Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

REVOLUSI BESAR DUNIA DAN PENGARUHNYA


TERHADAP UMAT MANUSIA
C. Revolusi China
Revolusi China tidak hanya ditandai dengan gerakan menumbangkan Dinasati Manchu
tahun 1912 melainkan juga revolusi kebudayaan dalam menata masyarakat China menuju
masyarakat yang yang lebih baik. Dalam revolusi tersebut, faham nasionalis yang diadopsi
dari negara-negara Eropa Barat dan komunis dari Rusia menjadi dasar dalam gerakan
nasional. Persaingan antara kaum nasionalis dan komunis menandai gerakan revolusi yang
berlangsung hingga terbentuknya Republik Rakyat China tahun 1949

1. Revolusi Menumbangkan Dinasati Manchu

Revolusi China tahun 1911-1912 ditandai dengan gerakan nasional untuk menggulingkan
Dinasti Manchu yang telah berkuasa selama ratusan tahun. Runtuhnya Dinasti Manchu
tahun 1912 merupakan awal dari gerakan perubahan dalam masyarakat China menuju
masyarakat modern yang mengadopsi nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme. Gerakan
tersebut diteruskan dengan gerakan nasional China untuk menata ulang kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan mengadopsi nilai-nilai nasionalisme dari Barat serta
meruntuhkan tatanan masyarakat feodal yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Dalam sejarah China, peristiwa menumbangkan Dinasti Manchu dan gerakan nasional
dianggap sebagai bagian dari revolusi besar dunia karena berpengaruh terhadap
perkembangan masyarakat selanjautnya, baik di China maupun di kawasan lainnya seper ti
Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Tokoh utama revolusi menumbangkan Dinasti Manchu adalah seorang militer bernama
Yuan Shih-k’ai. Ketika terpilih sebagai Presiden Republik China, Yuan menerapkan sistem
pemerintahan otoriter dengan mengabaikan suara di parlemen serta kaum nasionalis yang
dipimpin oleh Sun Yat-sen. Pada tahun 1914, Yuan menerapkan sistem pemerintahan
diktator dengan cara membubarkan parlemen. Tindakan Yuan tentu saja dianggap
bertentangan dengan semangat perubahan sehingga mengecewakan masyarakat China,
terutama kaum nasionalis, yang menghendaki adanya pemerintahanyang demokratis yang
memperhatikan hak-hak rakyat. Peristiwa ini dicatat dalam sejarah China sebagai
kegagalan revolusi pertama dalam masyarakat China.

Salah seorang pemimpin gerakan revolusi China adalah Sun Yat-sen yang mendirikan
Kuomintang atau Partai Nasionalis. Dia memimpin gerakan dari China selatan. Sejak tahun
1923, Partai Nasionalis yang dipimpinnya bergabung dengan Partai Komunis Internasional
serta Partai Komunis China. Gabungan ketiga partai tersebut menandai adanya gerakan
atau front liberal nasional yang anti konservatisme dan anti imperialisme. Sun Yat -sen
bukanlah seorang komunis. Dia adalah seorang nasionalis sejati yang memiliki semboyan
nasionalisme, demokrasi dan kemakmuran rakyat yang menekankan pada semangat
menumbuhkan rasa bangga sebagai banagsa China-Han serta semua golongan masyarakat
termasuk kemakmuran para petani. Sun Yat-sen juga menghendaki adanya pemerintahan
pusat yang kuat dengan menyatukan seluruh China.

Setelah Sun Yat-sen meninggal tahun 1925, gerakan nasionalis diteruskan oleh Chiang Kai-
shek (1887-1975). Pada tahun 1926 dan 1927 Chiang berhasil memimpin pasukan nasionalis
untuk menghancurkan pasukan pemerintah yang dikendalikan para warlods di kawasan
China utara dan China tengah. Tindakan ini menarik simpati para petani untuk bergabung
dengan partai Nasionalis. Pada tahun 1928, dibentuk Pemerintahan di Nanking di China
bagian tengah dan segera mendapat pengakuan internasional dari Barat. Sedangkan
Jepang menolak terbentuknya pemerintahan tersebut bahkan menganggapnya sebagai
ancaman bagi kedudukan Jepang atas Manchuria. Namun demikian, terbentuknya
pemerintahan nasionalis yang kuat di Nanking tidak menjamin China tetap bersatu. China
hanyalah sebuah negara besar berbasis agraria, sangat majemuk, tidak memiliki
infrastruktur komunikasi yang memadai dan sebagian besar rakyatnya masih miskin.
Kemajemukan rakyat China serta adanya perbedaan cara pandang dalam membentuk
pemerintah pusat yang kuat menyebabkan aliansi dalam gerakan nasionalis mengalami
perpecahan.

