Anda di halaman 1dari 14

UNIVERSITAS INDONESIA

REVOLUSI TUNISIA MENUJU NEGARA DEMOKRASI


DI TIMUR TENGAH

Makalah

YASMINNE NUR ANNISA IMAN


1706061420

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ARAB
DEPOK
JANUARI 2021
Abstrak

Gerakan protes terhadap pemerintah yang terjadi di Tunisia berhasil melumpuhkan


kekuasaan presiden Tunisia, Ben Ali pemimpin otoriter dan diktator yang telah
berkuasa dalam waktu yang lama. Arab Spring berawal di Tunisia dan berdampak luas
terhadap politik di sejumlah negara Timur Tengah. Latar belakang permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi Tunisia sebelum terjadi
revolusi, apakah faktor penyebab terjadinya revolusi di Tunisia, dan bagaimana
pengaruh revolusi Tunisia terhadap negara-negara di Timur Tengah. Tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang latar belakang dari
demokratisasi Tunisia, dan juga untuk memberikan penjelasan mengenai pengaruh
demokratisasi Tunisia terhadap negara-negara di kawasan Timur Tengah. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-analitis dengan menggunakan studi pustaka untuk
pengumpulan data. Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori perubahan sosial
oleh August Comte yang menjelaskan tentang revolusi.
Kata Kunci: Tunisia, Revolusi, Demokrasi, Arab Spring

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
ABSTRAK…………………………………………………………………………….2

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………..4
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………………………..5
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………..5
1.4 Metode Penelitian……………………………………………………………….5

2. PEMBAHASAN
2.1 Tunisia Sebelum Demokratisasi……………....….………………………..……6
2.2 Faktor Penyebab Revolusi di Tunisia…..……………………………………….8
2.3 Pengaruh Revolusi Tunisia Terhadap Negara Sekitarnya.....…………………...10

3. KESIMPULAN…………………………………………………………………...12
DAFTAR REFERENSI……………………………………………………………..14

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara-negara di Timur Tengah dikenal dengan budaya politiknya yang otoriter.


Hal tersebut dapat diketahui dari banyaknya pemimpin-pemimpin negara Arab yang
memiliki kekuasaan penuh dan berkuasa dalam waktu yang lama. Namun, seiring
waktu, para elit politik dihadapi dengan rakyat yang mulai membuka mata terhadap
ketidakadilan penguasa terhadap rakyat kecil dan membangkitkan kekuatan rakyat
untuk melawan ketidakadilan penguasa. Konflik yang pernah terjadi di Timur Tengah
adalah konflik antar suku, ras dan pengkudetaan atau penggulingan kekuasaan yang
juga merupakan upaya untuk tercapainya demokrasi. Konflik yang banyak terjadi di
Timur Tengah disebut dengan “Arab Spring”. “The Arab Spring” atau Musim Semi
Arab merupakan bahasa politik untuk menyebutkan konflik yang berada di negara-
negara Arab. Arab Spring mulai terjadi pada akhir 2010 dengan beruntunnya kejatuhan
pemimpin-pemimpin otoriter dunia Arab, dimulai dari Tunisia, dengan tergulingnya
Zein al-Abidin Ben Ali, kemudian Mesir dengan jatuhnya rezim Husni Mubarak, lalu
Libya, dengan berakhirnya kekuasaan Muammar Khadafi yang telah berkuasa kurang
lebih selama 40 tahun, dan kemudian diikuti oleh Yaman, Bahrain, dan Suriah yang
hingga saat ini masih berlangsung (Ahmad, 2015:118).
Pada 2011 gerakan rakyat Tunisia berhasil melakukan kudeta terhadap Zein al-
Abidin Ben Ali yang telah berkuasa selama 24 tahun, dibawah kekuasaannya yang
diktator, berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan masalah-masalah lainnya terjadi
di negara ini seperti kekerasan fisik, pembungkaman media pers, tingginya angka
pengangguran, kemiskinan, serta hilangnya kebebasan berpendapat dan kebebasan
berpolitik. Yang membuat masyarakat Tunisia melakukan gerakan aksi turun ke jalan
dalam skala besar dan juga demonstrasi adalah karena ketidakpuasan dan kemarahan
rakyat terhadap kepemimpinan Ben Ali, membuat Ben Ali dikudeta oleh rakyat Tunisia.
Konflik yang terjadi di Tunisia diikuti oleh negara lain seperti Mesir, yang dipimpin
oleh presiden Husni Mubarak yang telah berkuasa hampir 30 tahun lamanya.
Arab Spring adalah gelombang Revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di
dunia Arab. Sebuah Revolusi yang bertujuan untuk menggulingkan diktator yang
berkuasa di negara-negara Timur Tengah. Peristiwa gelombang revolusi seperti ini terus
menerus berlanjut ke berbagai negara di Timur Tengah dan juga Afrika Utara seperti

