Palestina terpojok. Mereka hijrah ke negara tetangga, seperti Mesir,
Suriah, Yordania, dan Lebanon. Hubungan kedua negara pun menegang.
Puncak ketegangan adalah ketika Yasir Arafat membentuk Palestine
Liberation Organization (PLO), Organisasi Pembebasan Palestina
didirikan tahun 1969.
Setelah mengamati bagaimana kronologi berdirinya negara Israel,
peneliti menemukan beberapa persamaan dengan konflik Perang Salib.
Jika pada Perang Salib kedua belah pihak merasa berhak menduduki
Yerusalem, pada kasus ini, kedua belah pihak (Israel dan Palestina)
dalam posisi berhak menduduki Palestina. Titik persamaan lainnya
terletak pada motif. Pada Perang Salib, Paus menyerukan Pasukan Salib
untuk melakukan ziarah suci sekaligus merebut Yerusalem dari umat
Islam. Penguasaan umat Islam atas Yerusalem dinilai mengancam

58

eksistensi agama dan ajaran Kristus. Meskipun terjadi silang pendapat,


pada konflik Israel-Palestina, Palestina diklaim sebagai daerah yang
dijanjikan Tuhan (promised land).
Hemat peneliti, kedua konflik ini sarat dengan kepentingan politik,
ekonomi dan agama. Pada Perang Salib, aspek politik begitu kental.
Pertarungan masing-masing pimpinan dari pasukan Muslim dan Kristen
menunjukkan bahwa penguasaan atas tanah Yerusalem menjadi
barometer kekuatan. Dari aspek ekonomi bisa dilihat dari ragam respon
umat Kristen menyambut seruan Paus untuk melakukan Perang Suci.
Dari aspek agama, perebutan Kota Suci Yerusalem menjadi bukti bahwa
nuansa keagamaan memberikan warna penting dalam konflik ini.
Pada konflik Israel-Palestina, aspek politik terlihat pada manuvermanuver Barat Barat (Amerika Serikat dan Inggris). Mereka bertekad
menguatkan hegemoninya di panggung perpolitikan dunia meskipun
dengan cara-cara yang dinilai banyak pihak inkonstitusional. Aspek
ekonomi bisa dibaca sejak Herzl memasuki Palestina. Ia melakukan
inovasi-inovasi di bidang perdagangan. Komunikasi politik antara HerzlRuhi Kholidi dan dukungan Inggris atas berdirinya Israel ini menggiring
pada kesimpulan bahwa aspek ekonomi memegang peranan penting
dalam konflik ini. Bagaimana dengan aspek agama? Sentimen
keagamaan dalam konteks ini terbaca secara jelas ketika umat Islam dan
Yahudi sama-sama mengklaim sebagai pihak yang berhak atas
kepemilikan Palestina sebagai negara suci. Keduanya juga saling

59

menguatkan argumennya dengan dasar-dasar yang mereka ambil, baik


dari al-Quran atau Injil. Tidak mengherankan jika keduanya dalam
posisi berhadap-hadapan. Umat Islam mempertahankan tanah Palestina
dan Israel tetap bertekad menguasai seluruh wilayah Palestina (Shlaim,
2000: 598).

C. Hubungan Islam dan Barat Pasca Tragedi WTC


Robohnya gedung World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001
merupakan kejadian fenomenal. Bagaimana tidak? Karena kejadian ini, Islam
dan Barat dalam posisi yang seolah-olah saling mengancam. Menurut Bergen
(2001: 63), pasca tragedi, jutaan warga Amerika Serikat bertanya; ada apa
dengan Amerika? Kenapa harus Amerika? Pelbagai spekulasi pun muncul,
termasuk dugaan bahwa tragedi ini dilakukan oleh kelompok jaringan AlQaeda.
Implikasi pasca tragedi 9/11 tidak berhenti pada dugaan pelaku, 20 tapi
juga menjadi penanda wacana dimulainya babak baru konflik Islam dan Barat
sebagaimana diprediksikan oleh Bernard Lewis dan Samuel P. Huntington.
Keduanya telah menuliskan tesis bahwa akan terjadi benturan peradaban
antara Islam dan Barat pasca Perang Dingin. Dan inilah saatnya.
Memanasnya wacana benturan peradaban ini diperparah dengan opini
yang datang dari kedua belah pihak. Paus John Paul II melukiskan tragedi
tersebut sebagai horor yang tidak bisa diungkapkan dengan kalimat apapun
20

Mereka yang dituduh sebagai pelaku dilabeli sebagai teroris. Istilah terror yang pertama kali
digunakan pada masa Revolusi Perancis pun semakin sering digunakan sebagai ekspresi
permusuhan yang melibatkan kedua belah pihak (Elshtain, 2003: 18).

60

(Unspeakable Horror).21 Sementara di pihak lain, Osama bin Laden


menyebutnya sebagai keputusan yang sangat gemilang (Glorious Deed). Dua
opini yang kontrapoduktif ini ikut menaikkan tensi hubungan antara Islam
dan Barat (Elshtain, 2003: 12).
Tragedi 9/11 pada tesis ini peneliti jadikan sebagai simbol kejadian yang
menandai kembali ketegangan antara Islam dan Barat. Menurut Daniel Pipes
(2002: 137) tragedi yang telah menewaskan lebih dari 3000 jiwa ini bukanlah
tragedi yang pertama kali kaitannya dengan ketegangan antara Islam dan
Barat. Bisa dikatakan, tragedi 9/11 merupakan kelanjutan sejarah masa
lampau.
Dalam

pandangan

Pipes

(2002:

136),

tragedi

9/11

sekaligus

mempertegas permusuhan kaum militan terhadap Amerika Serikat. Kejadian


ini juga dikaitkan dengan serangkaian pembunuhan terhadap tokoh pro
Amerika Serikat yang dilakukan kaum militan. Misalnya, pada Juli 1980
terjadi pembunuhan terhadap Ali Tabatabai oleh David Belfield di
Washington DC. Kemudian pada Januari 1990, pembunuhan terhadap
Rasyad Khalifah di kawasan Arizona. Sepuluh bulan kemudian Rabbi Meir
dibunuh oleh Sayed Nosair yang berkebangsaan Mesir di kawasan New
York. Selain itu, kaum militan berkebangsaan Pakistan, Mir Aimal Kansi
melakukan serangan terhadap serombongan anggota CIA di Virginia. Pada
serangan tersebut, dua orang dinyatakan tewas. Dan masih banyak kisah lain
21

Dalam isu kontemporer, tragedi 9/11 ini memberikan efek yang begitu cepat terhadap perubahan
iklim perpolitikan terutama yang berkaitan dengan hubungan antara Islam dan Barat. Kaum Islam
Militan menjadi tema perbincangan pelbagai media di dunia. Mereka dituduh telah membunuh
ribuan jiwa tak berdosa (Amstrong, 2001: vii).

