PENDAHULUAN
The Arab Spring, Musim Semi Arab, adalah bahasa politik yang mulai
awal Januari 2011 lalu. Istilah yang menunjukkan kejatuhan berderet rezim
pemimpin-pemimpin otoriter dunia Arab, dimulai dari Tunisia, Zein al-Abidin Ben
Ali (Ben Ali), diikuti Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, kemudian ke Libya,
berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya, dilanjutkan oleh Yaman, Bahrain, dan
Rakyat Arab menyebut peristiwa politik penting ini dengan sebutan al-
Tsaurat al-Arabiyyah yaitu revolusi yang akan mengubah tatanan menuju masyarakat
dan bangsa ideal setelah sekian lama dipimpin dengan sistem otoriter, dengan
melahirkan kesenjangan antara elite (penguasa), yang hidup mewah, dengan rakyat
yang miskin. Orang Barat menyebutnya dengan Arab Springs (Musim Semi Arab/al-
Rabi’ al-Arabiy) yaitu musim yang menjadi titik awal pertumbuhan demokrasi di
1
Maka dari itu, peristiwa politik inilah yang menjadi awal untuk mengakhiri
sistem politik di negara-negara Arab yang tidak transparan dan juga tidak membatasi
kekuasaan pemimpin (presiden). Peristiwa ini pula yang menjadi awal untuk
masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam dunia politik, baik itu berpartisipasi untuk
maupun sesudah bergejolaknya Tha Arab Spring 2011 lalu. Oleh karena itu, pasca
bergulirnya The Arab Spring, demokrasi pun menjadi pembicaraan yang menarik dan
hangat untuk membaca masa depan politik kawasan tersebut. Demokrasi mulai berani
disuarakan secara luas oleh masyarakat dunia Arab. Namun demikian masyarakat
dunia Arab sebenarnya telah menuntut kehidupan yang demokratis sejak tahun 1990-
an (Barakat, 2012: 373). Tetapi karena masyarakat tidak mempunyai kekuatan politik
untuk melawan rezim yang diktator sehingga tuntutan mereka tidak tersalurkan
2
melakukan perbaikan struktural dan liberalisasi ekonomi, juga ada peningkatan
penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pada tahun 1994, Liga Arab juga telah
menerima Piagam Hak Asasi Manusia/human right charter (Hassouna, 2001: 51).
Hal itu dapat dikatakan bahwa sejak awal dekade 1990-an, telah dilakukan
dan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia politik.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa harapan dan inisiatif untuk membangun
kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab tidak berjalan lancar serta tidak
sesuai dengan harapan banyak orang. Upaya tersebut berjalan lambat bahkan dapat
demokratisasi yang lambat atau gagal tersebut mendapatkan saluran untuk disuarakan
langsung) terhadap rezim Zein al-Abidin Ben Ali, di Tunisia, yang tidak berpihak
Ben Ali sendiri berkuasa sejak 7 November 1987 melalui kudeta secara damai
tidak lama setelah diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Habib Bourguiba. Rakyat
Tunisia pun bangkit melawan pemerintahan Ben Ali yang memimpin Tunisia dengan
mengekang kebebasan pers, dunia maya (internet) disensor, telepon, dan komunikasi
lewat email disensor, dan oposisi di parlemen dibuatnya tidak berkutik (diam)
3
(Angrist, 2011:76). Menghadapi gerakan massa tersebut, Ben Ali pun melarikan diri
ke Saudi Arabia.
Berakhirnya era kekuasaan Ben Ali ini tersebar dan menjadi berita yang
hangat di seluruh dunia Arab, bahkan dunia. Perlawanan rakyat Tunisia yang berhasil
menggulingkan rezim diktator Ben Ali menjadi inspirasi bagi masyarakat negara-
negara Arab lainnya untuk membangun kekuatan gerakan massa melawan rezim yang
diktator. Dari sanalah gejolak revolusi, The Arab Spring, di Timur Tengah bermula.
Pemimpin pertama, setelah Ben Ali, yang terkena dampak dari gejolak tersebut
adalah Hosni Mubarak yang mundur pada hari Jum‟at, 11 Februari 2011 dari kursi
lamanya. Beberapa negara Arab lainnya, seperti Jordania, Suriah, Bahrain, dan
Yaman terkena dampak revolusi yang berawal dari Tunisia tersebut (Sahide, 2012:
42). Dampak itu berupa munculnya kekuatan massa yang melakukan demonstrasi
Dari beberapa negara yang terkena dampak gejolak yang berawal di Tunisia
tersebut, hanya Suriah yang berlangsung paling lama, sampai saat ini (2016). Dalam
4
demokratisasi dan kemanusiaan, belum berhasil menggulingkan rezim Bashar al-
Assad.
keluar karena negosiasi dari pihak rezim al-Assad tidak ingin membahas posisi
pernah diberi mandat sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur
Tengah, namun Kofi Annan juga gagal menyelesaikan konflik politik di Suriah dan
mengundurkan diri sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur Tengah.
menemukan jalan keluar dari prahara yang berlangsung. Karena negosiasi selalu
menemui jalan buntu, maka pertempuran antara rezim dan kelompok oposisi pun
terus berlangsung sehingga korban, terutama dari rakyat sipil, terus berjatuhan.
Situasi politik dalam negeri Suriah semakin rumit dengan munculnya gerakan politik
baru yang bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan
Suriah (NIIS).
Sementara itu, dua negara lainnya (Tunisia dan Mesir) telah berjalan ke arah
Marzouki sebagai Presiden Tunisia. Marzouki adalah presiden pertama Tunisia yang
5
melalui kudeta. Namun demikian, pada pemilihan kedua, 26 Oktober 2014,
dimenangkan oleh kelompok sekuler, Nidaa Tounes pimpinan Beji Caid Essebsi,
dengan perolehan 80 kursi, dari 216 kursi, sementara Ennahda hanya memeroleh 68
kursi di Parlemen.
Mesir juga telah melaksanakan pemilihan presiden setelah setahun lebih The
Hosni Mubarak. Mursi diambil sumpahnya sebagai Presiden Mesir pada tanggal 30
Juni 2012 dan hanya setahun memimpin karena tokoh Ikhwan tersebut dilengserkan
dari kursi kepresidenan pada awal Juli 2013 melalui demonstrasi massa yang
didukung oleh militer. Pada bulan Juni 2014, Mesir kembali melaksanakan pemilihan
presiden yang dimenangi oleh Abdel Fattah el-Sisi dengan perolehan suara mencapai
Hal ini dapat dikatakan bahwa peristiwa politik The Arab Spring sejak awal
politik berbagai penguasa Timur Tengah, adalah momentum yang menjadi pemantik
demokratis di negara-negara Arab. The Arab Spring menjadi titik awal lahirnya
demokratisasi di negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas, juga masih
6
Perdebatan Demokrasi di Dunia Arab
awal kebangkitan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan lebih demokratis di
kawasan Timur Tengah, terutama dunia Arab, setelah sekian lama dipimpin dengan
sistem otoriter yang mengekang kebebasan masyarakat. Di samping itu, jauh sebelum
dunia Arab, lebih luas dunia Islam. Berangkat dari kajian akademik tersebut, terdapat
dua teori atau pandangan yang berseberangan terkait demokrasi. Ada ilmuwan politik
yang berpandangan pesimis, melihat masa depan demokrasi suram, dan ada juga yang
pesimis ini melihat bahwa dunia Arab (Islam secara lebih luas) pada dasaranya tidak
Ilmuwan politik lainnya yang pesimis adalah Eric Chaney. Chaney merespons
pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul
Democratic Change in the Arab World, Past and Present. Dari tulisannya ini, Chaney
membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi.
