Anda di halaman 1dari 51

Makalah

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI TUNISIA

Dosen Pengampu : Nunung Susfita, M.S.I

Disusun Oleh :

RIZKIYA HUMAENI (200202040)

ZIKRIR RAHMAN (200202051)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa karena dengan

rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan tugas dari Ibu Dosen untuk membuat

makalah yang berjudul : Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga di Negara Tunisia.

Kekurangan yang mungkin ada pada makalah ini justru diharapkan mendorong para

teman-teman mahasiswa untuk melengkapinya dari sumber-sumber lain sesuai dan bagi Ibu

Pembina/Ibu Dosen yang melihat kekurangan dari makalah kami ini mohon untuk dapat

membantu menyempurnakan makalah yang kami buat ini.

Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat dan dapat dipahami oleh pembacanya.

Mataram, 26 Februari 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu fenomena penting yang muncul di dunia muslim awal abad ke-20

adalah adanya upaya hukum keluarga di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim

baik dengan metode intra doctrinal reform maupun extra doctrinal reform. Adapun tujuan

dari hukum keluarga dinamis antara lain adalah untuk unifikasi hukum, peningkatan

status wanita dan respons perkembangan masyarakat yang selalu bergerak. Dapat

dikatakan bahwa tujuan kedua ini merupakan tujuan dari reformasi Undang-Undang

Perkawinan utama negara-negara muslim, meskipun tidak menutup kemungkinan di

beberapa negara mencakup beberapa tujuan sekaligus. 

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh hukum keluarga di

Tunisia tidak terpengaruh oleh dua faktor, yaitu faktor: pengaruh Prancis dalam usaha

sekularisasi dan pengaruh Habib Bourguiba yang berhasrat menjadikan Tunisia sebagai

negara sekuler dan faktor internal: adanya reinterpretasi nash Al-Qur'an dan peningkatan

status wanita di Tunisia. 

Perubahan hukum keluarga pertama kali dilakukan oleh Turki ketika menerbitkan

Ottoman Law of Family Right pada tahun 1917, selang beberapa tahun berikutnya

disusul oleh negara Iran yang banyak melakukan reformasi terhadap hukum keluarga di

mulai pada tahun 1928.

Dalam tulisan ini pemakalah akan mencoba mengkaji sejarah pembeharuan

hukum keluarga Islam di Negara Tunisia. Serta aspek hukum apa saja yang menjadi

perubahan di negara Tunisia.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Profil dan Sejarah di Negara Tunisia?

2. Bagaimana Pembaharuan Undang-undang Hukum Keluarga yang Ada di

Negara Tunisia?

3. Apa tujuan pembaharuan Hukum keluarga islam di Tunisia?

4. Apa Metode Pembaharuan yang Digunakan Negara Tunisia?

5. Apa Bentuk Pembaharuan Hukum Keluarga Di Tunisia?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Bagaimana Profil dan Sejarah di Negara Tunisia

2. Untuk mengetahui Bagaimana Pembaharuan Undang-undang Hukum Keluarga

yang Ada di Negara Tunisia

3. Untuk mengetahui Apa tujuan pembaharuan Hukum keluarga islam di Tunisia

4. Untuk Mengetahui Apa Metode Pembaharuan yang Digunakan Negara Tunisia

5. Untuk mengetahui Apa Bentuk Pembaharuan Hukum Keluarga Di Tunisia


BAB II

PEMBAHASAN

A. Profi dan sejarah Negara Tunisia

Nama resmi Negara Republik Tunisia (Republic of Tunisia atau Al

Jumhuriyah At Tunisiyah), dengan Ibu kota di Tunis. Bentuk Negara Republik,

sistem pemerintahan unitary semi-presidensial, dengan Kepala Negara Presiden dan

Kepala Pemerintahan Perdana Menteri. Lagu kebangsaan Houmat El Hima (The

Nation's Guardians/Pelindung Tanah Air), dan bahasa yang digunakan bahasa Arab

(meskipun bahasa Prancis juga banyak digunakan).

Luas wilayah 162.155 km², terdiri dari 23 provinsi, dengan jumlah penduduk

10.777.500 jiwa, yang beragama Islam (98%) (mayoritas Muslim Sunni), Kristen

(1%), Yahudi dan lainnya (1%), serta suku bangsa Arab (98%), Eropa (1%), Yahudi

dan lainnya (1%).1

Tunisia terletak di pantai Mediterania Afrika Utara, di tengah antara Samudra

Atlantik dan Delta Nil. Pada bagian Barat dan Selatan berbatasan dengan Aljazair

(965 km), bagian Utara dan Timur berbatasan dengan Laut Mediterania, dan bagian

Selatan dan Tenggara dengan Libya (459 km). Tunisia terletak di antara garis lintang

30° dan 38° U, dan bujur 7° dan 12° T.

Republik Tunisia yang dalam Bahasa Arab disebut dengan (‫" )الجمهرية التونسية‬Al-

Jumhuriyyah at-Tunisiyyah atau Republic of Tunisia.2 Tunisia merupakan negra kecil

dan palin timur di wilayah Afrika Utara. Tunisia termasuk ke dalam kepulauan
1
https://kemlu.go.id/tunis/id/read/profil-negara-republik-tunisia ,diakses pada Kamis, 2 maret
2023.
2
Ali Trigiyatno, "Poligami di Tunisia :StudiAlasanPelaranganPoligami", JurnalHikmatuna, Vol.
3, Hlm. 43.
Karkunna/Karkuana (dibaca : Kerkennah) di bagian timur dan kepulauan Djerba di

bagian tenggara.3 Negara Tunisia di bagian barat berbatasan dengan negara Aljazair,

bagian utara dan timur berbetasan dengan laut Mediterania, dan bagian selatan serta

tenggara berbatasan dengan negara Libya.4

Undang-Undang Dasar Tunisia disahkan pada tanggal 1 Juni 1959, yang secara

tegas dalam pasal 1 menyebutkan bahwa Tunisia adalah Negara yang berdasarkan

agama Islam. Bahkan, dalam pasal 38 dinyatakan bahwa Presiden Republik Tunisia

haruslah seorang muslim.5

Tunisia awalnya merupakan bagian wilayah otonom dari kekuasaan pemerintahan

Turki Utsmani sejak tahun 1574 atau sekitar ±300 tahun lamanya. 6Sehingga, Tunisia

pada awalnya menganut mazhab Hanafi, namun saat ini tergantikan dengan mazhab

Maliki yang memiliki pengaruh lebih dominan, walaupun masih ada beberapa yang

tetap menganut mazhab Hanafi akibat pengaruh dari pemerintahan Turki Ustmani

sebelumnya.

Pada akhir abad ke-18 Tunisia mengalami fase kemunduran, yang dimulai sejak

tahun 1784 sampai 1820. Fase kemunduran terjadi diakibatkan Tunisia mengalami

gagal panen yang cukup besar dan disertai dengan adanya wabah penyakit yang

tersebar. Sehingga, hal tersebut menyebabkan bangsa Eropa mengalihkan

perdagangan ke wilayah Laut Tengah yang mengakibatkan terjadinya kemerosotan

3
Komarudin, “Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern di Dunia Islam”), Jurnal Kordinat, Vol.XVIII, Hlm. 204.
4
Ratih Lusiana Bancin, “Hukum Keluarga di Tunisia”, Jurnal Penelitian Medan Agama, Vol.9,
Hlm.285.
5
Abdullahi A. An-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book
(London: Zed Books Ltd., 2002), hlm. 182
6
Abdullah A. an-Naim, "Islamic Family Law in a Changing World: A Global Research Book",
(London: Zed Books Ltd., 2003) Hlm. 182.
perekonomian di Tunisia.7 Akibat dari situasi tersebut, akhirnya mengantarkan

Tunisia menjadi ketergantungan terhadap bangsa Eropa, dan berdampak Tunisia

menjadi bagian dari negara persemakmuran (protectorate) dari negara Perancis

melalui perjanjian La Marsa dan Tunisia pun menjadi wilayah yang berada di bawah

kekuasaan negara Perancis pada tahun 1881 sampai 1956 (±75 tahun).8 Adanya

keterlibatan atau campur tangan dari negara Perancis terhadap pemerintahan Tunisia

membawa pengaruh atau dampak yang cukup positif terhadap kemajuan Tunisia di

bidang sosial dan pendidikan.

Di tahun 1907, rakyat Tunisia mulai memperjuangkan kemerdekaan bagi

negaranya. Perjuangan tersebut berlangsung hingga 20 Maret 1956 yang dimana

rakyat Tunisia berhasil mendapatkan kemerdekaan bagi negaranya. Perancis pun

mengakui kemerdekaan dari Negara Tunisia. Bentuk negara Tunisia adalah Republik

dan sistem pemerintahan Unity Semi-Presidensial, dengan presiden sebagai kepala

negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Presiden pertama Tunisia

setelah merdeka bernama Habib Bourguiba. Habib Bourguiba merupakan seorang

sarjana hukum lulusan Perancis, yang kemudian diangkat sebagai presiden pertama di

Tunisia. Bourguiba mengeluarkan aturan-aturan yang bersifat kontroversi mengenai

beberapa aturan terkait dengan bidang hukum keluarga atau undang-undang Tunisia

"The Code Of Personal Status Tunisia" atau "Majallat Al-Akhwal Syakshiyyah".

Akibat beberapa aturan yang dikeluarkan secara kontroversial, Bouguiba dikenal

sebagai presiden yang menganut paham ideologi sekuler dan ia berusaha menerapkan

proyek sekulerisasi di negara Tunisia. Salah satu keinginan atau impian besar yang

7
Ira M. Lapidus, "Sejarah Sosial Umat Islam", (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) Hlm.
609.
8
Hamka, "Sejarah Umat Islam", (Singapura: Kyodo Printing Co, 1994) Hlm. 330.
ingin diwujudkan yaitu unifikasi peradilan dan menyusun hukum keluarga modern.

Tunisia menerapkan sistem pemerintahan hukum Islam dan hukum perdata perancis.

Undang-Undang Dasar Tunisia disahkan pada 1 Juni 1959. Di dalam Pasal 1 Undang-

Undang tersebut menyatakan bahwa Tunisia sebagai negara Islam atau negara yang

berdasarkan Agama Islam dan di Pasal 38 menyatakan bahwa presiden Tunisia harus

seorang muslim.9

Di bawah pimpinan Bourguiba, pemerintah Tunisia mengadakan reformasi

terhadap sistem hukum yang berlaku. Meskipun Bourguiba tumbuh dalam sistem

negara Perancis, namun reformasi yang dilakukan tidak sepenuhnya sekuler. Sebab

usahanya untuk memerdekakan Tunisia, dan melakukan reformasi di bidang hukum

keluarga sehingga terciptanya "The Code ofPersonal Status Tunisia" atau "Majallat

Al-Akhwal Syakshiyyah" yang berlaku secara umum. Sehingga, Habib Bourguiba

dianggap sebagai "The Father of Tunisia". 10

Bourguiba yang mengadopsi ide-ide modernis tentang kesetaraan gender secara

total sebagai langkah kemajuan bagi Tunisia dalam menghadapi perkembangan

zaman, sebab Bourguiba mengakui bahwa konsep fikih klasik dianggap tidak relevan

lagi dengan zaman sekarang, sehingga perlu dikaji lebih mendalam lagi. Atau lebih

tepatnya, Bourguiba terinspirasi dari gagasan-gagasan Tahar Haddad melalui buku

kontroversialnya yang berjudul "Imroatuna fi Ash-Shari'ah wa Al-Mujtama"

(Perempuan Kita dalam Syariat dan Masyarakat).

