Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

The Arab Spring, Musim Semi Arab, adalah bahasa politik yang mulai

populer dalam kancah politik internasional, terutama di negara-negara Arab, sejak

awal Januari 2011 lalu. Istilah yang menunjukkan kejatuhan berderet rezim

pemimpin-pemimpin otoriter dunia Arab, dimulai dari Tunisia, Zein al-Abidin Ben

Ali (Ben Ali), diikuti Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, kemudian ke Libya,

yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafy yang sudah

berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya, dilanjutkan oleh Yaman, Bahrain, dan

Suriah yang masih berlangsung sampai sekarang.

Rakyat Arab menyebut peristiwa politik penting ini dengan sebutan al-

Tsaurat al-Arabiyyah yaitu revolusi yang akan mengubah tatanan menuju masyarakat

dan bangsa ideal setelah sekian lama dipimpin dengan sistem otoriter, dengan

kekuasaan yang tidak dibatasi, yang mengekang kebebasan masyarakat serta

melahirkan kesenjangan antara elite (penguasa), yang hidup mewah, dengan rakyat

yang miskin. Orang Barat menyebutnya dengan Arab Springs (Musim Semi Arab/al-

Rabi’ al-Arabiy) yaitu musim yang menjadi titik awal pertumbuhan demokrasi di

negara-negara Arab (Burdah, 2014: 21).

1
Maka dari itu, peristiwa politik inilah yang menjadi awal untuk mengakhiri

sistem politik di negara-negara Arab yang tidak transparan dan juga tidak membatasi

kekuasaan pemimpin (presiden). Peristiwa ini pula yang menjadi awal untuk

membangun sistem serta tatanan kehidupan yang lebih transparan, kekuasaan

pemimpim dibatasi dengan memberikan ruang kebebasan (hak) kepada

masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam dunia politik, baik itu berpartisipasi untuk

memilih dan dipilih maupun berpartisipasi dalam bentuk mengontrol roda

pemerintahan. Tujuannya adalah agar dapat mengedepankan kemaslahatan rakyat

banyak; memperbaiki taraf kehidupan rakyat, menghilangkan kesenjangan antara elite

dengan rakyat, mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, menjamin

kesetaraan hak-hak politik untuk semua warga negaranya.

Itulah demokrasi yang didambakan oleh masyarakat Arab baik sebelum

maupun sesudah bergejolaknya Tha Arab Spring 2011 lalu. Oleh karena itu, pasca

bergulirnya The Arab Spring, demokrasi pun menjadi pembicaraan yang menarik dan

hangat untuk membaca masa depan politik kawasan tersebut. Demokrasi mulai berani

disuarakan secara luas oleh masyarakat dunia Arab. Namun demikian masyarakat

dunia Arab sebenarnya telah menuntut kehidupan yang demokratis sejak tahun 1990-

an (Barakat, 2012: 373). Tetapi karena masyarakat tidak mempunyai kekuatan politik

untuk melawan rezim yang diktator sehingga tuntutan mereka tidak tersalurkan

hingga terjadinya The Arab Spring.

Inisiatif-inisiatif untuk membangun sistem politik yang demokratis juga telah

dilaksanakan. Sejak tahun 1990-an, negara-negara Arab pada umumnya telah

2
melakukan perbaikan struktural dan liberalisasi ekonomi, juga ada peningkatan

penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pada tahun 1994, Liga Arab juga telah

menerima Piagam Hak Asasi Manusia/human right charter (Hassouna, 2001: 51).

Hal itu dapat dikatakan bahwa sejak awal dekade 1990-an, telah dilakukan

upaya untuk membangun sistem pemerintahan yang terbuka (transparan), akuntabel,

dan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia politik.

Namun demikian, dapat dikatakan bahwa harapan dan inisiatif untuk membangun

kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab tidak berjalan lancar serta tidak

sesuai dengan harapan banyak orang. Upaya tersebut berjalan lambat bahkan dapat

dikatakan gagal dengan tetap berkuasanya pemimpin-pemimpin otoriter.

Kurang lebih dua dekade kemudian (sejak tahun 1990-an), upaya

demokratisasi yang lambat atau gagal tersebut mendapatkan saluran untuk disuarakan

secara masif melalui pengorbanan pemuda 26 tahun yang bernama Mohammed

Bouazizi di Tunisia. Ia membakar diri sebagai bentuk perlawanan (secara tidak

langsung) terhadap rezim Zein al-Abidin Ben Ali, di Tunisia, yang tidak berpihak

terhadap kaum lemah (Jamshidi, 2014: 8).

Ben Ali sendiri berkuasa sejak 7 November 1987 melalui kudeta secara damai

tidak lama setelah diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Habib Bourguiba. Rakyat

Tunisia pun bangkit melawan pemerintahan Ben Ali yang memimpin Tunisia dengan

mengekang kebebasan pers, dunia maya (internet) disensor, telepon, dan komunikasi

lewat email disensor, dan oposisi di parlemen dibuatnya tidak berkutik (diam)

3
(Angrist, 2011:76). Menghadapi gerakan massa tersebut, Ben Ali pun melarikan diri

ke Saudi Arabia.

Berakhirnya era kekuasaan Ben Ali ini tersebar dan menjadi berita yang

hangat di seluruh dunia Arab, bahkan dunia. Perlawanan rakyat Tunisia yang berhasil

menggulingkan rezim diktator Ben Ali menjadi inspirasi bagi masyarakat negara-

negara Arab lainnya untuk membangun kekuatan gerakan massa melawan rezim yang

diktator. Dari sanalah gejolak revolusi, The Arab Spring, di Timur Tengah bermula.

Pemimpin pertama, setelah Ben Ali, yang terkena dampak dari gejolak tersebut

adalah Hosni Mubarak yang mundur pada hari Jum‟at, 11 Februari 2011 dari kursi

kepresidenan yang didudukinya selama kurang lebih 30 tahun, 6 Oktober 1981-11

Februari 2011 (Jamshidi, 2014: 9).

Dari Mesir, kemudian merambat ke Libya, yang berhasil mengakhiri era

kediktatoran Moammar Khadafi yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun

lamanya. Beberapa negara Arab lainnya, seperti Jordania, Suriah, Bahrain, dan

Yaman terkena dampak revolusi yang berawal dari Tunisia tersebut (Sahide, 2012:

42). Dampak itu berupa munculnya kekuatan massa yang melakukan demonstrasi

menuntut rezim yang berkuasa mundur dari kursi kekuasaannya.

Dari beberapa negara yang terkena dampak gejolak yang berawal di Tunisia

tersebut, hanya Suriah yang berlangsung paling lama, sampai saat ini (2016). Dalam

kasus Suriah, kelompok oposisi, Dewan Nasional Suriah/Syrian National Council

(SNC), yang mendapatkan dukungan dari Barat, dengan dalih perjuangan

4
demokratisasi dan kemanusiaan, belum berhasil menggulingkan rezim Bashar al-

Assad.

Negosiasi untuk perdamaian di Suriah tidak pernah berhasil menemukan jalan

keluar karena negosiasi dari pihak rezim al-Assad tidak ingin membahas posisi

kepresidenan al-Assad. Adapun pihak oposisi menetapkan harga mati bahwa

negosiasi bertujuan untuk menggulingkan rezim al-Assad. Kofi Annan, diplomat

senior yang juga mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),

pernah diberi mandat sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur

Tengah, namun Kofi Annan juga gagal menyelesaikan konflik politik di Suriah dan

mengundurkan diri sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur Tengah.

Lachdar Brahimi, pengganti Annan, juga gagal menciptakan perdamaian dan

menemukan jalan keluar dari prahara yang berlangsung. Karena negosiasi selalu

menemui jalan buntu, maka pertempuran antara rezim dan kelompok oposisi pun

terus berlangsung sehingga korban, terutama dari rakyat sipil, terus berjatuhan.

Situasi politik dalam negeri Suriah semakin rumit dengan munculnya gerakan politik

baru yang bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan

Suriah (NIIS).

Sementara itu, dua negara lainnya (Tunisia dan Mesir) telah berjalan ke arah

transisi demokrasi. Tunisia, misalnya, telah melakukan pemilihan umum yang

mengantarkan Partai Politik Ennahda ke puncak kekuasaan dan mengangkat Moncef

Marzouki sebagai Presiden Tunisia. Marzouki adalah presiden pertama Tunisia yang

dipilih secara demokratis. Dua pemimpin sebelumnya mengambil alih kekuasaan

5
melalui kudeta. Namun demikian, pada pemilihan kedua, 26 Oktober 2014,

dimenangkan oleh kelompok sekuler, Nidaa Tounes pimpinan Beji Caid Essebsi,

dengan perolehan 80 kursi, dari 216 kursi, sementara Ennahda hanya memeroleh 68

kursi di Parlemen.

Mesir juga telah melaksanakan pemilihan presiden setelah setahun lebih The

Arab Spring berlangsung yang mengantarkan Muhammad Mursi, dari Ikhwanul

Muslimin, sebagai pemimpin negara tersebut setelah kejatuhan penguasa otoriter,

Hosni Mubarak. Mursi diambil sumpahnya sebagai Presiden Mesir pada tanggal 30

Juni 2012 dan hanya setahun memimpin karena tokoh Ikhwan tersebut dilengserkan

dari kursi kepresidenan pada awal Juli 2013 melalui demonstrasi massa yang

didukung oleh militer. Pada bulan Juni 2014, Mesir kembali melaksanakan pemilihan

presiden yang dimenangi oleh Abdel Fattah el-Sisi dengan perolehan suara mencapai

82% (Aljazeera, 22/06/2014).

Hal ini dapat dikatakan bahwa peristiwa politik The Arab Spring sejak awal

2011 lalu, dengan terjadinya serangkaian gerakan yang menggugat kemapanan

politik berbagai penguasa Timur Tengah, adalah momentum yang menjadi pemantik

lahirnya kembali harapan untuk memantapkan jalan menuju kehidupan yang

demokratis di negara-negara Arab. The Arab Spring menjadi titik awal lahirnya

perubahan besar di Timur Tengah, yaitu menjadi awal terbukanya proses

demokratisasi yang ditandai dengan kejatuhan para penguasa otoriter, meskipun

demokratisasi di negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas, juga masih

menuai banyak perdebatan-perdebatan (pemikiran) di kalangan ilmuwan.

6
Perdebatan Demokrasi di Dunia Arab

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa The Arab Spring menjadi

awal kebangkitan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan lebih demokratis di

kawasan Timur Tengah, terutama dunia Arab, setelah sekian lama dipimpin dengan

sistem otoriter yang mengekang kebebasan masyarakat. Di samping itu, jauh sebelum

terjadinya peristiwa tersebut, demokrasi telah lama menjadi wacana akademik di

dunia Arab, lebih luas dunia Islam. Berangkat dari kajian akademik tersebut, terdapat

dua teori atau pandangan yang berseberangan terkait demokrasi. Ada ilmuwan politik

yang berpandangan pesimis, melihat masa depan demokrasi suram, dan ada juga yang

berpandangan otpimis, melihat adanya harapan tumbuhnya sistem yang demokratis.