4
Yaman, Suriah, Bahrain, Iraq, Kuwait, Yordania, Lebanon, Maroko, Oman, Arab Saudi,
dan Sudan. Dari berbagai revolusi di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika
memiliki persamaan, yaitu adanya pengaruh kekuasaan diktator yang cenderung absolut
dan identik dengan pembatasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang membuat
masyarakat di negara-negara tersebut tidak puas dan marah sehingga melakukan
perlawanan dan usaha penurunan paksa setiap pemimpin diktator di negaranya dan
menuntut kepemimpinan atau kekuasaan yang demokratis.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penulis mempertanyakan


mengenai:

1. Bagaimana kondisi Tunisia sebelum terjadi revolusi?


2. Apakah faktor penyebab terjadinya revolusi di Tunisia?
3. Bagaimana pengaruh revolusi Tunisia terhadap negara-negara di Timur Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tentang latar belakang dari demokratisasi Tunisia.

2. Untuk memberikan penjelasan mengenai pengaruh demokratisasi Tunisia

terhadap negara-negara di kawasan Timur Tengah.

1.4 Metode dan Teori Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peliti dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif-analitis. Sugiyono (2009:29) dalam bukunya menjelaskan bahwa metode
deskriptif-analitis adalah sebuah metode yang memiliki tujuan untuk memberi
gambaran terhadap objek yang diteliti dengan data atau sampel yang telah dikumpulkan
sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan kesimpulan yang berlaku umum.
Pengumpulan data untuk penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research),
dengan menggunakan media buku, artikel jurnal, dan juga media daring yang terpercaya
sebagai sumber bacaan.

5
Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori perubahan sosial oleh
August Comte (1798-1857). Dalam perubahan sosial terdapat perubahan secara cepat,
yaitu revolusi yang mewujudkan perubahan yang luas dan menyeluruh, mencakup pada
semua tingkat masyarakat, ekonomi, budaya, politik, organisasi sosial dan kehidupan
sehari-hari masyarakat. Revolusi terjadi dalam waktu yang cepat dan tiba-tiba dan
menyebabkan disorganisasi yang bersifat proses penyesuaian dalam masyarakat
terhadap nilai-nilai baru (Herabudin, 2015:231)

PEMBAHASAN

2.1 Tunisia Sebelum Demokratisasi

Tunisia merupakan negara terkecil di Afrika Utara dengan luas 163.610


kilometer persegi dan terletak diantara Aljazair dan Libya. Tunisia memiliki letak
geografis yang strategis yaitu berhadapan langsung dengan laut Mediterania dan dapat
berhubungan langsung dengan benua Eropa, hal ini membuat banyaknya pengaruh
kebudayaan luar masuk ke Tunisia, diantaranya adalah budaya Roma, Arab, Turki dan
Perancis (Harris, 1985:737). Tunisia juga pernah menjadi wilayah yang dikuasai oleh
beberapa peradaban besar, pada abad ke-7 Islam masuk ke Tunisia dan seiring
berjalannya waktu Tunisia menjadi pusat penyebaran Islam di Afrika Utara. Mulai dari
Kerajaan Romania, Dinasti Umayyah, Dinasti Bey hingga Perancis pernah menduduki
negara ini.

