Kekalahan China/Dinasti Qing dalam perang Candu (Yapian Zhanzeng) dari
Inggris (1840) merupakan pembuka masa yang disebut era “Seratus tahun penuh penghinaan”. Dalam sejarah China ada istilah tentang bagaimana kaum penjajah membagi-bagi wilayah China bagaikan “memotong-motong semangka” (guafen). Bapak Revolusi China Dr. Sun Yat-sen mengatakan tanah airnya sebagai hypo colony (negara yang diduduki banyak kaum kolonialis). Shanghai merupakan contoh dari system hypo colony itu karena sejak pertengahan abad ke-19 kota besar itu dibagi-bagi menjadi berbagai wilayah (legasi) yang dikuasai berbagai negara penjajah. Para pengunjung museum sejarah revolusi China di Beijing dapat menyaksikan sebuah papan yang dipasang di legasi Inggris. Bunyinya “ Anjing dan orang China dilarang melewati wilayah ini”. Ditengah krisis nasional yang sedang menimpa, bebrapa kalangan elite China bermimpi membuat China kaya dan kuat, acuan gerakan tersebut adalah Jepang yang telah berhasil memodernkan diri dari restotsi Meiji. Dalam sejarah China, kampanye tersebut disebut “gerakan belajar dari orang asing” dengan slogan “Kepribadian China sebagai dasar, pengetahuan Barat sebagai alat untuk keperluan praktis” (zhongxeu weiti, xixeu wei yong). Gerakan ini dimonitori oleh kaum militer dan para pengusaha yang berlansung selama 30 tahun, namun pada akhirnya mengalami kegagalan. Walaupun gagal, gerakan itu memunculkan satu bibit fase dalam dalam sejarah China modern, yakni warlordisme(1916), dimana usaha modernisasi kemiliteran dan ekonomi tak akan berhasil tanpa adanya perubahan politik sosial. Dr. Sun Yat-sen muncul disaat berkuasanya kaum konservatif dikalangan istana. Dia membawa tiga konsep kerakyatan yang terdiri dari Nasionalisme (minzu), demokrasi (Minquan), dan keadilan sosial (Minsheng). Karena seruannya itu, Sun dianggap dan menjadi buronan sehingga ia mengembara ke berbagai negara. Meski demikian, gagasannya untuk merontokkan Dinasti Qing dengan revolusi dan mendirikan sebuah republic mendapat dukungan cukup besar dari rakyat dalam negeri. Oleh karena itu, saat Sun Yet-sen sedang tak ada di China pecahlah sebuah pemberontakkan yang akhirnya meruntuhkan kekuasaan Dinasti Qing pada tahun 1911. Saat ini kaum imperialis masih bercokol dan China masih menjadi jajahan yang terbagi-bagi wilayahnya. Namun, semangat nasionalisme dan penolakkan terhadap tradisi semakin kuatdengan terjadinya peristiwa Gerakan 4 Mei 1919 (wu si yundng). Dalam Gerakan Kebudayaan Baru tersebut, ajaran Konghucu dituduh sebagai biang keladi kelemahan dan tundknya bangsa dan negara terhadap kaum imperialis. Selain itu terjadi pla gerakan menentang tradisi kuno dalam semua bidang. Pada saat yang sama, nasionalisme juga menghadap tantangan baru, yaitu Marxisme, yang diperoleh oleh Mao Zedong. Tantangan itu makin membesar karena pada 1921 Partai Komunis China terbentuk menyaingi Partai Komunis yang telah bediri untuk memperebutkan kekuasaan politik. Meredupnya Nasionalisme di Daratan China, 1949-1978
Berdirinya RRC pada 1949 telah membuat semangat nasionalisme yang di
pelopori Dr. Sun Yet-sen meredup. Apalagi ketika Meo Zedong yang bertindak sebgai presiden dan ketua PKC sangat terobsesi oleh semangat untuk mendirikan masyarakat sosialis di daratan China. Slogan yang dipakai pada masa itu adalah “politik sebagai panglima”. Tokoh yang memimpin China setelah Mao tiada, dengan melalui berbagai perjuangan untuk mencapai kekuasaan adalah Deng Xiaoping. Begitu mengambil alih kendali politik, ia mengubah slogan “politik sebagai panglima” menjadi “ekonomi sebagai panglima”. Dia juga membangun pusat-pusat pengembangan ekonomi untuk membuat seluruh negeri dinamik dalam pembangunan. Nasionalisme dalam Kemasan Sosialisme dan Kapitalisme ?
Pergerakan utama perekoomian Cina adalah negara. Kegiatan ekonomi
nasionalnya dimonitori oleh peran perusahaan-perusahaan negara, dan partisipasi swasta lebih bnyak berfungsi sebagai pendamping. Oleh karena itu tidak dapat disangkal system perekonomian yang dijalankannya adalah kapitalisme negara. Adapun kritik terhadap system itu, perekonomian China selama 20 tahu sejak reformasi dijalankan selalu berkembang diatas 9 persen per tahun. Tapi dalam dua atau tiga tahun terakhir ini sejalan dengan melemahnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi China juga melemah. Sebagai jalan keluar dari krisis ini, para pemimpin China kembali ke nasionalisme, faham yang di sipan dalam laci sejak tahun 1940-an. Kembali ke nasionalisme ini merupakan jalan yang praktis dan mudah, karena sifat utama bangsa Tionghoa adalah chauvisme kultural. Pada dua tahun terakhir ini, pidato presiden Xi Jinping berjudul “Impian China” dianggap sebagai dorongan bagi kaum muda untuk membnagkitka kembali nasionalisme dan kebangsaan. Isinya penuh dengan pesan-pesan yang sangat nasionalistis. Salah satu interpretasi atas pidato itu adalah anjuran Xi untuk merevitalisasi dan membangun kembali negara setelah terpuruk selama hampir 30 tahun sebagai akibat “mimpi” Mao untuk menciptakan masyarakat sosialis tanpa kelas seperti yang diajarkan oleh Marx, Engels dan Lenin.