Pandangan yang pesimis tersebut datang dari Samuel P. Huntington, jauh

sebelum The Arab Spring begejolak. Menurut Huntington, prospek demokrasi di

republik-republik Islam tampak suram (Huntington, 2006: 340). Pandangan yang

pesimis ini melihat bahwa dunia Arab (Islam secara lebih luas) pada dasaranya tidak

demokratis, tidak mampu beradaptasi dengan tantangan global dalam proses

demokratisasi (Hassouna, 2001: 49).

Ilmuwan politik lainnya yang pesimis adalah Eric Chaney. Chaney merespons

pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul

Democratic Change in the Arab World, Past and Present. Dari tulisannya ini, Chaney

membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi.

Ada tiga keraguan Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan secara

sistematis dari keberlangsungan demokratisasi di negara-negara Arab pasca-the Arab

7
Spring, yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya Arab. Chaney

mengatakan bahwa defisit demokrasi di negara-negara Islam (negara-negara Arab)

mempunyai akar historis yang cukup mendalam (Chaney, 2012).

Pandangan pesimis lainnya datang dari Alfred Stepan. Stepan memberikan

catatan kritis terhadap demokrasi di Arab secara umum dan Mesir secara khusus

sebagai an exceptionalism. Intinya, demokrasi tidak dapat tumbuh subur di dunia

Arab, bukan hanya semata-mata karena mereka mengharamkan demokrasi, tetapi

yang jauh lebih mengkhawatirkan yaitu praktik pemilu yang tidak jujur dan bersih,

serta suksesi kepemimpinan yang tidak berjalan secara demokratis. Di samping itu,

Freedom House1 juga memberikan catatan kritis demokrasi di dunia Arab. Menurut

lembaga ini, negara-negara Arab telah mengabaikan dua elemen penting dalam

demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil (Misrawi, 2013: 335).

Sementara itu, pandangan yang optimis akan tumbuhnya demokratisasi di

negara-negara Arab datang dari Julie Chernov Hwang, John L. Esposito, Tariq

Ramadan, dan Hussein A. Hassouna. Hwang mempunyai tesis yang cukup menarik

yang membantah tesis beberapa pakar yang mengatakan bahwa Islam tidak cocok

dengan demokrasi. Menurutnya, asumsi tersebut keliru. Hasil-hasil survei akan nilai-

nilai dunia 1995-1996 dan 2000-2002 menunjukkan bahwa antara 92-97 persen

Muslim yang tinggal di Albania, Mesir, Bangladesh, Azerbaijan, Indonesia, Maroko,

dan Turki menyokong institusi-institusi demokratik. Namun demikian, Hwang

1
Freedom House adalah organisasi nirlaba yang berpusat di Washington dengan kantor cabang di
berbagai negara.

8
mengutip argumen Jack Snyder bahwa dibutuhkan institusi-institusi politik

demokratik yang andal sebagai pendahulu transisi demokratik untuk mencegah para

elite memanfaatkan nasionalisme ekslusioner untuk menyebarkan instabilitas dan

konflik (Hwang, 2011: 5-6).

John L. Esposito, Profesor Agama dan Hubungan Internasional juga sebagai

Directur Perintis Center For Muslim-Christian Understanding di Universitas

Georgetown, memberikan pula pendapatnya mengenai berkembangnya demokrasi di

negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas. Menurut Esposito, pada

dasawarsa-dasawarsa belakangan banyak negara Muslim menerima gagasan

demokrasi, meskipun berbeda pendapat mengenai makna persisnya. Banyak yang

berupaya menjelaskan bentuk demokrasi atau partisipasi politik rakyat dalam Islam.

Mereka berupaya memberikan alasan dan legitimasi islami yang berakar pada tradisi

(Esposito, 1996: 217).

Demokrasi pun, menurut Esposito, menjadi bagian integral dalam pemikiran

dan praktik politik Islam modern. Demokrasi telah diterima di banyak negara Muslim

sebagai tes lakmus untuk menjamin keterbukaan pemerintah dan relevansi kelompok

Islam. Ini merupakan simbol legitimasi, yang mengabsahkan dan membatalkan secara

tepat, karena demokrasi dipandang sebagai kebaikan universal (Esposito, 1996: 218).

Maka dari itu, demokrasi menjadi tuntutan rakyat Arab setelah bergulirnya The Arab

Spring karena demokrasi telah menjadi bagian integral dalam pemikiran dan praktik

politik Islam modern.

9
Robert W. Hefner, antropolog dari Barat, juga berpandangan bahwa

demokrasi dapat berkembang di negara-negara yang mayoritas Muslim. Hefner

sendiri mempunyai keyakinan bahwa jika dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana

demokrasi bukanlah konstruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks

masyarakat Barat. Hefner melihat bahwa cita-cita tentang kewarganegaraan yang

setara dan inklusif itu bukanlah sebuah ciptaan “Barat”, melainkan ciptaan

masyarakat Muslim itu sendiri (Hefner, 2007: 89). Lebih lanjut Hefner menambahkan

bahwa kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural demokrasi bukanlah

peniruan atau “westernisasi”. Melainkan dialog dan kontekstualisasi. Menurut

Hefner, beberapa pemikir Muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis

lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern

ketimbang pendekatan filologis sempit yang membekukan gagasan-gagasan masa lalu

Barat yang mistis (Averroes Community).

Tariq Ramadan, salah satu dari ilmuwan sosial yang optimis, juga melihat

adanya masa depan demokrasi tumbuh di negara-negara Arab. Ramadan menuliskan

pendapatnya:

The “civil state,” democracy, and pluralism can only become


concrete realities in the Middle East when peoples and governments
focus on the ethics of good governance. The fight against corruption, the
demand for transparency, limiting the powers of military establishments
and stimulating the emergence of an active, dynamic civil society are the
preconditions of success (Ramadan: 143).

Ilmuwan lainnya adalah Hussein A. Hassouna. Pada tahun 2001, ia menulis di

World Policy Journal, Vol. 18, No. 3 (Fall, 2001), pp. 49-52, yang mana dari

10
tulisannya tersebut ia optimis akan demokratisasi di negara-negara Arab.

Menurutnya, dunia Arab sedang bergerak pada jalur demokrasi meskipun

menghadapi berbagai macam tantangan. Pandangannya ini dibangun dengan melihat

bahwa kebanyakan negara-negara sudah melakukan penyesuaian struktural dan

liberalisasi ekonomi sebagai bagian dari agenda politiknya.

Hassouna juga menambahkan bahwa gelombang demokratisasi global

membantu proses keterbukaan politik dunia Arab. Oleh karena itu, negara-negara

Arab perlu untuk mengatasi berbagai macam tantangan dan rintangan yang ada untuk

berhasil dalam membangun sistem yang demokratis. Tantangan utama itu di

antaranya adalah warisan kolonial, konflik Arab-Israel, faktor sosial ekonomi, dan

fundamentalisme (Hassouna, 2001: 50-51).

Dari dua pandangan yang berbeda tersebut, penulis berada pada pandangan

yang optimis, mempunyai harapan demokratisasi berkembang di dunia Islam, dan

dunia Arab secara lebih khusus. Optimisme terhadap tumbuhnya demokratisasi di

negara-negara Arab dengan data yang dipaparkan oleh Julie Chernov Hwang yang

menyatakan 92-97 persen negara-negara Islam (termasuk negara-negara Arab)

menyokong institusi-institusi politik yang demokratik. Di samping, beberapa

pandangan yang pesimis akan masa depan demokrasi di negara-negara Arab karena

melihat suksesi kepemimpinan yang tidak bersih, jujur, serta mengabaikan elemen-

elemen dasar dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil. Jika

pandangan pesimisme berdasarkan pada argumentasi tersebut, maka demokrasi

sebenarnya dapat tumbuh apabila pelembagaan proses demokrasi untuk menjamin

11
suksesi kepemimpinan dapat dijalankan dengan jujur, adil, bersih serta menjunjung

tinggi hak-hak politik dan kebebasan sipil. Data yang dipaparkan oleh Hwang juga

telah membantah pandangan yang pesimis tersebut. Lebih dari itu, inisiatif-inisiatif

telah dilakukan untuk membangun sistem pemerintahan yang demokratis, baik

sebelum maupun sesudah bergejolaknya Musim Semi Arab.

Berangkat dari pandangan yang optimis tersebutlah, penulis melihat bahwa

gejolak The Arab Spring, sejak awal 2011 lalu, adalah momentum yang membuka

ruang terbangunnya pranata-pranata politik yang berjalan ke arah demokrasi; sistem

politik yang transparan, akuntabel, dan terbukanya partisipasi politik secara luas.

Ketika The Arab Spring meluas di Timur Tengah, bahkan menular sampai ke Mesir,

ada suatu asumsi bahwa apa yang dialami oleh negara-negara di sana adalah awal

bagi transisi menuju negara yang pemerintahannya dikelola dengan cara-cara yang

demokratis (Kuncahyono, 2013: xix). Namun demikian, penulis sepakat dengan

Hwang, yang mengutip argumen Jack Snyder, bahwa dibutuhkan institusi-institusi

politik demokratik yang andal sebagai pendahulu transisi demokratik untuk

mencegah para elite memanfaatkan nasionalisme ekslusioner untuk menyebarkan

instabilitas dan konflik (Hwang: 6).

Pada aspek pembentukan (pelembagaan) institusi-institusi politik demokratik

itulah; seperti pembagian kekuasaan, kekuasaan yang dibatasi dan dikontrol, jaminan

terhadap hak-hak politik setiap warga negara, demokratisasi itu menghadapi

tantangan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larbi Sadiki, dari

Australian National University, bahwa dalam proses demokratisasi tantangannya

12
adalah bagaimana membuat sistem (hukum) yang mampu bertahan, netral, dan

jaminan terhadap adanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya (Sadiki, 2014).

Tantangan tersebut datangnya dari dalam (internal) maupun dari luar (pihak asing)

yang menyebabkan rendahnya legitimasi politik, dalam teori Michael Hudson, bagi

pemimpin-pemimpin dunia Arab; seperti rendahnya otoritas, identitas yang sulit

untuk diwujudkan, dan tidak adanya justice (equality).

Bagi masyarakat Arab, adanya warisan kolonial, konflik Arab-Israel, dan

kondisi sosial-ekonomi, fundamentalisme menghambat terbangunnya institusi-

institusi politik yang demokratik. Warisan kolonial sudah lama membentuk negara-

negara Arab dengan sistem kerajaan dan kediktatoran (Esposito, 1996: 214). Budaya

dari warisan kolonial inilah yang menjadi tantangan, dari dalam, bagi masyarakat

Arab untuk membangun pranata politik yang demokratis. Politik dengan sistem

pembagian kekuasaan tidak dibangun oleh rezim yang berkuasa karena dapat

mengancam keberlangsungan kekuasaannya. Masyarakat luas juga tidak diberi

kesempatan dan ruang yang sama serta bebas dalam partisipasi politik.

