Anda di halaman 1dari 16

C.

Perang Teluk III

Pada tahun 2002, Presiden Amerika Serikat George W. Bush menegaskan kembali
pentingnya membersihkan Irak dari senjata penghancur massal. Irak menunjukkan sikap
menaati resolusi. Kemudian Presiden Prancis, Jacques Chirac, dan Kanselir Jerman, Gerhard
Schröder, berusaha memperpanjang jangka waktu inspeksi dan memberi kesempatan lebih
lama kepada Irak untuk mematuhi resolusi. Irak menunjukkan niat baik dengan menaati
resolusi itu. Namun, ironisnya, Pada awal 2003, Presiden Bush dan Perdana Menteri Tony
Blair mendeklarasikan bahwa Irak bersikukuh menghindari inspeksi PBB dan tetap
memproduksi senjata kimia. Presiden Bush menganggap upaya diplomasi melalui PBB akan
berakhir sia-sia. Oleh karena itu, pada 17 Maret 2003, Bush mendeklarasikan berakhirnya
diplomasi serta mengultimatum Saddam Hussein untuk meninggalkan Irak dalam waktu 48
jam. Saddam Hussein menolak mematuhi ultimatum itu. Prancis, Jerman, dan Russia
keberatan dengan rencana perang Bush.

Tampak juga bagi Amerika Serikat bahwa sanksi ekonomi tidak mempan untuk
menghentikan Irak 'memproduksi senjata pemusnah massal'. Hal itu sebagian karena
beberapa negara tetangga Irak mulai membuka kembali perdagangan dengan Irak. Selain itu,
diplomasi juga menemui jalan buntu. Oleh karena itu, tindakan militer dianggap sebagai
satu-satunya solusi yang tersisa. (Catatan: kelak, setelah perang usai, terbukti bahwa Irak
tidak memproduksi senjata pemusnah massal).

Pada September 2001, Pasca-Peristiwa 11 September, Presiden Bush mendesak negara koalisi
Amerika Serikat melakukan sesuatu untuk menghancurkan sel-sel terorisme, tidak sekadar
mengucapkan simpati atas tragedi September. Slogan terkenal dan kontroversial Bush, 'Anda
bersama kami atau melawan kami dalam perang perjuangan melawan teror' menggema ke
seluruh dunia. "Hanya ada dua pilihan bagi Anda dalam perjuangan melawan teror:
mendukung kami atau melawan kami, You're either with us or against us in the fight against
terror," kata Bush kala itu.

Sebelum invasi dimulai, wakil Presiden Amerika Serikat, pada pertengahan Maret 2002, telah
melakukan sejumlah lawatan ke sembilan negara Timur Tengah untuk mencari dukungan
penuh dari negara-negara tersebut dalam upayanya menggulingkan pemerintahan Saddam.
Meskipun dengan dalih tentang adanya kepemilikan senjata pemusnah massal di Irak, hanya
Israel dan Kuwait yang menyatakan siap mendukung Amerika Serikat. Arab Saudi, meskipun
tidak menyukai Saddam, tidak mengizinkan Amerika Serikat menggunakan pangkalan
angkatan udaranya untuk menyerang Irak. Tampaknya Arab Saudi dan negara-negara Arab
lainnya masih bersikap konsisten untuk mempertahankan kesatuan teritorial dari negara Irak.

Sementara itu, Turki juga menunjukkan keraguan untuk turut serta dalam aksi penyerangan
militer Amerika Serikat ke Irak. Sementara negara lain, seperti Suriah dan Iran, lebih
menginginkan Irak berada dalam kondisi status quo, daripada harus menerima munculnya
pemerintahan baru yang loyal kepada Washington.
Selain itu, negara-negara Uni Eropa juga tidak mendukung rencana Amerika Serikat.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, justru sempat menolak dengan keras terhadap rencana
Amerika Serikat ini. Akan tetapi, meskipun menolak membantu Amerika Serikat, negara-
negara ini pada umumnya sepakat jika Irak harus mengizinkan kembalinya tim PBB untuk
memeriksa kembali keberadaan senjata pemusnah massal tersebut. Tim PBB memang sempat
ditolak Irak untuk melakukan investigasi karena Saddam mengkhawatirkan adanya
penyusupan dari badan intelijen dunia, seperti CIA dan Mossad, seperti yang pernah terjadi
pada 1998.

Jika kita pelajari dari sejumlah konflik yang muncul di kawasan ini, sebagian besar memang
dipicu oleh upaya untuk menguasai sumber daya minyak yang memang sangat berlimpah di
wilayah ini.
Kawasan ini merupakan penghasil minyak bumi terbesar di dunia dan hasil minyak Irak
merupakan terbesar kedua setelah Arab Saudi. Sebenarnya, Amerika Serikat sudah bertekad
untuk mengurangi ketergantungan terhadap hasil minyak Timur Tengah dan mencari
pemasok minyak baru bagi kepentingan negaranya, seperti Rusia, Afrika Barat, dan
negara-negara penghasil minyak lainnya, seperti di kawasan Laut Kaspia. Untuk
mendapatkan minyak dari Rusia, tentu sangat sulit dilakukan mengingat kebijakan politik
luar negeri antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sangat berbeda.