B. Sejarah Pembaharuan Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia

9
Abdullah A. an-Naim, “Islamic Family Law in a Changing World..., (London: Zed Books Ltd.,
2003) Hlm. 182.
10
Khoiruddin Nasution, dkk., "Hukum Perkawinan dan Warisan ...., Hlm. 47.
Di tunisia Asas konkordasi hukum bagi negara yang dijajah adalah hukum negara

yang menjajah(Perancis) berlaku bagi negara yang dijajah (Tunisia), karena sejak tahun

1881, Tunisia berada di bawah kekuasaan Perancis. Selama periode tersebut berlaku

Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, dan Hukum Acara negara Perancis

bagi negara Tunisia.11

Pada 20 Maret 1956, negara Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah itu pemerintah

Tunisia memberlakukan undang-undang hukum keluarga yang dinamakan dengan

"Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah" atau "Code of Personal Status Tunisia" tahun

1956.12

Sejarah lahirnya kodifikasi dan reformasi hukum keluarga Tunisia tersebut

berawal dari adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukum (jurist) di Tunisia yang

mempunyai gagasan bahwa dengan adanya rekonsiliasi antara Mazhab Maliki dan

Mazhab Hanafi, maka sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat

dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan di

Tunisia. Para ahli hukum (jurist) Tunisia kemudian mengajukan catatan perbandingan

antara dua sistem hukum Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki yang kemudian

dipublikasikan dengan judul "La'ikhat Al-Ahkam Ash- Shar'iyyah" (Draft Undang-

Undang Hukum Islam).13 Proses penyusunan hukum keluarga tersebut diawali dengan

adanya pembentukan komite yang diketuai oleh Shaikh Muhammad Aziz Ju'ait, ulama

terkemuka sekaligus mantan Menteri Kehakiman pada masa pra-kemerdekaan Tunisia.

Tepatnya tahun 1948, Shaikh Ju'ait menyusun "La'ikhat Al-Ahkam Ash- Shar'iyyah",

11
Anis Hidayatul I, "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia (Menuju Konsep Syariah
Modern Abdullah Ahmad An-Na'im)", Jurnal Lentera, Hlm. 106.
12
Komarudin, "Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern....", Hlm. 204.
13
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....", Hlm. 286.
yaitu semacam kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari 2464 pasal, sekitar 800 pasal di

antaranya terkait dengan bidang hukum keluarga. Aturan tersebut mendapat pertentangan

dari kolonial Perancis sehingga tidak dapat diundangkan secara resmi, sehingga

"La'ikhat Al-Ahkam Ash- Shar'iyyah" dianggap sebagai bakal dari terbentuknya hukum

keluarga di Tunisia.14 Ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh tim perumus draft ini,

yaitu "La'ikhat Al-Ahkam Ash-Shar'iyyah", Undang-Undang Keluarga di beberapa

Negara Muslim (seperti Mesir, Suriah dan Iran), dan Undang-Undang Hukum Keluarga

Perancis. Tim perumus draft tidak hanya mengadopsi hukum-hukum Fiqh dari pandangan

Mazhab Maliki saja, tetapi juga mengutip dari pandangan mazhab lain termasuk Mazhab

Ja'fari.15 Pada 13 Agustus 1956 draft tersebut kemudian diajukan ke pemerintah dan

diundangkan secara resmi dengan nama "Code of Personal Status Tunisia" atau

"Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah", yang terdiri dari 213 pasal dan terbagi menjadi 12

bab yaitu16 :

 Buku I mengatur tentang Perkawinan (Pasal 10-28);

 Buku II mengatur tentang Perceraian (Pasal 29-33);

 Buku III mengatur tentang Masa ’Iddah Istri (Pasal 34-36);

 Buku IV mengatur tentang Nafkah (Pasal 37-53A);

 Buku V mengatur tentang Perwalian Anak (Pasal 54-67);

 Buku VI mengatur tentang Kepemimpinan Keluarga (Pasal 68-76);

 Buku VII mengatur tentang Anak Angkat (Pasal 77-80);

 Buku VIII mengatur tentang Orang Hilang (Pasal 81-84);

14
Ibid, Hlm. 286-287
15
Ibid
16
Tahir Mahmood, "Statutes of Personal Law in Islamic Countries",(New Delhi: 1995), Hlm. 43-
44
 Buku IX mengatur tentang Waris (Pasal 85-152);

 Buku X berisi tentang Legal Capacity& Disability (Pasal 153-170);

 Buku XI mengatur tentang Wasiat (Pasal 171-199);

 Buku XII mengatur tentang Wakaf (Pasal 200-213).

Masyarakat diwajibkan mentaati 213 pasal-pasal yang ada didalamnya. Aturan

hukum keluarga ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin saja, akan tetapi juga

berlaku untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan agama.17

“Code of Personal Status Tunisia” atau "Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah"

secara resmi diberlakukan di Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun dalam

perkembangannya, undang-undang "Code of Personal Status Tunisia" (CPST) tersebut

mengalami kodifikasi dan perubahan (amandemen) beberapa kali, yaitu melalui:18

 Undang-Undang Nomor 70 Tahun 1958 mengenai Pasal 18 tentang poligami.

 Undang-undang Nomor 77 Tahun 1959 mengenai penambahan Pasal 143 A tentang

prinsip-prinsip Radd ke dalam buku IX (waris) dan buku XI (wasiat).

 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1966 mengenai Pasal 57, 64, 67 tentang

Hadhanah.

 Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1993 mengenai perkawinan anak dibawah umur,

kewajiban bersama suami-istri dan kekerasan dalam rumah tangga.

 Revisi Pasal 5 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 mengenai batas usia

pernikahan bagi laki-laki dan perempuan minimal berusia 18 tahun.

Aturan ini mengalami beberapa perubahan dan penambahan yang disertai dengan

ketentuan-ketentuan baru. Ada beberapa pasal baru di luar isi draft yang disusun oleh

17
Abdullah Ahmad an-Nai’m, "Islamic Family Law in A Changing World... Hlm.182.
18
Tahir Mahmood, "Personal Law in Islamic Countries", (New Delhi: Times Press, 1987),
Hlm.152-153.
perumus walaupun sebagian pasalnya dianggap bertentangan dengan syariat Islam,

seperti penghapusan hak ijbar, batas minimal usia pernikahan, kewajiban istri memberi

nafkah dalam keluarga, prosedur talaq, dan pelarangan poligami.19

Di dalam beberapa pasal tambahan tersebut, Bourguiba mengadopsi atau

mengutip ide-ide kaum modernis mengenai persamaan kedudukan hak antara perempuan

dengan laki-laki (kesetaraan gender) secara total. Pemikiran modern tersebut, diajukan

oleh Tahir Haddad melalui bukunya yang cukup kontroversial berjudul "Imroatuna fi

Ash-Shari'ah wa Al-Mujtama" (Perempuan Kita dalam Syariat dan Masyarakat). Jika

dipahami lebih mendalam, isi pasal yang terdapat di dalam "Code of Personal Status

Tunisia” atau “Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah" dominan menganut pemikiran dari

Tahir Haddad.20

Proses penyusunan "Code of Personal Status Tunisia” atau “Majallat al-Ahwal

al-Syakhshiyyah" terkesan terburu-buru hingga membuat aturat tersebut sulit untuk

dilepaskan dari unsur politik yaitu tekanan yang diberikan oleh pemerintah Perancis agar

Bourguiba segera mengundangkan hukum keluarga modern, sebagai pengganti dari

"La'ikhat Al-Ahkam Ash- Shar'iyyah" yang dinilai bersifat kuno atau tradisional. 21

Bourguiba mengatakan membangun negara modern itu sangat penting, dengan adanya

kesadaran masyarakat dalam reformasi di bidang pendidikan, agama, dan status

perempuan. Isu kesetaraan gender merupakan salah satu latar belakang Bourguiba

memberlakukan hukum keluarga Tunisia yang dikenal dengan “Code of Personal Status

Tunisia” atau "Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah".

19
Utang Ranuwijaya dan Ade Husna, Jurnal Kajian Keislaman, Vol. 3 , Hlm. 4.
20
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ...”, Hlm.287.
21
Ibid, Hlm. 288
“Code of Personal Status Tunisia” atau "Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah"

dapat dikatakan sebagai salah satu hukum keluarga paling progresif di negara Islam pada

saat itu, sebab mengingat sejumlah pasalnya dinilai oleh sebagian pihak bertentangan

dengan konsep fiqih, bahkan dengan teks Al-Qur’an dan Hadits sekalipun. Tidak

mengherankan jika “Code of Personal Status Tunisia” sangat menimbulkan pro-

kontra.22 Pemerintah Tunisia berusaha meyakinkan publik bahwa CPST benar-benar

merupakan hasil Ijtihad pemerintah yang masih berada dalam bingkai syari’ah.

Dalam sebuah pidato kenegaraan, Habib Borguiba menegaskan bahwa CPST itu :

“Lam yukhalif ayatan sarihatan min ayat al-kitab al-majid, wa innama yahtarimu ruh

ayat karimah wa sayyiruha.” (“CPST tidak bertentangan denga satu ayat pun dari Al-

Qur’an, bahkan ia menghormati ruh/ spirit ayat-ayat itu, serta menerapkannya”). 23 Ahmad

Mestiri, menteri Kehakiman Tunisia saat itu mengeluarkan edaran yang berbunyi:

“Produk hukum ini diterima oleh semua pihak, dipuji oleh para ulama, dan dinilai sesuai

dengan kebutuhan zaman. Hal ini karena kita mendasarkan produk hukum ini pada

syari’ah melalui berbagai sumbernya, tanpa keterkaitan pada madzhab fiqih tertentu,

atau pemikiran ulama tertentu”24.