Adapaun tantangan yang datangnya dari luar adalah keterlibatan pihak-pihak

asing dengan berbagai macam motif; ekonomi dan politik (perebutan pengaruh).

Negara-negara asing yang ikut bermain serta ikut campur dalam gejolak The Arab

Spring tersebut di antaranya adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan China

(Tiongkok). Keberadaan mereka tentu dengan alasan-alasan yang dapat memberikan

13
legitimasi, seperti dengan memberikan bantuan (pendampingan untuk demokratisasi),

dan juga dengan alasan kemanusiaan, Humanitarian Intervention.

Uni Eropa, misalnya, lebih banyak ikut terlibat dalam kasus Tunisia, adapun

AS banyak bermain untuk memertahankan pengaruhnya di Mesir. AS aktif

membangun komunikasi dengan negara-negara Eropa, seperti Perancis dan Inggris,

dalam merespons gejolak tersebut. Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS saat itu,

juga langsung mengunjungi kawasan tersebut, terutama Mesir. AS juga mengakui

mengontak dan menawarkan bantuan kepada berbagai kelompok oposisi di Mesir

setelah berakhirnya era kekuasaan Mubarak (Kompas, 4/03/2011). Pada sisi yang

lain, AS aktif membangun kekuatan politik untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad

di Suriah. Sementara, Rusia dan China (Tiongkok), dibantu oleh Iran, aktif membela

dan memberikan dukungan politik kepada Assad.

Dari sini terlihat bahwa negara-negara Arab, setelah bergulirnya Musim Semi,

menjadi medan perebutan pengaruh negara-negara asing di mana hal itulah yang

dapat mengganggu (tantangan) terbangunnya sistem pemerintahan yang demokratis.

Ada upaya agar pemimpin yang tampil setelah terjadinya peristiwa politik 2011 lalu

adalah pemimpin yang dapat menjaga kepentingan masing-masing pihak (asing).

Konflik Arab-Israel juga turut menghadirkan pihak-pihak asing dalam kancah

politik dunia Arab, dalam hal ini Amerika Serikat (AS) sebagai pemain utamanya.

Kehadiran pihak asing, terutama AS, turut memengaruhi proses pengangkatan tokoh

tertentu untuk menjadi pemimpin. Di samping itu, kehadiran asing kerap kali

berusaha menjatuhkan pemimpin tertentu. Dampak dari kehadiran asing tersebut

14
adalah munculnya pemimpin-pemimpin dari dunia Arab yang tidak mempunyai

legitimasi politik yang kuat, yang dibutuhkan dalam membangun demokrasi, yang

mana masalah utama negara-negara Arab hari ini, menurut Michael C. Hudson,

adalah legitimasi politik (Hudson, 1977: 2).

Krisis legitimasi politik itulah yang kini dihadapi Mesir dan Suriah, juga

negara-negara lainnya, baik sebelum maupun setelah era The Arab Spring

berlangsung. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum memasuki era The Arab

Spring, ketika negara tersebut dipimpin oleh pemimpin yang tidak memiliki

legitimasi politik yang kuat. Tunisia sejak merdeka hanya memiliki dua presiden dan

semuanya melalui jalur kudeta, kekuasaan kedua pemimpin tersebut juga tidak

dibatasi dan dikontrol.

Mesir juga demikian, Hosni Mubarak menjadi presiden bukan melalui proses

pemilihan, baik langsung maupun tidak langsung. Mubarak menjadi presiden karena

menggantikan Anwar Sadat yang tertembak mati dalam masa jabatannya. Suriah

mempunyai kasus yang sama, Dinasti Assad menguasai negara tersebut sejak tahun

1970. Melihat ketiga negara tersebut terlihat bahwa tidak ada satu pun pemimpin

yang meraih kekuasaan dengan cara-cara yang demokratis (pemilihan) sampai

akhirnya musim semi Arab itu bergejolak.

Tunisia, awal kebangkitan The Arab Spring, juga tidak terlepas dari gejala

krisis legitimasi tersebut. Begitupun juga dengan gejolak politik yang terjadi di

Bahrain, yang mayoritas Syi‟ah tetapi dipimpin oleh kelompok Sunni. Legitimasi

politik yang rendah terjadi karena proses politik yang tidak melibatkan rakyat banyak

15
dalam pengangkatan pemimpin dan juga pemimpin yang berhasil merebut kekuasaan

itu berasal dari kelompok minoritas. Tanpa legitimasi, menurut Max Weber, suatu

pemerintahan, rezim, atau sistem pemerintahan akan berada dalam tekanan berat

untuk memperoleh kapabilitas managemen konflik yang esensial untuk menjaga

kelangsungan stabilitas berjangka panjang serta membangun pemerintahan yang baik

(Hudson : 1). Selain itu, masalah legitimasi politik yang rendah, di samping kesulitan

mewujudkan identitas nasional dan heterogenitas masyarakat, akan memberi peluang

bagi intervensi asing yang biasanya cenderung mempunyai kebijakan politik devide

and rule (pecah belah) untuk mengusai (Setiawati, 2010: 35).

Legitimasi politik yang rendah inilah yang menjadi salah satu celah bagi

pihak asing untuk hadir memainkan peran dan semakin memperkeruh suasana

konflik. Konflik-konflik yang berlangsung di kawasan Timur Tengah hari ini tidak

luput dari keberadaan pihak asing. Kisruh politik yang sampai hari ini terus

bergejolak di Suriah karena ada pertarungan perebutan pengaruh antara Amerika

versus Rusia, China, beserta Iran. Perlawanan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir

yang baru saja dicap sebagai teroris karena ada intervensi asing yang terkesan

mendukung militer yang mengambil-alih kekuasaan secara tidak sah dari tangan

Mursi, tokoh yang diusung Ikhwan.

Inilah yang menghambat demokratisasi untuk berkembang di negara-negara

Arab. Pada sisi yang lain, perilaku rezim politik di negara-negara Arab juga tidak

membuka ruang terbuka lebarnya proses transisi demokrasi karena terancam

kehilangan kekuasaannya. Hal ini juga dituliskan oleh Marina Ottaway dan Thomas

16
Carothers bahwa masyarakat di negara-negara Timur Tengah, khususnya negara-

negara Arab, menghendaki kebebasan politik dan pemerintah memahami hal tersebut

akan tetapi pemerintah terlihat menolak demokrasi. Rezim-rezim di negara-negara

Arab hanya mengakui hak-hak wanita dan mengadakan pemilihan untuk

membendung kritik-kritik yang ditujukan padanya, baik dari dalam maupun dari luar

negeri (Ottaway dan Carothers, 2004: 22).

Tantangan demokratisasi (masyarakatnya yang tidak mandiri, adanya

intervensi asing, dan perilaku rezim) inilah yang mewarnai gejolak politik di negara-

negara Arab, terutama Tunisia, Mesir, dan Suriah pada era The Arab Spring. Sampai

hari ini, Tunisia dapat dikatakan berhasil mengonsolidasikan demokrasi. Pada akhir

tahun 2011 negara ini sukses melakukan pemilihan presiden yang mengantarkan

Ennahda ke puncak kekuasaan. Meskipun perjalanan politik Tunisia setelah itu

kadang diwarnai dengan gerakan-gerakan yang sedikit mengganggu, misalnya adanya

ribuan orang turun ke jalan, pada bulan September 2013, di Tunisia untuk

melancarkan protes pada partai berbasis Islam, Ennahda. Para pendemo mendesak

agar partai Ennahda mundur dari pemerintahan untuk dapat diselenggarakanya

pemilihan umum (pemilu) secepatnya. Pada akhir Januari 2014 lalu, Parlemen, yang

beranggotakan 216 orang, Tunisia resmi mengesahkan konstitusi baru di negaranya

(Arjomand, 2014: 188). Perkembangan politik di Tunisia setelah kepergian Ben Ali

cukup memberikan harapan terbangunnya institusi-institusi politik yang demokratik,

meskipun tidak terlepas dari kerikil-kerikil yang menghadang di tengah jalan.

17
Sementara itu, perkembangan politik di Mesir berbeda jauh dengan apa yang

terjadi di Tunisia. Mesir memang sukses mengadakan pemilihan presiden satu tahun

pascakepergian Mubarak, dengan dilantiknya Muhammad Mursi, tokoh dari

Ikhwanul Muslimin (IM), pada tanggal 30 Juni 2012, dengan membacakan sumpah

jabatannya di hadapan para hakim agung. Namun, kurang lebih satu tahun menjabat,

Muhammad Mursi harus rela kekuasaannya dirampas kembali oleh kelompok militer,

Rabu, 4 Juli 2013.

Sulit dimungkiri bahwa militer berdiri di belakang ribuan massa yang turun ke

jalan mencabut legitimasi politik presiden yang diusung oleh kelompok Ikhwanul

Muslimin tersebut. The Arab Spring (Musim Semi Arab), yang dielu-elukan oleh

rakyat Mesir ketika berhasil menggulingkan penguasa tangan besi saat itu, Hosni

Mubarak, sepertinya hanya euforia belaka. Kehidupan yang bebas, yang adil, dan

layak secara ekonomi yang diimpikan oleh rakyat Mesir dalam kehidupan bernegara

yang demokratis sepertinya masih jauh panggang dari api. Sampai saat ini, kekerasan

dan kekisruhan politik masih terus mewarnai kancah politik Mesir. Militer yang

kembali merebut kekuasaan terus menangkap dan menghabisi sayap gerakan

Ikhwanul Muslimin. Sebaliknya, kelompok Ikhwan, pendukung Mursi, tidak

menyerah begitu saja. Mereka terus melakukan perlawanan, meledakkan bom dan

lain sebagainya, karena menganggap bahwa rezim yang berkuasa saat ini tidak

mempunyai legitimasi politik. Hal itu karena Abdel Fatah el-Sisi merebut kekuasaan

dari tangan Presiden Mursi yang dipilih secara demokratis.

18
Suriah, yang dipimpin dengan sistem politik “republik dinasti” sejak tahun

1970, juga punya cerita perkembangan politik yang berbeda. Sampai pada hari ini,

Oktober 2015, gejolak di Suriah belum berujung serta beberapa kali mendapatkan

ancaman serangan militer dari Amerika Serikat (AS). Upaya perdamaian antara rezim

Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi selalu mengalami jalan buntu. Dalam

kasus Suriah, konflik ini bukan hanya pertempuran antara rezim Bashar al-Assad

dengan pihak oposisi, tetapi pertempuran antara AS melawan Rusia, China

(Tiongkok), dan Iran. Oleh karena itu, jika pihak oposisi gagal menggulingkan Assad

berarti juga adalah kegagalan bagi Amerika melawan Rusia, China, dan Iran.

