Anda di halaman 1dari 14

Sekuritisasi Isu Terorisme oleh Amerika pasca 9/11

Counter Terrorism in the United States


Kajian Keamanan D

Dosen: Rizky Widian, S.IP., M.Si

Oleh:
Kelompok 9
Bernadeth Franchika 6091801055 (No. Ujian 141)
Naomi Amelia M. P. 6091801126 (No. Ujian 154)
Jeremy Yudha. S 6091801185 (No. Ujian 163)
Hammam A. 6091801198 (No. Ujian 165)
Natasha Angela H. 6091801228 (No. Ujian 167)

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
BANDUNG
2019
Sekuritisasi Isu Terorisme oleh Amerika Pasca 9/11

Abstrak
Isu terorisme dianggap sebagai masalah yang darurat dan mengancam keberadaan
suatu negara. Pasca tragedi 9/11 yang merupakan aksi bunuh diri terencana dengan
metode pembajakan pesawat jet oleh kelompok militan Al-Qaeda, terdapat perbedaan
pendekatan pemerintah Amerika dalam menangani isu terorisme dari legal
enforcement menuju military. Makalah ini akan membahas tentang bagaimana
peristiwa 9/11 mempengaruhi pendekatan Bush dalam menangani isu terorisme dengan
mendeklarasikan War on Terror. Analisa masalah dalam makalah ini dilakukan
dengan menggunakan teori sekuritisasi terhadap peristiwa 9/11 dan studi literatur
pada beberapa jurnal ilmiah.  Melihat bahwa peristiwa 9/11 sangat berdampak pada
Amerika, Bush dengan speech act-nya, melakukan sekuritisasi terhadap isu terorisme
yang mengakibatkan terdapat perubahan pendekatan Amerika. Beberapa extraordinary
measures dilakukan dalam langka memerangi terorisme, seperti pengeboman dan
deportasi massal.

Kata Kunci: Terorisme, 9/11, Amerika Serikat, Sekuritisasi, Global War on Terror,
Counterterrorism

I. Pendahuluan
Terorisme dianggap sebagai aksi kejahatan dengan menyebar ancaman dan rasa
takut kepada masyarakat, juga negara.1 Aksi terorisme ini biasanya melibatkan hal-hal seperti
politik, religi, bahkan ingin merubah struktur sosial yang dilakukan dengan tujuan untuk
menebar rasa takut dan ketidaknyamanan mengetahui bahwa negaranya sedang diserang oleh
sekelompok teroris. Dengan adanya terorisme, pemerintah berusaha untuk menemukan cara
menghapuskan terorisme ini, salah satu caranya dengan bentuk counter-terrorism.
Pada 11 September 2001, 19 militan yang memiliki afiliasi dengan kelompok
ekstrimis islam Al-Qaeda membajak empat pesawat komersil dan melakukan aksi serangan
bunuh diri terhadap sasaran di Amerika Serikat. 2 Dua pesawat ditabrakkan ke menara kembar
World Trade Center di pusat kota New York, pesawat ketiga menabrak markas komando
militer amerika Pentagon di pinggir kota Washington DC, dan pesawat terakhir jatuh di
lapangan di Pennsylvania. Tercatat hampir 3000 jiwa terbunuh dalam serangan 9/11, tragedi

1
Eyder Peralta, “When Is An Act Of Violence An Act Of Terrorism?,” NPR (NPR, July 17, 2015),
https://www.npr.org/sections/thetwo-way/2015/07/17/423881551/when-is-an-act-of-violence-an-act-of-
terrorism)
2
History.com Editors, “Reaction to 9/11,” History.com (A&E Television Networks, August 13, 2010),
https://www.history.com/topics/21st-century/reaction-to-9-11)
ini juga memicu inisiatif besar-besaran Amerika Serikat untuk melakukan Global War on
Terror.3
Pendekatan yang dilakukan Bush dalam menangani isu terorisme cenderung berbeda
dengan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika sebelumnya. Tragedi 9/11
bukanlah aksi terorisme yang pertama kali terjadi di Amerika. Pada masa pemerintahan
sebelum peristiwa tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
isu terorisme yang dilihat sebagai ancaman negara. Pada masa pemerintahan Clinton,
misalnya, terdapat sejumlah alokasi dana yang dilakukan sebagai upaya penanganan
terorisme. Akan tetapi, pendekatan Clinton cenderung lebih berfokus di bidang law
enforcement, sementara Bush lebih berfokus pada bidang militer. 4 Maka dari itu, tulisan ini
akan membahas perubahan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika
dalam menanggulangi isu terorisme pasca 9/11. Melihat bahwa 9/11 merupakan isu
terorisme terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah manusia, dapat dikatakan bahwa
terdapat urgensi yang lebih besar untuk menghadapi terorisme. Hal ini dikarenakan isu
terorisme mengalami sekuritisasi akibar besarnya ancaman bagi keamanan negara akibat
presensi dari teroris tersebut.

