Anda di halaman 1dari 11

DRAFT SEJARAH FILSAFAT MODERN KELOMPOK 1

Niccolo Machiavelli
BIOGRAFI
Machiavelli lahir pada 3 Mei 1469 di Florence. Ayahnya merupakan seorang pengacara kaya di
Italia. Menillik karirnya, Machiavelli masuk ke dalam pandangan publik dengan
pengangkatannya pada tahun 1498 sebagai Kanselir Kedua Republik Florence. 14 tahun
berikutnya, Machiavelli terlibat dalam kesibukan aktivitas diplomatik atas nama Florence,
seperti melakukan perjalanan ke pusat-pusat utama Italia, ke istana kerajaan Perancis, ke kuria
kekaisaran Maximillian, dll.

Florence telah berada di bawah pemerintahan republik sejak 1494, ketika keluarga Medici yang
terkemuka dan para pendukungnya telah digulingkan dari kekuasaan. Selama masa ini,
Machiavelli berkembang pesat di bawah perlindungan Florentine gonfaloniere (atau kepala
administrator seumur hidup) Piero Soderini. Namun, pada tahun 1512, dengan bantuan pasukan
kepausan, Medici mengalahkan angkatan bersenjata republik dan membubarkan pemerintah.
Dalam peristiwa ini, Machiavelli adalah korban langsung dari perubahan rezim: ia awalnya
ditempatkan dalam bentuk pengasingan internal dan, ketika ia (secara keliru) dicurigai
berkonspirasi melawan Medici pada tahun 1513, Machiavelli dipenjara selama kurun waktu satu
tahun.

Setelah bebas dari penjara, Machiavelli menyingkir ke pinggir kota, yang kemudian hal ini
memberi kesempatan dan dorongan baginya untuk beralih ke pengejaran sastra; menulis dan
merenungkan hasil-hasil pengamatan dan pengalamannya selama ini. Buku-buku hasil
perenungannya ini di kemudian hari menjadi karyanya yang sangat terkenal dan mendapatkan
perhatian dari berbagai kalangan.

Tulisan pertamanya yang berjudul Il Principe ditulis pada akhir tahun 1513 (dan mungkin awal
tahun 1514), tetapi baru diterbitkan secara resmi pada tahun 1532. Il Principe ketika itu disusun
dengan tergesa-gesa oleh seorang penulis yang, antara lain, berusaha untuk mendapatkan
kembali statusnya dalam urusan politik Florentine. (Banyak rekan-rekannya di pemerintahan
republik dengan cepat direhabilitasi dan kembali bertugas di bawah Medici.) Awalnya ditulis
untuk presentasi kepada Giuliano de'Medici (yang mungkin sangat menghargainya), dedikasi
diubah, setelah kematian Giuliano, kepada Lorenzo de'Medici, yang hampir pasti tidak
membacanya ketika sampai di tangannya pada tahun 1516.

Sementara itu, pengunduran diri paksa Machiavelli membawanya ke kegiatan sastra lainnya. Dia
menulis sajak, drama, dan prosa pendek. Machiavelli menulis buku The Art of War yang
diterbitkan pada tahun 1521. Dan yang paling utama, ia menyusun kontribusi besar lainnya untuk
pemikiran politik, Discourses on the Ten Books of Titus Livy, sebuah eksposisi prinsip-prinsip
pemerintahan republik yang menyamar sebagai komentar atas karya sejarawan terkenal Republik
Romawi. Tidak seperti Il Prince, Discourses ditulis dalam jangka waktu yang lama (mungkin
dimulai pada tahun 1514 atau 1515 dan selesai pada tahun 1518 atau 1519, meskipun sekali lagi
hanya diterbitkan secara anumerta pada tahun 1531). Buku ini kemungkinan dibentuk oleh
diskusi informal yang dihadiri oleh Machiavelli di antara beberapa tokoh intelektual dan politik
Florentine terkemuka di bawah sponsor Cosimo Rucellai.

