Anda di halaman 1dari 5

DERADIKALISASI SASAR PEMUDA MUSLIM

CEGAH KEBANGKITAN ISLAM


KOKOHKAN HEGEMONI KAPITALISME
Retno Sukmaningrum

Kelompok Kriminal Bersenjata KKB Papua beraksi kembali. Kali ini menimpa para
pekerja yang membangun poros jalan penghubung antara Kampung Meyerge Distrik
Moskona Barat dan Distrik Moskona Utara.
Terhitung sejak 2022 saja, teror yang dilakukan KKB telah menewaskan puluhan
warga sipil maupun prajurit TNI. KKB bukan hanya melakukan teror dan aksi pembunuhan,
namun juga secara jelas melalui jubirnya- Sebby Sambon menyatakan, bahwa kelompoknya
tidak memiliki sejarah tentang hubungan keluarga dengan orang Indonesia dan Asia. Bahkan
berkali-kali mereka menuntut Papua merdeka. Namun herannya hingga hari ini tidak ada
tindakan apapun dari pemerintah pusat atas aksi teror KKB tersebut. Jangankan tindakan
tegas dan memberangus gerakan tersebut, cap ‘radikal’ saja tak disematkan pada mereka.
Justru sebaliknya KSAD Jenderal Dudung justru menyampaikan bahwa KKB merupakan
saudara yang harus dirangkul dan tak perlu diperangi.
Bandingkan bagaimana sikap Dudung dan rezim negeri ini terhadap gerakan dakwah
Islam dan para ulama yang menyerukan Islam. Mudah sekali mereka mencap ‘radikal’ dan
‘teroris. Bahkan tanpa bukti dan diadili, Densus 88 membunuh terduga teroris dengan keji.
Bandingkan pula bagaimana antipatinya rezim terhadap bendera laa ilaha illallah dengan
melabeli sebagai bendera organisasi radikal. Sebaliknya mereka tutup mata dengan
berkibarnya bendera bintang kejora, yang menjadi bukti keinginan kuat mereka untuk lepas
dari NKRI. Jika demikian, lalu apa makna radikal ??

