Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan tugas dari Ibu Dosen untuk membuat
Kekurangan yang mungkin ada pada makalah ini justru diharapkan mendorong para
teman-teman mahasiswa untuk melengkapinya dari sumber-sumber lain sesuai dan bagi Ibu
Pembina/Ibu Dosen yang melihat kekurangan dari makalah kami ini mohon untuk dapat
Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat dan dapat dipahami oleh pembacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu fenomena penting yang muncul di dunia muslim awal abad ke-20
baik dengan metode intra doctrinal reform maupun extra doctrinal reform. Adapun tujuan
dari hukum keluarga dinamis antara lain adalah untuk unifikasi hukum, peningkatan
dikatakan bahwa tujuan kedua ini merupakan tujuan dari reformasi Undang-Undang
Tunisia tidak terpengaruh oleh dua faktor, yaitu faktor: pengaruh Prancis dalam usaha
sekularisasi dan pengaruh Habib Bourguiba yang berhasrat menjadikan Tunisia sebagai
negara sekuler dan faktor internal: adanya reinterpretasi nash Al-Qur'an dan peningkatan
Perubahan hukum keluarga pertama kali dilakukan oleh Turki ketika menerbitkan
Ottoman Law of Family Right pada tahun 1917, selang beberapa tahun berikutnya
disusul oleh negara Iran yang banyak melakukan reformasi terhadap hukum keluarga di
hukum keluarga Islam di Negara Tunisia. Serta aspek hukum apa saja yang menjadi
Negara Tunisia?
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Nation's Guardians/Pelindung Tanah Air), dan bahasa yang digunakan bahasa Arab
Luas wilayah 162.155 km², terdiri dari 23 provinsi, dengan jumlah penduduk
10.777.500 jiwa, yang beragama Islam (98%) (mayoritas Muslim Sunni), Kristen
(1%), Yahudi dan lainnya (1%), serta suku bangsa Arab (98%), Eropa (1%), Yahudi
Atlantik dan Delta Nil. Pada bagian Barat dan Selatan berbatasan dengan Aljazair
(965 km), bagian Utara dan Timur berbatasan dengan Laut Mediterania, dan bagian
Selatan dan Tenggara dengan Libya (459 km). Tunisia terletak di antara garis lintang
Republik Tunisia yang dalam Bahasa Arab disebut dengan (" )الجمهرية التونسيةAl-
dan palin timur di wilayah Afrika Utara. Tunisia termasuk ke dalam kepulauan
1
https://kemlu.go.id/tunis/id/read/profil-negara-republik-tunisia ,diakses pada Kamis, 2 maret
2023.
2
Ali Trigiyatno, "Poligami di Tunisia :StudiAlasanPelaranganPoligami", JurnalHikmatuna, Vol.
3, Hlm. 43.
Karkunna/Karkuana (dibaca : Kerkennah) di bagian timur dan kepulauan Djerba di
bagian tenggara.3 Negara Tunisia di bagian barat berbatasan dengan negara Aljazair,
bagian utara dan timur berbetasan dengan laut Mediterania, dan bagian selatan serta
Undang-Undang Dasar Tunisia disahkan pada tanggal 1 Juni 1959, yang secara
tegas dalam pasal 1 menyebutkan bahwa Tunisia adalah Negara yang berdasarkan
agama Islam. Bahkan, dalam pasal 38 dinyatakan bahwa Presiden Republik Tunisia
Turki Utsmani sejak tahun 1574 atau sekitar ±300 tahun lamanya. 6Sehingga, Tunisia
pada awalnya menganut mazhab Hanafi, namun saat ini tergantikan dengan mazhab
Maliki yang memiliki pengaruh lebih dominan, walaupun masih ada beberapa yang
tetap menganut mazhab Hanafi akibat pengaruh dari pemerintahan Turki Ustmani
sebelumnya.
Pada akhir abad ke-18 Tunisia mengalami fase kemunduran, yang dimulai sejak
tahun 1784 sampai 1820. Fase kemunduran terjadi diakibatkan Tunisia mengalami
gagal panen yang cukup besar dan disertai dengan adanya wabah penyakit yang
3
Komarudin, “Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern di Dunia Islam”), Jurnal Kordinat, Vol.XVIII, Hlm. 204.
4
Ratih Lusiana Bancin, “Hukum Keluarga di Tunisia”, Jurnal Penelitian Medan Agama, Vol.9,
Hlm.285.
5
Abdullahi A. An-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book
(London: Zed Books Ltd., 2002), hlm. 182
6
Abdullah A. an-Naim, "Islamic Family Law in a Changing World: A Global Research Book",
(London: Zed Books Ltd., 2003) Hlm. 182.
perekonomian di Tunisia.7 Akibat dari situasi tersebut, akhirnya mengantarkan
melalui perjanjian La Marsa dan Tunisia pun menjadi wilayah yang berada di bawah
kekuasaan negara Perancis pada tahun 1881 sampai 1956 (±75 tahun).8 Adanya
keterlibatan atau campur tangan dari negara Perancis terhadap pemerintahan Tunisia
membawa pengaruh atau dampak yang cukup positif terhadap kemajuan Tunisia di
mengakui kemerdekaan dari Negara Tunisia. Bentuk negara Tunisia adalah Republik
negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Presiden pertama Tunisia
sarjana hukum lulusan Perancis, yang kemudian diangkat sebagai presiden pertama di
beberapa aturan terkait dengan bidang hukum keluarga atau undang-undang Tunisia
sebagai presiden yang menganut paham ideologi sekuler dan ia berusaha menerapkan
proyek sekulerisasi di negara Tunisia. Salah satu keinginan atau impian besar yang
7
Ira M. Lapidus, "Sejarah Sosial Umat Islam", (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) Hlm.
609.
8
Hamka, "Sejarah Umat Islam", (Singapura: Kyodo Printing Co, 1994) Hlm. 330.
ingin diwujudkan yaitu unifikasi peradilan dan menyusun hukum keluarga modern.