Menjelang akhir hayatnya, Machiavelli mulai kembali mendukung keluarga Medici. Pada tahun
1520, ia ditugaskan oleh Kardinal Giulio de'Medici untuk menulis History of Florence, sebuah
tugas yang diselesaikan pada tahun 1525 dan diserahkan kepada Kardinal, yang sejak itu naik ke
tahta kepausan sebagai Klemens VII, di Roma. Tugas-tugas kecil lainnya datang dari pemerintah
Medici. Akan tetapi, sebelum dia dapat mencapai rehabilitasi penuh, dia meninggal pada 21
Juni 1527.

IL PRINCIPE (TENTANG KEKUASAAN DAN MORALITAS)


Sudah menjadi pandangan umum bahwa ada hubungan khusus antara moralitas (kebaikan)
dengan otoritas yang sah. Banyak penulis, terutama mereka yang menyusun buku nasihat
kerajaan selama Abad Pertengahan dan Renaisans (Awal) meyakini bahwa penggunaan kekuatan
politik hanya sah jika dilakukan oleh seorang penguasa yang karakter moral pribadinya sangat
berbudi luhur. Dengan demikian, para penguasa dinasihati bahwa jika mereka ingin
berhasil--yaitu, jika mereka menginginkan pemerintahan yang damai atau aman-aman saja (ngga
ribut-ribut) dan bertujuan untuk mewariskan jabatan mereka kepada keturunan mereka, mereka
harus berperilaku sesuai dengan standar konvensional tentang kebaikan etis. Dalam arti tertentu,
dianggap bahwa para penguasa melakukannya dengan baik ketika mereka baik; mereka
mendapatkan hak untuk dipatuhi dan dihormati sejauh mereka menunjukkan diri mereka berbudi
luhur dan lurus secara moral.

Menanggapi hal tersebut, Machiavelli mengkritik pandangan moralistik mengenai otoritas dalam
karyanya yang paling terkenal, Il Principe. Bagi Machiavelli, tidak ada dasar moral untuk
menilai perbedaan antara kekuasaan yang sah dan tidak sah. Sebaliknya, otoritas dan kekuasaan
pada dasarnya setara: siapa pun yang memiliki kekuasaan memiliki hak untuk memerintah; tetapi
kebaikan tidak menjamin kekuasaan dan orang baik tidak lantas memiliki otoritas karena
menjadi baik. Sehingga, bertentangan langsung dengan teori politik moralistik, Machiavelli
mengatakan bahwa satu-satunya perhatian nyata penguasa politik adalah perolehan dan
pemeliharaan kekuasaan. Dalam hal ini, Machiavelli menyajikan kritik tajam terhadap konsep
otoritas dengan menyatakan bahwa gagasan tentang hak-hak yang sah atas pemerintahan tidak
menambahkan apapun pada kepemilikan kekuasaan yang sebenarnya.

Il Principe dimaksudkan untuk mencerminkan realisme politik dari seorang penulis yang
sepenuhnya sadar, berdasarkan pengalaman langsung dengan pemerintah Florentine, bahwa
kebaikan dan hak tidak cukup untuk memenangkan dan mempertahankan jabatan politik.
Satu-satunya pemimpin yang menginspirasi Machiavelli adalah Cesare Borgia (1475-1507),
seorang penguasa bengis anak dari Paus Alexander VI yang mampu menaklukan Italia dengan
menipu musuh-musuh selagi membunuhinya. Machiavelli dengan demikian berusaha
mempelajari dan mengajarkan aturan-aturan kekuasaan politik berdasarkan pelajaran yang
didapatkan melalui Borgia. Bagi Machiavelli, kekuasaan secara khas mendefinisikan aktivitas
politik, dan karenanya penting bagi penguasa yang berhasil untuk mengetahui bagaimana
kekuasaan digunakan. Hanya melalui penerapan kekuasaan yang tepat, Machiavelli percaya,
individu dapat dibawa untuk patuh dan penguasa akan dapat mempertahankan negara dalam
keselamatan dan keamanan.

