Anda di halaman 1dari 6

A.

Latar Belakang The Arab Spring

Pada tahun 2010 hingga tahun 2012, dunia dikejutkan oleh fenomena gelombang aksi
protes yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa Negara Timur Tengah dan di Afrika
Utara. Fenomena ini muncul pertama kali pada 18 Desember 2010 di Negara Tunisia.
Masyarakat Tunisa menuntun mundurnya presiden Tunisia yang pada saat itu menjabat
melalui kudeta yaitu Zine El Abidin Ben Ali yang sudah menjabat hampir 25 tahun, dibawah
kekuasaannya yang diktator, berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan masalah-masalah
lainnya terjadi di negara ini seperti kekerasan fisik, pembungkaman media pers, tingginya
angka pengangguran, kemiskinan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berpolitik. Alasan
yang mendasari masyarakat Tunia turun kejalan melakukan aksi ini dikarenakan
ketidakpuasan dan kemarahan masyarakat Tunisia akan kepemimpinan Ben Ali, membuat
Ben Ali diturunkan secara paksa oleh masyarakat Tunisia.

Aksi yang dilakukan oleh masyarakat Tunisia ini menjadi “inspirasi” bagi masyarakat
di negara lain yaitu Mesir. Mesir dipimpin oleh presiden Husni Mubarak selama hampir 30
tahun lamanya, masyarakat Mesir juga melakukan penurunan paksa terhadap kekuasaan
diktator Mubarak pada 25 Oktober 2011. Selama 18 hari revolusi ini terjadi penuh dengan
kekerasan dan konflik antara masyarakat dan pasukan pemerintahan Mubarak. Peristiwa ini
juga melebar sampai ke Negara Libya dimana masyarakat Libya melakukan aksi protes
menuntut mundurnya diktator Moammar Kaddafi secara paksa. Kaddafi memimpin Libya
selama 30 tahun dan menjabat melalui kudeta militer. Aksi protes yang dilakukan masyarakat
Libya pada 15 Februari 2011  ini mengakibatkan pecahnya perang saudara dan berujung pada
pembunuhan Kaddafi. Kemudian fenomena ini terus berlanjut di berbagai Negara di Timur
Tengah dan Afrika Utara seperti Yaman, Suriah, Bahrain, Iraq, Kuwait, Yordania, Lebanon,
Maroko, Oman, Arab Saudi dan Sudan.

B. Faktor terjadinya Arab Spring

Sebelum terjadinya Arab Spring, tiga negara Arab yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah
memiliki beberapa kondisi yang sama seperti kondisi sosial ekonomi dan politik yang
mempengaruhi Arab Spring. Faktor yang pertama yaitu, Ketiga Negara tersebut memiliki
pemimpin yang otoriter yang berkuasa cukup lama serta pemimpin yang meraih kekuasaan
dengan tidak melalui proses pemilihan yang demokrasti, jadi di Negara-negara tersebut
memiliki banyak catatan pelanggaran hak asasi manusia, membatasi ruang berekpresi
masyarakat, tidak adanya kekebasan pers. Faktor yang kedua, ketiga Negara tersebut
membangun rezim politik dengan satu partai, sehingga para pemimpin menguasai panggung
politiknya. Faktor terakhir yang menyebabkan Arab Spring terjadinya karena adanya krisis
ekonomi dan pengangguran yang melanda masyarakat. Oleh karena itu, fenomena ini
berlangsung di Negara-negara Arab karena memiliki karakteristik yang sama, yaitu protes
melawan kondidi sosial dan ekonomi, menolak kediktatoran dan berjuang melawan korupsi.

C. Gejolak Reformasi Politik di Timur Tengah

Fenomena The Arab Spring tak bisa terlepas dari demokrasi. The Arab Spring
menjadi awal kebangkitan harapan masyarakat Dunia Arab untuk hidup dengan sistem
demokratis. The Arab Spring sendiri merupakan salah satu bentuk transformasi politik yang
bersejarah di negara Arab, sehingga disebut sebagai gelombang empat dalam demokratisasi
(fourth wave democratization).

Jauh sebelum The Arab Spring bergejolak, berbagai pihak telah melakukan berbagai
upaya untuk mereformasi tatanan politik di negara-negara Arab agar pemerintahan yang baik
(good governance) bisa tercapai. Upaya untuk mereformasi sistem politik di negara-negara
Arab tersebut merupakan dampak dari adanya wacana global mengenai demokrasi. Selain itu,
gagasan mengenai reformasi juga sudah mendapatkan dorongan dari aktor internal maupun
eksternal, terutama melalui hubungan antarnegara.* Interaksi antarnegara tersebut antara lain
adalah interaksi yang dibangun oleh negara-negara Arab dan pihak asing, terutama Amerika
Serikat (AS), yang kita ketahui merupakan negara yang paling aktif dalam mengambil
inisiatif dalam demokratisasi di Timur Tengah.*