Tunisia menerapkan sistem pemerintahan hukum Islam dan hukum perdata perancis.
Undang-Undang Dasar Tunisia disahkan pada 1 Juni 1959. Di dalam Pasal 1 Undang-
Undang tersebut menyatakan bahwa Tunisia sebagai negara Islam atau negara yang
berdasarkan Agama Islam dan di Pasal 38 menyatakan bahwa presiden Tunisia harus
seorang muslim.9
terhadap sistem hukum yang berlaku. Meskipun Bourguiba tumbuh dalam sistem
negara Perancis, namun reformasi yang dilakukan tidak sepenuhnya sekuler. Sebab
keluarga sehingga terciptanya "The Code ofPersonal Status Tunisia" atau "Majallat
zaman, sebab Bourguiba mengakui bahwa konsep fikih klasik dianggap tidak relevan
lagi dengan zaman sekarang, sehingga perlu dikaji lebih mendalam lagi. Atau lebih
9
Abdullah A. an-Naim, “Islamic Family Law in a Changing World..., (London: Zed Books Ltd.,
2003) Hlm. 182.
10
Khoiruddin Nasution, dkk., "Hukum Perkawinan dan Warisan ...., Hlm. 47.
Di tunisia Asas konkordasi hukum bagi negara yang dijajah adalah hukum negara
yang menjajah(Perancis) berlaku bagi negara yang dijajah (Tunisia), karena sejak tahun
1881, Tunisia berada di bawah kekuasaan Perancis. Selama periode tersebut berlaku
Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, dan Hukum Acara negara Perancis
Pada 20 Maret 1956, negara Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah itu pemerintah
1956.12
berawal dari adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukum (jurist) di Tunisia yang
mempunyai gagasan bahwa dengan adanya rekonsiliasi antara Mazhab Maliki dan
Mazhab Hanafi, maka sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat
Tunisia. Para ahli hukum (jurist) Tunisia kemudian mengajukan catatan perbandingan
antara dua sistem hukum Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki yang kemudian
Undang Hukum Islam).13 Proses penyusunan hukum keluarga tersebut diawali dengan
adanya pembentukan komite yang diketuai oleh Shaikh Muhammad Aziz Ju'ait, ulama
Tepatnya tahun 1948, Shaikh Ju'ait menyusun "La'ikhat Al-Ahkam Ash- Shar'iyyah",
11
Anis Hidayatul I, "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia (Menuju Konsep Syariah
Modern Abdullah Ahmad An-Na'im)", Jurnal Lentera, Hlm. 106.
12
Komarudin, "Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern....", Hlm. 204.
13
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....", Hlm. 286.
yaitu semacam kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari 2464 pasal, sekitar 800 pasal di
antaranya terkait dengan bidang hukum keluarga. Aturan tersebut mendapat pertentangan
dari kolonial Perancis sehingga tidak dapat diundangkan secara resmi, sehingga
"La'ikhat Al-Ahkam Ash- Shar'iyyah" dianggap sebagai bakal dari terbentuknya hukum
keluarga di Tunisia.14 Ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh tim perumus draft ini,
Negara Muslim (seperti Mesir, Suriah dan Iran), dan Undang-Undang Hukum Keluarga
Perancis. Tim perumus draft tidak hanya mengadopsi hukum-hukum Fiqh dari pandangan
Mazhab Maliki saja, tetapi juga mengutip dari pandangan mazhab lain termasuk Mazhab
Ja'fari.15 Pada 13 Agustus 1956 draft tersebut kemudian diajukan ke pemerintah dan
diundangkan secara resmi dengan nama "Code of Personal Status Tunisia" atau
"Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah", yang terdiri dari 213 pasal dan terbagi menjadi 12
bab yaitu16 :
14
Ibid, Hlm. 286-287
15
Ibid
16
Tahir Mahmood, "Statutes of Personal Law in Islamic Countries",(New Delhi: 1995), Hlm. 43-
44
Buku IX mengatur tentang Waris (Pasal 85-152);
hukum keluarga ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin saja, akan tetapi juga
secara resmi diberlakukan di Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun dalam
Hadhanah.
Revisi Pasal 5 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 mengenai batas usia
Aturan ini mengalami beberapa perubahan dan penambahan yang disertai dengan
ketentuan-ketentuan baru. Ada beberapa pasal baru di luar isi draft yang disusun oleh
17
Abdullah Ahmad an-Nai’m, "Islamic Family Law in A Changing World... Hlm.182.
18
Tahir Mahmood, "Personal Law in Islamic Countries", (New Delhi: Times Press, 1987),
Hlm.152-153.
perumus walaupun sebagian pasalnya dianggap bertentangan dengan syariat Islam,
seperti penghapusan hak ijbar, batas minimal usia pernikahan, kewajiban istri memberi
mengutip ide-ide kaum modernis mengenai persamaan kedudukan hak antara perempuan
dengan laki-laki (kesetaraan gender) secara total. Pemikiran modern tersebut, diajukan
oleh Tahir Haddad melalui bukunya yang cukup kontroversial berjudul "Imroatuna fi
dipahami lebih mendalam, isi pasal yang terdapat di dalam "Code of Personal Status
Tahir Haddad.20
dilepaskan dari unsur politik yaitu tekanan yang diberikan oleh pemerintah Perancis agar
"La'ikhat Al-Ahkam Ash- Shar'iyyah" yang dinilai bersifat kuno atau tradisional. 21
Bourguiba mengatakan membangun negara modern itu sangat penting, dengan adanya
perempuan. Isu kesetaraan gender merupakan salah satu latar belakang Bourguiba
memberlakukan hukum keluarga Tunisia yang dikenal dengan “Code of Personal Status
19
Utang Ranuwijaya dan Ade Husna, Jurnal Kajian Keislaman, Vol. 3 , Hlm. 4.
20
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ...”, Hlm.287.