Kunci penerapan kekuasaan yang baik menurutnya adalah apa yang ia sebut virtu, bahasa Italia
yang berarti kejantanan atau keberanian. Machiavelli percaya bahwa kesuksesan bergantung
banyak pada keberuntungan, setengah dari apa yang terjadi pada kita merupakan peluang dan
setengahnya lagi ialah pilihan. Memaksimalkan peluang kesuksesan adalah melalui tindakan
yang berani dan cepat. Dengan begitu, adanya peran keberuntungan tidak membuat kita harus
bertindak seperti korban takdir. Sungai mungkin dapat banjir, dan itu sesuatu yang tidak dapat
kita hindari, akan tetapi jika kita membangun bendungan dan pertahanan banjir, kita memiliki
peluang yang baik untuk bertahan hidup. Seorang pemimpin yang mempersiapkan dengan baik
dan memanfaatkan kesempatan ketika itu datang lebih mungkin untuk melakukannya dengan
baik daripada yang tidak.

Sebagai contoh, ketika Cesare Borgia menguasai kawasan Italia yang bernama Romagna, ia
mengutus komandan kejam, Remirro de Orco untuk memegang pimpinan. De orco
menakut-nakuti masyarakat Romagna untuk tunduk padanya, kemudian pada saat Romagna
berhasil ditenangkan, Borgia justru menjauhkan dirinya dari kekejaman de Orco. Borgia
membunuhnya dan memajang tubuhnya yang terbelah dua di alun-alun kota agar semua
melihatnya. Machiavelli menyetujui perlakuan Borgia yang menyeramkan ini, karena dengan itu,
ia berhasil mendapatkan apa yang ia mau, yakni sisi baik dari masyarakat Romagna. Bagi
Machiavelli, aksi Borgia menunjukkan virtu dan kejantanan, bahwa itulah yang seharusnya
dilakukan oleh pangeran bijaksana.

Lebih lanjut, Machiavelli berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh
kepentingan diri. Manusia adalah makhluk irasional yang tingkah lakunya diombang-ambingkan
oleh emosi-emosinya. Menurut Machiavelli, dengan keadaan manusia yang demikian, seorang
penguasa harus mampu membentuk opini publik yang bisa mengendalikan rakyatnya. Untuk
memperkokoh kekuasaan, penguasa harus mampu memobilisasi nafsu-nafsu rendahan mereka
yang ingin dikuasainya demi maksud-maksudnya sendiri. Pertimbangan moral tidak perlu
dijadikan sebagai prinsip utama seorang penguasa. Seorang penguasa bisa saja bertindak sangat
moralistis, seperti menunjukkan sikap jujur, manusiawi, dermawan, dll, tetapi semua hal tersebut
harus berfungsi demi mencapai maksud dan tujuannya. Apabila keadaan menuntut, demi
kekuasaannya, penguasa juga harus bisa mengambil sikap yang sebaliknya. Machiavelli melihat
bahwa moralitas memiliki tempat dalam kekuasaan hanya sejauh ia berguna untuk kekuasaan.
Atas pandangan inilah, Machiavelli kemudian dianggap sebagai filsuf yang membenarkan segala
cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, baik melalui kekerasan militer, propaganda
yang menipu, peperangan, dll.

IL PRINCIPE (WATAK/KARAKTER PENGUASA BIJAK):


● Memiliki kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, bak dicintai maupun ditakuti
● Watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri
● Sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya dan tulus.
Machiavelli menasihati penguasa untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapapun
tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yani kebaikan
negara. Dia dinilai sebagai Machiavellian karena memisahkan antara perilaku politik dari
seluruh hubungannya dengan keadilan dan moralitas
● Penguasa harus menjalankan pemerintahan dengan cara atau watak manusia dan
binatang. Cara manusia dengan humanismenya, cara binatang dengan power. Manusia
harus belajar meniru singa dan rubah yang licik. Lihai dan mampu menemukan
perangkap tempat, juga sangat kuat dan menakutkan.