Aturan tersebut hanya berlaku selama 6 bulan pasca kemerdekaan negara Tunisia

dan dipandang sebagai langkah penting untuk membuka jalan modernisasi. Melalui

undang-undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) Bourguiba melarang poligami,

pernikahan paksa, menetapkan hak cerai yang sama bagi suami dan istri, penghapusan

hak ijbar,dan kewajiban istri memberi nafkah dalam keluarga. Modernisasi yang

22
Lutfi Haji, “Borguiba Wa al-Islam”, (Tunis: Dar al-Janub, 2004), Hlm. 18.
23
Muhamad Ridha al-Ajhouri, “Al-Khalfiyah Al-Islamiyah Li Majallat Al-Akhwal Asy-
Syakhsiyyah”, (Tunis: Dar al_ma’ali Tunis, 2012), Hlm. 57.
24
Hamid al-Junduli, “Qanun Al-Akhwal As-Shakhshiyyah”, (Tunis: Majma’ At-Taurathy, 2011),
Hlm. 9.
dilakukan Bourguiba bukan bertujuan untuk mengubah peraturan mengenai halal dan

haram tetapi lebih ditujukan untuk kehidupan sosial kontemporer negara Tunisia itu

sendiri dan agar dapat memenuhi hak-hak perempuan.

C. Tujuan Pembaharuan di Tunisia

1. Batas usia pernikahan


a) Supaya menghindari terjadinya kemudharatan atau permasalahnan dalam
pernikahannya.
b) Agar mempersiapkan kondisi yang lebih matang “dewasa” dalam menjalani suatu
pernikahan.
c) Kalangan Bagi perempuan, agara lebih mempersiapkan untuk mengandung serta
melahirkan.
2. perjanjian pernikahan
a) Untuk mengikat hak serta kewajiban antara suami dan istri.
b) Untuk mencegah suami-istri melakukan perbuatan yang menyimpang selama
hidup berumah tangga.
3. percatatan pernikahan
a) Untuk melindungi pasangan suami-istri serta menjamin hak-haknya.
b) Untuk mewujudkan ketertiban pernikahan dalam masyarakat dan upaya tertib
administrasi.
c) Untuk mempermudah pihak-pihak terkait dalam upaya pengawasan dan
pelaksanaan undang-undang.
4. kewajiban nafkah
a) Untuk menciptakan konsep mitra atau sejajarnya kedudukan laki-laki maupun
perempuan.
b) Untuk mendorong perempuan di Tunisia agar menjadi wanita karier.
5. penghapusan hak wali mujbir
a) Untuk membebaskan perempuan di Tunisia dalam memilih sendiri pasangan
hidupnya.
b) Untuk menciptakan pernikahan yang dilandasi cinta dan kasih sayang, tanpa
adanya paksaan atau intervensi dari orang lain.
6. larangan poligami
a) Untuk kemaslahatan terhadap masyarakat.
b) Untuk menghindari penyengsaraan perempuan dan anak-anak agar terwujudnya
pernikahan yang Sakinah. Mawaddah, wa Rahmah.
c) Untuk mengangkat harkat dan derajat perempuan di Tunisia.
7. pernikahan fasid ( tidak sah )
a) untuk menjaga ketertiban admistrasi pernikahan dan untuk menghindari oknum
8. Perceraian dengan persetujuan kedua belah pihak dan di depan pengadilan
a) Untuk memastikan proses perceraian (talaq) yang terjadi sesuai dengan tujuan
dari maqashid syariah.
b) Untuk memelihara terlaksananya hukum-hukum syariah.
c) Untuk memastikan bahwa alasan adanya perceraian (talaq) yang dibenarkan oleh
hukum.
9. larangan rujuk
a) Untuk memberantas praktik pernikahan rekayasa (muhallil) di negara Tunisia.
10. Pemeliharaan dan Hak Asuh Anak (Hadhanah)
a) Untuk mengatur tanggung jawab anak yang berhubungan dengan pendidikan, kehidupan,
dan pertumbuhan anak setelah orang tuanya berpisah (bercerai) bahkan meninggal dunia.
11. Wasiat berbeda agama dan kewarganegaraan
a) Wasiat wajibah diberikan kepada ahli waris yang berbeda agama, dikarenakan untuk
menciptakan rasa adil agar tidak ada pertentangan di dalam keluarga, meskipun secara
agama hal tersebut tidak dibenarkan.
12. Wasiat Wajibah
a) Wasiat wajibah diberikan 1/3, dikarenakan agar ahli waris garis lurus mendapatkan
bagian haknya.
13. Pengangkatan Anak ( Adopsi )
a) Untuk melindungi hak-hak seorang anak dan upaya untuk memperhatikan masa
depan seorang anak.
D. Metode Pembaharuan Keluarga Islam Di Tunisa

Aturan Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat

al-Ahwal al-Syakhshiyyah hanya berlaku 6 bulan pasca kemerdekaan Tunisia dan


dianggap sebagai salah satu langkah penting untuk jalan modernisasi. Melalui Undang-

Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-

Syakhshiyyah tersebut Habib Bourguiba melarang adanya poligami, pernikahanpaksa,

menetapkanhakcerai yang samabagisuami dan istri, penghapusan hak ijbar, serta

kewajiban istri memberi nafkah dalam keluarga. Bourguiba mengatakan modernisasi

Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-

Syakhshiyyah tersebut bukan bertujuan mengubah peraturan tentang suatu hal yang

dianggap halal dan haram tapi lebih ditujukan untuk kehidupan social kontemporer

Tunisia dan memenuhi hak-hak perempuan.25

Berdasarkan historisitasnya dapat dilihat bahwa upaya pemerintah Tunisia untuk

memperbaharui hukum keluarga ini memiliki beberapa tujuan, antara lain yang paling

disuarakan adalah untuk menghadapi perkembangan zaman, karena konsep fiqhk lasik

dianggap tidak lagi relevan sehingga membutuhkan kajian yang lebih sesuai dengan

zaman sekarang, selainitu juga untuk meningkatkan status wanita dengan alasan

kesetaraan gender.26

Reformasi hukum yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam persoalan-persoalan

hukum keluarga tidaklah bermaksud melakukan penyimpangan dan meninggalkan

prinsip-prinsip hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah untuk

menjamin kesejahteraan, kedamaian, kesetaraan gender, dan kemashlahatan bangsa dan

rakyat Tunisia itu sendiri. Meski tidak sedikit kalangan yang menilainya justru menjadi

boomerang bagi kehidupan berkeluarga Islami. Beberapa permasalahan dalam Undang-

Undang CPST(Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-

25
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan…,” Hlm. 7
26
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....", Hlm.296-297.
Syakhshiyyah yang menimbulkan kontroversi. Dengan adanya pembaharuan hukum

keluarga Tunisia, hal ini menunjukkan bahwa tujuan pembaharuan hukum keluarga

tersebut untuk menciptakan masyarakat yang modern.27

Jika dilihat dariteori Tahir Mahmood tentang empat pola reformasi dalam hukum

keluarga Islam di dunia muslim modern, yaitu :

 Intra Doctrinal Reform

 Extra Doctrinal Reform

 Regulatory Reform

 Codification

Dari keempat kategori metode tersebut, Tunisia melakukan reformasi hukum

Islamnya dalam semua empat ini yang ada.28

 Pertama, Tunisia melakukan intra-doctrinal reform, hal ini terlihat dalam

perumusanya berbasis pada madzhab Maliki dan Hanafi. Seperti, wasiat wajibah

hanya berlaku untuk cucu (genera sipertama) dan tidak berlaku untuk cucu yang

derajatnya lebih rendah,hal ini diambil dari dua pendapat mazhab fiqih yakni

mazhab Maliki dan mazhab Hanafi.29

 Kedua, Tunisia juga melakukan extra-doctrinal reform, dalam undang-undangnya

diatur tentang hal-hal yang tidak ada rujukannya dalam mazhab-mazhab Sunni,

seperti pelarangan praktik poligami.

 Ketiga, Tunisia juga melakukan regulatory reform berupa amandemen dan

modifikasi undang-undang.

27
Ibid, Hlm.306-308
28
Lathifah Munawarah, “Politik Hukum Keluarga…,.”, Hlm. 91.
29
Fatum Abubakar, “WasiatUntuk Ahli Waris (StudiKomparatif Tunisia, Syria, Mesir Dan
Indonesia)", Jurnal Studia Islamika, Vol.8, Hlm. 260.
 Keempat, Tunisia juga melakukan codification hal ini terlihat dari upaya kodifikasi

hukum Islam pada Majallah fil Ahwal al-Syakhsiyyah lilJumhuriyyah al-Tunisiyyah.

E. Bentuk Pembaharuan Hukum keluarga Islam di Tunisia

1) Pernikahan

a) Usia Minimal Pernikahan

Pemerintah Tunisia telah menetapkan batas usia menikah melalui undang-

undang, calon pengantin baik laki-laki maupun perempuandiperbolehkan untuk

menikah apabila telah mencapai usia yang telah ditetapkan dalam undang-

undangyaitu 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang telah merubah isi

pasal 5 Undang-Undang Tunisia CPST (Code of Personal Status Tunisia)atau

Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah tahun 1956. Sebelum diamandemen, batas

minimal usia menikah di Tunisia adalah 20 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun

bagi perempuan. Bagi perempuan yang belum genap berusia 17 tahun, maka

harus mendapat izin dari wali untuk menikah. Namun, Jika wali tidak

memberikan izin maka perkara tersebut diserahkan atau diputuskan

dipengadilan.30

Penetapan batas usia menikah yang masing-masing 20 tahun bagi laki-laki

dan 17 tahun bagi perempuan telah dinyatakan dalam pasal 5 MAS (Majallat

al-Ahwal al-Syakhshiyyah) bahwa :

Pasa l5 :“Setiap laki-laki yang belum berusia 20 tahun, dan perempuan yang
belum berusia 17 tahun, tidak dapat melangsungkan pernikahan. Pernikahan
di bawah usia tersebut dapat saja dilakukan, jika ada izin khusus dari

30
Muhammad Amin Summa, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), Hlm. 54.
mahkamah. Izin yang dimaksud hanya diberikan karena sebab-sebab tertentu
dan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua mempelai.”31
Pada tahun 2007, Pemerintah Tunisia mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2007 sebagai revisi atas pasal 5 MAS (Majallat al-Ahwal al-