21
Ibid, Hlm. 288
“Code of Personal Status Tunisia” atau "Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah"
dapat dikatakan sebagai salah satu hukum keluarga paling progresif di negara Islam pada
saat itu, sebab mengingat sejumlah pasalnya dinilai oleh sebagian pihak bertentangan
dengan konsep fiqih, bahkan dengan teks Al-Qur’an dan Hadits sekalipun. Tidak
merupakan hasil Ijtihad pemerintah yang masih berada dalam bingkai syari’ah.
Dalam sebuah pidato kenegaraan, Habib Borguiba menegaskan bahwa CPST itu :
“Lam yukhalif ayatan sarihatan min ayat al-kitab al-majid, wa innama yahtarimu ruh
ayat karimah wa sayyiruha.” (“CPST tidak bertentangan denga satu ayat pun dari Al-
Qur’an, bahkan ia menghormati ruh/ spirit ayat-ayat itu, serta menerapkannya”). 23 Ahmad
Mestiri, menteri Kehakiman Tunisia saat itu mengeluarkan edaran yang berbunyi:
“Produk hukum ini diterima oleh semua pihak, dipuji oleh para ulama, dan dinilai sesuai
dengan kebutuhan zaman. Hal ini karena kita mendasarkan produk hukum ini pada
syari’ah melalui berbagai sumbernya, tanpa keterkaitan pada madzhab fiqih tertentu,
Aturan tersebut hanya berlaku selama 6 bulan pasca kemerdekaan negara Tunisia
dan dipandang sebagai langkah penting untuk membuka jalan modernisasi. Melalui
pernikahan paksa, menetapkan hak cerai yang sama bagi suami dan istri, penghapusan
hak ijbar,dan kewajiban istri memberi nafkah dalam keluarga. Modernisasi yang
22
Lutfi Haji, “Borguiba Wa al-Islam”, (Tunis: Dar al-Janub, 2004), Hlm. 18.
23
Muhamad Ridha al-Ajhouri, “Al-Khalfiyah Al-Islamiyah Li Majallat Al-Akhwal Asy-
Syakhsiyyah”, (Tunis: Dar al_ma’ali Tunis, 2012), Hlm. 57.
24
Hamid al-Junduli, “Qanun Al-Akhwal As-Shakhshiyyah”, (Tunis: Majma’ At-Taurathy, 2011),
Hlm. 9.
dilakukan Bourguiba bukan bertujuan untuk mengubah peraturan mengenai halal dan
haram tetapi lebih ditujukan untuk kehidupan sosial kontemporer negara Tunisia itu
Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-
Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-
Syakhshiyyah tersebut bukan bertujuan mengubah peraturan tentang suatu hal yang
dianggap halal dan haram tapi lebih ditujukan untuk kehidupan social kontemporer
memperbaharui hukum keluarga ini memiliki beberapa tujuan, antara lain yang paling
disuarakan adalah untuk menghadapi perkembangan zaman, karena konsep fiqhk lasik
dianggap tidak lagi relevan sehingga membutuhkan kajian yang lebih sesuai dengan
zaman sekarang, selainitu juga untuk meningkatkan status wanita dengan alasan
kesetaraan gender.26
prinsip-prinsip hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah untuk
rakyat Tunisia itu sendiri. Meski tidak sedikit kalangan yang menilainya justru menjadi
25
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan…,” Hlm. 7
26
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....", Hlm.296-297.
Syakhshiyyah yang menimbulkan kontroversi. Dengan adanya pembaharuan hukum
keluarga Tunisia, hal ini menunjukkan bahwa tujuan pembaharuan hukum keluarga
Jika dilihat dariteori Tahir Mahmood tentang empat pola reformasi dalam hukum
Regulatory Reform
Codification
perumusanya berbasis pada madzhab Maliki dan Hanafi. Seperti, wasiat wajibah
hanya berlaku untuk cucu (genera sipertama) dan tidak berlaku untuk cucu yang
derajatnya lebih rendah,hal ini diambil dari dua pendapat mazhab fiqih yakni
diatur tentang hal-hal yang tidak ada rujukannya dalam mazhab-mazhab Sunni,
modifikasi undang-undang.
27
Ibid, Hlm.306-308
28
Lathifah Munawarah, “Politik Hukum Keluarga…,.”, Hlm. 91.
29
Fatum Abubakar, “WasiatUntuk Ahli Waris (StudiKomparatif Tunisia, Syria, Mesir Dan
Indonesia)", Jurnal Studia Islamika, Vol.8, Hlm. 260.
Keempat, Tunisia juga melakukan codification hal ini terlihat dari upaya kodifikasi
1) Pernikahan
menikah apabila telah mencapai usia yang telah ditetapkan dalam undang-
undangyaitu 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang telah merubah isi
minimal usia menikah di Tunisia adalah 20 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun
bagi perempuan. Bagi perempuan yang belum genap berusia 17 tahun, maka
harus mendapat izin dari wali untuk menikah. Namun, Jika wali tidak
dipengadilan.30
dan 17 tahun bagi perempuan telah dinyatakan dalam pasal 5 MAS (Majallat
Pasa l5 :“Setiap laki-laki yang belum berusia 20 tahun, dan perempuan yang
belum berusia 17 tahun, tidak dapat melangsungkan pernikahan. Pernikahan
di bawah usia tersebut dapat saja dilakukan, jika ada izin khusus dari
30
Muhammad Amin Summa, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), Hlm. 54.
mahkamah. Izin yang dimaksud hanya diberikan karena sebab-sebab tertentu
dan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua mempelai.”31
Pada tahun 2007, Pemerintah Tunisia mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2007 sebagai revisi atas pasal 5 MAS (Majallat al-Ahwal al-
pernikahan di bawah umur. Tahir Hadad berpendapat bahwa “Para orang tua
haknya untuk memilih secara bebas. Hal ini akan menghindari terjadinya
matang, lebih sehat dan secara lebih siap untuk mengandung dan melahirkan
anak.”33
31
Sasi Ben Halimah, “Mudharat Fi Qanun Al-Akhwal As-Shakhsiyyah”, (Tunis: Markaz An-Nathr
Al-Jami’i, 2004), Hlm. 16
32
Lathifah Munawarah, “Politik Hukum Keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 12, Hlm.