61

yang menorehkan daftar panjang perilaku kaum militan yang dirilis oleh
pemerintah Amerika Serikat.
Selain hal di atas, tuduhan terhadap Osama bin Laden pun melahirkan
teka-teki. Beberapa sumber menyatakan, Osama bin Laden merupakan
mantan anak didik Amerika Serikat yang dilatih perang guna membantu
Amerika Serikat menghadapi Uni Soviet. Osama membelot dan balik
melakukan serangkaian ancaman terhadap Amerika Serikat. Menurut
Huggler, (2002: 5) Osama bin Laden adalah anak didik Amerika Serikat. CIA
bahkan disebut-sebut membantu Osama bin Laden membangun camp-camp
tempat latihan para teroris. Data-data ini mengarah pada kesimpulan bahwa
Amerika Serikat diduga menjadi designer terbentuknya jaringan Al-Qaeda
(Bergen, 2001: 63).
Pasca tragedi, hubungan Islam dan Barat mencapai titik klimaks. Pada
bagian ini, peneliti akan mengangkat polemik antara Amerika Serikat dan
empat negara, yaitu Afghanistan, Irak, Iran dan Palestina dengan tanpa
bermaksud menegasikan konflik lainnya. Hal ini demi memudahkan peneliti
dalam merunut akar persoalan yang terjadi antara Islam dan Barat kaitannya
dengan strategi Obama dalam mengharmoniskan hubungan antara Islam dan
Barat. Pertimbangan lain, polemik yang terjadi di empat negara ini telah
memproduksi ragam fenomena yang menarik untuk diangkat dalam konteks
kekinian dan kaitannya dengan masa lalu hubungan Islam dan Barat.

62

1.

Konflik Afganistan
Pasca Tragedi 9/11 Afghanistan termasuk negara yang paling
menyita perhatian dunia. Ia disebut-sebut sebagai tempat persembunyian
sekawanan teroris yang berada dalam naungan rezim Taliban22 dan
jaringan Al-Qaeda. Serangan itu sangat menghentakkan publik Amerika
Serikat. George W. Bush, Dick Cheney, Condoleza Rice dan beberapa
pejabat penting Gedung Putih melakukan koordinasi guna mengambil
langkah-langkah strategis terkait tindak terorisme itu. Hasilnya, secara
mufakat

mereka mendeklarasikan perang melawan teroris

dan

memutuskan untuk melakukan perburuan di Afghanistan yang diduga


menjadi persembunyian anggota Al-Qaeda (Kagan, 2003: 74-76).
Deklarasi perang melawan teroris ini mendapatkan dukungan
penuh dari beberapa otoritas keagamaan, yaitu Keuskupan, Kardinal dan
segenap Pimpinan Katolik. Mereka menyerukan Bush agar segera
mengambil

langkah-langkah

strategis.

Tujuannya

tidak

hanya

menangkap para tersangka tindak terorisme, tapi lebih kepada


22

Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni yang menguasai Afganistan sejak tahun 1996
hingga tahun 2001. Kelompok ini hanya mendapatkan pengakuan diplomatik dari tiga negara,
yaitu Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Pakistan. Rezim Taliban dikenal dengan berhaluan keras
dalam mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Pemberlakukan ajaran Islam di Afganistan dalam
perspektif beberapa pihak- dirasakan sangat memberatkan, terutama kebijakan yang berkaitan
dengan kaum hawa. Fakta menarik yang perlu diungkap adalah mengenai alasan ketatnya
pemberlakukan ajaran Islam. Pihak Taliban menegaskan bahwa ketatnya pemberlakuan ajaran
Islam tidak lain merupakan upaya menyadarkan masyarakat Afganistan yang dipimpin oleh rezim
yang semakin jauh dari tuntunan agama Islam dengan membawa jargon Peace and Security
(Perdamaian dan Keamanan). Menurut salah seorang tokoh penting dalam pemerintahan Taliban,
Arsala Rahmani, sikap yang diambil oleh rezim Taliban semtaa-mata demi perlawanan terhadap
pemerintahan Afganistan yang didukung penuh oleh pemerintahan Amerika Serikat (Herlinger,
2006: 11).

63

penghancuran rezim Taliban yang berhaluan keras. Menurut (Dempsey,


2002: 177), kelompok berhaluan keras harus diwaspadai karena
berpotensi menaikkan suhu perpolitikan dunia, utamanya terkait
hubungan antara Islam dan Barat.
Berdasarkan berita yang dilansir oleh Majalah Tempo edisi 8
Oktober 2001 pukul 12:0:11, berikut kronologi detik-detik penyerangan
Afganistan oleh serdadu Amerika Serikat.
Pada tanggal 1 Oktober 2001, USS KityHawk meninggalkan pangkalan angkatan
laut Yokosuka di Jepang menuju Laut Hindia dan memuat lebih kurang 75
pesawat tempur dengan berbagai tipe. Esoknya (2/10) mantan Kepala Pejuang
Mujahidin, Abdul Haq, kembali ke Afghanistan untuk memperkuat front oposisi
Taliban. 3 Oktober Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld, memulai
kunjungannya ke Timur Tengah dan Asia Tengah, untuk mencari dukungan
melawan terorisme. Bekas Jenderal AS saat Perang Teluk, Barry McCaffrey,
menyatakan serangan AS ke Taliban akan dilakukan tanpa pemberitahuan
terlebih dulu. Perancis melalui Perdana Menterinya, Lionel Jospin, menyatakan
mendukung AS dan wilayah udaranya diizinkan untuk digunakan oleh pesawatpesawat AS dan bersedia memberikan dukungan logistik bagi pasukan AS di Laut
India.
4 Oktober Kongres Jepang, melalui Perdana Menterinya, Junichiro Koizumi,
mendukung rencana AS memerangi teroris, dengan menyediakan transportasi
pesawat untuk mengangkut para pengungsi keluar dari Afghanistan. Militer
Afghanistan sudah melakukan persiapan menghadapi serangan AS dan
sekutunya, yang kabarnya semakin mendekat. Pasukan elit Inggris, Special Air
Service (SAS), siap bergabung dengan pasukan AS, sebagai bentuk dukungan
negara tersebut. 5 Oktober Sekitar 1000 tentara AS berada di Uzbekistan, yang
berbatasan langsung dengan Afghanistan, setelah negara tersebut mengizinkan
salah satu pangkalan udaranya digunakan untuk keperluan pesawat-pesawat AS.
Seorang intelejen senior dari komite senat intelejen AS, memastikan bahwa
serangan ke Afghanistan 100 persen pasti terjadi dalam waktu dekat. 6 Oktober
Sekitar 10.000 anggota marinir AS melakukan latihan di sebuah gunung batu,
Sierra Nevada, sebagai adaptasi terhadap kondisi alam di Afghanistan. Aliansi
Utara menggerakkan pasukannya sehingga mendekati 56 kilometer dari kota
Kabul.
Inggris mengultimatum Taliban untuk segera menyerahkan Osama bin Ladin.
Presiden Georgia, Eduard Shevardnadze, mengizinkan lapangan udara negaranya
digunakan AS untuk keperluan menyerang teroris. Menteri Pertahanan AS selesai
berkeliling Arab Saudi, Oman, Mesir, Uzbekistan, dan Turki, sebagai sebuah
upaya membangun koalisi. Presiden Bush, memperingatkan waktu menyerahkan
Usamah telah habis bagi Taliban. 7 Oktober Amerika Serikat dan Inggris
menyerang Afghanistan pukul 16.45 waktu setempat.