II. Kajian Literatur


Counterterrorism yang dilakukan oleh Amerika Serikat terutama setelah
terjadinya peristiwa 9/11 pada masa kepresidenan George W. Bush yang menjabat dari tahun
2001-20095, mendapat perdebatan dalam kalangan akademik. Hal ini disebabkan oleh adanya
pihak yang setuju dan tidak dengan kebijakan Amerika Serikat yaitu “Global War on
Terror”6 serta pengaruhnya terhadap situasi dunia internasional setelah adanya “Global War
on Terror” tersebut.
Karya Boaz Ganor yang berjudul Identifying the Enemy in Counterterrorism
Operations - A Comparison of the Bush and Obama Administrations, menyebutkan bahwa
Pemerintahan Bush mendefinisikan “musuh” Amerika Serikat dalam war on terror adalah
seluruh pihak yang terlibat dalam penyerangan 9/11 baik organisasi, negara maupun
pendukung dari penyerangan tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan Bush akan masalah ini

3
Ibid.
4
Thomas J. Badey, “US Counter-Terrorism: Change in Approach, Continuity in Policy,” Contemporary
Security Policy 27, no. 2 (2006): pp. 308-324, https://doi.org/10.1080/13523260600821491)
5
The White House, “George W. Bush,” The White House (The United States Government), accessed November
29, 2019, https://www.whitehouse.gov/about-the-white-house/presidents/george-w-bush/)
6
Richard Jackson, “War on Terrorism,” Encyclopædia Britannica (Encyclopædia Britannica, inc., November
19, 2018), https://www.britannica.com/topic/war-on-terrorism)
dengan mengeliminasi terorisme di tempat-tempat dimana dapat munculnya terorisme
dianggap sebagai tindakan yang proaktif. Selain itu, Bush memberi pilihan kepada negara-
negara apabila mereka tidak berada di pihak Amerika Serikat, maka mereka berada di pihak
teroris.7
Kristin Archick berpendapat dalam U.S.-EU Cooperation Against Terrorism, bahwa
counterterrorism Amerika Serikat mendapat dukungan oleh Uni Eropa. Kerjasama ini
memperluas daerah operasi Amerika Serikat dibuktikan dengan penangkapan yang terjadi di
beberapa negara Uni Eropa yang menjadi tempat utama bagi organisasi-organisasi teroris
merencanakan penyerangan ke Amerika Serikat. Selain itu, Amerika Serikat dapat
membekukan aset pihak-pihak yang dicurigai terlibat dalam perencanaan aksi terorisme. 8
Pembekuan aset tersebut adalah hal yang krusial untuk melumpuhkan kegiatan organisasi-
organisasi tersebut, maka dalam karya Thomas J. Badey yang berjudul US Counter-
terrorism: Change in Approach, Continuity in Policy, Bush mengeluarkan perintah untuk
membekukan segala bentuk kepemilikan dan memblokir seluruh transaksi yang dilakukan
oleh pihak yang terlibat dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan terorisme. Perintah ini
terutama diaplikasikan pada negara Syria dan Irak dan merupakan bentuk dari isolasi
ekonomi.9
Sedangkan dalam karya Paul R. Pillar yang berjudul Counterterrorism after Al-
Qaeda, terdapat skeptisisme Umat Muslim yang disebabkan strategi-strategi
counterterrorism yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada Umat Muslim, hal ini
menyebabkan adanya konotasi bahwa Amerika Serikat dan negara-negara Judeo-Christian
Barat yang mendukung Amerika serikat melakukan war on terror-nya terhadap Islam secara
umum. Pemikiran inilah yang menyebabkan Umat Muslim bahwa mereka sedang berada
dalam posisi diserang oleh Judeo-Christian Barat dan Amerika Serikat menjadi merupakan
musuh utama Umat Muslim.10 Untuk mengurangi terjadinya hal tersebut, maka dalam karya
Basia Spalek dan Robert Lambert yang berjudul Muslim Communities, Counter-Terrorism
and Counter-Radicalisation: A Critically Reflective Approach to Engagement, diperlukan
adanya counter-radicalization yang lebih engaging terhadap komunitas Muslim yang telah

