Anda di halaman 1dari 7

ABDUL AZIZ DAN LIBERALISME KAMPUS ISLAM

Heboh Disertasi Abdul Aziz berjudul “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai
Keabsahan Hubungan Seks Non Marital” di Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga
Yogyakarta belum kunjung reda. Kajian ini memaparkan pemikiran dari konsep pemikiran
Muhammad Syahrur, tentang celah hubungan seksual di luar nikah yang dibolehkan.

Abdul Aziz menjelaskan hubungan seks di luar nikah bisa dianggap halal menurut konsep
Muhammad Syahrur, apabila memenuhi 4 syarat yaitu tidak dilakukan di tempat terbuka,
tidak dengan perempuan bersuami, bukan secara homo dan bukan insest. Konsep ini
merupakan salah satu pandangannya, yang didasari oleh keinginan menempatkan
hubungan seks sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Karena itu, menurut Syahrur,
seseorang tidak boleh dihukum hanya karena melakukan hubungan seks tanpa ikatan
pernikahan.

Tidak ada terobosan baru yang dapat dijumpai dalam disertasi tersebut, hampir semuanya
adalah hasil copy paste pemikiran Syahrur. Hal yang dimungkinkan sebagai ide orisinil Abdul
Aziz adalah gagasannya untuk menjadikan ide Syahrur tentang kehalalan seks di luar nikah
sebagai solusi terhadap kriminalisasi seks di luar pernikahan yang dilakukan dengan
persetujuan/suka sama suka dan tidak di muka publik. Karya Abdul Aziz yang disusun
dengan analisa jungkir balik, disertai metode penulisan sesuai hawa nafsunya telah dikritisi
oleh berbagai kalangan ulama, meski ia tak bergeming setidaknya masyarakat bisa melihat
kerusakan oknum para intelektual `muslim’ dan kampus Islam yang selama ini tidak mereka
ketahui.

Tujuan disertasi sampah yang dibuat sebagai jawaban kegelisahan Abdul Aziz terhadap
fenomena kriminalisasi Zina ini sangat jelas, yaitu agar zina ala Syahrur dibolehkan
kemudian dianggap halal dan sesuai syariah untuk selanjutnya diadopsi dan dilegalisasi di
Indonesia. Jadi sejak awal pemikiran dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN)
Surakarta ini sudah menyimpang. Jika manusia tidak takut lagi bermaksiat kepada Allah lalu
apa yang dapat menghalanginya dari berbuat asusila ? tentu saja yang dikhawatirkannya
adalah respon masyarakat. Takut dikriminalisasi oleh masyarakat karena perbuatannya
belum legal di mata hukum sekaligus tidak siap menanggung sanksi sosial dari masyarakat
yang tidak sepaham dengannya.

Abdul Aziz adalah liberalis yang sengaja dipelihara lalu dimunculkan untuk melakukan test
water terhadap umat. Dia beserta orang-orang yang berada di belakangnya dari kalangan
civitas akademik dan intelektual `muslim’ pro liberal ditugaskan untuk menjalankan agenda
liberalisme imperialis. Agenda itu dikemas dengan baik dalam bentuk serangan peradaban
yang dilancarkan Barat secara massif dan sistematis. Kita menyaksikan bagaimana
peradaban Barat telah mengendalikan cara berpikir dan selera kaum muslim, sehingga
mengubah pemahaman mereka tentang kehidupan, termasuk tolak ukur kita terhadap
segala sesuatu, dan keyakinan yang telah tertancap kedalam jiwa kita, seperti semangat kita
terhadap Islam atau penghormatan terhadap tempat-tempat suci kita. Hagemoni peradaban
Barat atas kita telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek pergaulan laki-
laki dan perempuan.

Tidak adanya pemahaman tentang perbedaan mendasar antara peradaban Islam dan Barat
telah melahirkan sikap copy paste secara mutlak terhadap peradaban Barat. Banyak kaum
muslim yang melakukan transfer peradaban Barat tanpa berpikir, persis seperti orang yang
menyalin naskah dengan menulis seluruh huruf dan kata lengkap beserta titik dan komanya.
Para petransfer peradaban Barat ini dengan sengaja telah membebaskan dirinya secara total
dari keterikatannya terhadap Islam. Dalam hal pergaulan laki-laki dan perempuan hanya
dipandang sebatas hubungan yang bersifat seksual, persis seperti ungkapan retorika
Sigmund Freud.
Viralnya disertasi ini menobatkan Abdul Aziz sebagai tokoh liberal baru yang dikenal luas
masyarakat saat ini. Propaganda Kaum liberal adalah pekerjaan setan. Mereka kerap kali
membungkus kesesatan dengan istilah dan kata-kata yang indah, agar manusia meragu,
terpesona, lalu masuk ke lubang jebakan. “Tetapi syaitan menjadikan terasa indah bagi
mereka (yang buruk).” (QS. An-Nahl:63).

Allah berfirman : “Dan syaitan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-
perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalangi mereka dari jalan (Allah), maka mereka
tidak mendapat petunjuk.” (QS. An-Naml:24).

Iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti
aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti
aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr:39)

Disertasi ini melengkapi sejumlah aktivitas nyeleneh yang kerap terjadi di lingkungan
kampus-kampus Islam Indonesia. Kampus Islam bukan hanya telah terpapar liberalisme,
namun telah menjadi aktor dan otaknya sekaligus. Kampus Islam telah lama menjadi
pabrikan bagi lahirnya para intelektual liberal. Kebebasan akademik di kampus telah biasa
menjadikan hukum-hukum Islam sebagai bahan diskusi, lelucon, debat dan wacana saja.
Bukan membahas hukum Islam agar dapat diterapkan. Semua wacana dibahas, namun
ternyata tak ada satupun dari hukum Islam yang dibahas kemudian diambil untuk
diterapkan dalam amaliah praktis.

Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggung jawab
mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah
memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A
Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik
tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebarluaskan. Selain rational
discourse yang merupakan tonggak utamanya, gerakan mereka ternyata tidak lebih
daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal.
Pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia,
menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu pentingnya
kontekstualisasi ijtihad, komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama),
penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama dan pemisahan agama
dari partai politik dan kedudukan negara yang nonsektarian (Greg Barton, 1999).

Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul “Seize the
Moment”. Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar
negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang
fundamentalis Muslim, yaitu orang yang membenci Barat, orang yang berpendirian bahwa
Islam adalah agama dan negara, orang yang ingin melaksanakan Syari’at Islam dan orang
yang ingin membina kembali peradaban Islam. Kelima orang yang beranggapan bahwa
penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam
yang benar).

Dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda terpenting karena watak
pemikiran postmodernis yang selalu mengkaitkan permikiran dengan kekuasaan. Terbukti
ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya, apa yang menjadi concern utamanya
adalah membendung kekuatan arus pemikiran fundamentalis. Cara-cara gerakan ini
menghadang kelompok fundamentalis lebih cenderung frontal dan konfrontatif daripada
persuasive. Maka tidak mengherankan jika suara-suara pembungkaman kebangkitan Islam
justru tumbuh subur di kampus-kampus Islam. Tempat dimana generasi Islam seharusnya
dibina dengan benar agar mereka menjadi penerus perjuangan Islam. Tidak mengherankan
pula ketika para penolak syariah dan Khilafah juga berasal dari latar belakang yang sama,
person yang itu-itu juga. Ketika disertasi nyeleneh Abdul Aziz lulus dengan nilai terbaik di
UIN Yogyakarta, sementara mahasiswa aktivis pejuang Islam yang giat mendakwahkan
Islam, Hikma Saggala mendapat DO dari Rektor UIN Kendari, maka ini hanyalah secuil fakta
agenda liberal yang nyata telah mengakar dan mencengkram kampus-kampus Islam.
Intelektual liberal memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda
Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, aqidah Islam dan
syariahnya dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan syariah Islam tegak di muka bumi,
maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan dominasi ekonomi Barat, otomatis akan
goncang. Karena itulah, Barat mau membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan
membiayai sarjana-sarjana Muslim menimba ilmu di sana. Kita mengenal istilah Mafia
Barkeley yaitu julukan yang diberikan kepada sekelompok menteri bidang ekonomi dan
keuangan yang menjadi agen Barat dalam meliberalkan ekonomi Indonesia hingga babak
belur sejak awalnya. Julukan ini mereka dapatkan karena mereka berkuliah di Universitas
California, Barkeley tahun 1960-an.

Dalam proses liberalisme Islam melalui kampus-kampus Islam, kita mengenal jaringan Mafia
McGills. Jika sebelumnya atmosphir keilmuan lebih berkiblat ke Timur Tengah, namun sejak
1960-an kebanyakan mahasiswa IAIN (sekarang UIN) dikirim untuk melanjutkan studinya ke
Universitas McGills dan Leiden, sedangkan jumlah lebih kecil dikirim ke berbagai universitas
di Amerika Serikat, Australia dan negara Barat lain. Latar belakang hubungan kerjasama
IAIN, Departemen Agama dan McGill dimulai lebih dari 50 tahun lalu ketika McGill`s
Institute of Islamic Studies (MIIS) pertama kali didirikan.

Diantara lulusan pertama MIIS adalah Prof. Dr. Harun Nasution, yang kemudian mendirikan
Fakultas Pasca Sarjana di IAIN dengan mengikuti model McGill. Tokoh lulusan MIIS lainnya
adalah Prof. Mukti Ali, MA dan Prof. Dr. Mohammad Rasjidi, keduanya pernah menjadi
Menteri Agama. Proyek kerjasama IAIN –McGill telah memberikan beasiswa dosen-dosen
IAIN ke McGill Graduate Studies dan lebih dari 1.400 orang menerima pelatihan-pelatihan
mengajar, riset, managemen dan belajar Islamic studies, religious studies, serta library and
information studies. Bantuan teknis juga di berikan oleh staf McGill guna pengembangan
kapasitas IAIN.
Kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA)-Depag dalam
pengembangan kualifikasi tenaga akademik di 14 IAIN di seluruh Indonesia berhasil
memberi beasiswa pada 50 dosen IAIN. Dari jumlah alumni McGill inilah kemudian
terbentuklah jaringan yang disebut “McGill Mafia”. Puncak akhir dari hubungan kerjasama
ini adalah terbentuknya IISEP (IAIN Indonesia Social Equity Project), yang membangun
kemitraan antara McGill, Departemen Agama dan kedua IAIN Jakarta dan Yogyakarta,
tempat disertasi Abdul Aziz diuji. Kerjasama lainnya adalah dijalin oleh Departemen Agama
RI dengan universitas di Jerman, yaitu Universitas Hamburg dan Leipzig, selain itu Depag
juga menjalin kerjasama dengan universitas di Australia dan Belanda.

Hasil yang diperoleh dari kerjasama tersebut yaitu tumpah ruahnya pemikir-pemikir liberal
di negeri ini. Sebagaimana yang diungkap Dr. Adian Husaini mengutip tulisan Prof. Dr.
Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, yang dimuat dalam
buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal.117), yang diterbitkan atas
kerjasama CIDA dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta)
Departemen Agama, bahwa IAIN mengajarkan Islam yang liberal. Menarik jika kita
menyimak tentang pengakuan corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN yang
disampaikan bukan dengan nada penuh penyesalan, melainkan justru dengan nada penuh
kebanggaan. IAIN bangga karena berhasil mengubah mahasiswanya yang kebanyakan
berbasis madrasah dan pesantren menjadi mahasiswa dan sarjana liberal.

Inilah bahaya apabila mengkaji Islam dengan kaca mata Barat. Mengkaji Ilmu tanpa
melibatkan keimanan, justru mengkaji ilmu dengan cara berfikir orientalis. Framework
orientalis begitu detil dan rumit, sehingga seseorang yang sedang memperlajari Islam disana
tidak akan menyadarinya. Padahal ungkapan orientalis dalam memperlajari Islam sangat
berbahaya. Mengkaji Islam bukan untuk menemukan kebenaran, hanya semata-mata untuk
ilmu. Bertambahnya ilmu tidak serta merta menjadikan mereka beriman dan bertambah
keimanannya, sebaliknya dapat menjauhkan mereka dari Allah. Tentu saja metode ini tidak
bisa dipisahkan dari sekularisasi ilmu, hasilnya adalah muslim liberal yang begitu frontal dan
kritis terhadap tradisi intelektual Islam, namun sangat apresiatif terhadap tradisi intelektual
Barat.

Mengapa Barat begitu bersemangat membiayai kampus-kampus Islam dan jaringannya ?


Jelas niat utamanya adalah untuk mengokohkan hegemoni mereka. Untuk itu menjadi
sangat penting bagi kaum muslim untuk memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal
pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu.

Anda mungkin juga menyukai