64

Konflik Afganistan termasuk konflik Timur-Tengah yang sangat


pelik. Terhitung pasca tragedi 9/11, hingga saat ini pemerintah Amerika
Serikat terus melakukan penambahan pasukan. Hal itu dimaksudkan
untuk mempercepat pemulihan keamanan dan menekan kekuatan
Taliban dan Al-Qaeda. Pihak Washington menduga anggota jaringan AlQaeda dan Taliban masih eksis karena serangan-serangan yang mereka
lancarkan masih sangat signifikan.
Apakah ada motif lain selain itu? Menurut Husaini (2005: 90),
tidaklah sulit membaca motif atau misi Amerika Serikat di Afganistan.
Dari dulu, Amerika Serikat sudah kenal siapa Taliban. Beberapa jam
setelah Taliban menaklukkan Afganistan pada September 1996, Glyn
Davies, pejabat pembantu Juru Bicara Deplu Amerika Serikat
menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak keberatan dengan misi
Taliban untuk menegakkan Syariat Islam. Di balik dukungan ini,
Amerika Serikat hendak menggalang kekuatan dari Taliban untuk
membantu Amerika Serikat dalam program pipanisasi minyak dari
negara-negara eks-Soviet yang melalui Afganistan dan Pakistan.
Sebagaimana informasi yang dikeluarkan Energy Information
Administration (EIA), pada tahun 2020, Amerika Serikat harus
mengimpor minyak sebesar 18,8 juta barrel per hari. Setelah
mengkalkulasi besarnya biaya yang harus dikeluarkan, pemerintah
Amerika Serikat memandang perlunya program pipanisasi minyak
sepanjang 440 mil melalui Afganistan. Terkait dengan hal itu, Beberapa

65

pejabat Amerika Serikat melakukan pertemuan beberapa kali dengan


pihak Taliban. Hasilnya, Amerika Serikat gagal mendapatkan dukungan
dari Taliban.
Peta politik berubah. Amerika Serikat segera menyiapkan kebijakan
baru. Taliban pun dicap sebagai musuh yang harus diperangi. Alasannya,
Taliban tidak demokratis. Bagaimana dengan Saudi Arabia? Jika
alasannya demikian, kenapa Amerika Serikat tidak juga memerangi
Saudi Arabia. Bukankah negara itu lebih tidak demokratis? Apakah
karena Taliban merupakan militan Islam sehingga harus dimusuhi dan
dijadikan sebagai musuh utama oleh Barat sebagaimana dikatakan
Bernard Lewis dan Samuel P. Huntington?
Dari fakta-fakta di atas, tampak bahwa motif Amerika Serikat
sangatlah beragam. Aspek politik, ekonomi dan agama menjadi faktor
penting pecahnya konflik di sana. Dari aspek politik, serangan ini
menunjukkan bahwa Amerika Serikat ingin menguatkan hegemoninya di
kawasan Timur Tengah. Perang melawan teroris yang dideklarasikan
Amerika Serikat menjadi bukti, ia hendak menunjukkan kekuatannya
dan pengaruhnya dalam konstelasi perpolitikan dunia.
Pada aspek ekonomi, ambisi mensukseskan program pipanisasi
menunjukkan, Amerika Serikat sedang membutuhkan dana tidak sedikit
terkait kebutuhan minyaknya. 18,8 juta barrel bukan jumlah yang kecil
jika itu untuk memenuhi kebutuhan sehari. Oleh karena itu, Amerika
Serikat melobi Taliban sebagai penguasa di Afganistan- untuk ikut

66

mensukseskan program tersebut. Taliban menolaknya. Amerika Serikat


pun menganggap Taliban sebagai musuh yang harus diperangi.
Menariknya, Amerika Serikat mendeklarasikan perang melawan Taliban
sebagai perang melawan radikalisme agama. Jadi, telah terjadi politisasi
agama dalam konflik Afganistan.
Alhasil, kepentingan politik, ekonomi dan agama begitu kental
mewarnai konflik di Afganistan. Konflik ini terus memanas hingga
sekarang. Bahkan, area konflik telah melebar ke Pakistan karena banyak
pihak menduga, para teroris bergerak di antara dua negara ini.

2.

Konflik Irak
Tahun 2003 adalah tahun bersejarah bagi negara Irak dan Amerika
Serikat. Tahun itu merupakan masa dimana sejarah tirani di Irak telah
berakhir seiring dengan invasi pasukan koalisi Amerika Serikat dan
Inggris ke Irak.
Pada hari Kamis 20 Maret 2003 pukul 05.30 Waktu Baghdad,
pasukan gabungan Amerika Serikat-Inggris melancarkan serangkaian
serangan ke Baghdad. Target pertama serangan tersebut adalah
menangkap Saddam Husein. Serangan tersebut selanjutnya dikenal
dengan nama Decapitation Attack. Serangan Amerika Serikat ke Irak
melahirkan paradigma baru. Pertanyaan; apa yang diinginkan Amerika
Serikat dari negeri Irak ini? pun mengemuka. Benarkah Amerika Serikat
hendak menegakkan demokrasi di Irak dengan meruntuhkan tirani
Saddam Husein? Apakah Irak dibawah Amerika Serikat akan menjadi

67

lebih baik? Pertanyaan tersebut merupakan teka-teki di balik invasi


tersebut. Teka-teki ini perlu dikaji secara komprehensif.
Beberapa ahli mengatakan, invasi Irak merupakan bagian dari
upaya mewujudkan ambisi Amerika Serikat untuk memperkuat
hegemoni Amerika Serikat di kawasan Timur-Tengah. Invasi ini
disebut-sebut sebagai kelanjutan dari kemenangan Amerika Serikat
dalam Perang Teluk tahun 1991. Muzaffar (2004) menyatakan,
kemenangan Amerika Serikat tersebut menjadi lengkap seiring dengan
runtuhnya Uni Soviet. Ini berarti Amerika Serikat menjadi negara
adikuasa yang memegang kendali dinamika politik dunia.
Menurut Husaini (2005: xxvii) invasi ke Irak tahun 2003 sarat
dengan sentimen-sentimen keagamaan. Dukungannya terhadap Israel
tidak bisa lepas begitu saja dari jargon Gold, Gospel dan Glory yang
pernah diusung pada masa kolonialisme klasik. Selain itu, invasi ini juga
sarat dengan tendensi ekonomi. Salah satu misi ekonomi Amerika
Serikat dalam Perang Teluk adalah menguasai minyak dunia dan sektor
ekonomi lainnya. Namun impian ini belum bisa direalisasikan seiring
dengan kekalahan Bush pada Pemilu Presiden tahun 1992.
Impian yang sempat tertunda itu akhirnya menemukan titik terang
disaat Bush Yunior terpilih menjadi presiden pada Pemilu Presiden
bulan November 2000. Pemerintahan Bush ini bahkan telah menyusun
agenda besarnya terkait dengan langkah-langkah sistematis Amerika
Serikat di kawasan Timur-Tengah dalam rencana bertajuk National

