Anda di halaman 1dari 12

KASUS PELANGGARAN HAM YANG BELUM TERSELESAIKAN DALAM

DEMOKRASI

Abstrak
Indonesia telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi
liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno
membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi
Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang
saat ini masih dalam masa transisi. Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa
demokrasi tersebut pada dasarnya bias memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi
liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia.
Namun demikian,berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan
berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun
mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin
yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante mengeluarkan
undang-undang dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut.

Keywords
Kasus pelanggaran HAM dalam demokrasi

Pendahuluan
Sejarah peristilahan demokrasi dapat ditelusuri jauh ke belakang. Konsep ini
ditumbuhkan pertama kali dalam praktik negara kota Yunani dan Athena (450 SM dan 350 SM).
Dalam tahun 431 SM, Pericles, seorang negarawan ternama Athena, mendefinisikan demokrasi
dengan mengemukakan beberapa kriteria: (1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat
yang penuh dan langsung.; (2) kesamaan di depan hukum; (3) pluralisme, yaitu penghargaan atas
semua bakat, minat, keinginan dan pandangan; dan (4) penghargaan terhadap suatu pemisahan
dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual (Roy C
Macridis, 1983:19-20). Dalam zaman yang sama kita pun dapat berkenalan dengan pemikiran
politik Plato,
Aristoteles, Polybius dan Cicero, untuk menyebut sebagian diantara jajaran pemikir masa itu,
yang juga meletakkan dasar-dasar bagi pengertian demokrasi.
Dalam perkembangannya kemudian, pertumbuhan istilah demokrasi mengalami masa subur dan
pergeseran ke arah pemoderenan pada masa kebangunan kembali dari renaissance. Dalam masa
ini muncul pemikiran-pemikiran besar tentang hubungan antara
penguasa atau negara di satu pihak dengan rakyat di pihak lain, yaitu pemikiran baru dan
mengejutkan tentang kekuasaan dari Niccolo Machiavelli (1469-1527), serta pemikiran tentang
kontrak sosial dan pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke
(1632-1704). Pemikiran-pemikiran dari sejumlah nama besar tersebut telah memberikan
sumbangan yang penting bagi upaya pendefinisian kembali atau aktualisasi istilah demokrasi
(Eef Saefullah Fatah, 1994:5).

PEMBAHASAN

Fenomena pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hingga saat ini masih menjadi
permasalahan yang belum jelas penyelesaiannya. Rentetan peristwa pelanggaran HAM yang
dimulai dari pembentukan rezim Orde Baru yakni peristiwa 1965, pembunuhan Marsinah,
tragedi Malari, pembunuhan Munir, pembunuhan Wartawan Udin, tragedi Tanjung Priok, tragedi
Talangsari, Trisakti, Semanggi, penghilangan paksa aktivis Reformasi, kekerasan kepada aktivis
dan masyarakat sipil dan masih banyak lainnya yang masih belum juga terselesaikan.

Pasca reformasi watak-watak Orde Baru masih bisa kita rasakan dan tidak sepenuhnya
mereka hilang, justru berganti baju reformis bertindak predatoris untuk berkuasa. Hingga kini,
rentetan kasus pelanggaran HAM belum juga menemui titik terang. Benang kusut penyelesaian
yang dijanjikan penguasa tiap periode pemilihan presiden, hanya menjadi buaian untuk menarik
simpati massa dan dukungan untuk kembali berkuasa. Sengkarut permasalahan tersebut seakan
menjadi potret buram penegakkan hukum dan HAM di negara yang katanya demokratis seperti
Indonesia ini. Namun, jika melihat rentetan kasus kemanusiaan yang belum juga tuntas, maka
patut dipertanyakan demokrasi apa yang dipakai? Sistem demokrasi yang melindungi elite
penguasa atau rakyatnya? atau sistem demokrasi yang melindungi oligark atau masyarakat kecil?

Data yang dipaparkan oleh KOMNAS HAM :

Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sepanjang Januari-April 2019
menerima 525 laporan kasus dugaan pelanggaran HAM. Komisioner Komnas HAM Amiruddin
menyebut dari jumlah tersebut kepolisian menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan
sebanyak 60 kasus.
"Berdasarkan data aduan yang diterima, pihak yang diadukan atau teradu tertinggi adalah
kepolisian," ujar Amiruddin di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (16/7).