“Radikal” Tergantung Siapa


Jika menilik kata radikal, harusnya dikembalikan pada pemilik istilahnya. Secara
etimologis, radikal berasal dari bahasa latin yakni ‘Radix’. Menurut The Concise Oxford
Dictionary (1987), Radix berarti ’akar’, ’sumber’, atau ’asal-mula’. Radix lalu dipahami
sebagai hal yang mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial atas bermacam
gejala.Jadi secara bahasa, makna radikal mempunyai makna yang netral.
Ditariknya makna radikal menjadi positif atau negatif, tergantung jaman dan suasana
politik yang melingkupinya. Pada masa Yunani kuno, radikalisme dipahami sebagai cara
berpikir yang mempertanyakan segala sesuatu. Para filsuf seperti Thales, Socrates, Plato,
hingga Aristoteles berupaya menjelaskan fenomena alam dan sosial secara radikal. Yakni,
mendalam hingga menyentuh pada akar permasalahan. Selanjutnya pada abad ke-20, Eropa
seringkali mengaitkan radikalisme dengan kelompok kiri. Mereka yang ada di barisan radikal
adalah mereka yang menentang kapitalisme. Dan ini terus berlanjut, di saat Kapitalisme
menghegomini dunia dengan dimotori oleh Amerika Serikat (AS), radikalisme merujuk pada
orang-orang yang ‘berjihad’ atas nama agama. Agama apa yang dimaksud, tak lain adalah
Islam.
Kebencian Barat terhadap islam tak lepas dari sejarah panjang kegagalan Barat
menghadapi kekuasaan islam di masa lalu. Kebencian itu tak bisa mereka sembunyikan,
hingga mulut mereka pun tak kuasa menahannya. Salah satunya yang tampak dari ungkapan
Toni Blair, PM Inggris-sekutu AS, menyatakan bahwa ideologi Islam sebagai ‘ideologi setan’
(evil ideology). Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris,
Blair menjelaskan ciri ideologi setan, yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki
pemikiran bahwa syariah adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslim harus menjadi satu
kesatuan dalam naungan Khilafah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Oleh karenanya berbagai upaya mereka kerahkan untuk menunda munculnya
kekuatan islam ini. Mulai seruan ‘Global War on Terorism’ yang didengungkan oleh Bush.
Namun seruan ini dirasa kurang efektif karena hanya menyasar pelaku teror yang melakukan
tindak kekerasan saja. Lebih dari itu, terminologi “terorisme” yang didagangkan Barat di
Dunia Islam, termasuk strategi dan pendekatan “hard power” yang selama ini mereka
kedepankan, justru memunculkan kemarahan dan perlawanan masyarakat.
Di masa Trumph, seruan pun berubah menjadi ‘Global War on Racalism”. Dengan
seruan ini, Barat lebih leluasa menyasar kekuatan islam. Dengan term perang terhadap
radikalisme, membuat mereka mudah menyentuh pengusung ideologi Islam yang bercita-cita
menegakkan Khilafah Islam yang akan menjadi lawan serius Barat dengan ideologi
Kapitalismenya, yang melakukan perjuangan intelektual tanpa kekerasan. Dengan isu
radikalisme ini, selanjutnya mereka memainkan proyek deradikalisasi. Ini adalah upaya untuk
mengubah cara pandang dan sikap orang atau kelompok yang memiliki ciri radikal
sebagaimana yang mereka definisikan sendiri, menjadi orang atau kelompok yang lunak,
toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Moderasi Bagian dari Deradikalisasi
Moderasi beragama yang hari ini tengah diaruskan oleh pemerintah di berbagai lini,
tak bisa dilepaskan dari upaya deradikalisasi, yang merupakan agenda Barat.Ini dapat
dipahami, salah satunya dari sebuah buku yang dikeluarkan Rand Corporation,
berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate
Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di
Dunia Muslim). Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim
moderat (Characteristics of Moderate Muslims). Muslim moderat adalah orang
menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi; termasuk di dalamnya
gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum
non-sektarian, serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan
(Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, RAND
Corporation, hlm. 66).
