Anda di halaman 1dari 16

Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Pada tahun 1965/1966 telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat terhadap mereka yang
dituduh sebagai anggota maupun terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya,
lebih dari dua juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses
hukum, penyiksaan, perkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan
paksa, wajib lapor dan lain sebagainya. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774
orang diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para
korban. Sementara beberapa riset menyatakan bahwa korban lebih dari 2 juta orang.

Tidak hanya korban, keluarga korban pun turut mengalami diskriminasi atas tuduhan sebagai
keluarga PKI. Selain harus kehilangan pekerjaan, banyak diantaranya yang tidak bisa
melanjutkan pendidikan, dikucilkan dari lingkungan hingga kesulitan untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Pada tahun 2008, Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro Justisia untuk Peristiwa
1965/1966. Selama lebih dari 4 tahun bekerja, Komnas HAM telah memeriksa sebanyak 349
saksi korban dan mengunjungi lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat penahanan. Pada 23
Juli 2012 lalu, Tim Penyelidik Pro Justisia Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya
dan menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965/1966. Komnas
HAM merekomendasikan dua hal yaitu meminta Jaksa Agung menindaklanjuti hasil
penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan dan dapat juga diselesaikan melalui
mekanisme non yudisial (KKR).

Selain itu pada tahun 2015, para korban dan keluarga korban serta pendamping telah membawa
kasus 65 ke mekanisme internasional melalui, International People Tribunal di Den Haag yang
pada putusannya meminta pemerintah Indonesia untuk segera meminta maaf dan juga segera
melakukan proses penyidikan dan mengadili semua kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan
di Indonesia.

Di tahun yang sama pula, Pemerintah Indonesia mengadakan simposium nasional 65 di Hotel
Arya Duta yang diinisiasi oleh Menko Polhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan. Simposium ini
tidak lebih adalah upaya pemerintah untuk membuat forum tandingan yang beberapa
keputusannya bertolak belakang dengan hasil rekomendasi IPT. Luhut Binsar Panjaitan
mengatakan bahwa negara tidak perlu meminta maaf atas peristiwa 65 karena korban dari pihak
tentara juga banyak.

Kini, tragedi pembantaian 65 sudah memasuki tahun yang ke-55, tetapi Negara belum juga
mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan keadilan terhadap para korban. Selain
kemandekan pada proses hukumnya, hak-hak pemulihan yang seharusnya diterima korban juga
tidak kunjung diupayakan secara maksimal. Kondisi ini menjadikan korban harus menderita
selama masa hidupnya, mengingat sudah banyak korban yang meninggal dunia karena sudah
lanjut usia

Latar belakang

Soeharto menghadiri pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober 1965.
(Gambar oleh Departemen Penerangan Indonesia)

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Kadernya
berjumlah lebih kurang 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta
orang. Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.

Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" selang militer,
kumpulan agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan
Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kumpulan Muslim dan
militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun
1960-an. Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan
mengancam letak sosial para kyai.
Pada sore tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh kumpulan
yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Maka pemimpin-pemimpin utama militer
Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan tingkatan bersenjata.
Pada 2 Oktober, dia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta sudah
gagal. Tingkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5
Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan
menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang
Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI.
Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan kebencian yang
terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.

Pembersihan politik

Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut letaknya. Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan kabinet dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno.
Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati. Petinggi tingkatan
bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta. Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI
Jakarta dibakar. Kumpulan pemuda anti-komunis diwujudkan bangun, contohnya Kesatuan
Gerakan Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Gerakan Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan
Gerakan Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Gerakan Sarjana Indonesia (KASI).
Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis dan petinggi PKI ditangkap, aib
satunya Pramoedya Ananta Toer.

Pembantaian

Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah
dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian kawasan di pulau-
pulau lainnya, terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur
Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatra utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu
dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa
Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh tingkatan darat, sehingga jumlah penduduk
Indonesia yang turut serta dalam pembantaian ini. Peran tingkatan darat dalam peristiwa ini tidak
pernah dijelaskan secara jelas. Di beberapa tempat, tingkatan bersenjata melatih dan
menyediakan senjata untuk milisi-milisi lokal. Di tempat lain, para vigilante mendahului
tingkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlanjut sebelum tentara
mengenakan sanksi kekerasan.