Amiruddin membeberkan isu pelanggaran HAM yang diduga dilakukan kepolisian beragam.
Berdasarkan data, dugaan pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan kepolisian terkait
penanganan laporan polisi yang lambat dan permasalahan administratif lainnya.
Kedua, Amiruddin mengatakan menyangkut kasus penangkapan dan atau penahanan yang tidak
sesuai prosedur. Ketiga, kasus kekerasan dalam penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan.
Terakhir, kasus sengketa aset kepegawaian dan aset kepolisian.

Amiruddin menyebut banyak laporan terhadap kepolisian terjadi karena aparat kurang


memahami prinsip-prinsip HAM, khususnya aparat di tingkat Polsek dan Polres, serta
pengawasan dan penindakan internal yang tidak tegas.
Pihak kedua yang banyak diadukan ke Komnas HAM adalah korporasi dengan 29 kasus.
Amiruddin mencatat laporan terhadap korporasi terkait dengan sengketa lahan. Dalam sengketa
lahan, kasus perampasan atau penyerobotan lahan mendominasi laporan terhadap korporasi.
Selain lahan, Amiruddin menyebut laporan terhadap korporasi juga terkait dengan sengketa
ketenagakerjaan seperti PHK, mutasi, gaji tidak dibayar, hingga penahanan ijazah.
"Adapula terkait pencemaran lingkungan misalnya polusi udara dan sengketa kemitraan ojek
daring," ujarnya.
Amiruddin menyampaikan pemerintah daerah juga menjadi pihak yang banyak diadukan ke
Komnas HAM.
Laporan terhadap Pemda banyak menyangkut soal peran dalam pencegahan kasus-kasus
intoleransi atau ekstremisme dan pengawasan terhadap pemberian izin.
Dari isu-isu yang dilaporkan masyarakat, Amiruddin menyampaikan isu agraria menjadi salah
satu isu yang menonjol dan mendapat perhatian dari Komnas HAM.
Ia berkata masih banyak kasus sengketa kepemilikan lahan antara individu atau masyarakat
dengan perusahaan yang seringkali berujung kriminalisasi warga.
Selain itu, kasus menyangkut penerbitan izin Hak Guna Usaha, pembangunan infrastruktur,
hingga sengketa aset Barang Milik Negara.
"Sebaran aduan terjadi hampir seluruh Indonesia," ujar Amiruddin.
Amiruddin memprediksi persoalan HAM yang dilaporkan masyarakat ke Komnas HAM di
waktu yang akan datang tidak akan jauh berbeda dengan persoalan yang muncul pada awal tahun
2019. Isu yang diprediksi akan tetap ada yakni tentang dugaan penggunaan tindak kekerasan dan
lemahnya pelayanan publik oleh Kepolisian. Kedua, Amiruddin menyebut terkait dengan
persoalan kepatuhan perusahaan dalam pemenuhan dan perlindungan HAM, khususnya terkait
pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan, hingga ketenagakerjaan. Ketiga, soal intoleransi
dan pemberian izin di daerah.
"Sedangkan prediksi tren ke depan pada isu agraria perlu ada perhatian serius terkait dengan
kebijakan percepatan infrastruktur, peran pemda sebagai regulator dalam tata kelola lahan, dan
penggunaan aparat keamanan dalam penanganan konflik yang melampaui kewenangan," ujar
Amiruddin.
KOMNAS HAM telah merangkum beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia:

1. Peristiwa Trisakti

Salah satu pelanggaran HAM di Indonesia yang paling terkenal adalah peristiwa trisakti.
Peristiwa ini adalah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998. Hal ini terjadi saat demonstrasi mahasiswa yang menuntut Soeharto
mundur dari jabatannya. Sebanyak 4 orang mahasiswa tewas tertembak dan puluhan lainnya
luka-luka saat melakukan unjuk rasa.

