TUGAS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Mata Kuliah Politik Luar
Negeri Amerika Serikat di Timur Tengah
HARRIST RIANSYAH
1906365542
PENDAHULUAN
Timur Tengah yang terdiri dari negara-negara suku bangsa Arab merupakan
sebuah daerah penghasil minyak terbesar didunia. Negara-negara seperti Arab Saudi,
Irak, Oman, dan Iran merupakan beberapa negara yang mendapatkan keuntungan besar
dari hasil penjualan minyak mereka ke pasar internasional. Namun pada sejarahnya
Timur Tengah yang memiliki cadangan minyak yang melimpah pada pertengahan abad
ke-20 ini menjadi primadona sendiri bagi banyak negara-negara Barat seperti Inggris
dan Perancis yang memang setelah Perang Dunia I berhasil mengambil wilayah
Kesultanan Turki Utsmani membuat kedua negara itu memiliki pengaruh yang kuat
didaerah tersebut setidaknya hingga Perang Dunia II berakhir.
Krisis ini sendiri pun baru selesai ketika Amerika Serikat mendesak Inggirs,
Perancis, dan Israel untuk mundur dari Terusan Suez yang membuat Mesir dengan
bantuan persenjataan dari Uni Soviet berhasil memenangkan konflik. Amerika Serikat
melihat hubungan yang baik antara Mesir dan Uni Soviet sangat mengkhawatirkan
karena memungkinkan pengaruh komunisme memasuki negeri-negeri di Timur Tengah.
1
Roby C. Barrett, The Greater Middle East and the Cold War: US Foreign Policy under Eisenhower and
Kennedy (New York: I. B. Tauris, 2007), hal. 15.
Amerika Serikat, seperti Irak, Lebanon, Arab Saudi, dan Yordania. Sedangkan Suriah
yang memiliki kedekatan dengan Mesir cenderung dimusuhi oleh para tetangganya yang
membuat negara tersebut seperti diisolasi.2
Amerika Serikat sebagai negara adikuasa pasca Perang Dunia II melihat Timur
Tengah sebagai wilayah strategis untuk kepentingan negara mereka dengan cadangan
minyak bumi yang melimpah sekaligus ditengah mulainya konflik antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet yang memunculkan Perang Dingin hingga akhir abad ke-20,
Amerika Serikat juga ingin menghalau pengaruh komunisme yang semakin gencar
dilakukan Uni Soviet diberbagai negara di dunia pada saat itu. Masalah tersebut coba
diselesaikan oleh Presiden Amerika Serikat pada saat itu Dwight D. Eisenhower dengan
membuat sebuag Doktrin yang dinamakan Doktrin Eisenower yang berupa bantuan
ekonomi dan militer bagi negara-negara di Timur Tengah untuk membantu
perekonomian dan keamanan negara tersebut sekaligus memperkuat pengaruh Amerika
Serikat di Timur Tengah.
BAB II
ISI
2
Samuel Boyd, US Foreign Policy Towards the Middle East in the 1950s. University of the West of
England, hal. 2.
2.1. Pemerintahan Eisehower
Dia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pada November 1952 karena
daya tariknya yang terkenal berasal dari non-politisi yang tidak korupsi. Ketika
Eisenhower menjabat, ia mengangkat John Foster Dulles sebagai Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat. Dulles sendiri merupakan cucu dari salah satu menteri luar negeri.
Dulles telah berpartisipasi dalam konferensi internasional sejak dekade pertama abad
kedua puluh. Pada tahun 1920-an dan 1930-an dia pernah menjadi mitra di firma hukum
Sullivan & Cromwell di New York, yang berspesialisasi dalam masalah utang dan
reparasi Eropa. Pada tahun 1940-an Dulles menjabat sebagai penasihat kebijakan luar
negeri calon presiden dari Partai Republik Thomas E. Dewey dan sebagai delegasi AS
untuk PBB yang baru dibentuk. Pada tahun 1950 Truman menunjuknya sebagai kepala
negosiator AS untuk perjanjian damai dengan Jepang, yang diakhiri pada tahun
berikutnya. Pada tahun 1952 Dulles secara luas dianggap sebagai kepala penasihat
kebijakan luar negeri Partai Republik.3
3
Salim Yaqub. Containing Arab nationalism: the Eisenhower doctrine and the Middle East. (UNC Press
Books, 2004), hal. 27-28.
4
Ibid.