68

Security Strategy (NSS) yang dirilis pada 20 September 2002. Dalam


NSS disebutkan, Amerika Serikat akan mengoptimalkan kekuatan
militernya untuk menguasai dunia. Invasi Irak juga berhubungan erat
dengan kepentingan Israel di Timur-Tengah. Irak yang dengan kekuatan
militernya, merupakan ancaman terbesar bagi Israel. Wajar jika invasi
Irak ini juga disebut-sebut sebagai Perang Israel.
Selain untuk kepentingan politik di Timur-Tengah, duet Amerika
Serikat-Israel juga berencana untuk menguasai sumber daya minyak Irak
yang merupakan penyimpan cadangan minyak terbesar di dunia.
Kepentingan Amerika Serikat untuk menguasai minyak tersebut
diperkuat dengan dua bangunan pemerintahan yang masih utuh saat
invasi disaat bangunan lainnya dihancurkan. Dua bangunan tersebut
adalah gedung kementerian minyak di Baghdad dan gedung kementerian
dalam negeri. Gedung kementerian minyak dianggap penting karena di
sana tersimpan dokumen-dokumen penting terkait dengan minyak yang
dimiliki Negeri Seribu Satu Malam tersebut. Sementara gedung
kementerian Dalam Negeri memegang peranan penting karena disana
tersimpan dokumen-dokumen penting terkait dengan keamanan negara.
Selain faktor di atas, faktor lain yang menguatkan tendensi
penguasaan minyak adalah kekhawatiran Amerika Serikat terhadap
kondisi ekonominya sendiri. Sejak tahun 1971, perdagangan minyak
dunia melakukan transaksinya dengan dollar. Namun pada bulan
Oktober

2000,

Irak

melakukan

transaksi

minyaknya

dengan

69

menggunakan mata uang euro. Bahkan, Venezuela lebih memilih


menggunakan barter dengan jasa atau barang dalam transaksinya
daripada harus menggunakan dollar.
Di saat banyak pihak mempertanyakan misi sebenarnya dari invasi,
Amerika Serikat menegaskan bahwa invasi perlu dilancarkan demi
melucuti senjata pemusnah massal yang diproduksi Irak. Sebelum invasi,
Amerika Serikat berhasil melakukan lobi ke DK PBB untuk
mengeluarkan Resolusi 1441 bulan November 2002 tentang pelucutan
senjara Irak. Resolusi inilah yang menjadi dasar legitimasi invasi
pasukan koalisi Amerika Serikat dan Inggris ke Irak (Muzaffar, 2002).
Majalah New Straits Times edisi 19 April 2003 dalam satu
laporannya bertajuk 1000 Hunt for weapons menjelaskan, tuduhan
penyimpanan Senjata Pemusnah Massal tersebut tidak terbukti
sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Inspeksi Persenjataaan PBB, Dr.
Hans Blix.
Dalam Laporan Khusus Gatra edisi 7 Februari 2003 yang bertajuk
Perang Teluk II Permainan Bukti Tebak-Tebakan, Wilis Pinidji
mengungkap beberapa fakta mengenai invasi ini.
Sebelum Amerika Serikat melancarkan serangan ke Irak, George W. Bush sibuk
melakukan lobi-lobi politik ke beberapa pimpinan negara yang dianggap bisa
membantunya dalam Perang Teluk II ini. Perdana Menteri Inggris, Tony Blair
menjadi pemimpin pertama yang dilobi Bush terkait rencananya menginvasi Irak.
Selain Blair, ada sederet nama yang telah dilobi Bush, diantaranya Vaclac Havel
(Presiden Republik Czech), Hamad bin Isa al-Khalifa (Syeikh Bahrain), dan
Leszeck Miller (Perdana Menteri Polandia).
Bush nampaknya menunggu hingga tanggal 14 Februari 2003 dimana Tim
Inspeksi Senjata PBB mengenai senjata nuklir, biologi dan kimia Irak akan
diserahkan kepada Dewan Keamanan PBB. Inilah saat yang dinanti Bush. Jika
Sadam Husein tidak kooperatif, Bush akan menekan PBB untuk mengeluarkan

70

resolusi kedua yang mengesahkan penggunaan kekuatan militer atau menyatakan


bahwa Irak telah melanggar resolusi DK PBB No 1441 tentang pelucutan senjata.
Inilah yang melegalisasi Bush untuk menyatakan perang. Para perancang perang
Pentagon merencanakan Perang Irak setelah umat Islam merayakan hari raya Idul
Adha.
Ada fenomena menarik dari kasus ini bahwa data yang disampaikan Tim Senjata
PBB pimpinan Hans Blix dengan Ketua Badan Atom Internasional (IAEA),
Mohamed El-Baradei kontradiktif. Informasi Hans Blix yang menyatakan bahwa
Irak memiliki senjata pemusnah massal disanggah oleh Mohamed El-Baradei. ElBaradei menjamin bahwa Irak bersih dari senjata-senjata yang dituduhkan
Amerika Serikat. Tim Inspeksi mengatakan, Deklarasi Senjata dan Program
Nuklir setebal 12.000 halaman yang diserahkan Irak tidak lain adalah data lama
yang belum upgrade. Lebih lanjut El-Baradei menegaskan, Gedung Putih
terkesan mengada-ada sesuatu yang tidak mereka ketahui demi melegalkan
Perang Teluk II.

Fakta ini menegaskan bahwa kepemilikan senjata pemusnah massal


oleh Irak tidak bisa dibuktikan. Polemik seputar invasi Irak semakin
tajam. Amerika Serikat pun merancang rencana lain. Amerika Serikat
dan Inggris melancarkan opini bahwa Irak terkait dengan tragedi 9/11.
Sebagaimana dirilis Stars edisi 17 April 2003, seorang mantan
pemimpin Palestina, Abu Abbas yang pernah terkait tindak terorisme
delapan belas tahun yang lalu ditangkap dengan tuduhan terkait aksi
9/11.
Prediksi lain yang mengemuka: apakah Amerika Serikat hendak
menciptakan demokrasi di Irak dengan mengalahkan tirani Saddam
Husein? Jika pertanyaan itu benar, Muzaffar (2002: 212) menegaskan,
kenapa Amerika Serikat dan Inggris baru mempersoalkan kekejaman
Saddam Husein sekarang? Bukankah kediktatoran Saddam Husein
mencapai klimaksnya pada tahun 80-an, saat dimana Irak menjalin
persahabatan dengan Amerika Serikat dan Inggris? Atau, jika alasan
Amerika Serikat adalah membela Hak Asasi Manusia, bukankah teman

71

terbaiknya, Ariel Sharon melakukan pelanggaran HAM dalam serangan


di Palestina?
Membincang tentang konflik di Irak memang sangat komplek.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting dijawab karena akan
membuka ambiguitas invasi Irak ini. Melihat fenomena di atas, wajar
jika beberapa ahli mengatakan bahwa misi invasi ini sangat jauh dari
kesan demokratis. Sebaliknya, perang ini lebih tepat dikatakan sebagai
upaya Penyingkiran Rezim daripada Perubahan Rezim. Dan
Amerika Serikat berhasil mewujudkan misinya. Tirani Saddam Husein
jatuh dan Irak dibawah otoritas pemerintah Amerika Serikat.
Pasca perang, pemerintah Amerika Serikat telah membentuk
pemerintahan bernama Office of Reconstruction and Humanitarian
Assistance (Kantor Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan) yang
diketuai oleh Jenderal (Purn.) Jay Garner yang dikenal pro-Zionis dan
Mayor Jenderal Tim Cross. Merekonstruksi Irak bukanlah pekerjaan
yang mudah. Jika rekonstruksi itu hanya bersifat fisik yang memerlukan
dana triliunan dollar, mungkin bagi Amerika Serikat dan Inggris tidaklah
menjadi persolan. Persoalan serius yang harus dihadapi adalah konflik
sektarian yang terwarisi secara turun temurun. Secara garis besar,
komposisi masyarakat Irak terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Syiah
sebanyak 60 %, Sunni sebanyak 37 % dan Kristen sebanyak 3 %.

