Anda di halaman 1dari 6

Arab Spring or Fall?

Istilah ini mengisi seluruh media dunia sejak seorang pemuda


Tunisia membakar diri pada Desember 2010 lalu
menginspirasi revolusi yang menjalar ke berbagai negeri
Arab.

Saya tidak akan membahas dengan detail kajian ini karena


setiap negara mempunyai folder tahunan yang menumpuk
tersendiri. Namun poin utama yang ingin saya sampaikan
adalah tantangan narasi besar yang perlu diformulasi di
kawasan ini, khususnya Mesir dan Turki.

Diktatorisme di timur tengah menunjukan wajah yang sangat


paradoks dengan nilai yang dianut mayoritas
masyarakatnya. “wa amruhum syura bainahum” dalam al-
Qur’an dikatakan. “dan urusan mereka diselesaikan dengan
syura (musyarawah)”. Maka syarat awal kemajuan yaitu
pemerintahan yang menyertakan rakyat inilah yang 3 abad
lalu dibangun masyarakat Eropa, dan ironisnya telah hilang di
negeri-negeri muslim selama berabad-abad sejak Ali bin Abi
Thalib, khalifah rashidah terakhir. Istilah rasyidah menurut Dr.
Muhammad Imarah disematkan karena pemerintahan mereka
dibimbing syura bukan syura formalitas dibawah kehendak
khalifah.

Ada masa ketika para khalifah (umwawiyyah-abbasiyyah-


ustmaniyyah) yang sebagiannya diktator itu tetap membuat
masyarakat sejahtera. Yaitu saat sistem monarki mereka
hanya memonopoli politik. Sedangkan masyarakat masih
menikmati kebebasan ekonomi, pemikiran, budaya dalam
batas yang sangat luas. Disanalah terjadi penemuan, debat,
diskusi, kemajuan pemikiran. Ditambah lagi, saat itu, para
khalifah, yang walaupun diktator namun sedang berada
dalam kondisi puncak peradaban, yang imperiumnya
membentang dari asia timur hingga Spanyol. Maka
keserakahan penguasapun tetap meninggalkan sesuatu bagi
masyarakatnya.

Tapi diktatorisme hari ini adalah bentuk yang terburuk yang


pernah dialami umat Islam. Mereka menekan rakyat,
mencerabut kesejahteraannya, diperparah lagi
dengan political arrangement di kawasan tersebut
direncanakan di Washington (US), Brussel (EU) atau
Downing Street (UK). Hal ini menyebabkan perpindahan
kekayaan alam dari tanah mereka ke negeri-negeri barat.
Maka apalagi yang tersisa bagi masyarakat arab selain
kehinaan dan penindasan penguasa selama lebih dari 2 abad
dari para kolonialis barat hingga pemimpin local sebagai kaki
tangan kolonoalis modern.

Tapi saya tidak percaya bahwa segala sesuatu direncanakan


dalam sebuah konspirasi tunggal yang terpusat. Sehingga
dikatakan bahwa keseluruhan revolusi arab sejak awal adalah
konspirasi untuk menggantikan para pemimpin arab loyalis
barat dengan pemimpin lain yang lebih loyal.

Saya tidak mempercayai teori konspirasi total seperti itu,


karena variabel sosial terlalu rumit untuk memuluskan
rencana-rencana besar terpusat.

Tapi saya juga tidak mempercayai bahwa sejarah bergerak


secara natural tanpa ada perencanaan para perencana
sosial.
Saya memandang bahwa rekayasa sosial dan konspirasi
selalu ada tapi tidak perlu dilebih-lebihkan, karena pada
sebagiannya proses sosial berlangsung natural tanpa ada
perencanaan. Dalam kasus arab spring, inilah yang terjadi di
awal-awal seperti pandangan mayoritas analis. Bahwa
revolusi arab berlangsung karena proses natural respon
terhadap penindasan.

Namun point penting yang perlu dicatat adalah bahwa


revolusi arab terjadi bukan karena grand design gerakan
Islam, IM ataupun selainnya. Ia adalah murni gerakan rakyat
yang merasakan keresahan bersama. Gerakan revolusi
meledak dengan spontan setelah bom waktu penderitaan
tertaman puluhan tahun. Revolusi itu difasilitasi oleh media
sosial yang massif memobilisir massa.