7
Boaz Ganor, “Identifying the Enemy in Counterterrorism Operations - A Comparison of the Bush and Obama
Administrations,” International Law Studies 90 (2014): pp. 341-360,
https://digital-commons.usnwc.edu/ils/vol90/iss1/10/)
8
Kristin Archick, “U.S.-EU Cooperation Against Terrorism,” Congressional Research Service (2014),
https://fas.org/sgp/crs/row/RS22030.pdf)
9
Thomas J. Badey, “US Counter-Terrorism: Change in Approach, Continuity in Policy,” Contemporary
Security Policy 27, no. 2 (2006): pp. 308-324, https://doi.org/10.1080/13523260600821491)
10
Paul R. Pillar, “Counterterrorism after Al Qaeda,” The Washington Quarterly 27, no. 3 (2004): pp. 101-113,
https://doi.org/10.1162/016366004323090287)
dijadikan sasaran anti-terorisme yang menyebabkan skeptisisme terhadap aksi
counterterrorism.
Pandangan negatif lainnya mengenai kebijakan Amerika Serikat dalam war on terror
adalah dalam karya Jessica Wolfendale yang berjudul Terrorism, Security and the Threat of
Counterterrorism, bahwa aksi counterterrorism yang dilakukan oleh Amerika Serikat
memakan korban yang lebih banyak daripada saat peristiwa 9/11 serta menimbulkan
ketakutan yang lebih besar daripada aksi terorisme itu sendiri. Besarnya pengalokasian dana
tidak tidak sebanding dengan hal-hal yang menyebabkan ancaman lebih besar seperti
penyakit pandemik, kelaparan bahkan perubahan iklim.11
Dari keenam literatur diatas, persamaan yang dibahas adalah counterterrorism pada
masa kepresidenan Bush setelah terjadinya penyerangan 9/11 serta pengaruh dan efektivitas
“global war on terror” dalam menangani masalah terorisme. Lingkup tiga literatur pertama
adalah bagaimana kebijakan-kebijakan Amerika Serikat dalam war on terror membawa
kerjasama negara-negara guna memberantas adanya terorisme. Sedangkan, lingkup tiga
literatur terakhir adalah bagaimana counterterrorism yang dilakukan oleh Amerika Serikat
hanya membawa dampak negatif berbentuk skeptisisme Umat Muslim serta ketakutan bagi
masyarakat yang ingin dilindunginya. Tim penulis lebih berposisi pada ketiga literatur
pertama dimana masalah terorisme harus ditangani dengan counterterrorism dan keterlibatan
negara-negara untuk mengeliminasi terorisme diperlukan.

III. Kerangka Teori


Sekuritiisasi
Sekuritisasi merupakan alat yang digunakan oleh akademisi Ilmu Hubungan
Internasional untuk menganalisa suatu masalah. Teori sekuritisasi dapat dipaparkan sebagai
aksi politisasi secara ekstrim. Politisasi merupakan cara penanganan suatu masalah yang
membutuhkan penanganan dari pemerintah dan juga alokasi sumber daya. Sedangkan
sekuritisasi memandang suatu masalah sudah mencapai ke tingkatan yang mengancam
keberadaan manusia, sehingga membutuhkan tindakan darurat. Suatu masalah dapat
disekuritisasi ketika telah mendapat label 'membahayakan', 'mengancam', dan 'darurat' dari
securitizing actors. Teori ini membenarkan tindakan diluar batas-batas normal dalam
penanganan masalah yang disekuritisasi.12