2. Tragedi Semanggi I

Tragedi Semanggi I merupakan peristiwa protes masyarakat kepada pelaksanaan serta agenda
Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 13 November 1998 dan menuntut pembersihan orang-orang orde baru dari posisi
pemerintahan dan militer. Setidaknya 5 orang korban meninggal dunia akibat peristiwa ini dan
puluhan lainnya luka-luka.

3. Tragedi Semanggi II

Sama seperti sebelumnya, tragedi Semanggi II juga terjadi akibat protes dan demonstrasi
masyarakat sipil. Tragedi Semanggi II terjadi pada tanggal 24 September 1999, selisih hampir
satu tahun dengan tragedi Semanggi I yang terjadi tahun 1998. Pada tragedi ini, sekurang-
kurangnya 5 orang korban meninggal dunia dan ratusan korban lainnya luka-luka.
4. Kasus Pembunuhan Munir

Contoh pelanggaran HAM di Indonesia lainnya adalah kasus pembunuhan Munir. Munir Said
Thalib merupakan aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Pria
asal Malang ini meninggal dunia pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda
Indonesia ketika Munir sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Penyebab
tewasnya tidak diketahui, namun banyak berita yang menyebutkan ia tewas diracun. Hingga kini
belum ada titik temu mengenai kasus pembunuhan Munir ini.

5. Kasus Pembunuhan Marsinah

Kasus pembunuhan Marsinah terjadi pada tanggal 3-4 Mei 1993. Marsinah merupakan seorang
pekerja dan aktivis wanita yang bekerja di PT Catur Putera Surya Porong. Berawal dari aksi
mogok yang dilakukan oleh Marsinah dan buruh lainnya yang menuntut kepastian pada
perusahaan yang telah melakukan PHK mereka tanpa alasan. Setelah aksi demo tersebut,
Marsinah yang menjadi aktivis buruh malah ditemukan tewas 5 hari kemudian. Ia tewas di
kawasan hutan Wilangan, Nganjuk dalam kondisi mengenaskan. Kasus pelanggaran HAM ini
pun belum bisa diselesaikan dan masih menjadi misteri sampai sekarang.

6. Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia
yang cukup terkenal. Kasus ini terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar. Pemicu
peristiwa terjadi akibat masalah SARA dan unsur politis. Warga sekitar melakukan demonstrasi
pada pemerintah karena menolak pemindahan makam keramat Mbah Priok. Hal ini memicu
bentrok antara warga dengan anggota polisi dan TNI. Diperkirakan ratusan korban meninggal
dunia akibat kekerasan dan penembakan akibat bentrok yang terjadi.

7. Kasus Dukun Santet di Banyuwangi

Peristiwa ini terjadi di Banyuwangi pada tahun 1998. Saat ini marak terjadi pembunuhan guru
ngaji dan tokoh agama akibat praktek santet di desa-desa. Warga sekitar mulai melakukan
kerusuhan berupa penangkapan serta pembunuhan terhadap orang yang dituduh sebagai dukun
santet. Orang yang diduga sebagai dukun santet pun langsung dibunuh secara sepihak. Polisi dan
TNI langsung mengamankan orang yang dituduh sebagai dukun santet untuk menghindari
amukan warga. Masih menjadi misteri siapa dalang pembunuhan tokoh agama yang marak
terjadi sebelumnya.

8. Peristiwa di Abepura, Papua

Salah satu contoh kasus pelanggaram HAM di Papua terjadi di daerah Abepura pada tahun 2003.
Saat itu pelanggaran HAM yang dipicu oleh penyerangkan Mapolsek Abepura. Setelah itu terjadi
penyisiran yang membabi buta terhadap pelaku yang diduga melakukan penyerangan Mapolsek
Abepura. Peristiwa ini tercatat sebagai contoh pelanggaran HAM di Papua.

9. Penculikan Aktivis Pro Demokrasi

Pelanggaran HAM ini terjadi akibat adanya kasus penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun
1997 dan 1998. Sekitar 23 aktivis diculik dan menghilang tanpa penyebab yang diketahui,
bahkan diketahui ada yang sampai dibunuh. Sampai sekarang ada 13 aktivis yang masih tidak
diketahu kejelasannya. Banyak orang berpendapat bahwa mereka diculik dan disiksa oleh para
anggota militer. Peristiwa ini menjadi contoh kasus pelanggaran HAM pada masa Orde Baru.