Pada masa Dinasti Bey berkuasa di Tunisia, Tunisia mengalami kesulitan


ekonomi dan Perancis menawarkan bantuan finansial melalui komisi keuangan pada
1868, hingga akhirnya pada 1878 Inggris menyetujui campur tangan Perancis terhadap
Tunisia dalam Kongres di Berlin (Trevor, 1988:429). Pada April 1881, Perancis mulai
mendominasi pemerintahan di Tunisia dengan mengambil alih administrasi negara,
keuangan, militer dan mengembangkan koloni walaupun Dinasti Bey masih berkuasa di
Tunisia (Harris, 1985:740). Perancis menguasai Tunisia selama 75 tahun (1881-1956),
masyarakat Tunisia mulai menginginkan kebebasan, seorang pemimpin kaum muda
Tunisia, Syaikh al-Tha’libi akhirnya mendirikan partai Destour pada 1920 yang
bertujuan untuk membebaskan Tunisia dari kolonialisasi (Harris, 1985:741), namun,

6
Partai Destour dianggap sebagai partai radikal oleh pihak Perancis sehingga Syaikh al-
Tha’libi diasingkan dan pada tahun 1925 Partai Destour bubar (Harris, 1985:741).

Tahun 1934 rakyat Tunisia kembali membentuk partai bernama Partai Neo-
Destour dan mengangkat Habib Bourguiba sebagai pemimpin, partai ini melanjutkan
perjuangan dari partai sebelumnya yaitu Partai Destour. Pada tanggal 27 Februari 1956
Habib datang ke Paris sebagai pemimpin delegasi Tunisia melakukan negosiasi bersama
Perancis tentang kemerdekaan negaranya (Harris, 1985:742). Pada 20 Maret 1956
Tunisia secara resmi mendapatkan kemerdekaannya atas Perancis dan memegang penuh
pemerintahan. Setelah kemerdekaan nya tanggal 25 Juli 1957, Tunisia mengubah bentuk
pemerintahan yang semula Monarki menjadi Pemerintahan Republik dengan Habib
Bourguiba sebagai Presidennya.
Selama Bourguiba menjabat sebagai presiden dia menjadi seorang pemimpin
yang diktator dan tidak disukai oleh rakyatnya. Selama masa kepemimpinannya,
Bourguiba merubah hukum Islam yang sebelumnya dijalankan di Tunisia, ia mengubah
sistem hukum Tunisia menjadi hukum yang bergaya barat sesuai dengan ideologi yang
dianutnya (William, 2009:180). Bourguiba berupaya untuk memodenkan Tunisia, hal
ini disebabkan oleh pemikiran Bourguiba yang sekuler. Kebijakan-kebijakan Bourguiba
yang banyak melenceng dari agama Islam mendorong terbentuknya gerakan Islam
fundamentalis yang militan, Mouvement de Tendance Islamique (MTI) (Apriadi,
2011:17). Bourguiba mempercayakan tindakan pembersihan gerakan MTI kepada Ben
Ali, berkat keberhasilan upaya Ben Ali dalam melakukan pemusnahan terhadap gerakan
MTI yang memberikan nama baik pada dirinya, Bourguiba memutuskan untuk
mengangkat Zen al-Abidin Ben Ali sebagai Perdana Menteri pada Oktober 1987.
Namun, sebulan setelah pengangkatan Zen al-Abidin Ben Ali sebagai perdana menteri,
ia menggulingkan Bourguiba dalam kudeta damai tanggal 7 November 1987 dan
diangkat sebagai presiden (Apriadi, 2011:19). Dikatakan kudeta damai karena
mundurnya Habib Bourguiba merupakan keputusan dari tim dokter yang menyatakan
bahwa Bourguiba sudah mengalami penyakit ketuaan dan tidak dapat mengemban tugas
sebagai Presiden sehingga harus diputuskan untuk mencopot kepemimpinannya.
Dengan bergantinya presiden Tunisia, rakyat berharap terbebas dari pemimpin
yang otoriter dan diktator. Di masa awal kepemimpinan Ben Ali, ia memproklamirkan
akan membawa era baru bagi Tunisia yang berdasarkan hukum, HAM dan demokrasi,

