Anda di halaman 1dari 6

Aroma Bisnis dan Politik dibalik Pemindahan IbuKota

Presiden Joko Widodo secara resmi telah mengumumkan lokasi yang rencananya menjadi
ibu kota baru Indonesia pada Senin (26/8/2019). Pemerintah memutuskan untuk
memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan
sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara. Pengumuman ini dilemparkan istana ditengah
defisit APBN, tumpukan hutang negara yang semakin menggunung, kondisi nilai tukar rupiah
yang terkapar, masalah fiskal, rendahnya pendapatan negara dari ekspor, sebaliknya kondisi
ketergantungan impor yang semakin tinggi, kondisi pembangunan sumber daya manusia
yang tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, perang dagang antara Amerika dan
Tiongkok serta kisruh politik populis lainnya yang seakan tiada akhir.

Rencana pemindahan ibu kota mampu menjungkir balikkan semua isu yang ada, termasuk
isu radikalisme Islam dan Papua yang kembali membara. Meski ide ini bukan hal baru
karena sudah pernah diwacanakan dari masa Sukarno hingga SBY. Niat untuk memindahkan
ibu kota dari Jakarta berulangkali mengemuka dalam percakapan publik. Pemerintah sudah
mencantumkan relokasi ibu kota dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) untuk periode 2020-2025. Pun rencana ini kemudian mampu menyingkap banyak
hal yang selama ini berkelindan dibalik argumentasi pemindahan ibu kota karena alasan
klasik berupa kemacetan, banjir, tsunami, gempa, kebakaran yang mewarnai Jakarta.

Pengamat politik Ujang Komarudin mengaku sulit menampik dugaan pemindahan ibu kota
dari Jakarta ke dua kabupaten di Kalimantan Timur, tidak terindikasi kepentingan politik,
terutama Pemilihan Presiden 2024 mendatang. Selain beraroma politis, dosen di Universitas
Al Azhar Indonesia ini juga menyebut kebijakan pemindahan ibu kota sarat dengan aroma
bisnis. Pandangan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini mengacu pada besarnya
aset yang bakal ditukar guling ketika nantinya ibukota dipindah (jpnn.com). Terbayang
bagaimana kompleks gedung DPR, Perkantoran di sekitar jalan Merdeka, kompleks TNI
Cilangkap, Mabes Polri, Gedung Bank Indonesia dan mungkin istana negara akan berpindah
tangan kepada para konglemerat atau asing untuk menutupi biaya pindah ini. Belum lagi
terkait pembangunan di lahan baru nantinya, menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Siapa
yang sanggup meraup lemaknya aroma bisnis penguasaan tanah di ibukota baru ? tentu
hanya pengusaha-pengusaha kakap.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menuding ada deal politik di balik pemindahan ibu kota
negara diungkapkan oleh aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur
Pradarma Rupang. Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari kompensasi politik atau bagi-
bagi proyek pasca-pilpres (nasional.kompas.com 28/8/2019). Rupang menyebut, sebagian
besar lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara, khususnya di Kecamatan Sepaku, dikuasai
oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama. Kedua perusahaan pemegang
hak penguasaan hutan (HPH) tersebut diketahui merupakan milik Prabowo dan adiknya,
Hashim Djojohadikusumo sebagai komisaris utama. Artinya, pemindahan ibu kota ke
wilayah tersebut dipastikan akan memberikan keuntungan bagi Prabowo dan keluarga.
Menurut Rupang, PT ITCI Kartika Utama mengantongi SK Iuran Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan (IUPHHK) dengan nomor SK.160/Menhut-II/2012. Dalam dokumen itu, Rupang
menyebut, PT ITCI Kartika Utama menguasai izin usaha pemanfaatan hutan seluas 173.395
hektar lahan di Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, dan Kutai Barat. Dengan demikian,
apabila pemerintah ingin mengambil lahan itu untuk dibangun ibu kota, pemerintah harus
memberikan kompensasi kepada perusahaan Prabowo dan Hashim.