10. Kasus Bulukumba

Kasus Bulukumba merupakan kasus yang terjadi pada tahun 2003. Pemicu kasus pelanggaran
HAM ini adalah perusahaan PT. London Sumatra (Lonsum) yang ingin melakukan perluasan
area perkebunan, namun ditolak oleh warga sekitar. Aksi demonstrasi yang dilakukan warga
berujung pada bentrok dengan polisi. Akibatnya terdapat beberapa korban tewas. Persengkataan
lahan antara perusahaan Lonsum dan warga sekitar terkait tanah dan lahan menjadi pemicu
pelanggaran HAM ini.

HAM dan Kondisi Demokrasi Saat Ini

Pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan belum terselesaikan hingga sekarang,
menjadi luka bagi sebagian masyarakat. Hal ini yang akan menjadi persoalan dalam bagi sebuah
bangsa seperti luka yang terus dibiarkan dan menjadi busuk tahun kian tahun. Para pegiat sosial
HAM, YLBHI, Amnesty, Kontras, Aksi Kamisan dan juga yang lain, bersama korban yang tetap
merawat memori kolektif untuk terus mengingat bahwa ada sebuah tindak ketidakadilan dan
negara seakan abai untuk menyeesaikannya. Padahal, sesuai dengan mandat Pancasila sila kedua
telah dijelaskan poin ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Jikalau negara tetap abai terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM dan isu kemanusiaan, serta tidak dengan tegas memutuskan
perkara dengan adil maka peradaban yang dibangun dalam negara tersebut hanyala palsu atau
ilusi belaka.

Kebebasan merupakan salah satu indikator dari nilai-nilai yang terkandung dalam
demokrasi. Kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara, berekspresi, berserikat dan lainya.
Kebebasan itu pula juga salah satu nilai dari HAM. Indonesia, dalam pengukuran status
kebebasan (Freedom Status) di dunia, pada tahun 2018 teratifikasi termasuk golongan negara
yang cukup terbuka, dengan agregasi skor 64 dari besaran 100. Capaian agregasi tersebut
diperoleh dari rating kebebasan 3/7, kebebasan politik 2/7 dan kebebasan sipil 4/7.

Dalam momen politik atau pesta demokrasi, nilai dan jargon HAM digunakan sebagai
simbol dan panji untuk meraup suara. Agar tetap didukung dengan menyuarakan kemanusiaan,
namun ketika jadi belum sepenuhnya dapat terjamin permasalahan HAM digunakan sebagai isu
dan pembahasan prioritas dan teramat penting. Karena permasalahan atau pelangaran HAM
terdahulu jika tidak diselesaikan maka akan menjadi luka yang teramat dalam bagi masyarakat.

Kusutnya Penyelesaian HAM


Penyelesaian kasus HAM yang tak kunjung usai menjadi beban negara untuk
menyeleseikannya. Beragam permasalahan salah satunya yakni politik dan hukum menjadi satu
dasar mandeknya penyelesaian HAM di Indonesia. Bukti yang sulit ditemukan menjadi
penyebab penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak bisa diungkap secara menyeluruh. Bukti
semakin sulit ditemukan karena orang-orang yang diduga menjadi pelaku atau jembatan pelaku
(mediator) juga tidak diketahui keberadaannya.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Dengan beragam faktor dan alasan yang membuat
kusutnya penyelesaian HAM menjadi refleksi dan evaluasi untuk membuat sebuah gerakan yang
lebih progresif guna dapat menyelesaiakan kasus pelanggaran HAM. Sejauh ini, hasil
penyelidikan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu, terbentur di Kejaksaan
Agung.

Upaya Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Jika suatu negara sedang melakukan penyelidikan terhadap suatu kasus HAM, penyidikan
atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi, maka pengadilan pidana internasional berada dalam
posisi inadmissible(ditolak) untuk menangani kasus kejahatan tersebut.Akan tetapi, posisi
inadmissibledapat berubah menjadi admissible(diterima untuk menangani perkaran), apabila
negara yang bersangkutan enggan (unwillingness) atau tidak mampu (unable) untuk
melaksanakan tugas investigasi dan juga penuntutan.