Discourses on the Ten Books of Titus Livy


Berbeda dengan Il Principe yang memunculkan banyak perdebatan, karya Discourses
Machiavelli ini dipandang mewakili komitmen dan keyakinan politik pribadi Machiavelli. Dalam
karya yang terbit pada tahun 1531 ini, Machiavelli secara konsisten membagi tatanan kehidupan
sipil dan politik yang dijadikan menjadi bersifat minimal dan yang penuh yang mempengaruhi
pencapaian kehidupan bersama. Tatanan konstitusional minimal adalah tatanan di mana rakyat
hidup dengan aman (vivere sicuro), diatur oleh pemerintah yang kuat yang senantiasa
mengawasi perkembangan bangsawan dan rakyatnya, namun diimbangi oleh mekanisme hukum
dan kelembagaan lainnya. Sedangkan tatanan konstitusional yang penuh, tujuan tatanan politik
adalah kebebasan masyarakat/warga negara (vivere libero), yang diciptakan secara aktif oleh
partisipasi dan interaksi selang kaum bangsawan dan rakyat.

NEGARA DAN AGAMA


A. Konsep Negara
Berdasarkan sintesis konsep negara menurut Machiavelli dalam buku Discourses On Livy dan
The Prince, dapat disimpulkan bahwa konsep negara menurut Machiavelli sebagai berikut.
Negara adalah negara yang ekspansif. Negara yang ekspansif bertujuan untuk menundukkan dan
melemahkan negara-negara lain demi kekuasaan sendiri. Negara yang ekspansif tersebut dapat
dibentuk dengan negara yang memiliki kekuatan militer sendiri.
B. Hubungan Negara dan Agama
Eropa terfokus pada kemajuan negara yang jauh dari dogmatisme terhadap agama, karena para
pemikir dan sarjana kala itu merasa lelah akan konsep etika dan moral yang diajarkan oleh
Gereja (relativisme etika) terhadap para raja, yang pada akhirnya menjatuhkan negara dan
memasukkannya pada kondisi yang buruk. Machiavelli merupakan salah satu tokoh yang ikut
andil di dalamnya, ia menginginkan negaranya menjadi negara yang kuat, tanpa ada jajahan dari
negara lain. Dan menurutnya, kekuatan ini bisa dibangun dengan memisahkan antara kehidupan
gereja dan kehidupan politik.

Gagasan di zaman Abad Pertengahan di mana negara berada di bawah dominasi kekuasaan
rohani Gereja ditolak oleh Machiavelli. Menurutnya, negara jangan sampai dikuasai agama.
Sebaliknya, justru negara harus mendominasi agama. Machiavelli tidak menyatakan bahwa
agama tidak penting, namun agama ini dalam konsep negaranya memiliki fungsi untuk
mempersatukan. Agama berperan dalam mendukung patriotisme dan memperkuat
pranata-pranata kebudayaan. Dengan demikian, gagasan agama menurut Machiavelli bersifat
sekuler.

Referensi
Warburton, N. (2011). A Little History of Philosophy. New Haven and London: Yale
University Press.

Giordano Bruno
Riwayat Singkat
Bila kita berkunjung ke Roma, Campo De Fiori akan menjadi salah satu destinasi yang akan
direkomendasikan penyedia jasa perjalanan untuk kita kunjungi. Campo De Fiori adalah sebuah
alun-alun tempat dimana warga Roma dan turis dapat berjalan santai dan menikmati suasana
Roma sembari menikmati pasta dan pizza otentik Italia yang penuh citarasa. Di tengah
keramaian itu, terdapat sebuah kesedihan yang terabadikan dalam sebuah patung dengan raut
muka sedih sambil memegang sebuah kitab. Sosok tersebut adalah sosok Giordano Bruno, sosok
yang terbakar hidup-hidup atas tuduhan penistaan agama. Qui dove il rogo arse, begitulah
kata-kata yang terdapat pada patung itu yang berarti “Di sinilah api berkobar”.