Ada tiga keraguan Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan secara
7
Spring, yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya Arab. Chaney
catatan kritis terhadap demokrasi di Arab secara umum dan Mesir secara khusus
yang jauh lebih mengkhawatirkan yaitu praktik pemilu yang tidak jujur dan bersih,
serta suksesi kepemimpinan yang tidak berjalan secara demokratis. Di samping itu,
Freedom House1 juga memberikan catatan kritis demokrasi di dunia Arab. Menurut
lembaga ini, negara-negara Arab telah mengabaikan dua elemen penting dalam
demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil (Misrawi, 2013: 335).
negara-negara Arab datang dari Julie Chernov Hwang, John L. Esposito, Tariq
Ramadan, dan Hussein A. Hassouna. Hwang mempunyai tesis yang cukup menarik
yang membantah tesis beberapa pakar yang mengatakan bahwa Islam tidak cocok
dengan demokrasi. Menurutnya, asumsi tersebut keliru. Hasil-hasil survei akan nilai-
nilai dunia 1995-1996 dan 2000-2002 menunjukkan bahwa antara 92-97 persen
1
Freedom House adalah organisasi nirlaba yang berpusat di Washington dengan kantor cabang di
berbagai negara.
8
mengutip argumen Jack Snyder bahwa dibutuhkan institusi-institusi politik
demokratik yang andal sebagai pendahulu transisi demokratik untuk mencegah para
negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas. Menurut Esposito, pada
berupaya menjelaskan bentuk demokrasi atau partisipasi politik rakyat dalam Islam.
Mereka berupaya memberikan alasan dan legitimasi islami yang berakar pada tradisi
dan praktik politik Islam modern. Demokrasi telah diterima di banyak negara Muslim
sebagai tes lakmus untuk menjamin keterbukaan pemerintah dan relevansi kelompok
Islam. Ini merupakan simbol legitimasi, yang mengabsahkan dan membatalkan secara
tepat, karena demokrasi dipandang sebagai kebaikan universal (Esposito, 1996: 218).
Maka dari itu, demokrasi menjadi tuntutan rakyat Arab setelah bergulirnya The Arab
Spring karena demokrasi telah menjadi bagian integral dalam pemikiran dan praktik
9
Robert W. Hefner, antropolog dari Barat, juga berpandangan bahwa
demokrasi bukanlah konstruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks
setara dan inklusif itu bukanlah sebuah ciptaan “Barat”, melainkan ciptaan
masyarakat Muslim itu sendiri (Hefner, 2007: 89). Lebih lanjut Hefner menambahkan
bahwa kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural demokrasi bukanlah
Hefner, beberapa pemikir Muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis
lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern
Tariq Ramadan, salah satu dari ilmuwan sosial yang optimis, juga melihat
pendapatnya:
World Policy Journal, Vol. 18, No. 3 (Fall, 2001), pp. 49-52, yang mana dari
10
tulisannya tersebut ia optimis akan demokratisasi di negara-negara Arab.
membantu proses keterbukaan politik dunia Arab. Oleh karena itu, negara-negara
Arab perlu untuk mengatasi berbagai macam tantangan dan rintangan yang ada untuk
antaranya adalah warisan kolonial, konflik Arab-Israel, faktor sosial ekonomi, dan
Dari dua pandangan yang berbeda tersebut, penulis berada pada pandangan
negara-negara Arab dengan data yang dipaparkan oleh Julie Chernov Hwang yang
pandangan yang pesimis akan masa depan demokrasi di negara-negara Arab karena
melihat suksesi kepemimpinan yang tidak bersih, jujur, serta mengabaikan elemen-
elemen dasar dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil. Jika
11
suksesi kepemimpinan dapat dijalankan dengan jujur, adil, bersih serta menjunjung
tinggi hak-hak politik dan kebebasan sipil. Data yang dipaparkan oleh Hwang juga
telah membantah pandangan yang pesimis tersebut. Lebih dari itu, inisiatif-inisiatif
gejolak The Arab Spring, sejak awal 2011 lalu, adalah momentum yang membuka
politik yang transparan, akuntabel, dan terbukanya partisipasi politik secara luas.
Ketika The Arab Spring meluas di Timur Tengah, bahkan menular sampai ke Mesir,
ada suatu asumsi bahwa apa yang dialami oleh negara-negara di sana adalah awal
bagi transisi menuju negara yang pemerintahannya dikelola dengan cara-cara yang
itulah; seperti pembagian kekuasaan, kekuasaan yang dibatasi dan dikontrol, jaminan
tantangan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larbi Sadiki, dari
12
adalah bagaimana membuat sistem (hukum) yang mampu bertahan, netral, dan
jaminan terhadap adanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya (Sadiki, 2014).
Tantangan tersebut datangnya dari dalam (internal) maupun dari luar (pihak asing)
yang menyebabkan rendahnya legitimasi politik, dalam teori Michael Hudson, bagi
institusi politik yang demokratik. Warisan kolonial sudah lama membentuk negara-
negara Arab dengan sistem kerajaan dan kediktatoran (Esposito, 1996: 214). Budaya
dari warisan kolonial inilah yang menjadi tantangan, dari dalam, bagi masyarakat
Arab untuk membangun pranata politik yang demokratis. Politik dengan sistem
pembagian kekuasaan tidak dibangun oleh rezim yang berkuasa karena dapat
kesempatan dan ruang yang sama serta bebas dalam partisipasi politik.
asing dengan berbagai macam motif; ekonomi dan politik (perebutan pengaruh).
Negara-negara asing yang ikut bermain serta ikut campur dalam gejolak The Arab
Spring tersebut di antaranya adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan China
13
legitimasi, seperti dengan memberikan bantuan (pendampingan untuk demokratisasi),
Uni Eropa, misalnya, lebih banyak ikut terlibat dalam kasus Tunisia, adapun
dalam merespons gejolak tersebut. Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS saat itu,
setelah berakhirnya era kekuasaan Mubarak (Kompas, 4/03/2011). Pada sisi yang
lain, AS aktif membangun kekuatan politik untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad
di Suriah. Sementara, Rusia dan China (Tiongkok), dibantu oleh Iran, aktif membela
Dari sini terlihat bahwa negara-negara Arab, setelah bergulirnya Musim Semi,
menjadi medan perebutan pengaruh negara-negara asing di mana hal itulah yang
Ada upaya agar pemimpin yang tampil setelah terjadinya peristiwa politik 2011 lalu
politik dunia Arab, dalam hal ini Amerika Serikat (AS) sebagai pemain utamanya.