7
Ben Ali juga berhasil meningkatkan perekonomian Tunisia hingga bergabung dengan
European Union di 1995 (William, 2009:181), ia juga memperbolehkan terbentuknya
partai-partai lain selain partai Destour sehingga mulai muncul partai-partai dengan
ideologi beragam seperti Movement of Socialist Democrats dan The Islamic Tendency
Movement. Namun, keberhasilan Ben Ali dalam perekonomian dan politik tidak
bertahan lama, hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah pengangguran dan janji
Ben Ali untuk menghilangkan kediktatoran seperti yang dilakukan pemimpin
sebelumnya justru melakukan hal yang sama. Demokrasi yang diusung diawal
pemerintahan Ben Ali tidak terlaksana, ia selalu terpilih pada pemilihan presiden selama
bertahun-tahun hingga lima masa jabatan, ia juga tidak membawa kesejahteraan pada
rakyat Tunisia. Kesabaran rakyat Tunisia terhadap Ben Ali telah memuncak, ditambah
dengan peristiwa bakar diri seorang pemuda, Masyarakat akhirnya melakukan demo
besar-besaran hingga terjadi kerusuhan untuk memprotes kepemimpinan Ben Ali. Protes
ini berlangsung selama Desember 2010 hingga Januari 2011, pada 13 Januari 2011 Ben
Ali berjanji untuk tidak mencalonkan diri kembali di tahun 2014, ia juga berjanji untuk
meningkatkan kebebasan pers, sehari setelahnya Ben Ali mengundurkan diri dan lari ke
Arab Saudi setelah mendapat hukuman penjara seumur hidup.

2.2 Faktor Penyebab Revolusi di Tunisia


Revolusi yang terjadi di Tunisia terjadi akibat banyak faktor yang
mempengaruhi, baik faktor keadaan sosial-ekonomi masyarakat, kebijakan yang dibuat
Ben Ali terhadap Muslim di Tunisia, pemerintah yang diktator dan otoriter dan
maraknya pelanggaran HAM. Peristiwa bakar diri oleh Bouazizi hanyalah sebagai
pemantik terjadinya revolusi yang menurunkan presiden Tunisia Ben Ali (Ahmad dkk,
2015:121). Ben Ali pada awal kepemimpinannya diberi kepercayaan oleh rakyat untuk
mengubah kehidupan di Tunisia yang sebelumnya dipimpin oleh presiden Bourguiba
yang otoriter dan diktaktor, namun Ben Ali pada akhirnya tidak dapat memenuhi
harapan rakyat Tunisia.

Pendapatan per kapita Tunisia dari tahun 1986 hingga tahun 2008 mengalami
kenaikan, namun, pada 2002 pertumbuhan ekonomi mengalami hambatan karena
menurunnya pendapatan di sektor wisata. Pada awal pemerintahan, Ben Ali membawa
perekonomian Tunisia ke arah liberal dengan mulai membuka kesempatan investasi

8
bagi negara-negara lain. Selama tahun 1970-2000 Tunisia mendapat banyak pinjaman
dari Bank Dunia dibandingkan dengan negara-negara Arab dan Afrika lainnya
(William, 2009:182). Rakyat akan mendapat dampaknya jika pemerintah Tunisia tidak
dapat mengatasi masalah hutang luar negeri. Pendapatan negara tidak hanya dari hasil
ekspor tetapi juga berasal dari pajak rakyat. Permasalahan ekonomi akan berdampak
pada aspek-aspek lainnya jika mengalami permasalahan. Akhir masa pemerintahan Ben
Ali diwarnai dengan permasalahan korupsi, tingginya angka pengangguran serta harga
pangan yang tinggi.