Tidak heran, dalam pertemuan pemimpin G-20, awal September 2013,

ketegangan itu terjadai antara Obama, Presiden AS, dengan Vladimir Putin, Presiden

Rusia. Sejarah mencatat bahwa keruntuhan Uni Soviet (Rusia) pada akhir dari Perang

Dingin karena dikalahkan oleh Amerika Serikat. Peristiwa politik penting dari dunia

internasional inilah yang dibahasakan oleh Francis Fukuyama sebagai The End of

History and The Last Man. Artinya bahwa keruntuhan Uni Soviet adalah akhir dari

sejarah konflik ideologi besar dunia (Kapitalisme dan Komunisme). Fukuyama

berpandangan bahwa tidak ada lagi ideologi yang mampu menyaingi kapitalisme

(Fukuyama, 2001).

Oleh karena itu, dalam kasus Suriah yang tidak terlepas dari campur tangan

asing dapat dikatakan bahwa kekalahan oposisi adalah kekalahan bagi AS dan itu

akan menjadi titik awal dari pembuktian alur sejarah bahwa sejarah dunia yang

dikatakan oleh Fukuyama belum berakhir. Rencana serangan militer oleh Obama

19
kepada rezim Bashar al-Assad sepertinya adalah bagian dari upaya Obama untuk

mempertahankan alur dan „takdir‟ sejarah dunia. Situasi politik Suriah kini semakin

runyam setelah munculnya gerakan politik baru, yaitu Islamic State of Iraq and Syria

(ISIS). ISIS merupakan negara baru yang dideklarasikan oleh Abu Bakar al-

Baghdady pada tanggal 9 April 2013, menyusul terjadinya perang saudara di Irak dan

Suriah.2

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa dinamika politik di negara-negara Arab,

yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, tidak terlepas dari

pengaruh atau keterlibatan asing. Pihak asing hadir untuk mendukung atau untuk

menggulingkan rezim yang berkuasa. Naomi Klein, seorang penulis dan pembuat

film, dalam bukunya The Shock Doctrine, memperkuat alasan keterlibatan asing

dalam turbulensi politik di negara-negara Arab bahwa salah satu cara bagi negara-

negara lain (super power) untuk masuk dan mengintervensi negara lainnya adalah

melalui dengan apa yang dia istilahkan “shock doctrine” (Klein, 2007). Oleh karena

itu, gejolak The Arab Spring pun dijadikan sebagai momentum oleh AS untuk

menancapkan doktrin politiknya terhadap negara-negara yang selama ini belum dapat

ia kontrol sepenuhnya.

Kehadiran Barat (Amerika) tetaplah pada jualan lamanya, proyek demokrasi

yang diyakini sebagai sistem yang berupaya mewujudkan kebaikan bersama (common

2
ISIS adalah organisasi teroris, namun ia bukan hanya organisasi teroris. Ia adalah juga semacam
mafia yang mahir dalam bermain di pasar gelap minyak dan perdagangan senjata transnasional. ISIS
yang pada mulanya diremehkan, tetapi lalu menjadi sensasional sekaligus brutal dan licik. Kini, ISIS
berhasil menghancurkan perbatsan negara-negara kontemporer dan memproklamasikan diri sebagai
pembangkit kekaisaran Islam (Weiss dan Hassan, 2015: xxi-xxii).

20
good). Walaupun Amerika juga seringkali menghambat pertumbuhan demokrasi jika

hal itu dapat mengganggu kepentingan nasionalnya. Dari gejolak ini terlihat pihak-

pihak asing menetapkan standar ganda dari keterlibatan mereka dalam gejolak The

Arab Spring. Hal itu dapat dilihat dalam kasus Mesir, sejak awal tergulingnya

Mubarak, Barat (Amerika) sebenarnya khawatir bahwa krisis (the Arab Spring) yang

akan membawa ke jalan demokrasi yang begitu cepat akan memberi ruang bagi

Ikhwanul Muslimin untuk muncul sebagai kekuatan politik utama (Goldberg, 2011:

111).

Sebaliknya, Amerika dan sekutunya begitu kuat memberi tekanan politik,

dengan memberikan bantuan persenjataan terhadap kelompok oposisi dan juga

mengisolasi Suriah dalam kancah politik internasional, terhadap Bashar al-Assad

yang dianggapnya memerintah dengan tangan besi (tidak demokratis) di Suriah,

negara dengan rezim partai tunggal, karena secara historis Suriah di bawah al-Assad

berada dalam kubu politik yang berlawanan dengan kubu yang dibangun Amerika

dan aliansinya. Oleh karena itu, keterlibatan AS dalam kasus Suriah dengan alasan

Humanitarian Intervention, intervensi dengan alasan kemanusiaan (Thontowi, 2006:

259).

Dalam kasus Tunisia, dukungan Barat memang tidak ada ketika tekanan dari

masyarakat datang dan dialamatkan kepada Ben Ali karena Tunisia bukan

kepentingan utama (Tunisia is a peripheral interest) bagi Washington dan sekutunya

(Angrist, 2011: 80). Barat pun tidak terlalu banyak bermain untuk mendukung atau

21
„menghambat‟ demokratisasi. Begitulah potret demokrasitisasi di negara-negara Arab

era the Arab Spring yang tidak dapat terlepas dari campur tangan asing dengan motif

dan bentuk yang berbeda.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa masyarakat dunia Arab sebenarnya

sudah lama mempunyai aspirasi kehidupan yang demokratis namun tersengap oleh

kontrol negara yang begitu kuat dan dominan. Maka, gejolak The Arab Springlah

yang membangkitkan masyarakat dunia Arab untuk berani melawan rezim otoritarian

serta menuntut kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem yang demokratis.

Dengan demokrasilah, rakyat mempunyai daulat atas negara yang mereka bentuk, dan

semua kekuasaan negara berasal dari kekuasaan rakyat. Negara mendapat

kepercayaan dari rakyat menjalankan kekuasaan negara, dengan luas kekuasaan

sebatas fungsinya yang juga terbatas. Yang mana fungsi negara adalah menerapkan

martabat manusia yang telah menjadi milik manusia sejak dari keadaan alamiah, yang

diterima manusia langsung dari pencipta (Simanjuntak, 2014: 107).

Itulah yang menjadi alasan mengapa demokrasi menjadi tuntutan masyarakat

dunia Arab, terutama setelah bergejolaknya The Arab Spring. Demokrasi,

sebagaimana telah disinggung di atas, dapat menjadi sistem kehidupan berbangsa dan

bernegara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Namun demikian,

demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat Arab bukanlah tanpa tantangan.

Berbagai tantangan hadir merintangi proses demokratisasi tersebut.

22
Kajian penelitian ini hadir untuk menjawab secara akademik apa yang

menjadi tantangan demokratisasi tersebut di mana dari pemaparan di atas terlihat

bahwa ada aspirasi untuk kehidupan demokratis di masyarakat dunia Arab namun

banyak tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pranata-pranata politik yang

demokratis (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi politik). Kajian ini penting

karena apa yang penulis teliti belum diteliti oleh ilmuwan yang mengkaji politik

dunia Arab, terutama dalam merespons gejolak The Arab Spring. Selain dari itu, teori

yang dihasilkan dari penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan terkait

dengan demokratisasi dalam studi kawasan Timur Tengah, khususnya negara-negara

Arab.

1.2. Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian Latar Belakang Masalah di atas, maka peneliti

mengangkat beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa faktor yang menyebabkan gerakan people power berhasil

menggulingkan beberapa rezim negara-negara Arab dalam gejolak The

Arab Spring pada awal tahun 2011?

2. Mengapa demokratisasi menghadapi tantangan di tiga negara Arab era

bergulirnya The Arab Spring?

3. Mengapa pihak asing ikut campur dalam proses pemilihan pemimpin

nasional di tiga negara Arab tersebut era bergulirnya The Arab Spring?

23
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Kawasan Timur Tengah sebagai kawasan pertemuan tiga benua; Eropa, Asia,

dan Afrika menjadikannya sebagai kawasan yang strategis, baik secara politik

maupun ekonomi, sehingga kawasan tersebut ditakdirkan menjadi lahan rebutan bagi

negara-negara lain (super power) untuk menancapkan pengaruhnya melalui sistem

pemerintahan yang terbentuk. Negara-negara tertentu punya kepentingan dengan

sistem pemerintahan yang otoriter efektif untuk menancapkan pengaruh politiknya di

kawasan tersebut dan negara-negara tertentu lainnya punya kepentingan

(mendapatkan keuntungan) dengan sistem pemerintahan demokratis yang efektif.

Turbulensi politik di Timur Tengah, terutama di negara-negara Arab, sejak

tahun 2011 lalu menjadikan kawasan ini dalam tarikan dua kutub besar. Masa depan

politik negara-negara Arab diperhadapkan pada dua pilihan sistem politik; The Arab

Spring adalah awal dari proses menuju sistem pemerintahan yang demokratis,

sebagaimana yang sudah lama menjadi tuntutan masyarakatnya, atau tetap

„mempertahankan‟ sistem pemerintahan yang sudah lama yaitu sistem pemerintahan

yang otoriter. Oleh karena itu, penelitian ini ditulis dengan beberapa maksud dan

tujuan sebagai berikut:

Pertama, untuk menemukan teori yang menjadi penyebab The Arab Spring

yang mulai bergejolak awal 2011 lalu, termasuk latar belakang terjadinya gejolak

tersebut, faktor-faktor yang mendukung, dan juga dampaknya terhadap politik di

negara-negara Arab.

24
Kedua, untuk mengetahui dan memetakan tantangan demokratisasi di negara-

negara Arab pasca the Arab Spring. Negara-negara Arab yang penulis kaji di sini

adalah Tunisia, Mesir, dan Suriah. Adapun alasan pemilihan ketiga negara tersebut

adalah bahwa ketiganya dapat merepresentasikan perbedaan dinamika dan fase

pergolakan dan tantangan politik (demokratisasi) di negara-negara Arab. Tunisia

merepresentasikan sebagai negara yang cukup berhasil dalam transisi demokrasinya.

Sementara Mesir merepresentasikan sebagai negara yang berhasil menggulingkan

rezim otoriter, akan tetapi demokratisasinya „dibajak‟ di tengah jalan. Adapun Suriah

merepresentasikan sebagai negara yang mana demokrasinya belum berhasil

menggulingkan rezim yang otoriter.

Pada bagian sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa salah satu yang

menghambat demokratisasi adalah legitimasi politik yang rendah (Hudson), maka

dalam kajian ini penulis akan melakukan pengkajian yang mendalam untuk

menemukan pola yang dimainkan oleh pihak asing, juga rezim yang berkuasa, dan

perilaku masyarakat sabagai faktor yang menghambat tumbuhnya demokratisasi

dengan legitimasi politik yang kuat di negara-negara Arab.

Ketiga, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara lebih mendalam peran

pihak-pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat, Rusia bersama China (Tiongkok),

dan juga Uni Eropa, dalam proses demokratisasi di negara-negara Arab pada masa the

Arab Spring. Dalam kajian ini, penulis mendalami mengapa Amerika mengambil

peran dominan serta bagaimana Amerika berperan menghambat proses demokratisasi

di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah).