79-80.
33
Tahir Hadad, “Imroatuna Fi Ash-Shari’ah Wa Al-Mujtama’”,(Tunis: Dar Muhammad Ali Li
An-Nashr Sfax, 1930), Hlm. 56.
Permasalahan batas usia menikah memang tidak secara tegas dibahas oleh
para ulama klasik. Jumhur ulama sendiri tidak pernah memberikan syarat “aqil
sebuah upaya mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Sebuah ikatan
perkawinan pada dasarnya akan menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal
balik antara suami dan istri. Adanya hak dan kewajiban ini mengindikasikan
bahwa seharusnya pelaku dari pernikahan tersebut haruslah orang yang sudah
merupakan sebuah ijtihad yang kontekstual dan sejalan dengan tuntutan zaman
di tengah masyarakat Muslim Tunisia saat itu yang berpegang teguh pada teks-
mazhab Hanafi, perjanjian pernikahan dapat dilakukan dan menjadi sah jika
34
Muhamad Mustafa Shalbi, “Ahkam Al-Usroh Fi Al-Islam”, (Beirut: Dar al-Jami’ah, 1983),
Hlm.144.
perjanjian tersebut adalah perjanjian yang sesuai dengan hakikat dari suatu
bersama keluarga suami, atau tidak tinggal bersama istrinya yang lain (dalam
suami dan istri tidak berkumpul selama beberapa waktu, maka syarat(perjanjian
pernikahan) tersebut tidak sah, namun status akad pernikahannya tetap sah.35
mazhab Hanafi, namun ada tambahan berupa pembagian syarat sah menjadi
dua, yaitu: syarat yang tidak makruh dan yang makruh. Dalam pendapat
dengan syariat, maka syarat tersebut tidak berlaku, tetapi akad nikahnya tetap
sah.36
yaitu diatur di dalam Pasal 11 CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau
35
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu”, Hlm.6540-6541.
36
Ibid, Hlm. 6541-6542.
jikaadaisiperjanjian yang dilanggar, makapihak yang dirugikanatas pelanggaran
diatur tentang isi perjanjian pernikahan yang memuat tentang kekerasan, jika
salah satu pihak (baik pihak suami atau istri) melakukan kekerasan maka pihak
pernikahan ini tidak menimbulkan hak untuk ganti rugi, jika belum
Perjanjian merupakan bagian terpisah dari akad pernikahan. Oleh karenaitu, jika
c) PencatatanPernikahan
37
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga...,” Hlm. 289
38
Tahir Mahmood, “Family Law Reform in The Muslim World,”, Hlm.108
39
Muhammad Shahrur, “Metodologi Fiqh Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004).
Pasal 4 No. 40 :"Pernikahan seharusnya dibuktikan dengan catatan resmi.
Pernikahan yang dilakukan di luar pengadilan seharusnya dibuktikan
dengan cara yang berlaku di Tunisia, yakni sesuai dengan peraturan tentang
akad pernikahan.” 40
Hukum keluarga Tunisia menetapkan, pernikahan hanya dapat dibuktikan
tidak dicatatkan.41
40
Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, op.cit.,Hlm. 240
41
KhoiruddinNasution “Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim…”,Hlm. 158
ketiga, bahwa pencatatan merupakan keharusan, tapi masih mengakui adanya
dan perlindungan hukum bagi warga Negara, adanya asas legalitas ini juga
pelaksanaan undang-undang.43
d) Kewajiban Nafkah
Salah satu yang menjadi tujuan dari terbentuknya CPST (Code of Personal
bukan hanya kewajiban suami selaku kepala rumah tangga, melainkan juga
menjadi tugas istri. Di dalam pasal 12 CPST (Code of Personal Status Tunisia)
memiliki harta.”44
yang dimaksud dalam pasal tersebut, bukanlah merupakan kewajiban total yang
42
LilikAndaryani,“Relasi Gender Dalam Pembaruan Hukum…” Hlm. 262
43
Muhammad Amin Suma, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, (Jakarta: RajawaliGrafindo,
2005), Hlm.188
44
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan Hukum
Keluarga di Tunisia”, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol.07, Hlm. 10-11
45
38 UU No 74 tahun 1993 dan Keputusan Hakim di Pengadlan Negeri Kota Tunis tanggal 19
Februari 2009.
Meskipun demikian, pasal tesebut tetap merupakan sebuah langkah maju
di tengah masyarakat Tunisia saat itu yang memahami kaum perempuan tidak
didasarkan pada sejumlah ayat Al-Qur’an, Ḥadits Nabi Muhammad Saw dan
Tunisia adalahwanita, 72% apoteker, 40% dosen, 29% hakim, 31% pengacara,
serta 43%wartawan.48
harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan maksud untuk
dimintakan ganti rugi dari suami. Besarnya jumlah nafkah, tergantung pada
kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar hal ini diatur di
dalam Pasal 52. Hal yang menarik ialah, jika suami menghindar dari kewajiban
penjara 3-12 bulan dan dendaantara 100-1000 dinar Tunisia (setara dengan 400
CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau MAS (Majallat al-Ahwal al-
Syakhshiyyah).49
46
Ibn Rushd, “Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtaṣid”, Hlm. 54.