Ada beberapa aspek penting dalam pemerintahan Eisenhower saat itu, seperti;
Jabatan Presiden di awal Perang Dingin membuat kebijakan luar negeri ketika
itu menjadi persoalan penting guna membendung pengaruh Uni Soviet dan ideologi
komunisme. Salahsatunya merupakan Doktrin Eisenhower (Eisenhower Doctrine)
Doktrin ini pertama kali di kemukakan oleh Eisenhower pada 5 Januari 1957
yang berisi kebijakan luar negeri AS yang menjanjikan bantuan militer atau ekonomi ke
negara Timur Tengah mana pun yang membutuhkan bantuan dalam melawan agresi
komunis. Doktrin tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi pengaruh Soviet yang
meningkat di Timur Tengah, yang diakibatkan oleh pasokan senjata ke Mesir oleh
negara-negara komunis serta dari dukungan komunis yang kuat dari negara-negara Arab
terhadap serangan Israel, Prancis, dan Inggris di Mesir pada bulan Oktober. 1956 yang
merupakan pusat dari apa yang disebut Krisis Suez.
5
Chester J. Pach, Jr. “Dwight D. Eisenhower: Foreign Affairs.” Miller Center,
https://millercenter.org/president/eisenhower/foreign-affairs
2.3. Doktrin Eisenhower
Ike membingkai Doktrin ini sebagai tindakan yang diperlukan yang tanpanya
bencana, dalam bentuk penetrasi Komunis, akan menimpa Timur Tengah. Strategi
persuasifnya bertumpu pada tiga premis:
Menteri Luar Negeri John Foster Dulles mengatakan kepada para pemimpin
sekutu bahwa "kami bermaksud untuk membuat kehadiran kami lebih terasa di Timur
Tengah." Maka lahirlah Doktrin Eisenhower.
Raja Hussein dari Yordania menyetujui doktrin tersebut tetapi meminta Richards
untuk menjauh dari negaranya untuk menghindari merangsang reaksi nasionalistik
terhadap tahtanya. Richards mengalokasikan dana ke Irak dan Arab Saudi meskipun
para pemimpin mereka mengeluhkan dukungan AS terhadap Israel.
6
Peter L. Hahn. Securing The Middle East: The Eisenhower Doctrine of 1957. Presidential Studies
Quarterly, 36(1), 38-47. hal.42.
Bertentangan dengan keinginan Eisenhower, bagaimanapun, hanya Turki yang
bergerak tegas melawan Suriah. Yordania, Irak, dan Lebanon tetap pasif dan Arab Saudi
menyalahkan masalah di Damaskus pada kebijakan AS.
Ketegangan atas Suriah akhirnya pecah ketika Suriah dan Mesir bergabung ke
dalam Republik Persatuan Arab (United Arab Republic/ UAR) pada 1 Februari 1958.
Eisenhower dan Dulles segera menyadari bahwa oposisi terhadap UAR hanya akan
menimbulkan kebencian Arab, dan mereka juga menghitung bahwa UAR akan
memberikan keuntungan tertentu seperti menahan penyebaran komunisme di Damaskus
dan menyerap energi politik Nasser. Dengan demikian, Amerika Serikat secara resmi
mengakui UAR pada 25 Februari dan krisis Suriah berlalu.
Ketika kekerasan melanda Lebanon pada Mei 1958, para pejabat AS memasok
Chamoun dengan senjata yang ia gunakan untuk menekan kerusuhan antipemerintah.
Tetapi ketidakstabilan tetap ada, dan Chamoun meminta Amerika Serikat untuk campur
tangan secara militer untuk menyelamatkan kepresidenannya.
BAB III
KESIMPULAN
Doktrin Eisenhower memiliki durasi yang singkat namun intens. Pada akhir
Perang Suez-Sinai, Presiden Eisenhower khawatir bahwa runtuhnya pengaruh Anglo-
Prancis dan bangkitnya minat Uni-Soviet di Timur Tengah menjadi pertanda buruk bagi
pelestarian tujuan AS di wilayah tersebut. Karena itu, dia memikul tanggung jawab
eksplisit di bawah Doktrin Eisenhower untuk menghentikan ekspansi komunis di
wilayah tersebut dengan cara fiskal dan militer. Presiden mendapatkan persetujuan
Kongres atas doktrin ini tetapi merasa sulit untuk meyakinkan negara-negara Arab atau
Israel tentang tujuan atau kegunaannya.
Daftar Pustaka
Barrett, Roby C. (2007). The Greater Middle East and the Cold War: US
Foreign Policy under Eisenhower and Kennedy. New York: I. B. Tauris.
Boyd, Samuel (2015). US Foreign Policy Towards the Middle East in the 1950s.
University of the West of England.
Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2022, April 24). Eisenhower Doctrine.
Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/event/Eisenhower-
Doctrine
Hahn, P. L. (2006). Securing the middle east: The eisenhower doctrine of
1957. Presidential Studies Quarterly, 36(1), 38-47.
doi:https://doi.org/10.1111/j.1741-5705.2006.00285.x
Pach, Jr., Chester J. “Dwight D. Eisenhower: Foreign Affairs.” Diakses pada 10
Desember 2023, dari https://millercenter.org/president/eisenhower/foreign-
affairs
Yaqub, S. (2004). Containing Arab nationalism: the Eisenhower doctrine and
the Middle East. UNC Press Books.