Bruno lahir di Nola, timur Naples, pada 1548. Sang ayah adalah seorang tentara bayaran yang
melayani tahta Spanyol yang kala itu sedang menguasai Naples. Saat muda, Bruno pergi menuju
Naples untuk mengambil studi humaniora, logika dan dialektika. Kemudian Bruno masuk Biara
Dominika San Domenico Maggiore saat berusia tujuh belas tahun sebagai seorang Giordano.
Bruno memiliki sikap dan pemikiran yang tidak lumrah sebagai bagian dari sebuah biara serta
mendapatkan sebuah cap sebagai seorang yang bidah. Tetapi pada 1572, Bruno ditasbihkan
menjadi seorang imam dan pada tahun yang sama, Bruno dikirim ke Biara Neapolitan untuk
melanjutkan studi Teologi. Hidup dalam biara tak serta merta menjadikan Bruno sebagai seorang
yang patuh pada biara. Bruno melalui renungan-renungannya tertuduh telah mengajari hal-hal
yang dianggap sebagai penyebaran Arianisme 一 doktrin dimana Yesus diciptakan oleh Tuhan
dan menolak konsep trinitas. Karena tuduhan-tuduhan dan kecurigaan yang terus ia terima,
Bruno pun meninggalkan tugasnya dan melakukan pelarian ke kota-kota di Eropa.

Jenewa, Paris, Oxford, London, Wittenberg, dan Frankfurt menjadi tempat pelarian Bruno serta
menjadi tempat Bruno mengembangkan pemikirannya. Sempat menjadi dosen yang masyhur di
Paris serta berhasil menerbitkan karya terbesarnya di Inggris, Bruno akhirnya tetap dikejar-kejar
gereja dimanapun dia berada. Sempat dicari-cari bahkan ketika beliau sedang ada di Frankfurt,
akhirnya Bruno pun tertangkap di Venesia ketika muridnya, Moncegio, melaporkan dirinya.
Bruno akhirnya harus menutup usia dengan cara dibakar hidup-hidup di depan publik di Campo
De Fiori.

De la causa, principio e uno


Tentang penyebab, asas, dan Yang Satu adalah arti secara harfiah dari karya terbesar Bruno yang
berhasil ia hasilkan ketika dirinya berada di Inggris. Dalam buku itu, Bruno melawan gagasan
Aristotelianisme yang kala itu sangat dipegang teguh tidak hanya oleh penguasa maupun elite
gereja melainkan masyarakat zaman itu pula. Melalui dialog antara Filoteofilo, Elpino dan
Albertino, Bruno menunjukan bahwa alam semesta itu tak terbatas, abadi, dan terdiri atas
planet-planet, termasuk bumi sehingga bumi sebagai pusat alam semesta sulit dibayangkan, yang
memiliki kemampuan untuk bergerak sendiri. Sehingga terlihat dengan jelas bahwa Bruno
menyangsikan adanya sebuah causa prima yang menjadi sebuah primary mover sekaligus
primary cause di luar dari alam semesta. Terlihat jelas pula Bruno pun menolak bumi sebagai
pusat alam semesta sehingga dapat disimpulkan bahwa Bruno terpengaruh dan mendukung
gagasan heliosentrisme Copernicus. Maka apabila alam semesta itu tak berbatas, Tuhan pun
tidak terbatas.