Kehadiran pihak asing, terutama AS, turut memengaruhi proses pengangkatan tokoh
tertentu untuk menjadi pemimpin. Di samping itu, kehadiran asing kerap kali
14
adalah munculnya pemimpin-pemimpin dari dunia Arab yang tidak mempunyai
legitimasi politik yang kuat, yang dibutuhkan dalam membangun demokrasi, yang
mana masalah utama negara-negara Arab hari ini, menurut Michael C. Hudson,
Krisis legitimasi politik itulah yang kini dihadapi Mesir dan Suriah, juga
negara-negara lainnya, baik sebelum maupun setelah era The Arab Spring
berlangsung. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum memasuki era The Arab
Spring, ketika negara tersebut dipimpin oleh pemimpin yang tidak memiliki
legitimasi politik yang kuat. Tunisia sejak merdeka hanya memiliki dua presiden dan
semuanya melalui jalur kudeta, kekuasaan kedua pemimpin tersebut juga tidak
Mesir juga demikian, Hosni Mubarak menjadi presiden bukan melalui proses
pemilihan, baik langsung maupun tidak langsung. Mubarak menjadi presiden karena
menggantikan Anwar Sadat yang tertembak mati dalam masa jabatannya. Suriah
mempunyai kasus yang sama, Dinasti Assad menguasai negara tersebut sejak tahun
1970. Melihat ketiga negara tersebut terlihat bahwa tidak ada satu pun pemimpin
Tunisia, awal kebangkitan The Arab Spring, juga tidak terlepas dari gejala
krisis legitimasi tersebut. Begitupun juga dengan gejolak politik yang terjadi di
Bahrain, yang mayoritas Syi‟ah tetapi dipimpin oleh kelompok Sunni. Legitimasi
politik yang rendah terjadi karena proses politik yang tidak melibatkan rakyat banyak
15
dalam pengangkatan pemimpin dan juga pemimpin yang berhasil merebut kekuasaan
itu berasal dari kelompok minoritas. Tanpa legitimasi, menurut Max Weber, suatu
pemerintahan, rezim, atau sistem pemerintahan akan berada dalam tekanan berat
(Hudson : 1). Selain itu, masalah legitimasi politik yang rendah, di samping kesulitan
bagi intervensi asing yang biasanya cenderung mempunyai kebijakan politik devide
Legitimasi politik yang rendah inilah yang menjadi salah satu celah bagi
pihak asing untuk hadir memainkan peran dan semakin memperkeruh suasana
konflik. Konflik-konflik yang berlangsung di kawasan Timur Tengah hari ini tidak
luput dari keberadaan pihak asing. Kisruh politik yang sampai hari ini terus
versus Rusia, China, beserta Iran. Perlawanan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir
yang baru saja dicap sebagai teroris karena ada intervensi asing yang terkesan
mendukung militer yang mengambil-alih kekuasaan secara tidak sah dari tangan
Arab. Pada sisi yang lain, perilaku rezim politik di negara-negara Arab juga tidak
kehilangan kekuasaannya. Hal ini juga dituliskan oleh Marina Ottaway dan Thomas
16
Carothers bahwa masyarakat di negara-negara Timur Tengah, khususnya negara-
negara Arab, menghendaki kebebasan politik dan pemerintah memahami hal tersebut
membendung kritik-kritik yang ditujukan padanya, baik dari dalam maupun dari luar
intervensi asing, dan perilaku rezim) inilah yang mewarnai gejolak politik di negara-
negara Arab, terutama Tunisia, Mesir, dan Suriah pada era The Arab Spring. Sampai
hari ini, Tunisia dapat dikatakan berhasil mengonsolidasikan demokrasi. Pada akhir
tahun 2011 negara ini sukses melakukan pemilihan presiden yang mengantarkan
ribuan orang turun ke jalan, pada bulan September 2013, di Tunisia untuk
melancarkan protes pada partai berbasis Islam, Ennahda. Para pendemo mendesak
pemilihan umum (pemilu) secepatnya. Pada akhir Januari 2014 lalu, Parlemen, yang
(Arjomand, 2014: 188). Perkembangan politik di Tunisia setelah kepergian Ben Ali
17
Sementara itu, perkembangan politik di Mesir berbeda jauh dengan apa yang
terjadi di Tunisia. Mesir memang sukses mengadakan pemilihan presiden satu tahun
Ikhwanul Muslimin (IM), pada tanggal 30 Juni 2012, dengan membacakan sumpah
jabatannya di hadapan para hakim agung. Namun, kurang lebih satu tahun menjabat,
Muhammad Mursi harus rela kekuasaannya dirampas kembali oleh kelompok militer,
Sulit dimungkiri bahwa militer berdiri di belakang ribuan massa yang turun ke
jalan mencabut legitimasi politik presiden yang diusung oleh kelompok Ikhwanul
Muslimin tersebut. The Arab Spring (Musim Semi Arab), yang dielu-elukan oleh
rakyat Mesir ketika berhasil menggulingkan penguasa tangan besi saat itu, Hosni
Mubarak, sepertinya hanya euforia belaka. Kehidupan yang bebas, yang adil, dan
layak secara ekonomi yang diimpikan oleh rakyat Mesir dalam kehidupan bernegara
yang demokratis sepertinya masih jauh panggang dari api. Sampai saat ini, kekerasan
dan kekisruhan politik masih terus mewarnai kancah politik Mesir. Militer yang
menyerah begitu saja. Mereka terus melakukan perlawanan, meledakkan bom dan
lain sebagainya, karena menganggap bahwa rezim yang berkuasa saat ini tidak
mempunyai legitimasi politik. Hal itu karena Abdel Fatah el-Sisi merebut kekuasaan
18
Suriah, yang dipimpin dengan sistem politik “republik dinasti” sejak tahun
1970, juga punya cerita perkembangan politik yang berbeda. Sampai pada hari ini,
Oktober 2015, gejolak di Suriah belum berujung serta beberapa kali mendapatkan
ancaman serangan militer dari Amerika Serikat (AS). Upaya perdamaian antara rezim
Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi selalu mengalami jalan buntu. Dalam
kasus Suriah, konflik ini bukan hanya pertempuran antara rezim Bashar al-Assad
(Tiongkok), dan Iran. Oleh karena itu, jika pihak oposisi gagal menggulingkan Assad
berarti juga adalah kegagalan bagi Amerika melawan Rusia, China, dan Iran.
ketegangan itu terjadai antara Obama, Presiden AS, dengan Vladimir Putin, Presiden
Rusia. Sejarah mencatat bahwa keruntuhan Uni Soviet (Rusia) pada akhir dari Perang
Dingin karena dikalahkan oleh Amerika Serikat. Peristiwa politik penting dari dunia
internasional inilah yang dibahasakan oleh Francis Fukuyama sebagai The End of
History and The Last Man. Artinya bahwa keruntuhan Uni Soviet adalah akhir dari
berpandangan bahwa tidak ada lagi ideologi yang mampu menyaingi kapitalisme
(Fukuyama, 2001).