11
Jessica Wolfendale, “Terrorism, Security, and the Threat of Counterterrorism,” Studies in Conflict &
Terrorism 30, no. 1 (2006): pp. 75-92, https://doi.org/10.1080/10576100600791231
12
Fen Osler Hampson et al., “Security: A New Framework for Analysis,” International Journal 53, no. 4
(1998): p. 798, https://doi.org/10.2307/40203739)
Menurut Ole Wæver, teori sekuritisasi dirancang untuk melindungi politik dari
kekuatan negara yang tidak proporsional dengan menempatkan keberhasilan dan kegagalan
sekuritisasi di tangan audiens, bukan pada securitizing actor. Kesuksesan sebuah sekuritisasi
dapat dijabarkan dalam tiga komponen, yaitu existential threats, emergency action, dan
effects on interunit relations by breaking free of rules.13 Ahli teori Sekuritisasi
mengemukakan bahwa terdapat lima sektor dalam sekuritisasi, diantaranya adalah ekonomi,
sosial, militer, lingkungan dan politik. Dengan membagi sekuritisasi ke dalam sektor yang
berbeda, kita dapat menentukan indikator-indikator dari sekuritisasi suatu isu. Indikator-
indikator dari tindakan sekuritisasi:14
Terdapat 5 indikator yang dapat mengindikasikan suatu tindakan sekuritisasi,
diantaranya adalah emergency issues, referent object, securitizing actors, speech act, dan
acceptance by the audiences.15 Emergency issues merupakan masalah yang dianggap sangat
darurat atau telah mencapai tingkatan extraordinary measures. Hal ini memiliki arti bahwa
masalah tersebut mengancam eksistensial dari objek yang dilindungi. Referent object
merupakan obyek yang dipandang terancam dan memiliki klaim legitimasi untuk dapat tetap
bertahan hidup. Dalam indikator referent object juga dapat memfokuskan lebih lagi dalam
keamanan untuk siapa? keamanan dari apa? dan keamanan yang diberikan oleh siapa?
Referent object sendiri tidak terbatas hanya untuk negara, namun dapat berbentuk seperti
kelompok, kedaulatan, dan lain-lain. Securitizing actors merupakan aktor-aktor yang
mensekuritisasikan suatu isu dengan cara mendeklarasikan bahwa terdapat referent object
yang terancam. Securitizing actors tidak selalu harus berasal dari kalangan politisi, melainkan
para profesional keamanan seperti polisi, dinas intelijen, bea cukai, layanan imigrasi, penjaga
perbatasan dan militer memainkan peran penting dalam menilai ketika suatu isu harus
disekuritisasi atau tidak. Speech act merupakan cara securitizing actors mendeklarasikan
sebuah masalah disekuritisasi melalui pengutaraan kata-kata. Sekuritisasi sebagai speech act
merupakan hal yang penting karena melalui kata-kata seorang securitizing actor yang
memaparkan realitas. yang pada akhirnya dapat memicu respon dari para audiens. Terakhir
merupakan Acceptance by the audiences, karena sebuah sekuritisasi dapat tercapai ketika
audiens secara kolektif setuju untuk mengambil langkah darurat dalam meresponi speech act
yang diberikan oleh securitizing actors. Apabila audiens tidak menerima speech act tersebut,

13
Clara Eroukhmanoff, “Securitisation Theory: An Introduction,” E-International Relations Student, January
14, 2018, https://www.e-ir.info/2018/01/14/securitisation-theory-an-introduction/)
14
Ibid.
15
Ibid.
maka sekuritisasi tidak tercapai. Karena sekuritisasi merupakan proses konstruksi sosial yang
melibatkan securitizing actors dan audiens.16

IV. Analisis
Terrorism as a Major Threat to National Security
Terorisme merupakan isu yang sangat sensitif bagi pemerintah Amerika. Hal ini
dikarenakan terorisme dianggap sebagai major national security threat.17 Melihat bahwa
keamanan nasional (referent object) dapat terdestabilisasi dengan presensi teroris, terdapat
beberapa hal yang dilakukan Amerika dalam rangka menghadapi isu tersebut. Amerika
memiliki konsistensi dalam counter-terrorism yang dilakukannya. Sejak 1995 sampai setelah
peristiwa 9/11, terdapat empat inisiatif kebijakan Amerika dalam counter-terrorism, yaitu:
isolasi ekonomi, kooperasi multilateral, peningkatan alokasi sumber daya, dan retaliasi. 18
Akan tetapi, melihat bahwa 9/11 merupakan peristiwa yang sangat mencengangkan dan
merupakan aksi terorisme terbesar bahkan hingga hari ini, terdapat beberapa perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah Amerika, khususnya oleh pemerintahan George W. Bush dalam
menangani kasus terorisme yang ada.
Narasi mengenai terorisme pada masa pemerintahan Bush mengungkapkan bahwa
peristiwa 9/11 merupakan ‘act of war’ yang merupakan ancaman keamanan dengan urgensi
tertinggi pada abad ini.19 Maka dari itu, pemberian label ‘threat’ akan aksi terorisme
memberikan Amerika justifikasi untuk melakukan pre-emptive attacks sebagai pencegahan
serangan terorisme yang mungkin akan terjadi demi menjaga keamanan nasional Amerika
Serikat. Walaupun sebelum peristiwa 9/11 terorisme telah diidentifikasikan sebagai ancaman
utama keamanan nasional, namun administrasi sebelumnya melihat terorisme sebagai isu law
enforcement, sementara administrasi Bush menanggapi aksi terorisme sebagai isu militer. 20