Kepala Bappenas mengatakan, pemerintah akan menyediakan rumah dinas bagi para ASN
yang dipindahkan ke ibu kota baru. Namun rumah tersebut tidak berbentuk tapak
melainkan apartemen dan rusun. Jika ASN ingin memiliki rumah tapak maka ia harus
membeli dari pengembang. Perkiraan dari total 900.000 PNS kementerian/lembaga yang
ada saat ini, 600.000 akan dipindahkan ke ibu kota baru. Bisa dibayangkan berapa
keuntungan yang diperoleh devoloper itu ?

Alan Gilbert dari University College London dalam tulisannya yang berjudul “Moving the
Capital of Argentina”, menjelaskan bahwa banyak negara yang memindahkan ibu kota
negaranya dengan motivasi citra. Negara-negara seperti Nigeria (Abuja), Pakistan
(Islamabad), dan Brasil (Brasilia) melakukan pemindahan ibu kota atas dasar tujuan
ambisius, yaitu sebagai simbol baru bagi negaranya.

Brasilia misalnya, dibangun guna meningkatkan fokus Brasil pada wilayah-wilayah yang
jarang penduduk. Pembangunan Brasilia juga diharapkan di masa mendatang dapat menjadi
simbol kebesaran Brasil. Namun, ambisi-ambisi yang berlebihan dianggap Gilbert dapat
menghantui kota-kota tersebut. Desain dan arsitektur urban yang cakap memang membuat
kota-kota tersebut tampak indah, tetapi dampak-dampak sosial lainnya bisa jadi turut
timbul. Permasalahan yang menghantui ini datang dari penduduk-penduduk kelas bawah
yang tidak diinginkan oleh kota-kota tersebut. Brasilia misalnya, yang direncanakan untuk
hanya 500 ribu penduduk, kini memiliki 2,2 juta pendatang yang tinggal di kota-kota sekitar.
Akibatnya, pemisahan kelas dan kelompok masyarakat Brasil semakin kentara di kota baru
tersebut.

Terjadinya pemisahan kelas dan padatnya penduduk di pinggiran kota Brasilia juga
membawa dampak buruk, seperti meningkatnya kriminalitas dan kekerasan. Rory Carroll
dan Tom Phillips dalam artikelnya di The Guardian berpendapat bahwa meningkatnya
kekerasan di pinggiran kota Brasilia disebabkan oleh tingginya tingkat migrasi yang tidak
disertai dengan layanan sosial dan kebijakan yang sesuai. Selain dampak sosial,
permasalahan anggaran juga menghantui pembangunan ibu kota baru di beberapa negara
lain. Gilbert menjelaskan bahwa anggaran-anggaran yang berlebihan – seperti di Brasilia dan
Abuja – mengambil porsi yang cukup besar dan membuat perekonomian negara-negara
tersebut memburuk.

Selain itu, perencanaan pemindahan ibu kota yang tidak matang juga dapat berdampak
buruk ke depannya. Putrajaya di Malaysia dan Canberra di Australia yang diibaratkannya
seperti “kota mati” karena tidak dapat menarik masyarakat sebab tidak memiliki denyut
kehidupan seperti di kota biasanya.

Dari dulu sampai sekarang wacana pindah ibu kota sarat dengan kepentingan. Pada masa
Presiden Soekarno, wacana tersebut muncul sebagai upaya unjuk gigi Indonesia sebagai
negara yang baru merdeka. Soekarno mengharapkan bahwa ibu kota baru Indonesia –
rencananya berada di Palangka Raya – akan melepaskan warisan-warisan kolonial dalam
identitasnya karena dibangun oleh anak bangsa sendiri. Namun, rencana Soekarno
tersebut dianggap tidak masuk akal karena terbatasnya akses ke Palangka Raya pada masa
itu.

Soeharto kemudian mengusulkan lokasi baru yang terletak hanya beberapa kilometer saja
dari Jakarta, yaitu Jonggol, Jawa Barat. Dengan lokasinya yang dekat dengan Jakarta dan
mudahnya akses antara ibu kota dan Jonggol, usulan Soeharto dianggap lebih masuk akal.
Selain itu, keberadaan lahan pemerintah yang kosong juga membuat wacana tersebut
semakin terdengar memungkinkan untuk dilakukan. Namun, rencana pemindahan ibu kota
ke Jonggol tersebut bisa jadi bukan tanpa kepentingan personal tertentu. Wilayah ini
berisikan ratusan hektar lahan yang telah dibebaskan oleh berbagai perusahaan. Salah
satunya adalah PT Bukit Jonggol Asri yang secara mayoritas dimiliki oleh salah satu putra
Soeharto, Bambang Trihatmodjo.