Oleh karena itu, dalam kasus Suriah yang tidak terlepas dari campur tangan
asing dapat dikatakan bahwa kekalahan oposisi adalah kekalahan bagi AS dan itu
akan menjadi titik awal dari pembuktian alur sejarah bahwa sejarah dunia yang
dikatakan oleh Fukuyama belum berakhir. Rencana serangan militer oleh Obama
19
kepada rezim Bashar al-Assad sepertinya adalah bagian dari upaya Obama untuk
mempertahankan alur dan „takdir‟ sejarah dunia. Situasi politik Suriah kini semakin
runyam setelah munculnya gerakan politik baru, yaitu Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS). ISIS merupakan negara baru yang dideklarasikan oleh Abu Bakar al-
Baghdady pada tanggal 9 April 2013, menyusul terjadinya perang saudara di Irak dan
Suriah.2
yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, tidak terlepas dari
pengaruh atau keterlibatan asing. Pihak asing hadir untuk mendukung atau untuk
menggulingkan rezim yang berkuasa. Naomi Klein, seorang penulis dan pembuat
film, dalam bukunya The Shock Doctrine, memperkuat alasan keterlibatan asing
dalam turbulensi politik di negara-negara Arab bahwa salah satu cara bagi negara-
negara lain (super power) untuk masuk dan mengintervensi negara lainnya adalah
melalui dengan apa yang dia istilahkan “shock doctrine” (Klein, 2007). Oleh karena
itu, gejolak The Arab Spring pun dijadikan sebagai momentum oleh AS untuk
menancapkan doktrin politiknya terhadap negara-negara yang selama ini belum dapat
ia kontrol sepenuhnya.
yang diyakini sebagai sistem yang berupaya mewujudkan kebaikan bersama (common
2
ISIS adalah organisasi teroris, namun ia bukan hanya organisasi teroris. Ia adalah juga semacam
mafia yang mahir dalam bermain di pasar gelap minyak dan perdagangan senjata transnasional. ISIS
yang pada mulanya diremehkan, tetapi lalu menjadi sensasional sekaligus brutal dan licik. Kini, ISIS
berhasil menghancurkan perbatsan negara-negara kontemporer dan memproklamasikan diri sebagai
pembangkit kekaisaran Islam (Weiss dan Hassan, 2015: xxi-xxii).
20
good). Walaupun Amerika juga seringkali menghambat pertumbuhan demokrasi jika
hal itu dapat mengganggu kepentingan nasionalnya. Dari gejolak ini terlihat pihak-
pihak asing menetapkan standar ganda dari keterlibatan mereka dalam gejolak The
Arab Spring. Hal itu dapat dilihat dalam kasus Mesir, sejak awal tergulingnya
Mubarak, Barat (Amerika) sebenarnya khawatir bahwa krisis (the Arab Spring) yang
akan membawa ke jalan demokrasi yang begitu cepat akan memberi ruang bagi
Ikhwanul Muslimin untuk muncul sebagai kekuatan politik utama (Goldberg, 2011:
111).
negara dengan rezim partai tunggal, karena secara historis Suriah di bawah al-Assad
berada dalam kubu politik yang berlawanan dengan kubu yang dibangun Amerika
dan aliansinya. Oleh karena itu, keterlibatan AS dalam kasus Suriah dengan alasan
259).
Dalam kasus Tunisia, dukungan Barat memang tidak ada ketika tekanan dari
masyarakat datang dan dialamatkan kepada Ben Ali karena Tunisia bukan
(Angrist, 2011: 80). Barat pun tidak terlalu banyak bermain untuk mendukung atau
21
„menghambat‟ demokratisasi. Begitulah potret demokrasitisasi di negara-negara Arab
era the Arab Spring yang tidak dapat terlepas dari campur tangan asing dengan motif
sudah lama mempunyai aspirasi kehidupan yang demokratis namun tersengap oleh
kontrol negara yang begitu kuat dan dominan. Maka, gejolak The Arab Springlah
yang membangkitkan masyarakat dunia Arab untuk berani melawan rezim otoritarian
serta menuntut kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem yang demokratis.
Dengan demokrasilah, rakyat mempunyai daulat atas negara yang mereka bentuk, dan
sebatas fungsinya yang juga terbatas. Yang mana fungsi negara adalah menerapkan
martabat manusia yang telah menjadi milik manusia sejak dari keadaan alamiah, yang
sebagaimana telah disinggung di atas, dapat menjadi sistem kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Namun demikian,
22
Kajian penelitian ini hadir untuk menjawab secara akademik apa yang
bahwa ada aspirasi untuk kehidupan demokratis di masyarakat dunia Arab namun
karena apa yang penulis teliti belum diteliti oleh ilmuwan yang mengkaji politik
dunia Arab, terutama dalam merespons gejolak The Arab Spring. Selain dari itu, teori
yang dihasilkan dari penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan terkait
Arab.
nasional di tiga negara Arab tersebut era bergulirnya The Arab Spring?
23
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Kawasan Timur Tengah sebagai kawasan pertemuan tiga benua; Eropa, Asia,
dan Afrika menjadikannya sebagai kawasan yang strategis, baik secara politik
maupun ekonomi, sehingga kawasan tersebut ditakdirkan menjadi lahan rebutan bagi
tahun 2011 lalu menjadikan kawasan ini dalam tarikan dua kutub besar. Masa depan
politik negara-negara Arab diperhadapkan pada dua pilihan sistem politik; The Arab
Spring adalah awal dari proses menuju sistem pemerintahan yang demokratis,
yang otoriter. Oleh karena itu, penelitian ini ditulis dengan beberapa maksud dan
Pertama, untuk menemukan teori yang menjadi penyebab The Arab Spring
yang mulai bergejolak awal 2011 lalu, termasuk latar belakang terjadinya gejolak
negara-negara Arab.