25
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menambah khasanah ilmu

pengetahuan, baik itu kalangan akademisi maupun masyarakat secara luas, dalam

dunia politik internasional, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan politik

mutakhir di kawasan Timur Tengah, lebih khusus lagi pada negara-negara Arab.

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan atau referensi bagi para

akademisi maupun peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut terkait

dengan dinamika politik dan demokratisasi di negara-negara Arab ke depannya.

1.4. Tinjauan Pustaka

The Arab Spring yang sudah berlangsung lebih dari empat tahun menjadi

perhatian serius dunia internasional, baik itu para pengambil kebijakan maupun

pemerhati politik kawasan tersebut. Para ilmuwan politik Timur Tengah turut

mengambil perannya sebagai seorang ilmuwan dengan melakukan penelitian-

penelitian dalam membaca turbulensi politik di Abad 21 tersebut. Dalam kajian

keilmuan, sudah banyak buku maupun hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

orang-orang yang berkompeten di bidang tersebut.

Salah satu buku yang ditulis oleh para ilmuwan Barat terkait prahara Timur

Tengah kontemporer adalah buku dengan judul The New Arab Revolt. What

Happened, What It Means, and What Comes Next. Buku yang tebalnya 497 halaman

ini banyak memotret perkembangan mutakhir di negara-negara yang terjangkit The

Arab Spring, seperti Tunisia, Libya dan Mesir. Namun demikian, buku ini tidak

hanya fokus dengan pembahasan negara-negara Arab kontemporer, beberapa tulisan

26
mengajak pembaca untuk melihat sejarah dari negara-negara tersebut. Arab Saudi,

salah satu negara Arab yang „aman‟ dari sindrom The Arab Spring, masuk dalam

pembahasan. Buku ini memberikan gambaran mengenai negara-negara Arab dari

berbagai perspektif dan fokus kajian. Hal itu karena buku ini merupakan kumpulan

tulisan dari beberapa penulis ternama yang konsen dengan Timur Tengah. Salah satu

dari penulis buku, ini yang banyak menulis buku tentang Timur Tengah, misalnya,

adalah Bernard Lewis. Tantangan dalam upaya demokratisasi di negara-negara Arab

(Tunisia, Mesir, dan lainnya) tidak dibahas secara mendalam dari buku ini.

Halim Barakat adalah salah satu dari ilmuwan politik dari Lebanon yang

merespons gejolak The Arab Spring dengan menuliskan sebuah buku serius yang

berjudul Dunia Arab, Masyarakat, Budaya, dan Negara. Dunia Arab, yang dituliskan

oleh Barakat, mengutip pengamatan Samir Amin, dipetakannya dalam tiga zona yang

sangat berbeda, baik itu pranata politik, ekonomi, dan sosialnya. Ketiga zona tersebut

adalah Arab Timur, negara-negara di lembah sungai Nil, dan Arab Barat. Masyarakat

Mesir adalah masyarakat yang berbasis pada pertanian, masyarakat di kawasan timur

dan barat dunia Arab merupakan masyarakat urban dan pedagang (Barakat, 2012:

103).

Buku yang ditulis oleh Barakat tersebut memang tidak fokus membahas,

menganalisis, atau mengeksplorasi gejolak di Dunia Arab pada abad XXI M ini,

tetapi apa yang dituliskan oleh Barakat di dalam bukunya sangat membantu penulis

dalam membaca dinamika yang sedang bergolak saat ini di kawasan kaya minyak

27
tersebut. Dari penangkapan penulis, Barakat menunjukkan sosok manusia Arab

kepada pembaca secara luas, baik itu identitas, karakter, sejarah, politik, ekonomi,

dan lain sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan akademik yang sering muncul pasca-The Arab Spring

adalah akankah sistem yang demokratis mulai bersemi di dunia Arab, Timur Tengah

secara lebih luas? Dalam bukunya, Halim Barakat tidak sampai pada kajian ini.

Pembacaan kontemporer akan dinamika demokratisasi di dunia Arab pasca-The Arab

Spring tidak „dijamahnya‟, sehingga pembaca seolah merasa digantung oleh Barakat

akan keingintahuannya menoropong masa depan politik negara-negara dunia Arab.

Pada bagian terkhir, kesimpulan (bab xii), Barakat hanya mengatakan bahwa

keseimbangan dan kesetaraan harus diwujudkan. Baginya, inilah tantangan yang

menanti kaum progresif sekuler Arab (Barakat: 381).

Terlepas dari itu semua, buku Halim Barakat yang tebalnya 447 halaman ini

sangat membantu penulis dalam membaca atau mengikuti dinamika politik dan

demokratisasi di negara-negara Arab, dan Timur Tangah secara luas. Barakat

mencoba membalikkan gagasan dari para ilmuwan Barat terkemuka yang

menyebutkan bahwa agama adalah kunci untuk memahami masyarakat Arab.

Sebaliknya, bagi Barakat, masyarakat adalah kunci untuk memahami agama. Dan

memahami keduanya (agama dan masyarakat) penting untuk membaca politik dari

negara-negara Arab, termasuk ke depannya di mana kesukuan („ashabiyya)

merupakan basis imperium dan negara pada masa kekuasaan orang-orang Arab.

28
Tariq Ramadan, salah satu ilmuwan yang banyak menulis tentang dunia Islam

merespons dengan menuliskan buku yang berjudul Islam and the Arab Awakening.

Buku yang ditulis oleh Ramadan ini memang cukup untuk mengantarkan kita dalam

membaca perkembangan mutakhir dunia Arab setelah masa yang dia sebut

“uprising”. Ramadan juga sedikit mengulas tekait demokrasi, namun ia belum banyak

memberikan perhatian yang lebih fokus terkait dengan tantangan demokratisasi di

negara-negara Arab pasca-“uprising”.

Eric Chaney, ilmuwan politik dunia Islam dari Harvard University, merespons

pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul

Democratic Change in the Arab World, Past and Present. Dari tulisannya ini, Chaney

membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi.

Setidaknya ada tiga keraguan dari Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi

hambatan secara sistematis dari keberlangsungan demokratisasi di negara-negara

Arab pasca the Arab Spring, yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya

Arab. Chaney mengatakan bahwa defisit demokrasi di negara-negara Islam (negara-

negara Arab) mempunyai akar historis yang cukup mendalam (Chaney, 2012).

Berangkat dari tiga teori defisit demokrasi itulah sehingga Chaney

mempunyai tesis yang kurang lebih sama dengan Huntington atau bahkan

memperkuat tesis Huntington bahwa demokrasi akan nampak suram di republik-

republik Islam (termasuk negara-negara Arab). Huntington menuliskan, yang dikutip

oleh Charles K. Rowley dan Nathanael Smith;

29
“Western ideas of individualism, lib- eralism, constitutionalism, human
rights, equality, liberty, the rule of law, democracy, free markets, the
separation of church and state, often have little resonance in Islamic,
Confucian, Japanese, Hindu, Buddhist or Orthodox cultures” (Rowley
dan Smith, 2009: 274).

Chaney dalam paper ilmiahnya tersebut tidak detail membaca perkembangan

dan dinamika politik di negara-negara Timur Tengah, khususnya ketiga negara yang

peneliti akan kaji, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Peneropongan politik ke depan di

negara-negara Arab yang dilakukan oleh Chaney hanya berangkat dari tiga teori yang

ia istilahkan sebagai sumber dari defisit demokrasi.

Wartawan senior Harian Kompas, Trias Kuncahyono, mengambil peran dalam

mendokumentasikan Musim Semi Arab dengan menuliskan dua buah buku yang

berjudul Musim Semi di Suriah dan Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir.

Kehadiran dua buku yang ditulis oleh Trias Kuncahyono ini sangat penting karena

buku tersebut memberikan gambaran cukup detail kepada pembaca menganai

kronologi gejolak The Arab Spring. Sebagaimana diakui oleh penulisnya sendiri

bahwa buku ini ditulis dengan khas Trias Kuncahyono sebagai seorang wartawan

sehingga kedua buku Trias Kuncahyono tersebut hanya mendokumentasikan apa

yang dia lihat dan dengar dari peristiwa yang menjadi sorotan dunia sejak tahun 2011

lalu tersebut. Gaya penulisan Trias Kuncahyono adalah gaya penulisan yang bebas,

tidak ditulis dengan kerangka ilmiah untuk menganalisis fenomena yang terjadi. Oleh

karena itu, kedua buku tersebut tidak menghasilkan teori terkait dengan masa depan

demokratisasi di negara-negara Arab.

30
Buku terbaru untuk membaca dinamika politik kontemporer pasca The Arab

Spring adalah Beyond The Arab Spring, The Evolving Ruling Bargain in the Middle

East (2014) oleh Mehran Kamrava (editor). Buku ini menguraikan pembacaan

mutakhir tentang dinamika politik di Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab,

pasca The Arab Spring. Namun demikian, buku ini memiliki kekurangan yang hampir

sama dengan buku The New Arab Revolt. What Happened, What It Means, and What

Comes Next. Kesamaannya adalah keduanya merupakan buku kumpulan tulisan dari

banyak penulis (pakar) sehingga pembahasannya sangat luas (kurang fokus), terutama

pembahasan terkait demokratisasi di negara-negara Arab.

Buku terbaru lainnya adalah The Arab Springs, Uprisings oleh Hal Marcovitz

(2014) dan The Future of The Arab Spring (2014) yang ditulis oleh Maryam

Jamshidi. Kedua buku ini lebih fokus membahas kronologi dari peristiwa The Arab

Spring, namun demikian, pembahasan terkait dengan demokraatisasi di negara-negara

Arab setelah gejolak politik 2011 lalu tersebut masih sangat kurang.

Dari beberapa buku dan hasil penelitian yang ada, sejauh mana pengamatan

penulis, belum menemukan publikasi atau hasil penelitian yang mengkaji lebih dalam

terkait dengan demokratisasi beserta tantangan yang dihadapi di negara-negara Arab

setelah The Arab Spring. Oleh sebab itu penelitian yang penulis lakukan yang

mencoba melihat tantangan demoratisasi di negara-negara Arab pasca-The Arab

Spring bergulir adalah kajian yang dapat memberikan hal baru dalam dunia

akademik.

31
1.5. Landasan Teori

Penelitian ini dilakukan untuk merespons Musim Semi Arab (The-Arab

Spring) yang bergejolak sejak awal tahun 2011. Turbulensi politik dipandang oleh

banyak pengamat politik Timur Tengah sebagai awal dari bangkitnya demokratisasi

di negara-negara tersebut, sementara sebagian kalangan atau pengamat juga

meragukannya seiring dengan perjalanan waktu yang belum memberikan tanda-tanda

yang cukup positif, kecuali Tunisia. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah

mengkaji demokratisasi di negara-negara Arab setelah The-Arab Spring tersebut

bergulir dan teori yang peneliti gunakan sebagai kacamata dalam melakukan

pengkajian tersebut adalah teori demokrasi.