Syakhshiyyah)ini, yang menyatakan bahwa batas minimal usia pernikahan

adalah 18 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.32

Dalam kasus-kasus tertentu, pernikahan di bawah usia ini dapat saja


dilangsungkan, dengan syarat telah mendapatkan putusan atau persetujuan dari
hakim yang berwenang di Pengadilan. Artinya, hakim dapat mengabulkan
permohonan dari kedua mempelai yang masih di bawah batas usia yang telah
ditentukan jika ada alasan yang mendesak dan karena pertimbangan
kemaslahatan. Pasal 6 MAS (Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah) menyebutkan
bahwa:
Pasa l6 :“Pernikahan di bawah umur terjadi atas persetujuan ayah dan
ibunya. Jika ayah ibunya tetap tidak setuju, sedangkan anaknya tetap ingin
menikah, maka urusan ini dapat diputuskan oleh pengadilan. Izin kebolehan
pernikahan yang dikeluarkan oleh pengadilan tidak dapat diganggu gugat.”
Pasal ini terinspirasi dari pendapat Tahir Hadad yang menolak adanya

pernikahan di bawah umur. Tahir Hadad berpendapat bahwa “Para orang tua

harus menuggu anak gadisnya hingga dewasa, saat ia mampu menggunakan

haknya untuk memilih secara bebas. Hal ini akan menghindari terjadinya

kemudharatan dalam perkawinannya kelak, karena ia dalam kondisi lebih

matang, lebih sehat dan secara lebih siap untuk mengandung dan melahirkan

anak.”33
31
Sasi Ben Halimah, “Mudharat Fi Qanun Al-Akhwal As-Shakhsiyyah”, (Tunis: Markaz An-Nathr
Al-Jami’i, 2004), Hlm. 16
32
Lathifah Munawarah, “Politik Hukum Keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 12, Hlm.
79-80.
33
Tahir Hadad, “Imroatuna Fi Ash-Shari’ah Wa Al-Mujtama’”,(Tunis: Dar Muhammad Ali Li
An-Nashr Sfax, 1930), Hlm. 56.
Permasalahan batas usia menikah memang tidak secara tegas dibahas oleh

para ulama klasik. Jumhur ulama sendiri tidak pernah memberikan syarat “aqil

baligh” bagi kedua mempelai yang hendak melangsungkan pernikahan, dan

justru membolehkan adanya pernikahan di bawah umur. Batas usia menikah

yang diterapkan oleh para perumus CPST(Code of Personal Status Tunisia)

atau MAS (Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah)ini dapat dipahami sebagai

sebuah upaya mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Sebuah ikatan

perkawinan pada dasarnya akan menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal

balik antara suami dan istri. Adanya hak dan kewajiban ini mengindikasikan

bahwa seharusnya pelaku dari pernikahan tersebut haruslah orang yang sudah

dewasa. Batas seseorang dikatakan“dewasa” ini bersifat relatif, sangat

dipengaruhi dari lingkungan sekitar, kebudayaan, tingkat kecerdasan suatu

komunitas dan beberapa faktor pendukung lainnya.34

Sehingga, dapat dikatakan bahwa penetapan batas usia menikah ini

merupakan sebuah ijtihad yang kontekstual dan sejalan dengan tuntutan zaman

di tengah masyarakat Muslim Tunisia saat itu yang berpegang teguh pada teks-

teks kitab fiqih klasik.

b) Perjanjian Pernikahan (Pra-Pernikahan)

Pembahasan perjanjian pernikahan yang biasa dikenal dengan istilah

perjanjian pra-nikah (perjanjian yang dilakukan sebelum terjadinya pernikahan),

dapat ditemukan pembahasannya di dalam mazhab-mazhab fiqih. Di dalam

mazhab Hanafi, perjanjian pernikahan dapat dilakukan dan menjadi sah jika

34
Muhamad Mustafa Shalbi, “Ahkam Al-Usroh Fi Al-Islam”, (Beirut: Dar al-Jami’ah, 1983),
Hlm.144.
perjanjian tersebut adalah perjanjian yang sesuai dengan hakikat dari suatu

pernikahan. Misalnya, seorang istri yang mengajukan syarat supaya nanti

didalam kehidupan rumah tangganya atau tempat tinggalnya sendiri tidak

bersama keluarga suami, atau tidak tinggal bersama istrinya yang lain (dalam

pernikahan poligami), perjanjian semacam ini sah-sah saja, dalam artian

dibolehkan mengadakan perjanjian seperti ini. Namun, jika perjanjian tersebut

adalah perjanjian yang bertentangan dengan hakikat pernikahan atau perjanjian

yang bertentangan dengan syariat, misalnya istri mengajukan syarat supaya

suami dan istri tidak berkumpul selama beberapa waktu, maka syarat(perjanjian

pernikahan) tersebut tidak sah, namun status akad pernikahannya tetap sah.35

Adapun di dalam mazhab Maliki secara umum sama seperti halnya

mazhab Hanafi, namun ada tambahan berupa pembagian syarat sah menjadi

dua, yaitu: syarat yang tidak makruh dan yang makruh. Dalam pendapat

mazhab Maliki, syarat (perjanjian pernikahan) yang tidak bertentangan dengan

hakikat pernikahan maka syarat tersebut sah, sedangkan syarat (perjanjian

pernikahan) yang tidak sesuai dengan hakikat pernikahan atau bertentangan

dengan syariat, maka syarat tersebut tidak berlaku, tetapi akad nikahnya tetap

sah.36

Perjanjian pernikahan di negara Tunisia ada undang-undang hukumnya,

yaitu diatur di dalam Pasal 11 CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau

MAS (Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah)tahun 1956. Di dalam undang

undang tersebut terdapat peluang khiyarsyarat dalam pernikahan. Artinya,

35
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu”, Hlm.6540-6541.
36
Ibid, Hlm. 6541-6542.
jikaadaisiperjanjian yang dilanggar, makapihak yang dirugikanatas pelanggaran

perjanjian tersebut dapat megajukan tuntutan pembubaran

pernikahan.37Misalnya, pada Pasal 11 Undang-Undang CPST(Code of Personal

Status Tunisia) atau MAS (Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah) tahun 1956,

diatur tentang isi perjanjian pernikahan yang memuat tentang kekerasan, jika

salah satu pihak (baik pihak suami atau istri) melakukan kekerasan maka pihak

yang lain bisa mengajukan pembubaran pernikahan. Namun, pembubaran

pernikahan ini tidak menimbulkan hak untuk ganti rugi, jika belum

sempurnanya pernikahan (sebelum terjadi hubungan seksual/qabla dukhul).38

Berbedadenganfiqih, perjanjian pernikahan bukan menjadi bagian krusial

pada pernikahan.Fiqihlebih mempertimbangkan persyaratan dalam pernikahan.

Perjanjian merupakan bagian terpisah dari akad pernikahan. Oleh karenaitu, jika

perjanjian pernikahan terabaikan makahal tersebut tidak membatalkan

pernikahan.Namun demikian kedua belah pihak wajib menepati janji-janji

pernikahan walau punjanji-janji tersebut tidak dituliskan dan disertakan dalam

akad. Kealpaan salah satu pihak dapat mengakibatkan tuntutan perceraian.39

c) PencatatanPernikahan

Pencatatan dalamhukumkeluarga Tunisia diatur dalamUndang-Undang

CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-

SyakhshiyyahPasal 4 No. 40 Tahun 1957 yang telahdiperbarui pada tahun 1962,

1964, 1966, dan 1981 disebutkanbahwa:

37
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga...,” Hlm. 289
38
Tahir Mahmood, “Family Law Reform in The Muslim World,”, Hlm.108
39
Muhammad Shahrur, “Metodologi Fiqh Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004).
Pasal 4 No. 40 :"Pernikahan seharusnya dibuktikan dengan catatan resmi.
Pernikahan yang dilakukan di luar pengadilan seharusnya dibuktikan
dengan cara yang berlaku di Tunisia, yakni sesuai dengan peraturan tentang
akad pernikahan.” 40
Hukum keluarga Tunisia menetapkan, pernikahan hanya dapat dibuktikan

dengan catatan resmi dari pemerintah(official document),sesuaidenganUndang-

Undang Tunisia tersebut.

Dalam pandangannya Khoiruddin Nasution menyatakan, bahwa aturan

pencatatan pernikahan dalam hukum keluarga Islam setidaknya menghasilkan

tiga variasi aturan pencatatanpernikahan, yaitu : Pertama, negara yang

menetapkan pencatatan pernikahan sebagai suatu keharusan, sementara

bagipihak yang melanggar dapat dihukum, atau pernikahannya tidak

mempunyai kekuatan hukum; Kedua, negara yang menjadikan pencatatan

pernikahan sebagai syarat administrasi, tetapi tidak menegaskan status dan

akibat hukum pernikahan yang tidak dicatatkan; Ketiga, meskipun

mengharuskan pencatatan pernikahan tetapi masih mengakui pernikahan yang

tidak dicatatkan.41

Sedangkan Tahir Mahmood memetakan aturan pencatatan pernikahan

dalam hukum keluarga di dunia Islam menjadi duakelompok, yaitu: Pertama,

pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan catatanresmi; Kedua, masih

mengakui pernikahan meskipun tidak dicatatkan. Apabila aturan pencatatan

pernikahan dalam hukum keluarga di Tunisia didasarkan pada teori

KhoiruddinNasution, maka negara Tunisia, dapat dimasukkan pada kelompok

40
Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, op.cit.,Hlm. 240
41
KhoiruddinNasution “Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim…”,Hlm. 158
ketiga, bahwa pencatatan merupakan keharusan, tapi masih mengakui adanya

pernikahan yang tidak dicatatkan.42

Terlihat juga betapa pentingnya untuk mencatatkan pernikahan yang bukan

hanya sekedar formalitas belaka. Selain berfungsi sebagai tertib administrasi

dan perlindungan hukum bagi warga Negara, adanya asas legalitas ini juga

mempermudah pihak-pihakt erkait dalam melakukan pengawasan dalam

pelaksanaan undang-undang.43

d) Kewajiban Nafkah

Salah satu yang menjadi tujuan dari terbentuknya CPST (Code of Personal

Status Tunisia) atau MAS (Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah) adalah adanya

konsep mitra atau sejajarnya kedudukan antara laki-laki dengan perempuan.

Salah satu produk pembaharuan konkretnya adalah penetapan bahwa nafkah

bukan hanya kewajiban suami selaku kepala rumah tangga, melainkan juga

menjadi tugas istri. Di dalam pasal 12 CPST (Code of Personal Status Tunisia)

atau MAS (Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah) bahwa :

Pasal12 :“Istri harus berpartisipasi dalam menafkahi keluarga, jika ia

memiliki harta.”44

Keharusan istri berpartisipasi dalam menafkahi keluarganya sebagaimana

yang dimaksud dalam pasal tersebut, bukanlah merupakan kewajiban total yang

meniadakan peran suami selaku pencari nafkah utama.45

42
LilikAndaryani,“Relasi Gender Dalam Pembaruan Hukum…” Hlm. 262
43
Muhammad Amin Suma, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, (Jakarta: RajawaliGrafindo,
2005), Hlm.188
44
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan Hukum
Keluarga di Tunisia”, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol.07, Hlm. 10-11
45
38 UU No 74 tahun 1993 dan Keputusan Hakim di Pengadlan Negeri Kota Tunis tanggal 19
Februari 2009.
Meskipun demikian, pasal tesebut tetap merupakan sebuah langkah maju

di tengah masyarakat Tunisia saat itu yang memahami kaum perempuan tidak

boleh beraktifitas di luar rumah, serta nafkah merupakan kewajiban suami

terhadap istri, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.46Hal ini

didasarkan pada sejumlah ayat Al-Qur’an, Ḥadits Nabi Muhammad Saw dan

ijma’ para ulama.47

Pasal tersebut dinilai sebagai upaya Bourguiba mendorong perempuan

untuk bekerja. Di Tunisia, kaum perempuan bebas bekerja di hampir

seluruhbidang kehidupan. Pada akhir tahun 2011, sebanyak 42% dokter di

Tunisia adalahwanita, 72% apoteker, 40% dosen, 29% hakim, 31% pengacara,

serta 43%wartawan.48

Di dalam Pasal 41 juga menyatakan bahwa istri diizinkan membelanjakan

harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan maksud untuk

dimintakan ganti rugi dari suami. Besarnya jumlah nafkah, tergantung pada

kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar hal ini diatur di

dalam Pasal 52. Hal yang menarik ialah, jika suami menghindar dari kewajiban

memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman

penjara 3-12 bulan dan dendaantara 100-1000 dinar Tunisia (setara dengan 400

ribu rupiah - 4 juta rupiah) yang tercantum di dalam Pasal 53 Undang-Undang

CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau MAS (Majallat al-Ahwal al-

Syakhshiyyah).49
46
Ibn Rushd, “Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtaṣid”, Hlm. 54.
47
Sayid Sābiq, “Fiqh Sunnah”, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2004), Hlm.585
48
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan Hukum...,”
Hlm. 11
49
AuliaRahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al Muqaranah,Vol. V,
Hlm.45.
e) Penghapusan Hak Ijbar

Hukum Keluarga Tunisia memberikan otoritas kepada para perempuan

untuk menentukan jodohnya sendiri. Ayah kandung tidak dibenarkan

melakukan pemaksaan kehendak (ijbār) terkait jodoh dan pernikahan anak

perempuannya, kecuali ada persetujuan sang anak perempuan terlebih dahulu.