Di beberapa tempat, milisi kenal tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya, sementara di
tempat lain tentara memohon daftar tokoh komunis dari kepala desa. Keanggotaan PKI tidak
disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam penduduk. Kedutaan Luhur Amerika
Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis untuk tingkatan
bersenjata Indonesia.

Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian luhur
sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap
"PKI" dilaksanakan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran
kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau
diduga komunis.

Warga keturunan Tionghoa juga turut diwujudkan menjadi korban. Beberapa dari mereka
dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, lebih kurang delapan belas bulan
sesudah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa
dari kawasan pedesaan. Ratusan hingga ribuan di selang mereka tewas dibantai.

Metode pembantaian mencakup penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang


samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena
sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di kawasan seperti Kediri, Gerakan
Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu
menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini
mengosongkan beberapa anggota desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke
tingkatan bersenjata.

Pembantaian sudah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih
berlanjut hingga tahun 1969. Penduduk Solo mencetuskan bahwa meluapnya sungai Bengawan
Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berhentinya pembantaian.
Ketika dua pria sedang menanti kematiannya, seroang tentara di belakang mereka menusukkan
bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya.

Jawa

Di Jawa, jumlah pembunuhan dilakukan oleh simpatisan arus. Militer mendorong


para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di selang orang-orang abangan Jawa. Pembunuhan
meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, jumlah orang
yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan korban fitnah
dengan sedikit atau tanpa motif politik. Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah
pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, kawasan yang memiliki jumlah orang
komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tidak jelas diperintahkan pergi dari
sana. Pembantaian terhadap orang komunis kesudahan dilakukan oleh para pemuda, dengan
dipandu oleh tingkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.

Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 selang partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan
PKI berubah diwujudkan menjadi pembantaian pada ahad kedua Oktober. Kumpulan
Muslim Muhammadiyah mencetuskan pada awal November 1965 bahwa pembasmian
"Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-
kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatra. Bagi jumlah pemuda, membunuh orang komunis
merupakan suatu tugas keagamaan. Di tempat-tempat acinya pusat komunis di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim mengasumsikan bahwa mereka adalah korban
serangan komunis supaya mereka mendapatkan pembenaran atas pembantaian yang mereka
lakukan. Mereka kebanyakan mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para
pelajar Katolik di kawasan Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk
turut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.

Untuk sebagian luhur kawasan, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun
di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlanjut sampai bertahun-tahun. Di Blitar,
aci gerakan gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Gerakan tersebut
berhasil dibasmi pada 1967 dan 1968. Mbah Suro, seorang pemimpin kumpulan komunis yang
bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan
kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi tingkatan
bersenjata Indonesia.

Bali

Penangkapan aib seorang simpatisan PKI.

Melihat dalam cermin dari melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan
awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik selang para pendukung sistem kasta tradisional
Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Letak pemerintahan, uang
dan keuntungan usaha dagang/jasa beralih pada orang-orang komunis pada tahun-tahun
kesudahan masa kepresidenan Soekarno. Sengketa atas tanah dan hak-hak penyewa berujung
pada pengambilan lahan dan pembantaian, ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral".
Sesudah Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari letaknya.
Orang-orang komunis kesudahan dituduh atas penghancuran cara melakukan sesuatu budi,
agama, serta karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, tidak diterima untuk
menghancurkan PKI.
Sebagai satu-satunya pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki daya Islam
yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI. Pendeta tinggi
Hindu menerapkan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah dampak
pelanggaran yang kelewatan dan gangguan sosial. Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka,
memberitahu umat Hindu: "Tidak aci keraguan bahwa musuh revolusi kita juga merupakan
musuh terkejam dari agama, dan wajib dimusnahkan dan dihancurkan sampai akar-akarnya."

Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan hampir terjadi perang saudara
ketika orang-orang komunis berkumpul kembali. Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-
orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika Tingkatan Bersenjata Resimen Para-Komando
dan unit Brawijaya tiba di Bali sesudah menerapkan pembantaian di Jawa. Komandan militer
Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai dibubarkan. Berkebalikan dengan Jawa
Tengah tempat tingkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk membantai "Gestapu", di
Bali, hasrat untuk membantai justru sangat luhur dan spontan sesudah mendapatkan persediaan
logistik, sampai-sampai militer wajib turut campur untuk mencegah anarki. Serangkaian
pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para
pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan
menangkap orang-orang yang diduga PKI. Selang Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan
80,000 orang Bali dibantai, lebih kurang 5 persen dari populasi pulau Bali waktu itu, dan lebih
jumlah dari kawasan manapun di Indonesia.