16
17
Thomas J. Badey, “US Counter-Terrorism: Change in Approach, Continuity in Policy,” Contemporary
Security Policy 27, no. 2 (2006): pp. 308-324, https://doi.org/10.1080/13523260600821491)
18
Ibid.
19
Richard Jackson, “Culture, Identity and Hegemony: Continuity and (the Lack of) Change in US
Counterterrorism Policy from Bush to Obama,” International Politics 48, no. 2-3 (2011): pp. 390-411,
https://doi.org/10.1057/ip.2011.5)
20
Thomas J. Badey, “US Counter-Terrorism: Change in Approach, Continuity in Policy,” Contemporary
Security Policy 27, no. 2 (2006): pp. 308-324, https://doi.org/10.1080/13523260600821491)
Hal ini dapat dilihat dari upaya Bush dalam menangani kasus 9/11 yang cenderung kurang
mengandalkan kekuatan law enforcement, melainkan langsung mengerahkan kapasitas militer
Amerika melalui Department of Defense.21 Hal ini dilakukan karena walaupun memiliki
collateral damage yang lebih besar, operasi militer dinilai lebih efektif dalam menanggulangi
kasus terorisme.

Global War on Terror


Sembilan hari setelah tragedi 9/11, yaitu pada 20 September 2001, Presiden Amerika
Bush berpidato di depan kongres, mengukuhkan moral Amerika Serikat untuk menghadapi
isu terorisme dan menekankan tujuan perang adalah untuk melawan musuh kebebasan, bukan
dunia Muslim.22 Pidato ini adalah awal dari kampanye yang sistematis dan menyeluruh dalam
perang melawan teror. Bush dalam pidatonya menyatakan bahwa Amerika Serikat akan
mengerahkan semua sumber daya militer, diplomasi, keuangan, hukum dan ekonomi yang
diperlukan untuk mengalahkan jaringan teroris.23 Hal ini memperkuat argumen bahwa isu
terorisme bukan lagi isu bagi law enforcement melainkan juga melibatkan militer dalam
perang melawan terorisme. Bush menyatakan perang kali ini tidak akan sama dengan invasi
Irak empat tahun sebelumnya, kali ini militer akan menurunkan seluruh kekuatan dan arsenal
yang dimiliki. Sebagai seseorang yang memiliki pengaruh besar bagi Amerika dan bahkan
dunia internasional, Bush melakukan perannya sebagai securitizing actor yang pertama kali
mengusungkan sekuritisasi bagi isu terorisme.
Melalui speech act yang dilakukan melalui pidatonya, Bush mengajak dunia
internasional untuk membantu dalam usaha memerangi teroris karena menganggap negara-
negara lain bisa menjadi target selanjutnya dari kelompok teroris, secara tidak langsung
mendapuk Amerika Serikat sebagai pemimpin Global War on Terror.24 Melalui speech act
tersebut, Bush menginginkan kesetian penuh dalam “first war of 21st century” dan tidak
mentolerir posisi netral kepada sekutunya dengan menyatakan, “either you with us, or the

21
Ibid.
22
Heajeong Lee, “The Bush Doctrine: A Critical Appraisal,” The Korean Journal of International Relations 43,
no. 5 (2003): pp. 32-48, http://kaisnet.or.kr/resource/down/1_02.pdf)
23
Ibid.
24
“Selected Speeches of President George W. Bush 2001 – 2008,” Selected Speeches of President George W.
Bush 2001 – 2008 § (n.d.), https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/infocus/bushrecord/documents/
Selected_Speeches_George_W_Bush.pdf)
terrorist”. Semua negara yang membantu atau melindungi kelompok teroris akan dianggap
sebagai “hostile regime” oleh Amerika Serikat.

