Anda di halaman 1dari 4

Perdebatan mengenai Pelanggaran HAM yang akan menjadi wewenang KKR

Dari Tunggul Ametung hingga Trisakti

---------
KKR, dari sudut pandang bangsa transisi, jelas kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Lalu
peristiwa kemanusiaan mana saja yang harus ditangani? Apakah Tragedi Tunggul
Ametung salah satu kasus yang harus diungkap?
--------

Belakangan ini memang muncul pendapat bahwa kekerasan yang terjadi di tanah air perlu
diungkap dengan dua tujuan. Pertama, agar kejadian itu tidak terulang. Kedua,
terciptanya rekonsiliasi antara kelompok masyarakat yang menjadi korban dan pelaku
kekerasan.

Dengan begitu, pengungkapan kebenaran adalah prasyarat rekonsiliasi. Rekonsiliasi


berarti mengungkap kebenaran, mengakui kesalahan dan memaafkan semua itu. Dengan
begitu, omong kosong terjadi rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran. Menteri
Pertahanan Kabinet Gus Dur, Mahfud MD, pernah mengusulkan agar kasus Soeharto
''diputihkan'' saja, demi menjaga keutuhan bangsa. Gagasan ini tentu bertolak belakang
dengan prinsip dasar kebenaran dan rekonsiliasi. Menteri ini lebih mengedepankan
prinsip ''rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran''. Bila ini dijalankan, rasa keadilan
masyarakat terinjak.

Debat mengenai wilayah dan jangkauan waktu kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) bukan persoalan gampang. Masalah ini menyangkut soal kewenangan, bahkan
kredibilitas KKR. Yang menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana periodisasi peristiwa
dalam kerangka penyelesaian kasus kejahatan HAM? 

Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam sempat melontarkan pertanyaan itu. Pada wilayah
mana KKR bekerja, tergantung jawaban atas pertanyaan: ''Sejak kapan terjadi
pelanggaran HAM di negeri ini?'' Bagi Asvi, peristiwa politik di Istana Tumapel, dengan
tewasnya Tunggul Ametung pada abad XIII bisa masuk kriteria pelanggaran HAM.
''Karena saat itu pertikaian politik berakhir dengan pembunuhan politik,'' katanya tandas. 

Kekerasan, tambah Asvi, juga terjadi di kerajaan lain. Meski perlu pembuktian sejarah
lebih lanjut, Asvi menuturkan bahwa pada tingkat elit, Sultan Iskandar Muda yang
memerintah kerajaan Samudra Pasai tahun 1607-1636, di samping memiliki beberapa
kehebatan, oleh seorang Laksamana Perancis, Beaulieu, dikenang sangat kejam. ''Karena
sang Sultan tega menyiksa perempuan sampai tiga jam lebih.'' Tapi apakah kerajaan
Tumapel atau Samudra Pasai saat itu sudah merupakan bagian dari negara Indonesia? 

Fenomena kekerasan lain bisa dilihat saat Belanda berkuasa di Indonesia. Menurut
Profesor Henk Schulte Nordholt dari Universitas Amsterdam, pemerintah kolonial
Belanda berperan besar atas munculnya budaya kekerasan di Indonesia. Pada 1885-1910
sebanyak 100.000-125.000 orang tewas menjadi korban pemerintah kolonial Belanda.
Korban paling banyak di Aceh. Karena saat itu Belanda mengirimkan pasukan Marsose
(brigade khusus seperti Kopassus) yang menewaskan 75.000 warga sipil Aceh. Tindakan
ini diambil untuk mempertahankan stablitas politik dan keamanan di wilayah jajahan
Belanda.

Sementara Asvi menambahkan, KKR memang bisa saja mengusut pelanggaran HAM
sampai ke zaman penjajahan Belanda. Begitupun kekerasan yang terjadi di zaman
pendudukan Jepang, kekejaman terhadap Romusha, maupun terhadap jugun ianfu,
perempuan pribumi yang menjadi penghibur tentara Jepang. Kasus yang terakhir,
menurut Asvi, ''Sampai sekarang belum selesai.'' Meski begitu, semua itu tidak ada
kaitannya dengan rekonsiliasi nasional yang kita inginkan. ''karena itu saya berpendapat
pengususutan itu hendaknya dilakukan setelah Indonesia merdeka.''

Onghokham mempunyai pandangan lain. Menurutnya, meski kekerasan yang bersifat


sistematis itu bisa dibilang telah dimulai sejak pada masa kolonial Belanda, korban
kekerasan pasca 1965 jauh lebih besar daripada masa sebelum kemerdekaan. Dengan kata
lain, masih pendapat pakar sejarah Indonesia ini, masa 350 tahun keberadaan Belanda di
Indonesia memakan korban lebih sedikit daripada 35 tahun Indonesia saat diperintah oleh
bangsa sendiri. 

Memang kini muncul pandangan bahwa periodisasi peristiwa yang harus diselidiki KKR
adalah 1 Oktober 1965 sampai Oktober 1999. Daniel Dhakidae, salah satu pengamat yang
mendukung pandangan itu. ''Peristiwa 1 Oktober 1965 itu merupakan simpul pertama
yang menjadi awal segala kekacauan selama ini,'' katanya. Simpul kedua, masil menurut
Daniel, adalah ketidakadilan terhadap kelompok Islam, termasuk Tragedi Tanjung Priok
dan Lampung. Sedangkan simpul terakhir adalah semua kasus HAM belakangan, mulai
dari peristiwa penghilangan mahasiswa. ''Juga termasuk kejahatan HAM di Aceh,
Timtim, dan Papua.''