24
Kedua, untuk mengetahui dan memetakan tantangan demokratisasi di negara-
negara Arab pasca the Arab Spring. Negara-negara Arab yang penulis kaji di sini
adalah Tunisia, Mesir, dan Suriah. Adapun alasan pemilihan ketiga negara tersebut
rezim otoriter, akan tetapi demokratisasinya „dibajak‟ di tengah jalan. Adapun Suriah
Pada bagian sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa salah satu yang
dalam kajian ini penulis akan melakukan pengkajian yang mendalam untuk
menemukan pola yang dimainkan oleh pihak asing, juga rezim yang berkuasa, dan
Ketiga, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara lebih mendalam peran
pihak-pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat, Rusia bersama China (Tiongkok),
dan juga Uni Eropa, dalam proses demokratisasi di negara-negara Arab pada masa the
Arab Spring. Dalam kajian ini, penulis mendalami mengapa Amerika mengambil
25
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menambah khasanah ilmu
pengetahuan, baik itu kalangan akademisi maupun masyarakat secara luas, dalam
mutakhir di kawasan Timur Tengah, lebih khusus lagi pada negara-negara Arab.
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan atau referensi bagi para
akademisi maupun peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut terkait
The Arab Spring yang sudah berlangsung lebih dari empat tahun menjadi
perhatian serius dunia internasional, baik itu para pengambil kebijakan maupun
pemerhati politik kawasan tersebut. Para ilmuwan politik Timur Tengah turut
keilmuan, sudah banyak buku maupun hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Salah satu buku yang ditulis oleh para ilmuwan Barat terkait prahara Timur
Tengah kontemporer adalah buku dengan judul The New Arab Revolt. What
Happened, What It Means, and What Comes Next. Buku yang tebalnya 497 halaman
Arab Spring, seperti Tunisia, Libya dan Mesir. Namun demikian, buku ini tidak
26
mengajak pembaca untuk melihat sejarah dari negara-negara tersebut. Arab Saudi,
salah satu negara Arab yang „aman‟ dari sindrom The Arab Spring, masuk dalam
berbagai perspektif dan fokus kajian. Hal itu karena buku ini merupakan kumpulan
tulisan dari beberapa penulis ternama yang konsen dengan Timur Tengah. Salah satu
dari penulis buku, ini yang banyak menulis buku tentang Timur Tengah, misalnya,
(Tunisia, Mesir, dan lainnya) tidak dibahas secara mendalam dari buku ini.
Halim Barakat adalah salah satu dari ilmuwan politik dari Lebanon yang
merespons gejolak The Arab Spring dengan menuliskan sebuah buku serius yang
berjudul Dunia Arab, Masyarakat, Budaya, dan Negara. Dunia Arab, yang dituliskan
oleh Barakat, mengutip pengamatan Samir Amin, dipetakannya dalam tiga zona yang
sangat berbeda, baik itu pranata politik, ekonomi, dan sosialnya. Ketiga zona tersebut
adalah Arab Timur, negara-negara di lembah sungai Nil, dan Arab Barat. Masyarakat
Mesir adalah masyarakat yang berbasis pada pertanian, masyarakat di kawasan timur
dan barat dunia Arab merupakan masyarakat urban dan pedagang (Barakat, 2012:
103).
Buku yang ditulis oleh Barakat tersebut memang tidak fokus membahas,
menganalisis, atau mengeksplorasi gejolak di Dunia Arab pada abad XXI M ini,
tetapi apa yang dituliskan oleh Barakat di dalam bukunya sangat membantu penulis
dalam membaca dinamika yang sedang bergolak saat ini di kawasan kaya minyak
27
tersebut. Dari penangkapan penulis, Barakat menunjukkan sosok manusia Arab
kepada pembaca secara luas, baik itu identitas, karakter, sejarah, politik, ekonomi,
adalah akankah sistem yang demokratis mulai bersemi di dunia Arab, Timur Tengah
secara lebih luas? Dalam bukunya, Halim Barakat tidak sampai pada kajian ini.
Spring tidak „dijamahnya‟, sehingga pembaca seolah merasa digantung oleh Barakat
Pada bagian terkhir, kesimpulan (bab xii), Barakat hanya mengatakan bahwa
Terlepas dari itu semua, buku Halim Barakat yang tebalnya 447 halaman ini
sangat membantu penulis dalam membaca atau mengikuti dinamika politik dan
Sebaliknya, bagi Barakat, masyarakat adalah kunci untuk memahami agama. Dan
memahami keduanya (agama dan masyarakat) penting untuk membaca politik dari
merupakan basis imperium dan negara pada masa kekuasaan orang-orang Arab.
28
Tariq Ramadan, salah satu ilmuwan yang banyak menulis tentang dunia Islam
merespons dengan menuliskan buku yang berjudul Islam and the Arab Awakening.
Buku yang ditulis oleh Ramadan ini memang cukup untuk mengantarkan kita dalam
membaca perkembangan mutakhir dunia Arab setelah masa yang dia sebut
“uprising”. Ramadan juga sedikit mengulas tekait demokrasi, namun ia belum banyak
Eric Chaney, ilmuwan politik dunia Islam dari Harvard University, merespons
pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul
Democratic Change in the Arab World, Past and Present. Dari tulisannya ini, Chaney
membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi.
Setidaknya ada tiga keraguan dari Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi
Arab pasca the Arab Spring, yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya
negara Arab) mempunyai akar historis yang cukup mendalam (Chaney, 2012).
mempunyai tesis yang kurang lebih sama dengan Huntington atau bahkan
29
“Western ideas of individualism, lib- eralism, constitutionalism, human
rights, equality, liberty, the rule of law, democracy, free markets, the
separation of church and state, often have little resonance in Islamic,
Confucian, Japanese, Hindu, Buddhist or Orthodox cultures” (Rowley
dan Smith, 2009: 274).
dan dinamika politik di negara-negara Timur Tengah, khususnya ketiga negara yang
peneliti akan kaji, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Peneropongan politik ke depan di
negara-negara Arab yang dilakukan oleh Chaney hanya berangkat dari tiga teori yang
mendokumentasikan Musim Semi Arab dengan menuliskan dua buah buku yang
berjudul Musim Semi di Suriah dan Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir.
Kehadiran dua buku yang ditulis oleh Trias Kuncahyono ini sangat penting karena
kronologi gejolak The Arab Spring. Sebagaimana diakui oleh penulisnya sendiri
bahwa buku ini ditulis dengan khas Trias Kuncahyono sebagai seorang wartawan
yang dia lihat dan dengar dari peristiwa yang menjadi sorotan dunia sejak tahun 2011
lalu tersebut. Gaya penulisan Trias Kuncahyono adalah gaya penulisan yang bebas,
tidak ditulis dengan kerangka ilmiah untuk menganalisis fenomena yang terjadi. Oleh
karena itu, kedua buku tersebut tidak menghasilkan teori terkait dengan masa depan
30
Buku terbaru untuk membaca dinamika politik kontemporer pasca The Arab
Spring adalah Beyond The Arab Spring, The Evolving Ruling Bargain in the Middle
East (2014) oleh Mehran Kamrava (editor). Buku ini menguraikan pembacaan
pasca The Arab Spring. Namun demikian, buku ini memiliki kekurangan yang hampir
sama dengan buku The New Arab Revolt. What Happened, What It Means, and What
Comes Next. Kesamaannya adalah keduanya merupakan buku kumpulan tulisan dari
banyak penulis (pakar) sehingga pembahasannya sangat luas (kurang fokus), terutama
Buku terbaru lainnya adalah The Arab Springs, Uprisings oleh Hal Marcovitz
(2014) dan The Future of The Arab Spring (2014) yang ditulis oleh Maryam
Jamshidi. Kedua buku ini lebih fokus membahas kronologi dari peristiwa The Arab
Arab setelah gejolak politik 2011 lalu tersebut masih sangat kurang.