72

Seiring dengan pendudukan pasukan koalisi di sana, gelombang


penolakan dari masyarakat Irak semakin besar.23 Mereka beranggapan
bahwa Amerika Serikat belum banyak memberikan perubahan positif
terhadap Irak. Bahkan korban jiwa terus berjatuhan. Terbentuknya
pemerintahan sementara yang dikendalikan Washington ini nampaknya
menginspirasi kelompok neo-konservatif di Irak untuk membujuk Iran
agar dukungan yang diberikan kepada pejuang Palestina dan Hizbullah
dibelokkan ke arah perlawanan terhadap pemerintahan boneka Amerika
Serikat di Irak.
Fenomena tersebut tidak hanya ditakuti oleh Amerika Serikat dan
Israel, tapi juga oleh beberapa negara di Timur-Tengah yang punya
hubungan kurang baik dengan Irak. Mereka pun meningkatkan
kewaspadaan. Kalkulasinya,

jika perlawanan terhadap dominasi

Amerika Serikat di Irak semakin kuat, maka akan memberikan implikasi


terhadap kepentingan global, baik kepada Amerika ataupun sekutunya.
Ini pula yang menjadi teka-teki; kenapa Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni
Emirat Arab, dan Arab Saudi mengijinkan wilayahnya dimasuki pasukan
Amerika Serikat-Inggris kala hendak menginvasi Irak (Muzaffar, 2003:
217).

23

Sebagaimana dilansir dalam percakapan antara jurnalis kenamaan Inggris Robert Fisk dengan
Amy Goodman yang bertajuk An Anti-Colonial War Against the Americans May Have Already
Begun dalam situs Znet tanggal 22 April 2003, bahwa perang besar akan berkecamuk antara
Syiah dengan Amerika. Perang ini merupakan bagian terpenting setelah pasukan koalisi
menghadapai perlawanan dari Al-Qaedah, sisa-sisa rezim dan rakyat sipil.

73

Jika dilihat dari beberapa perspektif, Perang Irak memberikan kesan


bahwa negara-negara Arab dilanda krisis persatuan. Bangsa-bangsa Arab
seolah telah kehilangan empati terhadap saudaranya sendiri. Jika empati
terhadap sesama masih ada, setidaknya Perang Irak tidak perlu terjadi
atau minimal ditunda. Meskipun dunia mengakui kekuatan militer
Amerika Serikat dan Inggris, namun dengan sikap yang gentle dari
negara-negara Arab misalnya dengan tidak mengijinkan teritorinya
dilalui militer dua negara tersebut- setidaknya invasi ke Irak akan
mengalami hambatan.
Pertanyaannya; benarkah sikap para pemimpin Arab tersebut
sebagai bukti mereka balas dendam atas masa lalu Irak yang menginvasi
Iran dan Kuwait? Dalam hemat peneliti, mengulas persoalan Irak berarti
mengulas

problem

internal

negara-negara

Arab.

Jika

dunia

menginginkan terciptanya situasi yang lebih stabil di Irak, maka harus


ada keberanian dan itikad baik negara-negara Arab untuk bersama-sama
membicarakan masa depan Irak, terutama negara-negara yang selama ini
dikenal sebagai sekutu Amerika serikat misalnya Kerajaan Arab Saudi
dan Republik Arab Mesir.
Invasi ini terus mendapatkan kecaman. Kecaman tidak hanya
datang dari negara-negara yang notabene menjadi penentang Amerika
Serikat, melainkan juga dari dalam negeri Paman Sam tersebut. Sewaktu
masih menjadi senat, Obama menyatakan penolakannya terhadap Perang
Irak. Menurutnya peperangan ini tanpa visi. Obama menilai Perang Irak

74

sebagai perang bodoh yang dirancang dengan visi yang kosong.


Menurutnya, Richard Perle dan Paul Wolfowitz adalah nama-nama yang
harus

bertanggungjawab

terhadap

derita

masyarakat

Irak

dan

memanasnya suhu politik dunia akibat konflik Irak (Hikmah, 2008:


146). Sebagaimana dilansir dalam New Straits Times edisi 26 April
2003 bahwa Direktur Jenderal British Broadcasting Corporation (BBC)
Greg Dyke menyatakan, Fox News Channel (jaringan televisi kabel
paling populer selama Perang Irak) ikut bertanggungjawab atas efek
buruk

yang

dihasilkan

pasca

perang

karena

siaran-siarannya

menunjukkan patriotisme yang berlebihan.

3.

Konflik Iran
Sejak lebih dari satu dasawarsa Iran mewakili bentuk ancaman
terhadap Barat, terutama dengan figur Ayatullah Khomeini yang tidak
lain merupakan lambang revolusi Islam yang agresif dan produktif.
Khomeini disebut-sebut sebagai tokoh Islam bernyali kuat yang secara
lantang meneriakkan perlawanan terhadap Amerika Serikat. Di pelbagai
forum, Khomeini menyebut Amerika Serikat dengan Great Satan (Setan
Besar). Sikap Khomeini ternyata menjadi inspirasi bagi presiden Iran,
Mahmud Ahmadinejad. Ahmadinejad juga dikenal anti Amerika. Sikapsikap inilah yang membuat keduanyanya masuk dalam daftar orang
paling dibenci Amerika Serikat.
Fenomena terkini, Iran terlibat ketegangan dengan Amerika Serikat
terkait program pengayaan uranium. Meski telah diberi peringatan oleh

75

Amerika Serikat, Iran tetap pada pendiriannya. Sikap Iran kepada


Amerika Serikat ini berkaitan erat dengan masa lalu Iran, pra dan pasca
Revolusi tahun 1979. Bagaimana sebuah revolusi bisa terjadi?
Khomeini dikenal sebagai pribadi yang tegas. Karena sikap itu pula,
Khomeini menjatuhkan rezim Muhammad Reza Syah Pahlevi
selanjutnya peneliti tulis Muhammad- yang memerintah selama lebih
kurang 30 tahun (1941-1979). Menurut Esposito (1995: 101-102),
Muhammad mungkin tidak pernah menduga bahwa kekuasaannya akan
dijatuhkan oleh Khomeini yang saat itu bukan siapa-siapa. Muhammad
mewarisi sikap dan karakter ayahnya, Reza Syah Pahlevi (1925-1941)
yang lebih dulu memerintah. Keduanya mengendalikan agama secara
ketat, sehingga para ulama bergerak secara pasif tanpa mampu
melakukan perlawanan apapun kepada pemerintah. Pola pemerintahan
Muhammad disinyalir menjadi faktor menguatnya perlawanan atas nilainilai yang dibawanya. Puncaknya, saat perayaan ulang tahun Persia ke2500, negara mengeluarkan dana tidak kurang dari 200 juta dolar. Ia
mengundang Uskup dari seluruh penjuru dunia. Lebih dari 25.000 botol
anggur dipersiapkan untuk berpesat-pora sekaligus menyambut perayaan
tujuh hari tujuh malam yang mendatangkan para ahli Maxim kenamaan
dari Paris.
Menurut Bill (1988: 176) fenomena ini sekaligus menandai detikdetik akhir kekuasaan Muhammad. Para kaum reformis mengecam
kebijakan Muhammad yang tidak mencerminkan sikap arif sebagai

