Anda di halaman 1dari 3

“Dijepit” 2 Negara, Indonesia Bercerminlah Pada Venezuela

Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Venezuela, negeri terkaya di Amerika Latin dengan cadangan minyak melimpah melampaui
Saudi Arabia kini melara. Jatuhnya Venezuela adalah sebuah keruntuhan ekonomi tunggal
terbesar di luar perang dalam kurun 45 tahun terakhir, bahkan melebihi krisis di Uni Soviet,
Kuba dan Zimbabwe. Tata kelola yang buruk, korupsi dan kebijakan pemerintah yang salah
arah telah memicu inflasi yang tidak terkendali, menutup bisnis dan membuat negara
runtuh.

Ekonomi Venezuela terjun bebas dan sepertiga dari penduduknya berjuang untuk
memenuhi kebutuhan makanan. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada 23
Februari 2020 oleh Program Pangan Dunia PBB (WFP), satu dari tiga orang di Venezuela
berjuang menyediakan makanan dengan nutrisi yang cukup untuk memenuhi persyaratan
nutrisi minimum. Mereka bertahan dengan makanan yang sebagian besar terdiri dari umbi-
umbian dan kacang-kacangan karena hiperinflasi (liputan6.com 25/2/2020). Sebanyak 9,3
juta orang, dikategorikan sebagai cukup atau tidak aman pangan.

Krisis ini diperparah oleh sanksi Amerika yang dimaksudkan untuk memaksa presiden
Maduro menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin oposisi negara itu, Juan Guaido.
Venezuela telah kehilangan sepersepuluh penduduknya dalam dua tahun terakhir ketika
orang-orang melarikan diri, bahkan melakukan perjalanan melintasi pegunungan, memicu
krisis pengungsi terbesar di Amerika Latin. Hiperinflasi diperkirakan mencapai 10 juta persen
menurut IMF, dan menjadi periode kenaikan harga terpanjang sejak di Republik Kongo pada
1990-an (tempo.co 18/5/2019)

“Dijepit” dua negara adidaya

Venezuela telah terbagi menjadi dua rivalitas antara Maduro dan Guaido atau antara Rusia
versus AS. Mirip era perang dingin ketika Kuba terjepit diantara dua negara adidaya.
Bagaiamana bisa terulang menimpa Venezuela? Tidak ada jawaban sederhana. Kepentingan
ekonomi dan kepentingan politik telah berbaur melampaui krisis kemanusiaan dan
kelaparan yang kini menimpa Venezuela.

AS yang awalnya pengimpor minyak negeri ini kemudian terlibat perseteruan dagang yang
berimbas dijatuhkannya sanksi atas Venezuela. Ketika itulah Putin mendekat. Venezuela
mulai mendukung Rusia dan sejumlah hal yang diperjuangkan Rusia di ranah internasional.
Keterasingan Rusia setelah mencaplok Krimea menyebabkan Putin mencari sekutu di
tempat lain. Rusia mulai berinvestasi di industri minyak Venezuela.

Jika Maduro tetap berkuasa, Rusia akan memperlihatkan mereka bisa mempertahankan
pemerintahan, seperti yang mereka lakukan di Suriah. Sebaliknya jika Maduro hengkang, AS
akan menyatakan mereka dapat menggulingkan pemerintahan, dan ini dipandang sebagai
potensi bahaya bagi Rusia.

Venezuela hendaknya menjadi tempat pembelajaran bagi Indonesia. Indonesia sendiri


dikenal sebagai negeri dengan potensi kekayaan sumber daya alam yang luar biasa
melimpah. Namun dengan berbagai potensi yang dimilikinya kondisi ekonomi dan
perpolitikan negeri ini tetap saja babak belur. Hampir setiap peristiwa di negara ini tidak
lepas dari pengaruh dua adidaya dunia saat ini yaitu Amerika dan China. Medan
pertempuran keduanya tidak tersirat lagi namun tampak terang benderang, soal ibukota
baru dan kerusuhan Papua misalnya.