47
Sayid Sābiq, “Fiqh Sunnah”, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2004), Hlm.585
48
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan Hukum...,”
Hlm. 11
49
AuliaRahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al Muqaranah,Vol. V,
Hlm.45.
e) Penghapusan Hak Ijbar
kedua mempelai”.
hati dari kedua mempelai.50 Dengan kata lain, keduanya memiliki kebebasan
tidak. Seorang perempuan dapat saja menolak calon suami yang dikehendaki
ayah kandungnya dan karena itu pernikahan tidak dapat terjadi. Singkatnya, hak
ijbar yang ditetapkan para ulama fiqih telah dihapus oleh pasal ini.51
paksaan ayah kandungnya. Hal ini karena “Pernikahan itu didasarkan pada rasa
cinta dan kasih sayang yang dibangun antar individu. Oleh karena itu,
pernikahan harus lepas dari intervensi manusia lain. Benar bahwa seorang
50
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānūn Al-Akhwāl As-Shakhshiyyah”,Hlm.47
51
Ibid, Hlm.16
perempuan memiliki kemungkinan salah memilih, tetapi kemungkinan salah
f) Larangan Poligami
kaum laki-laki. Sementara bagi kaum laki-laki pada umumnya, poligami adalah
sesuatu yang legal dan telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw. Meskipun
poligami, yaitu54:
dalam al-Qur'an.
Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-
Pasal18 :“Poligami itu dilarang. Setiap laki-laki yang menikah lagi, padahal ia
berstatus suami dari seorang istri dan belum bercerai dari istrinya tersebut,
maka ia mendapat sanksi penjara selama 1 tahun dan membayar denda sebesar
240 ribu milim/dinar Tunisia (setara dengan 1,2 Miliar Rupiah), atau salah
satu dari kedua sanksi itu”.
Berdasarkan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa dalam hukum keluarga
Tunisia, poligami termasuk perbuatan tindak pidana yang dapat diancam dengan
pidana, baik pidana kurungan, pidana denda maupun kombinasi pidana kurungan
dan pidana denda.56 Pernikahan poligami yang dimaksud dalam pasal tersebut
juga meliputi pernikahan tercatat dan yang tidak tercatat. Artinya, walaupun
pernikahan dengan istri kedua dilakukan tanpa pencatatan alias bawah tangan
(zawaj ‘urfi), hal tersebut tetap masuk ke dalam kategori poligami yang dilarang.57
Alasan negara Tunisia melarang praktik poligami ada dua yaitu; Pertama,
institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan, tetapi
menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh poligami jika dapat
55
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan ...,”,Hlm. 5.
56
Lilik Andaryani, “Relasi Gender...,.”, Hlm. 251
57
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānū...,” Hlm. 67.
58
Ibid,
Namun, fakta sejarah membuktikan hanya Nabi Muhammad yang dapat
berlaku adil terhadap istri-istrinya.59 Sejalan dengan hal tersebut, John L. Esposito
Pasal ini juga terinspirasi oleh pemikiran para ulama modernis, seperti
melainkan salah satu bentuk kejelekan yang terdapat pada bangsa Arab Jahiliyah
(rukhṣah) dari Allah Swt, bukan termasuk kewajiban atau perintah. Bahkan
rukhṣah ini pun sebenarnya mustahil dilakukan karena harus didasarkan pada
keadilan, yang dimana keadilan tersebut sesuatu yang tidak mungkin dapat
Haddad, poligami tidak memiliki dasar dalam Islam, dan tidak sejalan dengan
59
Tahir Mahmood, “Family Law in the Muslim...,”Hlm. 63
60
John L. Esposito, “Women in Muslim Family Law”, (New York: Syracrus University Press,
1982), Hlm.92.
61
Muhamad Ridha al Ajhuri, “Al-Khalfiyah Al-Islāmiyah Li Majallāt Al-Akhwāl As-
Shakhshiyyah”, Hlm.15.
62
Tahir Haddad, “Imroatuna Fi Ash- Sharī’ah...,” Hlm.64.
63
Ibid, Hlm. 64-65
yaitu surah An-Nisā’ ayat 3 harus dipahami dalam konteks masa transisi Islam
akan konteks ayat poligami itu, yakni larangan mengambil harta anak yatim
meskipun ia telah dinikahi. Guna menghindari hal itu, para wali dibolehkan
menikahi wanita lain hingga empat orang. Akan tetapi, jika ia khawatir tidak akan
bisa berlaku adil di antara para istri, Al-Qur’ān menyuruhnya untuk memperistri
syariat Islam adalah sebuah pilihan yang teramat sulit dan terbatas, seolah adalah
pilihan saat darurat dengan syarat dipercaya untuk dapat berlaku adil dan
tentang ayat poligami yang dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Muhammad
Abduh, surah An-Nisa ayat 3 memberi izin untuk beristri lebih dari satu secara
serius telah dibatasi oleh Al-Qur'an sendiri di dalam surah An-Nisa ayat 129.
Lebih dari itu, syarat yang diajukan yaitu agar suami berlaku adil terhadap istri-
64
Ibid,
65
Muhamad Ridha al Ajhuri, “Al-Khalfiyah Al-Islāmiyah...,” Hlm. 77-78
66
Uthmān Amīn, “Raiḍ Al-Fikr Al-Miṣri Al Imām Muhammad Abduh”, (Kairo: Al- Hai’ah Al
Miṣriyah Al-‘Āmmah Li Al-Kitāb, 2015), Hlm. 205-206
67
Muhamad Ridha al Ajhuri, “Al-Khalfiyah Al-Islāmiyah...,” Hlm. 348-349
istrinya, adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat
karena Tunisia ingin modern tetapi tetap ingin berada pada koridor agama.69
dengan seorang perempuan tapi dia tidak tahu bahwa si istri ini dalam status
namun ia tidak tahu bahwa istrinya ini adalah termasuk dalam daftar wanita
mazhab Hanafi,70 dan juga merupakan contoh pernikahan yang fasid dalam
pernikahan fasid yaitu pernikahan pada saat ihram dan pernikahan syighar.71
68
Ibid,
69
Khoiruddin Nasution, “Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia”, (Jakarta: INIS, 2002), Hlm.122.
70
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami...,” Hlm. 6602 – 2204.
71
Al-Jaziri, “al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah”, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003),
Hlm. 111.
72
Tahir Mahmood, “Family Law in the Muslim...,”, Hlm. 10.