Di sini penulis akan mengambil teori demokrasi menurut Robert A. Dahl,

Jack Snyder, dan Georg Sorensen untuk membaca demokratsasi di negara-negara

Arab, dalam hal ini negara-negara yang penulis sebut dalam tema sentral penelitian

ini, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Dahl memperkenalan kita istilah fondasi

demokrasi dan keterlibatan pihak asing dalam demokratisasi. Sementara Jack Snyder

mempunyai istilah mature democracies, democratizing states, serta demokratisasi dan

konflik nasionalis. Adapun Georg Sorensen memperkenalkan kepada kita model

dalam transisi dan konsolidasi demokrasi.

1.5.1. Demokrasi

Demokrasi telah didiskusikan selama kurang lebih dua ribu lima ratus tahun,

suatu kurun waktu yang cukup lama untuk memberikan suatu perangkat gagasan yang

32
jelas tentang demokrasi yang dapat disepakati oleh semua orang, atau oleh hampir

semua orang (Dahl,2001: 3). Saat ini jutaan orang diatur dengan hukum berdasarkan

warisan kuno baik dari Yunani maupun Romawi yang sudah berabad-abad lamanya.

Masyarakat menciptakan sistem politik yang kita kenal dengan istilah demokrasi.

Demokrasi merupakan hasil dari rekayasa masyarakat sendiri. Berabad-abad lamanya

mereka memberikan model pemaknaan kepadanya, menciptakan kesalahan fatal pada

suatu saat, dikarenakan kehendak masyarakat itu sendiri dan mencapai perkembangan

yang luar biasa pada saat yang lain. Di banyak negara, sudah lama sekali orang tahu

tentang demokrasi (Ketchum, 2004: 8). Namun demikian, orang Yunanilah yang

sebenarnya menciptakan kata demokrasi- dari demos, yang berarti masyarakat, dan

kratein, mengatur/pemerintahan (Ketchum: 28, dan Zhen, 2006: 1).

Secara tradisional, negara demokratis antara lain dicirikan dengan penerapan

sistem politik terbuka multipartai dan pergantian kekuasaan dilakukan melalui

pemilihan umum yang bebas, ekonomi pasar bebas, juga kebebasan pers dijamin.

Adapun negara yang tidak demokratis dicirikan dengan kekuasaan terpusat di elite

satu partai, sistem ekonominya pun tertutup, dan pers dikontrol pemerintah. Namun

seiring dengan perkembangannya, demokrasi tidak sekadar dipahami sebagai

kebebasan politik, tetapi juga termasuk konsep keadilan dan kesetaraan sosial

(Kompas, 23/04/2015).

Perlu juga dipahami bahwa kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal

melainkan beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik

dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi

33
kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan publik

terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini. Menurut

Robert W. Hefner, tidak ada demokrasi yang cocok untuk semua, melainkan beragam

bentuk yang dihubungkan oleh kemiripan keluarga. Nilai-nilai demokrasi seperti

kebebasan, persamaan, dan toleransi dalam keragaman tidak hadir dalam instruksi

yang dapat dipaksakan untuk seluruh tempat dan waktu. Nilai-nilai ini mengikuti

pedoman praktis dan partikularitas tempat dimana ia dilaksanakan (Averrros

Community).

Dari sini dapat kita menarik benang merah bahwa demokrasi sejatinya sebuah

sistem yang memberikan keterlibatan kepada publik secara luas agar supaya

pemerintahan yang berjalan dapat mengedepankan kebaikan bersama (rakyat

banyak). Oleh karena itu sistem tersebut harus transparan, akuntabel, serta memberi

ruang partisipasi publik secara luas. Itulah demokrasi yang menjadi tuntutan

masyarakat Arab, terutama setelah The Arab Spring bergejolak.

Kata sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya sudah ada

sejak zaman Yunani kuno dengan adanya negara kota “polis” di Athena pada abad V-

IV SM. Sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk yang juga tidak banyak,

sehingga prinsip demokrasi langsung dapat dijalankan secara partisipatoris. Menurut

beberapa rujukan, warga Athena bertemu setidaknya empat puluh kali dalam setahun

untuk membahas persoalan-persoalan publik. Boleh jadi karena itu, demokrasi kerap

dirumuskan sebagai government of, by and for the people (Ketchum: xi-xii).

34
Dalam masyarakat modern, demokrasi dipandang sebagai simbol peradaban

sosial dan juga kemajuan itu diapresiasi. Dari historis gagasannya, demokrasi tidak

mempunyai kualitas keabsolutan (quality of absoluteness). Dengan kata lain, pada

masa lalu, demokrasi tidak berjalan sama positifnya dengan demokrasi yang

diterapkan hari ini. Intinya adalah bahwa demokrasi, dalam arti yang sesungguhnya,

harus dimaknai sebagai cara untuk mencapai kompromi sosial (as a way to social

compromi), yang bertujuan untuk menjamin kehidupan politik yang adil (Zhen, 2006:

1). Kehidupan politik yang adil itu akan terbangun dengan adanya pembagian

kekuasaan (distribution of power), Montesqiu, pakar hukum asal Perancis,

menyebutnya dengan istilah Trias Politika; pemisahan antara kekuasaan yudikatif,

legislatif, dan eksekutif. Huntington menambahkan bahwa masa depan demokrasi erat

kaitannya dengan masa depan kebebasan di dunia. Menurut Huntington, korelasi

antara keberadaan demokrasi dan keberadaan kebebasan individu sangat tinggi

(Huntington, 1996:76).

1.5.2. Demokrasi Menurut Robert A. Dahl.

1.5.2.1. Fondasi Demokrasi

Robert A. Dahl memperkenalkan kepada dunia politik istilah “fondasi

demokrasi”. Dari fondasi demokrasi ini, Dahl mensyaratkan, dengan menggali dari

teori „populis‟, adanya tiga karakteristik demokrasi yang dapat dibuat bermanfaat

secara operasional; (1) kedaulatan popular (popular sovereignty), (2) persamaan

politik (political equality), dan pemerintahan oleh mayoritas (majority rule) (Krouse,

35
1982:442-443). Dahl kemudian membuatnya lebih spesifik menjadi setidaknya

delapan unsur hal cerminan sistem yang demokratis, yaitu:

1. kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi (berserikat dan

berkumpul);

2. kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat);

3. hak memilih dan dipilih;

4. kesempatan yang relatif terbuka untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

5. hak bagi pemimpin politik untuk berkompetisi dalam mendapatkan

dukungan atau memberi dukungan;

6. alternatif sumber-sumber informasi;

7. pemilu yang bebas dan adil;

8. pelembagaan pembuatan kebijakan pemerintah yang merujuk atau

tergantung suara rakyat lewat pemungutan suara maupun cara-cara lain

yang sejenis (Dahl, 1971: 7).

Dahl juga mencoba mengklasifikasikan demokrasi dalam dua bentuk, yaitu

demokrasi substantif dan demokrasi prosedural atau “poliarki” (istilah Dahl).

Demokrasi substantif adalah demokrasi yang membawa prinsip dan nilai-nilai

demokratis dalam tatanan praktis. Adapun demokrasi prosedural atau “poliarki”,

menurut Dahl, adalah lebih menekankan kemerdekaan rakyat memilih pemimpin.

Esensinya, poliarki tidak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari elite-

elite yang berebut kuasa melalui mekanisme pemilu. Pengklasifikasian demokrasi

menurut Dahl ini dikembangkan oleh Charles Tilly. Menurut Tilly, terdapat 4

36
pemahaman publik akan demokrasi. Keempat pemahaman itu berdampak pada

perbedaan penafsiran dan implementasi pemerintah suatu negara dalam mengadopsi

konsep demokrasi. Keempat definisi mengenai demokrasi itu terdiri atas:

1. Demokrasi secara Konstitusional (constitutional)

2. Demokrasi secara Substantif (substantive)

3. Demokrasi secara Prosedural (procedural)

4. Demokrasi secara Orientasi Proses (process-oriented) (Basri Dalam

blog/http.Seta Basri Menulis Terus)

Yudi Latif menuliskan bahwa demokrasi yang sehat menghendaki

kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak

melulu berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (civil and political

rights), tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc rights).

Pertimbangan inilah yang membuat para pemikir demokrasi, seperti Alexis de

Toxqueville dan Amy Gutmann, menghubungkan demokrasi dengan keadilan

ekonomi dan kesejahteraan. Di sinilah terlihat, tulis Yudi Latif, bahwa konsolidasi

demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada reformasi prosedural, tetapi harus

menjangkau hal-hal yang substantif (Latif, 2012). Oleh karena itu, dalam

demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah) harus mendapatkan

jaminan hukum yang menjamin implementasi ke delapan unsur di atas tersebut. Di

samping itu, gerakan-gerakan penguatan civil society penting dilakukan, baik oleh

37
pemerintah, masyarakat, dan juga pihak asing, untuk membangun sistem demokrasi

yang substantif.

Sampai saat ini, demokrasi telah menjadi populer secara universal karena

merupakan sistem politik terbaik yang dapat ditempuh dan diandalkan oleh umat

manusia. Kini, sebagian besar bangsa dan masyarakat menyaksikannya. Fasisme telah

gagal sejak lama. Komunisme tidak ada lagi, sedangkan kekuasaan militer tidak dapat

menciptakan pemerintahan yang efektif. Demokrasi memungkinkan rakyat untuk

memutuskan siapakah yang sebaiknya memimpin mereka dan, dengan

mempertimbangkan syarat-syarat tertentu, dapat ikut menghasilkan para pemimpin

politik yang baik. Demokrasi memberikan pilihan tertentu, yang secara defenitif tidak

dapat diberikan oleh sistem partai tunggal. Menurut Francis Fukuyama,

otoritarianisme, entah kiri atau kanan, telah gagal karena tidak mampu menciptakan

legitimasi yang memuaskan atas kekuasaaannya sendiri. Rezim-rezim seperti itu tidak

memiliki modal berupa niat baik yang dapat menguji dirinya selama masa-masa sulit;

rezim-rezim tersebut tidak fleksibel seperti halnya negara-negara demokrasi liberal

(Giddens, 2009: 148-151).

1.5.2.2. Faktor Asing sebagai Pendorong Demokrasi

Menurut Robert A. Dahl, bergeraknya suatu negara ke arah transisi demokrasi

tidak dapat terlepas dari pengaruh faktor luar. Hal itu karena sistem apa pun yang

diterapkan oleh sebuah negara, ia tidak akan pernah lepas dari pengaruh pihak asing

sebagaimana dikatakan oleh Robert Dahl bahwa takdir dari sebuah negara adalah ia

38
tidak pernah sepenuhnya berada dalam genggamannya sendiri (Dahl: 189). John C.

Pavehouse mempunyai pendapat yang sama dengan Dahl. Pavehouse berpendapat

bahwa faktor-faktor internasional, terutama organisasi regional, mempunyai peran

penting dalam transisi dan keberlangsungan demokrasi (international factors,

specifically regional organizations, play an important role in the transition to and

endurance of democracy) (Pavehouse, 2005: i).