Dari beberapa buku dan hasil penelitian yang ada, sejauh mana pengamatan
penulis, belum menemukan publikasi atau hasil penelitian yang mengkaji lebih dalam
setelah The Arab Spring. Oleh sebab itu penelitian yang penulis lakukan yang
Spring bergulir adalah kajian yang dapat memberikan hal baru dalam dunia
akademik.
31
1.5. Landasan Teori
Spring) yang bergejolak sejak awal tahun 2011. Turbulensi politik dipandang oleh
banyak pengamat politik Timur Tengah sebagai awal dari bangkitnya demokratisasi
yang cukup positif, kecuali Tunisia. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah
bergulir dan teori yang peneliti gunakan sebagai kacamata dalam melakukan
Arab, dalam hal ini negara-negara yang penulis sebut dalam tema sentral penelitian
ini, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Dahl memperkenalan kita istilah fondasi
demokrasi dan keterlibatan pihak asing dalam demokratisasi. Sementara Jack Snyder
1.5.1. Demokrasi
Demokrasi telah didiskusikan selama kurang lebih dua ribu lima ratus tahun,
suatu kurun waktu yang cukup lama untuk memberikan suatu perangkat gagasan yang
32
jelas tentang demokrasi yang dapat disepakati oleh semua orang, atau oleh hampir
semua orang (Dahl,2001: 3). Saat ini jutaan orang diatur dengan hukum berdasarkan
warisan kuno baik dari Yunani maupun Romawi yang sudah berabad-abad lamanya.
Masyarakat menciptakan sistem politik yang kita kenal dengan istilah demokrasi.
suatu saat, dikarenakan kehendak masyarakat itu sendiri dan mencapai perkembangan
yang luar biasa pada saat yang lain. Di banyak negara, sudah lama sekali orang tahu
tentang demokrasi (Ketchum, 2004: 8). Namun demikian, orang Yunanilah yang
sebenarnya menciptakan kata demokrasi- dari demos, yang berarti masyarakat, dan
pemilihan umum yang bebas, ekonomi pasar bebas, juga kebebasan pers dijamin.
Adapun negara yang tidak demokratis dicirikan dengan kekuasaan terpusat di elite
satu partai, sistem ekonominya pun tertutup, dan pers dikontrol pemerintah. Namun
kebebasan politik, tetapi juga termasuk konsep keadilan dan kesetaraan sosial
(Kompas, 23/04/2015).
dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi
33
kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan publik
terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini. Menurut
Robert W. Hefner, tidak ada demokrasi yang cocok untuk semua, melainkan beragam
kebebasan, persamaan, dan toleransi dalam keragaman tidak hadir dalam instruksi
yang dapat dipaksakan untuk seluruh tempat dan waktu. Nilai-nilai ini mengikuti
Community).
Dari sini dapat kita menarik benang merah bahwa demokrasi sejatinya sebuah
sistem yang memberikan keterlibatan kepada publik secara luas agar supaya
banyak). Oleh karena itu sistem tersebut harus transparan, akuntabel, serta memberi
ruang partisipasi publik secara luas. Itulah demokrasi yang menjadi tuntutan
Kata sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya sudah ada
sejak zaman Yunani kuno dengan adanya negara kota “polis” di Athena pada abad V-
IV SM. Sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk yang juga tidak banyak,
beberapa rujukan, warga Athena bertemu setidaknya empat puluh kali dalam setahun
untuk membahas persoalan-persoalan publik. Boleh jadi karena itu, demokrasi kerap
dirumuskan sebagai government of, by and for the people (Ketchum: xi-xii).
34
Dalam masyarakat modern, demokrasi dipandang sebagai simbol peradaban
sosial dan juga kemajuan itu diapresiasi. Dari historis gagasannya, demokrasi tidak
masa lalu, demokrasi tidak berjalan sama positifnya dengan demokrasi yang
diterapkan hari ini. Intinya adalah bahwa demokrasi, dalam arti yang sesungguhnya,
harus dimaknai sebagai cara untuk mencapai kompromi sosial (as a way to social
compromi), yang bertujuan untuk menjamin kehidupan politik yang adil (Zhen, 2006:
1). Kehidupan politik yang adil itu akan terbangun dengan adanya pembagian
legislatif, dan eksekutif. Huntington menambahkan bahwa masa depan demokrasi erat
(Huntington, 1996:76).
demokrasi”. Dari fondasi demokrasi ini, Dahl mensyaratkan, dengan menggali dari
teori „populis‟, adanya tiga karakteristik demokrasi yang dapat dibuat bermanfaat
politik (political equality), dan pemerintahan oleh mayoritas (majority rule) (Krouse,
35
1982:442-443). Dahl kemudian membuatnya lebih spesifik menjadi setidaknya
berkumpul);
Esensinya, poliarki tidak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari elite-
menurut Dahl ini dikembangkan oleh Charles Tilly. Menurut Tilly, terdapat 4
36
pemahaman publik akan demokrasi. Keempat pemahaman itu berdampak pada
kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak
melulu berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (civil and political
rights), tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc rights).
ekonomi dan kesejahteraan. Di sinilah terlihat, tulis Yudi Latif, bahwa konsolidasi
demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada reformasi prosedural, tetapi harus
menjangkau hal-hal yang substantif (Latif, 2012). Oleh karena itu, dalam
samping itu, gerakan-gerakan penguatan civil society penting dilakukan, baik oleh
37
pemerintah, masyarakat, dan juga pihak asing, untuk membangun sistem demokrasi
yang substantif.