Gejolak demokratisasi politik di Arab atau yang dikenal dengan nama The Arab
Spring ditandai dengan momentum dimana kekuatan massa (people power) dapat
menggulingkan beberapa rezim dictator, antara lain seperti Ben Ali di Tunisia, Mubarak di
Mesir, dan beberapa negara-negara Arab lainnya. Namun, ada juga negara yang belum
berhasil menreformasi politik negaranya, yaitu Suriah. Kelompok oposisi yang mendapatkan
dukungan dari negara-negara Barat masih belum berhasil menggulingkan rezim Bashar Al-
Assad, yang mendapatkan dukungan politik dari Rusia, Tiongkok, dan Iran. Ekstremisme
terhadap mazhab merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum tercapainya
demokratisasi di Suriah. Hal ini membuktikan bahwa kebangkitan kekuatan massa (people
power) menjadi hal yang sangat penting dalam demokratisasi di negara-negara Arab lewat
The Arab Spring ini.

Pasca demokratisasi di Timur Tengah, tentunya terdapat beberapa hambatan dan


tantangan bagi Timur Tengah untuk mempertahankan sistem pemerintahan demokratisnya.
Menurut para aktivis Mesir, terdapat tiga inti tuntutan perubahan, yakni kesetaraan poltik,
kesejahteraan, dan membangun martabat rakyat.* Namun, untuk memenuhi tiga tuntutan
tersebut, negara Arab harus memulai dengan membangun pranata politik yang dapat menjadi
tiang penyelenggaran demokrasi. Selain itu dibutuhkan institusi-institusi politik yang andal
sebagai pendahulu transisi demokratis untuk mencegah para elite memanfaatkan
nasionalisme ekslusioner untuk menyebarkan instabilitas dan konflik.* Institusi politik itulah
yang dapat menjadi pondasi pembangunan kehidupan yang demokratis.

Negara yang memiliki demokrasi yang sudah terkondolisasi adalah dimana negara
tersebut sudah mampu melaksanakan pemilu yang Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia, Jujur, dan Adil), tanpa adanya kecurangan. Hal inilah yang menjadi tantangan utama
dimana negara-negara Arab harus mampu mentransfer reformulaasi dari kekuasaan segelintir
elit kepada institusi atau masyarakat Islam.

Dalam pelaksanaan The Arab Spring, kondisi sosial dan budaya masyarakat Arab juga
menjadi salah satu hambatan. Faktor agama (Islam), kebiasaan, dan kesetiaan berdasarkan
suku yang menanamkan budaya politik patriarki, dan neo patriarki merupakan ciri politik
negara-negara Arab. Patriarki sendiri dikenal sangat kontras dengan modernitas yang ada
dalam proses demokratisasi. Budaya patriarki yang melekat pada masyarakat Arab inilah
yang menyebabkan rendahnya dialog publik serta partisipasi politik masyarakat Dunia Arab.
Menurut Esposito, partisipasi politik yang rendah disebabkan oleh realitas politik di negara
Arab yang tidak mendorong perkembangan tradisi dan lembaga demokratis.*

Negara-negara muslim cenderung memiliki sistem pemerintahan berupa kerajaaan


dimana negara mempunyai kekuatan penuh untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat
sipil. Hal ini bertentangan dengan sistem demokrasi yang membutuhkan masyarakat yang
memiliki kedaulatan. Selain budaya patriarki, negara-negara Arab juga memiliki legitimasi
politik yang lemah, padahal legitimasi merupakan syarat penting dalam demokrasi.
Fenomena ini disebut juga dengan deficit demokrasi (democratic deficit). Defisit demokrasi
bisa dilihat dari tiga hal, yakni teologi Muslim, budaya Arab, dan juga konflik Arab-Israel.*
Berdasarkan tantangan-tantangan demokratisasi tersebut, kita dapat melihat bahwa
potret politik di negara-negara Arab diwarnai dengan konflik antar klan atau golongan,
seperti konflik Syi’ah-Sunni, konflik Kurdi, konflik Arab-Israel, dan sebagainya. Konflik ini
menggambarkan bahwa kondisi sosial dan budaya Arab masih menjadi sebuah hambatan
untuk demokratisasi di Timur Tengah.

Dalam demokratisasi Islam, partisipasi politik perempuan pun kini menjadi perhatian.
Dalam sejarah dan budaya Arab, posisi perempuan selalu ditempatkan lebih rendah daripada
posisi laki-laki, oleh karena itu, partisipasi politik perempuan di negara-negara Arab masih
cenderung rendah.* Rendahnya partisipasi politik perempuan ini tidak terlepas dari budaya
patriarki yang membangun kultur politik dinasti di negara-negara Arab. Hal ini sangat
bertentangan dengan budaya modernisasi yang terdapat emansipasi atau perjuangan hak-hak
perempuan. Hingga saat ini, wacana mengenai perempuan dan kesetaraan gender tak terlepas
dari perbincangan seputar Islam dan modernitas. Oleh sebab itu, masyarakat semakin akrab
dengan gagasan feminism yang menggugat ajaran-ajaran keagamaan yang menempatkan
perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Emansipasi perempuan hingga kini masih
menjadi masalah sendiri di negara-negara dunia Islam pasca The Arab Spring. Hal inilah
yang menjadi tantangan demokratisasi.