Undang – Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau MAS

(Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah) Pasal 3 berbunyi :

Pasa l3 :“Pernikahan tak dapat terjadi kecuali berdasarkan persetujuan

kedua mempelai”.

Berdasarkan pasal tersebut, kelangsungan akad pernikahan sepenuhnya

ditentukan oleh persetujuan kedua calon mempelai, bukan oleh orangtua.

Persetujuan ini harus dinyatakan secara jelas, sungguh-sungguh, dan sepenuh

hati dari kedua mempelai.50 Dengan kata lain, keduanya memiliki kebebasan

penuh dalam menentukan pilihan apakah pernikahan akan dilangsungkan atau

tidak. Seorang perempuan dapat saja menolak calon suami yang dikehendaki

ayah kandungnya dan karena itu pernikahan tidak dapat terjadi. Singkatnya, hak

ijbar yang ditetapkan para ulama fiqih telah dihapus oleh pasal ini.51

Di antara argumentasi pasal tersebut adalah pendapat Tahir Haddad bahwa

seorang perempuan harus diberi kebebasan memilih jodohnya sendiri, tanpa

paksaan ayah kandungnya. Hal ini karena “Pernikahan itu didasarkan pada rasa

cinta dan kasih sayang yang dibangun antar individu. Oleh karena itu,

pernikahan harus lepas dari intervensi manusia lain. Benar bahwa seorang

50
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānūn Al-Akhwāl As-Shakhshiyyah”,Hlm.47
51
Ibid, Hlm.16
perempuan memiliki kemungkinan salah memilih, tetapi kemungkinan salah

memilih pun dapat terjadi pada seorang ayah kandung”.52

f) Larangan Poligami

Islam membolehkan poligami, tetapi oleh kaum perempuan, seiring

dengan meningkatnya kesadaran akan hak dan martabat statusnya, dipandang

sebagai suatu upaya eksploitasi kaum perempuan demi kebutuhan biologis

kaum laki-laki. Sementara bagi kaum laki-laki pada umumnya, poligami adalah

sesuatu yang legal dan telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw. Meskipun

Nabi Muhammad saw. mempraktikkannya, tetapi dalam perkembangannya,

beragam pendapatpun dikemukakan terkait poligami tersebut.53

Menurut Tahir Mahmood setidaknya ada enam bentuk kontrol terhadap

poligami, yaitu54:

1. Menekankan ketentuan berlaku adil sebagaimana ditetapkan di

dalam al-Qur'an.

2. Memberi hak kepada istri untuk menyertakan pernyataan anti

poligami dalam surat perjanjian pernikahan.

3. Harus memperoleh izin lembaga peradilan.

4. Hak menjelaskan dan mengontrol dari lembaga pernikahan kepada

pihak yang akan berpoligami.

5. Benar-benar melarang poligami, dan


52
Tahir Haddad, “Imroatuna Fi Ash- Sharī’ah...,” Hlm.56
53
Lilik Andaryani, “Relasi Gender Dalam Pembaruan Hukuk keluarga Muslim.”, Jurnal
Diskursus Islam, Vol.02, Hlm. 250
54
Tahir Mahmood, “Family Law in the Muslim...,”Hlm. 275-278
6. Memberikan sanksi pidana bagi pelanggar aturan poligami.

Poligami dalam hukum keluarga Tunisia dirumuskan dalam Undang-

Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-

Syakhshiyyah Pasal 18 No. 66 Tahun 1956 yang mengatakan bahwa55 :

Pasal18 :“Poligami itu dilarang. Setiap laki-laki yang menikah lagi, padahal ia
berstatus suami dari seorang istri dan belum bercerai dari istrinya tersebut,
maka ia mendapat sanksi penjara selama 1 tahun dan membayar denda sebesar
240 ribu milim/dinar Tunisia (setara dengan 1,2 Miliar Rupiah), atau salah
satu dari kedua sanksi itu”.
Berdasarkan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa dalam hukum keluarga

Tunisia, poligami termasuk perbuatan tindak pidana yang dapat diancam dengan

pidana, baik pidana kurungan, pidana denda maupun kombinasi pidana kurungan

dan pidana denda.56 Pernikahan poligami yang dimaksud dalam pasal tersebut

juga meliputi pernikahan tercatat dan yang tidak tercatat. Artinya, walaupun

pernikahan dengan istri kedua dilakukan tanpa pencatatan alias bawah tangan

(zawaj ‘urfi), hal tersebut tetap masuk ke dalam kategori poligami yang dilarang.57

Alasan negara Tunisia melarang praktik poligami ada dua yaitu; Pertama,

institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan, tetapi

dilarang setelah menjadi masyarakat berbudaya. Kedua, Surah An-Nisa ayat 3

menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh poligami jika dapat

berlaku adil terhadap istri-istrinya.58

55
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan ...,”,Hlm. 5.
56
Lilik Andaryani, “Relasi Gender...,.”, Hlm. 251
57
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānū...,” Hlm. 67.
58
Ibid,
Namun, fakta sejarah membuktikan hanya Nabi Muhammad yang dapat

berlaku adil terhadap istri-istrinya.59 Sejalan dengan hal tersebut, John L. Esposito

menyebutkan bahwa alasan pemerintah Tunisia melarang poligami karena: (1)

Poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan institusi yang selamanya tidak

diterima mayoritas umat manusia di manapun; (2) Ideal Al-Qur'an tentang

perkawinan adalah monogami.60

Pasal ini juga terinspirasi oleh pemikiran para ulama modernis, seperti

Tahir Haddad dan Muhammad Abduh.61

Menurut Tahir Haddad, poligami bukanlah merupakan ajaran Islam,

melainkan salah satu bentuk kejelekan yang terdapat pada bangsa Arab Jahiliyah

terdahulu (sayyiah min sayyiāt al-Jāhiliyah al- ulā). Islam bermaksud

memberantas perilaku ini secara bertahap (tadarruj) dengan membatasi jumlah

maksimal 4 istri, dan akhirnya menjadi 1 orang.62 Adapun kebolehan poligami

yang disebutkan di dalam Al-Qur’ān, menurut Tahir Haddad, adalah keringanan

(rukhṣah) dari Allah Swt, bukan termasuk kewajiban atau perintah. Bahkan

rukhṣah ini pun sebenarnya mustahil dilakukan karena harus didasarkan pada

keadilan, yang dimana keadilan tersebut sesuatu yang tidak mungkin dapat

diwujudkan oleh manusia biasa. Dengan demikian, dalam pandangan Tahir

Haddad, poligami tidak memiliki dasar dalam Islam, dan tidak sejalan dengan

tujuan (maqāshid) dari pernikahan itu sendiri.63Ayat Al-Qur’ān tentang poligami

59
Tahir Mahmood, “Family Law in the Muslim...,”Hlm. 63
60
John L. Esposito, “Women in Muslim Family Law”, (New York: Syracrus University Press,
1982), Hlm.92.
61
Muhamad Ridha al Ajhuri, “Al-Khalfiyah Al-Islāmiyah Li Majallāt Al-Akhwāl As-
Shakhshiyyah”, Hlm.15.
62
Tahir Haddad, “Imroatuna Fi Ash- Sharī’ah...,” Hlm.64.
63
Ibid, Hlm. 64-65
yaitu surah An-Nisā’ ayat 3 harus dipahami dalam konteks masa transisi Islam

ketika perbudakan dan poligami masih banyak terjadi. Pada masyarakat

berbudaya seperti sekarang, menurut Tahir Haddad, perbudakan dan poligami

menjadi tidak relevan lagi.64

Sedangkan Muhammad Abduh menegaskan bahwa perkara yang mubah

seperti poligami dapat dilarang oleh penguasa jika terbukti menimbulkan

mudharat di tengah masyarakat.65 Muhammad Abduh mengingatkan umat Islam

akan konteks ayat poligami itu, yakni larangan mengambil harta anak yatim

meskipun ia telah dinikahi. Guna menghindari hal itu, para wali dibolehkan

menikahi wanita lain hingga empat orang. Akan tetapi, jika ia khawatir tidak akan

bisa berlaku adil di antara para istri, Al-Qur’ān menyuruhnya untuk memperistri

satu orang saja.66 Muhammad Abduh mengatakan, “Kebolehan poligami dalam

syariat Islam adalah sebuah pilihan yang teramat sulit dan terbatas, seolah adalah

pilihan saat darurat dengan syarat dipercaya untuk dapat berlaku adil dan

terhindar dari kecurangan”.67

Lebih lanjut John Esposito menjelaskan, pandangan Muhammad Abduh

tentang ayat poligami yang dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Muhammad

Abduh, surah An-Nisa ayat 3 memberi izin untuk beristri lebih dari satu secara

serius telah dibatasi oleh Al-Qur'an sendiri di dalam surah An-Nisa ayat 129.

Dengan demikian, ideal Al-Qur'an memandang pernikahan adalah monogami.