Jika kita menilik kembali pada masing-masing wacana pemindahan tersebut, terdapat
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Soekarno dianggap membawa kepentingan simbol
perjuangan dan kemerdekaan, sedangkan Soeharto bisa jadi membawa kepentingan bisnis
keluarga di balik wacana tersebut. Pada masa mereka, rakyat masih sulit mengendus motif-
motif tersebut. Namun saat ini terlalu banyak fakta yang tampak nyata, begitu banyak
kepentingan yang saling kejar mengejar berebut lemaknya rencana kepindahan ini, begitu
telanjang dipertontonkan kepada rakyat.

Lalu adakah kaitan pemindahan ibukota dengan peningkatan kesejahteraan rakyat ? tentu
saja tidak ada. Pemindahan ibu kota murni kepentingan elite politik dan pengusaha-
pengusaha besar. Dengan ibukota baru, harga tanah naik, mana mungkin rakyat biasa bisa
beli tanah ? sekadar makanpun susah. Bagaimana pula dampak relokasi ibu kota terhadap
upaya untuk mendorong akuntabilitas pemerintah dan bisnis di Indonesia? Relokasi ibu kota
jelas berpeluang mempersulit upaya masyarakat sipil mengawasi pemerintah dan aktivitas
bisnis di pusat negara.

Bagaimana dengan anggaran dan masalah finansial ? dalam hal ini para ahli memiliki
pendapat yang berbeda tentang kelayakan finansial rencana relokasi ibu kota Indonesia.
Beberapa pejabat negara terkemuka seperti Sumarsono, mantan Direktur Jenderal Otonomi
Daerah Kementerian Dalam Negeri, dan Ahmad Erani Yustika, staf khusus presiden untuk
urusan ekonomi, mengklaim biaya relokasi ibu kota bisa lebih murah. Beberapa ahli lain
seperti Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan dan Douglas Ramage, Direktur Bower Group
Asia di Jakarta, berpendapat bahwa tidak realistis mengharapkan partisipasi sektor swasta
dalam pembiayaan relokasi ibu kota, mengingat Indonesia terus mengandalkan badan usaha
milik negara (BUMN) untuk menggarap sebagian besar proyek infrastruktur di periode
pertama pemerintahan Jokowi. Kedua, relokasi ibu kota mengundang perdebatan sengit
soal dampak sosio-ekologis yaitu ibu kota baru akan menghadirkan masalah sosial dan
masalah lingkungan baru, sementara Jakarta masih akan bergulat dengan masalah lama.
Terlebih, besar kemungkinan pola pembangunan ibu kota baru mengikuti pola yang
diterapkan dalam pembangunan perkotaan di Indonesia, yang kerap abai perihal ongkos
sosial dan tanggung jawab terhadap lingkungan dan berakhir dengan konflik tanah dan
sejumlah masalah lain.
Mr. Presiden sudahlah, sudahi semua ini. Seharusnya pemimpin mampu menangkap radar
negara yang telah membunyikan sirene darurat dari segala arah. Lihatlah bagaimana
wacana tak penting ini terus digerek sementara Papua telah mengibarkan bendera bintang
sabit tepat di depan istana. Saat ini perekonomian negara cukup berat, bahkan amat sangat
berat. IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,1 persentase
poin menjadi 3,2 %. IMF juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun 2020
menjadi hanya 3,5 % saja. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang turun ke level
terendah dalam 4 tahun sebesar 4 % pada tahun 2019. Ekonomi global bermasalah, semua
melambat. Saat ini negara-negara miskin, termasuk Indonesia menghadapi tantangan yang
paling menakutkan karena kerapuhan, ketertinggalan serta kemiskinan yang mengakar.
Tidakkah anda takut pada hari perhitungan kelak, kuatkah anda menanggung aduan rakyat
anda kepada Rabbnya atas pengabaian pemimpin mengurusi mereka ?

“Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku, kemudian ia menyusahkan
mereka, maka susahkanlah ia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan
memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia”(HR. Muslim dan Ahmad).

Anda mungkin juga menyukai