Anda di halaman 1dari 4

Bonus Demografi : “Mengusir” Bukan Solusi

Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Propinsi Aceh sudah memasuki masa bonus demografi. Artinya, sejak 2020 hingga 2035
Aceh memiliki jumlah penduduk usia produktif (16-40) lebih dari 50%. Di tengah minimnya
lapangan kerja, kondisi ini akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas Aceh. Perebutan
sumber-sumber ekonomi akan sulit dihindari. Kriminal ringan sampai serius, akan terjadi
(acehtrend.com 15/02/2020).

Mantan Plt Kepala Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA), Azhari Idris berpendapat, bonus
demografi harus menjadi momentum bagi Pemerintah Aceh untuk “mengusir” sebanyak-
banyaknya mereka yang berada di usia produktif ke luar Aceh. Mereka harus dikirim keluar
untuk bertarung di berbagai industri besar yang membutuhkan tenaga kerja terlatih dengan
keahlian khusus.

Menurutnya Pemerintah Aceh harus berani melakukan investasi yang besar untuk
membangun keahlian masyarakatnya serta menjalin hubungan dengan dunia industri di
negara sekitar. Kemudian kirim tenaga kerja profesional asal Aceh ke luar negeri. Ke
berbagai industri besar sebanyak mungkin menjadi diaspora profesional di negara-negara
dengan industri maju.

“Nanti devisa Aceh akan masuk. Serta secara langsung ekonomi Aceh juga akan terangkat.
Pengangguran berkurang. Satu orang sukses di luar negeri, akan diikuti dengan akan
suksesnya kerabat mereka yang kelak akan dibawa serta”. Ini multi efeknya yang akan
muncul dikemudian hari. Azhari melanjutkan “Batam punya sekolah mendidik putra-
putrinya 3-6 sampai satu tahun. Lalu mereka “dijual” keluar. Nyan ban yang harus tapeugot
di nanggroe sijuta panglima,” imbuhnya.

Dengan kata lain Azhari mendorong para pemuda Aceh untuk menjadi pekerja migran.
Pekerja migran adalah orang yang pindah keluar negeri untuk tujuan bekerja. Bank Dunia
melaporkan, pada tahun 2016 ada sekitar 9 juta penduduk Indonesia yang bekerja sebagai
pekerja migran di luar negeri. Mereka bekerja secara prosedural dan non prosedural
(kompas.com 28/11/2017).

Dari jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, lebih dari tiga
perempatnya adalah pekerja dengan keterampilan rendah. Sebanyak 32 % diantaranya
bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. 19 % bekerja sebagai pekerja
pertanian. 18 % bekerja sebagai pekerja konstruksi. 8 % pekerja migran Indonesia bekerja
sebagai pekerja pabrik. 6 % bekerja sebagai perawat lansia. 4 % sebagai pekerja
toko/restoran/hotel. Sisanya, 2 % bekerja sebagai supir dan 0,5 % bekerja sebagai pekerja
kapal pesiar.

Para pekerja migran juga menghadapi berbagai problematika saat bekerja di luar negeri.
Masalah utama yang mereka hadapi adalah masalah imigrasi dan ketenagakerjaan,
mencakup masalah buruh migran illegal, lemahnya perlindungan kerja yang berbuntut pada
maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual, human traffiking hingga banyak diantara
mereka berhadapan dengan kasus hukum yang serius, hukuman mati misalnya.
Migrant Care menyebut setidaknya terdapat 202 buruh migran Indonesia yang terancam
hukuman mati di luar negeri. Jumlah itu tersebar di lima negara yang merupakan tujuan
favorit pekerja migran Indonesia, yakni Malaysia, UEA, Singapura, Arab Saudi dan Tiongkok.

Ide “mengusir” para pemuda Aceh untuk menjadi pekerja migran sejatinya merupakan
fenomena yang dilatar belakangi oleh paradigma kapitalisme. Dari sisi ekonomi, bonus
demografi dan dorongan bekerja keluar negeri adalah konsekuensi logis dari
ketidakberhasilan pemerintah dalam meratakan pembangunan. Demikian pula dengan
lebarnya disparitas ekonomi antara kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Hasil
pembangunan lebih menguntungkan masyarakat kelas atas yang memiliki akses pada
pendidikan dan modal melimpah.

Dalam konteks politik, lemahnya political will pemerintah dalam melindungi hak-hak pekerja
migran telah berkembang menjadi semacam pembiaran terhadap praktik ketidakadilan yang
diterima pekerja. Pemerintah terlihat bersikap normatif, tanpa pernah mengupayakan
langkah radikal agar mencegah kasus serupa terulang. Hal ini kemudian mendorong mereka
yang memiliki kepedulian secara individu berusaha membantu secara mandiri, sebagaimana
yang diupayakan oleh tokoh publik Aceh, Haji Uma misalnya.

Secara sosiologis, menjadi buruh migran telah menjadi semacam ‘mimpi’ bagi sebagian
masyarakat. Iming-iming gaji besar menjadi semacam magnit ampuh bagi sebagian
masyarakat yang ingin memperbaiki status sosialnya secara instan.