Lebih dari itu, syarat yang diajukan yaitu agar suami berlaku adil terhadap istri-
64
Ibid,
65
Muhamad Ridha al Ajhuri, “Al-Khalfiyah Al-Islāmiyah...,” Hlm. 77-78
66
Uthmān Amīn, “Raiḍ Al-Fikr Al-Miṣri Al Imām Muhammad Abduh”, (Kairo: Al- Hai’ah Al
Miṣriyah Al-‘Āmmah Li Al-Kitāb, 2015), Hlm. 205-206
67
Muhamad Ridha al Ajhuri, “Al-Khalfiyah Al-Islāmiyah...,” Hlm. 348-349
istrinya, adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat

terealisasi dengan sepenuhnya.68 David Pearl sebagaimana dikutip Khoiruddin

menilai, Tunisia tetap melandaskan penetapan larangan poligami pada Al-Qur'an,

karena Tunisia ingin modern tetapi tetap ingin berada pada koridor agama.69

g) Pernikahan Fasid (Tidak Sah)

Pernikahan fasid dalam mazhab Hanafi yaitu pernikahan yang tidak

memenuhi salah satu syarat sahnya pernikahan, contohnya: pernikahan tanpa

saksi, pernikahan sementara, berpoligami lebih dari 4 istri, berpoligami dengan

seorang perempuan dan saudara perempuannya atau bibinya, pernikahan

dengan seorang perempuan tapi dia tidak tahu bahwa si istri ini dalam status

menikah dengan orang lain, pernikahan dengan wanita-wanita yang diharamkan

namun ia tidak tahu bahwa istrinya ini adalah termasuk dalam daftar wanita

yang haram dinikahi, atau yang biasa disebut dengan “al-Muharramat”.

Contoh-contoh tersebut termasuk dalam kategori pernikahan yang fasid dalam

mazhab Hanafi,70 dan juga merupakan contoh pernikahan yang fasid dalam

mazhab Maliki. Namun, di dalam mazhab Maliki ada tambahan contoh

pernikahan fasid yaitu pernikahan pada saat ihram dan pernikahan syighar.71

Di negara Tunisia, ada pernikahan-pernikahan yang dianggap tidak sah

(fasid) oleh undang-undang. Jenis pernikahan tersebut adalah sebagai berikut72:

68
Ibid,
69
Khoiruddin Nasution, “Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia”, (Jakarta: INIS, 2002), Hlm.122.
70
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami...,” Hlm. 6602 – 2204.
71
Al-Jaziri, “al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah”, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003),
Hlm. 111.
72
Tahir Mahmood, “Family Law in the Muslim...,”, Hlm. 10.
 Pernikahan yang kondisinya bertentangan dengan hakikat

pernikahan (Pasal 21 Undang-Undang Tahun 1956).

 Pernikahan yang tanpa persetujuan salah satu atau kedua

mempelai (Pasal 3 Undang-Undang Tahun 1956)

 Pernikahan yang dilakukan dengan orang yang belum menginjak

remaja (pubertas) atau salah satu mempelai terdapat halangan

untuk melakukan pernikahan (Pasal 5 Undang-Undang Tahun

1956)

 Pernikahan yang dilarang secara hukum (Pasal 15 dan 16 Undang-

Undang Tahun 1956).

 Pernikahan dengan perempuan yang masih dalam masa iddah

(Pasal 20 Undang-Undang Tahun 1956)

Pernikahan yang tidak sah ini harus segera dibatalkan. Jika sudah

terjadi hubungan seksual (ba’da dukhul), maka istri berhak menerima

mahar dan berlaku juga masa iddah baginya. Anak yang lahir dari

pernikahan jenis ini adalah legal, tetapi keduanya tidak memiliki

hubungan waris serta muncul hubungan mahram. Jika perkawinan yang

fasid ini masih saja dilanjutkan walaupun telah ada keputusan

kefasidannya dari pengadilan, maka keduanya dihukum dengan hukuman

penahanan selama 6 bulan.73

2) Perceraian

73
Ibid,
Menurut Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia, perceraian yang disampaikan

secara sepihak tidak dapat berakibat jatuhnya talak. Perceraian dapat berlaku secara

pasti dan efektifapabiladiputuskan oleh pihakpengadilan. Hal tersebuttercantum di

dalamUndangUndang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-

Ahwal al-SyakhshiyyahPasal 30 Tahun 1956, yang menyebutkanbahwa :

Pasal30 :"Talaq tidak dapat terjadi kecuali di pengadilan. Talaq tidak dapat
terjadi kecual ijika hakim telah melakukan usaha mendamaikan kedua belah
pihak, dan hakim tidak mampu untuk mendamaikan”.74
Sebab, perceraian hanya dapat kekuatan hukum jika diputuskan oleh pengadilan. 75
Pengadilan dapat memberikan perceraian berdasarkan :
 Kesepakatan dari kedua belah pihak (pasangan)
 Petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang disebabkan oleh
yang lain.
Sehingga, perceraian yang terjadi di luar pengadilan sama sekali tidak mempunyai
kekuatan hukum.76Demikian pula , pengadilan dapat memutuskan pernikahan yang
diajukan oleh istri dengan alasan suami gagal dalam memberikan nafkah rumah
tangga, atau karena kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri pernikahan.
Pengadilan juga dapat memutuskan pernikahan yang diajukan secara sepihak,
dengan ketentuan pihak yang mengajukan perceraian tersebut wajib untuk
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya.77Suami yang menceraikan istrinya harus
membayar denda (al-jirāyah al-‘umriyah) kepada mantan istrinya. Denda dibayarkan
setiap bulan sepanjang hayat mantan istri, kecuali jika mantan istrinya itu telah
menikah lagi dengan laki-laki lain atau meninggal dunia. Undang-Undang
CPST(Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah
Pasal 31 menyebutkan :

74
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan ...,”,Hlm.11.
75
Komarudin, "Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern....", Hlm. 207.
76
Anis Hidayatul I, "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia…,”Hlm. 108.
77
Khoiruddin Nasution, dkk., "Hukum Perkawinan dan Warisan ...., Hlm. 51
Pasal 31 : "Jirāyah dibayarkan kepada mantan istri setelah masa ‘iddah-nya
habis,ukurannya sesuai kewajaran sebagaimana saat masih dalam masa
pernikahan,termasuk di dalamnya biaya rumah. Jirāyah ini terus berlangsung
hingga mantan isteri meninggal dunia, atau jika ia telah menikah lagi, atau jika
telah merasa tidak memerlukannya lagi. Dalam hal mantan suami meninggal,
jirāyah diambil dari harta peninggalan suami, dibayarkan atas kesepakatan para
ahli waris, atau ditetapkan melalui pengadilan dengan dibayarkan sekaligus,
dengan mempertimbangkan usia mantan istri ketika itu”.78
Konsep Al-jirāyah al- ‘umriyah tidak dikenal dalam fikih. Para fuqahā hanya

menetapkan adanya kewajiban mantan suami memberikan nafkah kepada mantan

isteri selama periode masa tunggu (‘iddah) setelah perceraian, karena selama

periode ini mantan isteri masih berkewajiban tinggal di rumah suaminya. 79Jadi dapat

dikatakan bahwa konsep Al-jirāyah al- ‘umriyah ini murni sebagai ijtihād para

perumus MAS yang didasarkan pada pemenuhan hak-hak istimewa bagi kaum

wanita di Tunisia. 80Keputusan terjadinya perceraian hanya diberikan dalam segala

kondisi, apabila upaya perdamaian (mediasi) antara pasangan suami istri tersebut

gagal dicapai (Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau

Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah Pasal 32 tahun 1956).81

Jauh sebelum pasal tersebut disahkan, Ṭahir Haddad telah mengusulkan

dibentuknya lembaga pengadilan (Mahakim At-Talaq) yang memilik iotoritas

tunggal untuk mengadili perkara-perkara perceraian. Usulan Tahir Haddad ini

didasari atas fenomena pada masyarakat Tunisia, ketika itu para suami begitu mudah

menjatuhkan talaq kepada istrinya.Tahir Haddad memandang bahwa otoritas

78
Dede Ahmad Permana, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan ...,”,Hlm.14.
79
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānūn...,” Hlm. 124
80
Ibid, Hlm. 125
81
Ibid,
tunggal suami untuk menjatuhkan talak kapanpun yang diinginkan, adalah salah satu

bentuk ketidak adilan. Imbasnya, kaum perempuan dalam posisi dirugikan dan

kehilangan masa depan. Tahir Haddad mengatakan, “Adanya mahkamah talaq, sama

sekali tidak akan merugikan para suami. Justru untuk memastikan bahwa talak yang

ia jatuhkan itu sesuai dengan aturan yang dibolehkan Islam.82Penetapan pasal

tersebut juga menunjukkan keseriusan pemerintahan Tunisia dalam mengakomodir

dan melindungi hak-hak perempuan. Karena kehadiran pasal ini akan penting dalam

rangka:(1) Memastikan proses talaq yang terjadi sejalan dengan tujuan

dari(maqāsid) syariah;(2) Memelihara terlaksananya hukum-hukum syariah;

(3)Mahkamah (Pengadilan) tidak bermaksud merampas hak suami dalam

menjatuhkan ṭalaq,melainkan meluruskannya; (4) Mengutamakan hak-hak

masyarakat di atas kepentingan pribadi; (5)Memastikan bahwa alasan suami

menjatuhkan talaq adalah dibenarkan secara hukum.Artinya, jika alasan suami

terkesan mengada-ngada atau tidak terbukti, maka mahkamah (pengadilan)dapat

mencegah terjadinya perceraian; (6) Memungkinkan terjadinya pendataan sebab

atau faktor-faktor terjadinya perceraian. Dengan demikian, pemerintah memiliki

data yang dapat dijadikan rujukan dalam rangka pembinaan umat. 83

a) Talaq Tiga

Terobosan lain yang dilakukan Undang-Undan CPST (Code of Personal

Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah adalah terkait hukum

talaq tiga (bainkubra). Undang-undang CPST Pasal 19 tahun 1956 Tunisia

menegaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan rujuk kepada mantan

82
Tahir Haddad, “Imroatuna Fi Ash- Sharī’ah...,” Hlm. 79.
83
Hamid al-Junduli, “Qanun Al-Akhwal…,” Hlm.503-505
istri yang telah dijatuhkan talaq tiga (talaq bainkubra).84Menurut CPST(Code of

Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah, talaq tiga

adalah penyebab larangan pernikahan untuk selamanya (māni’ azzawaj al

muabbad). Oleh karenaitu, sepasang suami istri yang telah bercerai sebab talaq

tiga, maka keduanya tidak dapat rujuk lagi.