Bila perkara yang telah diinvestigasi oleh suatu negara, kemudian negara yang
bersangkutantersebuttelah memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan lebih lanjut terhadap
pelaku kejahatan, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible.
Namun, posisi inadmissibledapat berubah menjadi admissiblebila putusan yang berdasarkan
keengganan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unability) dari negara tersebut untuk
melakukan penuntutan.

Jika pelaku kejahatan telah diadili dan juga memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka
terhadap pelaku kejahatan tersebut telahmelekat asas nebus in idem.Artinya, seseorang tidak
dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama setelah terlebih dahulu diputuskan
perkaranya oleh putusan dari pihak pengadilan peradilan yang berkekuatan tetap.
Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris
Semendawai, di banyak negara, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu biasa
diselesaikan melalui dua cara, yaitu jalur hukum melalui sidang pengadilan (yudisial) dan di luar
pengadilan (non-yudisial). “Namun, apapun cara yang dipilih, penyelesaian itu hendaknya tidak
sampai memberikan impunitas bagi para pelaku,” kata Semendawai di Jakarta, Selasa (16/6).

Semendawai mengatakan, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah sepatutnya
diungkap ke publik secara terbuka. Cara yang ditempuh bisa bermacam-macam, baik melalui
pengadilan maupun komisi kebenaran. Hanya saja, jika upaya penyelesaian yang dipilih melalui
tim rekonsiliasi, hendaknya tim yang dibentuk tidak hanya berisikan aparatur negara, melainkan
juga harus melibatkan lembaga non-pemerintah dan pastinya korban pelanggaran HAM berat
masa lalu itu.

Di balik pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, kata dia, ada hal
penting lainnya yang mendesak diperhatikan, yakni hak-hak para korban. Karena itulah, upaya
dari pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, sebisa
mungkin jangan sampai berlarut-larut karena para korban menunggu kepastian. Negara sendiri
wajib hadir di antara korban pelanggaran HAM berat karena mereka sangat membutuhkan
bantuan. Hal itu jelas diatur dalam Undang-undang (UU) No 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Korban dan Korban, sebagaimana telah disempurnakan melalui UU No 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006. “Beban pelanggaran HAM masa
lalu diharapkan tidak berlangsung lama karena kita akan sulit untuk keluar dari permasalahan
tersebut. Sementara, masih banyak permasalahan baru yang mesti diatasi,” tutur dia.
Berdasarkan mandat dari UU No 13 Tahun 2006 yang telah disempurnakan melalui UU No 31
Tahun 2014, LPSK tidak hanya bertugas memberikan layanan bagi saksi, tetapi juga korban.
Salah satunya korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Fungsi pelayanan dimaksud
antara lain pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis. LPSK menjadi
motor tugas ini karena sebelumnya belum ada lembaga yang pernah melaksanakannya.
Seperti diberitakan, Komite Rekonsiliasi tengah digasga pemerintah terdiri dari beberapa
instansi, seperti Polri, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kejaksaan
Agung, TNI, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Hukum dan HAM. Mereka akan
menyelesaikan tujuh berkas pelanggaran HAM yang kini berada pada Komnas HAM, yakni
perkara Talang Sari, Wamena Wasior, penghilangan orang secara paksa, peristiwa penembakan
misterius (petrus), G30S/PKI, kerusuhan Mei 1998, dan pelanggaran HAM di Timor Timur. (hel

KESIMPULAN

Demokrasi yang merupakan salah satu bentuk dari kekuasaan rakyat, harus kembali
ditegakkan setegak-tegaknya. Beragam hal permasalahan relasi kuasa dan kepentingan kelompok
yang kerap menodai esensi dari makna demokrasi harus dilawan. Degan mengakkan kembali
demokrasi dan senantiasa memperjuangkan nilai demokrasi, bersama hal itu pula kedaulatan
rakyat akan terbangung.  Hak-hak Asasi manusia sebagai hak dasar adalah produk perjuangan
rakyat secara sadar.

