Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS INDONESIA

Kebijakan Doktrin Eisenhower di Timur Tengah

TUGAS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Mata Kuliah Politik Luar
Negeri Amerika Serikat di Timur Tengah

HARRIST RIANSYAH
1906365542

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Timur Tengah yang terdiri dari negara-negara suku bangsa Arab merupakan
sebuah daerah penghasil minyak terbesar didunia. Negara-negara seperti Arab Saudi,
Irak, Oman, dan Iran merupakan beberapa negara yang mendapatkan keuntungan besar
dari hasil penjualan minyak mereka ke pasar internasional. Namun pada sejarahnya
Timur Tengah yang memiliki cadangan minyak yang melimpah pada pertengahan abad
ke-20 ini menjadi primadona sendiri bagi banyak negara-negara Barat seperti Inggris
dan Perancis yang memang setelah Perang Dunia I berhasil mengambil wilayah
Kesultanan Turki Utsmani membuat kedua negara itu memiliki pengaruh yang kuat
didaerah tersebut setidaknya hingga Perang Dunia II berakhir.

Eksistensi kekuatan Inggris dan Perancis didaerah bekas Turki Utsmani


mengalami penurunan drastis imbas konflik yang terjadi di Terusan Suez yang lebih
dikenal sebagai Krisis Suez yang terjadi pada tahun 1956. Hal ini pada mulanya diawali
dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser ingin menasionalisasikan Terusan Suez
yang dan mengusir kekuatan Inggris dan Perancis ditengah konflik negara-negara Arab
dengan Israel. Amerika Serikat sendiri melihat konflik Anglo-Mesir di Terusan Suez
jauh lebih penting daripada konflik Arab-Israel 1 karena dikhawatirkan menimbulkan
perang dalam skala yang lebih besar atau memungkinkan penggunaan senjata nuklir.

Krisis ini sendiri pun baru selesai ketika Amerika Serikat mendesak Inggirs,
Perancis, dan Israel untuk mundur dari Terusan Suez yang membuat Mesir dengan
bantuan persenjataan dari Uni Soviet berhasil memenangkan konflik. Amerika Serikat
melihat hubungan yang baik antara Mesir dan Uni Soviet sangat mengkhawatirkan
karena memungkinkan pengaruh komunisme memasuki negeri-negeri di Timur Tengah.

Sepanjang tahun 1957, Pemerintahan di negara-negara Timur Tengeh


didominasi oleh rezim konservatif tradisional yang membutuhkan bantuan dana dari

1
Roby C. Barrett, The Greater Middle East and the Cold War: US Foreign Policy under Eisenhower and
Kennedy (New York: I. B. Tauris, 2007), hal. 15.
Amerika Serikat, seperti Irak, Lebanon, Arab Saudi, dan Yordania. Sedangkan Suriah
yang memiliki kedekatan dengan Mesir cenderung dimusuhi oleh para tetangganya yang
membuat negara tersebut seperti diisolasi.2

Amerika Serikat sebagai negara adikuasa pasca Perang Dunia II melihat Timur
Tengah sebagai wilayah strategis untuk kepentingan negara mereka dengan cadangan
minyak bumi yang melimpah sekaligus ditengah mulainya konflik antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet yang memunculkan Perang Dingin hingga akhir abad ke-20,
Amerika Serikat juga ingin menghalau pengaruh komunisme yang semakin gencar
dilakukan Uni Soviet diberbagai negara di dunia pada saat itu. Masalah tersebut coba
diselesaikan oleh Presiden Amerika Serikat pada saat itu Dwight D. Eisenhower dengan
membuat sebuag Doktrin yang dinamakan Doktrin Eisenower yang berupa bantuan
ekonomi dan militer bagi negara-negara di Timur Tengah untuk membantu
perekonomian dan keamanan negara tersebut sekaligus memperkuat pengaruh Amerika
Serikat di Timur Tengah.

1.2. Rumusan Masalah


2. Bagaimana Eisenhower melihat Timur Tengah pada periode 1950-an?
3. Bagaimana latar belakang dibuatnya Doktrin Eisenhower?
4. Bagaimana berjalannya Doktrin Eisenhower di Timur Tengah?