76

penguasa. Muhammad dianggap tidak peka dengan problematika sosialekonomi yang melilit rakyatnya. Pesta yang menghabiskan dana ratusan
juta dolar tersebut justru semakin melengkapi penderitaan rakyat yang
sebelumnya ditekan dengan kebijakan impor (Ervand, 1982: 448).
Para pengkritik Muhammad termasuk Jalali Ahmad, Mahdi
Bazargan, Ali Syariati dan Ayatullah Khomeini mulai merancang ide
perubahan. Ide ini menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk menciptakan
perubahan di negeri Iran. Tidak hanya kaum muda, kalangan profesional
sampai dengan grassroot pun terbawa oleh ide perubahan yang digagas
oleh tokoh-tokoh tersebut (Esposito, 1995: 105).
Ide perubahan menjadi titik kulminasi pelbagai elemen. Perbedaan
paham ataupun ideologi tidak lagi penting. Mereka satu kata untuk
melakukan melawan Muhammad. Eskalasi politik Iran memanas.
Demonstrasi pun mulai dilakukan. Puncaknya terjadi pada tahun 1978.
Ketika Muhammad tidak kuasa menahan arus para demonstran, ia
melakukan tindakan represif. Puncaknya, pada hari Jumat, 8 September
1978, para tentara dan polisi menembaki kerumunan para demonstran
yang jumlahnya mencapai 75.000 orang. Pelbagai lapisan masyarakat
bersiap-siap untuk melakukan perlawanan yang lebih besar. Para kaum
wanita yang menjadi korban busana modern melepaskannya dan
menggantinya dengan jilbab dan cadar dan kemudian bergabung
bersama para oposisi.

77

Klimaks dari arus perubahan yang didengungkan Ayatullah


Khomeini dan kawan-kawan terjadi pada tanggal 6 Januari 1979.
Muhammad tidak lagi dapat mengendalikan demonstran. Bahkan
sebagian besar dari kroni-kroninya membelot setelah melihat Amerika
Serikat ragu-ragu untuk memberikan dukungan terhadap pemerintahan
Muhammad (Esposito, 1995: 111).
Revolusi Iran menggema di seluruh dunia. Nilai-nilai Islam mulai
dilembagakan secara ketat. Jika pada masa Muhamad warga Iran
dimodernkan, pasca revolusi warga Iran diislamkan.24 Hal ini
ditopang oleh ulama-ulama yang militan dan memiliki loyalitas tinggi
dalam menanamkan ajaran Islam dalam kehidupan ketatanegaraan.
Mereka juga mendapat posisi penting dalam pemerintahan (Arjomand,
1987: 164). Banyak pihak pun kemudian menggambarkan Islam sebagai
agama

yang

besar

dan

berwibawa

yang

sewaktu-waktu

bisa

menghancurkan Barat. Tidak hanya Barat, negara-negara Timur-Tengah


yang selama ini dipayungi Barat pun ikut merasa gelisah dengan
keadaan ini (Esposito, 1990).

24

Rezim Reza Syah Pahlevi (1925-1941) dan putranya, Muhammad Reza Syah Pahlevi (19411978) membawa perubahan yang sangat dramatis bagi Iran. Dalam rangka mewujudkan ambisinya
untuk memodernkan Iran, Pahlevi menempuh pelbagai cara meskipun harus bertabrakan dengan
norma-norma keislaman. Ia menjadikan Barat sebagai kiblat dalam semua aspek, mulai dari
pakaian, pendidikan, hukum sampai perdagangan. Pada tahun 1920-an rezim ini bahkan
mengeluarkan peraturan larangan penggunaan cadar dan membatasi penggunaan jubah. Bagi lakilaki mereka diharuskan memakai pakaian-pakaian a la Barat. dalam aspek perdagangan,
pedagang-pedagang kecil yang dikenal dengan nama Bazari juga terancam oleh masuknya pemainpemain kelas kakap dari Barat yang mendapatkan angin segar dan prioritas dari Pahlevi.
Sebagaimana Anwar Sadat, Pahlevi merupakan sekutu baik Amerika Serikat. Ia berbicara Bahasa
Inggris dan sering muncul di televisi-televisi Amerika Serikat (Esposito, 1995: 103).

78

Internationally, the Islamic state has not necessarily let to the strengthening of
bonds of unity or to a Pan-Islamic threat. Sadat, the believer president had no
qualms about supporting the Shah and denouncing the Ayatollah Khomeini as a
madman. Egypts turn to Islam did not prevent the Organization of the Islamic
Conference or the Arab League and most Arab and Muslim governments from
beaking diplomatic relations after Egypt signed the Camp David Accords.
Qaddafis Islamic period paralleled his cool relations both with Sadats Egypt
and Nimeiris Sudan. A lesson to be learned is that while Islam can influence a
Muslim nations attitude toward greater cooperation or foreign aid, in most cases
the overriding determinant will be national interest (Esposito, 1995: 117).

Masa lalu Iran dan manuver para tokoh reformis inilah yang
memberikan pengaruh besar terhadap pola pikir presiden Mahmud
Ahmadinejad, terutama yang berkaitan dengan sikap terhadap Amerika
Serikat. Pokok-pokok pikirannya dikenal keras, tegas dan provokatif.
Dalam sebuah seminar, Ahmadinejad pernah menyampaikan statemen
yang sangat kontroversial di hadapan lebih kurang 4000 mahasiswa Iran.
Ia menegaskan, Israel harus dihapuskan dari peta dunia. Zionisme harus
dimusnahkan dari muka bumi. Tidak lama setelah menyampaikan
statemen tersebut, Ahmadinejad ikut serta dalam parade Anti-Israel
bersama 30.000 warga Iran.
Sejak resmi menjabat Presiden Iran ke-6 pada 3 Agustus 2005,
Ahmadinejad terus menata strategi untuk memperkuat stabilitas politik
Iran, diantaranya adalah memberdayakan potensi nuklir. Sebagaimana
Brazil dan Argentina, pemberdayaan ini dimaksudkan untuk tujuan
damai. Sebagaimana dikutip Andrew Purvis dalam kolomnya yang
berjudul Next Steps in the Iran Nuclear Standoff pada majalah Time edisi
10 Agustus 2005, Ahmadinejad mengharapkan semua pihak agar tidak
melihat program pengayaan uranium ini dari perspektif politik.