Menggabungkan Teologi dan Sains


Pemikiran Bruno jelas melawan gereja dan terlalu modern untuk zamannya. Pemikiran Bruno
melakukan sebuah bentuk pembangkitan terhadap pembahasan kosmologi yang sempat jaya pada
era Yunani Kuno dengan citarasa pemikiran modern. Pemikiran Bruno membawa manusia
menuju ambang modernitas dengan membahas astronomi, kosmologi dan metafisika kendati
masih berciri teologis. Bruno meneruskan tradisi emanasi neo-platonisme sehingga Bruno
mengatakan bahwa Allah pun tidak terbatas layaknya alam semesta sebagai pancaran-Nya.
Tetapi terkait Tuhan dan alam semesta, kita dapat melihat posisi panteisme moderat dari seorang
Bruno dimana Bruno tidak dapat secara langsung menyamakan Tuhan dengan Alam Semesta.
Dalam Hardiman (2019), Bruno melakukan distingsi manifestasi Allah ke dalam 2 bentuk
manifestasi. Yang pertama disebut sebagai natura naturans, yakni Allah sebagai penyebab
penciptaan. Kemudian yang kedua disebut sebagai natura naturata, yakni alam semesta sebagai
pancaran Allah adalah akibat penciptaan, suatu totalitas dari hal-hal yang tampak. Alam semesta
adalah pancaran dari Allah dan dalam Allah ini hal-hal yang bertentangan dipersatukan
(coincidentia oppositorum). Bruno hendak meleburkan kepercayaan teologis tradisional bercorak
neo-platonisme dengan cikal bakal fisika modern dimana Bruno mencoba menggabungkan
konsep emanasi Allah dan gerak alam semesta. Bruno pun mendahului pemikiran empiris Bacon
dengan menyebutkan bahwa rasio tidak dapat memecahkan segala hal melainkan rasio itu harus
patuh terhadap alam untuk mendapatkan sebuah pengetahuan tentang alam. Bruno membuka
gerbang corak pemikiran filsafat bercorak empiris.

Kendati Bruno masih mencampur-adukkan Teologi, Astronomi, Kosmologi bahkan konsep


ghaib, Bruno adalah bentuk ambang modernitas dari peradaban manusia serta gerbang
Renaisans. Bruno menjadi pendobrak tradisi filsafat yang kala itu berbasis komunitas keagamaan
dengan memasukkan corak kosmologi ke dalam pemikirannya. Sekalipun agaknya Bruno masih
terlihat kabur dengan kebimbangannya, Bruno telah berani melawan hegemoni gereja kala itu
dan menjadi simbol kebebasan berpikir. Melalui pemikirannya, Bruno membuka gerbang
renaisans serta pembabakan filsafat modern dengan memasukkan unsur sains ke dalam dunia
filsafat.

Daftar Pustaka
Knox, Dilwyn. (2019). "Giordano Bruno", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer
2019 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL =
<https://plato.stanford.edu/archives/sum2019/entries/bruno/>.
Anugrah, Dea. (2017). Giordano Bruno, Pemikir yang Dibakar atas Nama Iman. Diambil dari
https://tirto.id/giordano-bruno-pemikir-yang-dibakar-atas-nama-iman-cg26
Acocella, Joan. (2008). THE FORBIDDEN WORLD, Did a sixteenth-century heretic grasp the
nature of the cosmos?. Diambil dari
https://www.newyorker.com/magazine/2008/08/25/the-forbidden-world
Aquilecchia, G. (2021). Giordano Bruno. Encyclopedia Britannica.
https://www.britannica.com/biography/Giordano-Bruno
Hardiman, F. Budi (2019). Pemikiran Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Yogyakarta:
Kanisius.

Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2019, July 23). Arianism. Encyclopedia Britannica.


https://www.britannica.com/topic/Arianism
Francis Bacon

Latar belakang pemikiran Bacon

Bacon adalah seorang filsuf yang lahir pada masa kegelapan di Eropa. Pada masa ini masyarakat
Eropa hidup dalam hegemoni agama yang begitu kuat. Gereja membatasi manusia dalam
berpikir dan ilmu pengetahuan malah dianggap sebagai jalan menuju neraka. Siapa pun orang
yang melawan kehendak gereja dianggap bersalah dan akan dijatuhi hukuman. Kondisi inilah
yang membuat Bacon ingin memberikan distingsi yang jelas antara teologi dengan filsafat.
Menurut Bacon melalui ilmu, manusia justru akan memperlihatkan kemampuan kodratinya.
Meskipun pemikiran-pemikirannya sangat tajam tetapi berbeda dari Bruno yang sangat berkobar
untuk meruntuhkan sistem pengetahuan sebelumnya Bacon justru mengambil sikap tenang,
dingin, ketat, dan analitis.