Meski begitu, tegas Asvi, periodisasi yang diusulkan Daniel, rawan protes masyarakat.
''Karena bisa muncul kesan bahwa KKR melindungi para PKI.'' Karena itu, Asvi pun
mengusulkan agar periodisasi itu diusulkan dimulai dari Juli 1959 sampai Mei 1998.

Tanggal 5 Juli 1959, menurut peneliti LIPI ini, adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden
Soekarno yang menandai dimulainya zaman demokrasi terpimpin. Sejarah mencatat,
sebelumnya Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden mengundurkan diri, sehingga
Soekarno saat itu menjadi pemegang kekuasaan tunggal. ''Dengan begitu pada masa
itulah kekuasaan mulai memusat pada negara, bukan lagi pada masyarakat. Dengan
demikian, ''Investigasi mencakup dua rezim, rezim Soekarno (dari era demokrasi
terpimpin, 5 Juli 1959 sampai 31 September 1965) dan rezim Soeharto (sepanjang Orde
Baru i Oktober 1965 sampai 22 Mei 1998). 

Meski begitu, Asvi menyatakan, usulan periodisasi itu tidaklah absolut. Kalaulah pada
1959 tidak disetujui, bisa saja dipakai acuan mulai 17 Agustus 1945. Menetapkan awal
periodisasi lebih mudah daripada menentukan akhir periodi. Bagi Asvi, investigasi itu
cukup sampai 1998. Tapi, mungkin dengan alasan-alasan tertentu ada pihak lain yang
menginginkan sampai kasus Semanggi II pada 1999.

Seperti diketahui, dalam periodisasi itu (1959-1998) terjadi beberapa peristiwa


pelanggaran berat HAM dalam sejarah Indonesia. Kejadian-kejadian itu antara lain;

a. Ekses demokrasi terpimpin berupa aksi sepihak kelompok kiri dan penangkapan tokoh-
tokoh Masyumi/PSI dengan korban terutama dari pihak Islam.

b. Pembantaian 1965/1966 dengan korban kelompok Komunis.

c. Penahanan politik di kamp pulau Buru (1969-1979) dengan korban kelompok


Komunis.

d. Kasus Komando Jihad era 1980-an dengan korban kelompok Islam.

e. Kasus Timor Timur dengan korban warga sipil.

f. Kasus Aceh dengan korban sipil.

g. Kasus Papua dengan korban sipil. h. Penembakan misterius dengan korban preman
jalanan.

i. Kasus Tanjung Priok, korban kelompok Islam.

j. Kasus Lampung, korban kelompok Islam.

k. Peristiwa 27 Juli 1996, korban simpatisan/warga PDI Perjuangan dan kerusuhan Mei
1998, korban masyarakat luas terutama kaum Tionghoa.

Problem wewenang KKR tidak hanya pada tingkat penetapan periodisasi peristiwa. Tapi,
menjadi ''aneh'' bila rekonsiliasi tercapai. Rekonsiliasi itu antara siapa dengan siapa?

Dari segi jumlah korban, kekerasan sebelum 1965 jauh lebih kecil bila dibandingkan
dengan korban pembantaian pasca G30S. Mungkin, masih ulas Asvi, konflik horizontal
antara kelompok masyarakat dapat didamaikan. Tapi kejahatan negara terhadap
masyarakat tetap harus diusut. Termasuk kejahatan negara itu adalah operasi militer,
terutama yang dilakukan di Jawa Tengah dalam rangka membasmi PKI sampai akar-
akarnya.

Asvi menambahkan, rekonsiliasi itu, kalaulah ada, hendaknya lintas ideologi (antara
orang Islam dengan kelompok eks komunis), lintas etnis (contoh Dayak-Madura,
kelompok Bugis-Buton-Madura (BBM) dengan berbagai suku di Irian Jaya. Di samping
itu etnis Tionghoa perlu dilibatkan dalam berbagai sektor sebagaimana etnis lain di
Indonesia), lintas pemeluk agama (Ambon Islam dengan Ambon Kristen).
Tetapi yang paling krusial, tambah Asvi, adalah rekonsiliasi antara sipil dengan militer.
Hampir semua pemberontakan yang terjadi sepanjang sejarah tentu melibatkan kelompok
bersenjata (militer atau elit militer). Semua kekerasan berdarah sejak Indonesia merdeka
juga menyangkut pihak militer. Dan, yang selalu menjadi korban adalah pihak sipil (tentu
ditambah sedikit dari militer). Hubungan sipil-militer itu yang akan menentukan apakah
di masa datang masih akan terjadi pelanggaran berat HAM. 

Melihat berbagai kerumitan ini, untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat, kita
memang kelihatannya harus bersabar untuk menunggu hasil akhir pembahasan RUU
KKR oleh para wakil rakyat di Senayan itu. Apapun sudah selayaknya, semua pihak
mendorong agar RUU itu segera bisa selesai. Dengan begitu harapan akan keadilan,
kepuasan, dan mungkin rekonsiliasi bisa terwujud segera.

Anda mungkin juga menyukai