Namun demikian, apa yang tertuang dalam buku tersebut tak dibawa begitu saja ke
tengah kaum muslimin di Indonesia. Tentunya dikemas dengan apik agar tak nampak maksud
buruknya. Jika disampaikan apa adanya, tentulah akan mendapat penolakan keras dari kaum
muslimin. Maka tak heran jika hari ini bertebaran istilah baru di tengah umat, Islam
Wasatiyah, Islam Nusantara, Islam Inklusif, Islam yang tak mematikan kearifan lokal.
Semua istilah tersebut tak dikenal dalam islam, namun Barat telah membeli para
penguasa di negeri muslim dan para ulama salatin untuk merekayasa agar seolah-olah istilah
tersebut dari islam. Dicarilah dalil-dalil dalam Al Qur’an sebagai pembenar. Bahkan sebagai
bentuk keseriusan sebagai negara pembebek Barat, proyek moderasi masuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024. Maka tak heran jika
kemudian berbagai kebijakan lahir di semua lini dan dilaksanakan oleh berbagai lembaga
atau institusi, di berbagai tempat, dan menyasar semua kalangan, terutama para pemuda.
Proyek Deradikalisasi Sasar Pemuda
Barat sangat memahami bahwa kekuatan sebuah peradaban bertumpu pada kaum
mudanya. Merekalah yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpin. Oleh karenanya
untuk mencegah kembalinya peradaban islam, mereka berupaya menjauhkan pemuda muslim
dari nilai-nilai dan ajaran islam. Oleh karenanya, banyak program moderasi beragama
sebagai upaya deradikalisasi di kalangan kaum muda diaruskan melalui dunia
pendidikan. Program MBKM yang diusung Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim sebagai
buktinya. Menurut Nadiem, moderasi beragama sangat penting diajarkan karena salah satu
dari tiga “dosa besar pendidikan” di Tanah Air adalah intoleransi beragama. Nadiem pun
membuat kurikulum moderasi beragama untuk disisipkan dalam Kurikulum Program Sekolah
Penggerak yang  disusun bersama Kementerian Agama (Kemenag). Begitu pula di tingkat
perguruan tinggi dibuatlah kurikulum kampus merdeka, yang menuntut 20 SKS
membebaskan mahasiswa mengisi kegiatan di luar kampus. Dimana salah satu bentuk
kegiatan di luar kampus adalah pertukaran mahasiswa dalam rangka saling mengenal ajaran
agama sehingga tidak menganggap agamanya paling benar.
Nadiem sebagai pengusung moderasi beragama di lingkup pendidikan, semakin
terlihat kebijakan sekulernya, ketika menetapkan peta jalan pendidikan nasional. Pada draft
Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, hilang kata “agama” dari draft visi pendidikan Indonensia tersebut. Ini menjadi
perhatian serius. Islam seharusnya dijadikan faktor mendasar bahkan esensial dalam
pendidikan di Indonesia. Ini bukti pengaruh pemikiran sekular sangat berpengaruh dalam
sistem pendidikan Indonesia. Padahal kita melihat pendidikan sekuler yang telah lama
diterapkan di negeri ini nyata gagal membawa nilai-nilai kebaikan.
Kemenag sendiri menetapkan seluruh materi ujian madrasah, materi yang
mengandung konten khilafah dan jihad (perang) untuk ditarik dan diganti. Ajaran tentang
khilafah dan jihad telah dianggap ajaran yang berkonten radikal. Ada 155 buku pelajaran
Agama Islam telah dihapus oleh Kemenag di era Fachrul Razi tentang ajaran yang dianggap
radikal tersebut. Menag juga telah mengungkapkan bahwa penghapusan konten khilafah dan
jihad yang dianggap radikal merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama
yang dibangun dimulai dari sekolah.
Sungguh miris membayangkan para pemuda, generasi calon pemimpin umat ini jauh dari
nilai-nilai Islam dan tak mengenal ajaran islam. Mereka akan menjadi generasi berkarakter
moderat, yaitu inklusif, toleran dan sekular. Generasi inklusif, generasi yang tak mau atau
enggan menampakkan keislamannya karena tak ingin  dianggap beda dengan lingkungan
sekitarnya. Generasi moderat akan sangat  toleran terhadap kemaksiatan.  Bersikap tak peduli
dengan kerusakaan dan kemaksiatan di sekitarnya. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang
individualis dan minimalis. Padahal karakter seorang muslim yang dituntut islam adalah peka