Oleh karena itu, terbentuknya pranata-pranata politik yang demokratis karena

adanya interaksi yang terbangun dengan pihak luar, faktor asing. Dalam banyak

kasus, dominasi yang datangnya dari pihak luar (negara lain) sangat menentukan

untuk menjalankan roda pemerintahan. Setiap negara berdiri dalam sebuah

lingkungan yang terdiri dari negara lain. Di bawah setiap rezim, para pengambil

kebijakan harus mencermati kemungkinan tindakan beserta reaksi dari pengambil

kebijakan di negara lain. Dalam hal ini, bahkan negara yang paling kuat sekalipun

dalam beberapa hal dibatasi oleh pengaruh dan kontrol atau kekuasaan dari negara

lain. Lebih dari itu, kebanyakan negara berpartisipasi lebih luas dalam ekonomi

multinasional; konsekuensinya, para pengambil kebijakakn biasanya mencermati

tindakan dan reaksi orang-orang dari luar negeranya yang kemungkinan

mempengaruhi ekonomi lokal. Negara-negara, dengan berat, tergantung pada

perdagangan internasional atau investasi asing (Dahl: 189).

Menyadari begitu kompleksnya pengaruh lingkungan internasional pada

pengembangan hegemoni ataupun poliarki (demokrasi prosedural dalam istilah

Robert Dahl), Dahl membedakan bentuknya secara lebih rinci menjadi tiga cara

39
(jalan) di mana tindakan, reaksi, dan tindakan yang diharapkan oleh pihak luar

memengaruhi kesempatan poliarki atau hegemoni di negara tertentu.

Pertama, tindakan politik dari pihak luar (asing) dapat dan hampir pasti

mempunyai dampak terhadap satu atau lebih kondisi dalam negeri, kepercayaan

aktivis politik; asumsi, budaya politik, kepercayaan, dan paradigma. Kepercayaan

dari aktivis politik, jalan menuju era hari ini, level pengembangan sosio-ekonomi,

tingkat konsentrasi atau disperse ekonomi, ketidakmerataan, bahkan penyebaran

pengepungan subkultur – semua terbuka dengan pengaruh-pengaruh dari aktor-aktor

luar.

Kedua, tindakan dari pihak asing dapat mengubah secara drastis pilihan-

pilihan yang ada pada sebuah rezim tanpa harus mengganti bentuk dari rezim

tersebut. Sebagaimana sudah disinggung bahwa keberadaan dalam sebuah lingkungan

internasional merubah atau mengurangi pilihan-pilihan yang ada pada setiap rezim di

setiap negara.

Ketiga, orang-orang di suatu negara boleh saja dengan sengaja mencari untuk

menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk menanamkan bentuk-bentuk

tertentu rezim politik atas negara lainnya: dominasi asing secara sengaja (Dahl: 189-

191).

1.5.3. Demokrasi Menurut Jack Snyder

Jack Snyder dalam bukunya Democratization and Nationalist Conflict, yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dari Pemungutan Suara ke

40
Pertumpahan Darah, memberikan klasifikasi yang cukup menarik perihal negara

demokrasi. Snyder membedakan bahwa istilah demokratisasi terdiri dari negara-

negara yang demokrasinya matang (mature democracies/MD) dan negara yang

sedang menuju demokrasi (democratizing states/DS).

1.5.3.1. Mature Democracies dan Democratizing States

Snyder memberikan klasifikasi pertumbuhan demokrasi di sebuah negara

dengan dua tahap. Tahap pertama adalah dengan apa yang ia sebut dengan istilah

Mature Democracy/Negara Berdemokrasi Matang (MD), demokrasi yang sudah pada

tahap yang matang/dewasa. Dalam negara yang demokrasinya sudah matang (mature

democracy), kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan luar negeri dan kebijakan

militer, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang luber-

jurdil dan berkala; tindakan-tindakan para pejabat dibatasi dengan berbagai ketentuan

konstitusional dan kewajiban terhadap kebebasan sipil. Dalam pemilihan umum,

calon pemerintah seringkali kalah dan karena itu harus melepaskan jabatan mereka.

Kebebasan berbicara, kebebasan berorganisasi untuk bersaing dalam pemilihan

umum, dan terwakilinya secara adil pandangan yang beragam di dalam media massa,

dianggap sebagai prasyarat-prasyarat terlaksananya pemilihan umum yang luber-

jurdil. Adapun Democratizing State/Negara Sedang Menuju Demokrasi (NSMD)

didefinisikan oleh Snyder sebagai Negara yang baru saja memenuhi satu atau lebih

prasyarat demokrasi tersebut di atas, sekalipun negara itu masih mempertahankan

ciri-ciri penting yang tidak demokratis (Snyder, 2003:16-17).

41
Ketegori Democratizing State/DS sangatlah luas, tercakup di dalamnya negara

seperti Republik Ceko pada awal 1990-an, yang melaksanakan transisi dari otokrasi

penuh menuju demokrasi penuh. Juga termasuk dalam kategori itu bekas Yugoslavia

dekat menjelang negara tersebut terpecah-belah pada 1991, ketika pertama kali

pemilihan umum diselenggarakan dengan sedikit banyak kebebasan berbicara, namun

belum luber dan jurdil (Snyder:17).

Pertanyaan yang muncul di benak banyak pihak tentunya adalah kapankah

suatu DS berhasil menjadi MD? Kapan demokrasi di DS dapat dikatakan sudah

terkonsolidasi? Snyder menuliskan bahwa beberapa sarjana menggunakan rumus

“dua kali pergantian kekuasaan” (two turnover rule) untuk menandai konsolidasi

demokrasi: demokrasi dianggap sudah terkonsolidasi apabila kekuasaan sudah dua

kali pindah tangan melalui proses pemilihan umum yang luber-jurdil. Ada pula yang

mengatakan bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi apabila dia merupakan

“permainan satu-satunya” (the only game in town). Itu berarti tidak ada lagi jalan

bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain memenangkan pemilihan

umum yang luber-jurdil. Terakhir, sarjana lain mengukur sejauh mana suatu negara

telah menunjukkan ciri-ciri MD yang bersifat kelembagaan dan hukum, dengan

menggunakan berbagai indikator seperti adanya politik yang bersifat kompetitif,

pemilihan umum yang tetap, partisipasi yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif,

kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil, termasuk hak-hak

minoritas. Apabila suatu negara telah mencapai nilai cukup tinggi dalam hampir

semua kriteria di atas, maka negara tersebut dikatakan telah berhasil

42
mengonsolidasikan demokrasinya. Menurut semua kriteria tersebut di atas maka

negara yang telah melewati ambang-batas peralihan ini merupakan MD, bukan lagi

DS (Snyder :17-18).

1.5.3.2. Demokratisasi dan Konflik Nasionalis

Dalam pandangan Jack Snyder, demokratisasi tidak dapat terlepas dari konflik

nasionalis atau konflik antargolongan. Konflik yang terjadi di negara-negara Arab

setelah bergulirnya The Arab Spring juga diwarnai oleh konflik tersebut. Beragam

fakta menunjukkan adanya hubungan antara demokratisasi dan konflik yang disulut

oleh nasionalisme. Sejalan dengan makin banyaknya orang memainkan peran yang

lebih besar dalam politik, maka bertambah besar pula kemungkinan konflik SARA di

dalam suatu negara, sebagaimana agresi asing makin banyak dengan alasan

nasionalisme. Kebanyakan negara-negara tercebur dalam konflik SARA yang hebat

dan yang menjadi berita utama selama dasawarsa 1990-an adalah negara-negara yang

mengalami kemajuan tanggung (partial) dalam kebebasan politik atau kebebasan sipil

satu dua tahun sebelum pecahnya pertikaian. Bagian terbesar konflik tersebut terjadi

di negara-negara yang sedang mengayunkan langkah awal menuju transisi

demokratis, seperti menyelenggarakan pemilihan umum dan mengizinkan berbagai

kelompok politik melancarkan kritik terhadap pemerintah maupun terhadap satu sama

lain (Snyder:18).

Studi sistematis mengenai semua konflik SARA yang terjadi pada 1990

hingga 1998 menunjukkan bahwa tuntutan politik SARA memuncak selama masa

43
transisi menuju demokrasi, seperti yang terjadi menyusul runtuhnya kekuasaan Uni

Soviet, sejak 1989 sampai 1991. Pada pertengahan dasawarsa tersebut gelombang

demokratisasi mengendur atau dalam beberapa kasus malah mundur, dan sejalan

dengan itu jumlah konflik SARA juga berkurang, yang mana demokrasi berhasil

dikonsolidasikan, seperti terjadi di sebagian besar negara-negara Amerika Selatan dan

bagian utara Eropa Timur, hak-hak minoritas semakin memperoleh perlindungan

melalui jalan damai. Sementara itu, makin sedikit negeri yang termasuk kategori

berbahaya, yaitu DS, yang mana hak-hak minoritas lebih cenderung diinjak daripada

dilindungi. Jadi, konsolidasi demokrasi mengurangi konflik SARA, tetapi langkah-

langkah awal transisi menuju demokrasi yang penuh kesulitan itu meningkatkan

konflik sejenis, khususnya di negara-negara baru (Snyder: 19).

Terkait dengan ini, Snyder juga memberikan pengklasifikasian yang cukup

menarik. Menurut Snyder, dua wawasan yang bertentangan, yang masing-masing dia

beri nama “persaingan antar-kelompok rakyat” (popular-rivalries) dan “propaganda

elite” (elite persuasion), memberikan penjelasan terhadap adanya korelasi antara

demokratisasi dan konflik nasionalis. Wawasan yang pertama beranggapan bahwa

persaingan nasionalis di dalam masyarakat sudah lama ada sebelum terjadi

demokratisasi. Menurut pandangan ini, demokratisasi sekadar mencerminkan cita-cita

kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan cita-

cita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian lama” ini merupakan salah satu

bentuk wawasan “persaingan antar-kelompok rakyat” (Snyder: 22-23).

44
Snyder berpendapat sebaliknya. Sebelum demokratisasi mulai, nasionalisme

biasanya lemah atau belum ada kalangan luas massa penduduk. Nasionalisme massa

biasanya muncul selama tahap paling awal demokratisasi, ketika para elite

menggunakan pesona nasionalisme untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Demokratisasi melahirkan nasionalisme ketika golongan-golongan kuat dalam

masyarakat tidak hanya perlu menggalang dukungan rakyat untuk keperluan perang

atau peningkatan ekonomi, tetapi juga enggan menyerahkan wewenang politik

kepada warga biasa. Bagi lapisan elite ini, nasionalisme merupakan doktrin yang

berguna untuk membenarkan demokrasi tanggung atau setengah-setengah, yang mana

para elite dapat berkuasa atas nama rakyat tetapi tidak sepenuhnya bertanggung jawab

kepada rakyat. Dalam demokrasi setengah-setengah, elite sering dapat memanfaatkan

kedudukan mereka dalam pemerintahan, perekonomian, dan media massa untuk

mengobarkan nasionalisme, dan dengan begitu menentukan agenda wacana umum.