Permasalahan sosial lain yang terjadi di Tunisia selama pemerintahan Ben Ali
adalah tentang perlindungan hak asasi manusia seperti kebebasan pers. Secara hukum,
Ben Ali telah melakukan pelanggaran HAM. Sejak Ben Ali menjabat menjadi Presiden
pers mengalami keterbatasan ruang gerak. Jurnalis tidak boleh mengeluarkan berita
yang merusak nama baik pemerintah. Salah satu kasus pelanggaran HAM terhadap pers
yang dilakukan Ben Ali adalah peristiwa yang dialami wartawan Taufik Ben Brik yang
dilecehkan dan dipenjarakan atas kritiknya kepada Ben Ali (Apriadi, 2011:23). Jurnalis
yang melakukan pelanggaran maka akan diberi sanksi penjara hingga lima tahun.
Selama Ben Ali mengeluarkan peraturan tersebut sudah ada 100 jurnalis Tunisia yang
dipenjarakan. Perlakuan pemerintahan Ben Ali terhadap pers menjadi bumerang pada
akhir kepemimpinannya dan mendapat serangan balik dari para jurnalis.

Bourguiba dan Ben Ali memiliki tujuan yang sama, yaitu memodernisasikan
Tunisia, di masa pemerintahan Bourguiba, ia membuat peraturan yang menentang
wanita muslim mengenakan hijab, dan larangan kepada pemimpin agama untuk
memiliki kepemilikan tanah (William, 2009:180), pada pemerintahan Ben Ali, ia
menambahkan larangan menggunakan hijab untuk wanita dan larangan berjenggot
untuk pria saat foto KTP dan di kantor, juga larangan masjid untuk mengumandangkan
Azan, kebijakan-kebijakan yang dibuat kedua pemimpin tersebut memberikan citra
negatif kepada mereka di mata umat muslim Tunisia. Bourguiba ingin menciptakan
Tunisia yang lebih modern dengan standar hidup orang Barat. Memodernkan
masyarakat Tunisia membuat Bourguiba melupakan hal yang terpenting bagi rakyat dari
negara ini yaitu mempertahankan identitas rakyat sebagai bagian dari negara Arab
Muslim.

9
Ben Ali memimpin Tunisia dalam jangka waktu yang sangat lama yaitu hampir
selama 24 tahun sejak 1987 hingga 2011. Selama jangka waktu kepemimpinan yang
lama itu Ben Ali tidak mampu merubah kehidupan masyarakatnya yang sebagian besar
berada di garis kemiskinan, ia hanya mementingkan jabatan dan kekuasaannya. Demi
mempertahankan kekuasaannya, Ben Ali mengubah kebijakan dan membuat keputusan
tanpa pertimbangan atas rakyatnya dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Ben Ali sering membuat kebijakan yang sewenang-wenang dan perbuatannya tidak
berlandaskan hukum, ia juga mempersempit kebebasan pers dan membuat
kekuasaannya semakin diktator, semua yang berbau mengkritik pemerintah akan
mendapatkan hukuman penjara.

Ben Ali juga melakukan pelanggaran HAM dengan memperbolehkan kekerasan


terhadap para demonstran yang ingin menumbangkan kekuasaannya, ia membiarkan
perlakuan keras para aparat militer kepada demonstran hingga banyak korban
berjatuhan. Aparat militer menggunakan senjata api dan tongkat untuk melawan para
demonstran yang mengkritik pemerintah. Korban yang berjatuhan banyak dari kaum
perempuan, orang tua dan anak-anak. Pelanggaran HAM yang terjadi selama aksi
demonstrasi rakyat Tunisia menjadi tuntutan Ben Ali dalam persidangan.
Ketidakberhasilan Ben Ali dalam mensejahterakan rakyat Tunisia dan
kepemimpinannya yang diktator tersebut merupakan penyebab timbulnya gerakan
demonstrasi secara besar-besaran di Tunisia untuk menjatuhkan kekuasaan Ben Ali.

