Pada umumnya dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 diketahui bahwa enam jenderal
dibunuh oleh para anggota Partai Komunis Indonesia, PKI, tindakan ini dilakukan oleh
sekelompok perwira junior yang mengaku bertujuan untuk mencegah pengambilalihan “Dewan
Jenderal”. Namun, pemberontakan gagal. Hal ini mengakibatkan Partai Komunis Indonesia
ditetapkan dengan cepat sebagai pihak yang bersalah oleh tentara Indonesia dan pemerintah AS.
Akibatnya, setelah peristiwa Gerakan 30 September itu terjadi, dengan cepat tentara dan
paramiliter lokal mulai menangkap siapa saja yang berkaitan dengan PKI. Kebanyakan dari
mereka ditangkap lalu tanpa ampun langsung dieksekusi dengan cara ditembak, dipenggal, dan
ditikam sampai mati. Dalam hal ini tentara berperan besar untuk melakukan sebagian besar
pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI. Selain tentara, pihak lain yang terlibat dalam
pembunuhan PKI ini adalah gangster atau preman-preman hingga para pemuda dari dua
organisasi Muslim terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Dalam penulisan esai ini bertujuan untuk memaparkan informasi kepada pembaca untuk
mengetahui hal apa saja yang terjadi setelah Gerakan 30 September. Seperti yang kita tahu,
bahwa setelah terjadinya Gerakan 30 September. Berbagai peristiwa pembantaian dan
pembunuhan massal para anggota PKI banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Akhir-akhir ini, pembunuhan massal terhadap anggota PKI menjadi fokus banyak orang terutama
di Amerika saat film Joshua Oppenheimer yang berjudul The Act of Killing (2013) dan The Look
of Silence (2014). Film ini menggambarkan sejarah kelam Negara Indonesia, film pertama
mengisahkan dari sudut pandang para pembunuh anggota PKI kemudia selanjutnya mengisahkan
dari sudut pandang para korbanya. (Margaret, 2017)
Kedutaan AS melaporkan pada 21 Desember 1965 terdapat kurang lebih seratus ribu Komunis
telah dibunuh, hal ini termasuk sepuluh ribu berasal dari Bali serta daerah Indonesia lainnya. Hal
ini juga berdampak pada hubungan Amerika dengan Indonesia. Atas kejadian tersebut hubungan
kedua Negara ini semakin membaik. Pada maret 1966 saat Soeharto berkuasa, Indonesia menjadi
sekutu yang penting saat perang dingin terjadi. Selain itu Indonesia juga mendapat bantuan dan
investasi dalam jumlah besar dari Amerika pada saat itu.
Tahun 1965 di Indonesia menjadi bagian penting untuk perjuangan politik sampai hari ini.
Terdapat keinginan yang besar terutama di kalangan para pemuda-pemudi Indonesia saat ini
untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Tetapi ada reaksi yang keras dari
para jenderal militer dan para politisi Islam untuk memperingatkan bahwa setiap kajian dan
pembicaraan tentang rekonsiliasi atau permintaan maaf, hal tersebut dikhawatirkan akan
menghidupkan kembali komunisme di Indonesia.
Segala kegiatan diskusi kelompok, pembukaan buku, dan pemutaran film yang berhubungan
tentang pembunuhan para Komunis setelah Gerakan 30 September telah ditutup oleh kelompok-
kelompok Islam garis keras dan tentara. Di era demokrasi ini pada sat pers telah bebas tetapi
masih gagal untuk mencabut kekebalan dari penyelidikan tentang kasus-kasus yang terjadi pada
tahun 1965.
Pada telegram Desember 1965 konsulat AS di Medan memberi laporan bahwa di masjid-masjid
Muhammadiyah mengumumkan kepada para jamaah bahwa semua yang berhubungan dengan
PKI harus dibunuh dan menganggap para Komunis sama seperti “kafir urutan terendah, yang
pertumpahan darahnya sebanding. Untuk membunuh ayam”.
Pembunuhan massal terhadap para PKI di Indonesia yang terjadi pada tahun 1965-1966. Hal ini
dianggap sebagai kemenangan besar dalam media berita AS dalam menghadapi Komunis. Di
bawah pimpinan rezim Soeharto para korban dikubur secara paksa di dalam selimut keheningan.
Lebih buruk dari diam. (theguardian.com, 2017)
Referensi