Pernikahan yang kondisinya bertentangan dengan hakikat
1956)
Pernikahan yang tidak sah ini harus segera dibatalkan. Jika sudah
mahar dan berlaku juga masa iddah baginya. Anak yang lahir dari
2) Perceraian
73
Ibid,
Menurut Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia, perceraian yang disampaikan
secara sepihak tidak dapat berakibat jatuhnya talak. Perceraian dapat berlaku secara
Pasal30 :"Talaq tidak dapat terjadi kecuali di pengadilan. Talaq tidak dapat
terjadi kecual ijika hakim telah melakukan usaha mendamaikan kedua belah
pihak, dan hakim tidak mampu untuk mendamaikan”.74
Sebab, perceraian hanya dapat kekuatan hukum jika diputuskan oleh pengadilan. 75
Pengadilan dapat memberikan perceraian berdasarkan :
Kesepakatan dari kedua belah pihak (pasangan)
Petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang disebabkan oleh
yang lain.
Sehingga, perceraian yang terjadi di luar pengadilan sama sekali tidak mempunyai
kekuatan hukum.76Demikian pula , pengadilan dapat memutuskan pernikahan yang
diajukan oleh istri dengan alasan suami gagal dalam memberikan nafkah rumah
tangga, atau karena kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri pernikahan.
Pengadilan juga dapat memutuskan pernikahan yang diajukan secara sepihak,
dengan ketentuan pihak yang mengajukan perceraian tersebut wajib untuk
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya.77Suami yang menceraikan istrinya harus
membayar denda (al-jirāyah al-‘umriyah) kepada mantan istrinya. Denda dibayarkan
setiap bulan sepanjang hayat mantan istri, kecuali jika mantan istrinya itu telah
menikah lagi dengan laki-laki lain atau meninggal dunia. Undang-Undang
CPST(Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah
Pasal 31 menyebutkan :
74
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan ...,”,Hlm.11.
75
Komarudin, "Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern....", Hlm. 207.
76
Anis Hidayatul I, "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia…,”Hlm. 108.
77
Khoiruddin Nasution, dkk., "Hukum Perkawinan dan Warisan ...., Hlm. 51
Pasal 31 : "Jirāyah dibayarkan kepada mantan istri setelah masa ‘iddah-nya
habis,ukurannya sesuai kewajaran sebagaimana saat masih dalam masa
pernikahan,termasuk di dalamnya biaya rumah. Jirāyah ini terus berlangsung
hingga mantan isteri meninggal dunia, atau jika ia telah menikah lagi, atau jika
telah merasa tidak memerlukannya lagi. Dalam hal mantan suami meninggal,
jirāyah diambil dari harta peninggalan suami, dibayarkan atas kesepakatan para
ahli waris, atau ditetapkan melalui pengadilan dengan dibayarkan sekaligus,
dengan mempertimbangkan usia mantan istri ketika itu”.78
Konsep Al-jirāyah al- ‘umriyah tidak dikenal dalam fikih. Para fuqahā hanya
isteri selama periode masa tunggu (‘iddah) setelah perceraian, karena selama
periode ini mantan isteri masih berkewajiban tinggal di rumah suaminya. 79Jadi dapat
dikatakan bahwa konsep Al-jirāyah al- ‘umriyah ini murni sebagai ijtihād para
perumus MAS yang didasarkan pada pemenuhan hak-hak istimewa bagi kaum
kondisi, apabila upaya perdamaian (mediasi) antara pasangan suami istri tersebut
didasari atas fenomena pada masyarakat Tunisia, ketika itu para suami begitu mudah
78
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan ...,”,Hlm.14.
79
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānūn...,” Hlm. 124
80
Ibid, Hlm. 125
81
Ibid,
tunggal suami untuk menjatuhkan talak kapanpun yang diinginkan, adalah salah satu
bentuk ketidak adilan. Imbasnya, kaum perempuan dalam posisi dirugikan dan
kehilangan masa depan. Tahir Haddad mengatakan, “Adanya mahkamah talaq, sama
sekali tidak akan merugikan para suami. Justru untuk memastikan bahwa talak yang
dan melindungi hak-hak perempuan. Karena kehadiran pasal ini akan penting dalam
a) Talaq Tiga
82
Tahir Haddad, “Imroatuna Fi Ash- Sharī’ah...,” Hlm. 79.
83
Hamid al-Junduli, “Qanun Al-Akhwal…,” Hlm.503-505
istri yang telah dijatuhkan talaq tiga (talaq bainkubra).84Menurut CPST(Code of
muabbad). Oleh karenaitu, sepasang suami istri yang telah bercerai sebab talaq
Pasal 19 :"Suami tidak boleh menikah lagi (rujuk) dengan istri yang telah ia
Pasal tersebut, jelas berbeda dengan konsep fiqih yang menegaskan bahwa
pasangansuami istri yang telah bercerai dengan talaq tiga (bain kubra) dapat
rujuk lagi dengansyarat mantan istri telah menikah dengan pria lain dan telah
berhubungan intim,kemudian bercerai dan habis masa ‘iddah-nya. Hal ini
didasarkan pada ayat Al-Qur’ān“Kemudian jika suami mentalaqnya (setelah
talaq yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga ia kawin
dengan suami yang lain”.85Pasal ini ditentang keras oleh sejumlah kalangan di
Tunisia karena dinilai berseberangan dengan ayat 230 surah Al-Baqarah. Akan
tetapi, para pendukung CPST(Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat
al-Ahwal al-Syakhshiyyah berargumen bahwa tujuan pasal ini adalah untuk
memberantas praktik pernikahan rekayasa (muhallil)86yang banyak terjadi di
tengah masyarakat Tunisia ketika itu.87
3) Pemeliharaan dan Hak Asuh (Hadhanah) Anak
Ahwal al-SyakhshiyyahPasal 54-57 tahun 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak
84
Komarudin, "Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern....", Hlm 208
85
terjemahan Q.S. Al-Baqarah ayat 230
86
Ibn Rushd, "Bidayat Al-Mujtahid WaNihayat Al-Muqtasid", Vol.1, Hlm.58-59
87
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānūn...,” Hlm. 65
dan kewajiban orang tua dan para wali(guardian) terhadap pemeliharaan anak
prinsip-prinsip mazhab Maliki. Dalam fiqh mazhab Maliki dinyatakan bahwa jika
seorang suami mentalaq istrinya dan kedua belak pihak masih hidup, maka
pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu punya kelayakan
dalam hal mengasuh dan menyusui, mengingat seorang ibulah yang lebih mengerti
dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar dari pada ayah,
karena itulah, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak.88 Selanjutnya,
CPST).