Sebagaimana Machiavelli dan Bruno, pemikiran Bacon berciri Renaisans, ia mencoba untuk
meninggalkan filsafat tradisional tetapi di lain sisi juga masih percaya pada Aristoteles. Misalkan
dalam istilah “kausa efisiensi” dan “kausa materialis” sebagai pembahasan ilmu fisika, yang
mana objeknya bisa langsung diamati sebagai sebab-sebab fisis, sementara metafisika membahas
seputar “kausa formalis” dan “kausa finalis” sebagai hukum yang tetap, yang kemudian dikenal
dengan hukum alam yang tidak dapat langsung diamati secara empiris. Kerja ilmuwan adalah
menemukan kausa formalis dan finalis tersebut. Maka ilmu pengetahuan terus berkembang
sampai tanpa batas. Bacon menunjukkan minat yang begitu kuat pada ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu Bacon menganggap manusia sebagai ukuran dari segalanya. Dengan anggapan
tersebut ia tidak berusaha untuk menentang agama atau menyangkal Tuhan, akan tetapi ia
menekankan bahwa manusia haruslah berusaha untuk menyelesaikan problem-problem dalam
hidupnya sendiri. Ilmu pengetahuan merupakan solusi untuk menyelesaikan problem-problem
tersebut.

Knowledge is power
Apa yang dikagumi oleh Bacon dari pengetahuan adalah soal observasinya yang dilakukan
secara indrawi dan melalui observasi itulah suatu kebenaran yang diandaikan bisa diuji secara
langsung. Ketika hal tersebut berhasil diuji secara berkali-kali lahirlah apa yang disebut
pengetahuan. Melalui ucapannya bahwa "knowledge is power" memberikan semangat ilmu
pengetahuan yang besar bagi manusia dalam hubungannya khususnya dengan alam. Dalam
banyak hal, bisa dikatakan pemikiran ini adalah penemuan terbesarnya.

Alam hanya dapat ditaklukkan oleh pikiran ketika manusia memahami alam itu sendiri, dengan
cara mengetahui hukum-hukumnya, mempelajari sifat-sifat universal dari alam dan
pengecualian-pengecualiannya. Pemikiran Bacon yang dikenal dengan knowledge is power
adalah kekuasaan yang didasarkan pada pengalaman. Pengetahuan indrawi tidak dapat
menguasai segalanya, namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat dipergunakan
untuk memajukan kehidupan manusia. Selalu bertumpu pada inderawi, hal itu terkait dengan
bagaimana ia sangat menolak segala campuran filsafat alam dan keilahian. Aksinya ini bukan
tertuju pada pertentangannya atas agama. Ia hanya ingin membetulkan sebagaimana yang
seharusnya.

Terdapat setidaknya tiga hal yang membuktikan peran pengetahuan sebagai instrumen dari
kemajuan umat manusia. Pertama, mesin yang menghasilkan kemenangan dan peran modernitas.
Seperti yang terjadi pada revolusi Industri di Eropa. Kedua, munculnya kompas yang
memungkinkan manusia untuk berlayar. Ketiga, percetakan yang membantu percepatan
penyebaran ilmu itu sendiri.

Idola-idola
Dalam bukunya Novum Organum Bacon mengenalkan konsep "idola". Idola disini dapat
didefinisikan sebagai unsur-unsur yang baik secara sadar maupun tidak dibentuk oleh pikiran
seseorang sehingga apa yang diungkapkan tidak sepenuhnya menggunakan daya berpikir kritis.
Gambar dalam pikiran kita sejak awal tidak memberikan gambaran objektif tentang objek yang
sebenarnya. Akibatnya, kita harus meningkatkan pikiran kita, yaitu dengan membebaskannya
dari idola-idola tersebut sebelum kita memulai memperoleh pengetahuan. Agar suatu
pengetahuan tidak terjebak pada proses generalisasi yang tergesa-gesa, maka ada empat
penghalang prakonsepsi yang perlu dihindari.

