Islamophobia bukanlah hal baru dalam rekam jejak sejarah. Bagi masyarakat
nusantara yang berpengalaman menjadi wilayah terjajah selama berabad-abad, Islamophobia
adalah fenomena yang biasa. Tindakan kekejaman terhadap umat Islam dan seperangkat
diskriminasi sosial mengatasnamakan identitas agama sudah sepaket dengan program
kolonialisasinya.
Pendekatan historis menjadi hal yang menarik untuk dijadikan analisis dalam
membaca fenomena Islamophobia yang menyeruak dewasa ini di Negeri Bollywood, India.
Menggunakan kajian sejarah sebagai bahan untuk membaca fenomena masa kini adalah
pertimbangan yang objektif untuk mengatur strategi dalam menekan laju Islamophobia.
Inilah yang dimaknai salah salah satu fungi sejarah, yaitu fungsi edukatif.
Akhir-akhir ini, Publik digencarkan dengan menyeruaknya Islamophobia di India.
Secara beruntun, umat Muslim di India mengalami penindasan. Disusul dengan tindakan
Nupur Sharma, seorang politisi Partai nasionalis-Hindu Bharatiya Janata Party (BJP) yang
menghina Nabi Muhammad yang menyita perhatian publik. Kejadian ini langsung ditanggapi
boikot produk India di negara-negara Arab dan kecaman dari Majlis Ulama Indonesia yang
disampaikan secara diplomasi.
Tindakan Nupur Sharma untuk menghina Nabi itu salah satunya mengangkat
peristiwa Nabi Muhammad yang menikahi siti Aisyah di bawah umur dengan klaim
kekerasan dalam pernikahan. Ungkapan subjektifnya tersebut dibantah oleh beberapa
akademisi dan ulama. Fakta membuktikan bahwa klaim tersebut tidak sesuai dengan bukti
ilmiah antropologis dan kajian budaya sehingga membaca fenomena tersebut dengan
‘telanjang’ nalar akademik akan menjerumus pada hal yang naif.
Setelah menuai kontroversi, Nupur Sharma meminta maaf melalui akun twitter-nya.
Kemudian munculnya klarifikasi dari elit partai BJP bahwa kasus penghinaan Nabi tersebut
merupakan perbuatan oknum pribadi, bukan mewakili suara partai.
Sebagai partai yang sedang berkuasa, BJP berusaha untuk menjaga ‘citra’
kekuasaannya di mata dunia dengan menutupi kasus tersebut secara ‘politis’. Karena jika
pernyataan oknum tersebut dikaitkan dengan beberapa kebijakan diskriminatif India, maka
akan bertolak belakang. Justru pernyataan partai BJP hanya menjadi tameng semata.
1
Terbit di Majalah Tabligh PP Muhammadiyah pada bulan Juli 2022
Apabila berkaca pada sejarah kolonialisme di nusantara, maka terdapat variabel yang
sama, yaitu penindasan oleh penguasa secara fisik melalui kekerasan maupun secara
diplomasi melalui kebijakan diskriminatif. Kesamaan variabel ini menjadi alat untuk
membaca fenomena menggunakan studi perbandingan. Harapannya akan tercipta sebuah
analisis yang akurat dan logis untuk mengulas fenomena Islamophobia serta mampu
menghadirkan solusi untuk menangkalnya.