Audience Acceptance
Bush berharap semua elemen masyarakat Amerika Serikat membantu segala usaha
pemerintah dalam memenangkan perang ini. Masyarakat merespon dengan baik pernyataan
Bush dan secara tidak langsung mendapat mandat sebagai pemimpin perang global melawan
terorisme.25 Hal ini dibuktikan dengan meroketnya tingkat kepuasan kepada presiden hingga
90 persen setelah invasi yang dilakukan terhadap Afghanistan pada bulan Oktober. Artinya,
sekuritisasi yang dilakukan oleh pemerintah Amerika diterima dengan baik oleh masyarakat.
Dengan memberikan respons kepuasan yang lebih baik kepada pemerintah, masyarakat
menjustifikasi aksi extraordinary measures oleh pemerintah Amerika yang belum dilakukan
pada periode-periode kepresidenan sebelumnya. Selain itu, kongress juga meloloskan
bantuan bencana sebesar 40 miliar dollar dan pada tahun selanjutnya meloloskan Patriot Act,
yang memberikan keleluasaan bagi penegak hukum untuk melakukan pengawasan domestik
juga menerapkan peraturan imigrasi yang lebih ketat.26
Speech act yang dilakukan Bush menciptakan sebuah konstruksi sosial dalam moral
Amerika Serikat, berdasarkan dua variabel.27 Pertama, elemen retorik dan ide-ide, dan kedua,
bentuk praktik secara langsung, kedua variabel ini saling mendukung satu sama lain.
Pertama, konstruksi sosial dari Global war on terror dibangun berdasarkan penggambaran
publik dan penyampaian dari para pemimpin politik yang memberikan penjelasan,
rasionalitas dan justifikasi untuk mencapai konsensus sosial dalam beberapa kebijakan publik
dan keputusan yang diambil pemerintah. publik Amerika Serikat disuguhkan gambaran yang
familiar dalam mengidentifikasikan teroris sesuai yang diinginkan pemerintah baik melalui
media arus utama maupun budaya pop.
Kedua, konstruksi sosial juga didukung dengan berbagai kampanye militer di
beberapa front seperti Afghanistan, Pakistan, Irak, Yemen, Somalia; gerakan pengumpulan
informasi intelijen besar-besaran; ekspansi bantuan militer kepada sekutu; pembuatan
legislasi baru yang mendukung perang melawan terorisme; pembuatan infrastruktur publik
yang lebih aman; meningkatkan pendanaan militer; program baru untuk melawan terorisme. 28

25
Richard Jackson, “Culture, Identity and Hegemony: Continuity and (the Lack of) Change in US Counterterrorism Policy
from Bush to Obama,” International Politics 48, no. 2-3 (2011): pp. 390-411, https://doi.org/10.1057/ip.2011.5)
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.
Dapat dimengerti mengapa kedua variabel ini saling mendukung, artikulasi dari tragedi 9/11
memberikan alasan untuk melakukan perang dan dalam praktik secara langsung Amerika dan
sekutu benar-benar memerangi terorisme dalam medan perang. Hal ini menunjukan bahwa
sekuritisasi akan isu terorisme yang terjadi di Amerika diterima dengan baik oleh masyarakat,
karena hal tersebut mampu terimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, seperti melalui
media dan budaya pop.

Extraordinary Measures
Perubahan pada pemerintahan Bush dapat dikatakan terjadi akibat adanya
securitization isu terorisme yang dipicu dengan terjadinya tragedi 9/11. Salah satu indikator
dari securitization adalah terdapat extraordinary measure yang dilakukan dalam menanggapi
suatu isu.29 Tragedi 9/11 bukanlah aksi terorisme yang pertama kali terjadi di Amerika. Pada
masa pemerintahan sebelum peristiwa tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah untuk mengatasi isu terorisme yang dilihat sebagai ancaman negara. Pada masa
pemerintahan Clinton, misalnya, terdapat sejumlah alokasi dana yang dilakukan sebagai
upaya penanganan terorisme. Peristiwa pengeboman yang terjadi di Oklahoma pada tahun
1995 merupakan latar belakang dibentuknya “Emergency Supplemental Appropriations for
Additional Disaster Assistance for Antiterrorism Initiatives for Assistance in the Recovery
from the Tragedy that Occurred in Oklahoma City” oleh pemerintah Amerika. Aksi ini
memperoleh dana sejumlah $250 juta bagi upaya counter-terrorism yang mulai digerakan.30
Selain itu, pemerintah Amerika juga mendeklarasikan “The Anti Terrorism and Effective
Death Penalty Act” pada tahun 1996, yang memperoleh dana sejumlah $1 miliar.31
Pada pemerintahan Bush, khususnya pasca terjadinya peristiwa 9/11, terdapat
signifikansi dalam peningkatan alokasi dana Amerika terkait upaya penanganan aksi
terorisme. Pengeluaran Amerika dalam bentuk counter-terrorism pada tahun 2004 mencapai
angka $52 miliar. Selain itu, karena terdapat pergeseran pendekatan dari law enforcement
menuju military dari pemerintahan Clinton ke Bush, maka terdapat pula peningkatan alokasi
dana dalam pertahanan negara. Terdapat peningkatan pengeluaran pertahanan negara pada
delapan tahun masa kepresidenan Clinton sebanyak kurang dari 1%. Sementara itu, dalam