Berubahnya status Indonesia dalam skema perdagangan Amerika menjadi `negara maju`
diduga merupakan bentuk tekanan Amerika terhadap kecenderungan berpihaknya
Indonesia kepada China. Perang dagang Amerika-China yang berlangsung puluhan tahun
menyebabkan perang tarif yang dampaknya telah mengancam pertumbuhan ekonomi
global. Kini Indonesia berada dalam situasi dilematis dengan pencabutan sejumlah fasilitas
dan tuduhan subsidi dari Amerika. Hal ini mengakibatkan neraca dagang Indonesia
mengalami defisit. Dengan realitas ini AS telah membendung Indonesia dari Tiongkok.

Sementara China telah semakin mencengkram Indonesia terutama dimasa pemerintahan


Jokowi. China berperan besar dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur negara
ini. Dalam rentang lima tahun terakhir China melesatkan posisinya dari investor
internasional ke-13 di Indonesia, menjadi nyaris ke posisi pertama saat ini. China bahkan
telah mengalahkan Jepang dalam penggarapan sejumlah proyek infrastruktur besar tanah
air.

Mengembalikan kedaulatan

Tak dapat dipungkiri bahwa penerapan kapitalisme telah menyeret Indonesia dalam
pusaran perpolitikan global sebagai negara pengekor. Negara pengekor atau disebut juga
negara klien adalah sebuah negara yang secara ekonomi, politik atau militer dikontrol oleh
negara lain yang lebih kuat dalam urusan internasional.

Konsekuensi logis dari kedudukan sebagai negara pengekor adalah menerima dikte, tidak
mandiri dan senantiasa bergantung pada `tuannya`. Para pemimpin negeri pengekor tidak
pernah mempedulikan apakah kebijakan publik yang dikeluarkannya bermanfaat bagi
rakyatnya atau tidak. Termasuk tidak ambil pusing apabila ternyata kebijakannya justru
menyengsarakan rakyatnya.

Terbitnya draft Undang-undang Omnibus Law misalnya nyata wujud tutup matanya
penguasa terhadap kepentingan rakyat. Demikian pula dengan pengelolaan berbagai
layanan publik ala korpotokrasi. Pemerintah berhitung untung rugi dengan rakyatnya
sendiri. Indonesia pun terus mengikti dikte bankir global untuk menambah utang negara
hingga ke level yang sangat berbahaya.

Terjepit diantara titah dua adidaya dunia, Indonesia perlu berpikir keras untuk
mengeluarkan dirinya dari himpitan ini. Jika tidak, musibah yang menimpa Venezuela bukan
tidak mungkin akan menimpa negara ini. Jalan terbaik untuk itu adalah dengan
mencampakkan kapitalisme dan menerapkan sistem Islam. Kapitalisme telah terbukti
menghancurkan Indonesia hingga pada posisinya saat ini.
Islam sendiri telah teruji selama 13 abad mampu memenuhi panggung perpolitikan dunia
sebagai adidaya yang mampu mensejahterakan rakyatnya. Jika Indonesia bermaksud meraih
kembali kedaulatannya maka upaya untuk itu masih terbuka. Indonesia harus menggariskan
visi untuk meraih kembali kedaulatannya. Visi ini adalah idiologi. Faktanya semua negara
utama yang menjadi tuan dari negara pengekor seperti Amerika atau China memang tegak
diatas idiologi tertentu. Amerika beridiologi kapitalisme sedangkan China beridiologi
sosialisme.

Visi besar Indonesia adalah idiologi Islam dalam naungan institusi Khilafah Rasyidah. Sistem
Ilahiah yang akan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah tidak
akan tersandera investasi asing dan berbagai perjanjian yang membahayakan negara.
Khilafah juga akan menghentikan dominasi dolar dengan sistem moneter berbasis emas dan
perak.

Sebagaimana yang dipahami bahwa dolar sering dijadikan alat oleh Amerika untuk
mempermainkan ekonomi dan moneter suatu negara. Termasuk Khilafah akan
menghentikan sektor non riil yang menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga roda
ekonomi akan berputar secara optimal. Inilah penyebab utama krisis keuangan global.
Untuk itu uang hanya dijadikan semata-mata sebagai alat tukar dalam perekonomian.
Langkah revolusioner ini merupakan satu-satunya pilihan, sebelum badai menggulung
ekonomi Indonesia dan melemparkannya kedalam jurang yang semakin dalam.

Anda mungkin juga menyukai