Sumatra

Tingkah laku yang dibuat PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan usaha
dagang/jasa asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu gerakan balasan yang cepat
terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari lebih kurang
200.000 korban jiwa di seluruh Sumatra. Pemberontakan kedaerahan pada kesudahan 1950-an
semakin memperumit peristiwa di Sumatra karena jumlah mantan pemberontak yang dipaksa
untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka
untuk Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun
1965 oleh kebanyakan penduduk Sumatra dipandang sebagai "pendudukan suku
Jawa". Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi suku Jawa.

Jumlah korban
Meskipun garis luhur peristiwa dikenal, namun tidak jumlah yang dikenal mengenai
pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tidak mungkin dikenal. Hanya aci
sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada waktu itu. Tingkatan bersenjata
merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang menerapkan pembantaian
berkuasa sampai tiga dasawarsa. Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di
bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober
1966. Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan
internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan
"Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".

Dalam waktu 20 tahun pertama sesudah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan persangkaan
serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, tingkatan bersenjata
memperkirakan lebih kurang 78.500 sudah meninggal sedangkan menurut orang-orang komunis
yang trauma, persangkaan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kesudahan hari, tingkatan
bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai lebih kurang 1 juta orang. Pada
1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal lebih kurang 200.000 orang
dan pada 1985 mengajukan persangkaan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian luhur
sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai, lebih jumlah dari peristiwa
manapun dalam sejarah Indonesia. Suatu komando keamanan tingkatan bersenjata
memperkirakan selang 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.

Para korban dibunuh dengan metode ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh tingkatan
bersenjata dan kumpulan Islam. Pembantaian dilakukan dengan metode "tatap muka", tidak
seperti anggota pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman
Nazi di Eropa.

Penahanan
Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) diamankan oleh para tentara dalam perjalanan
mereka dengan truk bak membuka ke penjara pada tanggal 30 Oktober 1965.

Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun sesudah pembantaian. Pada 1977,
laporan Amnesty International mencetuskan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang
dituduh terlibat dalam PKI ditahan. Selang 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan
selang 1.6 sampai 1.8 juta mantan tahanan aci di penduduk. Aci kemungkinan bahwa pada
pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa acinya anggota peradilan. Diperkirakan
sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya. Orang-orang PKI yang tidak
dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya mencoba menyembunyikan
masa lalu mereka. Mereka yang ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis
misalnya Pramoedya Ananta Toer , serta petani dan tentara. Jumlah yang tidak mampu bertahan
pada periode pertama masa penahanan dan akibatnya meninggal dampak kekurangan gizi dan
penganiayaan. Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah
tanah, kadang kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–
68. Mereka yang diberi keleluasaan seringkali masih wajib menjalani tahanan rumah dan secara
rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang diwujudkan menjadi pegawai
pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.

Dampak

Tingkah laku yang dibuat Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama,


dan komunisme melalui Nasakom sudah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, sudah secara
efektif dimusnahkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer tidak
kekurangan pada perlintasan menuju kekuasaan. Jumlah Muslim yang tidak lagi memercayai
Soekarno, dan pada awal 1966, Soeharto secara membuka mulai menentang Soekarno, sebuah
tingkah laku yang dibuat yang sebelumnya berusaha dihindari oleh para pemimpin militer.
Soekarno berusaha untuk berpegang untuk kekuasaan dan mengurangi pengaruh baru dari
tingkatan bersenjata, namun dia tidak dapat membuat dirinya menyalahkan PKI atas usaha
kudeta sesuai permintaan Soeharto. Pada 1 Februari 1966, Soekarno menaikkan pangkat
Soeharto diwujudkan menjadi Letnan Jenderal. Dekrit Supersemar pada 11 Maret 1966
mengalihkan sebagian luhur kekuasaan Soekarno atas parlemen dan tingkatan bersenjata untuk
Soeharto, memungkinkan Soeharto untuk menerapkan apa saja untuk memulihkan ketertiban.
Pada 12 Maret 1967 Soekarno dicopot dari sisa-sisa kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan
Soeharto menjabat sebagai Presiden Sementara. Pada 21 Maret 1968, Majelis Permusyawaratan
Rakyat secara resmi memilih Soeharto sebagai presiden.