apabila ibu melangsungkan pernikahan. Sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai
dalam mengasuh anak, yang mengakibatkan anak tidak dapat hidup dengan tenang
dan sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke
nenek dari garis ibu asalkan nenek merupakan nenek secara langsung dari anak
tersebut.89
menyatakan bahwa jika orangtua yang berhak mengasuh anak meninggal dunia,
tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan dalam mazhab
88
Sayyid Sabiq, "Fiqh Sunnah", (Jakarta: Altishom, 2008), Hlm. 528.
89
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....",Hlm. 292
Maliki dinyatakan bahwa berakhirnya hak hadhanah adalah jika anak laki-laki
sudah mencapai usia baligh dan bagi anak perempuan sudah menikah. Hal ini
berbeda dengan pendapat mazhab Syafi'i yang menyatakan bahwa anak perempuan
4) Kewarisan
tetapi, ada beberapahal terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Maliki, yaitu
dimuat dalam kitab fiqh mazhab Maliki. Hal ini dikarenakan ada beberapa
pembahasan materi hukum yang juga diadopsi dari pendapat pakar hukum dari
Salah satu bentuk pembaruan hukum waris di Tunisia yang menjadi beda
dengan fiqih mazhab Maliki adalah pada Undang-Undang CPST (Code of Personal
Status Tunisia) atau MAS (Majallah al- Akhwāl Ash-Shakhshiyyah) Pasal 143
huruf (a) bahwa anak perempuan dan anaknya dapat menerima ashabah dari
warisan, walaupun ada ahliwaris lain dari pihak laki-laki seperti saudara laki-
laki dan paman. Ketentuan ini menunjukkan bahwa posisi anak perempuan
pewaris.”
5) Wasiat
mana para ulama sepakat tentang kebolehan wasiat seorang kafir dzimmi
merupakan salah satu syarat sahnya wasiat, kecuali jika si kafir berwasiat
94
Tahir Mahmood, "Personal Law in Islamic…,”Hlm. 174-175
95
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami...,” Hlm. 7461 dan 7474
96
Tahir Mahmood, "Personal Law in Islamic…,”Hlm. 105
Tunisia tersebut tidak sesuai dengan empat mazhab fiqih. Empat madzhab
yang lebih luas lagi dalam wasiat, tidak hanya sekedar lisan saja namun
dengan bahasa isyarat pun tetap sah dalam mazhab Maliki. Hanya saja,
b) WasiatWajibah
Undang waris Mesir pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum
perihal kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hukum
adanya wasiat semacam ini yang memberikan bagian yang tetap bagi cucu
batas 1/3 dari harta peninggalan, dengan syarat bahwa keturunan yang akan
pewaris, serta belum pernah diberikan harta oleh pewaris dengan cara lain.
Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia. Dalam Undang-
97
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami...,”, Hlm.7570
98
Yusuf Qardhawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporer” (Jakarta: GemaInsani, 1995), Hlm. 552.
diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki
mendapat bagian dua kali lebih besar dari bagian cucu perempuan (2:1).99
Perwalian dan Adopsi sebagai salah satu upaya melengkapi pasal-pasal yang belum
terakomodir dalam CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal
pasal yang dibagi kedalam 3 bab yaitu mengenai perwalian umum, kafalah, dan
anak angkat.100
adopsi. Disebutkan bahwa pihak yang akan mengadopsi disyaratkan sudah dewasa,
menikah, memiliki hak-hak sipil secara penuh, bermoral baik, sehat jasmani dan
rohani, dan secara finansial mampum emenuhi kebutuhan anak yang diadopsi.
101
Pada pasal 9 dijelaskan bahwa pengadilan juga bisa memberikan izin kepada
seorang janda atau duda (karena kematian pasangan), atau orang yang telah
antara pihak yang akan melakukan adopsi dengan anak yang hendak diadopsi
99
Khoiruddin Nasution, dkk., "Hukum Perkawinan dan Warisan ...., “Hlm. 54.
100
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....",Hlm.303
101
Ibid,
102
MochAgusRachmatulloh, “Studi Hukum keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al-Syakhsiyyah :
Journal of Law & Family Studies, Vol.2, Hlm.323
minimal 15 tahun. Seorang warga negara Tunisia diperbolehkan melakukan
adopsi terhadap seorang anak yang bukan dar iwarga negara Tunisia.103
Dengan demikian, pihak yang akan diadopsi haruslah seorang anak yang
bahwa:
105
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga...,”Hlm. 304
BAB III
ANALISIS MAKALAH
Analisis pemakalah yaitu pada awalnya Salah satu yang menjadi tujuan dari
terbentuknya CPST (Code of Personal Status Tunisia) adalah terbentuknya kesetaraan gender.
Salah satu bentuk produk pembaharuannya yaitu penetapan bahwa nafkah bukan hanya
kewajiban suami selaku pemimpin tangga, tetapi tugas seorang istri juga. Pasal 12 CPST
(Code of Personal Status Tunisia) menyatakan bahwa :
Pasal 12 :“Istri harus berpartisipasi dalam menafkahi keluarga, jika ia memiliki harta.”
Keharusan istri dalam menafkahi merupakan produ k hukum yang baru, meskipun
begitu kewajiban totalnya tidak sepenuhnya dilakukan oleh istri, karena dalam Islam suami
lah yang berperan sebagai yang menafkahi keluarga, hal tersebut sudah tertuang dalam
Q.S.An-Nisa ayat 34, bahwa laki-laki adaha pelindung bagi perempuan, dan laki-laki harus
memberikan nafkah dari hartanya. Sedangkan kewajiban wanita adalah berada dirumahnya
sebagai bentuk menjaga diri mereka dan mentaati suaminya.
