Anda di halaman 1dari 8

Nama: Mulya Ardini Tiaradana

Kelas: XII.C
Mapel: sejarah

1. Apakah artikel dibawah pro pemerintah atau pro PKI


Jawab: pro terhadap pemerintah.
2.Apakah benar negara Amerika telah membantu Indonesia menupas PKI
di indonesia ?
Jawab: Benar namun tidak sepuhnya.

Pertempuran Sistemasis
Secara gamblang, beberapa kasus intervensi AS terhadap struktur politik
negara lain dalam sejarah modern, terjadi selama periode Perang Dingin
dengan Uni Soviet.

Sebagai lawan ideologis di arena internasional, yang berusaha memperkuat


posisi geopolitik, secara teratur AS mencoba menempatkan pemerintahan
“mereka” di negara tertentu.

Karena, setelah Perang Dunia Kedua, susunan partai pada pihak lawan di
Eropa telah diputuskan, dan negara-negara Asia, Afrika, serta Amerika
Selatan, biasanya menjadi tempat bagi Uni Soviet dan AS untuk beraksi kala
itu.

Motif politik yang disembunyikan pemerintahan Amerika dalam tindakan


mereka, seringkali dikaitkan dengan kepentingan ekonomi Amerika Serikat
itu sendiri.

Keinginan untuk menguasai transportasi, sumber daya alam, terutama logam,


minyak dan gas, disamarkan sebagai keinginan untuk mencegah Islamisasi
negara-negara Timur Tengah atau untuk menghentikan penyebaran ideologi
komunis di Asia dan Amerika Latin.
Barisan pertahanan, seperti PBB, misalnya, tidak selalu menjadi penghalang
yang efektif bagi upaya Gedung Putih untuk menggambar ulang peta politik
dunia.

“Operasi Ajax”
Pada awal tahun 1950-an, Amerika Serikat dan Inggris Raya memutuskan
bahwa mereka tidak lagi ingin berurusan dengan nasionalisasi industri
minyak Iran, yang diluncurkan oleh Perdana Menteri yang terpilih secara
demokratis, Mohammed Mossadegh.

Dalam situasi tersebut Perusahaan Minyak Anglo-Iranian (AIOC), yang


beroperasi di bawah izin pemerintah, mengalami kerugian hingga jutaan.
Selain itu, pihak Barat juga khawatir dengan kemungkinan adanya kerjasama
antara Tehran dan Moskow–sewaktu Uni Soviet membantu Iran, yang
berada di bawah blokade ekonomi, dengan minyak yang sama.

Gagasan Inggris mengenai kudeta di Iran didukung oleh pemerintah Republik


Amerika Serikat – aktor utamanya adalah Direktur CIA, Allen Dulles dan
kakaknya John Foster Dulles, Kepala Departemen Luar Negeri. Perwakilan
dinasti politik AS yang berpengaruh lainnya, Kermit Roosevelt, kepala CIA
Direktorat Timur Tengah, cucu Presiden AS ke-26, Theodore Roosevelt,
secara langsung merencakan sebuah operasi yang dinamakan Ajax.

Sebagai hasilnya, pada tahun 1953, persekutuan Barat mendanai dan


mengorganisir demonstarsi massal melawan Perdana Menteri Iran, yang
dituduh melakukan korupsi, anti Islam, dan anti monarki. Setelah serangkaian
bentrokan antara pendukung dan penentang perdana menteri di Tehran,
Mossadegh kemudian ditangkap dan dihukum penjara.

Pria Teheran Pendukung kudeta merayakan kemenangan mereka, 19


Agustus 1953 (Foto:Dr William Arthur Cram)

Jenderal Fazlollah Zahedi, “dipilih” oleh London dan Washington, mantan


kepala MIA, yang dipecat oleh Mossadegh pada tahun 1951, menjadi perdana
menteri baru.

Namun, dia memimpin kabinet hanya untuk waktu yang singkat – kurang dari
dua tahun, setelah periode itu dia benar-benar dikeluarkan dari negara oleh
Shah, yang menjadi sekutu Amerika Serikat di wilayah tersebut.
Tetapi AIOC Inggris (kemudian berubah menjadi British Petroleum) dan lima
perusahaan minyak Amerika memperoleh kendali 80 persen atas
pengembangan hidrokarbon Persia.