2.3 Pengaruh Revolusi Tunisia Terhadap Negara Sekitarnya


Pasca jatuhnya kepemimpinan Ben Ali, pemerintahan transisi dipegang oleh
Perdana Menteri Caid Essebsi, saat itu Caid berhasil melakukan program-program
reformasi politik seperti pembebasan tahanan politik, mengadili mantan pejabat partai
dan keluarga Ben Ali yang terlibat korupsi serta menyelenggarakan Pemilu. Pada
Pemilu 2011 partai An-Nahdhah yang merupakan representatif dari Ikhwanul Muslimin
berhasil mendominasi perolehan suara (Fakhry, 2014:86). Beberapa bulan setelah
terjadinya revolusi yang terjadi di Tunisia, rakyat Mesir juga melakukan protes besar-
besaran. Pada 25 Januari 2011 terjadi demonstrasi massa yang berpusat di Tahrir
Square. Protes rakyat yang terjadi di Mesir ini dilatarbelakangi oleh kepemimpinan
Husni Mubarak yang otoriter dalam menjalankan pemerintahan. Pada masa

10
pemerintahan Husni Mubarak, hak-hak rakyat dalam berpolitik dan kebebasan pers
dibatasi, partai politik dan kelompok oposisi dipersulit pergerakannya. Selama beberapa
dekade, gerakan Ikhwanul Muslimin sering mendapatkan tekanan dan intimidasi dari
pemerintahan Husni Mubarak. Sistem otoritarianisme yang berlangsung di Mesir
akhirnya mendorong aksi protes dari rakyat yang memaksa presiden Husni Mubarak
turun dari jabatannya (Fakhry, 2014:86).
Di Aljazair, pengangguran, kurangnya perumahan, harga yang inflasi, korupsi
pemerintah, terbatasnya kebebasan berbicara, masyarakat yang miskin dan kekurangan
makanan menjadi faktor utama dalam pecahnya gerakan demonstrasi yang terjadi
(Apriadi, 2011:142), belum lagi presiden Aljazair, Abdelaziz Bouteflika mengubah
konstitusi pada 2008 mengenai kepemimpinan untuk berkuasa selamanya.hal itu
menjadi pemicu rakyat untuk melakukan protes terhadap pemerintah. Bahrain juga
termasuk salah satu negara yang terkena dampak pergolakan Tunisia, namun faktor
yang menjadi penyebab pergolakan sedikit berbeda dari faktor yang dialami Tunisia,
Mesir dan Libya. Faktor yang menjadi penyebab demonstrasi di Bahrain adalah karena
tuntutan rakyat terhadap pemerintah untuk membuka lapangan kerja dan perumahan
baru, demonstran juga menuntut dibebaskannya tahanan politik, pemilihan kabinet, dan
pencopotan Perdana Menteri Khalif bin Salman Al Khalifa (Apriadi, 2011:161)
Faktor yang memicu Libya dalam terjadinya revolusi juga dikarenakan
kepemimpinan presidennya, yaitu Muamar Khadafi yang mengekang demokrasi,
kebebasan berpendapat, dan keadilan, selain itu Libya juga merupakan negara yang
memiliki perekonomian yang sulit, meskipun memiliki ladang minyak raksasa. Harga
pangan di Libya naik pada 2011, membuat masyarakat kesusahan untuk mendapat
makanan, sedangkan Khadafi masih hidup dengan bergelimang harta, hal tersebut juga
menyulut kemarahan rakyat Libya hingga terjadi gerakan revolusi yang berhasil
menurunkan Muamar Ghadafi.
Protes melawan pemerintah yang terjadi di Tunisia juga menyadarkan Yaman
akan pemimpinnya yang korup dan diktator. Presiden Yamat, Ali Abdullah Saleh telah
berkuasa selama 33 tahun dan selama pemerintahannya ia gagal mensejahterakan
rakyatnya. Kemiskinan terjadi dimana-mana, pengangguran merajalela dan juga
terbatasnya kebebasan berpolitik Negara yang juga terkena dampak adalah Suriah yang
masih merasakan pergolakan Arab Spring hingga kini. Rakyat Suriah berusaha untuk