Persekutuan antara Partai Nasionalis dengan Partai Komunis China segera berakhir dan
berujung dengan persaingan sengit. Pada April 1927 Chian Kei-shek segera melikuidasi
unsur komunis dalam Partai Nasionalis. Tindakan ini telah menimbulkan konflik berdarah
yang memakan banyak korban jiwa.

2. Revolusi Intelektual

Revolusi menumbangkan Dinasti Manchu, rezim otoriter dan imperialisme Barat serta
Jepang disebut sebagai revolusi intelektual yang paling berpengaruh dalam sejarah China
serta menjadi gagasan positif yang diadopsi oleh negera-negara lain di Asia Tenggara
termasuk Indonesia pada awal era Pergerakan Nasional. Revolusi intelektual lainnya adalah
gerakan budaya baru dalam bentuk gerakan liberal yang dipepolori oleh kalangan
intelektual muda yang berpendidikan Barat dalam kurun waktu 1911-1929. Gerakan
tersebut tidak hanya sebagai gerakan anti imperialisme Barat melainkan juga anti terhadap
etika konfusianisme lama yang menempatkan rakyat dibawah penguasa, anak laki-laki
dibawah seorang bapak dan istri di bawah suami. Gerakan ini juga menghendaki perubahan
dalam tatacara penulisasn huruf China menjadi lebih sederhana dan yang menghilangkan
strata/status dalam berbahasa. Cara ini mendorong rakyat berpikir lebih lebih jelas serta
memudahkan terbentuknya pendidikan yang lebih masal.
Salah seorang tokoh intelektual penganut liberalisme adalah Hu Shih (1991-1962). Hu yang
berpendidikan di Amerika Serikat mengadopsi filsafat pendidikan pragmatisme dari John
Dewey. Dalam pendangan Hu, liberalisme dan rekonstruksi China merupakan sarana untuk
memajukan China sebagai negara besar dengan langkah-langkah terukur sehingga bisa
disesuaikan dengan kondisi China yang majemuk.Selain gerakan liberal, gerakan budaya
baru juga ditandai dengan gerakan sosialis Marxisme yang berasal dari Karl Mark, seorang
filossof Jerman yang menjadi cikal bakalbagi lahirnya sosialisme komunis. Gerakan ini
ditandai dengan upaya menentang kehidupan agama di China serta etika konfusianisme.

Gerakan Marxis di China yang sudah dimodifiaksi oleh Lenin dan dipraktekkan oleh
golongan Bolshevik dalam Revolusi di Rusia tahun 1905 dan 1917 dianggap sebagai ajaran
yang bisa memberi harapan bagi kaum terdindas. Golongan petani China yang selama
bertahun-tahun tertindas oleh golongan tuan tanah (landlord) serta para warlord
menjadikan ajaran Marxis sebagai sebuah ideologi yang memberi harapan bagi
terbentuknya masyarakat agraris yang makmur. Apabila Partai Komunis di Rusia
menjadikan kaum buruh (proletar) sebagaibasis masa maka Partai Komunis China
menjadikan kaum petani sebagai pendukung utamanya.

Tokoh utama dari Marxisme di China adalah Mao Tse-tung (1893-1976). Dia memimpin
gerakan petani dengan mengadopsi cara-cara revolusioner komunisme. Gerakan tersebut
segera disambut oleh para petani yang miskin dan tertekan oleh kaum landlord. Pada tahun
1918, segera setelah komunisme memenangkan revolusi di Rusia tahun 1917, Mao yang saat
itu bekerja sebagai asisten pustakawan di Universitas Peking memimpin organisasi buruh
di perkotaan.

Pada tahun 1925, setelah terjadi protes kaum buruh terhadap karyawan dan pengusaha
Jepang yang menyebar dari kota-kota pesisir timur ke daerah pedalaman, Mao mulai
memperhatikan kaum petani secara seksama sebagai kekuatan potensial untuk merebut
kekuasaan. Pada September 1927, Mao memimpin revolusi petani untuk menumbangkan
rezim militer dan kaum nasionalis yang berkuasa. Tindakan yang gagal ini segera diikuti
dengan gerakan lainnya yang lebih besar yang diawali dengan pembagian tanah pertanian
secara merata serta memecah kekuatan militernya ke dalam beberapa kelompok gerilya.
Setelah tahun 1928, dia berhasil mendirikan pemerintah komunis model soviet di Juichin di
China Tenggara sambil menyiapkan serangan ke pemerintah nasionalis di Peking. Gambar
di bawah ini memperlihatkan Mao sedang memimpin pasukan gerilya.