BAB II
ISI
2
Samuel Boyd, US Foreign Policy Towards the Middle East in the 1950s. University of the West of
England, hal. 2.
2.1. Pemerintahan Eisehower

Dwight D. Eisenhower atau memiliki nama panggilan masa kecil “Ike”


merupakan salahsatu tokoh penting dalam sejarah Amerika Serikat dan dunia.
Eisenhower mungkin lebih banyak dikenal sebagai Panglima Sekutu dalam Perang
Dunia II, dan perlu diingat juga bahwa Eisenhower juga pernah menjabat sebagai
Presiden Amerikat Serikat dari tahun 1953-1961 dari Partai Republik.

Dia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pada November 1952 karena
daya tariknya yang terkenal berasal dari non-politisi yang tidak korupsi. Ketika
Eisenhower menjabat, ia mengangkat John Foster Dulles sebagai Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat. Dulles sendiri merupakan cucu dari salah satu menteri luar negeri.
Dulles telah berpartisipasi dalam konferensi internasional sejak dekade pertama abad
kedua puluh. Pada tahun 1920-an dan 1930-an dia pernah menjadi mitra di firma hukum
Sullivan & Cromwell di New York, yang berspesialisasi dalam masalah utang dan
reparasi Eropa. Pada tahun 1940-an Dulles menjabat sebagai penasihat kebijakan luar
negeri calon presiden dari Partai Republik Thomas E. Dewey dan sebagai delegasi AS
untuk PBB yang baru dibentuk. Pada tahun 1950 Truman menunjuknya sebagai kepala
negosiator AS untuk perjanjian damai dengan Jepang, yang diakhiri pada tahun
berikutnya. Pada tahun 1952 Dulles secara luas dianggap sebagai kepala penasihat
kebijakan luar negeri Partai Republik.3

Banyak pengamat yang menganggap Dulles lebih mendominasi kebijakan luar


negeri Amerika Serikat ketimbang sang presiden Eisenhower sendiri. Dulles dipandang
sebagai perpanjangan dari keyakinan Protestannya yang tak tergoyahkan, tetapi
interpretasi yang lebih meyakinkan memperlakukan profesi hukum sebagai model
menyeluruh untuk diplomasinya. Bergantung pada situasinya, pendekatan hukum dapat
mendorong fleksibilitas atau ketidakfleksibelan. Pada saat yang sama, Dulles
membanggakan kemampuannya untuk bermanuver dalam batas yang diterima secara
internasional, untuk memainkan permainan dengan sukses tanpa melanggar aturannya.4

3
Salim Yaqub. Containing Arab nationalism: the Eisenhower doctrine and the Middle East. (UNC Press
Books, 2004), hal. 27-28.
4
Ibid.
Ada beberapa aspek penting dalam pemerintahan Eisenhower saat itu, seperti;

1) Mempertahankan vitalitas ekonomi Amerika Serikat dan tetap membangun


kekuatan yang cukup untuk menjalankan Perang Dingin.
2) Mengandalkan senjata nuklir untuk mencegah agresi Komunis atau, jika perlu,
untuk berperang.
3) Menggunakan Central Intelligence Agency (CIA) untuk melakukan tindakan
rahasia atau rahasia terhadap pemerintah atau pemimpin "langsung atau tidak
langsung responsif terhadap kontrol Soviet".
4) Memperkuat sekutu dan memenangkan persahabatan pemerintah nonblok.
Kebijakan pertahanan Eisenhower, yang bertujuan untuk memberikan "lebih
banyak keuntungan," memotong pengeluaran untuk pasukan konvensional
sambil meningkatkan anggaran untuk Angkatan Udara dan senjata nuklir.
Meskipun pengeluaran keamanan nasional tetap tinggi—tidak pernah turun di
bawah 50 persen anggaran selama kepresidenan Eisenhower—Eisenhower
menyeimbangkan tiga dari delapan anggaran federal saat dia berada di Gedung
Putih.5