Hal inidiatur di dalamUndang-Undang CPST (Code of Personal Status

Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-SyakhshiyyahPasal 19 tahun 1956 bahwa:

Pasal 19 :"Suami tidak boleh menikah lagi (rujuk) dengan istri yang telah ia

ceraikan dengan talaq tiga”

Pasal tersebut, jelas berbeda dengan konsep fiqih yang menegaskan bahwa
pasangansuami istri yang telah bercerai dengan talaq tiga (bain kubra) dapat
rujuk lagi dengansyarat mantan istri telah menikah dengan pria lain dan telah
berhubungan intim,kemudian bercerai dan habis masa ‘iddah-nya. Hal ini
didasarkan pada ayat Al-Qur’ān“Kemudian jika suami mentalaqnya (setelah
talaq yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga ia kawin
dengan suami yang lain”.85Pasal ini ditentang keras oleh sejumlah kalangan di
Tunisia karena dinilai berseberangan dengan ayat 230 surah Al-Baqarah. Akan
tetapi, para pendukung CPST(Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat
al-Ahwal al-Syakhshiyyah berargumen bahwa tujuan pasal ini adalah untuk
memberantas praktik pernikahan rekayasa (muhallil)86yang banyak terjadi di
tengah masyarakat Tunisia ketika itu.87
3) Pemeliharaan dan Hak Asuh (Hadhanah) Anak

Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-

Ahwal al-SyakhshiyyahPasal 54-57 tahun 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak

84
Komarudin, "Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-
Negara Modern....", Hlm 208
85
terjemahan Q.S. Al-Baqarah ayat 230
86
Ibn Rushd, "Bidayat Al-Mujtahid WaNihayat Al-Muqtasid", Vol.1, Hlm.58-59
87
Sasi Ben Ḥalīmah, “Muhādharāt Fi Qānūn...,” Hlm. 65
dan kewajiban orang tua dan para wali(guardian) terhadap pemeliharaan anak

(custody). Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari

prinsip-prinsip mazhab Maliki. Dalam fiqh mazhab Maliki dinyatakan bahwa jika

seorang suami mentalaq istrinya dan kedua belak pihak masih hidup, maka

pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu punya kelayakan

dalam hal mengasuh dan menyusui, mengingat seorang ibulah yang lebih mengerti

dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar dari pada ayah,

karena itulah, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak.88 Selanjutnya,

pengadilan dapat memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan

memperhatikan sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan (Pasal 67

CPST).

Formulasifiqh juga menyatakan bahwa hak hadhanah menjadi terputus

apabila ibu melangsungkan pernikahan. Sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai

dalam mengasuh anak, yang mengakibatkan anak tidak dapat hidup dengan tenang

dan sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke

nenek dari garis ibu asalkan nenek merupakan nenek secara langsung dari anak

tersebut.89

Di dalam Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat

al-Ahwal al-SyakhshiyyahPasal 67 yang telah diamandemen pada tahun 1981,

menyatakan bahwa jika orangtua yang berhak mengasuh anak meninggal dunia,

sedangkan sebelumnya pernikahan telah bubar (perceraian), maka hak hadhanah

tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan dalam mazhab

88
Sayyid Sabiq, "Fiqh Sunnah", (Jakarta: Altishom, 2008), Hlm. 528.
89
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....",Hlm. 292
Maliki dinyatakan bahwa berakhirnya hak hadhanah adalah jika anak laki-laki

sudah mencapai usia baligh dan bagi anak perempuan sudah menikah. Hal ini

berbeda dengan pendapat mazhab Syafi'i yang menyatakan bahwa anak perempuan

berakhir masa hadhanahnya ketika ia sudah baligh.90

4) Kewarisan

Berkaitan dengan permasalahan warisan, negara Tunisia secara umum hanya

melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki. Akan

tetapi, ada beberapahal terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Maliki, yaitu

dengan mendasarkan pada pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab

lain.91Pembahasan warisan dalam Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia

merupakan bentuk kodifikasi tidak murni dari ketentuan-ketentuan waris yang

dimuat dalam kitab fiqh mazhab Maliki. Hal ini dikarenakan ada beberapa

pembahasan materi hukum yang juga diadopsi dari pendapat pakar hukum dari

mazhab lain di luar mazhab Maliki.92

Salah satu bentuk pembaruan hukum waris di Tunisia yang menjadi beda

dengan fiqih mazhab Maliki adalah pada Undang-Undang CPST (Code of Personal

Status Tunisia) atau MAS (Majallah al- Akhwāl Ash-Shakhshiyyah) Pasal 143

huruf (a) bahwa anak perempuan dan anaknya dapat menerima ashabah dari

warisan, walaupun ada ahliwaris lain dari pihak laki-laki seperti saudara laki-

laki dan paman. Ketentuan ini menunjukkan bahwa posisi anak perempuan

dan anaknya lebih baik daripada ketentuan madzhab Maliki.93


90
Ibid, Hlm. 292-293
91
Khoiruddin Nasution, dkk., "Hukum Perkawinan dan Warisan ...., Hlm.53
92
Anis Hidayatul I, "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia…,”Hlm.109
93
Ibid,
Didalam pasal 88 yang dinyatakan bahwa“Seorang ahli waris yang

dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama

atau hanya pendukung saja, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap

kematian pewaris, orang tersebut tidak berhak mendapat warisan dari

pewaris.”

5) Wasiat

a) WasiatBerbeda Agama dan Kewarganegaraan

Menurut Undang-Undang di negara Tunisia perbedaan agama dan

kewarganegaraan tidak menjadi penghalang secara hukum untuk saling

berwasiat. Sebuah wasiat dianggap sah meskipun berbeda agama dan

kewarganegaraan.94Ketentuan tersebut mengikuti aturan di dalam fiqih, di

mana para ulama sepakat tentang kebolehan wasiat seorang kafir dzimmi

kepada seorang muslim atau sebaliknya. Karena beragama Islam tidak

merupakan salah satu syarat sahnya wasiat, kecuali jika si kafir berwasiat

harta yang haram untuk si muslim, misalnya berwasiat kepadanya anjing

atau minuman keras.95Adapun terkait perbedaan kewarganegaraan tidak

terdapat pembahasan di dalam fiqih klasik.

Sebuah wasiat dapat dibuktikan hanya dengan dokumen tertulis yang

ditandatangani dan diberi tanggal oleh orang yang meninggalkan wasiat.

Bukti lisan tidaklah dianggap cukup untuk menjadi bukti

wasiat.96Pengaturan tentang bukti wasiat dalamUndang-Undang di negara

94
Tahir Mahmood, "Personal Law in Islamic…,”Hlm. 174-175
95
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami...,” Hlm. 7461 dan 7474
96
Tahir Mahmood, "Personal Law in Islamic…,”Hlm. 105
Tunisia tersebut tidak sesuai dengan empat mazhab fiqih. Empat madzhab

fikih membolehkan wasiat dengan lisan, bahkan secara khusus mazhab

Maliki membolehkan berwasiat dengan bahasa isyarat apabila hal tersebut

membuat seseorang memahami. Tentu hal tersebut merupakan ketentuan

yang lebih luas lagi dalam wasiat, tidak hanya sekedar lisan saja namun

dengan bahasa isyarat pun tetap sah dalam mazhab Maliki. Hanya saja,

wasiat secara tulisan ini adalah disunnahkan oleh para ulama.97

b) WasiatWajibah

Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh Undang-

Undang waris Mesir pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum

perihal kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hukum

kekeluargaan dan kewarisan pada beberapa negara Islam telah menetapkan

adanya wasiat semacam ini yang memberikan bagian yang tetap bagi cucu

dari peninggalan kakek apabila anaknya (ayah sicucu) meninggal dunia

sewaktu kakek masih hidup. Undang-Undang ini terkenal dengan istilah

“Qanun WasiyatWajibah”.98Batas penerimaan wasiat wajibah adalah dalam

batas 1/3 dari harta peninggalan, dengan syarat bahwa keturunan yang akan

diberikan wasiat wajibah tersebut tidak turut mewarisi harta peninggalan

pewaris, serta belum pernah diberikan harta oleh pewaris dengan cara lain.

Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia. Dalam Undang-

Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya

97
Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami...,”, Hlm.7570
98
Yusuf Qardhawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporer” (Jakarta: GemaInsani, 1995), Hlm. 552.
diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki

maupun perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki

mendapat bagian dua kali lebih besar dari bagian cucu perempuan (2:1).99

6) Pengangkatan Anak (Adopsi)

Pada tahun 1958, Pemerintah Tunisia mengesahkan Undang-Undang

Perwalian dan Adopsi sebagai salah satu upaya melengkapi pasal-pasal yang belum

terakomodir dalam CPST (Code of Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal

al-Syakhshiyyah. Di dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 1958 ini terdiri dari 60

pasal yang dibagi kedalam 3 bab yaitu mengenai perwalian umum, kafalah, dan

anak angkat.100

Pasal 9-16 Undang-Undang tersebut secara khusus membahas tentang

adopsi. Disebutkan bahwa pihak yang akan mengadopsi disyaratkan sudah dewasa,

menikah, memiliki hak-hak sipil secara penuh, bermoral baik, sehat jasmani dan

rohani, dan secara finansial mampum emenuhi kebutuhan anak yang diadopsi.
101
Pada pasal 9 dijelaskan bahwa pengadilan juga bisa memberikan izin kepada

seorang janda atau duda (karena kematian pasangan), atau orang yang telah

bercerai untuk mengangkat seorang anak.102

Selain itu, di dalam Pasal 10 dijelaskan perbedaan atau selisih usia

antara pihak yang akan melakukan adopsi dengan anak yang hendak diadopsi

99
Khoiruddin Nasution, dkk., "Hukum Perkawinan dan Warisan ...., “Hlm. 54.
100
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga ....",Hlm.303
101
Ibid,
102
MochAgusRachmatulloh, “Studi Hukum keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al-Syakhsiyyah :
Journal of Law & Family Studies, Vol.2, Hlm.323
minimal 15 tahun. Seorang warga negara Tunisia diperbolehkan melakukan

adopsi terhadap seorang anak yang bukan dar iwarga negara Tunisia.103

Dengan demikian, pihak yang akan diadopsi haruslah seorang anak yang

belum dewasa. Menurut Undang-Undang tersebut, anak yang diadopsi memiliki

hak-hak yang sama sebagaimana halnya anak kandung. Pasal 15 mengatakan

bahwa:

Pasal 15 : “Dalam pandangan hukum, hubungan antara ayah angkat dengan


anak angkat adalah seperti ayah kandung dengan anak kandung biasa, anak
angkat memiliki hak-hak sebagaimana hak-hak yang dimiliki anak kandung.
Ayah angkat juga memiliki hak-hak seperti halnya hak-hak ayah kandung,
sebagaimana ditetapka nundang-undang”.
Praktik adopsi berakibat diperolehnya nama baru (nasab) bagi si anak dari
orang tua angkat, nama asli juga bisa dirubah, jika diinginkan oleh olehpihak yang
melakukan adopsi, maka nama baru anak yang diadopsi itu bisa dicatatkan pada
surat adopsi tersebut hal ini dijelaskan di dalam Pasal 14 Undang-Undang Tunisia.
Dan dalamPasal 16 Undang-Undang Tunisia dijelaskan bahwa pengadilan
melalui jaksa penuntut umum, dapat mengambil alih anak angka tdari orang
tua angkatnya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian dalam pemenuhan
kewajiban, sehingga haknya akan dipindahkan kepada orang lain. Hal ini
dilakukan demi menjaga kepentingan dari anak tersebut (Pasal 16 Undang-
Undang Tunisia).104
Pasal mengenai kebolehan adopsi didasari oleh prinsip bahwa setiap anak
yang terlahir di muka bumi ini memiliki hak untuk memiliki nasab yang jelas,
sehingga kemudian ia dapat menikmati hak-hak lainnya, seperti penggunaan nama
keluarga, hak waris, dan lain-lain. Terkait dengan larangan praktik adopsi
sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits, para perumus CPST (Code of
Personal Status Tunisia) atau Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah berdalih bahwa
103
Ibid,
104
Ibid, Hlm. 324
persoalan ini masih berada dalam wilayah ijtihadiyah karena itu masih terbuka
ruang untuk berbeda pendapat. Dengan kata lain, pembolehan adopsi tidak dapat
dikategorikan sebagai tindakan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal. Ia dapat ditetapkan demi mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi anak
angkat.105

