Anda di halaman 1dari 4

Nama : Royyan Umar Ardiansyah

Jurusan : Kebijakan Pendidikan


NIM : 19110241015
Mata Kuliah : PKN

Dinamika Politik di Indonesia dari Masa ke Masa

Pada tahun 1945-1959 ketika berkembangnya sistem politik demokrasi liberal dengan
sistem parlemenenternya, aktivitas politik masyarakat sangat tinggi, terutama dilakukan oleh
partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Sementara itu pemerintahan parlementer ini
dalam kondisi sangat lemah dan tidak efektif karena harus sering berganti. Pada era ini
berbagai kebijakan publik yang dikembangkan terarah kepada kepentingan rakyat, meskipun
tidak disertai dengan peningkatan kemakmuran, karena lemahnya sumber dana pemerintah.
Demokrasi berkembang tetapi kondisi ekonomi lemah.
Kondisi pada periode demokrasi liberal atau demokrasi parlementer di atas kemudian
berubah ketika dikembangkan sistem politik demokrasi terpimpin (1959-1965). Peran partai
politik dalam penentuan kebijakan publik lemah, berkembangnya pengaruh komunis dan
meluasnya peranan militer sebagai unsur sosial politik. Sebaliknya negara memiliki otonomi
yang sangat besar, tetapi memiliki keterbatasan dalam sumber dana. Sehingga pada era ini
tampak diwarnai kebijakan publik lebih diarahkan untuk kepentingan memperkokoh
kekuasaan penguasa di satu pihak dan pada pihak lain tidak adanya peningkatan kemakmuran
karena masih lemahnya sumber dana pemerintah. Dengan kata lain, rezim otoriter pada masa
orde lama menghasilkan konflik dan kondisi ekonomi bangsa yang lemah.
Kemudian ketika awal Orde Baru (1966–1974) partisipasi politik masyarakat sangat
tinggi, tetapi mulai menurun setelah pemilihan umum 1971. Pada mulanya pemerintah lemah,
tetapi kemudian menjadi sangat kuat ketika adanya pertumbuhan ekonomi dan kontrol
(pengendalian pemerintah terhadap rakyat). Perubahan selanjutnya (1974–1984) partisipasi
rakyat dalam politik dan pembuatan kebijakan publik sangat banyak berkurang. Namun
pemerintah tumbuh sangat kuat dengan pendapatan yang melimpah dari minyak sehingga
menjadi pemerintah yang sangat otonom. Pada perkembangan berikutnya (1984-1990)
pemerintah yang sangat otonom mulai berkembang menjadi rezim yang menyingkirkan semua
kekuatan politik dan kelompok-kelompok yang akan menjadi kendala bagi pemerintahan. Hal
ini mengakibatkan semakin kecilnya partisipasi rakyat dalam politik. Negara tetap kuat
(otoriter) meskipun pendapatan minyak mulai menurun. Dengan kata lain, rezim otoriter
menghasilkan tidak berkembangnya demokrasi.
Kemudian pada awal tahun 1990-an mulailah partisipasi rakyat dalam politik
menguat dalam mempengaruhi pembentukan dan kontrol terhadap kebijakan publik.
Pelakunya terutama dari kalangan kaum buruh, kaum tani, mahasiswa, kaum intelektual,
dan LSM. Misalnya antara tahun 1990 sampai 1993 tercatat rata-rata 217 kali unjuk rasa
setiap tahunnya. Tuntutan kaum buruh, antara lain mengenai: masalah upah, tunjangan
hari raya, tuntutan serikat buruh, dan jaminan sosial. Sedangkan demonstrasi yang
dilakukan oleh mahasiswa terjadi 47 kali di sepanjang tahun 1993. Isu yang diangkat
mahasiswa antara lain mengenai: anti kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
di mana mahasiswa tidak diperbolehkan berpolitik praktis, Golput, aksi antikekerasan,
pembelaan terhadap mahasiswa yang dikenai pasal subversi, kasus penggusuran tanah
rakyat, kasus Kedung Ombo, insiden Nipah, kasus Rancamaya, kasus Cimacan, kritik
terhadap parlemen, kenaikan tarif listrik, pelarangan jilbab di sekolah, UU LAJR, kasus
SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), dan usulan GBHN tentang penataan lembaga
Kepresidenan. Mahasiswa juga mengangkat masalah-masalah internasional, seperti:
solidaritas Afganistan, Bosnia, dan Palestina.
Di kalangan kaum intelektual muncul pemikiran oposisi (perlawanan terhadap
pemikiran pemerintah). Misalnya: pemerintah menghendaki pembangunan untuk
pertumbuhan ekonomi sedangkan kaum intelektual menghendaki pembangunan untuk
keadilan sosial, demokrasi Pancasila menurut pemerintah bersifat khas Indonesia
sedangkan menurut kaum intelektual demokrasi merupakan sesuatu yang universal,
pemerintah menghendaki dipertahankan Dwi Fungsi ABRI (ABRI memiliki fungsi
hankam dan fungsi sosial-politik) seperti: ABRI aktif diberi jatah untuk menjadi anggota
DPR/MPR, menjadi pengurus partai politik, berbisnis) sedangkan kaum intelektual
menghendaki ABRI hanya berperan di bidang hankam saja dan pemerintah menghendaki
persatuan nasional dikembangkan atas dasar asimilasi sedangkan kaum intelektual