2.2. Kebijakan Eisenhower Terhadap Timur Tengah

Jabatan Presiden di awal Perang Dingin membuat kebijakan luar negeri ketika
itu menjadi persoalan penting guna membendung pengaruh Uni Soviet dan ideologi
komunisme. Salahsatunya merupakan Doktrin Eisenhower (Eisenhower Doctrine)

Doktrin ini pertama kali di kemukakan oleh Eisenhower pada 5 Januari 1957
yang berisi kebijakan luar negeri AS yang menjanjikan bantuan militer atau ekonomi ke
negara Timur Tengah mana pun yang membutuhkan bantuan dalam melawan agresi
komunis. Doktrin tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi pengaruh Soviet yang
meningkat di Timur Tengah, yang diakibatkan oleh pasokan senjata ke Mesir oleh
negara-negara komunis serta dari dukungan komunis yang kuat dari negara-negara Arab
terhadap serangan Israel, Prancis, dan Inggris di Mesir pada bulan Oktober. 1956 yang
merupakan pusat dari apa yang disebut Krisis Suez.

5
Chester J. Pach, Jr. “Dwight D. Eisenhower: Foreign Affairs.” Miller Center,
https://millercenter.org/president/eisenhower/foreign-affairs
2.3. Doktrin Eisenhower

Ike membingkai Doktrin ini sebagai tindakan yang diperlukan yang tanpanya
bencana, dalam bentuk penetrasi Komunis, akan menimpa Timur Tengah. Strategi
persuasifnya bertumpu pada tiga premis:

1) Timur Tengah adalah wilayah kepentingan vital AS,


2) negara-negara Timur Tengah tidak stabil dan oleh karena itu menurut definisi
rentan terhadap komunisme, dan
3) Amerika Serikat adalah satu-satunya negara. mampu memberikan keamanan
(dan dengan demikian mengakhiri ketidakstabilan) di Timur Tengah.

Dinamika politik ini meyakinkan Eisenhower bahwa ia harus menerima


tanggung jawab baru untuk keamanan Timur Tengah. Mengingat runtuhnya prestise
Inggris dan bangkitnya minat Soviet, ia memutuskan untuk membangun mekanisme
baru intervensi AS untuk menstabilkan kawasan itu dari ancaman Soviet atau gejolak
internal atau revolusi.

Menteri Luar Negeri John Foster Dulles mengatakan kepada para pemimpin
sekutu bahwa "kami bermaksud untuk membuat kehadiran kami lebih terasa di Timur
Tengah." Maka lahirlah Doktrin Eisenhower.

2.3.1. Persetujuan oleh Kongres

Eisenhower meminta Kongres untuk menyetujui Doktrin Eisenhower pada awal


tahun 1957. Dia meminta otoritas untuk mengeluarkan $200 juta dalam bantuan
ekonomi dan militer dan untuk mengikat angkatan bersenjata untuk membela negara
mana pun yang mencari bantuan melawan komunisme internasional. Dia berjanji untuk
menghindari pertengkaran intraregional dan berkonsentrasi untuk mempertahankan
daerah itu dari agresi Komunis, dan dia menggambarkan otoritas untuk mengirim
pasukan sebagai pencegah yang akan mengurangi kemungkinan perang.

Skeptis terhadap proposal Eisenhower, beberapa anggota Kongres ragu-ragu


untuk menyetujui. Berbagai senator secara terbuka mengkritik doktrin tersebut dengan
alasan bahwa hal itu akan membahayakan otoritas presiden, memaparkan negara pada
risiko militer yang tidak perlu, dan membuang-buang sumber daya keuangan.

Namun Eisenhower berhasil menang dalam debat domestik dan memobilisasi


sekutu di Capitol Hill untuk mempromosikan doktrin. The New York Times mendesak
anggota parlemen untuk mendukung gagasan itu sebagai benteng melawan perluasan
Soviet. Kongres mengeluarkan resolusi yang menyetujui doktrin tersebut pada 7 Maret
dan Eisenhower menandatanganinya menjadi undang-undang dua hari kemudian.

Mantan Anggota Kongres James P. Richards, yang ditunjuk oleh Eisenhower


sebagai asisten khusus dengan pangkat duta besar, mengunjungi para pemimpin Timur
Tengah pada bulan Maret-Mei untuk meminta dukungan mereka terhadap doktrin
tersebut dengan menawarkan bantuan ekonomi dan militer kepada mereka.