11
menjatuhkan kekuasaan Bashar al-Ashad, presiden Suriah yang dikenal sebagai Firaun
abad ini. Bashar al-Ashad adalah pemimpin Suriah yang diktator dan sekuler.
Pemerintahan Bashar al Ashad memang belum terlalu lama karena baru memimpin
tahun 2000, tetapi pemerintahannya sudah melakukan pertentangan syariat agama.
Masyarakat di Timur Tengah memiliki latar belakang kultur yang sama, yaitu
didominasi orang muslim yang memiliki sejarah kejayaan di masa lampau, mereka juga
sempat merasakan kolonialisme akibat mundurnya kekuasaan Islam di masa lalu hingga
pasca kemerdekaannya dari kolonialisme rakyat Timur tengah belum merasakan
kemerdekaan dalam artian yang sebenarnya baik dalam bidang politik, maupun
ekonomi, bahkan belum merasakan arti dari demokrasi (Apriadi, 2011:12). Kesamaan
kultur dan latar belakang sejarah menjadi keterkaitan antara faktor-faktor yang
dijelaskan diatas bahwa rezim yang diktator dan perekonomian yang buruk mampu
menjadi sebuah pemantik revolusi. Pemicu revolusi di tiap negara berbeda tetapi
mempunyai satu tujuan yang sama yaitu menumbangkan pemerintah yang diktator dan
otoriter.

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah disampaikan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
Tunisia sebelum terjadinya revolusi dan demokratisasi merupakan wilayah yang pernah
dikuasai oleh beberapa peradaban besar dan juga pernah menjadi wilayah jajahan
Perancis. Namun setelah merdeka dari jajahan Perancis, rakyat belum sepenuhnya
merasa merdeka baik dari segi finansial maupun politik karena memiliki pemimpin
yang diktator dan korup dalam waktu yang cukup lama. Kemiskinan dan pengangguran
merajalela di Tunisia, Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh presidennya yang
diktator, otoriter dan korup membuat masyarakat Tunisia lelah dan membuat gerakan
demonstrasi besar-besaran, belum lagi aksi bakar diri oleh Bouazizi yang menjadi salah
satu pemicu terjadinya revolusi di Tunisia.
Negara-negara di Timur Tengah terkena dari dampak dari revolusi di Tunisia,
diantaranya adalah Mesir, Aljazair, Bahrain, Yaman, Libya serta Suriah yang hingga
sekarang belum kunjung usai. Namun dari beberapa negara tersebut hanya tiga negara
yang berhasil melumpuhkan pemimpin diktatornya, yaitu Tunisia, Mesir dan Libya.
Gerakan revolusi yang menyambar dan berkembang ke berbagai negara tersebut

12
dilatarbelakangi oleh kesamaan faktor pemicu gerakan, yaitu perekonomian negara yang
tidak stabil serta pemimpin yang otoriter dan diktator, sehingga terjadilah gerakan
revolusi oleh rakyat yang menginginkan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik.

13
DAFTAR REFERENSI

Ghafur, Muhammad Fakhry. 2014. Agama dan Demokrasi: Munculnya Kekuatan


Politik Islam di Tunisia, Mesir dan Libya. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.

Harris, D. R. 1985. The Middle East and North Africa 1986. London: The Standhope
Press.

Herabudin. 2015. Pengantar Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia.

Mostyn, Trevor. 1988. The Cambridge Encyclopedia of The Middle East and North
Africa. New York: Cambridge University Press.

Sahide, Ahmad, dkk. 2015. The Arab Spring: Membaca Kronologi dan Faktor
Penyebabnya. Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Spencer, William. 2009. Global Studies: Middle East. New York: McGraw Hill
inc.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung:


Alfabeta.

Tambukara, Apriadi. 2011. Revolusi Timur Tengah, Keruntuhan Para Penguasa


Otoriter. Yogyakarta: Narasi.

14

Anda mungkin juga menyukai