Konflik nasionalisme muncul sebagai hasil samping upaya elite membujuk rakyat

menerima gagasan-gagasan nasionalisme yang sarat sentiment perpecahan (Snyder:

23).

Teori demokrasi menurut Dahl dan Snyder inilah yang penulis gunakan dalam

penelitian ini untuk melihat demokratisasi yang diperhadapkan dengan berbagai

tantangan di negara-negara Arab. Di mana kitahui bahwa demokrasi, menurut Dahl,

mempunyai delapan unsur yang menjadi fondasi berpijaknya sistem yang demokratis.

Artinya bahwa demokratisasi di negara-negara Arab, dalam hal ini Tunisia, Mesir,

dan Suriah, adalah upaya untuk mewujudkan ke delapan unsur tersebut. Selain itu,

45
Dahl juga melihat adanya peran pihak luar (asing) dalam proses terciptanya sistem

yang demokratis.

Teori Snyder juga penulis gunakan, memadukannya dengan teori Dahl, karena

dalam demokratisasi, Snyder melihat adanya tahap-tahap yang dialami oleh setiap

negara yang sedang dalam transisi menuju sistem yang demokratis. Kedua tahap itu

adalah dengan apa yang ia istilahkan mature democracy dan democratizing state. Di

mana Menurut Snyder, perlu adanya pergantian kepemimpinan secara demokratis

(pemilihan umum) selama dua kali dari suatu negara yang masih dalam kategori

democratizing state untuk menjadi mature democracy. Dalam fase democratizing

state itulah, konflik nasionalis seringkali tidak dapat dihindarkan. Teori ini, hemat

penulis, sangat tepat untuk membaca tantangan demokratisasi di negara-negara Arab

(Tunisia, Mesir, dan Suriah).

Demokratisasi di Tunisia, Mesir, dan Suriah tentulah akan melalui fase-fase

tersebut, dari democratizing state menjadi mature democracy. Pada tahap

democratizing state (demokratisasi) menuju mature democracy inilah menghadapi

berbagai tantangan yang menjadi fokus dari penelitian ini.

1.5.4. Proses Transisi dan Konsolidasi Demokrasi Menurut Georg

Sorensen

George Sorensen berpendapat, sedikit berbeda dari Jack Snyder, bahwa

transisi dari sistem atau aturan yang tidak demokratis menuju sistem yang demokratis

merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan beberapa fase. Sorensen

46
juga menambahkan bahwa rezim yang baru akan selalu diperhadapakan dengan

sistem demokrasi yang masih terbatas, lebih demokratis dari rezim sebelumnya, tetapi

tidak sepenuhnya demokratis (Sorensen, 2008: 46). Di sini teori Sorensen hampir

sama dengan teori Snyder tetapi dengan bahasa yang berbeda. Jack Snyder

menggunakan istilah democratizing state yang tahapannya menuju mature

democracy.

Konsolidasi dan transisi demokrasi ini lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan

yang dibuatkan oleh Georg Sorensen sebagai berikut.

2. Fase pengambilan
keputusan: mulai
membangun tatanan
2. Fase persiapan:
1. yang demokratis
Kejatuhan rezim
Latar belakang kondisi: yang tidak 3. Fase konsolidasi:
persatuan nasional demokratis Pembangunan
demokrasi yang lebih
lanjut (jauh); demokrasi
sudah melekat dalam
budaya politik

Sumber: George Sorensen, Democracy and Democratization, processes and Prospects in A Changing

World. 2008.

Fase-fase yang dibuatkan bagan oleh Georg Sorensen dalam transisi dan

konsolidasi demokrari ini sangat membantu untuk membaca demokratisasi di negara-

negara Arab pasca The Arab Spring. Berangkat dari bagan di atas, kita dapat melihat

pada fase mana negara-negara tersebut dalam mengonsolidasikan demokrasinya.

47
1.6. Hipotesis

Dari gambaran yang ada, penulis dapat membangun suatu hipotesis terkait

dengan Demokratisasi Era The-Arab Spring di negara-negara Arab: (Studi Kasus

Tunisia, Mesir, dan Suriah) bahwa gejolak The Arab Spring terjadi karena

masyarakat dunia Arab telah cukup lama hidup dengan sistem otoritarian yang tidak

membawa perbaikan kehidupan bagi masyarakat bawah, baik itu dilihat dari sisi

ekonomi maupun politik. Selain itu peran kaum intelektual dan media sosial tidak

dapat dihindarkan dari peristiwa penting tersebut. Munculnya kelompok-kelompok

intelektual dan kuatnya peran media sosial dapat memobilisasi terbangunnya

kekuatan gerakan rakyat untuk melakukan perlawanan dan menuntut perbaikan

kehidupan (demokratis).

Namun demkian, demokratisasi (membangun pranata demokratis) yang

menjadi harapan dari masyarakat Tunisia, Mesir, dan Suriah setelah The Arab Spring

bergejolak menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut datang dari dalam dan

juga dari luar negara-negara tersebut itu sendiri. Tantangan yang datang dari dalam

adalah dengan terbangunnya kultur politik yang otoritarian, struktur politik

demokratis (transparan, akuntabel, dan partisipasi publik) tidak terbangun, dan juga

sistem politik yang memunculkan pemimpin-pemimpin dengan legitimasi poltik yang

rendah (krisis). Tidak terbangunnya kekuatan gerakan masyarakat sipil (civil society)

juga menjadi bagian dari tantangan tersebut.

48
Adapun tantangannya yang datang dari pihak luar adalah keberadaan pihak-

pihak asing, terutama Amerika Serikat, dalam proses pemilihan pemimpin di negara-

negara Arab demi menjaga kepentingan nasionalnya serta menanamkan pengaruhnya.

1.7. Metode Penelitian

Metode yang penulis lakukan dalam penelitian ini Demokratisasi Pasca The

Arab Spring di Negara-negara Arab (Studi Kasus Tunisia, Mesir, dan Suriah) adalah

metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan terkait

dengan sifat, ciri, nilai-nilai (ideologi dan sikap orang), keadaan, dan kondisi. Oleh

karena itu, untuk melakukan hal tersebut, penulis mengkaji dinamika demokratisasi di

negara-negara Arab kontemporer pasca The Arab Spring dengan cara mengumpulkan

data, mengolah data, dan menganalis data yang telah dikumpulkan dan diolah.

Penelitian ini fokus pada kajian kepustakaan.

1.7.1. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Lofland (1984) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah

kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-

lain. Data tambahan yang tidak bisa diabaikan adalah bahan yang berasal dari sumber

tertulis. Data tertulis tersebut dapat berupa buku, majalah ilmiah, sumber dari arsip,

dokumen resmi (Moleong, 2010:157-159).

Oleh karena itu, dalam mengumpulkan data terkait dengan penelitian penulis,

pernyataan-pernyataan maupun langkah politik (tindakan) dari elite-elite politik dari

ketiga negara tersebut (Tunisia, Mesir, dan Suriah), atau negara lain yang terkait,

49
akan penulis amati dan ikuti perkembangannya melalui media massa, baik cetak

maupun elektronik. Selain itu, pernyataan-pernyataan dari para pengamat yang terkait

dengan penelitian ini juga menjadi data yang penting dalam kajian ini. Penulis juga

dapat melakukan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh yang dianggap punya

kapasitas memberikan informasi penting dan akurat terkait dengan penelitian penulis,

misalnya Diplomat, pengamat politik Timur Tengah, dan jurnalis yang pernah

meliput langsung di negara yang penulis teliti.

Terkait dengan data tambahan yang sifatnya tertulis, penulis dapat

melakukannya di perpustakaan-perpustakaan, baik yang ada di Universitas Gadjah

Mada (UGM) maupun yang ada di tempat lain. Khusus untuk majalah ilmiah, penulis

dapat melakukannya dengan mengakses majalah cetak maupun majalah online.

Majalah online, penulis dapat mengaksesnya di lingkungan kampus UGM yang

berlangganan dengan beberapa majalah internasional secara online, seperti JSTOR

dan lain-lain.

Keberadaan majalah online yang dilanggan oleh UGM ini sangat membantu

penulis untuk mendapatkan data-data terbaru terkait dengan penelitian ini. Sementara

itu, untuk mendapatkan data berupa arsip dan dokumen resmi, penulis akan

menghadapi beberapa kesulitan karena tidak punya banyak akses untuk mendapatkan

data-data berupa arsip dan dokumen resmi, seperti untuk mengakses arsip dan

dokumen resmi di Kedutaan/Perwakilan negara-negara tersebut yang ada di

Indonesia.

50
1.7.2. Metode Analisis

Sebagai penelitian yang memfokuskan pada kajian kepustakaan, maka data-

data yang penulis peroleh dari berbagai sumber dioleh dengan menggunakan teknik

content analysis atau di sini dinamakan kajian isi. Beberapa defenisi dikemukakan

untuk memberikan gambaran tentang konsep kajian isi tersebut. Pertama, Berelson

mendefinisikan kajian ini sebagai teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan

secara objektif, sistematis, dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi. Sementara

itu, Weber (1985) menyatakan bahwa kajian isi adalah metodologi yang

memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari

sebuah buku atau dokumen. Defenisi berikutnya dikemukakan oleh Krippendorff

(1980), yaitu kajian isi adalah teknik penelitian yang dimanfaatkan untuk menarik

kesimpulan yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksinya. Terakhir,

Holsti (1969) memberikan defenisi yang agak lain dan menyatakan bahwa kajian isi

adalah teknik apa pun yang digunakan untuk menarik kesimpulan, melalui usaha

menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis. Dari

segi penelitian kualitatif, tampaknya defenisi terakhir lebih mendekati teknik yang

diharapkan (Moleong, 2010:219-220).

Harold D. Lasswell memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai

pendekatan dan tujuan dari analisis isi, yaitu semua tanda (sign) dan pernyataan

dianalisis dengan tujuan untuk menguji efeknya bagi pendengarnya; hasilnya adalah

frekuensi dari simbol-simbol tertentu, intensitas, dan perhitungan dari pengirimnya.

Dalam kajian ini, Lasswell memberikan model komunikasi sebagai dasar analisisnya,

51
“yang mengatakan apa kepada siapa dan dengan efek yang bagaimana” (who says

what to whom and with what effect) (Titscher dkk, 2009: 94-95).

Oleh karena itu, data-data yang penulis kumpulkan tersebut diolah dengan

konsultasi dalam rangka mempertajam pemahaman dan analisis penulis, terutama

kepada Promotor dan Co-Promotor maupun kepada dosen-dosen lain atau diskusi

dengan teman-teman mahasiswa yang punya ketertarikan dengan tema yang penulis

angkat sebagai bahan penelitian. Untuk proses analisis data dimulai dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, sebagaimana disebutkan di atas.

Langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan

melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti,

proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di

dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-

satuan tersebut kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Tahap akhir

dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap

ini selesai, maka mulailah dilakukan tahap penafsiran data dalam mengolah hasil

sementara menjadi teori susbtantif dengan menggunakan metode content analysis

(Moleong, 2010:247).

52

Anda mungkin juga menyukai