105
Ratih Lusiana Bancin, "Hukum Keluarga...,”Hlm. 304
BAB III

ANALISIS MAKALAH

Analisis pemakalah yaitu pada awalnya Salah satu yang menjadi tujuan dari
terbentuknya CPST (Code of Personal Status Tunisia) adalah terbentuknya kesetaraan gender.
Salah satu bentuk produk pembaharuannya yaitu penetapan bahwa nafkah bukan hanya
kewajiban suami selaku pemimpin tangga, tetapi tugas seorang istri juga. Pasal 12 CPST
(Code of Personal Status Tunisia) menyatakan bahwa :
Pasal 12 :“Istri harus berpartisipasi dalam menafkahi keluarga, jika ia memiliki harta.”
Keharusan istri dalam menafkahi merupakan produ k hukum yang baru, meskipun
begitu kewajiban totalnya tidak sepenuhnya dilakukan oleh istri, karena dalam Islam suami
lah yang berperan sebagai yang menafkahi keluarga, hal tersebut sudah tertuang dalam
Q.S.An-Nisa ayat 34, bahwa laki-laki adaha pelindung bagi perempuan, dan laki-laki harus
memberikan nafkah dari hartanya. Sedangkan kewajiban wanita adalah berada dirumahnya
sebagai bentuk menjaga diri mereka dan mentaati suaminya.
Meskipun demikian, pasal tesebut merupakan sebuah langkah awal untuk kemaju
masyarakat Tunisia yang pada saat itu berfikir bahwa kaum perempuan tidak boleh
beraktifitas di luar rumah, serta nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istri,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Padahal jika kita tinjau pada zaman
Rasulullah SAW, banyak wanita yang ikut bekerja membantu meringankan suaminya, maka
tidak menutup kemungkinan di zaman sekarang, wanita juga bisa bekerja bahkan
berpendidikan.Pasal tersebut merupakan upaya Bourguiba untuk mendorong kemajuan
perempuan, sebagai bentuk kesetraan gender, karena wanita berhak mendapatkan hak-haknya.
Pasal 41 juga menyatakan bahwa istri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang
digunakan untuk membiaya hidupnya. Jika suami menghindar atas kewajibannya untuk
memberikan nafkah selama 1 bula maka dapat dikenakan hukuman penjara 3-12 bulan dan
dendaantara 100-1000 dinar Tunisia (setara dengan 400 ribu rupiah - 4 juta rupiah) yang
tercantum di dalam Pasal 53 Undang-Undang CPST (Code of Personal Status Tunisia), hal
tersebut dilakukan sebagai bentuk agar suami tidak lupa memberikan kewajibannya dalam
memberikan nafkah, meskipun istri juga ikut serta mencari nafkah.
Di Tunisia, kaum perempuan bebas bekerja di hampir seluruh bidang kehidupan. Pada
akhir tahun 2011, sebanyak 42% dokter di Tunisia adalahwanita, 72% apoteker, 40% dosen,
29% hakim, 31% pengacara, serta 43%wartawan.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nama resmi Negara Republik Tunisia (Republic of Tunisia atau Al Jumhuriyah At

Tunisiyah), dengan Ibu kota di Tunis. Bentuk Negara Republik, sistem pemerintahan

unitary semi-presidensial, dengan Kepala Negara Presiden dan Kepala Pemerintahan

Perdana Menteri. Lagu kebangsaan Houmat El Hima (The Nation's Guardians/Pelindung

Tanah Air), dan bahasa yang digunakan bahasa Arab (meskipun bahasa Prancis juga

banyak digunakan).

Pengaruh kolonial Prancis masih sangat kental terhadap aspek kehidupan masyarakan

Tunisia.Salah satunya adalah dalam hal penerapan modernisasi konsep hukum keluarga.

Pemerintah Tunisia dibawah kekuasaan presiden Habib Bourguiba, memperbaharui

konsep hukum keluarga yang berasaskan fikih mazhab Maliki (mayoritas) dan fikih

mazhab Hanafi (Minoritas), dipimpin oleh Syaikh Muhammad Azis Ju‟aith sebagai

ulama terkemuka sekaligus mantan Menteri Kehakiman di pra kemerdekaan yang

ditunjuk langsung oleh presiden Habib Bourguiba. Hukum keluarga terbaru disahkan

dengan penerbitan Code of Personal Status atau Majallah al ahwal as syakhshiyyah pada

tanggai 13 agustus 1956.

Habib Bourguiba mengatakan untuk membangun negara Modern sangat penting

kesadaran masyarakat dalam reformasi pendidikan, agama, dan status wanita. Isu

kesetaraan gender merupakan salah satu latar belakang Habib Bourguiba memberlakukan

hukum keluarga Tunisia yang dikenal dengan “Code of Personal Status ” atau Majallat Al

Ahwal Al Shaksiyyah yang berdasarkan mazhab Maliki dan mazhab Hanafi. CPST ini
hanya berlaku enam bulan setelah kemerdekaan Tunisia dan dipandang langkah penting

untuk jalan modernisasi. Melalui CPST tersebut Habib Bourguiba melarang poligami,

pernikahan paksa, menetapkan hak cerai yang sama bagi suami dan istri, penghapusan

hak ijbar, kewajiban istri memberi nafkah dalam keluarga. Habib Bourguiba mengatakan

modernisasi CPST tersebut bukan bertujuan mengubah peraturan tentang halal dan haram

tapi lebih ditujukan untuk kehidupan social kontemporer Tunisia dan memenuhi hak-hak

perempuan.

Ada beberapa pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Tunisia diantaranya :

1. Perkawinan

a. Usia perkawinan

b. Perjanjian Perkawinan

c. Poligami

d. Pernikahan yang Fasid

2. Perceraian

a. Talak Tiga

b. Nafkah Istri

c. Pemeliharaan Anak

3. Kewarisan

4. Wasiat

a. Beda Agama dan Kewarganegaraan

b. Wasiat Wajibah

5. Adopsi
B. Saran

Demikianlah makalh ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan

kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu

kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan

makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Fatum, “WasiatUntuk Ahli Waris (StudiKomparatif Tunisia, Syria, Mesir Dan

Indonesia)", Jurnal Studia Islamika, Vol.8.

Ahmad Permana, Dede, “Majallah Al Akhwal Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan Hukum

Keluarga di Tunisia”, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol.07.

Al-Jaziri, “al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah”, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)

Al-Junduli, Hamid, “Qanun Al-Akhwal As-Shakhshiyyah”, (Tunis: Majma’ At-Taurathy, 2011).

Al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu”,

Amin Summa, Muhammad, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004).

Amīn, Uthmān, “Raiḍ Al-Fikr Al-Miṣri Al Imām Muhammad Abduh”, (Kairo: Al- Hai’ah Al

Miṣriyah Al-‘Āmmah Li Al-Kitāb, 2015).

Andaryani, Lilik, “Relasi Gender Dalam Pembaruan Hukum keluarga Muslim.”, Jurnal

Diskursus Islam, Vol.02.

An-Naim, Abdullah A., "Islamic Family Law in a Changing World: A Global Research Book",

(London: Zed Books Ltd., 2003).

Ben Halimah, Sasi, “Mudharat Fi Qanun Al-Akhwal As-Shakhsiyyah”, (Tunis: Markaz An-Nathr

Al-Jami’i, 2004).

El Alami Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, op.cit.,

Haddad, Tahir, “Imroatuna Fi Ash-Shari’ah Wa Al-Mujtama’”,(Tunis: Dar Muhammad Ali Li

An-Nashr Sfax, 1930).

Haji, Lutfi, “Borguiba Wa al-Islam”, (Tunis: Dar al-Janub, 2004).

Hamka, "Sejarah Umat Islam", (Singapura: Kyodo Printing Co, 1994) .


Hidayatul I, Anis, "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia (Menuju Konsep Syariah

Modern Abdullah Ahmad An-Na'im)", Jurnal Lentera.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Tunisia.

Https://kemlu.go.id/tunis/id/read/profil-negara-republik-tunisia/584/etc-menu#.

Komarudin, “Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia (Studi Syariah dalam Konteks Negara-

Negara Modern di Dunia Islam”), Jurnal Kordinat, Vol.XVIII.

L. Esposito, John, “Women in Muslim Family Law”, (New York: Syracrus University Press,

1982).

Lusiana Bancin, Ratih, “Hukum Keluarga di Tunisia”, Jurnal Penelitian Medan Agama, Vol.9.

M. Lapidus, Ira, "Sejarah Sosial Umat Islam", (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Mahmood, Tahir, "Personal Law in Islamic Countries", (New Delhi: Times Press, 1987).

Mahmood, Tahir, "Statutes of Personal Law in Islamic Countries",(New Delhi: 1995).

Munawarah, Lathifah, “Politik Hukum Keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 12.

Mustafa Shalbi, Muhamad, “Ahkam Al-Usroh Fi Al-Islam”, (Beirut: Dar al-Jami’ah, 1983).

Nasution, Khoiruddindkk., “Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern”,

(Yogyakarta: PenerbitACAdeMIA, 2012).

Nasution, Khoiruddin, “Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan

Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia”, (Jakarta: INIS, 2002).

Qardhawi,Yusuf,“Fatwa-Fatwa Kontemporer” (Jakarta: GemaInsani, 1995).

Rahmat, Aulia, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Tunisia”, Jurnal Al Muqaranah,Vol. V.

Ranuwijaya, Utang dan Ade Husna, Jurnal Kajian Keislaman, Vol. 3 .

Ridha al Ajhuri, Muhamad, “Al-Khalfiyah Al-Islāmiyah Li Majallāt Al-Akhwāl As-

Shakhshiyyah”,
Ridha al-Ajhouri, Muhamad, “Al-Khalfiyah Al-Islamiyah Li Majallat Al-Akhwal Asy-

Syakhsiyyah”, (Tunis: Dar al_ma’ali Tunis, 2012).

Rushd, Ibn, “Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtaṣid”.

Sābiq, Sayid, “Fiqh Sunnah”, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2004).

Terjemahan Q.S. Al-Baqarah ayat 230

Trigiyatno, Ali, "Poligami di Tunisia :StudiAlasanPelaranganPoligami", JurnalHikmatuna, Vol.

3.

Anda mungkin juga menyukai