Sampai saat ini, demokrasi telah menjadi populer secara universal karena
merupakan sistem politik terbaik yang dapat ditempuh dan diandalkan oleh umat
manusia. Kini, sebagian besar bangsa dan masyarakat menyaksikannya. Fasisme telah
gagal sejak lama. Komunisme tidak ada lagi, sedangkan kekuasaan militer tidak dapat
politik yang baik. Demokrasi memberikan pilihan tertentu, yang secara defenitif tidak
otoritarianisme, entah kiri atau kanan, telah gagal karena tidak mampu menciptakan
legitimasi yang memuaskan atas kekuasaaannya sendiri. Rezim-rezim seperti itu tidak
memiliki modal berupa niat baik yang dapat menguji dirinya selama masa-masa sulit;
tidak dapat terlepas dari pengaruh faktor luar. Hal itu karena sistem apa pun yang
diterapkan oleh sebuah negara, ia tidak akan pernah lepas dari pengaruh pihak asing
sebagaimana dikatakan oleh Robert Dahl bahwa takdir dari sebuah negara adalah ia
38
tidak pernah sepenuhnya berada dalam genggamannya sendiri (Dahl: 189). John C.
adanya interaksi yang terbangun dengan pihak luar, faktor asing. Dalam banyak
kasus, dominasi yang datangnya dari pihak luar (negara lain) sangat menentukan
lingkungan yang terdiri dari negara lain. Di bawah setiap rezim, para pengambil
kebijakan di negara lain. Dalam hal ini, bahkan negara yang paling kuat sekalipun
dalam beberapa hal dibatasi oleh pengaruh dan kontrol atau kekuasaan dari negara
lain. Lebih dari itu, kebanyakan negara berpartisipasi lebih luas dalam ekonomi
Robert Dahl), Dahl membedakan bentuknya secara lebih rinci menjadi tiga cara
39
(jalan) di mana tindakan, reaksi, dan tindakan yang diharapkan oleh pihak luar
Pertama, tindakan politik dari pihak luar (asing) dapat dan hampir pasti
mempunyai dampak terhadap satu atau lebih kondisi dalam negeri, kepercayaan
dari aktivis politik, jalan menuju era hari ini, level pengembangan sosio-ekonomi,
luar.
Kedua, tindakan dari pihak asing dapat mengubah secara drastis pilihan-
pilihan yang ada pada sebuah rezim tanpa harus mengganti bentuk dari rezim
internasional merubah atau mengurangi pilihan-pilihan yang ada pada setiap rezim di
setiap negara.
Ketiga, orang-orang di suatu negara boleh saja dengan sengaja mencari untuk
tertentu rezim politik atas negara lainnya: dominasi asing secara sengaja (Dahl: 189-
191).
40
Pertumpahan Darah, memberikan klasifikasi yang cukup menarik perihal negara
dengan dua tahap. Tahap pertama adalah dengan apa yang ia sebut dengan istilah
tahap yang matang/dewasa. Dalam negara yang demokrasinya sudah matang (mature
militer, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang luber-
jurdil dan berkala; tindakan-tindakan para pejabat dibatasi dengan berbagai ketentuan
calon pemerintah seringkali kalah dan karena itu harus melepaskan jabatan mereka.
umum, dan terwakilinya secara adil pandangan yang beragam di dalam media massa,
didefinisikan oleh Snyder sebagai Negara yang baru saja memenuhi satu atau lebih
41
Ketegori Democratizing State/DS sangatlah luas, tercakup di dalamnya negara
seperti Republik Ceko pada awal 1990-an, yang melaksanakan transisi dari otokrasi
penuh menuju demokrasi penuh. Juga termasuk dalam kategori itu bekas Yugoslavia
dekat menjelang negara tersebut terpecah-belah pada 1991, ketika pertama kali
“dua kali pergantian kekuasaan” (two turnover rule) untuk menandai konsolidasi
kali pindah tangan melalui proses pemilihan umum yang luber-jurdil. Ada pula yang
“permainan satu-satunya” (the only game in town). Itu berarti tidak ada lagi jalan
bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain memenangkan pemilihan
umum yang luber-jurdil. Terakhir, sarjana lain mengukur sejauh mana suatu negara
pemilihan umum yang tetap, partisipasi yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif,
minoritas. Apabila suatu negara telah mencapai nilai cukup tinggi dalam hampir
42
mengonsolidasikan demokrasinya. Menurut semua kriteria tersebut di atas maka
negara yang telah melewati ambang-batas peralihan ini merupakan MD, bukan lagi
DS (Snyder :17-18).
Dalam pandangan Jack Snyder, demokratisasi tidak dapat terlepas dari konflik
setelah bergulirnya The Arab Spring juga diwarnai oleh konflik tersebut. Beragam
fakta menunjukkan adanya hubungan antara demokratisasi dan konflik yang disulut
oleh nasionalisme. Sejalan dengan makin banyaknya orang memainkan peran yang
lebih besar dalam politik, maka bertambah besar pula kemungkinan konflik SARA di
dalam suatu negara, sebagaimana agresi asing makin banyak dengan alasan
dan yang menjadi berita utama selama dasawarsa 1990-an adalah negara-negara yang
mengalami kemajuan tanggung (partial) dalam kebebasan politik atau kebebasan sipil
satu dua tahun sebelum pecahnya pertikaian. Bagian terbesar konflik tersebut terjadi
kelompok politik melancarkan kritik terhadap pemerintah maupun terhadap satu sama
lain (Snyder:18).
Studi sistematis mengenai semua konflik SARA yang terjadi pada 1990
hingga 1998 menunjukkan bahwa tuntutan politik SARA memuncak selama masa
43
transisi menuju demokrasi, seperti yang terjadi menyusul runtuhnya kekuasaan Uni
Soviet, sejak 1989 sampai 1991. Pada pertengahan dasawarsa tersebut gelombang
demokratisasi mengendur atau dalam beberapa kasus malah mundur, dan sejalan
dengan itu jumlah konflik SARA juga berkurang, yang mana demokrasi berhasil
melalui jalan damai. Sementara itu, makin sedikit negeri yang termasuk kategori
berbahaya, yaitu DS, yang mana hak-hak minoritas lebih cenderung diinjak daripada
langkah awal transisi menuju demokrasi yang penuh kesulitan itu meningkatkan
menarik. Menurut Snyder, dua wawasan yang bertentangan, yang masing-masing dia
kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan cita-
cita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian lama” ini merupakan salah satu
44
Snyder berpendapat sebaliknya. Sebelum demokratisasi mulai, nasionalisme
biasanya lemah atau belum ada kalangan luas massa penduduk. Nasionalisme massa
biasanya muncul selama tahap paling awal demokratisasi, ketika para elite
masyarakat tidak hanya perlu menggalang dukungan rakyat untuk keperluan perang
kepada warga biasa. Bagi lapisan elite ini, nasionalisme merupakan doktrin yang
para elite dapat berkuasa atas nama rakyat tetapi tidak sepenuhnya bertanggung jawab
Konflik nasionalisme muncul sebagai hasil samping upaya elite membujuk rakyat
23).
Teori demokrasi menurut Dahl dan Snyder inilah yang penulis gunakan dalam
mempunyai delapan unsur yang menjadi fondasi berpijaknya sistem yang demokratis.
Artinya bahwa demokratisasi di negara-negara Arab, dalam hal ini Tunisia, Mesir,
dan Suriah, adalah upaya untuk mewujudkan ke delapan unsur tersebut. Selain itu,
45
Dahl juga melihat adanya peran pihak luar (asing) dalam proses terciptanya sistem
yang demokratis.