29
Clara Eroukhmanoff, “Securitisation Theory: An Introduction,” E-International Relations Student, January
14, 2018, https://www.e-ir.info/2018/01/14/securitisation-theory-an-introduction/)
30
“The Emergency Supplemental Appropriations for Additional Disaster Assistance, for Anti-Terrorism
Initiatives, for Assistance in the Recovery from the Tragedy That Occurred in Oklahoma City and Rescissions
Act ,” (1995), https://www.congress.gov/104/plaws/publ19/PLAW-104publ19.pdf)
31
Robert J. Dole, “Text - S.735 - 104th Congress (1995-1996): Antiterrorism and Effective Death Penalty Act
of 1996,” Congress.gov, April 24, 1996, https://www.congress.gov/bill/104th-congress/senate-bill/735/text/enr)
empat tahun masa kepresidenan Bush, peningkatan pengeluaran pertahanan tersebut
mencapai 55%.32
Alokasi dana ini dilakukan karena adanya peningkatan operasi militer yang dilakukan
oleh Amerika. Operasi militer yang dilakukan pada Global War on Terror merupakan ujung
tombak dari administrasi Bush dalam menghadapi isu terorisme. Berbeda dengan Clinton
yang menggunakan operasi militer sebagai pilihan terakhir, Bush berani untuk melakukan
operasi militer dalam skala besar untuk menangani kasus terorisme.33 Pasca 9/11, pemerintah
Amerika cenderung enggan untuk melaksanakan prosekusi legal bagi tersangka teroris.
Melainkan, pemerintah cenderung memiliki pendekatan lain yang dilakukan melalui
penahanan berkepanjangan, interogasi tersangka di tempat-tempat yang tidak dipublikasi
kepada masyarakat, dan berbagai aksi militer.34 Selain itu, pemerintahan Bush juga
membentuk sebuah organisasi bernama U.S. Immigrations and Customs Enforcement (ICE).35
Organisasi tersebut dibentuk untuk melakukan deportasi demi mengurangi potensi terjadinya
aksi terorisme dan telah melakukan deportasi 200.000 orang pada pemerintahan Bush.
Extraordinary measures ini menunjukkan adanya urgensi yang lebih tinggi untuk menangani
kasus terorisme, terutama karena pemerintah Amerika melakukan sekuritisasi terhadap isu ini
dalam rangka meningkatkan pertahanan nasional pasca 9/11.

V. Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi terorisme pasca
terjadinya tragedi 9/11. Melihat bagaimana peristiwa tersebut sangat berdampak kepada
masyarakat dan pemerintah Amerika, terdapat urgensi yang lebih tinggi bagi pemerintah
Amerika dalam menangani isu tersebut. Bush, melalui speech act yang dilakukannya dengan
mendeklarasikan War on Terror melakukan sekuritisasi terhadap isu terorisme. Walaupun isu
tersebut telah dianggap sebagai ancaman utama pertahanan nasional sejak dulu, namun
dengan adanya sekuritisasi tersebut, terdapat penanganan yang beralih dari legal enforcement
32
Govinfo, “Budget FY 2004 - Table 4.1 - Outlays by Agency: 1962-2008,” govinfo.gov, 2004,
https://www.govinfo.gov/content/pkg/BUDGET-2004-TAB/pdf/BUDGET-2004-TAB-6-1.pdf)
33
Thomas J. Badey, “US Counter-Terrorism: Change in Approach, Continuity in Policy,” Contemporary
Security Policy 27, no. 2 (2006): pp. 308-324, https://doi.org/10.1080/13523260600821491)
34
“President Discusses America's Leadership in Global War on Terror,” President Discusses America's
Leadership in Global War on Terror § (2004), https://2001-2009.state.gov/s/ct/rls/rm/2004/28526.htm)
35
Matthew Green, “How 9/11 Changed America: Four Major Lasting Impacts (with Lesson Plan),” KQED,
September 11, 2019, https://www.kqed.org/lowdown/14066/13-years-later-four-major-lasting-impacts-of-911)
approach menuju military approach. Berbagai extraordinary measures dilakukan oleh
pemerintah dalam upaya untuk memerangi terorisme, seperti deportasi masal, penahanan
berkepanjangan, interogasi tersangka di tempat-tempat yang tidak dipublikasi kepada
masyarakat, dan berbagai aksi militer. Pendekatan yang dilakukan Bush dilakukan karena
military approach dinilai lebih efektif untuk menangani isu terorisme yang makin genting
pasca terjadinya tragedy 9/11.