Peran CIA dalam menggulingkan pemerintah Mossadegh secara resmi


dikonfirmasi pada tahun 2013, ketika informasi terkait diumumkan kepada
publik oleh Arsip Keamanan Nasional AS.

Terlepas dari kenyataan bahwa keikutsertaan intelijen AS dalam peristiwa di


Teheran pada saat ini hampir tidak dapat dibantah, pihak Langley menolak
untuk mengonfirmasi keterlibatan mereka dalam kudeta karena alasan yang
jelas.

Perjuangan Operasi “Just Cause”


Kasus signifikan lainnya dari intervensi dalam urusan negara lain
adalah operasi Amerika di Panama pada tahun 1989. Di sini kita tidak lagi
hanya berbicara tentang tindakan rahasia dari layanan khusus dan
agen-agen mereka di antara penduduk lokal – Amerika Serikat melakukan
invasi skala besar, mengirim sekitar 26 ribu tentara dan perwira serta lebih
dari seratus unit kendaraan lapis baja ke Panama.

Alasan operasi, yang disebut “Just Cause”, adalah ketidakpuasan ekstrem


Washington dengan kepala Panama yang sebenarnya, Manuel Noriega.
Manuel berkuasa setelah kematian diktator Omar Torrijos dalam kecelakaan
pesawat (ada versi yang dibuat sendiri oleh Noriega), dan dia pertama-tama
membuat orang Amerika jengkel dengan ketegarannya dalam menggunakan
Terusan Panama – mengendalikan arteri lalu lintas yang paling penting dari
tahun 1999 melintas dari Amerika Serikat ke Panama itu sendiri, dan upaya
Washington untuk mencapai perubahan perjanjian ini ditolak oleh Noriega.

Selain itu, setelah dikecewakan dengan kebijakan ekonomi yang dipaksakan


oleh Amerika Serikat melalui IMF, ia memutuskan untuk mencari sekutu baru
– termasuk negara-negara Amerika Latin, terutama Nikaragua (di sana,
omong-omong, perjuangan yang disebut kontra dengan pemerintah Daniel
Ortega juga terjadi dengan dukungan aktif Amerika Serikat).

Sebagai akibatnya, pengadilan Amerika menyatakan Noriega sebagai


penjahat perang, dan Presiden Ronald Reagan, yang tengah berupaya
memerangi perdagangan narkoba (dan diktator Panama secara aktif terlibat
dalam bisnis ini, membantu, khususnya, para cukong Kolombia), membela
demokrasi, yang menjamin keselamatan warga Amerika dan melindungi
Terusan Panama pada Desember 1989, meluncurkan Operasi ‘Right Cause’.
Setelah beberapa hari pertempuran, di mana ratusan orang tewas, Noriega
berlindung di kedutaan Vatikan. Dan dia keluar dari sana dengan musik.
Orang Amerika memasang sistem audio yang besar di dekat kedutaan dan
menyalakan musik heavy metal dengan volume tinggi.

Tiga hari kemudian, sang jenderal tidak tahan dengan tekanan tersebut dan
akhirnya menyerah. Selanjutnya, dia dibawa ke Florida dan dijatuhi hukuman
30 tahun. Dia meninggal pada Mei 2017 di dalam tahanan. Politisi oposisi
Guillermo Endar menjadi presiden setelah penggulingan Noriega – ia dilantik
di pangkalan militer AS.

Endar memerintah hingga tahun 1994 – terlepas dari klaim AS tentang


keberhasilan ‘Right Cause’, ekonomi Panama saat itu tengah tergelincir, dan
hanya 12 persen dari populasi mendukung kepala negara. Hal tersebut
menjadi alasan utama operasi perang diberikan kepada Panama pada akhir
tahun 1999.

‘Perdamaian’ untuk Irak


AS telah melakukan invasi pada beberapa negara. Salah satu contoh yang
paling terkenal adalah Irak, saat Washington pada akhir masa lalu dan awal
abad ini mengadakan dua aksi pasukan berskala besar. Alasan operasi
pertama – “Desert Storm” – adalah karena invasi Irak di Kuwait: Baghdad
menganggap wilayah negara tetangga adalah milik mereka, dan juga
menuduh Kuwait mencuri hidrokarbon (untuk tujuan ini, para pekerja minyak
menggunakan sumur miring, teknologi pemboran yang ternyata disediakan
oleh orang Amerika).