Berbagai hal yang telah dipaparkan di atas menunjukan bahwa demokrasi dan penegakan
HAM tidak akan pernah selesai jika hanya dengan menadahkan tangan berhadap political will
dari elite. Oleh karena itu, gerakan rakyat pekerja adalah garda utama untuk membentuk
demokrasi sejati yang bertopang pada penghargaan nilai-nilai kemanusiaan. Dikarenakan para
pekerjalah yang selama ini sering menjadi objek kekerasan dan pelanggaran HAM. Sehingga
menjadi tantangan kita bersama untuk membangun gerakan kelas pekerja yang kuat.

SARAN

Pada tahun ini demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Hal tersebut dikarenakan
perihal supremasi hukum, pemerintah Indonesia dinilai belum memiliki tekad kuat untuk agenda
reformasi di sektor keamanan. Seperti saat fenomena ketika ada prajurit TNI yang melakukan
tindak pidana, tetapi diadili di peradilan militer. Hal tersebut bertentangan dengan TAP MPR
Nomor VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Peraturan itu,
mengamanatkan reformasi peradilan militer agar anggota TNI yang melakukan tindak pidana
dapat diadili di peradilan umum.

Kemudian soal penegakan terhadap hak asasi manusia. Pemerintah tidak menaruh
perhatian serius terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Hal itu juga berbuntut pada
ketiadaan perlindungan dan jaminan hak asasi manusia untuk saat ini. Pemerintah juga sangat
minim melibatkan partisipasi publik dalam merumuskan suatu kebijakan. Skema perumusan
legislasi di parlemen tidak partisipatif bahkan tertutup. Yang terbaru mengenai pembahasan
revisi UU KPK yang tidak melibatkan KPK sama sekali. Padahal dalam negara demokrasi, kunci
negara demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal mutlak.

Demokrasi memang merupakan suatu sistem yang terus bergerak, dinamis dan tidak
selalu linear dalam menuju demokrasi yang substantif. Karena itu, demokrasi sangat bergantung
pada aktor-aktor demokrasi mulai dari aktor pemerintahan hingga masyarakat sipil.

Banyak kriminalisasi yang menyasar korban bahkan kelompok pembela HAM saat
memperjuangkan nasibnya. Namun, kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul
menjadi barang mahal di kehidupan Indonesia sekarang. Atas dasar itu, adanya penuntutan
terhadap pengembalian kedaulatan demokrasi yang berpusat di tangan rakyat agar pintu
partisipasi dan kebebasan sipil diberikan selebar-lebarnya.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150616180136-12-60392/penyelesaian-kasus-ham-
berat-jangan-beri-imunitas

https://www.zonareferensi.com/contoh-kasus-pelanggaran-ham-di-indonesia/

Diskusi Publik MAP Corner-Klub MKP UGM dengan Ken Aura Matahari, Perwakilan Amnesty
International Indonesia. Di Magister Administrasi Publik – Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 11 Desember 2018.

Diskusi Publik MAP Corner-Klub MKP UGM dengan St. Tri Guntur Nurwaya, Pakar
Komunikasi Yogyakarta. Di Magister Administrasi Publik – Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 11 Desember 2018.

Freedom House. 2018. Indonesian Statistic Freedom Status.


Petras, James dan Henry Veltmeyer. 2014. Menelanjangi Globalisasi: Sepak Terjang
Imperialisme Abad 21, Terj. Globalization Unmasked: Imperialism the 21’st Century. Bantul:
Kreasi Wacana.

Putra, Luthfy Mairizal. 2016. Faktor Penghambat Penegakan HAM di Indonesia. (Online).
https://nasional.kompas.com/read/2016/12/09/22261581/direktur.imparsial.ada.5.faktor.pengham
bat.penegakan.ham.di.indonesia. Diakses pada Februari 2019.

Vebriyanto, Widian. 2016. Sebab Pelanggaran HAM Sulit Terungkap. (Online).


https://politik.rmol.co/read/2015/08/21/214213/Ini-Sebab-Pelanggaran-HAM-Sulit-Terungkap-.
Diakses pada Februari 2019.

Anda mungkin juga menyukai