Tak hanya itu, inisiatif demokratisasi yang dilakukan negara-negara Arab dengan
melibatkan negara-negara rupanya menimbulkan kecurigaan dari masyarakat. Masyarakat
menganggap bahwa inisiatif tersebut memiliki agenda tersembunyi. Demokrasi dianggap
sebagai proyek politik luar negeri AS, dimana AS melakukan hal tersebut untuk memperluas
dan mempertahankan kepentingan nasional AS. Oleh karena itu, AS berinisiatif untuk
mendukung demokratisasi Timur Tengah, dengan dalih untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat Arab. Namun, AS cenderung tidak memaksakan kehendaknya di negara Arab
Saudi, terutama pasca The Arab Spring. Berbeda dengan di Suriah, dimana AS membangun
wacana inetrnasional untuk menggulingkan Basar Al-Assad dengan alasan kemanusiaan
(humanitarian intervention). Politik standar ganda inilah yang membuat demokratisasi belum
bisa diterima sepenuhnya.

Selain itu, ternyata keterlibatan AS juga menjadi salah satu faktor yang menggagalkan
demokratisasi di Timur Tengah. Pada tahun 2006, AS menggagalkan hasil pemilihan
demokratis di Otoritas Nasional Palestina. Hasil resmi berupa kemenangan Hamas yang
meraih 76 kursi serta Al Fatah yang meraih 43 kursi dari 132 kursi, dikritik negatif oleh AS
yang saat itu dipimpin Presiden George Bush. Ia menyebutkan bahwa kemenangan Hamas
pada saat itu merupakan peringatan bagi pimpinan Palestina tentang perlunya reformasi.* Hal
ini menunjukkan bahwa AS kembali menerapkan politik standar ganda.

Politik standar ganda AS lainnya juga dapat dilihat dari dukungan dan upaya
penggulingan rezim-rezim setelah The Arab Spring bergejolak, yaitu perbedaan respon di
Tunisia, Mesir dan Suriah. Di Tunisia, AS tidak terlalu banyak berperan sebab menganggap
negara tersenut hanya negara pinggiran, berbeda dengan di Mesir dimana AS sangat aktif
berperan dalam proses peralihan kepemimpinan dari Mubarak ke Mursi. AS juga giat
memberikan bantuan luar negeri yang cukup besar untuk Mesir seperi bantuan militer
sebanyak 1,3 miliar dollar setiap tahunnya yang meningkat hingga 1,551 miliar dollar AS.*

Bantuan-bantuan tersebut sangat menunjukkan betapa dekat dan pentingnya Mesir


bagi AS. Namun, presiden Mesir terpilih yait Mursi memiliki tujuan lain yaitu
mengislamisasikan pemerintahan Mesir, dimana hal ini membuat posisi AS sebagai “sahabat
dekat” Mesir dapat terancam. Keterlibatan AS inilah yang menyebabkan demokratisasi di
Tunisia lebih mengalami kemajuan dibandingkan dengan Mesir. Hal ini membuktikan bahwa
AS maupun Eropa tidak akan membiarkan demokrasi dan kebebasan yang sesungguhnya di
Mesir menjadi kenyataan.*

Politik standar ganda yang diterapkan AS bisa menjadi suatu momentum kebangkitan
gerakan politik Islam di negara Timur Tengah. Negara-negara Barat sangat mewaspadai hal
ini karena apabila demokratisasi berhasil tumbuh di negara Arab, maka akan memberikan
kesempatan untuk kebankitan politik Ikhwamul Muslimin.* Kekhawatiran Arab berhasil
diwujudkan dengan munculnya The Arab Spring yang membangkitkan popularitas kelompok
islamis di negara-negara Arab. Kemenangan demi kemenangan terjadi baik di Tunisia
maupun Mesir, yang menciptakan revolusi rakyat Arab untuk membangkitkan kembali
politik Islam. Selain itu, negara-negara tempat revolusi rakyat seperti Yordania, Yaman,
Bahrain, Maroko, dan Suriah juga memperoleh popularitas di kalangan rakyat.*

Kemenangan dan kebangkitan kelompok Islam pada era The Arab Spring ini tentunya
menjadi ancaan bagi kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah dan Dunia Arab. Oleh
karena itu, muncul lagi tantangan bagi masyarakat Arab terutama Mesir yaitu
mempertahankan kepemimpinan Mursi dari kudeta oleh kelompok militer. Dari penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa standar ganda negara Barat, terutama AS, menunjukkan
bahwa demokrasi harus dapat menjaga dan melindungi kepentingannya. Mereka menganggap
sistem kediktatoran bukanlah hal yang buruk selama dapat menjaga kepentingan AS dan
kelangsungan hidup Israel.* Itulah mengapa konflik Arab-Israel menjadi salah satu tantangan
yang harus dihadapi negara-negara Arab dalam demokratisasi.

Anda mungkin juga menyukai