Pada Januari 1991, Presiden George W. Bush Sr. mengumumkan dimulainya


operasi. Setelah serangan udara dan serangan roket, operasi darat dilakukan.
Dengan kontingen Amerika yang berjumlah lebih dari 420 ribu orang, yang
memungkinkan Washington dan Sekutu dalam beberapa hari untuk
mengalahkan pasukan Saddam Hussein.

Secara militer, kemenangan AS tersebut tanpa syarat, dan keberhasilan


penyelesaian operasi di Irak adalah salah satu pencapaian paling signifikan
Bush Sr., yang meninggal pada 30 November tahun lalu. Sebenarnya, alasan
invasi bisa dianggap cukup masuk akal: Dewan Keamanan PBB memberi
Baghdad waktu satu setengah bulan untuk menarik pasukan dari Kuwait,
tetapi Irak tidak memenuhi ultimatum ini.
Pesawat F / A-18D Milik US diatas ladang minyak Al-Burqan, Menuju Irak
sebagai dukungan serangan pada Operasi Desert Storm, 2 Februari 1991
(Foto: Kolonel Harmon Stockwell).

Selain hasil dari kampanye AS di Irak, hal yang paling kontroversial, yang
dimulai pada tahun 2003, sudah ada sejak masa kepresidenan George W.
Bush. Alasan dimulainya permusuhan adalah sebagai program untuk
memproduksi senjata pemusnah massal, yang diduga dilakukan oleh rezim
Hussein.

Pada bulan Februari, Sekretaris Negara Colin Powell pada pertemuan Dewan
Keamanan PBB, bersikeras mengenai perlunya tindakan tegas terhadap
Baghdad, bahkan menunjukkan tabung reaksi dengan spora antraks yang
tertangkap bertebaran di Irak di dalamnya.
Namun, pada tahun berikutnya, dia mengakui bahwa data yang dia terbitkan
di WMD di Irak didasarkan pada informasi yang salah dan bahkan
dipalsukan.

Namun, pada saat ini, Amerika Serikat, yang tidak memiliki banyak sekutu
seperti sebelumnya, telah memasuki Irak – telah masuk untuk tinggal lama.
Setelah fase aktif kampanye, militer Amerika selama beberapa tahun harus
mengusir serangan oleh para peserta perang gerilya, dan citra Bush, yang
dengan penuh percaya diri menyatakan, bahwa ‘misi telah selesai’ pada 1
Mei 2003, kini harus menghadapi berbagai skandal yang berkaitan dengan
intimidasi militer Amerika atas penangkapan prajurit militan dan Baath.

Penangkapan dan eksekusi Saddam Hussein dianggap sebagai kunci utama


‘Kebebasan Irak’, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun bagi
Amerika Serikat. Bahkan muncul pendapat bahwa Bush Junior memulai
konflik untuk membalas dendam pada pemimpin Irak, yang berencana untuk
membunuh Bush Sr.

Namun, tanpa Hussein, negara itu akhirnya terjerumus ke dalam jurang


perang saudara antara Sunni dan Syiah, serta Amerika Serikat, di samping
kerugian antara kontingen militer dan biaya finansial yang sangat besar,
hanya memperkuat ketenarannya sebagai polisi dunia yang menggunakan
cara apa pun untuk mencapai tujuannya.

“Amerika Sang Juru Selamat”


Musim semi lalu, kedutaan Rusia di Washington dalam sebuah unggahan
Facebook membagikan data dari seorang peneliti Amerika di Carnegie
Mellon University, yang menurutnya, Amerika Serikat melakukan intervensi
sedikitnya 80 kali dalam pemilihan umum di 45 negara di seluruh dunia – itu
pun belum termasuk mengorganisir kudeta militer dan revolusi “warna kulit”.

Berdasarkan laporan konflik baik lokal maupun regional selama periode dan
waktu yang sama sejak awal abad XXI, di mana Washington ikut
berpartisipasi, juga mengesankan – AlterNet, portal Amerika,
menghitung sekitar 80 kasusserupa sejak tahun 1953. Keterlibatan Amerika
Serikat dalam intervensi secara sukarela, termasuk dengan menggunakan
militer atau layanan khusus yang beroperasi di bawah perlindungan
diplomatik, dalam hampir semua perselisihan, diilustrasikan dengan baik
pada cerita pendek yang ditemukan pada topik ini: “Mengapa tidak pernah
ada konflik di Washington?” “Karena tidak ada kedutaan Amerika di sana.”