BIBLIOGRAFI
Archick, Kristin. “U.S.-EU Cooperation Against Terrorism.” Congressional Research
Service  , 2014. https://fas.org/sgp/crs/row/RS22030.pdf.

Badey, Thomas J. “US Counter-Terrorism: Change in Approach, Continuity in


Policy.” Contemporary Security Policy 27, no. 2 (2006): 308–24.
https://doi.org/10.1080/13523260600821491.

Badey, Thomas J. “US Counter-Terrorism: Change in Approach, Continuity in


Policy.” Contemporary Security Policy 27, no. 2 (2006): 308–24.
https://doi.org/10.1080/13523260600821491.

Dole, Robert J. “Text - S.735 - 104th Congress (1995-1996): Antiterrorism and Effective
Death Penalty Act of 1996.” Congress.gov, April 24, 1996.
https://www.congress.gov/bill/104th-congress/senate-bill/735/text/enr.

Eroukhmanoff, Clara. “Securitisation Theory: An Introduction.” E-International Relations


Student, January 14, 2018. https://www.e-ir.info/2018/01/14/securitisation-theory-an-
introduction/.

Ganor, Boaz. “Identifying the Enemy in Counterterrorism Operations - A Comparison of the


Bush and Obama Administrations.” International Law Studies 90 (2014): 341–60.
https://digital-commons.usnwc.edu/ils/vol90/iss1/10/.

Govinfo. “Budget FY 2004 - Table 4.1 - Outlays by Agency: 1962-2008.” govinfo.gov, 2004.
https://www.govinfo.gov/content/pkg/BUDGET-2004-TAB/pdf/BUDGET-2004-TAB-6-
1.pdf.
Green, Matthew. “How 9/11 Changed America: Four Major Lasting Impacts (with Lesson
Plan).” KQED, September 11, 2019. https://www.kqed.org/lowdown/14066/13-years-
later-four-major-lasting-impacts-of-911.

Hampson, Fen Osler, Barry Buzan, Ole Waever, and Jaap De Wilde. “Security: A New
Framework for Analysis.” International Journal 53, no. 4 (1998): 798.
https://doi.org/10.2307/40203739.

History.com Editors. “Reaction to 9/11.” History.com. A&E Television Networks, August 13,
2010. https://www.history.com/topics/21st-century/reaction-to-9-11.

Jackson, Richard. “Culture, Identity and Hegemony: Continuity and (the Lack of) Change in
US Counterterrorism Policy from Bush to Obama.” International Politics 48, no. 2-3
(2011): 390–411. https://doi.org/10.1057/ip.2011.5.

Jackson, Richard. “War on Terrorism.” Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica,


inc., November 19, 2018. https://www.britannica.com/topic/war-on-terrorism.

Lee, Heajeong. “The Bush Doctrine: A Critical Appraisal.” The Korean Journal of


International Relations 43, no. 5 (2003): 32–48.
http://kaisnet.or.kr/resource/down/1_02.pdf.
Peralta, Eyder. “When Is An Act Of Violence An Act Of Terrorism?” NPR. NPR, July 17,
2015. https://www.npr.org/sections/thetwo-way/2015/07/17/423881551/when-is-an-act-
of-violence-an-act-of-terrorism.

Pillar, Paul R. “Counterterrorism after Al Qaeda.” The Washington Quarterly 27, no. 3


(2004): 101–13. https://doi.org/10.1162/016366004323090287.

President Discusses America's Leadership in Global War on Terror, President Discusses


America's Leadership in Global War on Terror § (2004).
https://2001-2009.state.gov/s/ct/rls/rm/2004/28526.htm.

Selected Speeches of President George W. Bush 2001 – 2008, Selected Speeches of President
George W. Bush 2001 – 2008 § (n.d.).
https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/infocus/bushrecord/documents/
Selected_Speeches_George_W_Bush.pdf.

The Emergency Supplemental Appropriations for Additional Disaster Assistance, for Anti-
Terrorism Initiatives, for Assistance in the Recovery from the Tragedy that Occurred in
Oklahoma City and Rescissions Act § (1995).
https://www.congress.gov/104/plaws/publ19/ PLAW-104publ19.pdf.

The White House. “George W. Bush.” The White House. The United States Government.
Accessed December 1, 2019.
https://www.whitehouse.gov/about-the-white-house/presidents/george-w-bush/.

Wolfendale, Jessica. “Terrorism, Security, and the Threat of Counterterrorism.” Studies in


Conflict & Terrorism 30, no. 1 (2006): 75–92.
https://doi.org/10.1080/10576100600791231.

Anda mungkin juga menyukai