menghendaki didasarkan pada multi-kultural.
Pada perkembangan akhir tahun 1990-an (1998) posisi pemerintah tetap tampak masih
kuat, tetapi penopang utamanya faktor ekonomi mengalami krisis moneter (per-tengahan
1997), sehingga akhirnya pengakuan dan dukungan dari rakyat (legitimasi politik) melemah.
Krisis itu menjadikan ekonomi Indonesia sangat lemah karena fondasi ekonomi yang rapuh.
Fondasi ekonomi yang rapuh tampaknya hanya dikuasai oleh segelintir orang (konglomerat)
yang mendapat fasilitas dari pemerintah. Hubungan pemerintah dengan konglomerat ini lebih
banyak menghasilkan KKN, serta semakin memperberat hutang luar negeri, daripada
menetes ke bawah untuk kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya gerakan arus bawah
terutama dimotori oleh Gerakan Mahasiswa '98 semakin menguat dan menuntut reformasi
dengan pergantian kepemimpinan nasional. Kemudian dipicu dengan "Peristiwa Trisakti
12 Mei 1998". Peristiwa ini diawali dengan demonstrasi yang dilakukan lebih kurang
5000 mahasiswa melakukan aksi keprihatinan dengan melakukan "long march" ke gedung
DPR/MPR, namun dihadang oleh aparat keamanan. Setelah ada negoisasi, baik
mahasiswa maupun aparat keamanan mundur tetapi tiba-tiba terjadi penembakan dari arah
belakang mahasiswa oleh aparat keamanan yang mengakibatkan 4 orang mahasiswa
tewas. Peristiwa ini memicu timbulnya kerusuhan pada 13 – 14 Mei 1998. Massa yang
emosional melakukan perusakan di banyak tempat di Jakarta. Selain itu kerusuhan yang
terjadi juga bernuansakan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Di mana massa perusuh melakukan penyerangan terhadap warga keturunan
Tionghoa dan ada dugaan pula bahwa telah terjadi perkosaan massal terhadap warga
keturunan. Kerusakan fisik diperkirakan mencapai 2,5 triliun rupiah. Diperkirakan lebih
dari 1000 orang terbakar di dalam pertokoan yang dijarah dan kemudian dibakar.
Kerusuhan ini menjalar ke wilayah Jabotabek. Ada dugaan kerusuhan ini sudah
direkayasa sedemikian rupa. Karena pada saat kejadian, pihak aparat keamanan bisa
dikatakan lambat dalam mengambil tindakan, sehingga kerusuhan meluas begitu cepat.
Gerakan arus bawah yang dimotori mahasiswa merupakan investasi bagi gerakan
prodemokrasi dan sebagai kekuatan dominan yang menghantarkan perubahan ke arah
transisi dari rezim otoriter Orde Baru ke pemerintahan yang demokratis pada era
reformasi. Era transisi ini ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa
rezim Orde Baru.
Dinamika politik pada era reformasi memperlihatkan adanya upaya untuk
mengembangkan sistem politik demokrasi. Indikatornya proses pembenahan lembaga-
lembaga dan instrumen (berbagai kebijakan umum) untuk mengembangkan pemerintahan
yang demokratis terus dilakukan. Misalnya: amandemen UUD 1945 telah menggeser dari
"Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat", ke "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar". Dengan pergeseran tersebut, Presiden yang semula
dipilih oleh MPR kemudian dipilih oleh rakyat secara langsung. Kemudian ke arah
penguatan lembaga demokrasi juga terlihat semula MPR sebagai lembaga tertinggi dan
mendominasi lembaga lain (super body), kini hubungan itu telah berubah menjadi
"pengawasan dan pengimbangan" (check and balance) antarlembaga negara.
Kemudian juga diperkenalkannya lembaga baru untuk memperkuat pelaksanaan
otonomi daerah atau memperjuangkan penentuan kebijakan publik yang berkaitan dengan
kepentingan daerah, yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Juga diadakannya
Mahkamah Konstitusi yang antara lain berwenang untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar (judicial reviews), memutus sengketa kewenangan
antarlembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang
hasil pemilu. Fungsi legislasi DPR diperkuat. Semula "Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat", setelah
amandemen berubah menjadi "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk
membentuk undang-undang". Sedangkan bagi Presiden pengajuan undang-undang sebatas
hak (dilaksanakan boleh tidak juga boleh).
Kelembagaan DPR/DPRD menguat tidak seperti pada pemerintahan Orde Baru
Kelembagaan dan instrumen demokrasi pada era reformasi belum diikuti dengan budaya
demokrasi dalam praktik ketatanegaraan. Misalnya: perilaku para politisi yang lebih
mengedepankan kepentingan diri, seperti jual beli suara (politik uang) dalam
pemilihan gubernur/bupati dan wali kota. Begitu pula dalam menyusun APBD masih
belum berorientasi kepada pemenuhan kesejahteraan rakyat tetapi pada kesejahteraan
pejabat.

Anda mungkin juga menyukai