AlterNet juga mencatat bahwa “pada skala historis, sekitar setengah dari
semua kudeta yang diselenggarakan oleh Amerika Serikat gagal, dan tidak
pernah terjamin akan selalu sukses.” “Namun, ketika kudeta gagal, orang
Amerika jarang ditemukan meninggal atau berada dalam kesulitan,” tulis
portal itu. “Nasib seperti itu selalu ada bagi orang-orang yang tinggal di
negara di mana kudeta ini terjadi dan bagi siapa pun yang membayar harga
akan menghadapi kekerasan, kekacauan, kemiskinan, dan ketidakstabilan.”

Seorang analis politik, Dekan Fakultas Politik dan Hubungan Internasional


Siberian Institute of Management (cabang RANEPA di bawah Presiden
Federasi Rusia), Sergei Kozlov percaya bahwa kesiapan AS untuk terlibat
dalam suatu “pembongkaran” merupakan ciri khas mentalitas mereka.

“Bagi para elit dan warga sipil Amerika, gagasan tentang peran khusus
tertentu untuk Amerika Serikat, contohnya Amerika sebagai juru selamat,
adalah aneh,” katanya dalam wawancara dengan Radio Sputnik.

“Justru gagasan bahwa Amerika Serikat seharusnya memiliki hak untuk ikut
campur dalam bisnis apa pun di seluruh dunia menjadi alasan bagi mereka
untuk memengaruhi situasi di negara lain.”

Menunggangi Ombak ke Khatulistiwa


Selain di negara-negera timur tengah dan latin, Amerika Serikat (AS) juga
melakukan operasi intelijen lewat CIA di beberapa negara Asia tenggara,
salah satunya di Indonesia, yakni memantau hubungan harmonis Presiden
Soekarno dengan sosialis-komunis Rusia.

Kedekatan Soekarno dengan sosialis-komunis, mengancam kepentingan


nasional AS, menguasai ladang minyak dan emas di perut bumi Indonesia. AS
merasa terancam karena “cangkang demokrasi” digeser dan digantikan
komunisme sehingga berulangkali CIA berencana menggulingkan Soekarno,
seperti mengirim wanita cantik dan membuat film porno “Bung Besar”.

Berdasarkan buku yang ditulis Tim Weiner “Legacy Of Ashes: The History Of
The CIA” mengungkapkan usaha CIA menggulingkan Soekarno dengan
memperkuat dan menyolidkan kekuatan militer di Jakarta, menumpas Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang dekat dengan Soekarno. Karena Soekarno
kerap dekat dengan tokoh PKI seperti DN. Aidit dianggap mengkhawatirkan
bagi kepentingan AS di Indonesia karena terlalu memberikan ruang yang
besar terhadap PKI dan merugikan AS.

Hingga pada kondisi terdesak, Soekarno yang mengawinkan tiga ideologi


besar Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (disingkat: NASAKOM), namun
gagal mendapatkan pengaruh dan dukungan. Sementara konflik terus
muncul baik di dalam maupun diluar Pulau Jawa dan Soekarno terpaksa
mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).

George Bush (Kanan) berjabat tangan dengan Adam Malik (kiri) sebelum
pembukaan Majelis Umum PBB ke-26 New York, Selasa, 21 September 1971.
(Photo: Associated Press)

Keluarnya perintah Supersemar dimanfaatkan Soeharto, ia mulai menumpas


PKI melalui sokongan CIA di belakangnya. Peran Adam Malik dan Gusti
Raden Mas Dorodjatun menjadi jembatan penghubung dengan CIA yang
lantas mendapatkan sejumlah bantuan dana dan peralatan komunikasi militer
seperti walkie-talkie dari Duta Besar AS, Marshall Green.

Bantuan tersebut turut memudahkan peran Soeharto dalam menumpas PKI


hingga ke pelosok. Setelah Soekarno tumbang, tak butuh waktu lama
Soeharto menyerahkan pengelolaan tambang emas di Papua kepada PT.
freeport Indonesia. Perusahaan ini berafiliasi dengan McMoRan Cooper &
Gold Inc milik AS pada 1966.

Anda mungkin juga menyukai