Kapitalisme membuat rakyat harus berjuang sendiri tanpa diimbangi oleh penyediaan
lapangan pekerjaan yang memadai di dalam negeri. Pemerintah berpikir instan
memanfaatkan angkatan kerja yang ada dengan mengirim mereka ke luar negeri sekaligus
pada saat yang bersamaan mendapat keuntungan melalui devisa yang jumlahnya tidak
sedikit untuk negara.

Merujuk catatan Bank Indonesia, sumbangan devisa melalui penerimaan remitansi pada
kuartal keempat tahun 2017 mencapai 2,2 miliar dolar Amerika. Sebutan sebagai “pahlawan
devisa” tak mengurai problematika dan kepahitan yang harus mereka tanggung di negeri
orang. “Mengusir” aneuk nanggroe bukanlah ide brilliant menuntaskan bonus demografi. Ini
hanyalah solusi parsial yang akan menghantarkan kepada lahirnya permasalahan-
permasalahan baru. Pertanyaannya, jika tenaga profesional di dorong berkiprah di luar
negeri lalu siapa yang akan membangun daerah?

Lebih lanjut perlu dipahami bahwa sebagai rakyat dari nanggroe sijuta panglima, kita tidak
dididik dengan mental jongos. Darah kita dialiri oleh darah para penakluk, para pejuang,
para pemenang. Indatu kita dahulu tidak dikenal karena mengemis pekerjaan di negeri
orang. Mereka berkarya di tanah mereka sendiri, mereka merdeka berizzah mulia, ditakuti
lawan disegani kawan. Justru yang harus kita kritisi adalah penerapan kapitalisme yang telah
mensistemi kita, aneuk nanggroe, menjadi generasi penonton bukan pemain.

Tanah kita masih sangat subur, lemparkan sebatang dahan ia akan tumbuh dan bertunas.
Laut terhampar kaya akan sumber daya hayati, menanti sentuhan tangan anak negeri.
Bagaimana negeri ini hendak berdikari sedang Geuchik inovatif dengan kreasi bibit padi yang
berdaya survival swasembada pangan justru dikriminalisasi. Hasil perut bumoe nanggroe
apakah akan ditititp untuk di olah pemodal-pemodal kapitalis asing dan aseng ? lalu kita
berjibaku menjadi jongos di negeri orang, padahal bumi ini begitu kaya.

Mengapa kita tak kembali kepada Islam untuk menyelesaikan solusi bonus demografi.
Peradaban Islam mampu menjadikan para angkatan kerjanya berdaya tanpa harus
“menjual” dirinya. Negara mengimplementasikan politik ekonomi Islam untuk memfasilitasi
tepenuhinya kuota pekerjaan bagi setiap angkatan kerja.

Sabda Rasulullah SAW, “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat; ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim). Negara tidak
akan berhitung untung rugi dengan rakyatnya.

Secara garis besar mekanisme yang ditempuh oleh Khalifah untuk mengatasi pengangguran
dan menciptakan lapangan pekerjaan melalui 2 mekanisme, yaitu mekanisme individual dan
mekanisme sosial ekonomi.

Dalam mekanisme individual, Khalifah memahamkan kepada setiap individu, terutama


melalui sistem pendidikan, tentang kewajiban bekerja guna meraih kemuliaan dan
keridhaan Allah. Negara memfasilitasi peningkatan keterampilan dan pemodalan bagi
rakyat. Jika rakyat tidak bekerja baik karena malas, cacat, minim keahlian maka negara
memotivasi dan memfasilitasi kebutuhan mereka.

Mekanisme sosial ekonomi ditempuh melalui sistem dan kebajikan. Dalam bidang ekonomi
Khalifah menetapkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor real bidang
pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan perindustrian dan perdagangan. Dalam
bidang pertanian, tidak akan ada lahan yang disia-siakan oleh pemiliknya melainkan semua
diberdayakan bukan hanya untuk meraih materi namun juga untuk menjemput ridha Illahi.

Negara tidak akan memberikan toleransi kepada pengembangan sektor non real dan ribawi,
karena sektor ini akan menyebabkan harta beredar dikalangan orang-orang kaya saja. Selain
di haramkan, sektor ini terbukti tidak memiliki dampak terhadap penyerapan tenaga kerja,
bahkan berpeluang menggoyang kestabilan ekonomi.

Terkait kebijakan Islam dalam iklim investasi dan usaha, Khalifah sebagai kepala negara
menciptakan iklim yang akan merangsang pembukaan usaha melalui birokrasi yang
sederhana, nihil pajak serta memberikan perlindungan bagi industri dari persaingan yang
tidak sehat. Adapun kebijakan sosial yang berhubungan dengan pengangguran, Khalifah
tidak mewajibkan wanita bekerja.

Perempuan akan fokus untuk berdaya luar biasa dalam peran utamanya sebagai ummu wa
rabbatul bait, menyiapkan generasi tangguh yang akan melanjutkan kepemimpinan Islam
sekaligus menjadi partner tangguh bagi pasangan mereka dalam menjaga ketahanan
keluarga. Persaingan antara laki-laki dan perempuan di dunia kerja tidak akan terjadi,
karena mereka akan berlomba meraih keridhaan Allah untuk masing-masing peran yang
telah Allah amanahkan. Inilah mekanisme Islam yang luar biasa dalam mengentaskan
berbagai problematika kehidupan termasuk masalah pengangguran.

Anda mungkin juga menyukai