1. The Idols of Tribe


Idola tribus adalah menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada
sebab-sebab yang diperiksa secara dangkal.
2. The Idols of the Cave
Idola specus, yaitu menarik kesimpulan hanya berdasarkan prasangka pribadi, prejudice,
selera a priori
3. The Idols of the Marketplace
Idola Fori maksudnya adalah menarik kesimpulan hanya karena umum berpendapat
demikian, yang terjadi akal tidak hanya mengatur kata-kata, tetapi kata-kata bereaksi
terhadap pemahaman kita.
4. The Idols of the Theatre
Idola theatri adalah menarik kesimpulan berdasarkan kepercayaan dogmatis.

Dari konsep idola ini Bacon mencoba membersihkan pengetahuan dari macam-macam prasangka
yang menghambat cita-cita dari semangat Renaisans yakni kemajuan pengetahuan itu sendiri.
Proyek Bacon ini juga bisa dikatakan sebagai upaya dari objektifikasi ilmu pengetahuan.

Metode Induksi
Dalam buku Novum Organum, Bacon menyempurnakan metode ilmiah induksi. Menurutnya,
logika silogisme tradisional tidak sanggup lagi menghasilkan penemuan empiris yang baru, ia
hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi deduktif dari apa yang sebenarnya sudah
diketahui. Agar pengetahuan terus berkembang dan memunculkan teori-teori hukum baru, maka
metode deduksi harus ditinggalkan, dan diganti dengan metode induksi modern. Induksi
bukanlah penjumlahan data-data khusus belaka yang nantinya hanya akan menghasilkan
generalisasi menyesatkan. Agar induksi menjadi benar-benar objektif diperlukan "contoh-contoh
negatif". Maksudnya jika suatu gejala diselidiki maka kita juga perlu menyelidiki contoh yang
menyangkal adanya gejala tersebut.

Sumber ilmu pengetahuan menurut Bacon adalah pengalaman empiris, yang dihasilkan dari
fenomena-fenomena alam, sedangkan instrumen pengetahuan menurut Bacon harus
menggunakan panca indra sebagai sensation (observable and measurable). Maka hakikat ilmu
menurut Bacon adalah mengetahui alam yang diambil dari alam itu sendiri (a posteriori). Cara
memperoleh pengetahuan menggunakan metode induksi, yaitu observasi-eksperimentasi atas
fakta-fakta alam, didata dalam tabel positif dan negatif, kualitatif terukur, dan kemudian
memunculkan hipotesis, baru diverifikasi, kemudian dilakukan generalisasi teori pengetahuan
setelah tidak ditemukan fakta negatif. Maka dengan ini, konsekuensi logisnya adalah, bahwa
makna kebenaran menurut Bacon merupakan korespondensi, validasi teori pengetahuannya
adalah verifikasionisme (induksi positif) dan falsifikasionisme (induksi negatif)

Tradisi filosofis Baconian bermaksud melahirkan ilmuwan dan meningkatkan atau memperbarui
temuan tertentu. Sehingga metode induksi Bacon bersifat praktikal. Bacon, memang bukan
penemu metode induksi, ia hanya berupaya menyempurnakan metode itu dengan cara
menggabungkan metode induksi tradisionalis dengan eksperimentasi yang sistematis serta
observasi yang ekstensif.

Referensi
Hardiman, F. Budi (2019). Pemikiran Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Yogyakarta:
Kanisius.

https://plato.stanford.edu/entries/francis-bacon/
https://www.britannica.com/biography/Francis-Bacon-Viscount-Saint-Alban

Anda mungkin juga menyukai