2.3.2. Alternatif Lain

Dalam memahami doktrin, Eisenhower secara sadar menolak skema alternatif


untuk menstabilkan Timur Tengah. Dia menolak saran dari Menteri Luar Negeri Soviet
Dmitri Shepilov bahwa Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, dan Prancis bersama-sama
merundingkan perjanjian damai Arab-Israel, berjanji tidak campur tangan di negara-
negara Timur Tengah, membatasi pasokan senjata ke wilayah tersebut, mengevakuasi
militer mereka, pangkalan dan menghapus pakta keamanan di sana. Eisenhower
menolak usul ini beralasan bahwa langkah seperti itu akan melemahkan pengaruh Barat
di kawasan itu dan mengkhianati negara-negara Timur Tengah yang telah menentang
kekuasaan Soviet.

Eisenhower juga menolak proposal untuk membangun aparat keamanan AS di


Israel, dengan alasan bahwa dikhawatirkan negara-negara Arab akan pindah ke pihak
Moskow, dan Soviet akan membangun juga hal serupa di negara-negara Arab, dan
dengan alasan bahwa opini domestik tidak akan mengizinkan pemutusan hubungan
dengan Israel.

2.3.3. Respon Negara-negara di Timur-Tengah

Reaksi terhadap Doktrin Eisenhower sangat bervariasi. Libya, Lebanon, Turki,


Iran, dan Pakistan mendukung doktrin itu bahkan sebelum Kongres AS menyetujuinya
dan dengan hangat menyambut Duta Besar Richards, yang membagikan puluhan juta
dolar kepada mereka.

Raja Hussein dari Yordania menyetujui doktrin tersebut tetapi meminta Richards
untuk menjauh dari negaranya untuk menghindari merangsang reaksi nasionalistik
terhadap tahtanya. Richards mengalokasikan dana ke Irak dan Arab Saudi meskipun
para pemimpin mereka mengeluhkan dukungan AS terhadap Israel.

Suriah dan Mesir, sebaliknya, tidak menunjukkan dukungan untuk Doktrin


Eisenhower. Richards menghindari Suriah karena ketidakramahan rezimnya terhadap
Amerika Serikat. Nasser menolak mengundang Richards untuk mengunjungi Mesir
untuk membahas doktrin tersebut, dan Eisenhower memutuskan untuk tidak menekan
masalah ini karena khawatir Nasser akan menodai doktrin tersebut dengan menolaknya.

Eisenhower memang bermaksud mengisolasi doktrin dari Israel, yang


sebenarnya cocok dengan para pemimpin Israel. Departemen Luar Negeri menentang
bantuan khusus untuk Israel mengingat keamanan relatifnya terhadap komunisme dan
kemungkinan reaksi di antara negara-negara Arab terhadap bantuan tersebut. Sementara
itu, Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion tidak menyukai doktrin tersebut karena
berjanji untuk memperkuat hubungan Barat-Arab dan memberi penghargaan kepada
negara-negara Arab yang tetap memusuhi negaranya. Dia juga khawatir bahwa tekanan
AS untuk menegaskan doktrin tersebut akan membahayakan pemulihan hubungan Israel
dengan Uni Soviet. Para pejabat Israel senang Nasser yang turut juga menolak doktrin
tersebut.

2.4. Jalannya Doktrin Eisenhower


Meskipun tidak pernah secara resmi digunakan, Doktrin Eisenhower memandu
kebijakan AS dalam tiga kontroversi.6

2.4.1 Mempertahankan Pemerintahan Raja Hussein

Hal itu mengilhami Eisenhower dan Dulles untuk mempertahankan


pemerintahan Raja Hussein dari Yordania selama krisis politik di negaranya pada awal
1957, AS segera menstabilkan Hussein dengan puluhan juta dolar bantuan. Pentagon
juga memerintahkan Armada Keenam untuk berlayar ke Mediterania timur,
menempatkan Kelompok tugas Amfibi Armada Keenam di Beirut, menempatkan dua
kapal perusak di dekat Massawa-Aden, dan memperingatkan unit darat dan udara di
Eropa untuk kemungkinan penyebaran ke pangkalan udara dan darat di Turki dan
Lebanon. Hal ini dilakukan guna mencegah negeri tetangga Yordania mengambil
kesempatan atas kekacauan di Yordania dan mencoba mencaplok negara itu.