3. Persaingan kaum Nasionalis dan Komunis China serta Pengaruhnya

Kegagalan kaum nasionalis dalam mengusir Pendudukan Jepang di Manchuria tahun 1932
dan kemiskinan yang melanda petani China dimanfaatkan oleh Mao Tse-tung dalam
menarik simpati masyatakat China termasuk kaum nasionalis untuk bergabung dengan
Partai Komunis yang dipimpinnya. Mao mengklaim bahwa pasukan yang dipimpinnya serta
Partai Komunis China adalah yang paling mampu untuk mengusir pasukan Jepang dari
Manchuria. Dalam persaingan untuk mempertahankan kekuasaannya, kaum nasionalis
yang dipimpin oleh Chiang Kai-sheik berusaha untuk mengepung dan memusnahkan
kekuatan komunis yang berpusat di kawasan China tenggara. Pada tahun 1934 usaha itu
mengalami kegagalan. Mao segera membangun kekuatannya kembali, mendirikan daerah
kekuasaannya dan memobilisasi masa petani dan melakukan reformasi tanah pertanian
atau landreform. Agresi militer Jepang di Manchuria merupakan salah satu faktor bagi
munculnya kemenangan kaum komunis China.

Pada tahun 1938, pemerintahan Nasionalis Chiang Kai-sheik memindahkan pusat


pemerintahannya ke Chungking di pedalaman China. Pasukan Jepang segera memperluas
pendudukannya di kawasan China utarahingga China tengah. Di kawasan itu, peperangan
masih terus berlangsung hingga 1939. Untuk melawan pasukan Jepang, pasukan Mao
melakukan perang gerilya yang ditempatkan di daerah pedesaan denan mengambil posisi
di belakang garis pertahanan Jepang. Sementara itu, pasukan kaum nasionalis lebih banyak
berkonsentrasi untuk mempertahankan pusat pemerintahan. Dalam pandangan kaum
petani, pasukan Mao dianggap lebih patriotis dibandingkan dengan kaum nasionalis.
Propaganda untuk mengadakan landreform dan distribusi tanah pertanian lebih menarik
bagi kaum petani.

Peperangan dengan Jepang menyedot sumber daya yang sangat besar dan melemahkan
pemerintahan nasionalis. Peperangan telah menimbulkan kerusakan infrastruktur di
seluruh China, inflasi yang besar, moral yang menurun serta kacaunya kehidupan
masyarakat. Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II di Pasifik tahun 1945, kaum
nasionalis dan komunis segera berebut untuk menduduki wilayah yang ditinggalkan
Jepang. Terjadi perang sipil yang menimbulkan banyak korban jiwa antara kaum nasionalis
dan komunis pada April 1946. Kaum Nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai -sheik mulai
kehilangan kekuatannya. Sebaliknya, kaum komunis dapat mengerahkan pasukannya
untuk memukul mundur pasukan nasionalis yang mulai terpecah belah pada tahun 1948.

Setahun kemudian (1949), Chiang Kai-sheik dan satu juta pendukungnya mengungsi ke
Taiwan. Di Taiwan, Chiang mempertahankanpemerintahan nasionalis. Pada tahun yang
sama Mao-Tse-tung memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China yang
berdasarkan pada sistem pemerintahan komunis.

Revolusi China yang berlangsung lama tidak hanya berpengaruh dalam kehidupan
bernegara di China melainkan juga di beberapa kawasan lain di Asia. Gerakan nasional di
Indonesia, misalnya, mengadopsi nilai-nilai nasionalisme dari Sun Yat-sen serta komunis
berbasis petani dari Mao Tse-tung. Gagasan tentang pembentukan negara bangsa yang
dicetuskan oleh kaum nasionalis dalam menentang kekuasaan asing, terutama Barat dan
Jepang, menginspirasi negara-negara Asia untuk melakukan gerakan yang sama pada awal
abad ke-20. Di mata rakyat Asia yang masih diduduki oleh imperialis Barat, konsep
kesetaraan kelas serta reformasi pertanian mengilhami para petani, yang merupakan
penduduk sebagian besar negara-negara Asia, untuk mengadopsi ajaran komunis sebagai
ideologi dalam melawan imperialisme Barat.

Anda mungkin juga menyukai