Meskipun demikian, pasal tesebut merupakan sebuah langkah awal untuk kemaju
masyarakat Tunisia yang pada saat itu berfikir bahwa kaum perempuan tidak boleh
beraktifitas di luar rumah, serta nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istri,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Padahal jika kita tinjau pada zaman
Rasulullah SAW, banyak wanita yang ikut bekerja membantu meringankan suaminya, maka
tidak menutup kemungkinan di zaman sekarang, wanita juga bisa bekerja bahkan
berpendidikan.Pasal tersebut merupakan upaya Bourguiba untuk mendorong kemajuan
perempuan, sebagai bentuk kesetraan gender, karena wanita berhak mendapatkan hak-haknya.
Pasal 41 juga menyatakan bahwa istri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang
digunakan untuk membiaya hidupnya. Jika suami menghindar atas kewajibannya untuk
memberikan nafkah selama 1 bula maka dapat dikenakan hukuman penjara 3-12 bulan dan
dendaantara 100-1000 dinar Tunisia (setara dengan 400 ribu rupiah - 4 juta rupiah) yang
tercantum di dalam Pasal 53 Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia), hal
tersebut dilakukan sebagai bentuk agar suami tidak lupa memberikan kewajibannya dalam
memberikan nafkah, meskipun istri juga ikut serta mencari nafkah.
Di Tunisia, kaum perempuan bebas bekerja di hampir seluruh bidang kehidupan. Pada
akhir tahun 2011, sebanyak 42% dokter di Tunisia adalahwanita, 72% apoteker, 40% dosen,
29% hakim, 31% pengacara, serta 43%wartawan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tunisiyah), dengan Ibu kota di Tunis. Bentuk Negara Republik, sistem pemerintahan
Tanah Air), dan bahasa yang digunakan bahasa Arab (meskipun bahasa Prancis juga
banyak digunakan).
Pengaruh kolonial Prancis masih sangat kental terhadap aspek kehidupan masyarakan
Tunisia.Salah satunya adalah dalam hal penerapan modernisasi konsep hukum keluarga.
konsep hukum keluarga yang berasaskan fikih mazhab Maliki (mayoritas) dan fikih
mazhab Hanafi (Minoritas), dipimpin oleh Syaikh Muhammad Azis Ju‟aith sebagai
ditunjuk langsung oleh presiden Habib Bourguiba. Hukum keluarga terbaru disahkan
dengan penerbitan Code of Personal Status atau Majallah al ahwal as syakhshiyyah pada
kesadaran masyarakat dalam reformasi pendidikan, agama, dan status wanita. Isu
kesetaraan gender merupakan salah satu latar belakang Habib Bourguiba memberlakukan
hukum keluarga Tunisia yang dikenal dengan “Code of Personal Status ” atau Majallat Al
Ahwal Al Shaksiyyah yang berdasarkan mazhab Maliki dan mazhab Hanafi. CPST ini
hanya berlaku enam bulan setelah kemerdekaan Tunisia dan dipandang langkah penting
untuk jalan modernisasi. Melalui CPST tersebut Habib Bourguiba melarang poligami,
pernikahan paksa, menetapkan hak cerai yang sama bagi suami dan istri, penghapusan
hak ijbar, kewajiban istri memberi nafkah dalam keluarga. Habib Bourguiba mengatakan
modernisasi CPST tersebut bukan bertujuan mengubah peraturan tentang halal dan haram
tapi lebih ditujukan untuk kehidupan social kontemporer Tunisia dan memenuhi hak-hak
perempuan.
1. Perkawinan
a. Usia perkawinan
b. Perjanjian Perkawinan
c. Poligami
2. Perceraian
a. Talak Tiga
b. Nafkah Istri
c. Pemeliharaan Anak
3. Kewarisan
4. Wasiat
b. Wasiat Wajibah
5. Adopsi
B. Saran
Demikianlah makalh ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan
kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Fatum, “WasiatUntuk Ahli Waris (StudiKomparatif Tunisia, Syria, Mesir Dan
Al-Jaziri, “al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah”, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)
Amin Summa, Muhammad, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Amīn, Uthmān, “Raiḍ Al-Fikr Al-Miṣri Al Imām Muhammad Abduh”, (Kairo: Al- Hai’ah Al
Andaryani, Lilik, “Relasi Gender Dalam Pembaruan Hukum keluarga Muslim.”, Jurnal
An-Naim, Abdullah A., "Islamic Family Law in a Changing World: A Global Research Book",
Ben Halimah, Sasi, “Mudharat Fi Qanun Al-Akhwal As-Shakhsiyyah”, (Tunis: Markaz An-Nathr
Al-Jami’i, 2004).
Http://id.wikipedia.org/wiki/Tunisia.
Https://kemlu.go.id/tunis/id/read/profil-negara-republik-tunisia/584/etc-menu#.
Komarudin, “Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
L. Esposito, John, “Women in Muslim Family Law”, (New York: Syracrus University Press,
1982).
Lusiana Bancin, Ratih, “Hukum Keluarga di Tunisia”, Jurnal Penelitian Medan Agama, Vol.9.
M. Lapidus, Ira, "Sejarah Sosial Umat Islam", (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Mahmood, Tahir, "Personal Law in Islamic Countries", (New Delhi: Times Press, 1987).
Munawarah, Lathifah, “Politik Hukum Keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 12.
Mustafa Shalbi, Muhamad, “Ahkam Al-Usroh Fi Al-Islam”, (Beirut: Dar al-Jami’ah, 1983).
Shakhshiyyah”,
Ridha al-Ajhouri, Muhamad, “Al-Khalfiyah Al-Islamiyah Li Majallat Al-Akhwal Asy-
3.