2.4.2. Krisis Suriah

Eisenhower mendasarkan kebijakannya selama krisis di Suriah pada Doktrin


Eisenhower. Hubungan AS-Suriah telah memburuk sejak Shukry al-Quwatly menjadi
presiden pada Agustus 1955. al-Quwatly telah mengkritik Pakta Baghdad, menerima
pasokan senjata Soviet, mengungkap operasi rahasia Anglo-Amerika terhadap rezimnya
pada Oktober 1956, mencela Doktrin Eisenhower, menekan oposisi konservatif, dan
tampaknya mengobarkan pemberontakan di Yordania. Khawatir dengan bukti
meningkatnya pengaruh Komunis di Suriah, para pejabat AS tampaknya meluncurkan
operasi rahasia kedua di Damaskus pada Agustus 1957, tetapi Suriah menyusup ke
konspirasi, mengusir tiga diplomat AS, dan mengepung kedutaan AS dengan tank.
Sebagai pembalasan, Eisenhower mengusir dua utusan Suriah dari Washington.

Pertikaian diplomatik ini mendorong Eisenhower untuk mengatur manuver


militer Barat melawan Suriah. Khawatir bahwa Uni Soviet mungkin mencaplok Suriah
atau menumbangkan rezim tetangga pro-Barat, Eisenhower mendorong Turki, Irak,
Lebanon, dan Yordania untuk "bersatu, dan menggunakan alasan-alasan seperti yang
diperlukan, bergerak untuk melenyapkan pemerintah Suriah."

6
Peter L. Hahn. Securing The Middle East: The Eisenhower Doctrine of 1957. Presidential Studies
Quarterly, 36(1), 38-47. hal.42.
Bertentangan dengan keinginan Eisenhower, bagaimanapun, hanya Turki yang
bergerak tegas melawan Suriah. Yordania, Irak, dan Lebanon tetap pasif dan Arab Saudi
menyalahkan masalah di Damaskus pada kebijakan AS.

Ketegangan atas Suriah akhirnya pecah ketika Suriah dan Mesir bergabung ke
dalam Republik Persatuan Arab (United Arab Republic/ UAR) pada 1 Februari 1958.
Eisenhower dan Dulles segera menyadari bahwa oposisi terhadap UAR hanya akan
menimbulkan kebencian Arab, dan mereka juga menghitung bahwa UAR akan
memberikan keuntungan tertentu seperti menahan penyebaran komunisme di Damaskus
dan menyerap energi politik Nasser. Dengan demikian, Amerika Serikat secara resmi
mengakui UAR pada 25 Februari dan krisis Suriah berlalu.

2.4.3. Krisis Juli 1958 di Lebanon

Selama krisis Juli 1958 yang melibatkan negara-negara pro-Barat Lebanon,


Yordania, dan Irak. Lebanon menjadi perhatian utama bagi Eisenhower pada awal tahun
1958, ketika Muslim Lebanon, yang terpengaruh oleh visi nasionalisme pan-Arab
Nasser, menantang otoritas Presiden Camille Chamoun, seorang Kristen yang telah
mempraktekkan kebijakan luar negeri pro-Amerika dan yang mencoba memperluas
kekuasaannya dengan mengamandemen konstitusi untuk menghapus pembatasan masa
jabatan.

Ketika kekerasan melanda Lebanon pada Mei 1958, para pejabat AS memasok
Chamoun dengan senjata yang ia gunakan untuk menekan kerusuhan antipemerintah.
Tetapi ketidakstabilan tetap ada, dan Chamoun meminta Amerika Serikat untuk campur
tangan secara militer untuk menyelamatkan kepresidenannya.