Meskipun banyak negara Arab tidak mendukung upaya Amerika Serikat untuk melakukan
serangan ke Irak, jumlah pasukan koalisi yang berhasil dihimpun Amerika Serikat cukup
banyak. Sebanyak 177.194 tentara koalisi dikerahkan pada tahap awal invasi. Dari jumlah itu,
sebanyak 130.000 prajurit berasal dari Amerika Serikat, 45.000 dari Inggris, 2.000 dari
Australia, dan 194 prajurit dari Polandia. Sebanyak 36 negara lain ikut serta seusai invasi.
Pasukan Peshmerga dari gerakan nasionalis Kurdi di utara Irak juga mengambil bagian dalam
koalisi.
Persiapan perang diawali ketika 100.000 tentara Amerika Serikat dikumpulkan di Kuwait.
Amerika Serikat dan Inggris memimpin invasi ke Irak pada 19 Maret 2003, yang diberi kode
"Operasi Pembebasan Irak" (Operation Iraqi Freedom). Serangan dilakukan pada 23 Maret
2003 dan berhasil menjatuhkan Baghdad pada 9 April 2003. Pada 1 Mei 2003, perang
dinyatakan selesai dengan kemenangan Amerika Serikat beserta sekutunya.

Pasukan koalisi berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein dan menguasai kota-kota
penting dalam waktu 43 hari. Persenjataan koalisi terlampau canggih dibandingkan dengan
Irak, yang lebih banyak mengandalkan perlawanan di darat dengan menggunakan alat utama
sistem pertahanan (alutsista) tua peninggalan Uni Soviet.

Perang meninggalkan banyak korban, tidak hanya di pihak Irak, tetapi juga di pihak pasukan
koalisi. Sebanyak 4.734 prajurit NATO tewas. Dari jumlah itu, sebanyak 4.416 berasal dari
Amerika Serikat, 179 dari Inggris, dan 139 lain dari negara-negara anggota NATO yang lain.
Tidak terhitung banyaknya yang terluka. Diperkirakan, lebih dari 461.000 warga sipil Irak
tewas selama invasi. Adapun Saddam Hussein ditangkap pada 13 Desember di sebuah bunker
di kota kelahirannya, Tikrit, dan oleh pengadilan diputuskan hukuman mati. Ia meregang
nyawa di tiang gantung pada 2006. Para petinggi Partai Baath yang lain juga dihukum dengan
cara yang sama.

Setelah Irak dikuasai, diplomat Amerika Serikat Paul Bremer ditunjuk untuk mengepalai
Otoritas Koalisi Sementara (OKS). Pemerintahan ini disebut sementara karena menunggu
terbentuknya konstitusi baru Irak serta pemerintah baru hasil pemilihan umum. Inilah masa
pendudukan Amerika Serikat yang sesungguhnya (Mei 2003-Desember 2011).

Salah satu kebijakan Paul Bremer yang kemudian memicu berkembangnya gerakan ekstemis
al- Qaeda dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) adalah de-baathifikasi. Artinya, memecat
semua loyalis Partai Baath pimpinan Saddam Hussein, baik pegawai negeri sipil maupun
militer, tanpa pandang bulu. Tidak sedikit perwira militer, dari tingkat pertama, menengah,
dan tinggi yang dipecat dalam program ini. Namun, Bremer tidak mengira dampak buruk
kebijakannya itu.

Pada saat yang sama, di luar dugaan Amerika Serikat dan koalisinya, bangkit perlawanan dari
rakyat Irak terhadap pendudukan Amerika Serikat. Rakyat Irak membentuk milisi-milisi
bersenjata untuk mengusir apa yang mereka mer sebut penjajah Barat. Di mata mereka,
semakin jelas motif Amerika Serikat di Irak bukan untuk membebaskan rakyat Irak,
melainkan membebaskan Amerika Serikat untuk mengeruk seluruh sumber daya bangsa Irak,
terutama minyak. Perlawanan paling sengit datang dari para milisi pimpinan ulama Syiah
yang berpengaruh, Muqtada al-Sadr (2003-2009). Selain itu, muncul juga milisi-milisi Sunni,
seperti di Tikrit, untuk melawan pendudukan Amerika Serikat.

Tuduhan mengenai adanya senjata pemusnah massal ternyata memang tidak terbukti, dan ini
diperkuat dengan laporan dari inspektur senjata PBB, Hans Blix yang diturunkan untuk
melakukan penyelidikan. Hingga kini kondisi Irak masih belum kondusif dan dalam hal ini
Amerika Serikat memperoleh protes dari dunia internasional karena dianggap tidak
bertanggung jawab terhadap keadaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai