Anda di halaman 1dari 8

Ledakan Pengangguran, Bagaimana Upaya Mengatasinya ?

Maryam Sikolo

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran naik 50 ribu orang per Agustus
2019. Alhasil dengan kenaikan tersebut, jumlah pengangguran meningkat dari 7 juta orang
pada Agustus 2018 lalu menjadi 7,05 juta orang (cnnindonesia.com 5/11/2019).

Kepala BPS Suhariyanto memaparkan rata-rata jumlah pengangguran sejak Agustus 2015 tak
pernah turun di bawah 7 juta orang. Rinciannya, pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta
orang, Agustus 2016 sebanyak 7,03 juta orang, dan Agustus 2017 sebanyak 7,04 juta orang.

Kendati jumlah pengangguran naik, tetapi Suhariyanto mengklaim tingkat pengangguran


terbuka (TPT) per Agustus 2019 mencapai 5,28 persen. Pengangguran terbuka tersebut
turun dibanding Agustus 2018 yang mencapai 5,34 persen.

Penurunan TPT ini terjadi karena jumlah angkatan kerja per Agustus 2019 naik dari 131,01
juta orang menjadi 133,56 juta orang. Kenaikan itu sejalan dengan meningkatnya jumlah
orang yang bekerja dari 124,01 juta orang menjadi 126,51 juta orang.

Suhariyanto mengatakan lapangan pekerjaan sejauh ini masih didominasi oleh sektor
pertanian sebesar 27,33 persen, perdagangan sebesar 18,81 persen, dan industri
pengolahan sebesar 14,96 persen. Dari tren Agustus 2018 sampai Agustus 2019 lapangan
pekerjaan naik terutama pada penyediaan akomodasi dan makan minum, industri
pengolahan, dan perdagangan.

Sementara itu, tren pekerjaan formal dari Agustus 2018-Agustus 2019 meningkat 1,12
persen. Suhariyanto menyebut penduduk yang bekerja paling banyak berstatus buruh, yakni
51,66 juta orang. Lalu persentase pekerja informal tertinggi adalah mereka yang berstatus
berusaha sendiri sebanyak 25,58 juta dan buruh tidak dibayar 18,4 juta orang.
Viva.co.id bahkan menulis bahwa angka pengangguran di Indonesia menduduki peringkat
tertinggi kedua di Asia Tenggara. Indonesia tertinggal dari Laos dan Kamboja, yang secara
berurutan mencatatkan 0,60 persen dan 0,10 persen pengangguran dalam data BPS.

Kepala Generasi muda Indonesia (GSM) Muhammad Nur Rizal, menyebut jumlah generasi
milenial yang berusia 20-35 tahun mencapai 24 persen, setara dengan 63,4 juta dari 179,1
juta jiwa yang merupakan usia produktif (14-64 tahun).

"Generasi muda Indonesia akan menghadapi persimpangan yang belum pernah ada
sebelumnya," ujarnya kepada VIVA, di seminar pendidikan “Peningkatan Kualitas Sumber
Daya Manusia melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan dan Sekolah Integritas” Jumat 11
Oktober 2019.

Ketika proporsi anak muda Indonesia yang besar itu ternyata tidak cukup produktif atau
bermental lemah, maka jumlah besar itu akan menjadi bencana demografi sehingga niat
bangsa ini untuk keluar status negara low-middle income akan terhambat. Risiko naiknya
jumlah pengangguran bisa terjadi dalam konteks ini, apalagi pendidikan kita tidak
menyiapkan mereka untuk menghadapi zaman yang kian tak pasti. Ketika banyak jenis
pekerjaan digantikan oleh mesin, serta SDM dihadapkan pada tantangan yang belum pernah
ada sebelumnya, mental kuat dan kreativitas menjadi kunci utama untuk sukses.

Revolusi Industri 4.0 menyapu Indonesia dan menyebabkan sedikitnya 56 jenis pekerjaan
akan hilang, hal itu disampaikan oleh Mirah Sumirat, Presiden Aspek (Asosiasi Pekerja)
Indonesia, dalam Bincang Hangat bersama Umi Irene Handono, Jakarta, Jumat (22/3/2019).
“Yang pertama saya sampaikan, revolusi industri 4.0 ini adalah revolusi yang berbasis
teknologi, robotisasi, digitalisasi, dan saya garis bawahi bahwasanya teknologi itu memang
tidak bisa kita hadang ya, tidak bisa kita tolak. Ada kemudahan-kemudahan yang kita dapat.
Namun revolusi industri 4.0 telah mengakibatkan pengangguran massal di mana-mana,”
ungkap Mirah (muslimahnews.com).
Provinsi Banten menduduki peringkat pertama jumlah pengangguran terbanyak se-
Indonesia. Jumlah tersebut berdasarkan data keadaan ketenagakerjaan di tanah jawara dari
Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Banten
pada Agustus 2019 adalah sebesar 8,11 persen dari jumlah penduduk yakni 9,3 juta. Angka
tersebut juga lebih tinggi dari angka nasional sebesar 5,28 persen. Setelah Banten, Provinsi
Jawa Barat menduduki peringkat kedua jumlah pengangguran terbanyak sebesar 7,99
persen dan Maluku sebesar 7,08 persen. Sedangkan Provinsi Bali menjadi daerah paling
rendah angka pengangguran di Indonesia sebesar 1,52 persen.

Ekonom Institute for Developmnet of Economis and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho
menyebut tiga kartu sakti yang merupakan program andalan presiden Joko Widodo belum
mampu menjawab permasalahan kesejahteraan sosial. Janji 10 juta lapangan pekerjaan
menjadi cek kosong. Untuk menyelesaikan persoalan pengangguran, maka diperlukan
penciptaan lapangan kerja. Ini bisa dicapai jika pemerintah menggenjot pertumbuhan
industri manufaktur. Namun, faktanya pertumbuhan industri manufaktur pun cenderung
loyo.

Tingginya angka pengangguran diperparah oleh gelombang PHK yang menghantam berbagai
industri di Indonesia, termasuk industri otomotif. Tak ayal dari perusahaan ban asal
Perancis, Michellin hingga Nissan mem-PHK ribuan karyawannya. PHK juga menimpa BUMN,
yang paling menyedot perhatian adalah PHK ribuan karyawan oleh Krakatau Steel.

Hal senada disampaikan oleh Pakar ekonomi Faisal Basri, bahwa wacana pengadaan kartu-
kartu tersebut merupakan akibat pembangunan yang tidak efektif. Menurutnya, jika
pembangunan telah berhasil, maka kartu-kartu tersebut tidak perlu ada. Jika pembangunan
berhasil, maka akan dapat menyerap tenaga kerja dan menurunkan tingkat pengangguran.
Sehingga, masyarakat tak membutuhkan kartu pra-kerja yang dijanjikan tersebut.

Selamanya pengangguran tidak akan pernah menemukan solusi karena kapitalisme yang
saat ini diterapkan di Indonesia justru menjadi akar dari semua masalah ini. Upah
merupakan salah satu komponen penting dalam biaya produksi dan oleh karenanya untuk
menjamin laba tinggi upah akan selalu ditekan serendah-rendahnya. Mekanisme penetapan
upah tidak akan pernah ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak untuk
buruh/pekerja tetapi untuk memastikan profit yang tinggi bagi pemilik modal/kapitalis.

Persoalan-persoalan pelik ini adalah bagian tak terpisahkan dari sistem Kapitalisme.
Kapitalisme selalu membutuhkan cadangan buruh murah untuk menekan biaya produksi
agar akumulasi modal bisa terjadi secara terus-menerus dan pemilik modal memperkaya diri
mereka sendiri. Inilah mengapa pengangguran dan upah murah selalu menjadi masalah
kronik di bawah kapitalisme. Kapitalisme menjaga tingginya akan pengangguran untuk
memastikan tersedianya buruh murah yang terpaksa menerima pekerjaan meski digaji tak
layak daripada menganggur.

Tidak mengherankan ketika negara justru membuka kran pengangguran melalui sejumlah
kebijakan yang menguntungkan kapitalis dengan mengorbankan rakyatnya. Mantan Menteri
Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 229 Tahun 2019
tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing. Peraturan yang
ditandatangani pada 27 Agustus 2019 itu adalah penyempurna nestapa anak negeri yang
berjibaku mencari pekerjaan. Bagaimana tidak, bahkan level pekerja buruh kasar sekalipun
boleh di kerjakan oleh tenaga asing. Telah lahir berbagai kebijakan yang mempermudah
tenaga kerja asing. Kebijakan-kebijakan baru terus di buat meski harus menabrak kebijakan-
kebijakan sebelumnya.

Pemerintah mempermudah tenaga kerja asing (TKA) bekerja di Indonesia dengan


mengeluarkan Perpres 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA. Kebijakan ini berpotensi
melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perpres
tersebut juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi (Jaskon), Undang-Undang Nomor 6 tahun 2017 tentang Arsitek dan Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran.
Dalam keempat undang-undang itu, sudah diatur dengan sangat ketat agar tenaga kerja
asing tidak masuk dengan mudah. Bahkan, untuk badan usaha jasa konstruksi asing yang
bekerja di Indonesia juga harus lebih memprioritaskan pekerja lokal daripada pekerja asing.
Tujuannya untuk melindungi tenaga kerja kita. Namun sikap pemerintah justru sebaliknya,
mengeluarkan Perpres yang mempermudah TKA bisa bekerja di Indonesia.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat terjadi lesatan investasi China ke
Indonesia. Pada 2016, China telah duduk di posisi ke-3 sebagai investor terbesar dengan
nilai investasi USD 2,665 juta atau 9 persen dari total investasi di Indonesia. Naik dari 2015
sebesar USD 628 juta atau 2 persen dari total investasi asing di Indonesia. China
meningkatkan investasi diiringi pengiriman tenaga kerja mereka ke proyek investasi mereka.
Kondisi ini tentu saja berdampak tidak baik bagi tenaga kerja Indonesia.

Menjadi jelas bagi kita bahwa persoalan pengangguran di negeri ini bukan semata-mata
karena rakyatnya malas, mengalami cacat fisik, tidak terampil, atau terbelakang dalam
pendidikan. Justru gelombang pengangguran fenomenal Indonesia menimpa tenaga
terdidik. Hal ini ditunjukkan oleh data BPS yang merangkum angka pengangguran dari
lulusan pendidikan Diploma I/II/III sebesar 7,92%, sedangkan dari lulusan universitas sebesar
6,31%.

Lebih lanjut kita dapat melihat bahwa persoalan pengangguran ini adalah masalah sistemik.
Pengangguran terjadi karena penerapan sistem kapitalisme yang meniscayakan kepastian
penjagaan keamanan dan kestabilan bisnis bagi para kapitalis.

Berbeda dengan Kapitalisme, Islam justru menutup kran terhadap terjadinya pengangguran.
Allah SWT berfirman, “Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu`ah : 10).
Dalam sistem Islam, Khalifah sebagai kepala negara berkewajiban memberikan pekerjaan
kepada mereka yang membutuhkan sebagai realisasi Politik Ekonomi Islam. Sabda
Rasulullah SAW, “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat; ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Secara garis besar mekanisme yang ditempuh oleh Khalifah untuk mengatasi pengangguran
dan menciptakan lapangan pekerjaan melalui 2 mekanisme, yaitu mekanisme individual dan
mekanisme sosial ekonomi.

Dalam mekanisme individu, Khalifah memahamkan kepada setiap individu, terutama


melalui sistem pendidikan, tentang kewajiban bekerja guna meraih kemuliaan dan
keridhaan Allah. Negara memfasilitasi peningkatan keterampilan dan pemodalan bagi
rakyat. Jika rakyat tidak bekerja baik karena malas, cacat, minim keahlian maka negara
memfasilitasi.

Mekanisme sosial ekonomi ditempuh melalui sistem dan kebajikan. Dalam bidang ekonomi
Khalifah menetapkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor real bidang
pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan dan perdagangan. Dalam bidang pertanian,
tidak akan ada lahan yang disia-siakan oleh pemiliknya melainkan semua diberdayakan demi
meraih aspek materi dan spiritual. Islam melarang penelantaran lahan, ketika kendala
masyarakat adalah ketiadaan lahan maka negara akan memberikannya. Inilah yang di dalam
syariat disebut I`tha`, yaitu pemberian negara kepada rakyat yang diambilkan dari harta
baitul mal dalam rangka memenuhi hajat hidup atau memanfaatkan kepemilikannya.

Demikian pula di bidang industri, Khalifah mengembangkan industri dan alat-alat,


memfasilitasi berbagai penelitian dan eksperimen (industri penghasil mesin) sehingga
mendorong pertumbuhan industri termasuk industri alutsista dan industri alat berat. Selama
ini Barat senantiasa berupaya menghalangi tumbuhnya industri alat-alat di negara-negara
kaum muslimin supaya mereka dapat mendominasi dan menjadikan kaum muslim
bergantung pada industri mereka.

Sektor kelautan, kehutanan dan pertambangan di kelola dengan pemahaman kepemilikan


umum oleh negara untuk kemudian semua hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat, tidak
akan pernah diberikan untuk dikelola individu, swasta apalagi diserahkan ke pihak asing.

Negara tidak akan memberikan toleransi kepada pengembangan sektor non real dan ribawi,
karena sektor ini akan menyebabkan harta beredar dikalangan orang-orang kaya saja. Selain
di haramkan, sektor ini terbukti tidak memiliki dampak terhadap penyerapan tenaga kerja,
bahkan berpeluang menggoyang kestabilan ekonomi. Bandingkan dengan kondisi saat ini,
ketika pemerintah membangga-banggakan sektor ekonomi non real dan ekonomi digital
yang disebut start up unicorn dan decacorn Indonesia. Ekonomi digital seperti Gojek, Grab,
Traveloka, Bukalapak dan lain sebagainya yang kini di proyeksikan dananya mendekati USD
40 miliar dianggap sebagai pendorong peningkatan investasi industri.

Data Digital Opportunity menunjukkan bahwa Indonesia memiliki start up unicorn terbanyak
di Asia Tenggara yaitu sejumlah 27 unicorn. Peneliti Institute for Development of economics
and Finance (Indef), Bhima Yudistira menyebut bahwa unicorn berpotensi tingkatkan
pengangguran apabila likuiditas perusahaan menurun atau bangkrut karena banyaknya
tenaga kerja yang bergantung pada e-commerce atau transportasi online (katadata.co.id).

Fenomena menurunnya performa ini mulai terlihat ketika Bukalapak mulai melakukan PHK
terutama di bidang pelayanan pelanggan (customer service), idealnya semakin besar
konsumen semakin banyak tenaga customer service yang dibutuhkan bukan dikurangi.

Faktanya banyak start up unicorn yang tumbuh justru di topang oleh suntikan modal
investor asing dari negara yang tengah mengalami pelambatan ekonomi, seperti Jepang, AS,
Eropa hingga Tiongkok. Sebagian besar start up unicorn ternyata bertahan dengan posisi
merugi, namun tetap eksis karena topangan modal asing.

Jika badai resesi yang saat ini menjadi momok moneter internasional melanda, maka
otomatis menimpa negara kreditur yang memberikan modal ventura. Ini akan
mengakibatkan terjadinya bubble technology layaknya yang terjadi pada Amerika tahun
2000 lalu. Banyak start up yang tidak mampu bertahan dan akhirnya collapse. Inilah efek
buruk sektor non real karena digital ekonomi ini memang tidak sehat.

Nah, bagaimana kebijakan Khilafah dalam iklim investasi dan usaha ? Masya Allah, Khalifah
menciptakan iklim yang akan merangsang pembukaan usaha melalui birokrasi yang
sederhana, nihil pajak serta memberikan perlindungan bagi industri dari persaingan yang
tidak sehat. Adapun kebijakan sosial yang berhubungan dengan pengangguran, Khalifah
tidak mewajibkan wanita bekerja. Perempuan akan berdaya luar biasa dalam peran
utamanya sebagai ummu wa rabbatul bait, menyiapkan generasi tangguh yang akan
melanjutkan kepemimpinan Islam sekaligus menjadi partner hebat bagi pasangan mereka
dalam menjaga ketahanan keluarga. Persaingan antara laki-laki dan perempuan di dunia
kerja tidak akan terjadi, karena mereka akan berlomba meraih keridhaan Allah untuk
masing-masing peranan yang telah Allah amanahkan.

Inilah mekanisme Islam yang luar biasa dalam mengentaskan berbagai problematika
kehidupan termasuk masalah pengangguran. Betapa julidnya manusia yang menyebut
sistem Khilafah ini sudah basi dan berupaya mereformasi pendidikan dengan menghapus
namanya dari dunia pendidikan. Tidakkah mereka tahu siapa pemilik sistem yang sedang
mereka tantang ? Allah sebaik-baik pembalas dan pemberi peringatan.

Anda mungkin juga menyukai