Awalnya, Eisenhower menolak untuk campur tangan. Dia menyadari bahwa


jatuhnya Chamoun mungkin akan menjadi kekuatan anti-Barat, radikal pro-Nasser atau
bahkan mungkin memicu perang Israel-UAR untuk menguasai negara. Namun dia juga
menyadari bahwa intervensi untuk memperpanjang kepresidenan Chamoun akan
mengurangi prestise AS di banyak negara Dunia Ketiga. Bahkan setelah Chamoun
memenuhi persyaratan tertentu AS, termasuk meninggalkan usahanya sendiri untuk
tetap menjadi presiden, Eisenhower ragu-ragu untuk bertindak.
Eisenhower baru terdorong dengan adanya kudeta terhadap pemerintah Irak
pada tanggal 14 Juli, masih dengan sangat enggan, untuk mengirim tentara ke Lebanon.
Eisenhower memerintahkan Marinir untuk menduduki tempat-tempat strategis di Beirut
dan untuk menjaga kemerdekaan dan integritas Lebanon, dan dia mengirim Wakil
Wakil Menteri Luar Negeri Robert D. Murphy ke Beirut untuk menemukan
penyelesaian politik yang memungkinkan penarikan awal pasukan AS.

Intervensi militer di Lebanon menghasilkan hasil jangka pendek yang dapat


diterima oleh Amerika Serikat. Jenderal Fuad Chehab memenangkan pemilihan
presiden pada 31 Juli, mengakomodasi kaum nasionalis dan pemberontak Muslim
dengan menjauhkan diri dari Amerika Serikat, dan memulihkan stabilitas di Lebanon.
Direktur Intelijen Pusat Allen Dulles mengatakan kepada Dewan Keamanan Nasional,
"mungkin merupakan hasil yang paling menguntungkan dalam situasi rumit yang ada di
Lebanon." Pasukan AS menarik diri dari negara itu pada akhir Oktober.

BAB III
KESIMPULAN
Doktrin Eisenhower memiliki durasi yang singkat namun intens. Pada akhir
Perang Suez-Sinai, Presiden Eisenhower khawatir bahwa runtuhnya pengaruh Anglo-
Prancis dan bangkitnya minat Uni-Soviet di Timur Tengah menjadi pertanda buruk bagi
pelestarian tujuan AS di wilayah tersebut. Karena itu, dia memikul tanggung jawab
eksplisit di bawah Doktrin Eisenhower untuk menghentikan ekspansi komunis di
wilayah tersebut dengan cara fiskal dan militer. Presiden mendapatkan persetujuan
Kongres atas doktrin ini tetapi merasa sulit untuk meyakinkan negara-negara Arab atau
Israel tentang tujuan atau kegunaannya.

Meskipun demikian, Eisenhower pada tiga kesempatan menggunakan bantuan


ekonomi dan militer, inisiatif politik, dan pasukan militer untuk memajukan atau
melindungi kepentingan AS. Dalam prosesnya, dia mengangkat prospek bahwa
Amerika Serikat akan berperang di kawasan atau bahkan dalam skala global, dan dia
menerima tanggung jawab di Timur Tengah yang akan dipertahankan Amerika Serikat
selama beberapa dekade mendatang.

Daftar Pustaka

 Barrett, Roby C. (2007). The Greater Middle East and the Cold War: US
Foreign Policy under Eisenhower and Kennedy. New York: I. B. Tauris.
 Boyd, Samuel (2015). US Foreign Policy Towards the Middle East in the 1950s.
University of the West of England.
 Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2022, April 24). Eisenhower Doctrine.
Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/event/Eisenhower-
Doctrine
 Hahn, P. L. (2006). Securing the middle east: The eisenhower doctrine of
1957. Presidential Studies Quarterly, 36(1), 38-47.
doi:https://doi.org/10.1111/j.1741-5705.2006.00285.x
 Pach, Jr., Chester J. “Dwight D. Eisenhower: Foreign Affairs.” Diakses pada 10
Desember 2023, dari https://millercenter.org/president/eisenhower/foreign-
affairs
 Yaqub, S. (2004). Containing Arab nationalism: the Eisenhower doctrine and
the Middle East. UNC Press Books.

Anda mungkin juga menyukai