Anda di halaman 1dari 3

Tragedi Nasional Berdarah 3O September 1965

Sudah 58 tahun setelah tragedi nasional berdarah yang terjadi pada 30


September 1965, atau yang biasa dikenal dengan sebutan G30S yang menjadi salah
satu peristiwa pelanggaran HAM terkelam yang pernah ada di Indonesia.
Gerakan ini terjadi di tengah terpuruknya indonesia pasca merdeka dalam segi
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Semuanya terjadi saat seluruh bagian bangsa
yang terdiri dari berbagai latar belakang di negara ini sedang belajar untuk
menyesuaikan diri dan menemukan identitas mereka sendiri. Mereka berusaha untuk
mengendalikan ego kelompoknya masing-masing agar dapat dengan bijak memahami
arti dari keberagaman ini.
Tragedi berdarah 1965 dapat disimpulkan melalui tiga bagian utama: prelude,
terjadinya peristiwa G30S, dan postlude. Bagian yang dikenal sebagai prelude
merujuk pada masa sebelum meletusnya G30S, yang menurut versi resmi Orde Baru,
dimulai sejak tahun 1948 dan berlangsung kurang dari lima tahun. G30S bermula dari
saran yang diajukan oleh ketua PKI DN Aidit. Pada saat itu, Aidit menyarankan
kepada presiden Soekarno agar menyusun kelompok kelima yang terdiri dari buruh,
petani, dan nelayan dan mempersenjatainya. Tentu saja, usulan tersebut dengan tegas
ditolak oleh Jendral Ahmad Yani sebagai Menteri/Panglima angkatan darat pada saat
itu, karena dianggap dapat mengancam keamanan dan persatuan bangsa. Isu tentang
Dewan Jenderal diperoleh dari sumber yang menyebutkan bahwa PKI sedang
merencanakan perebutan kekuasaan (Coup De Etaat) terhadap pemerintahan yang
sah. Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1965, terjadi pembantaian enam orang
jenderal yang terjadi dalam waktu singkat, hanya dalam satu malam atau bahkan
beberapa jam. Sampai saat ini, akibat atau efek dari peristiwa G30S bahkan masih
terasa hingga masa-masa awal reformasi, setelah kekuasaan 30 tahun oleh pemerintah
orde baru.
Setelah G30S/PKI, PKI dianggap sebagai penyelenggara utama dari peristiwa
tersebut, sehingga PKI harus bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Oleh karena
itu, peristiwa ini dikenal sebagai G30S PKI. Pihak berwenang, terutama militer,
mengklaim adanya peluluh-lantahan terhadap anggota dan simpatisan PKI. Terjadi
pembantaian terhadap jutaan manusia di Indonesia yang dilakukan oleh pihak militer
dan pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk membasmi komunisme. Pelanggaran
HAM berat yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa dengan pembantaian besar-
besaran terhadap mereka yang dituding sebagai anggota dan pendukung PKI, situasi
sosial yang sebelumnya tenang berubah menjadi mencekam dengan adanya teror dan
upaya saling menghasut, serta terjadi tindakan penghancuran, penjarahan,
pembakaran, pemerkosaan, pembunuhan, dan pengusiran terutama di wilayah Jawa
Timur, Jawa tengah dan Bali.
Diperkirakan lebih dari dua juta orang mengalami penangkapan yang tidak
adil dan tidak sesuai dengan prosedur hukum, penahanan tanpa sidang, penyiksaan,
tindakan pemerkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan
orang secara paksa, kewajiban untuk melaporkan keberadaan mereka, dan berbagai
tindakan lainnya.
Mereka yang dikenakan tuduhan terlibat dalam peristiwa G30S, sendiri
bersama keluarganya ditangkap, kehilangan nyawa, dan menerima label negatif di
tengah masyarakat. Mereka dan anggota keluarganya mengalami perlakuan
diskriminatif, dilarang untuk bergabung menjadi karyawan pemerintah atau menjadi
bagian dari ABRI. Sebaliknya, rezim Orde Baru menggunakan pelabelan ini sebagai
alat praktis untuk menekan kritikus politik dengan menuduh mereka sebagai anggota
PKI, mengusir petani atau membeli tanah mereka dengan harga yang sangat rendah,
dan jika mereka menolak, mereka akan dicap sebagai komunis.
Masih menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia karena tidak berhasil
menekan pengaruh komunis, tidak dapat menghalangi tragedi berdarah terjadi, tidak
berhasil menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, tidak mampu memberikan
keadilan kepada korban, dan tidak berhasil menghindari konflik sosial. Para korban
dan keluarga korban masih menghadapi trauma psikologis yang berlangsung dari
generasi ke generasi. Diskriminasi sistematis telah terjalin sejak era pemerintahan
Orde Baru. Para korban dibatasi hak nya dari segala sisi baik sipil, politik maupun
sisi ekonomi, sosial dan budaya.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada periode 1965-1966.
Beberapa langkah yang diambil mencakup upaya untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM tahun 1965 dengan mencoba mencapai rekonsiliasi dengan
keluarga korban, mengusulkan penyelesaian kasus melalui jalur non-peradilan, dan
Tim penyelidikan pelanggaran HAM yang berat peristiwa 1965-1966 dari Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelesaikan proses
penyelidikan dan investigasinya. Walaupun pemerintah Indonesia telah melakukan
beberapa usaha, sampai sekarang belum terlihat ada tindakan berarti yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia. Beberapa organisasi perlindungan hak asasi manusia
mendorong pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini, tetapi
masih terdapat perbedaan pendapat dan perselisihan mengenai langkah-langkah yang
diambil untuk menuntaskan kasus tersebut. Karena itu, masih ada keinginan
masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi
pada peristiwa 1965-1966.
Daftar Pustaka

Mafrudin, Eko. (2014). “Dampak Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis


Indonesia Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa Timur 1965-1998”. Genta 2,
No. 2 : 193.

Latuharhary, Akbar. (2020) “Menyoal Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-
1966”. Diakses pada 8 September 2023.
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/10/6/1587/menyoal-
pelanggaran-ham-yang-berat-peristiwa-1965-1966.html

Adam, Warman Asvi. (2018). “Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30


September 1965”.

Anda mungkin juga menyukai