Teori Snyder juga penulis gunakan, memadukannya dengan teori Dahl, karena
dalam demokratisasi, Snyder melihat adanya tahap-tahap yang dialami oleh setiap
negara yang sedang dalam transisi menuju sistem yang demokratis. Kedua tahap itu
adalah dengan apa yang ia istilahkan mature democracy dan democratizing state. Di
(pemilihan umum) selama dua kali dari suatu negara yang masih dalam kategori
state itulah, konflik nasionalis seringkali tidak dapat dihindarkan. Teori ini, hemat
Sorensen
transisi dari sistem atau aturan yang tidak demokratis menuju sistem yang demokratis
merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan beberapa fase. Sorensen
46
juga menambahkan bahwa rezim yang baru akan selalu diperhadapakan dengan
sistem demokrasi yang masih terbatas, lebih demokratis dari rezim sebelumnya, tetapi
tidak sepenuhnya demokratis (Sorensen, 2008: 46). Di sini teori Sorensen hampir
sama dengan teori Snyder tetapi dengan bahasa yang berbeda. Jack Snyder
democracy.
Konsolidasi dan transisi demokrasi ini lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan
2. Fase pengambilan
keputusan: mulai
membangun tatanan
2. Fase persiapan:
1. yang demokratis
Kejatuhan rezim
Latar belakang kondisi: yang tidak 3. Fase konsolidasi:
persatuan nasional demokratis Pembangunan
demokrasi yang lebih
lanjut (jauh); demokrasi
sudah melekat dalam
budaya politik
Sumber: George Sorensen, Democracy and Democratization, processes and Prospects in A Changing
World. 2008.
Fase-fase yang dibuatkan bagan oleh Georg Sorensen dalam transisi dan
negara Arab pasca The Arab Spring. Berangkat dari bagan di atas, kita dapat melihat
47
1.6. Hipotesis
Dari gambaran yang ada, penulis dapat membangun suatu hipotesis terkait
Tunisia, Mesir, dan Suriah) bahwa gejolak The Arab Spring terjadi karena
masyarakat dunia Arab telah cukup lama hidup dengan sistem otoritarian yang tidak
membawa perbaikan kehidupan bagi masyarakat bawah, baik itu dilihat dari sisi
ekonomi maupun politik. Selain itu peran kaum intelektual dan media sosial tidak
kehidupan (demokratis).
menjadi harapan dari masyarakat Tunisia, Mesir, dan Suriah setelah The Arab Spring
bergejolak menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut datang dari dalam dan
juga dari luar negara-negara tersebut itu sendiri. Tantangan yang datang dari dalam
demokratis (transparan, akuntabel, dan partisipasi publik) tidak terbangun, dan juga
rendah (krisis). Tidak terbangunnya kekuatan gerakan masyarakat sipil (civil society)
48
Adapun tantangannya yang datang dari pihak luar adalah keberadaan pihak-
pihak asing, terutama Amerika Serikat, dalam proses pemilihan pemimpin di negara-
Metode yang penulis lakukan dalam penelitian ini Demokratisasi Pasca The
Arab Spring di Negara-negara Arab (Studi Kasus Tunisia, Mesir, dan Suriah) adalah
dengan sifat, ciri, nilai-nilai (ideologi dan sikap orang), keadaan, dan kondisi. Oleh
karena itu, untuk melakukan hal tersebut, penulis mengkaji dinamika demokratisasi di
negara-negara Arab kontemporer pasca The Arab Spring dengan cara mengumpulkan
data, mengolah data, dan menganalis data yang telah dikumpulkan dan diolah.
Menurut Lofland (1984) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah
kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-
lain. Data tambahan yang tidak bisa diabaikan adalah bahan yang berasal dari sumber
tertulis. Data tertulis tersebut dapat berupa buku, majalah ilmiah, sumber dari arsip,
Oleh karena itu, dalam mengumpulkan data terkait dengan penelitian penulis,
ketiga negara tersebut (Tunisia, Mesir, dan Suriah), atau negara lain yang terkait,
49
akan penulis amati dan ikuti perkembangannya melalui media massa, baik cetak
maupun elektronik. Selain itu, pernyataan-pernyataan dari para pengamat yang terkait
dengan penelitian ini juga menjadi data yang penting dalam kajian ini. Penulis juga
kapasitas memberikan informasi penting dan akurat terkait dengan penelitian penulis,
misalnya Diplomat, pengamat politik Timur Tengah, dan jurnalis yang pernah
Mada (UGM) maupun yang ada di tempat lain. Khusus untuk majalah ilmiah, penulis
dan lain-lain.
Keberadaan majalah online yang dilanggan oleh UGM ini sangat membantu
penulis untuk mendapatkan data-data terbaru terkait dengan penelitian ini. Sementara
itu, untuk mendapatkan data berupa arsip dan dokumen resmi, penulis akan
menghadapi beberapa kesulitan karena tidak punya banyak akses untuk mendapatkan
data-data berupa arsip dan dokumen resmi, seperti untuk mengakses arsip dan
Indonesia.
50
1.7.2. Metode Analisis
data yang penulis peroleh dari berbagai sumber dioleh dengan menggunakan teknik
content analysis atau di sini dinamakan kajian isi. Beberapa defenisi dikemukakan
untuk memberikan gambaran tentang konsep kajian isi tersebut. Pertama, Berelson
itu, Weber (1985) menyatakan bahwa kajian isi adalah metodologi yang
(1980), yaitu kajian isi adalah teknik penelitian yang dimanfaatkan untuk menarik
kesimpulan yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksinya. Terakhir,
Holsti (1969) memberikan defenisi yang agak lain dan menyatakan bahwa kajian isi
adalah teknik apa pun yang digunakan untuk menarik kesimpulan, melalui usaha
menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis. Dari
segi penelitian kualitatif, tampaknya defenisi terakhir lebih mendekati teknik yang
pendekatan dan tujuan dari analisis isi, yaitu semua tanda (sign) dan pernyataan
dianalisis dengan tujuan untuk menguji efeknya bagi pendengarnya; hasilnya adalah
Dalam kajian ini, Lasswell memberikan model komunikasi sebagai dasar analisisnya,
51
“yang mengatakan apa kepada siapa dan dengan efek yang bagaimana” (who says
what to whom and with what effect) (Titscher dkk, 2009: 94-95).
Oleh karena itu, data-data yang penulis kumpulkan tersebut diolah dengan
kepada Promotor dan Co-Promotor maupun kepada dosen-dosen lain atau diskusi
dengan teman-teman mahasiswa yang punya ketertarikan dengan tema yang penulis
angkat sebagai bahan penelitian. Untuk proses analisis data dimulai dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, sebagaimana disebutkan di atas.
Langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan
dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap
ini selesai, maka mulailah dilakukan tahap penafsiran data dalam mengolah hasil
(Moleong, 2010:247).
52