Saat revolusi menjalar ke Mesir, saya tepat sedang berada di


Cairo, di tingkat akhir kuliah saya dan menyaksikannya dari
awal hingga kejatuhan Mubarak. Saya sering mendengar
guru-guru dakwah dan pergerakan di Mesir mengatakan pada
saya “Alhamdulillah, ini adalah nikmat dari Allah, makar yang
Allah jalankan, karena semua diluar perencanaan kita
(gerakan Islam)”.

Peran terbesar gerakan Islam, di Mesir khususnya adalah


menjadi garda terdepan dan tersolid selama proses revolusi,
karena bagi mereka perlawanan terhadap tirani tersebut
adalah point of no return, dengan kata lain, ini adalah momen
yang harus mereka rebut dan terus maju atau mereka hancur
sama sekali.

Perjuangan revolusi berlangsung hampir tanpa narasi besar,


selain menumbangkan sesosok rejim, di Mesir target mereka
adalah Husni Mubarak. Tapi pasca ketumbangan Mubarak
tidak berarti sistem tiranik mereka tumbang, karena yang
terjadi adalah persis seperti rekonsolidasi kekuatan pasukan
spanyol sebelum kembali turun menghancurkan umat Islam di
Andalusia. Sistem diktatorisme mereka tidak terlucuti dengan
sistematis, seperti yang terjadi di reformasi 98 Indonesia.
Tentara masih ada disana dengan semua jaringan mabahist-
nya (intelijen).

Disinilah konspirasi bermain, dan Washington berusaha


mengambil alih kendali situasi. Perlu diketahui, bahwa sejak
2003, diskursus tentang mobilisasi massa dengan internet
menghangat di forum-forum kajian US dan Eropa. Mereka,
juga para diktator arab sangat menguasai konsep nonviolent
mobilization yang terispirasi dari pengalaman Serbia, dan
teori Srdja Popovis. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti
Google, Yahoo, atau organisasi sejenis Albert Einstein
Institution, Freedom House dan organisasi-organisasi besar
yang dibiayai US, Eropa dan negara-negara timur tengah
sangat siap menyambut unexpected chaos atau
kesemrawutan yang tiba-tiba. Disinilah kekalahan langkah
generasi muda muslim, pergerakan Islam di depan pihak-
pihak lain yang berkepentingan di kawasan timur tengah.

Dalam kasus Mesir, pasca ketumbangan Mubarak, terjadi


euphoria besar-besar di seluruh pelosok Mesir. Mabahist-
mabahist (intel) dan polisi mungkin saja ikut bersorak ramai
dengan baju sipilnya. Bernyanyi riang bersama warga dan
para demonstran.

Tapi dalam situasi chaos seperti itu, narasi lah yang


bertarung, antara gerakan Islam yang di motori IM dan salafi
dengan narasi para penguasa barat yang mempunyai motiv
hegemonik di Mesir.

Partai Kebebasan dan Keadilan IM maju mengahadapi pemilu


dengan koalisi bersama Partai an-Nur salafi. Mereka
memenangkan pemilu legislatif bersama, dan menaikan Mursi
menjadi Presiden. Lalu umat Islam Mesir, bahkan mungkin
seluruh dunia berbahagia melihat pemandangan aneh itu, IM
dan Salafi berkoalisi dalam politik.

Mungkin saat itu, satuan intel atau pun tim kepanduan IM


tidak sampai pada kesimpulan bahwa salafi tidak mempunyai
kekuatan politik apapun jika mereka tidak di back up oleh
kekuatan besar lain. Padahal selama 8 bulan, mereka
diangkat menuju puncak kekuasaan dengan kucuran dana
yang membelalakan mata dari Saudi dan organisasi-
organisasi Qatar.

Sehingga ketika sampai saat yang ditentukan, Salafi berbalik


arah dari IM, lalu Mursi dikudeta oleh jaringan rejim Mubarak
(Jenderal As-Sisi) yang sudah melakukan rekonsolidasi
beberapa bulan. Maka tinggalah IM seorang diri, ditinggal
voter pemilunya, bahkan digulingkan tidak hanya oleh militer,
tapi juga oleh massa yang beberapa waktu lalu bersama-
sama turun ke maydan Tahrir.

Narasi itu sejak awal revolusi memang tidak ada, tapi yang
lebih menyedihkan adalah setelah Mursi naikpun, IM tidak
menyiapkan narasi besar untuk berkuasa, dalam jangkauan
10-20 tahun kedepan.

Bersambung

Anda mungkin juga menyukai