The Year of Living Dangerously (1982), aib satu film asing yang dicekal di Indonesia pada
era Orde Baru.

Pembantaian ini hampir tidak pernah diistilahkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya
mendapatkan sedikit perhatian dari rakyat Indonesia maupun warga internasional. Akan tetapi,
sesudah Soeharto mundur pada 1998, dan meninggal pada tahun 2008, fakta-fakta mengenai apa
yang sebenarnya terjadi dalam pembantaian ini mulai membuka untuk penduduk dalam tahun-
tahun berikutnya. Pencarian makam para korban oleh orang-orang yang selamat serta anggoa
keluarga mulai dilakukan sesudah tahun 1998, meskipun hanya sedikit yang berhasil ditemukan.
Lebih dari tiga dekade kesudahan, rasa kebencian tetap aci dalam penduduk Indonesia atas
peristiwa tersebut. Film Australia The Year of Living Dangerously, yang tuturannya diadaptasi
secara mirip dari novel berjudul sama yang didasarkan pada peristiwa berujung pada
pembantaian ini, dilarang diputar di Indonesia sampai tahun 1999, pasca jatuhnya rezim Orde
Baru.

Penjelasan memuaskan untuk skala dan kekejaman dari pembantaian ini sudah menarik minat
para berbakat dari berbagai perspektif ideologis. Aib satu gagasan memandang kebencian
komunal di belakang pembantaian sampai pemaksaan demokrasi parlementer ke dalam
penduduk Indonesia, mengklaim bahwa perubahan semacam itu secara cara melakukan sesuatu
budi tidak sesuai dan sangat mengganggu pada masa 1950-an pasca-kemerekaan. Gagasan yang
berlawanan adalah ketika Soekarno dan tingkatan bersenjata menggantikan anggota demokrasi
dengan otoriterianisme, persaingan kepentingan-yaitu selang militer, Islam politis, dan
komunisme-tidak dapat secara membuka diperdebatkan, melainkan lebih ditekan dan hanya
dapat ditunjukkan dengan cara-cara kekerasan. Metode penyelesaian konflik sudah gagal, dan
kelompok-kelompok Muslim dan tingkatan bersenjata menganut prinsip "kita atau mereka", dan
bahwa ketika pembantaian sudah berhenti, jumlah orang Indonesia mengasumsikan bahwa
orang-orang komunis layak menerimanya. Kemungkinan acinya pergolakan serupa dianggap
sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem
politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis diwujudkan menjadi ciri dari masa
kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai
kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.

Pemerintah dan media-media Barat lebih menyukai Soeharto dan Orde baru daripada PKI dan
Orde Lama. Pembantaian itu oleh Time digambarkan sebagai "Berita Barat Terbaik di
Asia". Kepala berita di US News and World Report tertulis: "Indonesia: Harapan.... di mana
dahulu pernah tidak aci". Kolomnis New York Times, James Reston menyebutnya sebagai
"Secercah cahaya di Asia". Perdana Menteri Australia Harold Holt, yang sedang mengunjungi
Amerika Serikat, memberi komentar di The New York Times, "Dengan 500.000 sampai satu juta
simpatisan komunis sudah disingkirkan.... Aku kira sudah bebas sama sekali dari bahaya untuk
mengasumsikan bahwa re-orientasi sudah terjadi."

Keterlibatan Amerika Serikat


Dokumen rahasia yang membeberkan pembantaian tahun 1965.

Joseph Lazarsky, wakil kepala CIA di Jakarta, mengatakan bahwa konfirmasi pembantaian
datang langsung dari markas Soeharto. "Kami mendapatkan laporan yang jelas di Jakarta
mengenai siapa-siapa saja yang wajib ditangkap," kata Lazarsky. "Tingkatan bersenjata memiliki
'daftar tembak' yang mengandung lebih kurang 4,000 sampai 5,000 orang. Mereka tidak
memiliki cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang cukup berharga
untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan. Kami kenal apa yang
mereka lakukan.... Soeharto dan para penasehatnya mengatakan, jika kamu membiarkan mereka
hidup, kamu wajib memberi mereka makan."

Duta Luhur Amerika di Jakarta adalah Marshall Green, yang dikenal di Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat sebagai "ahli kudeta". Green sudah tiba di Jakarta hanya beberapa bulan
sebelumnya, membawa serta reputasi karena sudah mendukung penggulingan diktator
Korea Syngman Rhee, yang sudah keluar bersama Amerika. Ketika pembantaian berlanjut di
Indonesia, manual mengenai pengorganisasian pelajar, yang ditulis dalam bahasa
Inggris dan bahasa Korea, disebarkan oleh kedutaan Amerika Serikat ke Kesatuan Gerakan
Mahasiswa Indonesia (KAMI). Amerika Serikat juga secara langsung mendanai mereka yang
berpartisipasi dalam penindasan terhadap orang-orang komunis. Pada tanggal 2 Desember 1965,
Green mendukung rencana untuk menyediakan lima puluh juta rupiah untuk apa yang
dinamakannya sebagai "gerakan Kap-Gestapu," yang dia gambarkan sebagai "kelompok gerakan
sipil tapi terilhami tentara" yang "membawa beban upaya represif yang ditujukan untuk PKI,
terutama di Jawa Tengah."  Green tidak menyebutkan fakta bahwa "upaya represif waktu ini"
terhadap PKI di Jawa Tengah mencakup, menurut Konsulat Amerika Serikat di Medan, usaha
untuk "membasmi semua orang PKI". Apakah dia menyadari fakta ini atau tidak, lebih kurang
diragukan, karena dia sendiri mencatat bahwa Kedutaan Luhur Amerika Serikat memiliki akses
ke "laporan intelijen substansial" mengenai cara Kap-Gestapu, cara yang dia yakinkan pada
Departemen Luar Negeri sebagai cara yang "sepenuhnya sejalan dengan dan dikoordinasikan
oleh tentara" dan yang dia puji sebagai cara yang "sangat sukses".

Selain itu, Amerika Serikat memasok peralatan logistik penting pada jenderal-jenderal Indonesia.
Para jenderal memohonnya melalui penghubung yang ditunjuk di Bangkok, Thailand. Dukungan
itu datang terutama dalam bangun alat komunikasi taktis dengan tujuan
menghubungkan Jakarta dengan pasukan militer yang melaksanakan penindasan terhadap PKI di
Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Amerika Serikat juga menyediakan "senjata" yang berasal dari
Amerika Serikat maupun yang bukan dari Amerika Serikat, yang secara khusus merupakan
permintaan untuk "mempersenjatai pemuda Muslim dan Nasionalis di Jawa Tengah untuk
digunakan melawan PKI". Kawat diplomatik menunjukkan bahwa senjata-senjata ini adalah
senjata ringan, digunakan untuk membunuh dari jarak dekat. Brad Simpson, Asisten Profesor
Sejarah dan Studi Internasional di Princeton University dan direktur Proyek Dokumentasi
Indonesia/Timor Timur di George Washington University, mencetuskan bahwa "Amerika
Serikat terlibat langsung sejauh bahwa mereka menyediakan bantuan untuk Tingkatan Bersenjata
Indonesia yang mereka berikan untuk menolong memfasilitasi pembunuhan massal."

Pada tanggal 5 Oktober 1965, Green mengirim telegram ke Washington mengenai bagaimana


Amerika Serikat dapat "membentuk perkembangan untuk keuntungan kita". Rencananya adalah
untuk memperburuk nama PKI dan "pelindung"-nya, Soekarno. Propaganda ini wajib didasarkan
pada "(penyebaran) cerita pengkhianatan, kesalahan, dan kebrutalan PKI". Pada puncak
pertumpahan darah, Green meyakinkan Jenderal Soeharto: "Amerika Serikat umumnya
bersimpati dan mengagumi apa yang sedang dilakukan oleh tingkatan bersenjata." Adapun
mengenai jumlah korban, Howard Federspiel, berbakat Indonesia di Biro Intelijen dan Penelitian
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun tahun 1965, mengatakan, "Tidak aci yang
peduli, selama mereka adalah komunis, mereka wajib dibantai. Tidak aci yang merasa perlu
menerapkan sesuatu mengenai hal itu."
Perkembangan kontemporer

Sesudah Soeharto mundur bekat acinya reformasi 1998, Parlemen membentuk Komisi


Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal, tapi itu ditangguhkan oleh
Pengadilan Tinggi. Sebuah konferensi akademis mengenai pembantaian diadakan di Singapura
pada tahun 2009.

Pada bulan Mei 2009, pada waktu yang berhampiran dengan Konferensi Singapura, penerbit
di Britania Raya, Spokesman Books, menerbitkan buku yang ditulis oleh Nathaniel Mehr,
berjudul Pertumpahan Darah Konstruktif di Indonesia: Amerika Serikat, Britania Raya dan
Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, sebuah survei tingkat-pengantar mengenai
pembantaian dan dukungan Barat untuk Soeharto.

Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencetuskan
pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang berat.
Sesudah menerapkan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi
menunjukkan acinya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya
secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Hasil penyelidikan Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Luhur dan Dewan Perwakilan


Rakyat. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat di masa
lalu aci di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pada bulan September 2012, sebuah film yang mengungkap bagaimana pembantaian massal
dilakukan di kota Medan dan lebih kurangnya, Sumatera Utara, yang dilakukan oleh sekelompok
preman bioskop diluncurkan di Festival Film Internasional Toronto. Film tersebut
berjudul Jagal (judul versi Inggris: The Act of Killing), dengan fokus utama bukan pada
penelitian tentang bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi, tetapi bagaimana para pelaku
mengingat pembunuhan dan pembantaian itu, serta bagaimana para pelaku itu ingin diingat. Film
ini juga menggambarkan kebudayaan yang dibangun berdasarkan impunitas yang dinikmati oleh
para pelaku selama berpuluh tahun serta bagaimana nilai-nilai sosial terjungkir ketika pembunuh
massal dielu-elukan sebagai pahlawan.

Pembantaian ini sudah jumlah dihilangkan dari buku pelajaran sejarah Indonesia. Dalam buku
pelajaran sejarah, diistilahkan bahwa pembantaian ini adalah "kampanye patriotik" yang
menghasilkan kurang dari 80.000 korban jiwa. Pada tahun 2004, buku-buku pelajaran diubah dan
mencantumkan kejadian tersebut, tapi kurikulum baru ini ditinggalkan pada tahun 2006 karena
acinya protes dari kumpulan militer dan Islam. Buku-buku pelajaran yang menyebutkan
pembunuhan massal itu kesudahan dibakar, atas perintah Jaksa Luhur.

Daftar Pustaka

 Crouch, Harold,(1978) The army and politics in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ISBN
0801411556 (A revision of the author's thesis, Monash University, Melbourne, 1975, entitled: The
Indonesia Army in politics, 1960-1971.) pp. 65–66. Cited in Cribb (1990).

 Cribb, Robert. (1990) The Indonesian killings of 1965–1965: studies from Java and Bali Clayton, Vic.:
Monash University Centre of Southeast Asian Studies, Monash Papers on Southeast Asia no 21, ISBN
0732602319 (pbk.) cited here in Schwarz (1994).

 Cribb, Robert, "How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and
East Timor (1975-1980)" Violence in Indonesia Ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer. Hamburg:
Abera, 2001. 82-98. [1]

 Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6. 

 McDonald, Hamish (1980), Soeharto's Indonesia, Melbourne: Fontana Books, ISBN ISBN 0-00-635721-0 

 Oey Hong Lee, (1971) Indonesian government and press during Guided Democracy Hull: University of
Hull,Hull monographs on South-East Asia ; no. 4 . Zug, Switzerland : Inter Documentation Co.

 Ricklefs, M. C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, Second Edition. MacMillan. ISBN 0-


333-57689-X Check |isbn= value (help). 
 Robinson, Geoffrey (1995). The Dark Side of Paradise: Political Views in Bali. Ithaca: Cornell University
Press. hlm. Chapter 11.  cited here from Friend (2003).

 Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN 1-86373-635-2. 

 Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University
Press. ISBN 0-300-10518-5. 

 Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-


6. 

 Vickers, Adrian (1995), From Oey, Eric (Editor) (1995). Bali. Singapore: Periplus Editions. hlm. 26–
35. ISBN 962-593-028-0. 

 Weiner, Tim (2007). Legacy of Ashes - The History of the CIA. Penguin Books. ISBN 978-1-84614-064-8. 

Anda mungkin juga menyukai