ketika melihat kemaksiatan. Sebagaimana yang tertuang dalam HR. Muslim.  "Jika di antara
kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu, dan jika kamu tidak cukup
kuat untuk melakukannya, maka gunakanlah lisan, namun jika kamu masih tidak cukup kuat,
maka ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman."
Cegah Kebangkitan, Kokohkan Hegemoni Kapitalisme
Sekali lagi, moderasi islam adalah upaya Barat melemahkan kaum muslimin dengan
cara menjauhkan mereka dari pemahaman islam yang lurus dan benar. Itupun yang mereka
lakukan di akhir masa Daulah Utsmaniyah. Dengan lemahnya umat dari pemahaman islam,
mereka lemah pula dalam menjaga daulah. Hingga ketika daulah meraka hancur dan posisi
kepemimpinan di gantikan langsung oleh kapitalis Barat, barulah mereka tersadar. Dan jalan
yang mereka tempuhpun sama, menyasar kalangan muda dengan merusak pemikiran dan
nilai-nilai Islam yang dianutnya. Kali inipun Barat ingin mengulang kesuksesannya dengan
menggelontorkan dana trilyunan rupiah dalam proyek moderasi ini. Dengan dana yang sangat
besar tersebut menjadi penyemangat penguasa jahat dan ulama salatin menyerang Islam.
Mereka menyatakan bahwa ajaran jihad, khilafah dan penerapan syariah Islam
secara kaffah bisa memicu radikalisme.
Khilafah sebagai kekuatan politik umat Islam dinarasikan sebagai ancaman pemecah
belah kesatuan bangsa. Dituding sebagai ide transnasional, ide asing yang wajib ditolak.
Mereka sengaja mengalihkan perhatian umat, bahwa kapitalisme dan demokrasilah yang
sejatinya ide asing. Ide yang dipaksakan di negeri yang mayoritas penganut Islam. Mereka
benturkan khilafah dengan narasi NKRI harga mati. Seolah khilafah yang akan mengoyak
negeri ini. Padahal dengan sistem kapitalisme yang dianut oleh rezim ini, membuat negeri
bukan hanya terkoyak, tapi malah ‘sold out’. Betapa tidak, dengan sistem kapitalisme liberal
yang tak mengenal jenis pembagian kepemilikan membuat kekayaan hanya dikuasai oleh
segelintir orang. Kepemilikan umum dan kepemilikan negara bisa dikuasai oleh swasta.
Dalam sistem kapitalisme, negara menjadi malas mikir, suka mencari jalan pintas,
memposisikan dirinya layaknya makelar yang menjual harta rakyat pada asing dan aseng.
Makin jelas, moderasi beragama sejatinya upaya deislamisasi. Menjauhkan umat
islam dari nilai-nilai dan ajaran islam. Umat islam lebih mengenal nilai-nilai Barat.
Sekularisme-demokrasi, liberalisme, pluralisme, nasionalisme dan derivasinya. Pemikiran
asing tersebut dipropagandakan sebagai paham yang tidak berseberangan dengan Islam;
sebagai sesuatu yang harus diterima oleh kaum Muslim.Maka tak heran jika muncul di tengah
umat, khususnya kaum muda ‘insecure’ dengan keislamannya. Merekapun menajdi generasi
latah terhadap tingkah polah pemuda Barat. Ikut menyuarakan gaya hidup ‘freesex’,
‘freechild’. Bahkan di tataran aqidah, fenomena kaum muda yang mengaku atheis dan
agnostik pun mulai marak.
Dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Barat, umat-khususnya para pemuda yang
akan menjadi pemimpin masa depan, akan kehilangan jati dirinya. Visi akherat hilang, misi
menjadi umat terbaikpun sudah jauh dari pikiran. Capaian dunia di depan matalah yang ingin
mereka raih. Dengan pandangan yang hanya berorientasi pada dunia saja, mudah bagi Barat
membeli jiwa-jiwa mereka sehingga makin memudahkan Barat dalam menguatkan hegemoni
mereka di tengah kaum muslimin.
Di sisi yang lain, moderasi beragama juga merupakan upaya depolitisasi. Menjauhkan
islam politik dari kehidupan. Umat dan kaum mudanyapun mencukupkan diri pada ibadah
mahdloh semata (minimalis). Tak peduli akan wajib dan butuhnya penerapan syariah dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih miris lagi, mereka phobi terhadap ajaran
islam, turut menolak dan mengahalang-halangi upaya penegakan syariah dan khilafah dengan
mengatasnamakan perang melawan radikalisme
Umat Islam Bisa Kuat dan Bangkit Hanya dengan Islam
Umat islam adalah umat pilihan. Allah sendiri yang berikan predikat mulia tersebut
atas mereka. Sebagaiman tersurat dalam QS. Ali Imran : 110