79

Melihat masa lalu Iran membuat beberapa negara, utamanya


Amerika Serikat belum mempercayai statemen Ahmadinejad. Selama ini
ia dikenal kurang kooperatif terhadap diplomasi-diplomasi internasional.
Berbeda dengan seniornya, Muhammad Khatami (Time, Nahid
Siamdoust, 3 Agustus 2005).
Selain persoalan nuklir, Amerika Serikat menduga bahwa
pemerintahan Ahmadinejad ikut mensupport para anggota Al-Qaeda.
Sikap ini telah dibaca sejak Amerika Serikat mendeklarasikan perangnya
melawan Taliban. Inilah alasan Amerika Serikat memasukkan Iran
sebagai Axis of Evil. Hubungan antara Teheran dan Washington pun
menegang. Banyak pihak mengupayakan dialog antara Teheran dan
Washington, namun belum menemui titik terang. Sebagaimana dikutip
Scott Mac Leod pada kolomnya Ahmadinejads Ambitions pada majalah
Time edisi 14 Desember 2006, Ahmadinejad menegaskan bahwa
kemajuan harus dibangun dengan itikad dan komitmen yang baik untuk
menciptakan perubahan, bukan dengan manuver-manuver yang bias.
Dalam perkembangannya, pengayaan uranium menjadi isu hangat
dalam konstelasi politik Amerika Serikat. Isu inilah yang kemudian
menjadi komoditi politik global (Time, Johanna McGeary, 26 Maret
2006). Amerika Serikat mulai melakukan lobi ke beberapa negara terkait
masalah ini. Jerman, China dan Rusia menyatakan siap memberikan
dukungan terhadap usaha Amerika Serikat menghentikan aktifitas
pengayaan uranium yang dilakukan Iran. Selain itu, Amerika Serikat

80

juga mulai intens melakukan komunikasi dengan Iran. Amerika Serikat


pernah memberikan opsi bahwa pihaknya akan memberikan insentif
dalam jumlah yang signifikan kepada Iran jika menghentikan
aktifitasnya tersebut. Namun hal itu tidak mendapatkan respon dari Iran
(Time, Elainne Shannon, 4 Juni 2006). Pelbagai tawaran dan ancaman
datang.

Namun

Ahmadinejad

semakin

melawan.

Ahmadinejad

menirukan ucapan Khomeini, we will respond to force with force


(Time, Nahid Siamdoust, 17 Desember 2004).
Iran punya masa lalu panjang dengan Amerika Serikat. Karenanya,
Iran dirasa mampu bersikap menghadapi tekanan politik Amerika
Serikat. Sebagaimana dijelaskan di atas, konflik Iran mempunyai
keterkaitan

dengan

konflik

Afganistan.

Amerika

Serikat

mengkhawatirkan kalau aktifitas pengayaan uraniumnya tersebut


digunakan untuk mensupport kekuatan Taliban. Dalam hemat peneliti,
tidak mustahil jika Amerika Serikat beserta sekutunya mempunyai
agenda besar untuk mendapatkan support minyak Iran.

4.

Konflik Palestina
Palestina adalah negara yang sangat fenomenal. Jika merunut
sejarah, jelas bahwa Palestina adalah negara yang diperebutkan,
terutama kota Yerusalem yang diyakini sebagai Kota Suci (The Holy
City) bagi tiga agama besar, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Bahasan
ini juga berkaitan erat dengan bab terdahulu yang membahas tentang
kontroversi berdirinya negara Israel di Palestina. Pemicunya adalah

81

landasan-landasan yang oleh beberapa pihak dinilai belum cukup kuat


untuk mendirikan negara Israel di kawasan Palestina. Deklarasi Balfour
tahun 191725 dan Resolusi PBB No. 18126 yang selama ini dianggap
sebagai dasar berdirinya negara Israel yang berdaulat dianggap
inkonstitusional.27 Maka wajar saja jika perlawanan terhadap bangsa
Israel diartikan sebagai perlawanan terhadap imperialisme yang
menjajah hak orang lain (Esposito, 1995: 73). Konflik di Palestina
merupakan konflik antara dua kekuatan besar, yaitu Islam dan Barat.
Kenapa? Islam direpresentasikan Hamas sebagai gerakan Islam 28 dan
Barat direpresentasikan Israel dengan dukungan penuh dari Amerika
Serikat dan Inggris.

25

Pada bulan November 1917 Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour melalui
persetujuan sidang kabinet mengeluarkan sebuah surat resmi yang berisi sebuah janji kepada
bangsa Israel. Surat tersebut diberikan kepada L. Rothschild , Presiden Federasi Zionis Inggris.
Intinya, pemerintah Inggris menyetujui dan mendukung sepenuhnya berdirinya negara bagi bangsa
Yahudi di Palestina (Bakar, 2008: 223-224).
26

Resolusi ini berisi bahwa Palestina dibagi menjadi tiga daerah. Pertama, daerah untuk bangsa
Israel seluas 57 % dari wilayah Palestina yang mayoritas bertanah subur. Kedua, daerah untuk
Arab-Palestina seluas 42 % yang mayoritas bertanah tandus. Ketiga, kota Yerusalem sebagai Zona
Internasional (Hikmah, 2008: 226).
27

Inggris tidak punya hak apapun untuk atas tanah Palestina karena saat itu Palestina di bawah
kekuasaan Turki Utsmani di Istambul. Sementara Resolusi PBB tersebut menunjukkan egoisme
Amerika Serikat dalam membela kepentingan Israel. Selain itu, sidang ini sama sekali tidak
memberikan ruang bagi warga Palestina untuk menyampaikan aspirasinya.
28

Meskipun di Palestina ada dua kekuatan besar, yaitu Hamas dan Fatah, namun Fatah disinyalir
bersikap lunak dengan kebijakan-kebijakan Amerika Serikat. Hal ini dengan tanpa mengatakan
bahwa Fatah adalah kroni Amerika Serikat. Juga, antara Hamas dan Fatah selama ini terlibat
konflik berkepanjangan karena ada opsi yang sulit dikompromikan. Hamas beranggapan bahwa
Fatah adalah kroni Amerika Serikat. Sementara di pihak lain, Fatah menuduh Hamas menjadi
biang kerusuhan di pelbagai wilayah Palestina. Disinyalir, karena kerusuhan inilah, jalan untuk
menuju perdamaian semakin suram.

82

Konflik yang terjadi sekarang ini merupakan lanjutan dari konflik


yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Rollin (2002a: 151)
menegaskan, wacana pendirian negara Israel di Palestina merupakan
rekomendasi penting dalam Kongres Zionis di Bassel tahun 1897. Hal
penting yang perlu diangkat di sini, selain motif politik, motif ideologi
dan ekonomi ikut memberikan warna penting dalam percaturan politik di
Palestina. Terkait dengan motif ideologi (agama), alasan penting
berdirinya negara Israel di Palestina karena Palestina merupakan
Promised Land (kawasan yang dijanjikan Tuhan). Maka, tidak
mengherankan jika sebagian ahli berpendapat bahwa pendudukan Israel
atas Palestina merupakan upaya untuk mengembalikan haknya.
Bagaimana dengan motif ekonomi? Motif ini berkaitan erat dengan
langkah-langkah yang telah dilakukan Teodore Herzl29 saat mengunjungi
Yerusalem. Herzl telah menunjukkan prestasinya dalam meningkatkan
perekonomian di Palestina, khususnya di Yerusalem. Selain itu, Inggris
juga telah menegaskan bahwa salah satu alasan Inggris mendukung
Israel bahwa Israel dipandang mampu melakukan terobosan-terobosan
mutakhir untuk memperbaiki kualitas perekonomian di Palestina.
Pengungkapan tentang adanya motif ekonomi bisa dilihat dari
Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947 M. Dijelaskan bahwa
bangsa Israel mendapatkan bagian 57% dari keseluruhan kawasan
29

Dalam surat yang ditulis kepada Yusuf Khalidi bahwa ia ingin menciptakan perdamaian sesama
dan menjadikan Palestina sebagai kawasan yang maju, utamanya di bidang perdagangan (Dockser,
2007: 46).

83

Palestina dan sebagian besar adalah kawasan subur. Sementara bangsa


Arab-Palestina mendapatkan bagian seluas 42% dan itu daerah tandus
(Bakar, 2008: 225-226). Apa yang hendak direncanakan Israel dengan
tanah subur seluas 57 % itu?
Peneliti berkesimpulan bahwa selain motif tersebut di atas,
landasan-landasan yang dinilai inkonstitusional tersebut menjadi faktor
utama bertahannya konflik antara Israel dan Palestina. Sehingga wajar
saja jika persoalan Israel-Palestina kini menjadi persoalan internasional.

D. Implikasi Politik Timur-Tengah dalam Politik Global


Setelah mengamati perkembangan di Timur-Tengah sebagaimana telah
dijelaskan pada bahasan konflik di Afghanistan, Irak, Iran dan Palestina,
peneliti berkesimpulan, konflik itu demikian kompleks. Kompleksitas
polemik ini memberikan implikasi yang sangat luas, tidak hanya di kawasan
Timur-Tengah, namun meluas ke negara-negara muslim. Bahkan polemik
demi polemik yang terjadi berubah menjadi isu internasional karena ada
persoalan-persoalan krusial yang melibatkan Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) sebagai induk organisasi negara-negara di dunia.
Kenapa polemik ini menimbulkan gejolak di negara-negara muslim?
Timur-Tengah adalah kawasan sakral bagi negara-negara muslim. TimurTengah diyakini sebagai wilayah yang menyimpan sejuta peradaban klasik
Islam, misalnya Masjidil Aqsa di Palestina, Masjidil Haram di Saudi Arabia,
makam para nabi dan wali yang tersebar di hamparan padang pasir wilayah
Timur-Tengah dan sebagainya. Gejolak negara-negara muslim di Timur-

84

Tengah tersebut ikut pula dirasakan oleh negara muslim lainnya. Maka
dalam hemat peneliti- wajar jika pelbagai polemik yang terjadi memberikan
kontribusi besar terhadap munculnya ragam polemik yang bersifat wacana
politik-keagamaan.30
Meskipun masih dengan setengah hati, polemik ini turut menyita
perhatian PBB.31 PBB merasa perlu melakukan intervensi atas polemik ini
karena diduga banyak terjadi pelanggaran HAM dan hal-hal lain yang
inkonstitusional.
Sejarah telah mencatat beberapa pertikaian di Timur-Tengah yang
memberikan implikasi luas di dunia muslim, misalnya Perang Arab-Israel
1967, kericuhan Cina-Malaysia 1969, perang sipil antara PakistanBangladesh 1971 dan perang sipil Lebanon pertengahan tahun 1970. Perang
Arab-Israel tahun 1967 bahkan dianggap sebagai bencana besar yang tidak
hanya mempertaruhkan negara Mesir, tapi juga mempertaruhkan citra dunia

30

Masih segar dalam memori peneliti bahwa terhitung sejak invasi duet militer Amerika Serikat
dan Inggris ke Afghanistan pasca tragedi 9/11, pelbagai wacana keagamaan muncul. Secara umum
wacana tersebut berorientasi kepada perlawanan rezim Amerika Serikat yang diposisikan sebagai
negara kafir yang menjajah kawasan muslim. Wacana jihad pun semakin santer diperbincangkan.
Pada perkembangannya, topik jihad ini meluas pada kajian lain dengan subtansi yang sama,
misalnya perlawanan terhadap kaum kafir (intifadah), boikot produk Amerika dan Israel dan bom
bunuh diri. Semuanya berorientasi terhadap perlawanan terhadap Amerika dan sekutunya. Bahkan
tidak sedikit organisasi-organisasi keislaman yang memberangkatkan para relawannya ke kawasan
perang.
31

PBB tidak cukup kuat untuk memberikan keadilan atas pelanggaran yang telah dilakukan
Amerika Serikat dan sekutunya. Misalnya pada konflik Israel dan Palestina. Bukankah landasan
berdirinya Israel berupa Deklarasi Balfour- inkonstitusional? Apakah PBB masih memberikan
toleransi berlebih kepada Amerika yang telah memporakporandakan masa depan Irak yang diduga
menyimpan Senjata Pemusnah Massal? Amerika seharusnya menyerah karena tidak bisa
membuktikan kepemilikan Senjata Pemusnah Massal tersebut. Peneliti sepakat bahwa terorisme
harus dimusnahkan; Senjata Pemusnah Massal harus dihancurkan; HAM harus dihormati. Namun
tidak arif jika upaya memerangi itu semua hanya berhenti pada level wacana dan tidak lebih
sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik lainnya.

85

muslim. Kemenangan Israel yang begitu cepat dan berhasil menduduki


dataran tinggi Golan, Sinai, Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam
Perang Enam Hari tersebut menjadi pertaruhan martabat Arab dan umat
Islam. Maka wajar jika masalah regional ini meluas menjadi masalah
internasional (Esposito, 1995: 12-13).
Pada konteks ini peneliti hendak menegaskan bahwa hal tersebut salah
satunya disebabkan oleh pemakaian simbol-simbol keagamaan dalam
konstelasi politik global. Simbol-simbol keagamaan mempunyai sensitifitas
yang tinggi, apalagi jika dibenturkan dengan simbol-simbol Barat.
Sebagaimana dalam kasus Saddam Husein di Irak dan Ayatullah Khomeini di
Iran. Jika ideologi Islam dikobarkan meskipun demi kepentingan politik
rezim tertentu dalam hemat peneliti- maka ideologi tersebut akan
membangkitkan respon dari komunitas lain yang seideologi. Maka wajar saja
jika pada Perang Teluk, dunia Arab dan Islam terbagi menjadi dua bagian. Itu
disebabkan oleh cara pandang yang berbeda terhadap pemakaian simbol
keagamaan (Esposito, 1991: 515).
Pada kasus yang lain, Irak mendapatkan kecaman dari pelbagai pihak
saat menginvasi Kuwait. Invasi itu sebagai bentuk keangkuhan politik
Saddam Husein. Namun keadaan berubah saat Irak diinvasi Amerika Serikat.
Hampir seluruh dunia Islam angkat bicara membela Irak. Publik Islam
sejenak lupa akan catatan buruk Sadam Husein (Esposito, 1995: 226).
Pada akhir bab, peneliti hendak menegaskan bahwa dinamika politik di
Timur-Tengah memberikan andil besar terhadap dinamika politik dunia

86

Islam. Kesamaan ideologi dan mainstream, menjadi faktor penting


tumbuhnya empati sesama negara muslim. Tidak mengherankan jika konflik
demi konflik di Timur-Tengah memberikan dampak serius terhadap
hubungan Islam dan Barat atau negara-negara muslim dan Amerika Serikat
beserta sekutunya. Konflik demi konflik yang terjadi menunjukkan bahwa
hubungan Islam dan Barat masih problematis, apalagi munculnya konflik
banyak dipengaruhi oleh pelbagai aspek, baik politik, ekonomi ataupun
agama. Antara konflik yang satu dengan lainnya, memiliki mata rantai yang
tidak bisa diputuskan, misalnya kontroversi pendirian negara Israel dan
konflik kontemporer di Palestina. Juga, antara Afganistan, Iran dan Irak.

Anda mungkin juga menyukai