‫هّٰلل‬
ُ ‫ف َو َت ْن َه ْونَ َع ِن ا ْل ُم ْن َك ِر َو ُتْؤ ِم ُن ْونَ ِبا ِ ۗ َولَ ْو ٰا َمنَ اَهْ ل‬ ِ ‫اس َتْأ ُم ُر ْونَ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬ِ ‫ُك ْن ُت ْم َخ ْي َر ا ُ َّم ٍة ا ُ ْخ ِر َج ْت لِل َّن‬
َ‫ب لَ َكانَ َخ ْي ًرا َّل ُه ْم ۗ ِم ْن ُه ُم ا ْل ُمْؤ ِم ُن ْونَ َواَ ْك َث ُر ُه ُم ا ْل ٰفسِ قُ ْون‬
ِ ‫ا ْلك ِٰت‬
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka
ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.
Kunci untuk menjadi umat muliaadalah berpegang pada Islam.Sebaliknya
meninggalkan islam mengantarkan pada kehinaan. Demikian yang disampaikan Umar bin
Khaththab,“Kita adalah umat yang pernah hina dan lemah, lalu Allah menguatkan dan
memuliakan kita dengan Islam. Kalau kita mencari kemuliaan selain dengan agama ini Allah
akan menghinakan kita”.
Dengan demikian satu-satunya jalan membangkitkan umat, mengembalikan
kemuliaannya adalah dengan melakukan dakwah di tengah umat. Gerakan dakwah yang
massif adalah upaya nyata membangun kesadaran politik di tengah umat dengan
menancapkan aqidah islam di tengah umat. Pada dasarnya aqidah islam bukan hanya aqidah
ruhiyah, yang membahas tentang urusan-urusan keakheratan. Namun akidah islam juga
merupakan akidah siyasiyah, yang menjadi dasar pembahasan tentang pemeliharaan urusan-
urusan keduniaan. Maka hukum-hukum yang berkaitan dengan pembebanan hukum,
kebaikan, keburukan, perdagangan, sewa-menyewa, perkawinan, corporation
(syirkah), warisan, terkait dengan akidah siyasiyah. Begitupula hal-hal yang masih berkaitan
dengan pemeliharaan persoalan tersebut, seperti mengangkat pemimpin jama’ah, ketaatan
kepada pemimpin serta mengoreksinya, seperti juga sanksi-sanksi hukum dan jihad, juga
merupakan bagian aqidah siyasiyah.
Sehingga tak dikenal dalam islam, istilah ‘politik itu kotor’. Justru politik adalah
bagian dari islam. Akidahnya saja sudah disebut sebagai akidah siyasiyah (akidah politik),
bagiman mungkin politik dipinggirkan. ‘Politik itu kotor’ hanyalah narasi yang dibuat Barat
agar kaum muslimin menjauhi politik, sehingga mereka leluasa bermain di dalamnya. Urusan
kehidupan dunia kaum muslimin dalam genggaman mereka. Sudah berabad lamanya umat ini
mengalami kehinaan. Saatnya mengembalikan mereka menuju kemuliaannya. Memang
bukanlah pekerjaan mudah. Betapa tidak., posisi umat hari ini ibarat sudah jatuh di lumpur,
ditimbuni pula oleh sampah berupa nilai-nilai dan paham kapitalisme yang rusak. Walhasil
dakwah di tengah umat menuntut menjadikan islam sebagai naar dan nuur. Naar (api) yang
membakar pemikiran-pemikiran kapitalisme yang rusak dan nuur (cahaya) yang menjadikan
islam sebagai solusi, penerang jawaban atas persoalan yang menghimpit umat.

Khatimah
Deradikalisasi dalam kemasan moderasi beragama ini merupakan bahaya bagi
eksistensi umat di masa depan. Merusak umat dan menjauhkan mereka dari pemahaman
islam yang benar. Oleh karenanya, setiap narasi yang dibangun di dalamnya, wajib
dibongkar dan ditunjukkan kebusukannya kepada umat. (wallahu a’lamu)

Anda mungkin juga menyukai